BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) - Gambaran Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) dan Auditory Brainstem Response(ABR) Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir.

  Rerata berat bayi normal adalah 3200 gram (usia gestasi 37 s.d. 41 minggu). Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam pertama setelah lahir (Fanaroff 2002; IDAI 2004; Stoll & Adams-Chapman 2007; Damanik 2008). Hubungan antara umur kehamilan dengan berat lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intrauterin. Penentuan hubungan ini akan mempermudah antisipasi morbiditas dan mortalitas selanjutnya. Penentuan umur kehamilan bisa dilakukan mulai dari antenatal sampai setelah persalinan. Pada masa antenatal ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan menghitung Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT). Setelah persalinan, penentuan umur kehamilan dilakukan dengan pemeriksaan. Bagian dari pemeriksaan ini didasarkan pada kriteria perkembangan saraf yang spesifik serta berbagai sifat fisik luar yang terus-menerus berubah seiring dengan berlanjutnya kehamilan. Menurut hubungan berat lahir/umur kehamilan, berat bayi baru lahir dapat dikelompokkan menjadi (Damanik 2008): a. Sesuai Masa Kehamilan (SMK)

  b. Kecil Masa Kehamilan (KMK)/Small for Gestational Age (SGA)

  c. Besar Masa Kehamilan (BMK) Berdasarkan umur kehamilan, bayi dapat digolongkan menjadi

  (Damanik 2008):

  a. Bayi Kurang Bulan (BKB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi < 37 minggu (< 259 hari). b. Bayi Cukup Bulan (BCB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi antara 37-42 minggu (259-293 hari).

  c. Bayi Lebih Bulan (BLB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi >42 minggu (294 hari). Bayi berat lahir rendah mungkin disebabkan oleh (Stoll & Adams- Chapman 2007):

  a. Kurang bulan (usia kehamilan/ masa gestasi kurang dari 37 minggu/preterm) b. Gangguan pertumbuhan intrauterin/ intrauterine growth restriction

  (IUGR)

  c. Keduanya Klasifikasi Bayi

  a. Klasfikasi Bayi Berat Lahir Rendah:

  1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir antara 1500 gram sampai dengan 2500 gram.

  2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi dengan berat lahir antara 1000 gram sampai kurang dari 1500 gram.

  3. Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1000 gram (Hay 2002; Mulyawan 2009).

  b. Umur kehamilan atau masa gestasi adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat kelahiran, dihitung dari hari pertama haid terakhir (Damanik 2008), dikelompokkan menjadi:

  1. Preterm infant atau bayi prematur adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan tidak mencapai 37 minggu.

  2. Term infant atau bayi cukup bulan (mature atau aterm)

  adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan 37-42 minggu.

3. Postterm infant atau bayi lebih bulan adalah bayi yang

  lahir pada umur kehamilan sesudah 42 minggu (

  Wilkinson et al. 2002;

  Penyebab terjadinya kelahiran bayi dengan BBLR, yaitu: Purnami 2010).

  a. Faktor ibu: hipertensi dan penyakit ginjal yang kronik, perokok, penderita diabetes melitus yang berat, pre- eklampsia, eklampsia, hipoksia ibu, hemoglobinopati, penyakit paru kronik, gizi buruk, drug abuse, peminum alkohol.

  b. Faktor uterus dan plasenta: kelainan pembuluh darah (haemangioma), insersi tali pusat yang tidak normal, infark plasenta, kehamilan ganda, pelepasan plasenta sebagian, plasenta kecil, gangguan sirkulasi ibu dan janin.

  c. Faktor janin: kehamilan ganda, kelainan kromosom, cacat bawaan, infeksi dalam kandungan (toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis, TORCH)

  d. Faktor penyebab lain yaitu keadaan sosial ekonomi yang rendah dan tidak diketahui (Budhi & Rujito 2007; Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011).

2.2. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

  Bayi berat lahir rendah (BBLR) disebut bayi beresiko tinggi dengan adanya patofisiologi yang menyertai, prognosis BBLR akan lebih buruk terutama pada periode awal setelah lahir dibandingkan dengan bayi normal. Komplikasi langsung dapat terjadi pada BBLR, berbagai masalah jangka panjang mungkin timbul antara lain gangguan perkembangan, gangguan pertumbuhan, retinopati, gangguan pendengaran, penyakit paru kronis, dan kelainan bawaan (Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011). Hubungan antara BBLR dengan gangguan pendengaran kurang diketahui, walaupun pengetahuan dasar mengenai penyebab gangguan pendengaran telah berkembang namun sulit untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai mekanisme yang menyebabkan gangguan pendengaran pada BBLR (Cristobal & Oghalai 2008). Pemeriksaan audiometri dan radiologi juga tidak memberikan perincian yang jelas mengenai perubahan pada sistem auditori. Proses pendengaran pada manusia normal memerlukan fungsi telinga luar, telinga tengah, telinga dalam (koklea) dan jaras batang otak yang baik (Cristobal & Oghalai 2008).

