KEGAGALAN PROYEK SISTEM INFORMASI ERP PA
KEGAGALAN PROYEK SISTEM
INFORMASI ERP PADA PERUSAHAAN
FOXMEYER
Insan Harish
Telkom University
Information System - 1106110088
Bandung, Indonesia
Martha Okrina
Telkom University
Information System – 1106110106
Bandung, Indonesia
Abstrak – Proyek Sistem Informasi adalah proyek
yang berhubungan perangkat lunak/Sistem informasi
dalam suatu sistem komputer. Tentunya dengan adanya
proyek sistem informasi ini sangat diperlukan adanya
manajemen yang kuat yang melatar belakangi proyek
sistem informasi ini secara mendetail. Hubungan relasi
antar setiap bagian dalam proyek sangat diperlukan
untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam proyek
sistem informasi. Kegagalan dalam sistem informasi
sendiri terdiri dari banyak faktor yang meliputi scope
(pandangan), time (waktu), cost (biaya) dan quality
(kualitas). Keberhasilan sebuah proyek pasti
membutuhkan tenaga dan pikiran yang tidak sedikit.
Seorang manajer proyek dituntut untuk memastikan
sebuah proyek telah berjalan sesuai rencana dan tidak
melebar ke arah yang salah. Tetapi sampai saat ini
ternyata masih banyak proyek gagal atau terlambat
dan akan memakan biaya yang tidak sedikit.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pelaksanaan sebuah proyek sistem
informasi, baik itu dari skala kecil sampai dengan
besar, sangat sering terjadinya delay bahkan sampai
dengan pembatalan. Menurut hasil survey Hasil
survey Standish Group tahun 1995 (Chaos Report),
Hanya sekitar 16% proyek yang dapat diselesaikan
secara on-time dan on-budget, itupun hanya sekitar
40% saja yang on-spec pada proyek skala enterprise,
Mahdy Arief
Telkom University
Information System – 1106110045
Bandung, Indonesia
Agung Insani Alam
Telkom University
Information System – 1106110087
Bandung, Indonesia
sedangkan pada proyek di perusahaan yang lebih
kecil bisa mencapai angka 74% on-spec (sesuai
fungsi dan fitur yang direncanakan di awal) Sekitar
53% proyek mengalami cost-overrun dan sisanya
31% bahkan mengalami cancellation. Investasi TI
senilai US$ 600 Billion pada tahun 2001 “terbuang”
(Gartner, 2002) CIO Fortune 1000 menyatakan
bahwa 40% investasi TI mereka tidak menghasilkan
value (IBM, 2004) Pada 2005, hanya 35% dari
keseluruhan proyek TI yang dapat dinilai sukses
mencapai tujuannya, sedangkan sisanya yaitu 65% itu
gagal parsial dan total (Standish Group, 2006). Salah
satu contoh proyek teknologi Informasi yang gagal
adalah kasus di perusahaan FoxMeyer yang
mengakibatkan perusahaan tersebut bangkrut pada
tahun 1996.
B. Tujuan
Mengetahui penyebab gagalnya proyek
teknologi informasi pada kasus perusahaan
FoxMeyer.
Sebagai pembelajaran berupa studi kasus
pada manajemen proyek sistem informasi.
C. Ruang Lingkup Materi
Studi kasus ini hanya membahas sisi
manajemen proyek sistem informasi,
mengapa proyek penerapan ERP di
perusahaan obat FoxMeyer gagal.
II.
ISI
A. Kasus Proyek Penerapan ERP Pada Perusahaan
Obat FoxMeyer
Perusahaan Obat FoxMeyer adalah perusahaan
keempat terbesar di dunia sebagai distributor obatobatan sebelum kejatuhannya. Dengan tujuan untuk
menggunakan teknologi sebagai alat peningkatan
efisensi, proyekk DELTA III dimulai pada tahun
1993. FoxMeyer melakukan riset pasar, evaluasi
produk, dan membeli SAP R/3 pada desember di
tahun tersebut. FoxMeyer juga membeli otomasi
pergudangan dari vendor Pinnacle dan memilih
Andersen Consulting untuk mengintegrasi dan
menerapkan dua sistem tersebut. Implementasi dari
proyek Delta III dilakukan dari tahun 1994 sampai
dengan tahun 1995.
Berdasarkan Christoper Cole, Chief Operating
Officer (COO) pada Pinnacle, bencana pada proyek
FoxMeyer, “Bukan kesalahan otomasi ,Itu juga bukan
kesalahan dari software komersial (SAP R/3), tetapi
itu adalah kesalahan manajemen” (Jesitus 1997).
Mungkin manajemen mempunyai ekspetasi yang
berlebihan terhadap teknologi sebagai “Peluru
Ajaib”? (Markus dan Benjamin 1996a, 1997b). Pada
kenyataanya yang terjadi adalah sebaliknya.
