Transparansi Budaya Sekolah id. pdf

Transparansi Budaya Sekolah:
Upaya Sekolah Dalam Mempromosikan
dan Menerapkan Budaya Sekolah

Andreana Kusumaningtyas
Jakarta Multicultural School
andreasularso@yahoo.com

A. Visi dan Misi Sekolah
“Culture is not Writings on the Wall.” (Suhardono, 2017). Sebuah kalimat pembuka
yang penulis rasa pas untuk memulai tulisan tentang tranparansi budaya sekolah. Budaya
sekolah selalu menjadi topik yang hangat dan menarik untuk dibicarakan oleh berbagai
kalangan. Bukan hanya di kalangan pendidikan, namun juga di masyarakat luas. Berdiskusi
tentang budaya sekolah berarti berdiskusi tentang elemen yang terkait serta berbagai pihak
yang terlibat di dalamnya. Misi dan visi serta elemen budaya sekolah menjadi faktor utama
bagaimana budaya sekolah di komunikasikan ke seluruh anggota sekolah agar menjadi
transparan untuk diterapkan.
Adalah Sekolah A di Cilandak, Jakarta Selatan yang penulis pilih untuk menjadi fokus
pemaparan tentang upaya sekolah tersebut mempromosikan dan menerapkan budaya
sekolahnya. Langkah pertama untuk membentuk budaya sekolah adalah dengan
mendeklarasikan misi dan visi. Misi adalah “pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai

organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang” (Akdon, 2006, h. 97). “To
help Indonesian children develop totally-academic, interpersonal, intrapersonal and physical

and be competitive internationally”, adalah misi dari sekolah ini. Misi ini dirasa penting
untuk diwujudkan mengingat sekarang banyak sekolah yang sudah tidak lagi peduli akan
pentingnya menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan sibuk menggantinya dengan berbagai
kemampuan akademik yang dirasa bisa meningkatkan daya prestasi peserta didik.
Sejalan dengan misi, visi merupakan “gambaran tentang masa depan/ future yang
realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu” (Akdon, 2006, h. 94). Visi
menjadi gambaran ideal yang sekolah ini ingin capai di beberapa puluh tahun kedepan yaitu
“to be the world’s innovative leader and the barometer of education in Indonesia.” Dari misi
dan visi tersebut, penulis meyakini bahwa tujuan akhir dari sekolah ini adalah menghasilkan
1

peserta didik/ anggota sekolah yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki
soft skills yang ditunjukkan dalam bentuk memiliki hubungan baik dengan penciptanya,

dengan lingkungan sekitar serta dirinya sendiri.
Untuk mempermudah penerapan serta memperjelas makna visi dan misi tersebut,
pemangku kepentingan Sekolah A menyederhanakannya dalam bentuk slogan berbunyi,

“Sekolah A teaches the students to respect differences, to allow differences, to encourage
differences, until differences no longer make a difference.” Slogan ini memuat berbagai
keinginan serta cita-cita yang ingin diraih oleh Sekolah A dalam mendidik para siswanya,
yaitu menjadi pemimpin di level global yang bisa menghargai serta menerima perbedaan.
Slogan tersebut terpampang dalam ukuran besar dan dipasang di lobi sekolah. Menjadi
pengingat bagi anggota sekolah/pengunjung untuk bersikap penuh penghargaan terhadap
perbedaan yang ada. Konsep mengapresiasi perbedaan inilah yang menjadi kunci penting
bagaimana budaya sekolah dipromosikan dan diterapkan.

B. Elemen Budaya Sekolah
Mengacu kepada misi serta visi yang diterapkan, maka kunci utama dari budaya
sekolah di Sekolah A ialah sikap penghargaan terhadap perbedaan yang ada dan memandang
perbedaan sebagai sebuah kekuatan/ kelebihan. Kunci utama ini, oleh Sekolah A dihadirkan
dalam bentuk empat (4) elemen budaya sekolah: nilai, kebiasaan, norma serta simbol.
Nilai dan sumbernya menurut Schermerhorn (2011, p. 40-41), adalah “broad
preferences concerning appropriate courses of action or outcomes . Parents, friends,
teachers, siblings, education, experience, and external reference groups are all values source
that can influence individual values. Indeed, peoples’ values develop as a product of the
learning and experience they encounter from various sources in the cultural setting in which
they live.” Definisi ini menunjukkan bahwasanya nilai berasal dari berbagai sumber,