  

Saat ini, terdapat dua metode skrining pendengaran neonatus, yaitu

OAE dan ABR. Yang paling sering dipakai adalah OAE karena murah dan

mudah dioperasikan pada skrining massal. Mesin OAE mendeteksi bunyi

yang dihasilkan oleh proses biokemikal yang berasal dari sel rambut luar

koklea. Hal ini menyebabkan OAE sangat sensitif untuk mendeteksi

disfungsi sel rambut luar. Evaluasi dengan OAE tidak dapat mendeteksi

disfungsi neural (saraf ke delapan atau jaras batang otak). Penggunaan

OAE dalam skrining pendengaran pada populasi yang banyak menderita

tuli sensorineural dapat menyebabkan tidak terdeteksinya gangguan

pendengaran. Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa OAE dapat

mendeteksi tuli sensorineural, karena OAEs merupakan respon akustik

yang berhubungan dengan proses pendengaran normal dan OAEs tidak

ada bila terdapat gangguan pendengaran lebih dari 30 dBHL. Bila

pemeriksaan telah selesai, hasilnya akan tertampil pada layar dengan

“pass” bila terdapat respon dan “refer” bila tidak ada respon terhadap

stimulus (Boo, Rohani & Asma 2008).

  

Pemeriksaan dengan ABR merefleksikan aktivitas koklea, saraf auditori

dan auditory brainstem pathway, sehingga ABR dapat mendeteksi

neuropati auditori atau gangguan konduksi neural (Boo, Rohani & Asma

2008). Hasil pemeriksaan dianggap normal bila terdapat respon bilateral

pada 35 dB dan terganggu bila tidak ada respon pada 35 dB minimal pada

satu telinga (Taghdiri et al. 2008).

  Sensitivitas OAE sebesar 100% dan spesifisitasnya 82-87%, sedangkan sensitivitas ABR 100% dan spesifisitasnya 97-98%. Bila OAE dilanjutkan dengan AABR dalam 2 tahapan skrining sensitivitasnya menjadi 100% dan spesifisitas 99% (Rundjan et al. 2005). Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi. Tujuan skrining pendengaran adalah menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendegaran yang optimal. Departemen Kesehatan RI telah menetapkan alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia seperti yang terlihat pada gambar 2.1. (HTA Indonesia 2010). Faktor yang merusak pada bayi baru lahir meliputi paparan terhadap toksin, infeksi serebral, iskemia, ketidakseimbangan hormonal yang dapat menyebabkan keterlambatan proses mielinisasi, yang diekspresikan sebagai immaturitas atau disfungsi (Psarommatis et al. 2010). BBLR tiga kali lebih sering mengalami komplikasi neurodevelopmental dan abnormalitas kongenital. BBLR preterm (<32 minggu) kebanyakan mengalami komplikasi yang disebabkan imaturitas anatomik dan fisiologikal. BBLR berisiko mengalami komplikasi yang dapat meninggalkan sekuele permanen (Singh, Chouhan & Sidhu 2009). Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh karena kegagalan perkembangan satu atau lebih dari bagian sistem auditori atau terhentinya proses perkembangan pada tahap tertentu. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan degenerasi mekanisme perkembangan pendengaran (Arpino et al. 2010).

  Tahap perkembangan otak yang berkesinambungan merupakan faktor yang sangat penting. Otak bayi yang cukup bulan sangat berbeda dengan otak bayi preterm dimana maturasi otak terhenti pada tahap kritis perkembangan sarafnya. Kelahiran premature menyebabkan bayi kemungkinan mengalami dampak gangguan perkembangan otak yang selanjutnya mengganggu fungsi psikologikal selama hidup (Arpino et al. 2010).

Gambar 2.1. Alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia (HTA Indonesia 2010).

  Lebih dari 3% bayi yang lahir <28 minggu umur kehamilan menunjukkan gangguan pendengaran yang bervariasi antara tuli konduktif dan tuli sensorineural. Gangguan pendengaran tersebut 25 kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi gangguan pendengaran yang didapat pada populasi pediatrik. Suatu penelitian nested case-control menunjukkan pada umur kehamilan 20-23 minggu terdapat prevalensi gangguan pedengaran sebesar 1,435%, 0,63% pada 24-28 minggu, 0,19% pada 29-32 minggu dan 0,1% pada 33-36 minggu (Arpino et al. 2010). Faktor perinatal dapat menyebabkan persalinan preterm dan komplikasi perinatal/neonatal dapat merusak fungsi auditori dan perkembangan dininya. Faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran pada bayi sangat bervariasi, seperti hipoksia, hiperbilirubinemia, penggunaan inkubator yang bising, dan paparan antibiotik yang potensial ototoksik untuk pengobatan infeksi yang mengancam jiwa (Arpino et al. 2010).

