Dampak Dana Perimbangan terhadap Kesenja
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK
DAMPAK DANA PERIMBANGAN PADA ERA DESENTRALISASI
TERHADAP KESENJANGAN ANTARWILAYAH DI INDONESIA
Diantha Arafia (1), Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D. (2)
(1)
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.
(2)
Abstrak
Sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal telah berkembang di Indonesia sejak tahun 1999. Salah satu
komponen dari desentralisasi fiskal adalah dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan
fiskal antarwilayah yang diharapkan dapat memeratakan pembangunan di Indonesia sehingga masalah
kesenjangan antarwilayah dapat dikurangi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak
dari adanya sistem dana perimbangan terhadap kesenjangan antarwilayah atau antarprovinsi di Indonesia
beserta dengan alasan-alasannya. Dalam memenuhi tujuan tersebut, studi ini menggunakan metode korelasi rpearson dan deskriptif. Hasil studi ini adalah kesenjangan antarwilayah di Indonesia berada dalam kategori
tinggi dalam periode tahun 2000-2011 dan masing-masing komponen dana perimbangan memiliki hubungan
yang kurang kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Namun, bila Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan
dalam perhitungan, kesenjangan menurun dan hubungan antara dana perimbangan dengan kesenjangan
antarwilayah menjadi kuat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, diindikasikan bahwa DAU, DAK, DBH, dan
keseluruhan dana perimbangan tidak memiliki dampak yang berarti bagi kesenjangan antarwilayah di
Indonesia karena DKI Jakarta masih jauh lebih menonjol dari daerah lainnya, formulasi dan pengalokasian
dana perimbangan yang belum efektif, serta campur tangan politik dana pelaksanaan sistem. Dari hasil
tersebut, dapat dirumuskan rekomendasi berupa perlu adanya terobosan dari pemerintah untuk menambah
kebijakan baru terkait spasial untuk meratakan pembangunan, merombak formulasi DAU, DAK, dan DBH
serta merevisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 agar menjadi lebih efektif.
Kata-kunci: Desentralisasi Fiskal , Dana Perimbangan, DAU, DAK, DBH, Kesenjangan Antarwilayah,
Indonesia
PENDAHULUAN
Indonesia telah mengadopsi sistem pemerintahan
terdesentralisasi yang didukung dengan kebijakan
desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar sistem
desentralisasi lebih optimal. Kebijakan desentralisasi
fiskal ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya
adalah mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah serta antardaerah. Hal
ini sejalan dengan fungsi dari salah satu komponen
penting desentralisasi fiskal yaitu dana perimbangan
yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi Hasil yang memiliki proporsi
terbesar dalam sistem tersebut. Dari perspektif
pengembangan wilayah, adanya pemerataan fiskal
antardaerah akan berimplikasi pada pengurangan
kesenjangan pembangunan antarwilayah di Indonesia
Namun, berdasarkan kenyataan yang ada,
masalah kesenjangan antarwilayah masih terjadi di
Indonesia. Selama 12 tahun berjalan, sistem dana
perimbangan yang menjadi tumpuan desentralisasi
fiskal di Indonesia juga masih dianggap belum efektif
dan efisien baik dilihat dari formulasi pengalokasian
maupun dalam pelaksanaan dan penggunaannya.
Selain itu, ternyata alokasi belanja daerah di
Indonesia maish fokus kepada belanja pegawai,
bukannya belanja langsung untuk kepentingan
pembangunan. Hal ini menimbulkan pertanyaan
apakah dengan adanya sistem dana perimbangan
dengan keadaan sistem desentralisasi yang masih
belum stabil ini dapat berfungsi dengan baik dan
tetap memberikan dampak terhadap pengurangan
masalah kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Penelitian ini bersifat eksplanatori yang ingin
melihat dampak dari sistem dana perimbangan
terhadap kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini
memiliki dua sasaran yaitu teridentifikasinya tren
kesenjangan antarwilayah di Indonesia dan
teridentifikasinya hubungan antara dana perimbangan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 1
dengan kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Pembahasan pada jurnal ini akan dilanjutkan dengan
metode penelitian, kajian literatur, gambaran umum,
analisis yang menjawab tiap sasaran, kesimpulan,
rekomendasi, dan daftar pustaka.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mencakup dua materi besar yaitu
kesenjangan antarwilayah di Indonesia dan dana
perimbangan pada era desentralisasi di Indonesia.
Penelitian ini memiliki unit analisis provinsi di
Indonesia dan periode waktu penelitian adalah tahun
2000-2011 yang mewakili masa berjalannya era
desentralisasi di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
deduktif dan metode kuantitatif. Pengumpulan data
dilakukan berdasarkan data sekunder dari Badan
Pusat Statistik, BAPPENAS, dan Kementerian
Keuangan. Tahapan analisis dilakukan berdasarkan
dua sasaran penelitian dan tujuannya. Berikut adalah
penjelasannya:
a. Analisis Kesenjangan Antarwilayah di Indonesia
Analisis ini menggunakan metode analisis deskriptif
dengan perhitungan Indeks Williamson sebagai
ukuran kesenjangan. Data yang digunakan adalah
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan jumlah
penduduk per provinsi.
b. Analisis Hubungan dan Dampak Dana
Perimbangan
terhadap
Kesenjangan
Antarwilayah di Indonesia
Analisis ini menggunakan metode analisis korelasi Rpearson untuk melihat hubungannya serta analisis
deskriptif untuk menjabarkan indikasi dampak dari
dana
perimbangan
terhadap
kesenjangan
antarwilayah di Indonesia dari penelitian, fakta, dan
informasi yang ada. Menurut Sugiyono (2012),
klasifikasi nilai r adalah:
0 - 0,199
: Sangat lemah
0,20 - 0,399
: Lemah
0,40 - 0,599
: Sedang/Kurang Kuat
0,60 - 0,799
: Kuat
0,80 - 1,0
: Sangat kuat
KAJIAN LITERATUR
Kesenjangan adalah suatu gambaran terhadap
fakta atau kondisi yang tidak homogen, yang di
dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang
membutuhkan perhatian (Bappenas, 2012). Masalah
ketimpangan merupakan hal yang wajar terjadi dalam
perkembangan suatu wilayah, namun hal ini menjadi
masalah ketika ada wilayah yang merasa bahwa
kesenjangan yang terjadi disebabkan oleh sistem
pemerintahan dan pembangunan yang salah yang
menyebabkan adanya backwash effect atau ketika
wilayah yang kaya diuntungkan oleh adanya wilayah
tertinggal sehingga wilayah kaya semakin kaya dan
yang tertinggal semakin mundur.
Pemerintah berupaya untuk mengurangi
ketimpangan
pembangunan
antarwilayah
di
Indonesia dengan berbagai cara, salah staunya
dengan menerapkan sistem desentralisasi dan
desentralisasi fiskal. Definisi desentralisasi menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan
oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
mendukung efektivitas kebijakan ini maka disusunlah
kebijakan desentralisasi fiskal yaitu instrumen
keuangan yang digunakan oleh pemerintah dalam
mengelola
pembangunan
guna
mendorong
perekonomian daerah maupun nasional. Tujuannya
adalah untuk memperbaiki kinerja keuangan melalui
peningkatan
keputusan
dalam
menciptakan
penerimaan dan pengeluaran yang rasional.
Komponen penting dari desentralisasi fiskal di
Indonesia adalah transfer fiskal atau dana
perimbangan (DAU, DAK, dan DBH).
DAU merupakan dana block grant yang harus
dialokasikan oleh pemerintah pusat sebesar 26% dari
Penerimaan Dalam Negeri Neto di APBN. Tujuannya
adalah untuk meminimumkan ketimpangan fiskal
antardaerah dan memiliki alokasi terbesar sebagai
sumber penerimaan daerah di Indonesia. DBH dibagi
menjadi dua yaitu DBH Sumberdaya Alam dan
Pajak. Fungsi dari DBH adalah meminimumkan
ketimpangan fiskal vertikal. DAK merupakan dana
matching grant yang berfungsi untuk mendanai
kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana
prioritas nasional untuk memeratakan pembangunan
di Indonesia. Ketiga dana ini memiliki fungsi yang
hampir sama namun tetap berbeda dan apabila
dilaksanakan dan digunakan dengan efektif dan
efisien akan menimbulkan pemerataan pembangunan
di Indonesia.
Penelitian ini mengaitkan sistem dana
perimbangan dan kesenjangan antarwilayah karena
secara teoritis dengan adanya sistem dana
perimbangan yang memiliki jumlah yang besar akan
berdampak
positif
terhadap
pengurangan
kesenjangan antarwilayah di Indonesia melalui
pemerataan fiskal dan pendapatan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 2
pengalokasiannya, namun masih diperdebatkan
keefektifan keberjalanannya dan belakangan ini
muncul wacana untuk merombak Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah karena masih belum
menimbulkan kepuasan bagi daerah-daerah di
Indonesia.
GAMBARAN UMUM KEADAAN
KESENJANGAN ANTARWILAYAH DAN
DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA
Berdasarkan penelitian terdahulu, Indeks
Williamson yang mewakili kesenjangan antarwilayah
di Indonesia tanpa sektor minyak dan gas cenderung
terus meningkat dari tahun 1976 hingga tahun 2000
yang mewakili era Orde Baru. Penelitian Tadjoedin,
et.al. (1998) menunjukkan angka yang amat tinggi
yaitu diatas 0,9 dari tahun 1993-1998. Faktor utama
yang meningkatkan tingkat kesenjangan antarwilayah
di Indonesia adalah karena Indonesia merupakan
negara berkembang yang masih dalam masa
perkembangan menuju pembangunan yang lebih
merata. Selain itu, faktor migrasi dan urbanisasi juga
menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berpindah
ke Pulau Jawa sangat tinggi karena pembangunan
terfokus di Pulau Jawa (Tirtosuharto, 1999). Selain
melihat kesenjangan wilayah di Indonesia secara
agregat, melihat kesenjangan antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) juga kerap dilakukan. Berdasarkan penelitian
berdasarkan Tirtosuharto (2009), 80% dari investasi
baik domestik maupun luar negeri pada tahun 19941997 lebih banyak dilakukan di Kawasan Barat
Indonesia yang terdiri dari Jawa, Bali, dan Sumatera
karena pembangunan di KBI lebih pesat dibanding di
KTI. Kebijakan desentralisasi dan desentralisasi
fiskal di Indonesia telah berjalan selama kurang lebih
12 tahun dan telah memasuki masa stabilitas menurut
fase yang disusun oleh pemerintah. Namun, pada
kenyataannya hingga kini sistem desentralisasi fiskal
masih dianggap belum efektif dan masih dalam tahap
penyempurnaan. Sistem dana perimbangan yang
menjadi komponen penting desentralisasi fiskal di
Indonesia terus mengalami peningkatan dalam
ANALISIS DAMPAK DANA PERIMBANGAN
TERHADAP KESENJANGAN
ANTARWILAYAH DI INDONESIA
Untuk mengetahui dampaknya, penelitian ini
akan menganalisis tren kesenjangan antarwilayah di
Indonesia
setelah
era
desentralisasi
dan
mengindentifikasi hubungan antara masing-maisng
dana perimbangan dengan Indeks Williamson
nonmigas yang menjadi representasi kesenjangan
antarwilayah di Indonesia.
