Gambaran Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) dan Auditory Brainstem Response(ABR) Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

GAMBARAN DISTORTION PRODUCT OTOACOUSTIC EMISSIONs (DPOAEs) DAN AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (ABR)

PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Oleh:

dr. SARA YOSEPHINE ARUAN

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

GAMBARAN DISTORTION PRODUCT OTOACOUSTIC EMISSIONs (DPOAEs) DAN AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (ABR)

PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

dr. SARA YOSEPHINE ARUAN

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera, puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih setia, penyertaan dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dengan judul Gambaran

Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) dan Auditory

Brainstem Response (ABR) Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di

RSUP H. Adam Malik Medan. Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. H. R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL dan dr. Linda I. Adenin, SpTHT-KL sebagai anggota pembimbing. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Rasa terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Fotarisman Zaluchu,SKM,MSi,MPH sebagai pembimbing ahli yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodelogi penelitian dan statistik.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan magister saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(4)

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk mengambil data di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), (Almh) dr. Hafni, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, dr. Ida Sjailandrawati Harahap,


(5)

SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Ashri Yudhistira,M.Ked (ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, SpTHT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang terhormat Kepala Departemen/Staf Ilmu Kesehatan Anak Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) dan Ketua Divisi Perinatologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan Medan yang telah banyak membantu saya dalam mengambil sampel penelitian.

Direktur dan seluruh staf PT. Demka Indonesia, yang telah memberi bantuan dalam pengadaan alat penelitian Integrity V500 dan Vivolink untuk pemeriksaan DPOAEs dan ABR.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda (Alm) Oberlin Aruan dan Ibunda (Alm) Dora Panjaitan, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini.

Yang tercinta Bapak Mertua Kapten Anumerta Dj. Saragi dan (Alm) Ibu Mertua Aspita Situmorang yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada suamiku tercinta Ir. Rekky Parulian Rumahorbo serta ketiga buah hati kami yang amat kusayangi Kevin Nicholas Rumahorbo, Thania


(6)

Azarya Rumahorbo dan Daniel Amadeo Rumahorbo, tiada kata yang lebih indah yang dapat ibunda ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya dan doa kepada ibunda sehingga dengan rahmat Tuhan akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, Oktober 2013 Penulis


(7)

GAMBARAN DISTORTION PRODUCT OTOACOUSTIC EMISSIONs

(DPOAEs) DAN AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (ABR)

PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Pendahuluan: Deteksi dini gangguan pendengaran pada BBLR diperlukan agar dapat dilakukan intervensi untuk mencegah gangguan perkembangan bicara anak selanjutnya. Insidens gangguan pendengaran pada BBLR diperkirakan cukup tinggi, yaitu antara 4-9.7%. Untuk mengetahui gangguan pendengaran pada BBLR dilakukan pemeriksaan dengan DPOAEs dan ABR.

Tujuan : Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR yang dirawat di ruang Perinatologi RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian bersifat deskriptif case study yang menggunakan pengumpulan data primer disertai pengukuran non-intervensi. Didapatkan 32 BBLR yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan DPOAEs dan ABR.

Hasil Penelitian: Dari penelitian terhadap 32 sampel (64 telinga) diperoleh hasil yaitu masing-masing sebanyak 8 bayi (25%) mendapat hasil DPOAEs dan ABR refer. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan ABR, namun tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara variabel lainnya dengan hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR.

Kesimpulan: DPOAEs dan ABR dapat digunakan sebagai alat deteksi dini gangguan pendengaran pada BBLR, walaupun pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang bermakna secara statistik pada sebagian besar variabel yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya jumlah sampel penelitian.


(8)

DISTORTION PRODUCT OTOACOUSTIC EMISSIONs (DPOAEs)

dan AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (ABR) VALUES IN LOW BIRTH WEIGHT (LBW) INFANT

AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

ABSTRACT

Introduction: Early identification of hearing loss in LBW infant has been recognized to be beneficial, as early intervention programmes help to promote normal language development. The incidence of hearing loss in LBW infant was high as 4-9.7%. We using DPOAEs and ABR test to assess hearing loss in LBW infant.

Purpose: To know Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Auditory Brainstem Response (ABR) Values in LBW infant at H. Adam Malik General Hospital Medan.

Methods: A descriptive case-study was conducted in 32 LBW infants who meet the inclusion criteria. Data collection was done through hearing assessment with Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Auditory Brainstem Response (ABR).

Result: From 32 LBW infants (64 ears), eight babies (25%) presented alteration in the Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Auditory Brainstem Response (ABR) test. There is a significant association between gender and ABR result, but there is no significant association between other variables and DPOAEs nor ABR result.

Conclusion: DPOAEs and ABR can be used as an early detection tool of hearing loss in LBW infant, even though this study found no significant association in most of the variables, which may be due to the small sample size.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ………. …..i

KATA PENGANTAR………. …..ii

ABSTRAK………..vi

ABSTRACT………..vii

DAFTAR ISI……….viii

DAFTAR LAMPIRAN………...xi

DAFTAR TABEL………..xii

DAFTAR GAMBAR………xiv

BAB 1. PENDAHULUAN……….1

1.1 Latar Belakang………1

1.2 Rumusan Masalah……… 4

1.3 Tujuan Penelitian………...4

1.3.1 Tujuan umum………. 4

1.3.2 Tujuan khusus……….4

1.4 Manfaat Penelitian……….5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………... 6

2.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)………... 6

2.2 Gangguan Pendengaran Pada Bayi Berat Lahir Rendah………8

2.3 Fisiologi Pendengaran………14

2.4 Perkembangan Respon Neonatal………. ……...15

2.5 Emisi Otoakustik ……….. ………….16

2.6 Brainstem Evoked Response Audiometry………21


(10)

2.7.1 Perkembangan telinga dalam……….. 26

2.7.2 Gangguan perkembangan telinga dalam……… 30

2.8 Anatomi Telinga……….33

2.8.1 Anatomi telinga dalam……….. 33

2.8.2 Sistem saraf pendengaran sentral……… 33

2.9 Kerangka Teori ………. 36

2.10 Kerangka Konsep………. ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian………..38

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian………38

3.3 Populasi dan Sampel………..38

3.3.1 Populasi……….38

3.3.2 Sampel………..38

3.4 Variabel Penelitian ………39

3.5 Definisi Operasional………..39

3.6 Alat dan Bahan Penelitian……….40

3.7 Langkah-langkah Pemeriksaan………41

3.8 Teknik Pengumpulan Data ……… 42

3.9 Pengolahan dan Analisa Data ………... 43

3.10 Masalah Etika ..……….. …… 43

3.11. Kerangka Kerja ………..……… 44

3.12. Jadwal Penelitian ………..…………. 45

BAB 4. HASIL PENELITIAN………..………. 46

4.1. Hasil Analisis Univariat……….. 46


(11)

4.3 Hasil Uji Statistik Pemeriksaan DPOAEs dan ABR……… 53

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 55

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN……… 64

6.1. Kesimpulan……… 64

6.2. Saran ………. 65

DAFTAR PUSTAKA……….. 66


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1………73

Lampiran 2………75

Lampiran 3……… 77

Lampiran 4………78

Lampiran 5………79

Lampiran 6………80

Lampiran 7………82

Lampiran 8………..110


(13)

DAFTAR TABEL Halaman

Tabel 2.1. Data DPOAEs Normal ………. 21 Tabel 2.2. Data Latensi ABR Normal……… 24 Tabel 2.3. Perkembangan Embriologi Telinga………. 31 Tabel 4.1. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin….. 46 Tabel 4.2. Distribusi subjek penelitian berdasarkan berat lahir……… 46 Tabel 4.3. Distribusi subjek penelitian berdasarkan umur bayi………. 47 Tabel 4.4. Distribusi subjek penelitian berdasarkan umur kehamilan

ibu………...

47 Tabel 4.5. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil DPOAEs

berdasarkan jenis kelamin ... 47 Tabel 4.6. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil ABR berdasarkan

jenis kelamin ……….. 48

Tabel 4.7. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil DPOAEs

berdasarkan kelompok berat lahir ………. 48 Tabel 4.8. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil ABR

berdasarkan kelompok berat lahir ………. 49 Tabel 4.9. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil DPOAEs

berdasarkan kelompok umur bayi ………. 49 Tabel 4.10 Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil ABR

berdasarkan kelompok umur bayi ………. 50 Tabel 4.11. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil DPOAEs

berdasarkan kelompok umur kehamilan ibu ……….. 50 Tabel 4.12. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil ABR berdasarkan

kelompok umur kehamilan ibu ……… 51 Tabel 4.13. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil DPOAEs

berdasarkan telinga yang terlibat ……….. 51 Tabel 4.14. Distribusi frekuensi BBLR dengan hasil ABR


(14)

berdasarkan telinga yang terlibat ……….. 52 Tabel 4.15. Distribusi frekuensi hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR 52 Tabel 4.16.