FoxMeyer menuju kebangkrutannnya pada tahun
1996 dan menuntut SAP, sebagai ERP vendor juga
Andersen Consulting sebagai integrator SAP dengan
500 juta USD masing – masing (Caldwell 1998, Stein
1998).
otomasi gudang oleh Pinnacle diintegrasikan
dengan SAP R/3 mengancam pekerjaan
mereka. Dengan penutupan tiga gudang,
transisi otomasi gudang yang pertama kali
menjadi bencana. Pekerja yang tidak puas
merusak persediaan, dan pesanan kepada
vendor tidak diisi, sehingga kesalahan
terjadi ditambah lagi sistem baru ini
berusaha keras dengan volume transaksi
yang tinggi. Persediaan seharga kurang lebih
34 juta dollar hilang (Jesitus 1997).
b) Cakupan dan Permintaan
FoxMeyer termasuk perusahaan yang
pertama kali mengadopsi SAP R/3 ketika
diluncurkan. Setelah proyek dimulai
FoxMeyer menandatangani kontrak yang
besar untuk menjadi suplier pada
Universitas
HealthSystem
Consortium
(UHC). Kejadian ini diperparah dengan
keperluan yang belum pernah terjadi
sebelumnya pada volume transaksi dari R/3.
Walaupun pada awal kontrak percobaan
melihat adanya indikasi bahwa R/3 pada
server HP9000 dapat menangani volume
transaksi, pada tahun 1994 R/3 hanya dapat
memproses 10.000 pesanan pelanggan per
hari dibandingkan dengan sistem mainframe
sebelumnya milik FoxMeyer yang dapat
menangani 420.000 pesanan.
c)
B.
Analisis
Proyek
Penerapan
ERP
Pada
Perusahaan Obat FoxMeyer
1) Resiko Proyek
Proyek Delta III pada perusahaan obat
FoxMeyer sangat beresiko dengan beberapa
alasan.
Menggunakan
framework
yang
dikembangkan untuk mengindentifikasi resiko
proyek (Keil, Cule, Lyytinen dan Schmidt 1998),
hasil dari riset ini mengklompokan resiko
proyek pada FoxMeyer menjadi 4 bagian yaitu
mandat pelanggan, cakupan dan permintaan,
eksekusi, dan lingkungan.
a) Mandat Pelanggan
Mandat pelanggan bergantung pada
komitmen baik antara manajemen puncak
dan pengguna. Pada kasus FoxMeyer,
walaupun komitmen manajemen senior
tinggi,
laporan
menunjukan
adanya
pengguna yang tidak sekomitmen dengan
manajemen. Pada faktanya terdapat masalah
moral diantara pegawai di gudang ini tidak
mengejutkan karena semenjak proyek
Eksekusi
Eksekusi dari proyek menjadi masalah
karena kekurangan tenaga yang terampil dan
berpengetahuan.
FoxMeyer
tidak
mempunyai
keterampilan
didalam
perusahaan dan mengandalkan Andersen
Consulting untuk mengimplementasi R/3
dan mengintegrasikannya dengan sistem
otomasi gudang oleh Pinnacle. Walaupun
proyej ini menggunakan lebih dari 50 orang
konsultan tetapi banyak dari mereka yang
tidak
berpengalaman.
(Computergram
International 1998).
d) Lingkungan
Dari lingkungan proyek diketahui
bahwa manajemen hanya mempunyai sedikit
kontrol atau bahkan tidak ada kontrol (Keil,
Cule, Lyytinen dan Schmidt 1998).
Walaupun FoxMeyer harus menyadari
bahwa proyeknya dalam masalah tetapi
karena kebergantungan pada konsultan dan
vendor mencegah FoxMeyer melihatnya
bagaimana
seharusnya
manajemen
mempunyai kontrol. Dikarenakan FoxMeyer
berkompetisi dengan harga, FoxMeyer
memerlukan volume transaksu yang tinggi
dan menguntungkan, tetapi dengan kontrak
kepada UHC “fokus proyek secara drastis
berubah” kontribusi untuk menaikan biaya
proyek (bahkan sampai lebih dari 100 juta
dollar),
sudah
membuat
FoxMeyer
menurunkan margin dan menghapuskan
keuntungannya.
2) Eskalasi Proyek
Sistem mainframe FoxMeyer menjadi tidak
memadai dalam pertumbuhan volume bisnis,
ditambah lagi sistem Unisys yang dikeluarkan
oleh vendor sebelumnya perlu diganti. Proyek
Delta digambarkan sebagai solusi client/server
R/3 terintegrasi dengan otomasi gudan untuk
mengakomodasi
pertumbugan
perusahaan
dimasa
depan.
Faktor
model
yang
mempromosikan eskalasi proyek menyarankan
bahwa faktor proyek, faktor pisikologi, faktor
sosial dan faktor organisasi turut berkontribusu
dalam proyek walaupun adanya informasi
negatif. Masalah implementasi muncul hampir
dari awal. Walaupun peringatan dari Woltz
Consulting pada tahap awal proyek, bahwa
penjadwalan implementasi seluruhnya harus
diselesaikan dalam waktu 18 bulan sangatlah
tidak mungkin, untuk proyek Delta FoxMeyer
(Jesitus 1997).