  Hipoksia/iskemia dan infeksi/inflamasi membran plasenta pada bayi preterm tampaknya memegang peran utama terhadap gangguan neurologikal yang terjadi, disamping adanya faktor prenatal, perinatal dan postnatal (Arpino et al. 2010).

  Seiring dengan kurangnya umur kehamilan, didapati peningkatan risiko kerusakan otak (kerusakan white matter, perdarahan intraventrikular dan kerusakan kortikal dan deep gray matter), sehingga akan mengakibatkan gangguan klinis selanjutnya. Persalinan dini mengganggu perkembangan otak dan waktu proses neurobiologikal. Proses ini meliputi migrasi neuronal dan differensiasi, sprouting akson dan dendrit, formasi sinaps, myelination, programmed cell death dan struktur transien yang persisten. Proporsi pertumbuhan otak yang signifikan, perkembangan dan

  

networking ditemui kira-kira dalam 6 minggu terakhir masa gestasi

(Arpino et al. 2010).

  Spektrum gangguan klinis pada anak yang preterm meliputi cerebral palsy (CP), developmental coordination disorder (DCD), gangguan neurosensoris, termasuk pendengaran perifer dan sentral, gangguan visual dan gangguan psikiatri (Arpino et al. 2010). Seiring dengan tingkat imaturitas dan rendahnya berat badan lahir, maka lebih besar pula defisit intelektual dan neurologis yang akan terjadi, sebanyak 50% bayi dengan berat 500-750 gram mengalami gangguan perkembangan neurologis yaitu kebutaan, tuli, retardasi mental dan

  cerebral palsy (Stoll & Adams-Chapman 2007).

  Lebih kurang 50% kasus gangguan pendengaran pada neonatus diperkirakan disebabkan defek genetik. Aminoglikosida dan loop diuretik telah lama diketahui memiliki efek ototoksik sehingga penggunaannya harus sesuai standar, faktor risiko lain adalah paparan bising, infeksi cytomegalovirus, hipoksia dan hiperbilirubinemia (Cristobal & Oghalai 2008; Herwanto 2012).

  Anak dengan berat lahir rendah berisiko tinggi menderita gangguan pendengaran sensorineural. Kemungkinan penyebabnya adalah bahwa telinga tidak sepenuhnya berkembang jika janin tumbuh lebih lambat dari normal dalam rahim (Folkehelseinstituttet 2008).

  Prematuritas dan BBLR berhubungan dengan peningkatan risiko tuli sensorineural. Lebih dari 27% bayi prematur dengan berat lahir sangat rendah diketahui mengalami peningkatan latensi ABR dan interval pada umur aterm (cukup bulan), yang menunjukkan gangguan pendengaran perifer dan/atau sentral (Reiman et al. 2009). Pada tuli sensorineural

terdapat pemanjangan latensi gelombang V terhadap stimulus click

intensitas rendah (Donohoe 1988).

  

ABR merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi defisit kecil

dalam konduksi impuls jaras auditori. Sebagai contoh, keterlambatan pada mielinasi tidak harus menyebabkan gangguan pendengaran secara klinis, tetapi masih dapat menyebabkan perlambatan konduksi impuls yang terlihat sebagai prolongasi latensi ABR dan interpeak intervals. Pada bayi dengan ambang pedengaran normal, perlambatan latensi gelombang V dan interval I–III dan I–V pada rekaman ABR berhubungan dengan besarnya variasi komplikasi perinatal, seperti perdarahan intraventrikular

derajat III sampai IV, periventrikular leukomalasia, severe

  

hyperbilirubinaemia, meningitis bakterial, severe respiratory distress

syndrome dan pneumonia (Reiman et al. 2009).

  

Pada bayi prematur, gangguan pendengaran berhubungan dengan lesi

otak dan volume batang otak yang kecil. Selain itu, abnormalitas dalam

migrasi dan mielinisasi yang telihat pada MRI konvensional telah

dihubungkan dengan tuli sensorineural. Perubahan kecil pada struktur

white-matter otak dapat dicitrakan dengan menggunakan diffusion tensor

imaging (DTI), dimana ditemui white-matter pada neonatus membesar

seiring dengan pertambahan umur dan pada bayi preterm meningkat

sesuai dengan umur kehamilan. Sebagai tambahan, kurangnya white-

matter telah dihubungkan dengan perinatal white-matter injury. Pada

penelitian yang menggunakan DTI terhadap pasien dengan gangguan

pendengaran sensorineural didapati kolikulus inferior yang merupakan

lokasi utama pada konvergensi bypassing tracts, adalah area yang sangat

sensitif terhadap kerusakan neuronal pada jaras auditori (Reiman et al.