Tabel 4.17.

Hasil uji statistik pemeriksaan DPOAEs ……… Hasil uji statistik pemeriksaan ABR ………...

53 53


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1.

Gambar 2.2. Gambar 2.3.

Gambar 2.4.

Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 3.1. Gambar 3.2.

Alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia ……….. Peralatan dan prosedur pemeriksaan DPOAEs …… Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4 masa gestasi, pembentukan otocyst dari otic placode ……….. Diagram yang menunjukkan perkembangan labirin bagian tulang. Potongan lintang kohlea yang menggambarkan perkembangan organ korti, labirin tulang, dan ruang perilympatik pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12 masa gestasi. ……… Kerangka Teori ………. Kerangka Konsep ……… Alat pemeriksaan DPOAEs dan ABR dengan Vivosonic Integrity 500 ……… Kerangka Kerja ……….

11 20

27

29 36 37 42 44


(16)

GAMBARAN DISTORTION PRODUCT OTOACOUSTIC EMISSIONs

(DPOAEs) DAN AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (ABR)

PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Pendahuluan: Deteksi dini gangguan pendengaran pada BBLR diperlukan agar dapat dilakukan intervensi untuk mencegah gangguan perkembangan bicara anak selanjutnya. Insidens gangguan pendengaran pada BBLR diperkirakan cukup tinggi, yaitu antara 4-9.7%. Untuk mengetahui gangguan pendengaran pada BBLR dilakukan pemeriksaan dengan DPOAEs dan ABR.

Tujuan : Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR yang dirawat di ruang Perinatologi RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian bersifat deskriptif case study yang menggunakan pengumpulan data primer disertai pengukuran non-intervensi. Didapatkan 32 BBLR yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan DPOAEs dan ABR.

Hasil Penelitian: Dari penelitian terhadap 32 sampel (64 telinga) diperoleh hasil yaitu masing-masing sebanyak 8 bayi (25%) mendapat hasil DPOAEs dan ABR refer. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan ABR, namun tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara variabel lainnya dengan hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR.

Kesimpulan: DPOAEs dan ABR dapat digunakan sebagai alat deteksi dini gangguan pendengaran pada BBLR, walaupun pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang bermakna secara statistik pada sebagian besar variabel yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya jumlah sampel penelitian.


(17)

DISTORTION PRODUCT OTOACOUSTIC EMISSIONs (DPOAEs)

dan AUDITORY BRAINSTEM RESPONSE (ABR) VALUES IN LOW BIRTH WEIGHT (LBW) INFANT

AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

ABSTRACT

Introduction: Early identification of hearing loss in LBW infant has been recognized to be beneficial, as early intervention programmes help to promote normal language development. The incidence of hearing loss in LBW infant was high as 4-9.7%. We using DPOAEs and ABR test to assess hearing loss in LBW infant.

Purpose: To know Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Auditory Brainstem Response (ABR) Values in LBW infant at H. Adam Malik General Hospital Medan.

Methods: A descriptive case-study was conducted in 32 LBW infants who meet the inclusion criteria. Data collection was done through hearing assessment with Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Auditory Brainstem Response (ABR).

Result: From 32 LBW infants (64 ears), eight babies (25%) presented alteration in the Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) and Auditory Brainstem Response (ABR) test. There is a significant association between gender and ABR result, but there is no significant association between other variables and DPOAEs nor ABR result.

Conclusion: DPOAEs and ABR can be used as an early detection tool of hearing loss in LBW infant, even though this study found no significant association in most of the variables, which may be due to the small sample size.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan indera pendengaran merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah membuat rencana Strategi Nasional dalam penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian, yang disesuaikan dengan UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan (UU Republik Indonesia 2009; Bashiruddin 2010).

Tahun 1993 National Institute of Health Consencus Conference menganjurkan program Universal Newborn Hearing Screening. Setahun kemudian American Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan program Universal Detection of Hearing Loss in Infants yang sudah harus dilakukan pada bayi usia 3 bulan dan program habilitasi sudah harus dimulai pada usia 6 bulan. Hampir seluruh negara sudah mencanangkan program ini, namun Indonesia baru mulai mencoba melakukannya di beberapa Rumah Sakit (American Academy of Pediatrics 2007; Bashiruddin 2010).

Masih banyak kendala dalam penemuan kasus gangguan pendengaran di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, informasi, perhatian dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menemukan kasus gangguan pendengaran sejak dini (Bashiruddin 2010).

Di Indonesia insidens gangguan pendengaran atau ketulian sejak lahir belum diketahui. Namun dari data yang diperoleh dari Survei Kesehatan Indera penglihatan dan pendengaran di 7 Propinsi (1994-1996) dengan 19.375 responden didapatkan prevalensi gangguan pendengaran 16,8%.


(19)

Di seluruh dunia ada sekitar 0,1-0,3% bayi yang tuli sejak lahir (Hendarmin 2006).

Tuli pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Faktor risikonya antara lain adalah kadar bilirubin yang tinggi (jaundice), prematuritas atau bayi berat lahir rendah (BBLR), obat-obat ototoksik, ventilasi mekanik yang lama, Apgar score rendah dan meningitis (Bashiruddin 2009).

Salah satu faktor risiko gangguan pendengaran adalah BBLR. Masalah yang sering terjadi pada BBLR adalah keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan termasuk gangguan pendengaran yang kemungkinan disebabkan gangguan perkembangan neurologi dan sensoris (Norton & Perkins 2005; Reynolds 2006; Roberts, Anderson & Doyle 2009; Sangtawesin, Singarj & Kanjanapattanakul 2011).

Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR terdapat di negara berkembang. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu

daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, dari hasil penelitian multisenter di 7 daerah diperoleh angka BBLR

antara 2,1%-17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), angka BBLR sekitar 7,5% (Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011). Di RSUP H. Adam Malik sejak tahun 2009-2012 didapatkan angka kelahiran bayi dengan BBLR sebanyak 285 bayi .

Gangguan pendengaran sejak lahir dapat menimbulkan gangguan perkembangan bahasa, komunikasi, kognitif, tingkah laku, perkembangan sosial dan emosional. Gangguan pendengaran ini juga dapat berjalan lambat sehingga gagal didiagnosis, sebab itu diagnosis dini dan intervensi yang cepat merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan dan prognosis anak (Cristobal & Oghalai 2008; Taghdiri et al. 2008; Bashiruddin 2010).


(20)

Suatu penelitian transversal selama 2 tahun di Hospital de Clínicas de Porto Alegre dari 96 BBLR yang diperiksa dengan distortion product otoacoustic emissions dan auditory brainstem response didapati 6 (6,3%) neonatus mengalami gangguan pendengaran (Uchôa et al. 2003).

Studi kohort di Israel dari 346 bayi berat lahir sangat rendah, yang mendapat hasil refer adalah 12,8% dan 87,2% mendapatkan hasil pass pada pemeriksaan dengan transient evoked otoacoustic emissions (Roth et al. 2006).

Penelitian di Iran mulai tahun 2005-2006 didapati hubungan statistik yang bermakna antara berat lahir kurang dari 1500 gram dengan hasil automated auditory brainstem response (AABR) yang abnormal (Taghdiri, et al. 2008).

Penelitian di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi Medan didapatkan faktor risiko terbanyak yang menghasilkan bilateral refer adalah faktor risiko BBLR yaitu sebesar 57,14% atau 4 bayi (Trihandani 2009).

Bayi berat lahir sangat rendah mempunyai hubungan bermakna dengan hasil skrining pendengaran yang failed. Didapatkan 4 (10,5%) bayi berat lahir sangat rendah yang diperiksa dengan AABR mendapat hasil failed

Otoacoustic emissions (OAE) dan AABR direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus. Baik transient evoked otoacoustic emissions (TEOAEs) dan distortion product otoacoustic emissions (DPOAEs) dapat dipakai untuk skrining. OAE adalah pemeriksaan integritas sel rambut luar di koklea, sedangkan auditory brainstem response (ABR) adalah pengukuran elektrofisiologikal fungsi jaras auditori dari saraf kranial ke delapan menuju ke batang otak (Rundjan et al. 2005; Carlson & Reeh 2006; Olusanya 2010).