diantaranya orang tua, guru, teman, lingkungan pendidikan, masyarakat atau bahkan hasil
individu berinteraksi dengan lingkungan. Artinya, nilai bersifat intangible dan hanya bisa
dilihat dalam bentuk sikap/ perilaku individu.
Elemen kedua dari budaya sekolah ialah kebiasaan/ folkways. Mengacu pada definisi
yang diberikan oleh Neubeck dan Glasberg (1996, p. 107) berikut ini, “Folkways, the least
formal or important norms, involve everyday conventional routines. They belong to the
category of behaviors that should or should not occur, as specified by society or a social
group. Folkways may include such things as how many meals we eat per day, when we eat
2

them, and what we should eat at each one. They also include rituals of deference and public
deportment, such as where to stand and whom to look at during conversations or public
outings.” Dari definisi tersebut terlihat bahwa kebiasaan/ folkways sejatinya terbentuk oleh

sebuah rutinitas yang dijalankan secara konsisten setiap hari. Konsistensi tersebut menjadi
keunikan dari sebuah sekolah/ organisasi dan diturunkan secara turun-temurun dari senior
kepada juniornya, baik berupa aturan kerja maupun hal-hal yang mendukung keberhasilan
pekerjaan.
Dua elemen lain yang tidak kalah pentingnya dalam menerapkan budaya sekolah

adalah hadirnya norma/ aturan serta simbol. Hal ini dikarenakan baik norma maupun simbol
memberikan batasan serta ekspektasi yang jelas bagi anggota sekolah dalam menerapkan
budaya yang berlaku. Batasan serta ekspektasi tentang pelaksanaan budaya sekolah, nyata
terlihat pada definisi norma sebagai, “shared rules of conduct. They specify what people
ought to or ought not to.” (Brinkerhoff and White, 1988, p. 6) Kata kuncinya terletak pada

“shared rules of conduct”, yang berarti seluruh anggota sekolah harus memahami inti dari
budaya sekolah yang mereka lakukan. Elemen terakhir dari budaya sekolah ialah simbol.
“Symbols are acts or objects that have come to be socially accepted as standing for
something else. They come to represent other things through the shared understandings
people have. Hence, symbols are a powerful code or shorthand for representing and dealing
with aspects of the world about us.” (Zanden, 1996, p. 34) Definisi dari Zanden

menunjukkan, meskipun simbol hanya berupa gambar yang tangible/ bisa disentuh, namun
tetap berdampak besar pada penerapan budaya sekolah. Ini terjadi karena simbol yang
merepresentasikan sebuah tindakan disosialisasikan secara jelas.
Dari kesemua definisi elemen budaya sekolah yang sudah dipaparkan diatas, penulis
menarik kesimpulan bahwa budaya sekolah ialah serangkaian ide/ gagasan yang tersusun atas
nilai-nilai, kebiasaan serta simbol yang dikembangkan sedemikian rupa dan tersosialisasi
kepada seluruh anggota sekolah dengan jelas dalam sebuah sistem. Seperti dijelaskan oleh

Schermerhorn berikut ini, “organizational or corporate culture is the system of shared
actions, values, and beliefs that develops within an organization and guides the behavior of
its members.” (Schermerhorn et al., 2011, p. 366).

C. Transparansi Penerapan Budaya Sekolah
Sebagai sebuah organisasi yang dinamis, Sekolah A mendasari pelaksanaan budaya
sekolah dengan mengacu kepada visi dan misi yang dibangun sejak awal. Oleh para
3