Analisis kesenjangan antarwilayah pada
penelitian ini akan melihat tren kesenjangan dari
tahun 2000-2011 menggunakan tiga variasi yaitu
menggunakan Data PDRB ADHK 2000 dengan
migas, PDRB ADHK 2000 tanpa migas, dan PDRB
ADHK tanpa migas tetapi mengeluarkan Provinsi
DKI Jakarta dari perhitungan. Variasi ini dilakukan
mengingat sektor migas yang dominan di Indonesia
hanya dimiliki oleh beberapa provinsi saja antara lain
Aceh, Kalimantan Timur, dan Riau dan pendapatan
hasil dari sektor minyak dan gas tidak kembali pada
daerah itu saja namun juga ditransfer ke daerahdaerah lainnya (Akita dan Alisjahbana, 2002). Untuk
variasi ketiga, pendapatan per kapita di Provinsi DKI
Jakarta yang jauh diatas rata-rata atau jauh lebih
banyak
dibanding
provinsi-provinsi
lainnya
mengindikasikan adanya dominasi DKI Jakarta
dalam penentuan kesenjangan antarwilayah. Berikut
adalah hasil perhitungannya.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Indeks Williamson
Tahun
Indeks
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Williamson
Migas
0.84
0.90
0.84
0.83
0.85
0.79
0.79
0.80
0.81
0.80
0.80
0.81
Williamson
Non-Migas
0.83
0.89
0.84
0.85
0.92
0.80
0.80
0.82
0.83
0.81
0.82
0.83
Williamson
Non DKI
0.65
0.66
0.62
0.57
0.57
0.54
0.53
0.53
0.52
0.53
0.53
0.47
Sumber: Hasil Analisis, 2013
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 3
Dari Tabel 1, terlihat bahwa ketimpangan
antarwilayah di Indonesia, baik dengan PDRB
dengan migas maupun non-migas, menunjukkan
ketimpangan yang tinggi karena lebih dari 0,5 dan
dapat dikategorikan sangat tinggi karena mendekati
angka 1,00. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara indeks perhitungan PDRB dengan migas dari
tahun 2000 hingga tahun 2011 karena nilai indeks
hanya berada di antara 0,79-0,90 dan nilainya
fluktuatif. Begitu pula dengan perhitungan indeks
menggunakan data PDRB tanpa migas, kisaran angka
Indeks Williamson juga berada di antara 0,80-0,92
dan juga fluktuatif. Dengan tidak adanya perbedaan
yang signifikan antara indeks perhitungan PDRB
dengan migas dan tanpa migas, bahkan lebih tinggi
Indeks Williamson tanpa migas, mengindikasikan
adanya penurunan kontribusi sektor minyak dan gas
terhadap pembangunan ekonomi regional di
Indonesia, sesuai dengan argumentasi pada penelitian
Akita dan Alisjahbana (2002).
Pada perhitungan Indeks Williamson dengan
data PDRB dengan migas namun tidak
mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta dalam
perhitungan dengan alasan yang telah dijelaskan
sebelumnya, walaupun masih dalam kategori tinggi
karena lebih dari 0,5, namun menunjukkan perbedaan
yang cukup besar dari kedua Indeks Williamson
sebelumnya. Selain itu, terlihat tren kesenjangan
cenderung menurun dari tahun 2000 hingga tahun
2011. Bahkan, pada tahun 2011, Indeks Williamson
di Indonesia tanpa Provinsi DKI Jakarta adalah 0.47,
atau masuk ke dalam kategori rendah. Fenomena
kesenjangan antarwilayah di Indonesia ini dapat
dijelaskan oleh beberapa hal. Pertama, adanya gap
pendapatan per kapita yang amat besar di Indonesia.
Perbedaan pendapatan perkapita yang tertinggi dan
terendah pada tahun 2001 mencapai Rp26.316,08
ribu rupiah dan pada tahun 2011 meningkat 2 kali
lipat menjadi Rp40.451,20 ribu rupiah.
Provinsi yang memiliki pendapatn tertinggi
adalah DKI Jakarta, Kaltim, Kep. Riau, dan Papua.
Tingginya pendapatan perkapita di Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2001 dan 2011 dapat disebabkan
oleh status DKI Jakarta sebagai ibukota dan menjadi
pusat kegiatan sektor industri, jasa, dan perdagangan
internasional. Provinsi Kalimantan Timur, Kepulauan
Riau, serta Papua memiliki sumberdaya alam seperti
minyak dan gas bumi, bahan tambang, serta
sumberdaya hutan yang berlimpah serta jumlah
penduduk yang relatif sedikit, sehingga memiliki
pendapatan perkapita yang tinggi.
Berdasarkan nilai Indeks Williamson dan
melihat
penyebabnya
melalui
perbandingan
pendapatan perkapita, terlihat bahwa Provinsi DKI
Jakarta menjadi salah satu faktor utama yang
menjadikan kesenjangan antarwilayah di Indonesia
menjadi sangat timpang. Dominasi DKI Jakarta
dalam kesenjangan antarwilayah di Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1. DKI Jakarta merupakan ibukota negara
yang memiliki struktur ekonomi kota yang
sangat berbeda dengan provinsi (Sjafrizal,
2002), bahkan menempati posisi ke 17 dari
200 metropolitan dunia yang menunjukkan
kinerja ekonomi terbaik (Investor Daily, 27
Februari 2013)
2. Pembangunan infrakstruktur dan sistem
transportasi yang terpusat di ibukota.
3. Perbedaan struktur ekonomi daerah yang
besar dibandingkan dengan provinsi
lainnya (Sjahrizal, 2002)
Setelah mengetahui nilai Indeks Williamson di
Indonesia dari tahun 2000-2011 beserta trennya,
dapat disimpulkan bahwa setelah kebijakan
desentralisasi diberlakukan di Indonesia ternyata
kesenjangan antarwilayah masih terjadi bahkan
masih berada dalam kategori tinggi dan belum ada
penurunan yang signifikan. Untuk melihat hubungan
antara kesenjangan antarwilayah dengan sistem dana
perimbangan akan dilakukan analisis korelasi.
Berikut adalah hasil perhitungannya.
Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi
Komponen
Nilai r
Hubungan dengan
Indeks
Williamson
DAU
-0.528
Kurang Kuat
DAK
-0.544
Kurang Kuat
DBH
-0.488
Kurang Kuat
Dana Perimbangan
-0.523
Kurang Kuat
Sumber: Hasil Analisis, 2013
Dari tabel di atas, diketahui bahwa baik
DAU, DAK, DBH, maupun dana perimbangan secara
keseluruhan memiliki hubungan negatif yang kurang
kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Hal ini
menunjukkan apabila DAU, DAK, DBH, dan dana
perimbangan meningkat, pada saat yang bersamaan
Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 4
menurun, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya,
ketika DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan
meningkat, Indeks Williamson memang turun,
namun penurunan yang terjadi tidak berarti karena
kesenjangan yang terjadi masih tetap tinggi. Hal ini
menguatkan temuan statistik korelatif yang
menunjukkan hubungan yang ada antarvariabel tidak
begitu kuat.
Selain
itu, temuan
pada
analisis
kesenjangan yang mengindikasikan bahwa Provinsi
DKI Jakarta sebagai faktor utama kesenjangan
antarwilayah di Indonesia memberikan variasi baru
untuk
melihat
analisis
korelasi
tanpa
mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta dalam
perhitungan. Berikut adalah hasilnya.
Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Tanpa DKI
Komponen
Nilai r
Hubungan dengan
Indeks
Williamson
DAU
-0.861
Sangat Kuat
DAK
-0.858
Sangat Kuat
DBH
-0.776
Kuat
Dana Perimbangan
-0.853
Sangat Kuat
Sumber: Hasil Analisis, 2013
Dari tabel di atas, diketahui bahwa baik
DAU, DAK, maupun dana perimbangan secara
keseluruhan memiliki hubungan negatif yang sangat
kuat, kecuali DBH hanya memiliki hubungan yang
kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Hal ini
menunjukkan apabila DAU, DAK, DBH, dan dana
perimbangan meningkat, pada saat yang bersamaan
Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah
menurun, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya,
ketika DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan
tanpa DKI Jakarta meningkat, Indeks Williamson
tanpa DKI Jakarta turun signifikan hingga pada tahun
2011 menyentuh angka 0,47 atau termasuk dalam
kategori kesenjangan rendah. Sangat kuatnya
hubungan DAK, DAU, dan dana perimbangan serta
kuatnya hubungan DBH dan Indeks Williamson
tanpa Provinsi DKI Jakarta ini mengindikasikan
bahwa tanpa DKI Jakarta, Indonesia memiliki tingkat
pemerataan yang lebih baik dan sistem dana
perimbangan cenderung lebih berguna untuk
membantu daerah-daerah di Indonesia dalam
meningkatkan pemerataan antarwilayah di Indonesia
sesuai dengan tujuannya yaitu untuk memeratakan
fiskal antara pusat dan daerah serta antardaerah yang
menurut konteks pengembangan wilayah pada
akhirnya
akan
menghasilkan
pengurangan
kesenjangan antarwilayah karena masing-masing
daerah memiliki sumber dana yang memadai untuk
memajukan daerahnya masing-masing sesuai dengan
kebutuhannya.
Setelah melihat hasil statistik, indikasi
dampak dari dana perimbangan terhadap kesenjangan
antarwilayah di Indonesia akan dilakukan dengan
pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan
teori, fakta, dan informasi yang terkait dan
mendukung hasil temuan statistik korelasi
sebelumnya dari berbagai literatur, baik dokumen
kebijakan, laporan penelitian terdahulu, undangundang, formulasi, dan dokumen-dokumen terkait
lainnya. Dari dokumen-dokumen tersebut, akan
dibuat inferensi yang berguna untuk penyusunan
rekomendasi kepada pemerintah, baik bagi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berikut
adalah ringkasan dari dampak masing-masing
variabel yaitu DAU, DAK, DBH, dan dana
perimbangan.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik,
DAU memiliki hubungan negatif yang sedang atau
kurang kuat dengan kesenjangan antarwilayah secara
keseluruhan. Temuan statistik ini sejalan dengan
fakta yang ada hingga saat ini bahwa DAU masih
belum maksimal dalam menjalankan fungsinya
sebagai equalization grant yang berfungsi untuk
pemerataan
kemampuan
keuangan
daerah
berdasarkan evaluasi time series dengan indikator
koefisien variasi dan Indeks Williamson karena
ketimpangan fiskal tidak mengalami perubahan yang
signifikan (Kementerian Keuangan, 2012), yang
mengakibatkan pemerataan pembangunan di daerah
pun terhambat. Selain itu, BPK (2007) memaparkan
bahwa Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi
dalam pengalokasian DAU serta data dasar
perhitungan DAU direkayasa dan tidak valid dan
Shah (2012) mengatakan bahwa DAU belum mampu
berfungsi secara maksimal karena formulasinya
maish
belum
sempurna.
Sehingga,
dapat
diindikasikan bahwa DAU cenderung memiliki
dampak namun sangat kecil terhadap kesenjangan
antarwilayah di Indonesia karena belum mampu
melaksanakan fungsinya dengan maksimal sebagai
pemerata keuangan daerah untuk mendanai
pelayanan dasar sesuai dengan standar minimal
nasional
serta
masih
banyak
kesalahan,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 5
ketidaktransparanan, dan ketidakadilan dalam
formulasi alokasi DAU serta akuntabilitas
pemerintah baik pusat maupun daerah yang masih
buruk.
DAK, dengan alokasi yang jauh lebih kecil
dari DAU, ternyata memiliki hubungan dengan
kesenjangan antarwilayah yang hampir sama dengan
DAU yaitu kurang kuat namun signifikan pada
temuan statistik pertama. Pada saat ini, DAK sudah
tidak lagi berada dalam koridor utamanya yaitu
membiayai wilayah terpilih dengan kegiatan terpilih
sehingga tidak dapat dianggap khusus lagi. Padahal,
dana ini menjadi tumpuan pemerintah daerah dalam
menyempurnakan sarana dan prasarana di daerahnya
masing-masing. Berdasarkan temuan BPK (2007),
masalah dari DAK adalah perhitungan alokasi tidak
mengikuti kriteria yang telah ditentukan, adanya
kesalahan perhitungan DAK, dan pencairan DAK
tidak sesuai ketentuan (dicairkan pada akhir tahun).