Penemuan kasus gangguan pendengaran pada BBLR sejak dini merupakan hal yang penting untuk mencegah gangguan perkembangan anak selanjutnya. Untuk dapat menilai gangguan pada telinga perifer/jalur


(21)

preneural dan gangguan retrokoklear/jalur neural maka pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan DPOAEs dilanjutkan dengan pemeriksaan ABR. Dalam rangka deteksi dini dan untuk mendapatkan data dasar gangguan pendengaran pada BBLR maka peneliti tertarik melakukan penelitian ini. 1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR yang dirawat di ruang Perinatologi RSUP H. Adam Malik Medan, periode Januari-Maret 2013.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada pada BBLR yang dirawat di ruang Perinatologi RSUP H. Adam Malik Medan, periode Januari-Maret 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR berdasarkan jenis kelamin.

b. Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR berdasarkan kelompok berat lahir.

c. Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR berdasarkan kelompok umur bayi.

d. Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada BBLR berdasarkan kelompok umur kehamilan ibu. e. Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan DPOAEs dan


(22)

1.4. Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan data dasar gangguan pendengaran pada BBLR untuk penelitian selanjutnya di bidang tumbuh kembang anak dan THT komunitas.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan data dan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka guna pengembangan ilmu Neurotologi dan THT Komunitas.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir. Rerata berat bayi normal adalah 3200 gram (usia gestasi 37 s.d. 41 minggu). Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam pertama setelah lahir (Fanaroff 2002; IDAI 2004; Stoll & Adams-Chapman 2007; Damanik 2008).

Hubungan antara umur kehamilan dengan berat lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intrauterin. Penentuan hubungan ini akan mempermudah antisipasi morbiditas dan mortalitas selanjutnya. Penentuan umur kehamilan bisa dilakukan mulai dari antenatal sampai setelah persalinan. Pada masa antenatal ditentukan dengan cara sederhana yaitu dengan menghitung Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT). Setelah persalinan, penentuan umur kehamilan dilakukan dengan pemeriksaan. Bagian dari pemeriksaan ini didasarkan pada kriteria perkembangan saraf yang spesifik serta berbagai sifat fisik luar yang terus-menerus berubah seiring dengan berlanjutnya kehamilan.

Menurut hubungan berat lahir/umur kehamilan, berat bayi baru lahir dapat dikelompokkan menjadi (Damanik 2008):

a. Sesuai Masa Kehamilan (SMK)

b. Kecil Masa Kehamilan (KMK)/Small for Gestational Age (SGA) c. Besar Masa Kehamilan (BMK)

Berdasarkan umur kehamilan, bayi dapat digolongkan menjadi (Damanik 2008):

a. Bayi Kurang Bulan (BKB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi < 37 minggu (< 259 hari).


(24)

b. Bayi Cukup Bulan (BCB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi antara 37-42 minggu (259-293 hari).

c. Bayi Lebih Bulan (BLB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi >42 minggu (294 hari).

Bayi berat lahir rendah mungkin disebabkan oleh (Stoll & Adams-Chapman 2007):

a. Kurang bulan (usia kehamilan/ masa gestasi kurang dari 37 minggu/preterm)

b. Gangguan pertumbuhan intrauterin/ intrauterine growth restriction (IUGR)

c. Keduanya Klasifikasi Bayi

a. Klasfikasi Bayi Berat Lahir Rendah:

1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir antara 1500 gram sampai dengan 2500 gram.

2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi dengan berat lahir antara 1000 gram sampai kurang dari 1500 gram.

3. Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1000 gram (Hay 2002; Mulyawan 2009).

b. Umur kehamilan atau masa gestasi adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat kelahiran, dihitung dari hari pertama haid terakhir (Damanik 2008),

1. Preterm infant atau bayi prematur adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan tidak mencapai 37 minggu.

dikelompokkan menjadi:

2. Term infant atau bayi cukup bulan (mature atau aterm) adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan 37-42 minggu.


(25)

3. Postterm infant atau bayi lebih bulan adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan sesudah 42 minggu (Wilkinson et al. 2002;

Penyebab terjadinya kelahiran bayi dengan BBLR, yaitu: Purnami 2010).

a. Faktor ibu: hipertensi dan penyakit ginjal yang kronik, perokok, penderita diabetes melitus yang berat, pre-eklampsia, pre-eklampsia, hipoksia ibu, hemoglobinopati, penyakit paru kronik, gizi buruk, drug abuse, peminum alkohol.

b. Faktor uterus dan plasenta: kelainan pembuluh darah (haemangioma), insersi tali pusat yang tidak normal, infark plasenta, kehamilan ganda, pelepasan plasenta sebagian, plasenta kecil, gangguan sirkulasi ibu dan janin.

c. Faktor janin: kehamilan ganda, kelainan kromosom, cacat bawaan, infeksi dalam kandungan (toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis, TORCH)

d. Faktor penyebab lain yaitu keadaan sosial ekonomi yang rendah dan tidak diketahui (Budhi & Rujito 2007; Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011).

2.2. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Bayi berat lahir rendah (BBLR) disebut bayi beresiko tinggi dengan adanya patofisiologi yang menyertai, prognosis BBLR akan lebih buruk terutama pada periode awal setelah lahir dibandingkan dengan bayi normal. Komplikasi langsung dapat terjadi pada BBLR, berbagai masalah jangka panjang mungkin timbul antara lain gangguan perkembangan, gangguan pertumbuhan, retinopati, gangguan pendengaran, penyakit paru kronis, dan kelainan bawaan (Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011).

Hubungan antara BBLR dengan gangguan pendengaran kurang diketahui, walaupun pengetahuan dasar mengenai penyebab gangguan pendengaran telah berkembang namun sulit untuk mengetahui secara


(26)

menyeluruh mengenai mekanisme yang menyebabkan gangguan pendengaran pada BBLR (Cristobal & Oghalai 2008).

Pemeriksaan audiometri dan radiologi juga tidak memberikan perincian yang jelas mengenai perubahan pada sistem auditori. Proses pendengaran pada manusia normal memerlukan fungsi telinga luar, telinga tengah, telinga dalam (koklea) dan jaras batang otak yang baik (Cristobal & Oghalai 2008).

Saat ini, terdapat dua metode skrining pendengaran neonatus, yaitu OAE dan ABR. Yang paling sering dipakai adalah OAE karena murah dan mudah dioperasikan pada skrining massal. Mesin OAE mendeteksi bunyi yang dihasilkan oleh proses biokemikal yang berasal dari sel rambut luar koklea. Hal ini menyebabkan OAE sangat sensitif untuk mendeteksi disfungsi sel rambut luar. Evaluasi dengan OAE tidak dapat mendeteksi disfungsi neural (saraf ke delapan atau jaras batang otak). Penggunaan OAE dalam skrining pendengaran pada populasi yang banyak menderita tuli sensorineural dapat menyebabkan tidak terdeteksinya gangguan pendengaran. Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa OAE dapat mendeteksi tuli sensorineural, karena OAEs merupakan respon akustik yang berhubungan dengan proses pendengaran normal dan OAEs tidak ada bila terdapat gangguan pendengaran lebih dari 30 dBHL. Bila pemeriksaan telah selesai, hasilnya akan tertampil pada layar dengan “pass” bila terdapat respon dan “refer” bila tidak ada respon terhadap stimulus (Boo, Rohani & Asma 2008).

Pemeriksaan dengan ABR merefleksikan aktivitas koklea, saraf auditori

dan auditory brainstem pathway, sehingga ABR dapat mendeteksi

neuropati auditori atau gangguan konduksi neural (Boo, Rohani & Asma 2008). Hasil pemeriksaan dianggap normal bila terdapat respon bilateral pada 35 dB dan terganggu bila tidak ada respon pada 35 dB minimal pada satu telinga (Taghdiri et al. 2008).

Sensitivitas OAE sebesar 100% dan spesifisitasnya 82-87%, sedangkan sensitivitas ABR 100% dan spesifisitasnya 97-98%. Bila OAE


(27)

dilanjutkan dengan AABR dalam 2 tahapan skrining sensitivitasnya menjadi 100% dan spesifisitas 99% (Rundjan et al. 2005).

Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi. Tujuan skrining pendengaran adalah menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendegaran yang optimal. Departemen Kesehatan RI telah menetapkan alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia seperti yang terlihat pada gambar 2.1. (HTA Indonesia 2010).

Faktor yang merusak pada bayi baru lahir meliputi paparan terhadap toksin, infeksi serebral, iskemia, ketidakseimbangan hormonal yang dapat menyebabkan keterlambatan proses mielinisasi, yang diekspresikan sebagai immaturitas atau disfungsi (Psarommatis et al. 2010).

BBLR tiga kali lebih sering mengalami komplikasi neurodevelopmental dan abnormalitas kongenital. BBLR preterm (<32 minggu) kebanyakan mengalami komplikasi yang disebabkan imaturitas anatomik dan fisiologikal. BBLR berisiko mengalami komplikasi yang dapat meninggalkan sekuele permanen (Singh, Chouhan & Sidhu 2009).

Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh karena kegagalan perkembangan satu atau lebih dari bagian sistem auditori atau terhentinya proses perkembangan pada tahap tertentu. Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan degenerasi mekanisme perkembangan pendengaran (Arpino et al. 2010).