pemangku kepentingan (tim kepala sekolah dan pemilik sekolah) visi dan misi tersebut
disosialisasikan sedemikian agar bisa menjangkau semua level. Melalui visi dan misi
tersebut, Sekolah A ingin menjadikan dirinya sebagai barometer pendidikan di Indonesia.
Salah satu cara untuk mewujudkannya ialah dengan transparansi budaya sekolah.
Transparansi atau keterbukaan di sini mengandung arti bahwa, budaya sekolah tidak akan
berjalan dengan baik dan sulit mencapai hasil maksimal, apabila tidak disosialisasikan
dengan terarah dan terstruktur. Dalam hal ini, pemangku kepentingan perlu melakukan
pemetaan/ mapping tentang struktur organisasi dan bagaimana konsep transparansi tersebut
bisa dijalankan.
Berkenaan dengan konsep transparansi tersebut, Sekolah A melakukan beberapa
kegiatan yang dianggap mumpuni dalam upayanya mensosialisasikan visi tersebut, yaitu: (a).

Menyelenggarakan pelatihan awal/ initial training. Pelatihan awal ini dirancang sebagai
upaya pengenalan akan sistem pendidikan yang Sekolah A adopsi, keunikan yang dimiliki
serta berbagai kegiatan yang Sekolah A lakukan dalam proses pendidikannya. Pelatihan awal
ini diberikan secara merata kepada seluruh staf sekolah, tanpa terkecuali. Sekolah A meyakini
dengan dilakukannya initial training, membuat visi dan misi sekolah lebih dikenal.
(b). Mengadakan professional development secara berkala. Kegiatan ini ditujukan
terutama bagi para guru, karena berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas serta
bagaimana guru menggabungkan visi dan misi ke dalam proses pembelajaran dan
menerapkannya dalam bentuk yang lebih sederhana dan aplikatif agar mudah dimengerti oleh
peserta didik. (c). Membentuk asosiasi orang tua siswa, yang disebut sebagai SHIPA
(Sekolah A Parents Association). Asosiasi ini menaungi seluruh orang tua siswa di Sekolah
A. Bekerjasama dengan tim kepala sekolah, guru serta asosiasi orang tua, visi dan misi di
sekolah secara konsisten disosialisasikan melalui kegiatan/ event. Dari pelaksanaan event
tersebut, Sekolah A bisa melihat serta melakukan evaluasi, pihak-pihak mana saja yang
belum mengerti atau telah mengerti maksud dari visi dan misi, agar selanjutnya Sekolah A
bisa mendesain kegiatan/ aktivitas lain untuk mencapai pemahaman merata tentang misi dan
visi.
Namun dalam perjalanannya, mensosialisasikan visi dan misi ternyata tidak cukup
dengan hanya menyelenggarakan 3 (tiga) kegiatan diatas. Dibutuhkan keterlibatan budaya
sekolah, terutama dalam mendesain berbagai events agar sesuai dengan setiap elemen yang

ada di dalam budaya sekolah, yaitu nilai, kebiasaan, norma dan simbol. Misi Sekolah A yang
ingin menjadikan anak-anak Indonesia berkembang secara total, baik dari sisi akademik,
4

sosial serta mampu bersaing kompetitif di level global berbanding lurus/ sejalan dengan visi
yang mereka emban, yaitu menjadi pioner dan barometer di dunia pendidikan Indonesia.
Dengan latar belakang itulah, budaya sekolah yang berfokus pada promoting and
accepting differences/ mengakomodir dan menerima perbedaan, dibentuk. Konsep perbedaan

yang dimaksudkan disini, bukan saja terletak pada perbedaan etnisitas dan agama, namun
juga mengakomodir perbedaan cara pandang, latar belakang budaya serta perbedaan dalam
pencapaian akhir belajar. Sekolah A meyakini bahwa berbagai perbedaan tersebut,
seharusnya tidaklah menjadi masalah, melainkan harus disambut dan dijadikan sebagai
sebuah keunikan yang menyatukan.
Untuk