2009).

  Mekanisme patofisiologi dari gangguan pendengaran sensorineural yang reversibel belum diketahui. Maturasi Susunan Saraf Pusat yang berkembang lambat dan dalam periode yang lama dapat dikatakan bertanggung jawab terhadap membaiknya hasil ABR (Psarommatis et al. 2010).

2.3. Fisiologi Pendengaran

  Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Mills, Khariwala & Weber 2006; MØller 2006; Gacek 2009). Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009).

2.4. Perkembangan Respon Neonatal

  Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan, bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye

  

widening (melebarkan mata), cessation (berhenti menyusu) dan grimacing

atau mengerutkan wajah (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia 2010).

  Respon-respon ini tidak terjadi dengan suara yang tenang dan intensitas suara yang rendah. Nada murni antara 500-4000 Hz dengan intensitas 85 – 95 dB dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu. Adanya suatu respon sangat tergantung pada keadaan psikofisiologikal anak. Untuk alasan ini maka tidak mungkin untuk menilai ambang pendengaran neonatal secara akurat dengan teknik perilaku (Bellman & Vanniasegaram 1997; Feldman & Grimes 1997).

2.5. Emisi Otoakustik

  Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus eksternus. Suara yang dihasilkan oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik dihasilkan hanya bila organ korti dalam keadaan mendekati normal, dan telinga tengah berfungsi dengan baik (Kemp 2002; Donovalova 2006; Hall & Antonelli 2006).

  Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve & Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip). Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah menjadi elektrik agar mudah diproses (Kemp 2002; Hall & Antonelli 2006).

  Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani yang ditransmisikan dari koklea menuju telinga tengah secara spontan ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang baik. Koklea tidak secara signifikan memancarkan suara ke udara di kavum timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan sedikit udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga harus ditutup ( Kemp 2002; Hall & Antonelli 2006).

  Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal sebagai “cochlear amplifier” yang menyebabkan adanya suatu gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010). Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone, kemudian terjadi biomekanik dari membran basilaris sehingga menghasilkan amplifikasi energi intrakoklea dan tuning koklea. Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem telinga tengah dan membran timpani menuju liang telinga (Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010). Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria

  

pass (lulus) atau refer (tidak lulus). Hasil pass menunjukkan keadaan

  koklea baik; sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea (Abdullah et al. 2006).

  Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik

  Suara yang digunakan untuk memperoleh emisi ditransmisikan melalui telinga luar, pada saat rangsang auditori dirubah dari sinyal akustik menjadi sinyal mekanik di membran timpani dan ditransmisikan melalui tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari membran basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu (Kemp 2002; Campbell 2006). Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang jauh dari foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali dan direkam menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan frekuensi paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

  Saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal eferen diemisikan. Sinyal eferen ditransmisikan kembali melalui jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga (Campbell 2006; Møller 2006).

  Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis sinyal bunyi. Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan kemampuan sel-sel rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil, sel-sel rambut luar secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan cara gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam (Møller 2006).

  Tujuan pemeriksaan Emisi Otoakustik

  Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006) :

  a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu dengan gangguan perkembangan).

  b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.

  c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan pendengaran sensorineural.

  d. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).

  Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan respon tingkah laku.

  Syarat-syarat menghasilkan otoacoustic emission (Campbell 2006):

  a. Liang telinga luar tidak obstruksi b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe. c. Posisi optimal dari probe

  d. Tidak ada penyakit telinga tengah

  e. Sel rambut luar masih berfungsi

  f. Pasien kooperatif g. Lingkungan sekitar tenang. Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer, meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal dari koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh mikrofon. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan ambang dengar individu (Campbell 2006). Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah evoked

  otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).

  Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

  a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan).

  b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked

  otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang

  dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.

  c. Distortion product otoacoustic emissions (DPOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.

  d. Sustained-frequncy otoacoustic emissions (SFOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan /kontinyu (Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).

  Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs)

  Jenis ini menggunakan 2 stimulus terdiri dari dua bunyi nada murni pada dua frekuensi (contoh: f1, f2; ( f2 > f1)) dan dua level intensitas (contoh: L1, L2) yang diberikan sekaligus. Pada DPOAEs spektrum frekuensi yang diperiksa lebih luas dibandingkan dengan TEOAEs, dapat mencapat frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAEs merupakan hasil distorsi intermodulasi yang ditransduksi balik ke telinga tengah yang diubah menjadi energi akustik yang di ukur di liang telinga. Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2 menunjukkan respon frekuensi. Untuk menghasilkan respon optimal, instensitasnya diatur sehingga L1 menyamai atau melebihi L2. Merendahkan intensitas absolut dari stimulus yang dibuat, DPOAEs menjadi lebih sensitif terhadap abnormalitas. Setting 65/55 dB L1-L2 adalah yang sering digunakan. Respon biasanya lebih bagus atau kuat dan direkam pada frekuensi yang dipancarkan dari f1-f2, hal tersebut dibuat dalam bentuk grafik sesuai dengan f2, karena kawasan tersebut memperkirakan regio frekuensi koklea yang menghasilkan respon (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Gambar 2.2. Peralatan dan prosedur pemeriksaan DPOAEs (Hall &

  Antonelli 2006)

  

DPOAEs dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat

digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi daripada TEOAEs.

DPOAEs dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat

  obat-obat ototoksik dan akibat bising (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Tabel 2.1. Data DPOAEs Normal* (Vivosonic 2011)

  Frequency 750 1000 1500 2000 3000 4000 6000 8000 95th

  5.95

  7.65 3.83 -0.9 -2.3 0.18 -2.08 -9.97 (Impaired) 90th le

  2.4

  4.4 0.43 -3.5 -5.55 -4.42 -6.88 -12.85 ti (Impaired) en c 10th er

  • 10.4 -8.1 -6.73 -9.85 -11.5 -5.93 -7.84 -22.2

  P (Normal) 5th

  • 13.6 -12.05 -9.8 -13.9 -16.25 -9.23 -11 -26

  (Normal)

  • Data dikumpulkan dengan parameter pengukuran berikut: L1= 65 dBSPL L2= 55 dB SPL F2/F1 Ratio= 1.22

2.6. Brainstem Evoked Response Audiometry

  

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu teknik

pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi.

  Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh Jewett dan Wilson pada tahun 1971. BERA merupakan tes elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim oleh suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone (Hall & Antonelli 2006).

  BERA dapat direkam pada bayi prematur umur 28-30 minggu. Kadang- kadang BERA tidak timbul pada bayi normal yang dilahirkan pada umur kehamilan ibu 30-34 minggu, kecuali bila digunakan intensitas 90-110 dB BERA dapat direkam setelah umur 30 minggu (Resor 1988). Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat objektif (Bhattcharrya 2006; Hall & Antonelli 2006). Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (70- 90 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006). Komponen Gelombang:

  a. Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.

  b. Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII.

  c. Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.

  d. Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.

  e. Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral.

  Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.

  f. Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari Thalamus (Medial geniculated body), tetapi lokasi pastinya masih belum jelas.

  Mekanisme pemeriksaan BERA Rangsangan bunyi diberikan melalui headphone yang telah diatur pada level kontrol akan menempuh perjalanan melalui koklea → nukleus koklearis

  →nukleus olivarius superior→ lemniskus lateral→ kolikulus inferior →korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan akan diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer. Penilaian BERA (Arnold 2000; Bhattcharrya 2006; Hall & Antonelli 2006) a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.

  Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V. b. Interwave latency I-V, I-III, I-V.

  Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang

  III, dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke gelombang V.

  c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency) yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III. Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.

  d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity

  function)

  Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan dengan ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap terlihat dengan memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil intensitas yang diberikan, maka gelombang BERA akan menghilang kecuali gelombang V yang dapat terlihat sampai pada level 5-20 dB.

  e. Rasio amplitudo gelombang V/I.

  Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur kemudian dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa gelombang V harus lebih besar dari gelombang I dengan hasil > 1,0. Pada kasus kelainan retrokoklea, ratio amplitudo gelombang V/I akan menurun yaitu <1,0.

Tabel 2.2. Data Latensi ABR Normal (Vivosonic 2011)

  7.24

  0.24 26 wk Mean

  0.26

  0.29

  0.29

  0.3

  0.36

  6.59 SD

  6.76

  6.96

  7.63

  7.44

  8.04

  0.26 12 wk Mean

  0.28

  0.31

  0.32

  0.34

  0.4

  6.61 SD

  6.78

  7.04

  7.8

  7.1

  7.69

  6.1

  Perkembangan dari pharyngeal apparatus embrio membentuk 3 komponen yaitu lengkung brankial (faringeal), kantong brankial dan celah brankial, dimana lengkung brankial merupakan unsur pokok tempat berkembangnya struktur-struktur dari lapisan mesoderm embrio seperti jaringan otot, elemen pembuluh darah dan sel-sel neural crest yang nantinya akan membentuk jaringan tulang dan jaringan syaraf. Oleh karena itu apabila terjadi gangguan perkembangan pada lengkung

  Perkembangan struktur kepala dan leher dari mamalia merupakan hasil diferensiasi jaringan lunak dari embrio mamalia, dimana struktur kepala dan leher berasal dari jaringan lunak di daerah Pharyngeal Apparatus dari embrio (Choo & Richter 2009).