Tahap perkembangan otak yang berkesinambungan merupakan faktor yang sangat penting. Otak bayi yang cukup bulan sangat berbeda dengan otak bayi preterm dimana maturasi otak terhenti pada tahap kritis perkembangan sarafnya. Kelahiran premature menyebabkan bayi kemungkinan mengalami dampak gangguan perkembangan otak yang selanjutnya mengganggu fungsi psikologikal selama hidup (Arpino et al. 2010).


(28)

Gambar 2.1. Alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia (HTA Indonesia 2010).

Lebih dari 3% bayi yang lahir <28 minggu umur kehamilan menunjukkan gangguan pendengaran yang bervariasi antara tuli konduktif dan tuli sensorineural. Gangguan pendengaran tersebut 25 kali lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi gangguan pendengaran yang didapat


(29)

pada populasi pediatrik. Suatu penelitian nested case-control menunjukkan pada umur kehamilan 20-23 minggu terdapat prevalensi gangguan pedengaran sebesar 1,435%, 0,63% pada 24-28 minggu, 0,19% pada 29-32 minggu dan 0,1% pada 33-36 minggu (Arpino et al. 2010).

Faktor perinatal dapat menyebabkan persalinan preterm dan komplikasi perinatal/neonatal dapat merusak fungsi auditori dan perkembangan dininya. Faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran pada bayi sangat bervariasi, seperti hipoksia, hiperbilirubinemia, penggunaan inkubator yang bising, dan paparan antibiotik yang potensial ototoksik untuk pengobatan infeksi yang mengancam jiwa (Arpino et al. 2010).

Hipoksia/iskemia dan infeksi/inflamasi membran plasenta pada bayi preterm tampaknya memegang peran utama terhadap gangguan neurologikal yang terjadi, disamping adanya faktor prenatal, perinatal dan postnatal (Arpino et al. 2010).

Seiring dengan kurangnya umur kehamilan, didapati peningkatan risiko kerusakan otak (kerusakan white matter, perdarahan intraventrikular dan kerusakan kortikal dan deep gray matter), sehingga akan mengakibatkan gangguan klinis selanjutnya. Persalinan dini mengganggu perkembangan otak dan waktu proses neurobiologikal. Proses ini meliputi migrasi neuronal dan differensiasi, sprouting akson dan dendrit, formasi sinaps, myelination, programmed cell death dan struktur transien yang persisten. Proporsi pertumbuhan otak yang signifikan, perkembangan dan networking ditemui kira-kira dalam 6 minggu terakhir masa gestasi (Arpino et al. 2010).

Spektrum gangguan klinis pada anak yang preterm meliputi cerebral palsy (CP), developmental coordination disorder (DCD), gangguan neurosensoris, termasuk pendengaran perifer dan sentral, gangguan visual dan gangguan psikiatri (Arpino et al. 2010).


(30)

Seiring dengan tingkat imaturitas dan rendahnya berat badan lahir, maka lebih besar pula defisit intelektual dan neurologis yang akan terjadi, sebanyak 50% bayi dengan berat 500-750 gram mengalami gangguan perkembangan neurologis yaitu kebutaan, tuli, retardasi mental dan cerebral palsy (Stoll & Adams-Chapman 2007).

Lebih kurang 50% kasus gangguan pendengaran pada neonatus diperkirakan disebabkan defek genetik. Aminoglikosida dan loop diuretik telah lama diketahui memiliki efek ototoksik sehingga penggunaannya harus sesuai standar, faktor risiko lain adalah paparan bising, infeksi cytomegalovirus, hipoksia dan hiperbilirubinemia (Cristobal & Oghalai 2008; Herwanto 2012).

Anak dengan berat lahir rendah berisiko tinggi menderita gangguan pendengaran sensorineural. Kemungkinan penyebabnya adalah bahwa telinga tidak sepenuhnya berkembang jika janin tumbuh lebih lambat dari normal dalam rahim

Prematuritas dan BBLR berhubungan dengan peningkatan risiko tuli sensorineural. Lebih dari 27% bayi prematur dengan berat lahir sangat rendah diketahui mengalami peningkatan latensi ABR dan interval pada umur aterm (cukup bulan), yang menunjukkan gangguan pendengaran perifer dan/atau sentral (Reiman et al. 2009). Pada tuli sensorineural terdapat pemanjangan latensi gelombang V terhadap stimulus click intensitas rendah (Donohoe 1988).

(Folkehelseinstituttet 2008).

ABR merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi defisit kecil dalam konduksi impuls jaras auditori. Sebagai contoh, keterlambatan pada mielinasi tidak harus menyebabkan gangguan pendengaran secara klinis, tetapi masih dapat menyebabkan perlambatan konduksi impuls yang terlihat sebagai prolongasi latensi ABR dan interpeak intervals. Pada bayi dengan ambang pedengaran normal, perlambatan latensi gelombang V dan interval I–III dan I–V pada rekaman ABR berhubungan dengan besarnya variasi komplikasi perinatal, seperti perdarahan intraventrikular derajat III sampai IV, periventrikular leukomalasia, severe


(31)

hyperbilirubinaemia, meningitis bakterial, severe respiratory distress

syndrome dan pneumonia (Reiman et al. 2009).

Pada bayi prematur, gangguan pendengaran berhubungan dengan lesi otak dan volume batang otak yang kecil. Selain itu, abnormalitas dalam migrasi dan mielinisasi yang telihat pada MRI konvensional telah dihubungkan dengan tuli sensorineural. Perubahan kecil pada struktur

white-matter otak dapat dicitrakan dengan menggunakan diffusion tensor

imaging (DTI), dimana ditemui white-matter pada neonatus membesar

seiring dengan pertambahan umur dan pada bayi preterm meningkat sesuai dengan umur kehamilan. Sebagai tambahan, kurangnya

white-matter telah dihubungkan dengan perinatal white-matter injury. Pada

penelitian yang menggunakan DTI terhadap pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural didapati kolikulus inferior yang merupakan lokasi utama pada konvergensi bypassing tracts, adalah area yang sangat sensitif terhadap kerusakan neuronal pada jaras auditori (Reiman et al. 2009).

Mekanisme patofisiologi dari gangguan pendengaran sensorineural yang reversibel belum diketahui. Maturasi Susunan Saraf Pusat yang berkembang lambat dan dalam periode yang lama dapat dikatakan bertanggung jawab terhadap membaiknya hasil ABR (Psarommatis et al. 2010).

2.3. Fisiologi Pendengaran

Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf


(32)

pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8

Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009).

(Mills, Khariwala & Weber 2006; MØller 2006; Gacek 2009).

2.4. Perkembangan Respon Neonatal

Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan, bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye widening (melebarkan mata), cessation (berhenti menyusu) dan grimacing atau mengerutkan wajah (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia 2010).

Respon-respon ini tidak terjadi dengan suara yang tenang dan intensitas suara yang rendah. Nada murni antara 500-4000 Hz dengan intensitas 85 – 95 dB dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu. Adanya suatu respon sangat tergantung pada keadaan psikofisiologikal anak. Untuk alasan ini maka tidak mungkin untuk menilai ambang pendengaran neonatal secara akurat dengan teknik perilaku (Bellman & Vanniasegaram 1997; Feldman & Grimes 1997).


(33)

2.5. Emisi Otoakustik

Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus eksternus. Suara yang dihasilkan oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik dihasilkan hanya bila organ korti dalam keadaan mendekati normal, dan telinga tengah berfungsi dengan baik (Kemp 2002; Donovalova 2006; Hall & Antonelli 2006).

Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve & Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip). Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah menjadi elektrik agar mudah diproses (Kemp 2002; Hall & Antonelli 2006).

Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani yang ditransmisikan dari koklea menuju telinga tengah secara spontan ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang baik. Koklea tidak secara signifikan memancarkan suara ke udara di kavum timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan sedikit udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga harus ditutup ( Kemp 2002; Hall & Antonelli 2006).

Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal sebagai “cochlear amplifier” yang menyebabkan adanya suatu gerakan sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010).


(34)

Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone, kemudian terjadi biomekanik dari membran basilaris sehingga menghasilkan amplifikasi energi intrakoklea dan tuning koklea. Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea yang diperbanyak keluar melalui sistem telinga tengah dan membran timpani menuju liang telinga (Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010).

Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria pass (lulus) atau refer (tidak lulus). Hasil pass menunjukkan keadaan koklea baik; sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea (Abdullah et al. 2006).

Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik

Suara yang digunakan untuk memperoleh emisi ditransmisikan melalui telinga luar, pada saat rangsang auditori dirubah dari sinyal akustik menjadi sinyal mekanik di membran timpani dan ditransmisikan melalui tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari membran basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu (Kemp 2002; Campbell 2006).

Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang jauh dari foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali dan direkam menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan frekuensi paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal eferen diemisikan. Sinyal eferen ditransmisikan


(35)

kembali melalui jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga (Campbell 2006; Møller 2006).

Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis sinyal bunyi. Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan kemampuan sel-sel rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil, sel-sel rambut luar secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan cara gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam (Møller 2006).

Tujuan pemeriksaan Emisi Otoakustik

Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006) :

a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu dengan gangguan perkembangan).

b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.

c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan pendengaran sensorineural.

d. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura). Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan respon tingkah laku.

Syarat-syarat menghasilkan otoacoustic emission a. Liang telinga luar tidak obstruksi

(Campbell 2006): b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe.


(36)

c. Posisi optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah e. Sel rambut luar masih berfungsi f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang.

Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer, meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal dari koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh mikrofon. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan ambang dengar individu (Campbell 2006).

Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah evoked otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).

Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan).

b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.

c. Distortion product otoacoustic emissions (DPOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.

d. Sustained-frequncy otoacoustic emissions (SFOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan /kontinyu (Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).

Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs)

Jenis ini menggunakan 2 stimulus terdiri dari dua bunyi nada murni pada dua frekuensi (contoh: f1, f2; ( f2 > f1)) dan dua level intensitas (contoh: L1, L2) yang diberikan sekaligus. Pada DPOAEs spektrum


(37)

frekuensi yang diperiksa lebih luas dibandingkan dengan TEOAEs, dapat mencapat frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAEs merupakan hasil distorsi intermodulasi yang ditransduksi balik ke telinga tengah yang diubah menjadi energi akustik yang di ukur di liang telinga.

Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2 menunjukkan respon frekuensi. Untuk menghasilkan respon optimal, instensitasnya diatur sehingga L1 menyamai atau melebihi L2. Merendahkan intensitas absolut dari stimulus yang dibuat, DPOAEs menjadi lebih sensitif terhadap abnormalitas. Setting 65/55 dB L1-L2 adalah yang sering digunakan. Respon biasanya lebih bagus atau kuat dan direkam pada frekuensi yang dipancarkan dari f1-f2, hal tersebut dibuat dalam bentuk grafik sesuai dengan f2, karena kawasan tersebut memperkirakan regio frekuensi koklea yang menghasilkan respon (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Gambar 2.2. Peralatan dan prosedur pemeriksaan DPOAEs (Hall & Antonelli 2006)

DPOAEs dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi daripada TEOAEs. DPOAEs dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat bising(Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).


(38)

Tabel 2.1. Data DPOAEs Normal* (Vivosonic 2011)

Frequency

750 1000 1500 2000 3000 4000 6000 8000

P er c en ti le 95th

5.95 7.65 3.83 -0.9 -2.3 0.18 -2.08 -9.97

(Impaired) 90th

2.4 4.4 0.43 -3.5 -5.55 -4.42 -6.88 -12.85

(Impaired) 10th

-10.4 -8.1 -6.73 -9.85 -11.5 -5.93 -7.84 -22.2

(Normal) 5th

-13.6 -12.05 -9.8 -13.9 -16.25 -9.23 -11 -26

(Normal)

*Data dikumpulkan dengan parameter pengukuran L1= 65 dBSPL

berikut:

L2= 55 dB SPL F2/F1 Ratio= 1.22

2.6. Brainstem Evoked Response Audiometry

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu teknik pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi. Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh Jewett dan Wilson pada tahun 1971. BERA merupakan tes elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim oleh suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone (Hall & Antonelli 2006).

BERA dapat direkam pada bayi prematur umur 28-30 minggu. Kadang-kadang BERA tidak timbul pada bayi normal yang dilahirkan pada umur kehamilan ibu 30-34 minggu, kecuali bila digunakan intensitas 90-110 dB BERA dapat direkam setelah umur 30 minggu (Resor 1988).

Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang


(39)

dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat objektif (Bhattcharrya 2006; Hall & Antonelli 2006).

Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (70-90 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006).

Komponen Gelombang:

a. Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.

b. Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII. c. Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.

d. Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.

e. Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral. Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA. f. Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari Thalamus (Medial

geniculated body), tetapi lokasi pastinya masih belum jelas. Mekanisme pemeriksaan BERA

Rangsangan bunyi diberikan melalui headphone yang telah diatur pada level kontrol akan menempuh perjalanan melalui koklea → nukleus

koklearis →nukleus olivarius superior→ lemniskus lateral→ kolikulus inferior→korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan akan diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer. Penilaian BERA (Arnold 2000; Bhattcharrya 2006; Hall & Antonelli 2006)

a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.

Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V.


(40)

b. Interwave latency I-V, I-III, I-V.

Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang III, dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke gelombang V.

c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency) yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III. Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.

d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity function)

Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan dengan ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap terlihat dengan memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil intensitas yang diberikan, maka gelombang BERA akan menghilang kecuali gelombang V yang dapat terlihat sampai pada level 5-20 dB.

e. Rasio amplitudo gelombang V/I.

Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur kemudian dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa gelombang V harus lebih besar dari gelombang I dengan hasil > 1,0. Pada kasus kelainan retrokoklea, ratio amplitudo gelombang V/I akan menurun yaitu <1,0.


(41)

Tabel 2.2. Data Latensi ABR Normal (Vivosonic 2011) Age in

weeks

25 dB 35 dB 45 dB 55 dB 65 dB 75 dB Newborn Mean 8.92 8.53 8.05 7.76 7.5 7.24

SD 0.58 0.68 0.63 0.51 0.5 0.47

2 wk Mean 8.5 8.05 7.7 7.37 7.1 6.89

SD 0.51 0.42 0.4 0.34 0.37 0.36

4 wk Mean 8.41 7.98 7.6 7.32 7.07 6.87 SD 0.45 0.38 0.35 0.35 0.35 0.35 6 wk Mean 8.25 7.8 7.46 7.18 6.93 6.73

SD 0.32 0.32 0.3 0.31 0.28 0.28

9 wk Mean 8.13 7.69 7.32 7.04 6.78 6.61

SD 0.4 0.34 0.32 0.31 0.28 0.26

12 wk Mean 8.04 7.63 7.24 6.96 6.76 6.59

SD 0.36 0.3 0.29 0.29 0.26 0.24

26 wk Mean 7.8 7.44 7.1 6.83 6.58 6.38 SD 0.37 0.46 0.42 0.38 0.31 0.29 Adult Mean 7.32 6.82 6.46 6.1 5.89 5.75

SD 0.4 0.3 0.25 0.23 0.23 0.23

2.7. Embriologi Telinga

Perkembangan struktur kepala dan leher dari mamalia merupakan hasil diferensiasi jaringan lunak dari embrio mamalia, dimana struktur kepala dan leher berasal dari jaringan lunak di daerah Pharyngeal Apparatus dari embrio (Choo & Richter 2009).

Perkembangan dari pharyngeal apparatus embrio membentuk 3 komponen yaitu lengkung brankial (faringeal), kantong brankial dan celah brankial, dimana lengkung brankial merupakan unsur pokok tempat berkembangnya struktur-struktur dari lapisan mesoderm embrio seperti jaringan otot, elemen pembuluh darah dan sel-sel neural crest yang nantinya akan membentuk jaringan tulang dan jaringan syaraf. Oleh karena itu apabila terjadi gangguan perkembangan pada lengkung


(42)

brankial akan menyebabkan kelainan kongenital pada struktur kepala dan leher (Wareing, Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).

Periode yang penting untuk perkembangan telinga adalah pada minggu ke-3 setelah fertilisasi, dimana telinga dalam terlebih dahulu dibentuk. Telinga luar, tengah dan dalam berasal dari embriologi yang berbeda dan perkembangannya dapat terganggu pada tingkatan manapun sehingga dapat menimbulkan abnormalitas yang sangat bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang berat (Wright 1997; Wareing , Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).

Perkembangan auditori berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (HTA Indonesia 2010).

Jaringan pada kepala dan leher berasal dari 3 lapisan embrio yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Wareing, Lalwani & Jackler 2006). Perkembangan prenatal dibagi menjadi beberapa periode yang terpisah. Periode pertama dimulai dari saat implantasi blastosis ke dalam dinding uterus hingga sirkulasi intraembrionik mulai terbentuk, selama periode singkat ini - sekitar 21 hari – ketiga lapisan embrio yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm berkembang membentuk lempengan yang datar dan memanjang yang mengandung notochord. Struktur seperti batang ini berasal dari lapisan ektoderm dan memanjang sepanjang embrionic disc (potongan embrio) mulai dari membran buccopharyngeal sampai ke membran cloacal, dimana lapisan ektoderm dan lapisan endoderm bertemu. Periode kedua yang berlangsung selama 35 hari (akhir minggu ke-8) yang dinamakan periode embrionik, selama periode ini terjadi pertumbuhan yang cepat dan diferensiasi tingkat seluler sehingga pada


(43)

saat hari ke-56 semua sistem utama dan organ telah terbentuk, dan embrio memiliki bentuk yang dapat dinyatakan sebagai manusia.