mewujudkan

keunikan


tersebut

menjadi

nyata,

Sekolah

A

mengkolaborasikan fokus tersebut ke dalam empat (4) elemen budaya sekolah yaitu: nilai,
kebiasaan, norma dan simbol. Kolaborasi ini dimaksudkan untuk mempermudah proses
sosialisasi dan penerapannya. Sekolah A percaya melalui transparansi visi, misi serta fokus
pendidikan yang diemban, maka pelaksanaan budaya sekolah akan lebih mudah dilakukan.
Berkenaan dengan pelaksanaan budaya sekolah, tim pemangku kepentingan yang
terdiri atas dewan direksi, tim kepala sekolah serta guru menyusun dan mengembangkan
kegiatan agar sejalan dengan fokus pendidikan yang diemban. Ada kegiatan yang dilakukan
setiap tahun akademik dimulai, ada pula kegiatan yang dilakukan per term/ setiap tiga (3)
bulan. Untuk kegiatan tahunan (setiap tahun ajaran baru), biasanya berkenaan dengan
kegiatan pendaftaran siswa baru, rekrutmen guru/ staf baru, yang disebut sebagai initial

training dan initial conference meeting/ pertemuan awal guru dan orang tua murid. Kegiatan

ini bertujuan untuk menyamakan visi, misi sekaligus mensosialisasikan fokus pendidikan
yang Sekolah A adopsi melalui penerapan budaya sekolah.
Disamping itu kegiatan tahunan, ada juga kegiatan yang dilakukan per term/ setiap
tiga (3) bulan yang biasanya berkaitan dengan evaluasi belajar yang dilakukan setiap tiga
bulan sekali. Kegiatan per term ini juga berhubungan dengan event/ acara yang sekolah
adakan dan melibatkan partisipasi orang tua atau masyarakat luas secara umum. Baik
kegiatan tahunan, maupun events per term, keduanya sama-sama bertujuan memaksimalkan
penerapan budaya sekolah melalui elemen nilai, kebiasaan, norma dan simbol.
Untuk lebih mudah memahami, bagaimana Sekolah A mendesain kegiatan mereka
dalam upayanya memaksimalkan penerapan budaya sekolah, penulis menggunakan tabel
berikut:

5

Tabel 1: Berbagai kegiatan yang Sekolah A kembangkan terkait penerapan budaya sekolah
No

Kegiatan yang

dilakukan

1

Pekan Multi
Budaya/ MultiCultural Week
dan Pekan
Budaya
Indonesia/
Indonesia
Cultural Week .

2

Menyediakan
pelajaran agama
untuk 5 agama
yang ada, serta
menyelenggarakan kegiatan 3R


Tujuan Kegiatan
Nilai/ Values
 Mengeksplorasi keragaman
budaya yang
ada di
Indonesia dan
di dunia.
 Menumbuhkan
sikap
menghargai
akan hadirnya
perbedaan
budaya.

 Menunjukkan
sikap saling
menghargai
dan
menghormati
perbedaan.

 Mengeksplorasi keberagaman 5 agama.
 Menumbuhkan
serta
mengembang-

 Menunjukkan
sikap saling
menghormati
perbedaan
keyakinan.

Elemen Budaya Sekolah
Kebiasaan/
Norma/ Norms
Folkways
 Saling menyapa
 Menerapkan
sesama anggota
kebijakan dual
sekolah
language/ dwi
menggunakan
bahasa: Inggris
Bahasa
dan Indonesia
Indonesia/
secara
Bahasa Inggris
bergantian
setiap hari secara
setiap hari
bergantian.
sebagai bentuk
Kebiasaan yang
penghargaan
dibangun ini
akan hadirnya
sejalan dengan
guru/ staf
kebijakan
ekspatriat.
penerapan duallanguage/ dwi
bahasa.

 Menyelenggarakan Friday
Prayer . Tidak
hanya terbatas
Sholat Jumat bagi
penganut agama
6

 Mendukung
pelaksanaan
Friday Prayer
untu semua
agama dan
memastikan

Simbol/ Symbol
 Area sekolah
dipasang
“language
sign”
berbunyi,
“Today is
English Day”
berwarna biru,
dan/ “Hari ini
Hari
Berbahasa
Indonesia”
berwarna
merah,
sebagai
penanda
bahasa yang
harus
digunakan di
hari tersebut.
 Tersedianya
lima (5) buah
kelas untuk
penyelenggara
-an kelas
agama,

Pihak yang
terlibat
 Seluruh
anggota
sekolah.
 Orang tua
peserta didik
 Pengunjung
yang
mengunjungi
Sekolah A

 Guru dan
peserta didik

(RetreatRamadhanRecollection).