  0.23

  0.23

  0.23

  0.25

  0.3

  0.4

  5.75 SD

  5.89

  6.46

  6.83

  6.82

  7.32

  0.29 Adult Mean

  0.31

  0.38

  0.42

  0.46

  0.37

  6.38 SD

  6.58

  7.32

  8.13

  Age in weeks 25 dB 35 dB 45 dB 55 dB 65 dB 75 dB

  0.5

  0.4

  0.42

  0.51

  6.89 SD

  7.1

  7.37

  7.7

  8.05

  8.5

  0.47 2 wk Mean

  0.51

  0.37

  0.63

  0.68

  0.58

  7.24 SD

  7.5

  7.76

  8.05

  8.53

  8.92

  Newborn Mean

  0.34

  0.36 4 wk Mean

  0.28 9 wk Mean

  8.25

  0.28

  0.31

  0.3

  0.32

  0.32

  6.73 SD

  6.93

  7.18

  7.46

  7.8

  0.35 6 wk Mean

  8.41

  0.35

  0.35

  0.35

  0.38

  0.45

  6.87 SD

  7.07

  7.32

  7.6

  7.98

2.7. Embriologi Telinga

  brankial akan menyebabkan kelainan kongenital pada struktur kepala dan leher (Wareing, Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).

  Periode yang penting untuk perkembangan telinga adalah pada minggu ke-3 setelah fertilisasi, dimana telinga dalam terlebih dahulu dibentuk. Telinga luar, tengah dan dalam berasal dari embriologi yang berbeda dan perkembangannya dapat terganggu pada tingkatan manapun sehingga dapat menimbulkan abnormalitas yang sangat bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang berat (Wright 1997; Wareing , Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).

  Perkembangan auditori berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (HTA Indonesia 2010). Jaringan pada kepala dan leher berasal dari 3 lapisan embrio yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Wareing, Lalwani & Jackler 2006). Perkembangan prenatal dibagi menjadi beberapa periode yang terpisah. Periode pertama dimulai dari saat implantasi blastosis ke dalam dinding uterus hingga sirkulasi intraembrionik mulai terbentuk, selama periode singkat ini - sekitar 21 hari – ketiga lapisan embrio yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm berkembang membentuk lempengan yang datar dan memanjang yang mengandung notochord. Struktur seperti batang ini berasal dari lapisan ektoderm dan memanjang sepanjang embrionic disc (potongan embrio) mulai dari membran buccopharyngeal sampai ke membran cloacal, dimana lapisan ektoderm dan lapisan endoderm bertemu. Periode kedua yang berlangsung selama 35 hari (akhir minggu ke-8) yang dinamakan periode embrionik, selama periode ini terjadi pertumbuhan yang cepat dan diferensiasi tingkat seluler sehingga pada saat hari ke-56 semua sistem utama dan organ telah terbentuk, dan embrio memiliki bentuk yang dapat dinyatakan sebagai manusia. Waktu yang tersisa yaitu 7 bulan masa gestasi disebut periode fetal, dimana pertumbuhan yang cepat hanya ditandai dengan perubahan bentuk serta perubahan posisi antara struktur yang satu dengan yang lain dan tidak ditemukannya diferensiasi sel baru seperti yang terjadi pada periode embrionik (Kenna 1990; Anson, Davies & Duckert 1991; Wright 1997).

2.7.1. Perkembangan telinga dalam

  Struktur telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran berisi cairan yang dibentuk dari lapisan ektoderm dan labirin bagian tulang (otic

  

capsule) yang dibentuk dari lapisan mesoderm dan neural crest (Choo &

Richter 2009).

a. Labirin bagian membran

  Telinga bagian dalam merupakan bagian yang pertama kali dibentuk dan berkembang dibandingkan dengan bagian telinga yang lain. Pada akhir minggu ke-3 masa gestasi (hari ke-22) atau disebut juga periode 7 somit, lapisan ektoderm yang berada di depan occipital somite mengalami penebalan pada masing-masing sisi dari neural groove yang masih terbuka dimana penebalan ini disebut dengan otic placode. Lapisan mesoderm yang berada disekitar otic placode berproliferasi sehingga perlahan-lahan membuat lapisan ektoderm yang membentuk otic placode makin lama makin menyempit dan membentuk otic pit dimana pada akhirnya otic placode akan lenyap dari permukaan luar dan membentuk