Waktu yang tersisa yaitu 7 bulan masa gestasi disebut periode fetal, dimana pertumbuhan yang cepat hanya ditandai dengan perubahan bentuk serta perubahan posisi antara struktur yang satu dengan yang lain dan tidak ditemukannya diferensiasi sel baru seperti yang terjadi pada periode embrionik (Kenna 1990; Anson, Davies & Duckert 1991; Wright 1997).

2.7.1. Perkembangan telinga dalam

Struktur telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran berisi cairan yang dibentuk dari lapisan ektoderm dan labirin bagian tulang (otic capsule) yang dibentuk dari lapisan mesoderm dan neural crest (Choo & Richter 2009).

a. Labirin bagian membran

Telinga bagian dalam merupakan bagian yang pertama kali dibentuk dan berkembang dibandingkan dengan bagian telinga yang lain. Pada akhir minggu ke-3 masa gestasi (hari ke-22) atau disebut juga periode 7 somit, lapisan ektoderm yang berada di depan occipital somite mengalami penebalan pada masing-masing sisi dari neural groove yang masih terbuka dimana penebalan ini disebut dengan otic placode. Lapisan mesoderm yang berada disekitar otic placode berproliferasi sehingga perlahan-lahan membuat lapisan ektoderm yang membentuk otic placode makin lama makin menyempit dan membentuk otic pit dimana pada akhirnya otic placode akan lenyap dari permukaan luar dan membentuk otocyst (otic vesicle), yang akan menjadi cikal bakal pembentukan labirin bagian membran (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Otocyst terletak diantara lengkung brankial kedua dan lengkung brankial ketiga yang akan mengalami perkembangan dan perubahan bentuk secara dramatis sehingga mencapai bentuk dewasa pada minggu


(44)

ke-10 dan mencapai ukuran dewasa pada minggu ke-20 (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Dalam perkembangannya, otocyst lebih berkembang ke arah panjang daripada lebar, hal ini menyebabkan otocyst dapat dibagi menjadi tiga daerah dan terlihat jelas pada minggu ke-5 masa gestasi, yaitu daerah kranial yang akan berkembang menjadi saluran endolimfatik (endolympatic duct), daerah kaudal yang akan berkembang menjadi saluran kohlea (cochlear duct), dan daerah tengah atau daerah utrikulosakular (utriculosaccular area) yang akan berkembang menjadi sistem vestibular.

Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4 masa gestasi, pembentukan otocyst dari otic placode (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Daerah utrikulosakular terus berkembang sehingga pada bagian utrikulo muncul 3 buah kantong yaitu di bagian superior, posterior dan lateral yang akan membentuk kanalis semisirkularis superior, posterior


(45)

dan lateral dimana kanalis semisirkularis superior terlebih dahulu terbentuk secara lengkap pada minggu ke-6 kemudian diikuti oleh kanalis semisirkularis posterior dan yang terakhir dibentuk adalah kanalis semisirkularis lateral. Saluran kohlea (cochlear duct) juga mulai mengalami perkembangan secara cepat sehingga membentuk 1,5 putaran pada minggu ke-8 serta telah mencapai putaran penuh yaitu 2,5 putaran pada minggu ke-10 masa gestasi, walaupun belum mencapai panjang keseluruhan, yang baru akan dicapai pada minggu ke-20 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Epitel sensoris, 3 buah krista, 2 buah makula, dan organ korti dari kohlea dibentuk dari lapisan ektoderm otocyst. Makula berkembang pada minggu ke-7 masa gestasi yang berasal dari sekitar daerah tempat masuknya serabut saraf ke dalam utrikulus dan sakulus. Membrana otokonial mulai terbentuk pada minggu ke-12 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Epitel sensoris dari kohlea mulai berkembang pada minggu ke-7, bersamaan dengan itu saluran kohlea juga mulai berkembang dan membentuk putaran, pada dinding medial kohlea lapisan dari epitel sensoris ini mengalami perubahan menjadi bentuk seperti spiral sebanyak 2 lapisan sepanjang kohlea. Bagian spiral yang sebelah dalam dan mempunyai ukuran lebih besar akan berkembang menjadi sel rambut dalam (inner hair cell) dan membran tektorial, sedangkan bagian spiral yang lebih kecil yaitu pada bagian luar akan berkembang menjadi sel rambut luar (outer hair cell). Sel-sel rambut ini dapat dikenali secara jelas pada minggu ke-11 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Organ korti berasal dan berkembang dari bagian dinding posterior saluran kohlea (cochlear duct), pada saat saluran kohlea terus bertambah panjang dan apabila pada waktu yang bersamaan dilakukan potongan lintang maka terlihat bahwa struktur dalam dari saluran kohlea berubah bentuk, yang awalnya berbentuk lingkaran kemudian berubah menjadi oval dan akhirnya berubah menjadi triangular. Bagian dinding posterior


(46)

saluran kohlea berkembang menjadi organ korti, dinding anterior berkembang menjadi sebagian dari membran Reissner dan dinding lateral berkembang menjadi stria vaskularis (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

b. Labirin bagian tulang

Lapisan mesoderm yang berada disekitar labirin bagian membran mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan sehingga menghasilkan 2 macam formasi bentuk yaitu tulang rawan otic capsule dan ruang perilimfatik (perilymphatic space) yang mengandung cairan perilimfe pada minggu ke-8 masa gestasi. Di dalam kohlea ruang perilimfatik ini berkembang menjadi 2 bagian yaitu skala timpani dan skala vestibuli dimana skala timpani dibentuk terlebih dahulu. Proses osifikasi (penulangan) dari tulang rawan otik kapsul baru dimulai ketika labirin bagian membran mencapai ukuran dewasa, proses penulangan dimulai sekitar minggu ke-15 masa gestasi dan berakhir pada minggu ke-21 (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Gambar 2.4. Diagram yang menunjukkan perkembangan labirin bagian tulang. Potongan lintang kohlea yang menggambarkan perkembangan organ korti, labirin tulang, dan ruang perilympatik pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12 masa gestasi (Choo & Richter 2009).


(47)

2.7.2. Gangguan perkembangan telinga dalam

Secara klinis gangguan perkembangan telinga dalam dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

1. Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran 2. Gangguan perkembangan pada labirin membran.

Abnormalitas dari telinga bagian dalam dapat disebabkan oleh perkembangan yang terhambat ataupun perkembangan yang menyimpang dimana faktor-faktor yang terlibat dan dapat menimbulkan hal ini sangat bervariasi berupa faktor genetik, maupun faktor teratogenik

Gambaran histopatologis yang sering dijumpai pada tuli kongenital adalah kohleasakular displasia yang diakibatkan oleh terhambatnya perkembangan bagian kaudal dari otocyst, sehingga sebagian atau seluruh bagian dari organ korti tidak terbentuk, yang pertama kali digambarkan oleh Scheibe pada tahun 1892. Saluran kohlea dan sakulus mengalami kolaps, dan stria vaskularis mengalami degenerasi sedangkan utrikulus dan kanalis semisirkularis normal

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran kebanyakan disebabkan oleh perkembangan yang terhambat pada minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada masa gestasi. Labirin aplasia menyeluruh (Michel malformation) merupakan abnormalitas yang sangat berat dan sangat jarang terjadi dimana diduga akibat dari kegagalan otocyst untuk berkembang. Kohlea aplasia, hipoplasia, dan pemisahan saluran kohlea (cochlear duct) yang tidak sempurna merupakan kelainan-kelainan atau abnormalitas akibat dari perkembangan kohlea yang terhambat pada minggu ke-5, 6, dan 7 pada masa gestasi. Displasia dari kanalis semisirkularis disebabkan oleh kegagalan penyatuan epitel sentral dimana kanalis semisirkularis lateral yang paling sering terkena dimana hal ini disebabkan karena kanalis semisirkularis lateral merupakan yang terakhir berkembang (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


(48)

Tabel 2.3. Perkembangan Embriologi Telinga 2006)

(Wareing, Lalwani & Jackler Umur

Fetus (minggu)

Telinga Luar Telinga Tengah Telinga Dalam

3 Otic placode dan

Ganglia

vestibulokohlear terbentuk. 4 Liang telinga luar

mulai

berkembang

Tubotympanic recess terlihat

Otocyst terbentuk

5 Hillocks mulai terlihat.

Tulang-tulang

pendengaran mulai berkondensasi pada mesenkim.