3

Parent- TeacherStudent Initial
Conference.

4

Parent- StudentTeacher
Conference dan
Student Lead

kan sikap
penghargaan
terhadap
anggota
sekolah yang
berbeda
keyakinan.
 Memastikan
setiap anggota
sekolah bisa
menjalankan
ibadah harian
mereka dengan
lancar.
 Menyamakan
tujuan akhir
akademik yang
peserta didik
akan capai di
akhir tahun
pelajaran.

 Melaporkan
evaluasi hasil
belajar peserta
didik

 Menumbuhkan
sikap mau
mendengarkan
keinginan
berbagai pihak
untuk
mencapai
kesepakatan.
 Saling
menghargai
dan menerima
pendapat yang
berbeda.
 Tumbuhnya
sikap mau
mendengarkan
dan menerima

Islam, namun
juga bagi
penganut agama
lain, diberikan
kegiatan serupa.

peserta didik
mengikuti
kegiatan
tersebut.

 Diadakan setiap
tahun ajaran baru
dimulai, sebagai
bentuk
mensosialisasikan misi dan visi
sekolah serta
memperkenalkan budaya
sekolah.

 Orang tua dan
peserta didik
dianjurkan
untuk
berpartisipasi
sebagai
bentuk
dukungan
mereka
terhadap
program yang
sekolah
jalankan.
 Tumbuhnya
sikap untuk
datang tepat
waktu/ on-time

 Kegiatan ini
diselenggarakan
setiap tiga bulan
sekali sebagai
7

lengkap
dengan
peralatan
ibadah dan
literatur
pendukung.

 Belum
tersedia

 Orang tuaPeserta
didik- dan
guru.

 Belum
tersedia

 Orang tua
dan peserta
didik.

Conference.

5

Daily Morning
Advisory/ Daily
Morning
Meeting.

6

Tersedianya
poster “Steps for
Resolving
Conflict” di

pendapat orang
 Mendiskusikan
lain.
/ Mereview
ulang
kesepakatan
tentang hasil
akademik yang
akan dicapai
oleh peserta
didik.
 Sebagai sarana  Tumbuhnya
guru
sikap saling
menyiapkan
menghormati
mood peserta
dan
didik.
menghargai
pendapat orang
 Membangun
lain.
rasa percaya
antara guru dan  Sikap
peserta didik
kerjasama
serta anggota
sebagai tim.
kelas sebagai
 Hadirnya
satu tim.
perilaku saling
mengingatkan
ketika ada yang
terlupa.
 Untuk melatih
seluruh
anggota
sekolah dalam

 Menumbuhkan
sikap mau
membuka diri
untuk

momen bagi
orang tua untuk
mengetahui
kemajuan belajar
peserta didik.

sebagai bentuk
penghargaan
terhadap
program
sekolah.

 Mengucapkan
student pledge
berbunyi:
“As a School A
student, I will:
1. Respect everyone
and everything.
2. Listen to others
when they are
talking.
3.Do my best.”,
sebelum kelas
dimulai.

 Kegiatan ini
dimulai setiap
hari dan
berlangsung
selama 30
menit.
 Jika ada
peserta didik
yang datang
terlambat,
maka ia wajib
meminta maaf
kepada seluruh
anggota kelas
sebagai bentuk
penyesalan.

 Dengan adanya
poster tersebut,
membuat peserta
didik semakin
8

 Dengan
tersedianya
poster ini di
setiap kelas,

 Tersedia log
book yang
berisi tentang
bagaimana
kegiatan ini
berjalan setiap
hari.
Termasuk
didalamnya
berapa jumlah
peserta didik
yang datang
terlambat,
berapa yang
tidak hadir
dan petugas
piket kelas di
hari itu.
 Poster
berwarna
gradasi biru
dan berlogo

 Guru dan
peserta didik

 Seluruh
anggota
sekolah, dan
orang tua

setiap kelas.

7

Mendesain
proses
pembelajaran di
kelas serta
pelaksanaannya/
Curriculum
Mapping and
Daily Teaching
Plan.