  

otocyst (otic vesicle), yang akan menjadi cikal bakal pembentukan labirin

bagian membran (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

  Otocyst terletak diantara lengkung brankial kedua dan lengkung brankial ketiga yang akan mengalami perkembangan dan perubahan bentuk secara dramatis sehingga mencapai bentuk dewasa pada minggu ke-10 dan mencapai ukuran dewasa pada minggu ke-20 (Wareing, Lalwani & Jackler 2006). Dalam perkembangannya, otocyst lebih berkembang ke arah panjang daripada lebar, hal ini menyebabkan otocyst dapat dibagi menjadi tiga daerah dan terlihat jelas pada minggu ke-5 masa gestasi, yaitu daerah kranial yang akan berkembang menjadi saluran endolimfatik (endolympatic duct), daerah kaudal yang akan berkembang menjadi saluran kohlea (cochlear duct), dan daerah tengah atau daerah utrikulosakular (utriculosaccular area) yang akan berkembang menjadi sistem vestibular.

Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4 masa gestasi, pembentukan otocyst dari otic placode (Wareing,

  Lalwani & Jackler 2006). Daerah utrikulosakular terus berkembang sehingga pada bagian utrikulo muncul 3 buah kantong yaitu di bagian superior, posterior dan lateral yang akan membentuk kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral dimana kanalis semisirkularis superior terlebih dahulu terbentuk secara lengkap pada minggu ke-6 kemudian diikuti oleh kanalis semisirkularis posterior dan yang terakhir dibentuk adalah kanalis semisirkularis lateral. Saluran kohlea (cochlear duct) juga mulai mengalami perkembangan secara cepat sehingga membentuk 1,5 putaran pada minggu ke-8 serta telah mencapai putaran penuh yaitu 2,5 putaran pada minggu ke-10 masa gestasi, walaupun belum mencapai panjang keseluruhan, yang baru akan dicapai pada minggu ke-20 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006). Epitel sensoris, 3 buah krista, 2 buah makula, dan organ korti dari kohlea dibentuk dari lapisan ektoderm otocyst. Makula berkembang pada minggu ke-7 masa gestasi yang berasal dari sekitar daerah tempat masuknya serabut saraf ke dalam utrikulus dan sakulus. Membrana otokonial mulai terbentuk pada minggu ke-12 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006). Epitel sensoris dari kohlea mulai berkembang pada minggu ke-7, bersamaan dengan itu saluran kohlea juga mulai berkembang dan membentuk putaran, pada dinding medial kohlea lapisan dari epitel sensoris ini mengalami perubahan menjadi bentuk seperti spiral sebanyak 2 lapisan sepanjang kohlea. Bagian spiral yang sebelah dalam dan mempunyai ukuran lebih besar akan berkembang menjadi sel rambut dalam (inner hair cell) dan membran tektorial, sedangkan bagian spiral yang lebih kecil yaitu pada bagian luar akan berkembang menjadi sel rambut luar (outer hair cell). Sel-sel rambut ini dapat dikenali secara jelas pada minggu ke-11 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

  Organ korti berasal dan berkembang dari bagian dinding posterior saluran kohlea (cochlear duct), pada saat saluran kohlea terus bertambah panjang dan apabila pada waktu yang bersamaan dilakukan potongan lintang maka terlihat bahwa struktur dalam dari saluran kohlea berubah bentuk, yang awalnya berbentuk lingkaran kemudian berubah menjadi oval dan akhirnya berubah menjadi triangular. Bagian dinding posterior saluran kohlea berkembang menjadi organ korti, dinding anterior berkembang menjadi sebagian dari membran Reissner dan dinding lateral berkembang menjadi stria vaskularis (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

b. Labirin bagian tulang

  Lapisan mesoderm yang berada disekitar labirin bagian membran mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan sehingga menghasilkan 2 macam formasi bentuk yaitu tulang rawan otic capsule dan ruang perilimfatik (perilymphatic space) yang mengandung cairan perilimfe pada minggu ke-8 masa gestasi. Di dalam kohlea ruang perilimfatik ini berkembang menjadi 2 bagian yaitu skala timpani dan skala vestibuli dimana skala timpani dibentuk terlebih dahulu. Proses osifikasi (penulangan) dari tulang rawan otik kapsul baru dimulai ketika labirin bagian membran mencapai ukuran dewasa, proses penulangan dimulai sekitar minggu ke-15 masa gestasi dan berakhir pada minggu ke-21 (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Gambar 2.4. Diagram yang menunjukkan perkembangan labirin bagian tulang. Potongan lintang kohlea yang menggambarkan perkembangan

  organ korti, labirin tulang, dan ruang perilympatik pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12 masa gestasi (Choo & Richter 2009).