Shah (2012) juga mengatakan bahwa DAK tidak
memiliki perspektif perencanaan untuk kekurangan
infrastruktur dan kriteria umum, khusus, dan teknis
untuk pengalokasiannya terlalu rumit. Adanya
temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa
DAK memiliki dampak namun sangat kecil terhadap
kesenjangan antarwilayah. Adanya masalah-masalah
penyelewengan DAK dan keterlambatan penyaluran
DAK, kriteria teknis, umum, dan khusus yang
diabaikan dalam pengalokasian DAK, serta arah
DAK yang menjadi tidak jelas karena tidak bersifat
khusus lagi membuat DAK tidak berfungsi secara
sempurna, tidak tepat guna, dan program-program
pembangunan yang dijadikan prioritas nasional untuk
peningkatan kualitas pelayanan menjadi terbengkalai.
DBH, yang dibagi menjadi dua yaitu DBH
Pajak dan DBH Sumberdaya Alam, sebagai dana
yang mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat
dan daerah, ternyata juga memiliki korelasi yang
kurang kuat serta tidak signifikan dengan Indeks
Williamson
yang
mewakili
kesenjangan
antarwilayah. Temuan statistik ini menunjukkan
bahwa apabila DBH meningkat maka kesenjangan
antarwilayah menurun ternyata berkontradiksi
dengan pendapat bahwa DBH memang menjadi
kunci pemerataan kesenjangan fiskal antara pusat dan
daerah, namun memperburuk ketidaksetaraan fiskal
horizontal yang berujung pada peningkatan
kesenjangan antarwilayah (Firman, 2003). Namun,
hubungannya yang kurang kuat mengindikasikan
bahwa bisa jadi DBH memang tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan
antarwilayah. Beberapa penelitian yang mendukung
adalah Firman (2003) yang mengatakan bahwa DBH
menjadi kunci untuk pemerataan kesenjangan fiskal
antara pusat dan daerah tetapi memperburuk
ketidaksetaraan fiskal horizontal yang berujung pada
peningkatan kesenjangan antarwilayah. BPK (2007)
juga mengatakan bahwa DBH memiliki masalah
keterlambatan penyaluran dana dan mekanisme
pemungutan pajak belum jelas. Hal ini diperkuat
dengan artikel di Harian Bisnis Indonesia (2009)
yang mengatakan bahwa keterlambatan penyaluran
DBH menyebabkan pembangunan di daerah tidak
berjalan lancar dan mengganggu keefektifan APBD.
Masalah lain dari DBH menurut Bappenas (2011)
adalah adanya perbedaan persepsi dalam pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan serta penentuan daerah
penghasil SDA yang tidak jelas. Hal ini
mengindikasikan bahwa DBH memiliki dampak
namun
sangat
kecil
terhadap
kesenjangan
antarwilayah karena mengalami hambatan dan
keterlambatan dalam pengalokasian, alokasi yang
tidak tepat sasaran, serta sistem pengalokasian masih
menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah.
Berdasarkan analisis korelasi, jumlah
keseluruhan dana perimbangan memiliki hubungan
negatif yang kurang kuat dengan Indeks Williamson
yang merepresentasikan kesenjangan antarwilayah.
Temuan statistik pertama dari penelitian ini yang
menyatakan adanya hubungan negatif walaupun
kurang kuat berkontradiksi dengan hasil temuan
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2008 bahwa
pelaksanaan otonomi daerah dan adanya peranan
dana perimbangan justru semakin memperbesar
kesenjangan pembangunan antarwilayah dan
pemerataan pendapatan tidak tercapai karena
terindikasi adanya permasalahan dalam alokasi
distribusi pendapatan di Indonesia sehingga kue
pembangunan hanya dinikmati dan berputar oleh
sejumlah pihak tertentu dan di wilayah tertentu.
Temuan BPK (2008) ini didukung dengan
kesimpulan penelitian Sinaga dan Hermanto (2005)
yang mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi
fiskal belum efektif dalam mengurangi kesenjangan
output (PDRB) antardaerah walaupun mampu
mendorong peningkatan output, pendapatan, dan
tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal
tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurang tepatnya
rumus yang digunakan dalam penentuan dana
perimbangan dan belum adanya aturan standar dalam
pengalokasian pengeluaran atau hanya sekitar 20%
pengeluaran digunakan untuk pembangunan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 6
Menurut dua temuan penelitian tersebut, hal ini
membuat daerah yang kaya atau maju semakin
berkembang dan wilayah marginal semakin
tertinggal.
Seperti masalah yang telah dipaparkan
pada dampak masing-masing dana perimbangan,
campur tangan politik dan penyelewengan dana
perimbangan juga belum hilang dari sistem
desentralisasi fiskal terutama pengalokasian dana
perimbangan. Salah satu kasus yang sempat mencuat
adalah masalah pemarkiran dana perimbangan
sebesar Rp50 triliun di SBI (Sertifikat Bank
Indonesia) dan Surat Utang Negara (SUN) juga dapat
menjadi sumber ketidakoptimalan sistem dana
perimbangan yang diidentifikasi telah terjadi sejak
tahun 2007 yang terbukti memarkirkan dana sebesar
Rp91 triliun. Buruknya perencanaan dan pelaksanaan
anggaran
yang
menyebabkan
terhambatnya
pengesahan anggaran juga pasifnya pemerintah
dalam
menjalankan
kebijakan-kebijakan
pembangunan dapat menjadi penyebab pemarkiran
dana ini.
Devas (1988) dalam Bappenas (2009)
mengemukakan tujuh kriteria untuk merancang
sistem perimbangan keuangan yaitu simplicity
(kesederhanaan atau formula alokasi yang mudah
dimengerti), adequacy (kecukupan untuk membiayai
kebutuhan dasar daerah), elasticity (penyesuaian
terhadap inflasi), stability and predictability (jumlah
alokasi relatif stabil dan mudah diprediksi), equity
(adanya aspek pemertaan antardaerah/tingkatan
pemerintahan),
economic
efficiency
(mampu
menjamin efisiensi penggunaan dana), dan
decentralization and local accountability (menjamin
otonomi daerah dan akuntabilitas lokal). Namun,
dalam pelaksanaannya di Indonesia, alokasi dana
perimbangan masih dinilai sangat kompleks yang
berujung
pada
kurangnya
transparansi,
ketidakmerataan, dan ketidakjelasan karena juga
mempertimbangkan faktor non-ekonomi atau faktor
non-formulasi dalam penentuannya serta banyaknya
campur tangan politik dalam pengalokasian dana
perimbangan sehingga keputusan ad-hoc terjadi
(Shah, et.al., 2012 dan Siddik, 2002). . Hal ini
mengindikasikan bahwa era desentralisasi dan sistem
desentralisasi
fiskal
terutama
sistem
dana
perimbangan yang menjadi fokus dalam penelitian
ini
cenderung
belum
bisa
mengintervensi
kesenjangan antarwilayah di Indonesia dengan alasan
yang dipaparkan pada analisis-analisis sebelumnya.
Namun, dari analisis korelasi yang menghubungkan
Indeks Williamson dengan DAU, DAK, DBH, dan
dana perimbangan tanpa mengikutsertakan DKI
Jakarta, ditemukan fakta bahwa hubungan negatifnya
menjadi sangat kuat. Hal ini mengindikasikan bahwa
mengindikasikan bahwa memang DKI Jakarta
menjadi faktor yang menyebabkan kesenjangan
antarwilayah di Indonesia menjadi tinggi, seperti
kesimpulan pada analisis sebelumnya. Temuan ini
sejalan dengan pendapat dari Irman Gusman (2013)
dalam Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang
dan Industri Indonesia Bidang Perbankan dan
Finansial yang menyatakan bahwa Kawasan Barat
Indonesia, terutama DKI Jakarta memberikan
kontribusi yang dominan sebesar 80,4% dari KBI dan
13,4% dari DKI Jakarta sendiri untuk PDB
Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sektorsektor ekonomi di luar Jawa masih belum
berkembang dan sektor yang berkembang pun masih
didominasi oleh sektor primer yang dikelola oleh
orang dari luar wilayah tersebut karena demokratisasi
masih terbatas pada bidang politik dan pemerintahan
saja, belum berimbas pada bidang ekonomi. Hal ini
bisa ditekan apabila manajemen otonomi daerah di
Indonesia dijalankan dengan baik. Namun, melihat
masih adanya dominasi DKI Jakarta dalam sektor
ekonomi dan investasi, mengindikasikan bahwa
sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal masih
belum mampu mengangkat perekonomian wilayahwilayah lain dan justru menguntungkan wilayah DKI
Jakarta yang mendapat banyak kesempatan, untuk
mengembangkan wilayah dengan lebih maju dan
pesat karena adanya sistem desentralisasi fiskal.
Menonjolnya DKI Jakarta pada pembangunan di
Indonesia justru menimbulkan masalah backwash
effect yang besar. DKI Jakarta mendapatkan jatah
Dana Bagi Hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan
paling besar atau mencapai sekitar 11 triliun rupiah
pada tahun 2010 dan bahkan jauh melebihi dana bagi
hasil bagi wilayah lainnya walaupun mendapatkan
jatah DAU yang kecil dan tidak mendapatkan jatah
DAK. Ringkasnya, sistem desentralisasi dan
desentralisasi fiskal justru membuat Provinsi DKI
Jakarta melaju lebih pesat meninggalkan wilayahwilayah lainnya.
KESIMPULAN
Hasil analisis mengenai keadaan kesenjangan
wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki kesenjangan antarwilayah yang termasuk
dalam kategori tinggi berdasarkan nilai Indeks
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 7
Williamsonnya, baik dengan sektor migas maupun
sektor nonmigas. Tren kesenjangan wilayah
berdasarkan Indeks Williamson dengan sektor migas
dari tahun 2000-2011 menunjukkan adanya fluktuasi
angka namun angkanya selalu berkisar antara 0,800,90. Tren kesenjangan wilayah dengan Indeks
Williamson tanpa sektor migas pada tahun 20002011 juga menunjukkan adanya fluktuasi dengan
angka berkisar 0,80-0,90 dan hampir sama dengan
analisis dengan mengikutsertakan sektor migas,
namun dilihat dari grafiknya, nilai Indeks Williamson
tanpa sektor migas selalu di atas grafik Indeks
Williamson dengan sektor migas. Namun,
kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi
menurun bila Provinsi DKI Jakarta dikeluarkan dari
dalam perhitungan.
Hal ini menunjukkan adanya penurunan
kontribusi sektor minyak dan gas terhadap
perkembangan ekonomi di Indonesia dan peran yang
besar dari Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan
kesenjangan antarwilayah karena adanya perbedaan
struktur ekonomi daerah yang timpang dengan
daerah-daerah lainnya. Hal ini sesuai dengan teori
backwash effect yang dicetuskan oleh Gunnar
Myrdal.