8

Berbagi ruang
saat berjalan/
menaiki tangga
dengan

menyelesaikan
masalah yang
mereka hadapi
sehari-hari.

menyelesaikan
masalah.
 Belajar
mendengarkan
keinginan pihak
lain.
 Belajar
berkompromi
untuk mencapai
win-win
solution.

 Untuk
mendapatkan
hasil maksimal
dari
pembelajaran
di kelas.

 Bersikap
terbuka
terhadap
perbedaan
pendapat, baik
yang
disampaikan
oleh rekan guru,
tim kepala
sekolah,
maupun peserta
didik, ketika
pembelajaran
terjadi.
 Tumbuhnya
sikap saling
berbagi ruang
ketika berjalan,

 Sebagai bentuk
menghargai
keberadaan
orang lain

terbiasa dalam
mengungkapkan
apa yang menjadi
masalah saat
mereka
menemukannya
 Peserta didik juga
terbiasa untuk
mencari solusi
alternatif ketika
sebuah solusi
tidak berhasil
dilakukan.
 Proses ini
dilakukan setiap
term (3 bulan)
sekali mengikuti
topik yang
diberikan oleh tim
kurikulum.

 Pembiasaan untuk
mengikuti tanda
panah saat
menggunakan
9

membuat
peserta didik
semakin awas/
aware tentang
apa yang harus
mereka
lakukan ketika
mereka
menghadapi
masalah dan
bagaimana cara
menyelesaikan
nya.
 Seyogyanya,
rancangan
pembelajaran
yang sudah
dibuat dan
diatur, sebisa
mungkin
dilaksanakan
sesuai dengan
time-frame
yang sekolah
miliki.
 Jika terlihat
anggota
sekolah yang
tidak bersedia

Sekolah A,
berisi 6 poin
berisi
langkahlangkah untuk
menyelesaikan sebuah
masalah.

peserta didik.

 Ditempelkan
beberapa kata
kunci beserta
ilustrasinya
sebagai
simbol untuk
membantu
peserta didik
memahami
materi yang
akan
dipelajari.

 Tim
akademik
(kepala
sekolah dan
para
wakilnya),
guru, peserta
didik.
 Orang tua
peserta didik

 Simbol tanda
panah yang
ditempel di
area tangga.

 Seluruh
anggota
sekolah.
 Tamu/

mengikuti tanda
panah yang
tersedia.

9

Open House

dengan cara
berbagi ruang
saat berjalan.

 Mempromosikan program
serta fokus
pendidikan.

menaiki tangga,
ataupun saat
mengantri untuk
keluar-masuk
lift.

 Menciptakan
budaya
transparansi/
keterbukaan
dalam
memberikan
informasi.

tangga, terasa
berbagi ruang
sulit di awal untuk
saat naik-turun
diaplikasikan.
tangga, atau
Namun secara
saat keluar
perlahan, anggota
masuk lift,
sekolah mulai
yang
terbiasa untuk
bersangkutan
berbagi ruang,
hanya
karena diberikan
diingatkan
tim pembentuk
untuk
budaya sekolah
mengikuti
secara konsisten
simbol tanda
melakukan
panah yang
modelling.
ada.
 Mempraktekan
 Melihat dan
 Penggunaan
kebiasaanmerasakan
language sign
kebiasaan baik
penerapan
yang ada di
yang mereka
kebijakan dualarea sekolah,
lakukan setiap
language/ dwidiperkenalkan
hari, pada saat
bahasa
kepada
melakukan
diterapkan, saat
pengunjung
touring. Misalnya,
peserta didik
saat touring.
berbagi ruang saat
menjawab
naik-turun tangga,
pertanyaan
dengan mengikuti
menggunakan
tanda panah.
Bahasa Inggris
ataupun
Bahasa
Indonesia.

10

pengunjung
yang
mengunjungi
Sekolah A.

 Seluruh
anggota
sekolah.
 Guru.
 Peserta didik.
 Pengunjung/
masyarakat
luas.