Otocyst mulai terbagi menjadi vestibular and kohlear. Kanalis semisirkularis mulai terbentuk; Ganglia vestbulokohlearis mulai terpisah 6 Semua hillocks

menjadi terpisah.

Malleus dan Inkus mulai terlihat. Kanalis semisirkularis superior terbentuk sempurna. Utrikulus dan sakulus terbentuk; Saluran kohlea mulai terbentuk.

7 Makula terbentuk;

Epitel sensoris pada kohlea mulai

terbentuk 8 Daun telinga

mulai terlihat sebagai bentuk dewasa Sendi Inkudomaleolar dan inkudostapedial terbentuk. Duktus reuniens mulai terlihat; Kohlea membentuk 1½ putaran; Krista vaskularis terbentuk. Otic capsules

terbentuk.

9 Membrana timpani

membentuk 3 lapisan.

Serabut saraf memasuki epitel sensoris ; oval window terbentuk


(49)

10 Stapes berbentuk sanggurdi; Saraf fasialis memasuki telinga tengah.

Kohlea membentuk 21/2 putaran

11 Sel rambut (hair

cells) terbentuk di kohlea.

12 Cincin timpani mulai

mengalami penulangan.

Membran otokonial mulai terbentuk; Saluran kohlea mulai membentuk triangular

16 Malleus, inkus, and

stapes mulai mengalami penulangan.

Penulangan pada otic capsule

18 Daun telinga menjadi bentuk dewasa.

20 Meatal plug mulai terpisah.

Kavum timpani mulai terbuka.

Kohlea mencapai panjang yang penuh; Labirin bagian

membran mencapai ukuran dewasa

22 Antrum mulai

berkembang.

Duktus kohlearis mulai sempurna.

23 Proses penulangan

Otic capsule telah selesai.

24 Ruang perilimfatik

telah selesai

26 Saraf fasialis

membentuk belokan kedua. 28 Liang telinga

luar terbuka sempurna

30 Malleus dan inkus

mulai proses penulangan

34 Tulang

pendengaran mengambil tempat pada telinga tengah.

Mastoid air cells mulai berkembang


(50)

2.8. Anatomi Telinga

2.8.1. Anatomi telinga dalam

Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea, sedangkan labirin bagian membran terletak di dalam labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus dan koklea (Dhingra 2007).

Koklea merupakan putaran dengan panjang sekitar 35 mm, terbagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala vestibuli dan timpani mengandung perilimfe yang menyerupai cairan ekstraseluler dengan konsentrasi Kalium 4 mEq/L dan Natrium 139 mEq/L. Skala media dibatasi oleh membran Reissner, membran basilaris, lamina spiralis osseous dan dinding lateral. Skala media mengandung endolimfe yang menyerupai cairan intraselular dengan konsentrasi Kalium 144 mEq/L dan Natrium 13 mEq/L. Skala media memiliki potensial istirahat sekitar 80 mV yang menurun dari basis ke apeks. Potensial endokoklear ini dihasilkan stria vaskularis di dinding lateral koklea (Mills, Khariwala & Weber 2006; Gacek 2009).

Organ korti terletak di atas membran basilaris yang mengandung organ penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu sel penunjang, sel-sel rambut dan suatu lapisan gelatin penghubung membran tektoria. Di dalam organ korti terdapat kira-kira 15.500 sel-sel rambut yang terdiri dari 3.500 sel-sel rambut dalam dan 12.000 sel-sel rambut luar (Gacek 2009).

2.8.2. Sistem saraf pendengaran sentral

Daerah sentral dari sistem pendengaran meliputi seluruh struktur pendengaran yang letaknya setelah saraf kohlearis, yaitu:

a. Kompleks nukleus kohlearis

Kompleks nukleus kohlearis terdiri dari 3 inti, yaitu nukleus kohlearis anteroventralis, nukleus kohlearis posteroventralis, dan nukleus kohlearis


(51)

dorsalis. Serabut afferen yang berjalan menuju kompleks nukleus kohlearis dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang ascending menuju ke nukleus kohlearis anteroventralis dan cabang descending menuju ke nukleus kohlearis posteroventralis dan dorsalis.

Akson-akson yang terdapat pada nukleus kohlearis dorsalis akan membentuk stria akustikus dorsalis (stria Monakow) yang kemudian bergabung dengan lemniskus lateralis kontralateral dan berakhir pada kolikulus inferior. Akson-akson dari nukleus kohlearis posteroventralis membentuk stria akustikus intermedius (stria Held).

Akson tersebut membentuk kompleks olivaris superior bilateral dan menuju nukleus lemniskus lateralis. Beberapa akson berjalan menuju stria ventralis (corpus trapezoideus) dan membentuk kolikulus inferior kontralateral. Akson-akson dari nukleus kohlearis anteroventralis membentuk stria ventralis dan akson tersebut membentuk nukleus lateralis ipsilateral dari kompleks olivaris superior disebut juga olivaris superior lateralis dan pada ipsilateral dan kontralateral terdapat nukleus medial dari kompleks olivaris superior yang disebut dengan olivaris superior medialis, serta kontralateral dari nukleus corpus trapezoideus yang membentuk bagian ipsilateral dari kompleks olivaris superior.

Nada frekuensi rendah pada kompleks nukleus kohlearis terdapat pada daerah kontralateral dan nada frekuensi tinggi pada dorsomedialis (Rappaport & Provencal 2002).

b. Kompleks olivaris superior

Kompleks olivaris superior meliputi olivaris superior lateralis, medialis dan nukleus corpus trapezoideus medialis dan nukleus preolivaris dan periolivaris yang merupakan bagian dari sistem pendengaran descending (Rappaport & Provencal 2002; Møller 2006).

c. Lemniskus lateralis

Terdiri dari sel-sel akson yang terletak pada kompleks nukleus kohlearis, kompleks olivaris lateralis dan lemniskus lateralis. Lemniskus lateralis mempunyai tiga nukleus yaitu nukleus dorsalis, ventralis dan


(52)

intermedius yang letaknya pada rons rostral. Nukleus dorsalis kanan dan kiri dipertemukan oleh komissura Probst. Akson-akson dari nukleus dorsalis berakhir pada kolikulus inferior ipsilateral atau kontralateral via komissura Probst. Pada nukleus dorsalis dan ventralis, terletak nada frekuensi rendah dan frekuensi rendah pada ventralis.

d. Kolikulus inferior

Terdiri dari daerah sentral atau kolikulus inferior sentral yang dikelilingi oleh belt area. Kolikulus inferior sentral kanan dan kiri dihubungkan dengan suatu komissura. Kolikulus inferior sentral ini menerima proyeksi kontralateral dari masing-masing subdivisi kompleks nukleus kohlearis. Pada bilateral dari olivaris superior lateralis dan dari nukleus dorsalis dan intermedius lemniskus lateralis serta pada ipsilateral dari olivaris superior medius, nukleus korpus trapezoideus medius dan nukleus lemniskus lateralis ventralis.

Belt area menerima proyeksi dari nukleus lemniskus lateralis dorsalis dan ventralis dan dari nukleus kohlearis ventralis dan dorsalis. Akson-akson dari kolikulus juga membentuk kolikulus inferior brakialis. Pada kolikulus inferior sentralis, nada frekuensi rendah terletak pada daerah dorsalis dan frekuensi tinggi pada ventrolateralis (Luxon & Cohen 1997; Rappaport & Provencal 2002).

e. Korpus genikulatum medialis

Terletak pada thalamus dan dibagi dalam 3 nukleus yaitu nukleus ventralis, dorsalis dan medialis. Korpus ini akan mengirimkan sinyal ke korteks auditorius. Nada frekuensi rendah terletak pada bagian lateralis dari nukleus ventralis dan frekuensi tinggi pada daerah medialis (Rappaport & Provencal 2002; Mills, Khariwala & Weber 2006).

f. Korteks auditorius

Terdiri dari daerah primer (gyrus Heschl), yang terletak pada bagian atas gyrus temporalis yang dikelilingi oleh Belt area. Belt area meliputi temporal, gyrus temporalis posterosuperior (area Broadmann 22), gyrus


(53)

angularis (area Broadmann 40) dan insula. Hantaran suara pada korteks auditorius yaitu pada daerah primer dan area Broadmann 22.

Kolikulus inferior sentralis, korpus genikulatum medialis ventralis dan korteks auditorius primer merupakan jalur pendengaran yang utama. 2.9. Kerangka Teori

Gambar 2.5. Kerangka Teori

Kegagalan atau terhentinya perkembangan otak dan

sistem auditori Abnormalitas migrasi

dan mielinisasi saraf VIII

Gangguan pada Koklea

dan Batang Otak

Gangguan Pendengaran


(54)

Gangguan Pendengaran 2.10. Kerangka Konsep

=Variabel penelitian

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

-Jenis Kelamin -Berat Lahir -Umur Bayi

-Umur Kehamilan Ibu -Telinga yang Terlibat -DPOAEs


(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggambarkan hasil pengukuran DPOAEs dan ABR pada BBLR dengan desain studi kasus (case-study).