2.7.2. Gangguan perkembangan telinga dalam

  Secara klinis gangguan perkembangan telinga dalam dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

  1. Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran 2. Gangguan perkembangan pada labirin membran. Abnormalitas dari telinga bagian dalam dapat disebabkan oleh perkembangan yang terhambat ataupun perkembangan yang menyimpang dimana faktor-faktor yang terlibat dan dapat menimbulkan hal ini sangat bervariasi berupa faktor genetik, maupun faktor teratogenik (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

  Gambaran histopatologis yang sering dijumpai pada tuli kongenital adalah kohleasakular displasia yang diakibatkan oleh terhambatnya perkembangan bagian kaudal dari otocyst, sehingga sebagian atau seluruh bagian dari organ korti tidak terbentuk, yang pertama kali digambarkan oleh Scheibe pada tahun 1892. Saluran kohlea dan sakulus mengalami kolaps, dan stria vaskularis mengalami degenerasi sedangkan utrikulus dan kanalis semisirkularis normal (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

  Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran kebanyakan disebabkan oleh perkembangan yang terhambat pada minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada masa gestasi. Labirin aplasia menyeluruh (Michel malformation) merupakan abnormalitas yang sangat berat dan sangat jarang terjadi dimana diduga akibat dari kegagalan

  otocyst untuk berkembang. Kohlea aplasia, hipoplasia, dan pemisahan

  saluran kohlea (cochlear duct) yang tidak sempurna merupakan kelainan- kelainan atau abnormalitas akibat dari perkembangan kohlea yang terhambat pada minggu ke-5, 6, dan 7 pada masa gestasi. Displasia dari kanalis semisirkularis disebabkan oleh kegagalan penyatuan epitel sentral dimana kanalis semisirkularis lateral yang paling sering terkena dimana hal ini disebabkan karena kanalis semisirkularis lateral merupakan yang terakhir berkembang (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Tabel 2.3. Perkembangan Embriologi Telinga (Wareing, Lalwani & Jackler

  2006) Umur Telinga Luar Telinga Tengah Telinga Dalam Fetus (minggu)

  3 Otic placode dan Ganglia vestibulokohlear terbentuk.

  4 Liang telinga luar Otocyst terbentuk

  

Tubotympanic

  mulai recess terlihat berkembang

  5 Hillocks mulai Tulang-tulang Otocyst mulai terbagi terlihat. pendengaran mulai menjadi vestibular berkondensasi and kohlear. pada mesenkim. Kanalis semisirkularis mulai terbentuk;

  Ganglia vestbulokohlearis mulai terpisah

  6 Semua hillocks Malleus dan Inkus Kanalis semisirkularis menjadi terpisah. mulai terlihat. superior terbentuk sempurna. Utrikulus dan sakulus terbentuk; Saluran kohlea mulai terbentuk.

  7 Makula terbentuk; Epitel sensoris pada kohlea mulai terbentuk

  8 Daun telinga Sendi Duktus reuniens mulai terlihat Inkudomaleolar dan mulai terlihat; Kohlea sebagai bentuk inkudostapedial membentuk 1½ dewasa terbentuk. putaran; Krista vaskularis terbentuk.

  Otic capsules terbentuk.

  9 Membrana timpani Serabut saraf membentuk 3 memasuki epitel lapisan. sensoris ; oval window terbentuk

  10 Stapes berbentuk sanggurdi; Saraf fasialis memasuki telinga tengah.

  Kavum timpani mulai terbuka.

  

Mastoid air cells

  34 Tulang pendengaran mengambil tempat pada telinga tengah.

Dokumen yang terkait

Karakteristik Ibu dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSU Sundari Medan Tahun 2012.

3 75 121

Profil Kelahiran Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP Haji Adam Malik MedanTahun 2011-2012

3 76 61

Profil Kelahiran Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012.

0 50 61

Gambaran Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) dan Auditory Brainstem Response(ABR) Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUP H. Adam Malik Medan

4 58 129

Hubungan Preeklampsia dengan Berat Bayi Lahir Rendah di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009.

0 74 62

Hubungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Pneumonia pada Balita

2 58 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah - Pengaruh Karakteristik Ibu dan Pelayanan Antenatal Care Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Desa Bukit Rata Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1. Definisi Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah - Profil Kelahiran Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP Haji Adam Malik MedanTahun 2011-2012

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1. Definisi Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah - Profil Kelahiran Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012.

0 1 6

Gambaran Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) dan Auditory Brainstem Response(ABR) Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 7