Dari sembilan (9) buah kegiatan yang Sekolah A kembangkan dan jalankan, ada lima
(5) kegiatan yang penulis lihat dan diberi tanda bintang, (

) sebagai upaya terbaik Sekolah

A dalam menerapkan transparansi pelaksanaan budaya sekolah, yaitu: (1). Pekan Multi
Budaya/ Multi-Cultural Week dan Pekan Budaya Indonesia/ Indonesia Cultural Week; (2).
Menyelenggarakan kegiatan 3R (Retreat- Ramadhan- Re-collection); (3). Daily Morning
Advisory/ Daily Morning Meeting/ Pertemuan pagi; (4). Prosedur “Steps for Resolving
Conflicts/ Langkah-langkah menyelesaikan konflik, serta (5) Open House.” Pemberian tanda

bintang tersebut, didasari pada hasil temuan di lapangan serta analisa penulis yang
menemukan bahwa ke-lima (5) kegiatan tersebut, mendapatkan exposure/ perhatian lebih
banyak dari anggota sekolah, terutama orang tua peserta didik dan masyarakat luas.
Mengapa? Karena pada lima (5) kegiatan tersebut, terlihat jelas fokus pendidikan Sekolah A,
yaitu mempromosikan dan menerima perbedaan/ promoting and accepting differences.
Meskipun dalam pengamatan penulis, Sekolah A sudah berhasil menerapkan budaya
sekolahnya secara transparan, namun bukan berarti Sekolah A menutup diri terhadap
berbagai perbaikan dan penyempurnaan. Tentu saja ide/ masukan dari orang tua, peserta didik
atau bahkan staf sekolah tentang bagaimana penerapan budaya sekolah bisa lebih
dimaksimalkan, akan menjadi masukan yang berharga bagi Sekolah A.

D. Kesimpulan
“Culture is not writings on the wall.” Begitulah seharusnya budaya sekolah dimaknai.
Bukan hanya sebagai dekorasi semata, namun juga harus dilakukan dan dirasakan. Budaya
sekolah dianggap berhasil dilaksanakan dengan baik, apabila budaya tersebut melekat/
endure dalam setiap sikap serta tingkah laku para pelakunya, dalam hal ini seluruh anggota

sekolah, dimana pun mereka berada dan dalam situasi apapun.
Sekolah A dengan berbagai keterbatasan serta kelebihan yang dimiliki, telah berusaha
maksimal dalam membuat budaya sekolah menjadi transparan untuk dijalankan. Di masa
yang akan datang, Sekolah A dituntut untuk terus menyempurnakan pelaksanaannya, agar
budaya tersebut menjadi living proof bagi masyarakat luas akan visi, misi serta fokus
pendidikan mereka yang berbunyi, “Sekolah A teaches the students to respect differences, to
allow differences, to encourage differences, until differences no longer make a difference.”

11

Daftar Referensi

Buku

 Akdon. (2006). Strategic Management for Educational Management (Manajemen
Strategik untuk Manajemen Pendidikan). Bandung

 Brinkerhoff, David B. and White, Lynn K. (1988). Sociology, 2nd Ed. New York: West
Publishing Company.

 Neubeck, Kenneth J. and Glasberg, Davita Silfen. (1996). Sociology: A Critical Approach.
New York: McGrawHill, Inc.

 Schermerhorn, John R. et al. (2011). Organizational Behavior . California: John Wiley and
Sons, Inc.

 Zanden, James W. Vander. (1996) Sociology: The Core. New York: McGrawHill, Inc.

Artikel Surat Kabar

 Suhardono, René. (2017, 25 Maret). Ultimate U: Culture is not Writings on The Wall.
KOMPAS.

Tentang Penulis:
Andreana Kusumaningtyas saat ini bekerja sebagai pengajar di Jakarta Multicultural
School. Penulis memperoleh gelar Master Pendidikan/ M.Pd, di tahun 2014 dari Universitas
Negeri Jakarta, dan gelar Sarjana Ilmu Politik/ S.IP dari Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung di tahun 2002. Pengalaman mengajar penulis dimulai tahun 2003 hingga saat ini, di
beberapa sekolah nasional plus dan internasional di Jakarta. Selain sebagai pengajar, penulis
juga memiliki pengalaman dalam memberikan workshop terkait soft-skills tentang “Learning
Style; Myers-Briggs Type of Personality; Emotional Intelligent, baik untuk peserta didik

maupun guru bimbingan konseling di tingkat SMP dan SMA.

12

13