Kesenjangan wilayah di Indonesia yang tidak
ada perubahan dari tahun 2000-2011 atau pada era
desentralisasi fiskal ini menunjukkan bahwa agenda
kebijakan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan
wilayah belum berhasil. Sebnarnya, agenda kebijakan
ini memang tidak dapat langsung bekerja dalam
waktu yang singkat. Namun, kinerja kelembagaan
pusat dan daerah yang belum sinkron dan belum
efektif dalam pelaksanaan agenda kebijakan dalam
rangka mengurangi kesenjangan memperburuk
keadaan kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis untuk melihat
hubungan dan dampak dari dana perimbangan,
didapat hasil bahwa DAU, DAK, DBH, serta jumlah
total dana perimbangan memiliki hubungan terhadap
Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah.
Hubungan yang terjadi adalah hubungan negatif yang
kurang kuat karena nilai hubungan berada di angka
0,4-0,6. Untuk Dana Bagi Hasil, hubungan yang
terjadi tidak signifikan, sedangkan untuk variabel lain
didapatkan hubungan yang signifikan. Namun, ketika
analisis korelasi dilakukan antara variabel DAU,
DAK, DBH, dan jumlah total dana perimbangan
namun Provinsi DKI Jakarta ditiadakan berdasarkan
hasil analisis sebelumnya yang menyatakan DKI
sebagai faktor utama kesenjangan antarwilayah di
Indonesia, hubungan yang terjadi adalah negatif,
kuat, dan signifikan. Hal ini makin memperkuat
indikasi bahwa DKI Jakarta memang merupakan
faktor utama kesenjangan antarwilayah di Indonesia
dan sistem dana perimbangan belum mampu
membuat wilayah lain mengejar pertumbuhan DKI
Jakarta dan justru mempercepat pertumbuhan DKI
Jakarta.
Untuk melihat dampak dari dana perimbangan,
berdasarkan hasil analisis deskriptif dan melihat
teori, fakta, informasi, dan penelitian terdahulu, yang
dikaitkan dengan fakta bahwa hubungan yang kurang
kuat berdasarkan hasil analisis korelasi dapat
mengindikasikan bahwa dana perimbangan, baik
secara agregat maupun parsial, belum memiliki
dampak yang berarti terhadap pengurangan
kesenjangan antarwilayah di Indonesia.. DAU, yang
memiliki proporsi terbesar dalam dana perimbangan
masih belum memiliki formula dan sistem
pengalokasian yang efektif sehingga belum mampu
mewujudkan pemerataan fiskal di daerah yang
mengindikasikan bahwa DAU juga otomatis belum
mampu mengintervensi kesenjangan antarwilayah di
Indonesia. Beberapa masalah mendasar dari DAU
yaitu masih banyak kesalahan, ketidaktransparanan,
dan ketidakadilan dalam formula pengalokasian
DAU serta akuntabilitas pemerintah baik pusat
maupun daerah yang masih buruk. DAK, yang
menjadi tumpuan dana infrastruktur di daerah, juga
diindikasikan belum berdampak secara berarti
terhadap kesenjangan antarwilayah karena kriteria
teknis, umum, dan khusus yang menjadi acuan
alokasi DAK diabaikan dalam penentuan alokasi dan
rumit, keterlambatan penyaluran DAK yang
menghambat pembangunan di tahun sebelumnya
serta berpeluang untuk melakukan penyelewengan
dana, serta tidak adanya perspektif perencanaan
dalam penentuan program DAK. DBH juga
cenderung belum memberikan dampak yang berarti
seperti dua dana lainnya terhadap kesenjangan
antarwilayah karena masalah yang hampir sama
dengan DAU yaitu sistem alokasi yang terlalu rumit,
tidak transparan, dan tidak adil serta keterlamabatan
penyaluran seperti DAK sehingga banyak kabupaten
yang tidak mendapatkan jatah sesuai dengan
potensinya. Secara keseluruhan, dana perimbangan
pun diindikasikan belum mampu mengintervensi
pengurangan kesenjangan antarwilayah di Indonesia
karena dari masing-masing komponen dananya masih
memiliki kekurangan sehingga ketika berjalan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 8
beriringan pun tidak memiliki dampak yang berarti
dan belum berjalan secara efektif.
REKOMENDASI
Melihat sistem dana perimbangan yang belum
berdampak
terhadap
masalah
kesenjangan
antarwilayah, maka penulis ingin memberikan
rekomendasi untuk pemerintah agar sistem
desentralisasi fiskal dapat berjalan lebih efektif dan
pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap
pengurangan kesenjangan antarwilayah, yaitu:
1. Dengan adanya temuan bahwa Provinsi
DKI Jakarta justru lebih mendapatkan
keuntungan dengan adanya dana
perimbangan
dan
kebijakan
desentralisasi
fiskal
ini,
maka
diindikasikan sistem dana perimbangan
dan kebijakan desentralisasi fiskal perlu
dikaji ulang atau diberikan kebijakan
baru lainnya berupa kebijakan spasial
yang mengiringi kebijakan desentralisasi
fiskal terutama pengalokasian sistem
dana perimbangan;
2. Perlu adanya insentif dan penguatan dalam
pemungutan dan pengelolaan pajak
daerah serta perbaikan sistem pinjaman
daerah agar sistem desentralisasi fiskal
tidak hanya bertumpu kepada dana
perimbangan saja atau fokus pada
expenditure autonomy saja agar sistem
lebih efektif;
3. Pemerintah harus mengubah formulasi
perhitungan DAU, DAK, dan DBH serta
membuat pendekatan keseimbangan
fiskal yang komprehensif dengan cara
segera melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah menjadi lebih sederhana
agar lebih transparan, mudah dalam
pengalokasian, adil, serta mudah
dievaluasi
dalam
keberjalanannya
sehingga dapat berfungsi dengan efektif;
4. Perlu adanya insentif dan penguatan dalam
pemungutan dan pengelolaan pajak
daerah serta perbaikan sistem pinjaman
daerah agar sistem desentralisasi fiskal
tidak hanya bertumpu kepada dana
perimbangan saja atau fokus pada
expenditure autonomy saja agar sistem
lebih efektif;
5. Pemerintah harus mengubah formulasi
perhitungan DAU, DAK, dan DBH serta
membuat pendekatan keseimbangan
fiskal yang komprehensif dengan cara
segera melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah menjadi lebih sederhana
agar lebih transparan, mudah dalam
pengalokasian, adil, serta mudah
dievaluasi
dalam
keberjalanannya
sehingga dapat berfungsi dengan efektif;
6. Penyempurnaan formula dan kinerja DAU
dengan ketentuan:
o Perlu adanya pengelompokkan
daerah
berdasarkan
ukuran
penduduk,
wilayah,
dan
kemampuan
kelembagaan
pemerintah daerah karena satu
ukuran tidak cocok untuk semua
(pemerataan
belum
tentu
keadilan);
o Indeks Williamson yang dianggap
rumit dan bisa menimbulkan
campur tangan politik diganti
dengan rata-rata nasional menurut
ukuran dan kelas sebagai standar
penyetaraan;
o Membuang
penggantian
gaji
(alokasi dasar) dan pemakaian
indeks-indeks rumit seperti IPM
dan
menggunakan
ukuran
kebutuhan berdasarkan penduduk
penerima pelayanan untuk setiap
kategori pelayanan;
o Evaluasi pengalokasian DAU oleh
pihak berwenang secara ketat
melihat alokasi dari daerah yang
masih belum efisien dan efektif.
7. Penyempurnaan formula dan kinerja DAK
dengan ketentuan:
o Simplifikasi pendekatan kriteria
teknis, umum, dan khusus dengan
rumus-rumus yang sederhana;
o Penyusunan perspektif perencanaan
untuk
melihat
kekurangan
infrastruktur, bidang pelayanan
prioritas, dan standar pelayanan
yang
dijabarkan
berserta
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 9
pembiayaannya
dalam
RPJM
Nasional;
o Simplifikasi birokrasi dan sistem
tender terhadap proyek-proyek
prioritas agar berjalan lebih cepat
dan efektif;
o Penyediaan dana pendamping untuk
daerah-daerah
yang
memenuhi
syarat untuk menumbuhkan rasa
kepemilikan;
o Pemberian DAK yang dilakukan
dengan
evaluasi
ketat
agar
penyimpangan yang biasa terjadi
dapat
dicegah
dan
program
pembangunan berjalan mulus.
8. Penyempurnaan formula DBH dengan
ketentuan:
o Menjelaskan
secara
terperinci
dengan dasar-dasar dan teori yang
akurat
masing-masing
formula
pembagian hasil sehingga daerah
merasa pengalokasian DBH lebih
transparan;
o Penetapan daerah-daerah penghasil
dengan lebih akurat dan terus
dievaluasi agar tidak ada daerah
yang tidak dapat atau yang
mendapatkan jatah tidak sesuai
dengan potensinya.
o Melihat DKI Jakarta mendapatkan
keuntungan yang sangat besar dari
Pajak
Bumi
dan
Bangunan,
diharapkan pembagian hasil pajak
untuk wilayah maju terutama DKI
Jakarta ditinjau kembali karena
adanya
kondisi
kesenjangan
pembangunan antarwilayah yang
amat tinggi di Indonesia.
9. Peningkatan fungsi dana hibah (grant) atau
penambahan jenis dana hibah untuk
segera
menuju
pemerataan
pembangunan di daerah melihat fungsi
dana sekarang yang belum menuju
pemerataan pembangunan, melainkan
fokus pada sistem formulasi dan ujicoba.
10. Sistem dana perimbangan tidak akan
berjalan dengan efektif juga bila alokasi
belanja daerah masih belum sempurna
karena dua hal ini pada dasarnya selalu
terkait. Oleh karena itu, perlu adanya
penyusunan APBD yang lebih fokus
terhadap
pembangunan
dan
pengembangan
wilayah
dibanding
dengan pengeluaran di bidang belanja
pegawai dan belanja tidak langsung
lainnya.
Pihak
legislatif
perlu
mengevaluasi dan merombak APBD
daerah-daerah agar lebih ringkas dan
mengarah ke satu tujuan, perbaikan
pembangunan regional dan perlu ada
tindakan kritis dan berani dari pihak
pemerintah agar campur tangan politik
tidak mengganggu pos penganggaran
seperti yang sering terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Akita, Takahiro, and Armida S. Alisjahbana. 2002.
“Regional Income Inequality in Indonesia and
The Initial Impact of the Economic Crisis”.
Bulletin of Indonesia Economic Studies 38 (2):
201-220.
Aris, Achmad. 2010. “Keterlambatan Dana
Perimbangan Belum Teratasi”. Harian Bisnis
Indonesia.
Bappenas. 2012. Analisis Kesenjangan Antarwilayah
2012. Direktorat Pengembangan Wilayah:
Jakarta.
Firman, Tommy. 2003. “Potential Impacts of
Indonesia’s Fiscal Decentralisation Reform on
Urban and Regional Development: Towards a
New Pattern of Spatial Disparity”. Space and
Polity 7 (3): 247-271.
Juanda, Bambang, et.al. 2012. Reformulasi DAU
Untuk Memperkuat Peran Sebagai Equalization
Grant. Jakarta: Kementerian Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal.
Keuangan, Kementerian. 2009. Grand Design
Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jakarta.
Kuncoro,
Mudrajad.
2004.
Otonomi
dan
Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga.
Majalah Triwulanan BPK RI. “Pemeriksa Bebas dan
Objektif: Pemeriksaan Dana Perimbangan”. No
112/April-Juni 2008.
Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
Republik Indonesia, 2013.
Shah, Anwar. 2012. “Pilihan Pembiayaan Pemda di
Indonesia” dalam Desentralisasi Fiskal di
Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan: Jakarta
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Niaga Swadaya.
World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Publik
Indonesia 2007. Jakarta: World Bank.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 10
DAMPAK DANA PERIMBANGAN PADA ERA DESENTRALISASI
TERHADAP KESENJANGAN ANTARWILAYAH DI INDONESIA
Diantha Arafia (1), Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D. (2)
(1)
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.