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan bulan Januari – Maret 2013.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Seluruh BBLR yang dirawat di ruang Perinatologi RSUP H. Adam Malik yang dilakukan pemeriksaan DPOAEs dan ABR pada periode penelitian (Januari-Maret 2013).

3.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian. Kriteria seleksi sampel

Kriteria inklusi: a. seluruh BBLR dengan kondisi stabil yang dirawat di ruang perinatologi RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari – Maret 2013.

b. Orangtua bersedia bayinya diikutsertakan dengan menuliskan informed consent.


(56)

3.4 . Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti adalah hasil pemeriksaan DPOAEs dan ABR: pass dan refer, jenis kelamin, kelompok berat lahir, kelompok umur bayi, kelompok umur kehamilan ibu dan telinga yang terlibat.

3.5. Definisi Operasional

a. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2500 gram tanpa memandang masa gestasi (Damanik, 2008).

Pada penelitian ini dikelompokkkan dengan kriteria : 1. ≤1500 gram

2. >1500 gram

b. Umur bayi adalah usia yang dihitung dalam hari sesuai dengan tanggal lahir yang tertulis di rekam medis.

Pada penelitian ini dikelompokkan dengan kriteria: 1. ≤15 hari

2. >15 hari

c. Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan sesuai dengan yang tertulis di rekam medis.

d. Umur kehamilan ibu adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat kelahiran, dihitung dari hari pertama haid terakhir (Damanik, 2008)

Pada penelitian ini dikelompokkan dengan kriteria: .

1. ≤33 minggu 2. >33 minggu

e. Telinga yang terlibat dibedakan atas telinga kanan dan telinga kiri.

f. Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAEs) adalah pemeriksaan untuk menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar (outer hair cells) koklea menggunakan 2 stimulus bunyi (Campbell 2006).


(57)

Penilaian:

Pass: bila SNR ≥ 6 pada 3 frekuensi, yaitu 2000 Hz, 3000 Hz dan 4000 Hz.

Refer: bila SNR < 6 pada 3 frekuensi, yaitu 2000 Hz, 3000 Hz dan 4000 Hz.

Pada penelitian ini BBLR pass dan refer dikelompokkan sebagai:

Pass: bila hasil DPOAEs pass pada kedua telinga

Refer: bila hasil DPOAEs refer pada satu atau kedua telinga g. Auditory Brainstem Response (ABR) adalah pengukuran elektrofisiologikal fungsi jaras auditori dari saraf kranial ke delapan menuju ke batang otak dengan menggunakan elektroda permukaan (Olusanya 2010).

Pemeriksaan dilakukan dengan pemberian 2000 pulse stimulus klik rerata 37,7 kali perdetik dan intensitas 35 dBHL melalui probe telinga bilateral. Level intensitas yang digunakan adalah 35 dB dan 40 dB.

Penilaian:

Pass: bila terbentuk gelombang V (ambang dengar) pada 35 dB dengan masa latensi 7,98-8,53 ms..

Refer: bila ambang dengar >35 dB dengan masa latensi >7,98-8,53 ms.

Pada penelitian ini BBLR pass dan refer dikelompokkan sebagai:

Pass: bila hasil ABR pass pada kedua telinga

Refer: bila hasil ABR refer pada satu atau kedua telinga 3.6. Alat dan Bahan Penelitian

a. Catatan medik penderita termasuk kuesioner b. Formulir persetujuan penelitian


(1)

Tests of Homogeneity of the Odds Ratio

Chi-Squared df

Asymp. Sig. (2-sided)

Breslow-Day .000 0 .

Tarone's .000 0 .

Tests of Conditional Independence

Chi-Squared df

Asymp. Sig. (2-sided)

Cochran's .000 1 1.000

Mantel-Haenszel .000 1 1.000

Under the conditional independence assumption, Cochran's statistic is asymptotically distributed as a 1 df chi-squared distribution, only if the number of strata is fixed, while the Mantel-Haenszel statistic is always asymptotically distributed as a 1 df chi-squared distribution. Note that the continuity correction is removed from the Mantel-Haenszel statistic when the sum of the differences between the observed and the expected is 0.

Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate

Estimate 1.000

ln(Estimate) .000

Std. Error of ln(Estimate) .577

Asymp. Sig. (2-sided) 1.000

Asymp. 95% Confidence Interval

Common Odds Ratio Lower Bound .323

Upper Bound 3.101

ln(Common Odds Ratio) Lower Bound -1.132

Upper Bound 1.132

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1,000 assumption. So is the natural log of the estimate.


(2)

Crosstabs

Variabel * Hasil Crosstabulation

Hasil

Total Pass Refer

Variabel DPOAEs Count 24 8 32

% within Variabel 75.0% 25.0% 100.0%

ABR Count 24 8 32

% within Variabel 75.0% 25.0% 100.0%

Total Count 48 16 64

% within Variabel 75.0% 25.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .000a 1 1.000

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .000 1 1.000

Fisher's Exact Test 1.000 .613

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000 N of Valid Cases 64

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,00. b. Computed only for a 2x2 table

Tests of Homogeneity of the Odds Ratio

Chi-Squared df

Asymp. Sig. (2-sided)

Breslow-Day .000 0 .


(3)

Tests of Conditional Independence

Chi-Squared df

Asymp. Sig. (2-sided)

Cochran's .000 1 1.000

Mantel-Haenszel .000 1 1.000

Under the conditional independence assumption, Cochran's statistic is asymptotically distributed as a 1 df chi-squared distribution, only if the number of strata is fixed, while the Mantel-Haenszel statistic is always asymptotically distributed as a 1 df chi-squared distribution. Note that the continuity correction is removed from the Mantel-Haenszel statistic when the sum of the differences between the observed and the expected is 0.

Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate

Estimate 1.000

ln(Estimate) .000

Std. Error of ln(Estimate) .577

Asymp. Sig. (2-sided) 1.000

Asymp. 95% Confidence Interval

Common Odds Ratio Lower Bound .323

Upper Bound 3.101

ln(Common Odds Ratio) Lower Bound -1.132

Upper Bound 1.132

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the common odds ratio of 1,000 assumption. So is the natural log of the estimate.


(4)

Lampiran 8

PERSONALIA PENELITIAN

1. Peneliti Utama

Nama

: dr. Sara Yosephine Aruan

NIP

: 19700305 200212 2 001

Pangkat/Gol

: Penata/III c

Jabatan

:-

Fakultas

: Kedokteran

Perguruan tinggi

: Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian

: Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher

Waktu disediakan

: 12 jam / minggu

2. Anggota Peneliti / Pembimbing

A. Nama

: dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K)

NIP

: 19510428197802 2 001

Pangkat/Gol

: Pembina Utama Madya Tk-I/ IVd

Jabatan

: Ketua Divisi THT Komunitas Dept/SMF

THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Fakultas

: Kedokteran

Perguruan tinggi

: Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian

: Ilmu Kesehatan THT KL

Waktu disediakan

: 5 jam / minggu


(5)

B. Nama : dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked(ORL-HNS) Sp.THT-KL

NIP

: 19670129199310 1 001

Pangkat/Gol

: Penata Tk-I/ III/d

Jabatan

: Staf Divisi THT Komunitas Departemen THT

FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Fakultas

: Kedokteran

Perguruan tinggi

: Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian

: Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher

Waktu disediakan

: 5 jam / minggu

C. Nama

: dr. Linda Irwani Adenin, Sp.THT-KL

NIP

: 19560404198303 2 001

Pangkat/Gol

: Pembina Utama Muda/ IVc

Jabatan

: Staf Divisi Faringolaringologi Departemen THT

FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

Fakultas

: Kedokteran

Perguruan tinggi

: Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian

: Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher

Waktu disediakan

: 5 jam / minggu


(6)

Lampiran 9

CURICULUM VITAE

I.

IDENTITAS

1. Nama

: dr. Sara Yosephine Aruan

2. Tempat/ Tanggal lahir

: Medan / 5 Maret 1970

3. Alamat

: Jl.

Jl. Pukat Gg. Taqwa no. 2

Medan

4. No Telp/ HP

: 081370762005

II.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1981 –1986 : SD RK Budi Luhur Medan

2. 1983 – 1986 : SMP Methodist Indonesia 2 Medan

3. 1986 – 1989 : SMA Negeri 6 Medan

4. 1989-1996

: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5. 2009-sekarang : PPDS THT-KL FK USU

III.

KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2009 - sekarang

: Anggota IDI Cabang Riau

2. 2009 - sekarang

: Anggota Muda PERHATI-KL