(2)
Abstrak
Sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal telah berkembang di Indonesia sejak tahun 1999. Salah satu
komponen dari desentralisasi fiskal adalah dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan
fiskal antarwilayah yang diharapkan dapat memeratakan pembangunan di Indonesia sehingga masalah
kesenjangan antarwilayah dapat dikurangi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak
dari adanya sistem dana perimbangan terhadap kesenjangan antarwilayah atau antarprovinsi di Indonesia
beserta dengan alasan-alasannya. Dalam memenuhi tujuan tersebut, studi ini menggunakan metode korelasi rpearson dan deskriptif. Hasil studi ini adalah kesenjangan antarwilayah di Indonesia berada dalam kategori
tinggi dalam periode tahun 2000-2011 dan masing-masing komponen dana perimbangan memiliki hubungan
yang kurang kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Namun, bila Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan
dalam perhitungan, kesenjangan menurun dan hubungan antara dana perimbangan dengan kesenjangan
antarwilayah menjadi kuat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, diindikasikan bahwa DAU, DAK, DBH, dan
keseluruhan dana perimbangan tidak memiliki dampak yang berarti bagi kesenjangan antarwilayah di
Indonesia karena DKI Jakarta masih jauh lebih menonjol dari daerah lainnya, formulasi dan pengalokasian
dana perimbangan yang belum efektif, serta campur tangan politik dana pelaksanaan sistem. Dari hasil
tersebut, dapat dirumuskan rekomendasi berupa perlu adanya terobosan dari pemerintah untuk menambah
kebijakan baru terkait spasial untuk meratakan pembangunan, merombak formulasi DAU, DAK, dan DBH
serta merevisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 agar menjadi lebih efektif.
Kata-kunci: Desentralisasi Fiskal , Dana Perimbangan, DAU, DAK, DBH, Kesenjangan Antarwilayah,
Indonesia
PENDAHULUAN
Indonesia telah mengadopsi sistem pemerintahan
terdesentralisasi yang didukung dengan kebijakan
desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar sistem
desentralisasi lebih optimal. Kebijakan desentralisasi
fiskal ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya
adalah mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah serta antardaerah. Hal
ini sejalan dengan fungsi dari salah satu komponen
penting desentralisasi fiskal yaitu dana perimbangan
yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi Hasil yang memiliki proporsi
terbesar dalam sistem tersebut. Dari perspektif
pengembangan wilayah, adanya pemerataan fiskal
antardaerah akan berimplikasi pada pengurangan
kesenjangan pembangunan antarwilayah di Indonesia
Namun, berdasarkan kenyataan yang ada,
masalah kesenjangan antarwilayah masih terjadi di
Indonesia. Selama 12 tahun berjalan, sistem dana
perimbangan yang menjadi tumpuan desentralisasi
fiskal di Indonesia juga masih dianggap belum efektif
dan efisien baik dilihat dari formulasi pengalokasian
maupun dalam pelaksanaan dan penggunaannya.
Selain itu, ternyata alokasi belanja daerah di
Indonesia maish fokus kepada belanja pegawai,
bukannya belanja langsung untuk kepentingan
pembangunan. Hal ini menimbulkan pertanyaan
apakah dengan adanya sistem dana perimbangan
dengan keadaan sistem desentralisasi yang masih
belum stabil ini dapat berfungsi dengan baik dan
tetap memberikan dampak terhadap pengurangan
masalah kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Penelitian ini bersifat eksplanatori yang ingin
melihat dampak dari sistem dana perimbangan
terhadap kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini
memiliki dua sasaran yaitu teridentifikasinya tren
kesenjangan antarwilayah di Indonesia dan
teridentifikasinya hubungan antara dana perimbangan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 1
dengan kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Pembahasan pada jurnal ini akan dilanjutkan dengan
metode penelitian, kajian literatur, gambaran umum,
analisis yang menjawab tiap sasaran, kesimpulan,
rekomendasi, dan daftar pustaka.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mencakup dua materi besar yaitu
kesenjangan antarwilayah di Indonesia dan dana
perimbangan pada era desentralisasi di Indonesia.
Penelitian ini memiliki unit analisis provinsi di
Indonesia dan periode waktu penelitian adalah tahun
2000-2011 yang mewakili masa berjalannya era
desentralisasi di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
deduktif dan metode kuantitatif. Pengumpulan data
dilakukan berdasarkan data sekunder dari Badan
Pusat Statistik, BAPPENAS, dan Kementerian
Keuangan. Tahapan analisis dilakukan berdasarkan
dua sasaran penelitian dan tujuannya. Berikut adalah
penjelasannya:
a. Analisis Kesenjangan Antarwilayah di Indonesia
Analisis ini menggunakan metode analisis deskriptif
dengan perhitungan Indeks Williamson sebagai
ukuran kesenjangan. Data yang digunakan adalah
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan jumlah
penduduk per provinsi.
b. Analisis Hubungan dan Dampak Dana
Perimbangan
terhadap
Kesenjangan
Antarwilayah di Indonesia
Analisis ini menggunakan metode analisis korelasi Rpearson untuk melihat hubungannya serta analisis
deskriptif untuk menjabarkan indikasi dampak dari
dana
perimbangan
terhadap
kesenjangan
antarwilayah di Indonesia dari penelitian, fakta, dan
informasi yang ada. Menurut Sugiyono (2012),
klasifikasi nilai r adalah:
0 - 0,199
: Sangat lemah
0,20 - 0,399
: Lemah
0,40 - 0,599
: Sedang/Kurang Kuat
0,60 - 0,799
: Kuat
0,80 - 1,0
: Sangat kuat
KAJIAN LITERATUR
Kesenjangan adalah suatu gambaran terhadap
fakta atau kondisi yang tidak homogen, yang di
dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang
membutuhkan perhatian (Bappenas, 2012). Masalah
ketimpangan merupakan hal yang wajar terjadi dalam
perkembangan suatu wilayah, namun hal ini menjadi
masalah ketika ada wilayah yang merasa bahwa
kesenjangan yang terjadi disebabkan oleh sistem
pemerintahan dan pembangunan yang salah yang
menyebabkan adanya backwash effect atau ketika
wilayah yang kaya diuntungkan oleh adanya wilayah
tertinggal sehingga wilayah kaya semakin kaya dan
yang tertinggal semakin mundur.
Pemerintah berupaya untuk mengurangi
ketimpangan
pembangunan
antarwilayah
di
Indonesia dengan berbagai cara, salah staunya
dengan menerapkan sistem desentralisasi dan
desentralisasi fiskal. Definisi desentralisasi menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan
oleh
pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
mendukung efektivitas kebijakan ini maka disusunlah
kebijakan desentralisasi fiskal yaitu instrumen
keuangan yang digunakan oleh pemerintah dalam
mengelola
pembangunan
guna
mendorong
perekonomian daerah maupun nasional. Tujuannya
adalah untuk memperbaiki kinerja keuangan melalui
peningkatan
keputusan
dalam
menciptakan
penerimaan dan pengeluaran yang rasional.
Komponen penting dari desentralisasi fiskal di
Indonesia adalah transfer fiskal atau dana
perimbangan (DAU, DAK, dan DBH).
DAU merupakan dana block grant yang harus
dialokasikan oleh pemerintah pusat sebesar 26% dari
Penerimaan Dalam Negeri Neto di APBN. Tujuannya
adalah untuk meminimumkan ketimpangan fiskal
antardaerah dan memiliki alokasi terbesar sebagai
sumber penerimaan daerah di Indonesia. DBH dibagi
menjadi dua yaitu DBH Sumberdaya Alam dan
Pajak. Fungsi dari DBH adalah meminimumkan
ketimpangan fiskal vertikal. DAK merupakan dana
matching grant yang berfungsi untuk mendanai
kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana
prioritas nasional untuk memeratakan pembangunan
di Indonesia. Ketiga dana ini memiliki fungsi yang
hampir sama namun tetap berbeda dan apabila
dilaksanakan dan digunakan dengan efektif dan
efisien akan menimbulkan pemerataan pembangunan
di Indonesia.
Penelitian ini mengaitkan sistem dana
perimbangan dan kesenjangan antarwilayah karena
secara teoritis dengan adanya sistem dana
perimbangan yang memiliki jumlah yang besar akan
berdampak
positif
terhadap
pengurangan
kesenjangan antarwilayah di Indonesia melalui
pemerataan fiskal dan pendapatan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 2
pengalokasiannya, namun masih diperdebatkan
keefektifan keberjalanannya dan belakangan ini
muncul wacana untuk merombak Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah karena masih belum
menimbulkan kepuasan bagi daerah-daerah di
Indonesia.
GAMBARAN UMUM KEADAAN
KESENJANGAN ANTARWILAYAH DAN
DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA
Berdasarkan penelitian terdahulu, Indeks
Williamson yang mewakili kesenjangan antarwilayah
di Indonesia tanpa sektor minyak dan gas cenderung
terus meningkat dari tahun 1976 hingga tahun 2000
yang mewakili era Orde Baru. Penelitian Tadjoedin,
et.al. (1998) menunjukkan angka yang amat tinggi
yaitu diatas 0,9 dari tahun 1993-1998. Faktor utama
yang meningkatkan tingkat kesenjangan antarwilayah
di Indonesia adalah karena Indonesia merupakan
negara berkembang yang masih dalam masa
perkembangan menuju pembangunan yang lebih
merata. Selain itu, faktor migrasi dan urbanisasi juga
menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berpindah
ke Pulau Jawa sangat tinggi karena pembangunan
terfokus di Pulau Jawa (Tirtosuharto, 1999). Selain
melihat kesenjangan wilayah di Indonesia secara
agregat, melihat kesenjangan antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) juga kerap dilakukan. Berdasarkan penelitian
berdasarkan Tirtosuharto (2009), 80% dari investasi
baik domestik maupun luar negeri pada tahun 19941997 lebih banyak dilakukan di Kawasan Barat
Indonesia yang terdiri dari Jawa, Bali, dan Sumatera
karena pembangunan di KBI lebih pesat dibanding di
KTI. Kebijakan desentralisasi dan desentralisasi
fiskal di Indonesia telah berjalan selama kurang lebih
12 tahun dan telah memasuki masa stabilitas menurut
fase yang disusun oleh pemerintah. Namun, pada
kenyataannya hingga kini sistem desentralisasi fiskal
masih dianggap belum efektif dan masih dalam tahap
penyempurnaan. Sistem dana perimbangan yang
menjadi komponen penting desentralisasi fiskal di
Indonesia terus mengalami peningkatan dalam
ANALISIS DAMPAK DANA PERIMBANGAN
TERHADAP KESENJANGAN
ANTARWILAYAH DI INDONESIA
Untuk mengetahui dampaknya, penelitian ini
akan menganalisis tren kesenjangan antarwilayah di
Indonesia
setelah
era
desentralisasi
dan
mengindentifikasi hubungan antara masing-maisng
dana perimbangan dengan Indeks Williamson
nonmigas yang menjadi representasi kesenjangan
antarwilayah di Indonesia.
Analisis kesenjangan antarwilayah pada
penelitian ini akan melihat tren kesenjangan dari
tahun 2000-2011 menggunakan tiga variasi yaitu
menggunakan Data PDRB ADHK 2000 dengan
migas, PDRB ADHK 2000 tanpa migas, dan PDRB
ADHK tanpa migas tetapi mengeluarkan Provinsi
DKI Jakarta dari perhitungan. Variasi ini dilakukan
mengingat sektor migas yang dominan di Indonesia
hanya dimiliki oleh beberapa provinsi saja antara lain
Aceh, Kalimantan Timur, dan Riau dan pendapatan
hasil dari sektor minyak dan gas tidak kembali pada
daerah itu saja namun juga ditransfer ke daerahdaerah lainnya (Akita dan Alisjahbana, 2002). Untuk
variasi ketiga, pendapatan per kapita di Provinsi DKI
Jakarta yang jauh diatas rata-rata atau jauh lebih
banyak
dibanding
provinsi-provinsi
lainnya
mengindikasikan adanya dominasi DKI Jakarta
dalam penentuan kesenjangan antarwilayah. Berikut
adalah hasil perhitungannya.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Indeks Williamson
Tahun
Indeks
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Williamson
Migas
0.84
0.90
0.84
0.83
0.85
0.79
0.79
0.80
0.81
0.80
0.80
0.81
Williamson
Non-Migas
0.83
0.89
0.84
0.85
0.92
0.80
0.80
0.82
0.83
0.81
0.82
0.83
Williamson
Non DKI
0.65
0.66
0.62
0.57
0.57
0.54
0.53
0.53
0.52
0.53
0.53
0.47
Sumber: Hasil Analisis, 2013
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 3
Dari Tabel 1, terlihat bahwa ketimpangan
antarwilayah di Indonesia, baik dengan PDRB
dengan migas maupun non-migas, menunjukkan
ketimpangan yang tinggi karena lebih dari 0,5 dan
dapat dikategorikan sangat tinggi karena mendekati
angka 1,00. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara indeks perhitungan PDRB dengan migas dari
tahun 2000 hingga tahun 2011 karena nilai indeks
hanya berada di antara 0,79-0,90 dan nilainya
fluktuatif. Begitu pula dengan perhitungan indeks
menggunakan data PDRB tanpa migas, kisaran angka
Indeks Williamson juga berada di antara 0,80-0,92
dan juga fluktuatif. Dengan tidak adanya perbedaan
yang signifikan antara indeks perhitungan PDRB
dengan migas dan tanpa migas, bahkan lebih tinggi
Indeks Williamson tanpa migas, mengindikasikan
adanya penurunan kontribusi sektor minyak dan gas
terhadap pembangunan ekonomi regional di
Indonesia, sesuai dengan argumentasi pada penelitian
Akita dan Alisjahbana (2002).
Pada perhitungan Indeks Williamson dengan
data PDRB dengan migas namun tidak
mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta dalam
perhitungan dengan alasan yang telah dijelaskan
sebelumnya, walaupun masih dalam kategori tinggi
karena lebih dari 0,5, namun menunjukkan perbedaan
yang cukup besar dari kedua Indeks Williamson
sebelumnya. Selain itu, terlihat tren kesenjangan
cenderung menurun dari tahun 2000 hingga tahun
2011. Bahkan, pada tahun 2011, Indeks Williamson
di Indonesia tanpa Provinsi DKI Jakarta adalah 0.47,
atau masuk ke dalam kategori rendah. Fenomena
kesenjangan antarwilayah di Indonesia ini dapat
dijelaskan oleh beberapa hal. Pertama, adanya gap
pendapatan per kapita yang amat besar di Indonesia.
Perbedaan pendapatan perkapita yang tertinggi dan
terendah pada tahun 2001 mencapai Rp26.316,08
ribu rupiah dan pada tahun 2011 meningkat 2 kali
lipat menjadi Rp40.451,20 ribu rupiah.
Provinsi yang memiliki pendapatn tertinggi
adalah DKI Jakarta, Kaltim, Kep. Riau, dan Papua.
Tingginya pendapatan perkapita di Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2001 dan 2011 dapat disebabkan
oleh status DKI Jakarta sebagai ibukota dan menjadi
pusat kegiatan sektor industri, jasa, dan perdagangan
internasional. Provinsi Kalimantan Timur, Kepulauan
Riau, serta Papua memiliki sumberdaya alam seperti
minyak dan gas bumi, bahan tambang, serta
sumberdaya hutan yang berlimpah serta jumlah
penduduk yang relatif sedikit, sehingga memiliki
pendapatan perkapita yang tinggi.
Berdasarkan nilai Indeks Williamson dan
melihat
penyebabnya
melalui
perbandingan
pendapatan perkapita, terlihat bahwa Provinsi DKI
Jakarta menjadi salah satu faktor utama yang
menjadikan kesenjangan antarwilayah di Indonesia
menjadi sangat timpang. Dominasi DKI Jakarta
dalam kesenjangan antarwilayah di Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1. DKI Jakarta merupakan ibukota negara
yang memiliki struktur ekonomi kota yang
sangat berbeda dengan provinsi (Sjafrizal,
2002), bahkan menempati posisi ke 17 dari
200 metropolitan dunia yang menunjukkan
kinerja ekonomi terbaik (Investor Daily, 27
Februari 2013)
2. Pembangunan infrakstruktur dan sistem
transportasi yang terpusat di ibukota.
3. Perbedaan struktur ekonomi daerah yang
besar dibandingkan dengan provinsi
lainnya (Sjahrizal, 2002)
Setelah mengetahui nilai Indeks Williamson di
Indonesia dari tahun 2000-2011 beserta trennya,
dapat disimpulkan bahwa setelah kebijakan
desentralisasi diberlakukan di Indonesia ternyata
kesenjangan antarwilayah masih terjadi bahkan
masih berada dalam kategori tinggi dan belum ada
penurunan yang signifikan. Untuk melihat hubungan
antara kesenjangan antarwilayah dengan sistem dana
perimbangan akan dilakukan analisis korelasi.
Berikut adalah hasil perhitungannya.
Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi
Komponen
Nilai r
Hubungan dengan
Indeks
Williamson
DAU
-0.528
Kurang Kuat
DAK
-0.544
Kurang Kuat
DBH
-0.488
Kurang Kuat
Dana Perimbangan
-0.523
Kurang Kuat
Sumber: Hasil Analisis, 2013
Dari tabel di atas, diketahui bahwa baik
DAU, DAK, DBH, maupun dana perimbangan secara
keseluruhan memiliki hubungan negatif yang kurang
kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Hal ini
menunjukkan apabila DAU, DAK, DBH, dan dana
perimbangan meningkat, pada saat yang bersamaan
Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 4
menurun, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya,
ketika DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan
meningkat, Indeks Williamson memang turun,
namun penurunan yang terjadi tidak berarti karena
kesenjangan yang terjadi masih tetap tinggi. Hal ini
menguatkan temuan statistik korelatif yang
menunjukkan hubungan yang ada antarvariabel tidak
begitu kuat.
Selain
itu, temuan
pada
analisis
kesenjangan yang mengindikasikan bahwa Provinsi
DKI Jakarta sebagai faktor utama kesenjangan
antarwilayah di Indonesia memberikan variasi baru
untuk
melihat
analisis
korelasi
tanpa
mengikutsertakan Provinsi DKI Jakarta dalam
perhitungan. Berikut adalah hasilnya.
Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Tanpa DKI
Komponen
Nilai r
Hubungan dengan
Indeks
Williamson
DAU
-0.861
Sangat Kuat
DAK
-0.858
Sangat Kuat
DBH
-0.776
Kuat
Dana Perimbangan
-0.853
Sangat Kuat
Sumber: Hasil Analisis, 2013
Dari tabel di atas, diketahui bahwa baik
DAU, DAK, maupun dana perimbangan secara
keseluruhan memiliki hubungan negatif yang sangat
kuat, kecuali DBH hanya memiliki hubungan yang
kuat dengan kesenjangan antarwilayah. Hal ini
menunjukkan apabila DAU, DAK, DBH, dan dana
perimbangan meningkat, pada saat yang bersamaan
Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah
menurun, begitupun sebaliknya. Pada kenyataannya,
ketika DAU, DAK, DBH, dan dana perimbangan
tanpa DKI Jakarta meningkat, Indeks Williamson
tanpa DKI Jakarta turun signifikan hingga pada tahun
2011 menyentuh angka 0,47 atau termasuk dalam
kategori kesenjangan rendah. Sangat kuatnya
hubungan DAK, DAU, dan dana perimbangan serta
kuatnya hubungan DBH dan Indeks Williamson
tanpa Provinsi DKI Jakarta ini mengindikasikan
bahwa tanpa DKI Jakarta, Indonesia memiliki tingkat
pemerataan yang lebih baik dan sistem dana
perimbangan cenderung lebih berguna untuk
membantu daerah-daerah di Indonesia dalam
meningkatkan pemerataan antarwilayah di Indonesia
sesuai dengan tujuannya yaitu untuk memeratakan
fiskal antara pusat dan daerah serta antardaerah yang
menurut konteks pengembangan wilayah pada
akhirnya
akan
menghasilkan
pengurangan
kesenjangan antarwilayah karena masing-masing
daerah memiliki sumber dana yang memadai untuk
memajukan daerahnya masing-masing sesuai dengan
kebutuhannya.
Setelah melihat hasil statistik, indikasi
dampak dari dana perimbangan terhadap kesenjangan
antarwilayah di Indonesia akan dilakukan dengan
pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan
teori, fakta, dan informasi yang terkait dan
mendukung hasil temuan statistik korelasi
sebelumnya dari berbagai literatur, baik dokumen
kebijakan, laporan penelitian terdahulu, undangundang, formulasi, dan dokumen-dokumen terkait
lainnya. Dari dokumen-dokumen tersebut, akan
dibuat inferensi yang berguna untuk penyusunan
rekomendasi kepada pemerintah, baik bagi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berikut
adalah ringkasan dari dampak masing-masing
variabel yaitu DAU, DAK, DBH, dan dana
perimbangan.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik,
DAU memiliki hubungan negatif yang sedang atau
kurang kuat dengan kesenjangan antarwilayah secara
keseluruhan. Temuan statistik ini sejalan dengan
fakta yang ada hingga saat ini bahwa DAU masih
belum maksimal dalam menjalankan fungsinya
sebagai equalization grant yang berfungsi untuk
pemerataan
kemampuan
keuangan
daerah
berdasarkan evaluasi time series dengan indikator
koefisien variasi dan Indeks Williamson karena
ketimpangan fiskal tidak mengalami perubahan yang
signifikan (Kementerian Keuangan, 2012), yang
mengakibatkan pemerataan pembangunan di daerah
pun terhambat. Selain itu, BPK (2007) memaparkan
bahwa Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi
dalam pengalokasian DAU serta data dasar
perhitungan DAU direkayasa dan tidak valid dan
Shah (2012) mengatakan bahwa DAU belum mampu
berfungsi secara maksimal karena formulasinya
maish
belum
sempurna.
Sehingga,
dapat
diindikasikan bahwa DAU cenderung memiliki
dampak namun sangat kecil terhadap kesenjangan
antarwilayah di Indonesia karena belum mampu
melaksanakan fungsinya dengan maksimal sebagai
pemerata keuangan daerah untuk mendanai
pelayanan dasar sesuai dengan standar minimal
nasional
serta
masih
banyak
kesalahan,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 5
ketidaktransparanan, dan ketidakadilan dalam
formulasi alokasi DAU serta akuntabilitas
pemerintah baik pusat maupun daerah yang masih
buruk.
DAK, dengan alokasi yang jauh lebih kecil
dari DAU, ternyata memiliki hubungan dengan
kesenjangan antarwilayah yang hampir sama dengan
DAU yaitu kurang kuat namun signifikan pada
temuan statistik pertama. Pada saat ini, DAK sudah
tidak lagi berada dalam koridor utamanya yaitu
membiayai wilayah terpilih dengan kegiatan terpilih
sehingga tidak dapat dianggap khusus lagi. Padahal,
dana ini menjadi tumpuan pemerintah daerah dalam
menyempurnakan sarana dan prasarana di daerahnya
masing-masing. Berdasarkan temuan BPK (2007),
masalah dari DAK adalah perhitungan alokasi tidak
mengikuti kriteria yang telah ditentukan, adanya
kesalahan perhitungan DAK, dan pencairan DAK
tidak sesuai ketentuan (dicairkan pada akhir tahun).
Shah (2012) juga mengatakan bahwa DAK tidak
memiliki perspektif perencanaan untuk kekurangan
infrastruktur dan kriteria umum, khusus, dan teknis
untuk pengalokasiannya terlalu rumit. Adanya
temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa
DAK memiliki dampak namun sangat kecil terhadap
kesenjangan antarwilayah. Adanya masalah-masalah
penyelewengan DAK dan keterlambatan penyaluran
DAK, kriteria teknis, umum, dan khusus yang
diabaikan dalam pengalokasian DAK, serta arah
DAK yang menjadi tidak jelas karena tidak bersifat
khusus lagi membuat DAK tidak berfungsi secara
sempurna, tidak tepat guna, dan program-program
pembangunan yang dijadikan prioritas nasional untuk
peningkatan kualitas pelayanan menjadi terbengkalai.
DBH, yang dibagi menjadi dua yaitu DBH
Pajak dan DBH Sumberdaya Alam, sebagai dana
yang mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat
dan daerah, ternyata juga memiliki korelasi yang
kurang kuat serta tidak signifikan dengan Indeks
Williamson
yang
mewakili
kesenjangan
antarwilayah. Temuan statistik ini menunjukkan
bahwa apabila DBH meningkat maka kesenjangan
antarwilayah menurun ternyata berkontradiksi
dengan pendapat bahwa DBH memang menjadi
kunci pemerataan kesenjangan fiskal antara pusat dan
daerah, namun memperburuk ketidaksetaraan fiskal
horizontal yang berujung pada peningkatan
kesenjangan antarwilayah (Firman, 2003). Namun,
hubungannya yang kurang kuat mengindikasikan
bahwa bisa jadi DBH memang tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan
antarwilayah. Beberapa penelitian yang mendukung
adalah Firman (2003) yang mengatakan bahwa DBH
menjadi kunci untuk pemerataan kesenjangan fiskal
antara pusat dan daerah tetapi memperburuk
ketidaksetaraan fiskal horizontal yang berujung pada
peningkatan kesenjangan antarwilayah. BPK (2007)
juga mengatakan bahwa DBH memiliki masalah
keterlambatan penyaluran dana dan mekanisme
pemungutan pajak belum jelas. Hal ini diperkuat
dengan artikel di Harian Bisnis Indonesia (2009)
yang mengatakan bahwa keterlambatan penyaluran
DBH menyebabkan pembangunan di daerah tidak
berjalan lancar dan mengganggu keefektifan APBD.
Masalah lain dari DBH menurut Bappenas (2011)
adalah adanya perbedaan persepsi dalam pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan serta penentuan daerah
penghasil SDA yang tidak jelas. Hal ini
mengindikasikan bahwa DBH memiliki dampak
namun
sangat
kecil
terhadap
kesenjangan
antarwilayah karena mengalami hambatan dan
keterlambatan dalam pengalokasian, alokasi yang
tidak tepat sasaran, serta sistem pengalokasian masih
menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah.
Berdasarkan analisis korelasi, jumlah
keseluruhan dana perimbangan memiliki hubungan
negatif yang kurang kuat dengan Indeks Williamson
yang merepresentasikan kesenjangan antarwilayah.
Temuan statistik pertama dari penelitian ini yang
menyatakan adanya hubungan negatif walaupun
kurang kuat berkontradiksi dengan hasil temuan
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2008 bahwa
pelaksanaan otonomi daerah dan adanya peranan
dana perimbangan justru semakin memperbesar
kesenjangan pembangunan antarwilayah dan
pemerataan pendapatan tidak tercapai karena
terindikasi adanya permasalahan dalam alokasi
distribusi pendapatan di Indonesia sehingga kue
pembangunan hanya dinikmati dan berputar oleh
sejumlah pihak tertentu dan di wilayah tertentu.
Temuan BPK (2008) ini didukung dengan
kesimpulan penelitian Sinaga dan Hermanto (2005)
yang mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi
fiskal belum efektif dalam mengurangi kesenjangan
output (PDRB) antardaerah walaupun mampu
mendorong peningkatan output, pendapatan, dan
tenaga kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal
tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurang tepatnya
rumus yang digunakan dalam penentuan dana
perimbangan dan belum adanya aturan standar dalam
pengalokasian pengeluaran atau hanya sekitar 20%
pengeluaran digunakan untuk pembangunan.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 6
Menurut dua temuan penelitian tersebut, hal ini
membuat daerah yang kaya atau maju semakin
berkembang dan wilayah marginal semakin
tertinggal.
Seperti masalah yang telah dipaparkan
pada dampak masing-masing dana perimbangan,
campur tangan politik dan penyelewengan dana
perimbangan juga belum hilang dari sistem
desentralisasi fiskal terutama pengalokasian dana
perimbangan. Salah satu kasus yang sempat mencuat
adalah masalah pemarkiran dana perimbangan
sebesar Rp50 triliun di SBI (Sertifikat Bank
Indonesia) dan Surat Utang Negara (SUN) juga dapat
menjadi sumber ketidakoptimalan sistem dana
perimbangan yang diidentifikasi telah terjadi sejak
tahun 2007 yang terbukti memarkirkan dana sebesar
Rp91 triliun. Buruknya perencanaan dan pelaksanaan
anggaran
yang
menyebabkan
terhambatnya
pengesahan anggaran juga pasifnya pemerintah
dalam
menjalankan
kebijakan-kebijakan
pembangunan dapat menjadi penyebab pemarkiran
dana ini.
Devas (1988) dalam Bappenas (2009)
mengemukakan tujuh kriteria untuk merancang
sistem perimbangan keuangan yaitu simplicity
(kesederhanaan atau formula alokasi yang mudah
dimengerti), adequacy (kecukupan untuk membiayai
kebutuhan dasar daerah), elasticity (penyesuaian
terhadap inflasi), stability and predictability (jumlah
alokasi relatif stabil dan mudah diprediksi), equity
(adanya aspek pemertaan antardaerah/tingkatan
pemerintahan),
economic
efficiency
(mampu
menjamin efisiensi penggunaan dana), dan
decentralization and local accountability (menjamin
otonomi daerah dan akuntabilitas lokal). Namun,
dalam pelaksanaannya di Indonesia, alokasi dana
perimbangan masih dinilai sangat kompleks yang
berujung
pada
kurangnya
transparansi,
ketidakmerataan, dan ketidakjelasan karena juga
mempertimbangkan faktor non-ekonomi atau faktor
non-formulasi dalam penentuannya serta banyaknya
campur tangan politik dalam pengalokasian dana
perimbangan sehingga keputusan ad-hoc terjadi
(Shah, et.al., 2012 dan Siddik, 2002). . Hal ini
mengindikasikan bahwa era desentralisasi dan sistem
desentralisasi
fiskal
terutama
sistem
dana
perimbangan yang menjadi fokus dalam penelitian
ini
cenderung
belum
bisa
mengintervensi
kesenjangan antarwilayah di Indonesia dengan alasan
yang dipaparkan pada analisis-analisis sebelumnya.
Namun, dari analisis korelasi yang menghubungkan
Indeks Williamson dengan DAU, DAK, DBH, dan
dana perimbangan tanpa mengikutsertakan DKI
Jakarta, ditemukan fakta bahwa hubungan negatifnya
menjadi sangat kuat. Hal ini mengindikasikan bahwa
mengindikasikan bahwa memang DKI Jakarta
menjadi faktor yang menyebabkan kesenjangan
antarwilayah di Indonesia menjadi tinggi, seperti
kesimpulan pada analisis sebelumnya. Temuan ini
sejalan dengan pendapat dari Irman Gusman (2013)
dalam Rapat Koordinasi Nasional Kamar Dagang
dan Industri Indonesia Bidang Perbankan dan
Finansial yang menyatakan bahwa Kawasan Barat
Indonesia, terutama DKI Jakarta memberikan
kontribusi yang dominan sebesar 80,4% dari KBI dan
13,4% dari DKI Jakarta sendiri untuk PDB
Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sektorsektor ekonomi di luar Jawa masih belum
berkembang dan sektor yang berkembang pun masih
didominasi oleh sektor primer yang dikelola oleh
orang dari luar wilayah tersebut karena demokratisasi
masih terbatas pada bidang politik dan pemerintahan
saja, belum berimbas pada bidang ekonomi. Hal ini
bisa ditekan apabila manajemen otonomi daerah di
Indonesia dijalankan dengan baik. Namun, melihat
masih adanya dominasi DKI Jakarta dalam sektor
ekonomi dan investasi, mengindikasikan bahwa
sistem desentralisasi dan desentralisasi fiskal masih
belum mampu mengangkat perekonomian wilayahwilayah lain dan justru menguntungkan wilayah DKI
Jakarta yang mendapat banyak kesempatan, untuk
mengembangkan wilayah dengan lebih maju dan
pesat karena adanya sistem desentralisasi fiskal.
Menonjolnya DKI Jakarta pada pembangunan di
Indonesia justru menimbulkan masalah backwash
effect yang besar. DKI Jakarta mendapatkan jatah
Dana Bagi Hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan
paling besar atau mencapai sekitar 11 triliun rupiah
pada tahun 2010 dan bahkan jauh melebihi dana bagi
hasil bagi wilayah lainnya walaupun mendapatkan
jatah DAU yang kecil dan tidak mendapatkan jatah
DAK. Ringkasnya, sistem desentralisasi dan
desentralisasi fiskal justru membuat Provinsi DKI
Jakarta melaju lebih pesat meninggalkan wilayahwilayah lainnya.
KESIMPULAN
Hasil analisis mengenai keadaan kesenjangan
wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki kesenjangan antarwilayah yang termasuk
dalam kategori tinggi berdasarkan nilai Indeks
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 7
Williamsonnya, baik dengan sektor migas maupun
sektor nonmigas. Tren kesenjangan wilayah
berdasarkan Indeks Williamson dengan sektor migas
dari tahun 2000-2011 menunjukkan adanya fluktuasi
angka namun angkanya selalu berkisar antara 0,800,90. Tren kesenjangan wilayah dengan Indeks
Williamson tanpa sektor migas pada tahun 20002011 juga menunjukkan adanya fluktuasi dengan
angka berkisar 0,80-0,90 dan hampir sama dengan
analisis dengan mengikutsertakan sektor migas,
namun dilihat dari grafiknya, nilai Indeks Williamson
tanpa sektor migas selalu di atas grafik Indeks
Williamson dengan sektor migas. Namun,
kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi
menurun bila Provinsi DKI Jakarta dikeluarkan dari
dalam perhitungan.
Hal ini menunjukkan adanya penurunan
kontribusi sektor minyak dan gas terhadap
perkembangan ekonomi di Indonesia dan peran yang
besar dari Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan
kesenjangan antarwilayah karena adanya perbedaan
struktur ekonomi daerah yang timpang dengan
daerah-daerah lainnya. Hal ini sesuai dengan teori
backwash effect yang dicetuskan oleh Gunnar
Myrdal.
Kesenjangan wilayah di Indonesia yang tidak
ada perubahan dari tahun 2000-2011 atau pada era
desentralisasi fiskal ini menunjukkan bahwa agenda
kebijakan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan
wilayah belum berhasil. Sebnarnya, agenda kebijakan
ini memang tidak dapat langsung bekerja dalam
waktu yang singkat. Namun, kinerja kelembagaan
pusat dan daerah yang belum sinkron dan belum
efektif dalam pelaksanaan agenda kebijakan dalam
rangka mengurangi kesenjangan memperburuk
keadaan kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis untuk melihat
hubungan dan dampak dari dana perimbangan,
didapat hasil bahwa DAU, DAK, DBH, serta jumlah
total dana perimbangan memiliki hubungan terhadap
Indeks Williamson atau kesenjangan antarwilayah.
Hubungan yang terjadi adalah hubungan negatif yang
kurang kuat karena nilai hubungan berada di angka
0,4-0,6. Untuk Dana Bagi Hasil, hubungan yang
terjadi tidak signifikan, sedangkan untuk variabel lain
didapatkan hubungan yang signifikan. Namun, ketika
analisis korelasi dilakukan antara variabel DAU,
DAK, DBH, dan jumlah total dana perimbangan
namun Provinsi DKI Jakarta ditiadakan berdasarkan
hasil analisis sebelumnya yang menyatakan DKI
sebagai faktor utama kesenjangan antarwilayah di
Indonesia, hubungan yang terjadi adalah negatif,
kuat, dan signifikan. Hal ini makin memperkuat
indikasi bahwa DKI Jakarta memang merupakan
faktor utama kesenjangan antarwilayah di Indonesia
dan sistem dana perimbangan belum mampu
membuat wilayah lain mengejar pertumbuhan DKI
Jakarta dan justru mempercepat pertumbuhan DKI
Jakarta.
Untuk melihat dampak dari dana perimbangan,
berdasarkan hasil analisis deskriptif dan melihat
teori, fakta, informasi, dan penelitian terdahulu, yang
dikaitkan dengan fakta bahwa hubungan yang kurang
kuat berdasarkan hasil analisis korelasi dapat
mengindikasikan bahwa dana perimbangan, baik
secara agregat maupun parsial, belum memiliki
dampak yang berarti terhadap pengurangan
kesenjangan antarwilayah di Indonesia.. DAU, yang
memiliki proporsi terbesar dalam dana perimbangan
masih belum memiliki formula dan sistem
pengalokasian yang efektif sehingga belum mampu
mewujudkan pemerataan fiskal di daerah yang
mengindikasikan bahwa DAU juga otomatis belum
mampu mengintervensi kesenjangan antarwilayah di
Indonesia. Beberapa masalah mendasar dari DAU
yaitu masih banyak kesalahan, ketidaktransparanan,
dan ketidakadilan dalam formula pengalokasian
DAU serta akuntabilitas pemerintah baik pusat
maupun daerah yang masih buruk. DAK, yang
menjadi tumpuan dana infrastruktur di daerah, juga
diindikasikan belum berdampak secara berarti
terhadap kesenjangan antarwilayah karena kriteria
teknis, umum, dan khusus yang menjadi acuan
alokasi DAK diabaikan dalam penentuan alokasi dan
rumit, keterlambatan penyaluran DAK yang
menghambat pembangunan di tahun sebelumnya
serta berpeluang untuk melakukan penyelewengan
dana, serta tidak adanya perspektif perencanaan
dalam penentuan program DAK. DBH juga
cenderung belum memberikan dampak yang berarti
seperti dua dana lainnya terhadap kesenjangan
antarwilayah karena masalah yang hampir sama
dengan DAU yaitu sistem alokasi yang terlalu rumit,
tidak transparan, dan tidak adil serta keterlamabatan
penyaluran seperti DAK sehingga banyak kabupaten
yang tidak mendapatkan jatah sesuai dengan
potensinya. Secara keseluruhan, dana perimbangan
pun diindikasikan belum mampu mengintervensi
pengurangan kesenjangan antarwilayah di Indonesia
karena dari masing-masing komponen dananya masih
memiliki kekurangan sehingga ketika berjalan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 8
beriringan pun tidak memiliki dampak yang berarti
dan belum berjalan secara efektif.
REKOMENDASI
Melihat sistem dana perimbangan yang belum
berdampak
terhadap
masalah
kesenjangan
antarwilayah, maka penulis ingin memberikan
rekomendasi untuk pemerintah agar sistem
desentralisasi fiskal dapat berjalan lebih efektif dan
pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap
pengurangan kesenjangan antarwilayah, yaitu:
1. Dengan adanya temuan bahwa Provinsi
DKI Jakarta justru lebih mendapatkan
keuntungan dengan adanya dana
perimbangan
dan
kebijakan
desentralisasi
fiskal
ini,
maka
diindikasikan sistem dana perimbangan
dan kebijakan desentralisasi fiskal perlu
dikaji ulang atau diberikan kebijakan
baru lainnya berupa kebijakan spasial
yang mengiringi kebijakan desentralisasi
fiskal terutama pengalokasian sistem
dana perimbangan;
2. Perlu adanya insentif dan penguatan dalam
pemungutan dan pengelolaan pajak
daerah serta perbaikan sistem pinjaman
daerah agar sistem desentralisasi fiskal
tidak hanya bertumpu kepada dana
perimbangan saja atau fokus pada
expenditure autonomy saja agar sistem
lebih efektif;
3. Pemerintah harus mengubah formulasi
perhitungan DAU, DAK, dan DBH serta
membuat pendekatan keseimbangan
fiskal yang komprehensif dengan cara
segera melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah menjadi lebih sederhana
agar lebih transparan, mudah dalam
pengalokasian, adil, serta mudah
dievaluasi
dalam
keberjalanannya
sehingga dapat berfungsi dengan efektif;
4. Perlu adanya insentif dan penguatan dalam
pemungutan dan pengelolaan pajak
daerah serta perbaikan sistem pinjaman
daerah agar sistem desentralisasi fiskal
tidak hanya bertumpu kepada dana
perimbangan saja atau fokus pada
expenditure autonomy saja agar sistem
lebih efektif;
5. Pemerintah harus mengubah formulasi
perhitungan DAU, DAK, dan DBH serta
membuat pendekatan keseimbangan
fiskal yang komprehensif dengan cara
segera melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah menjadi lebih sederhana
agar lebih transparan, mudah dalam
pengalokasian, adil, serta mudah
dievaluasi
dalam
keberjalanannya
sehingga dapat berfungsi dengan efektif;
6. Penyempurnaan formula dan kinerja DAU
dengan ketentuan:
o Perlu adanya pengelompokkan
daerah
berdasarkan
ukuran
penduduk,
wilayah,
dan
kemampuan
kelembagaan
pemerintah daerah karena satu
ukuran tidak cocok untuk semua
(pemerataan
belum
tentu
keadilan);
o Indeks Williamson yang dianggap
rumit dan bisa menimbulkan
campur tangan politik diganti
dengan rata-rata nasional menurut
ukuran dan kelas sebagai standar
penyetaraan;
o Membuang
penggantian
gaji
(alokasi dasar) dan pemakaian
indeks-indeks rumit seperti IPM
dan
menggunakan
ukuran
kebutuhan berdasarkan penduduk
penerima pelayanan untuk setiap
kategori pelayanan;
o Evaluasi pengalokasian DAU oleh
pihak berwenang secara ketat
melihat alokasi dari daerah yang
masih belum efisien dan efektif.
7. Penyempurnaan formula dan kinerja DAK
dengan ketentuan:
o Simplifikasi pendekatan kriteria
teknis, umum, dan khusus dengan
rumus-rumus yang sederhana;
o Penyusunan perspektif perencanaan
untuk
melihat
kekurangan
infrastruktur, bidang pelayanan
prioritas, dan standar pelayanan
yang
dijabarkan
berserta
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 9
pembiayaannya
dalam
RPJM
Nasional;
o Simplifikasi birokrasi dan sistem
tender terhadap proyek-proyek
prioritas agar berjalan lebih cepat
dan efektif;
o Penyediaan dana pendamping untuk
daerah-daerah
yang
memenuhi
syarat untuk menumbuhkan rasa
kepemilikan;
o Pemberian DAK yang dilakukan
dengan
evaluasi
ketat
agar
penyimpangan yang biasa terjadi
dapat
dicegah
dan
program
pembangunan berjalan mulus.
8. Penyempurnaan formula DBH dengan
ketentuan:
o Menjelaskan
secara
terperinci
dengan dasar-dasar dan teori yang
akurat
masing-masing
formula
pembagian hasil sehingga daerah
merasa pengalokasian DBH lebih
transparan;
o Penetapan daerah-daerah penghasil
dengan lebih akurat dan terus
dievaluasi agar tidak ada daerah
yang tidak dapat atau yang
mendapatkan jatah tidak sesuai
dengan potensinya.
o Melihat DKI Jakarta mendapatkan
keuntungan yang sangat besar dari
Pajak
Bumi
dan
Bangunan,
diharapkan pembagian hasil pajak
untuk wilayah maju terutama DKI
Jakarta ditinjau kembali karena
adanya
kondisi
kesenjangan
pembangunan antarwilayah yang
amat tinggi di Indonesia.
9. Peningkatan fungsi dana hibah (grant) atau
penambahan jenis dana hibah untuk
segera
menuju
pemerataan
pembangunan di daerah melihat fungsi
dana sekarang yang belum menuju
pemerataan pembangunan, melainkan
fokus pada sistem formulasi dan ujicoba.
10. Sistem dana perimbangan tidak akan
berjalan dengan efektif juga bila alokasi
belanja daerah masih belum sempurna
karena dua hal ini pada dasarnya selalu
terkait. Oleh karena itu, perlu adanya
penyusunan APBD yang lebih fokus
terhadap
pembangunan
dan
pengembangan
wilayah
dibanding
dengan pengeluaran di bidang belanja
pegawai dan belanja tidak langsung
lainnya.
Pihak
legislatif
perlu
mengevaluasi dan merombak APBD
daerah-daerah agar lebih ringkas dan
mengarah ke satu tujuan, perbaikan
pembangunan regional dan perlu ada
tindakan kritis dan berani dari pihak
pemerintah agar campur tangan politik
tidak mengganggu pos penganggaran
seperti yang sering terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Akita, Takahiro, and Armida S. Alisjahbana. 2002.
“Regional Income Inequality in Indonesia and
The Initial Impact of the Economic Crisis”.
Bulletin of Indonesia Economic Studies 38 (2):
201-220.
Aris, Achmad. 2010. “Keterlambatan Dana
Perimbangan Belum Teratasi”. Harian Bisnis
Indonesia.
Bappenas. 2012. Analisis Kesenjangan Antarwilayah
2012. Direktorat Pengembangan Wilayah:
Jakarta.
Firman, Tommy. 2003. “Potential Impacts of
Indonesia’s Fiscal Decentralisation Reform on
Urban and Regional Development: Towards a
New Pattern of Spatial Disparity”. Space and
Polity 7 (3): 247-271.
Juanda, Bambang, et.al. 2012. Reformulasi DAU
Untuk Memperkuat Peran Sebagai Equalization
Grant. Jakarta: Kementerian Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal.
Keuangan, Kementerian. 2009. Grand Design
Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jakarta.
Kuncoro,
Mudrajad.
2004.
Otonomi
dan
Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga.
Majalah Triwulanan BPK RI. “Pemeriksa Bebas dan
Objektif: Pemeriksaan Dana Perimbangan”. No
112/April-Juni 2008.
Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
Republik Indonesia, 2013.
Shah, Anwar. 2012. “Pilihan Pembiayaan Pemda di
Indonesia” dalam Desentralisasi Fiskal di
Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan: Jakarta
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Niaga Swadaya.
World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Publik
Indonesia 2007. Jakarta: World Bank.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 1 | 10