3) Faktor Proyek
Eskalasi dapat terjadi ketika didapatnya
bukti kelanjutan investasi dapat menghasilkan
nilai yang lebih besar. FoxMeyer menduga
bahwa proyek Delta dapat menghemat 40 juta
dollar pertahun. Andersen Consulting dan SAP
juga termotivasi untuk melanjutkan proyek.
Berdasrakan FoxMeyer, Andersen menggunakan
trainees (pegawai baru) dan menggunakan
proyek Delta sebagai “tempat latihan” untuk
“konsultan yang belum berpengalaman”
(Caldwell 1998, Computergram International
1998). FoxMeyer juga mengklaim bahwa SAP
memperlakukan proyek Delta III “sebagai
penelitian perusahaan dan kelinci percobaan
pengembangan produk ” (Financial Times 1998).
Lebih jauh lagi Selain itu, kemunduran proyek
muncul untuk beberapasaat. Misalnya, terdapat
beberapa bukti dari pengukuran bahwa sistem ini
tidak dapat mengatasi permintaan transaksi
FoxMeyer.
4) KESIMPULAN DAN SARAN
a.
Kesimpulan
Keputusan yang dilakukan oleh Fox Meyer
Drug untuk mengimplementasikan SAP R/3 perlu
dikaji ulang agar segala sesuatunya dapat berjalan
dengan lancar dan sesuai dengan kebutuhan
bisnisnya.Perusahaan perlu untuk melibatkan end
user secara lebih mendalam karena perusahaan
tidak boleh melupakan B2E atau business to
employment. People perlu dikelola untuk dapat
mengerti IS. Perencanaan yang baik akan
menghindari perusahaan dari sebuah kegagalan
implementasi sistem informasi.
b.
Saran
Evaluasi vendor sangat dibutuhkan mulai dari
review vendor, proses demo, adanya referensi
(testimony dari perusahaan lain), dan ada tim yang
berfungsi untuk mengevaluasi kemampuan teknis
atau fungsi-fungsinya (perlu dicoba dulu). Selain
itu, pertimbangkan adanya beberapa penyesuaian
dan pahami akan membutuhkan biaya berapa
seberapa besar, sehingga hal ini sudah jelas di
awal. Baru kemudian mengambil keputusan yang
tepat. Vendor yang dipilih adalah yang memiliki
track record yang baik dan expert di bidangnya. RFP
yang dibuat oleh perusahaan kepada vendor
merupakan formal document untuk mengarahkan
vendor apa yang dibutuhkan secara detail.
Yang paling penting adalah bagaimana
implementasi ERP diterima oleh user dan user merasa
nyaman atas hal baru ini, sehingga dibutuhkan
training secukupnya kepada mereka. Alangkah lebih
jika user diikutsertakan dalam proses uji coba
dengan
vendor
sehingga mereka juga bisa
melakukan assessment. Peranan SDM disini menjadi
salah satu faktor kritis, karena berbicara tentang ERP
adalah tentang sebuah sistem yang terintegrasi
sehingga jika terjadi kesalahan di berbagai titik akan
berdampak signifikan bagi proses bisnis perusahaan.
Sehingga, fasilitas TI ini tidak hanya berfungsi
sebagai alat bantu semata, tapi juga bisa sebagai
business enabler.
DAFTAR PUSTAKA
[1] L TORUAN, DEWI MARGARETH 2013
“KESUKSESAN
DAN
KEGAGALAN
IMPLEMENTASI ENTERPRISE RESOURCE
PLANNING (ERP) DAN CONTOH STUDI
KASUS PT SEMEN GRESIK & FOX MEYER”
[2] Judy E.Scott, The University of Texas at Austin
“The FoxMeyer Drugs’ Bankruptcy: Was it a
Failure of ERP?”
INFORMASI ERP PADA PERUSAHAAN
FOXMEYER
Insan Harish
Telkom University
Information System - 1106110088
Bandung, Indonesia
Martha Okrina
Telkom University
Information System – 1106110106
Bandung, Indonesia
Abstrak – Proyek Sistem Informasi adalah proyek
yang berhubungan perangkat lunak/Sistem informasi
dalam suatu sistem komputer. Tentunya dengan adanya
proyek sistem informasi ini sangat diperlukan adanya
manajemen yang kuat yang melatar belakangi proyek
sistem informasi ini secara mendetail. Hubungan relasi
antar setiap bagian dalam proyek sangat diperlukan
untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam proyek
sistem informasi. Kegagalan dalam sistem informasi
sendiri terdiri dari banyak faktor yang meliputi scope
(pandangan), time (waktu), cost (biaya) dan quality
(kualitas). Keberhasilan sebuah proyek pasti
membutuhkan tenaga dan pikiran yang tidak sedikit.
Seorang manajer proyek dituntut untuk memastikan
sebuah proyek telah berjalan sesuai rencana dan tidak
melebar ke arah yang salah. Tetapi sampai saat ini
ternyata masih banyak proyek gagal atau terlambat
dan akan memakan biaya yang tidak sedikit.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pelaksanaan sebuah proyek sistem
informasi, baik itu dari skala kecil sampai dengan
besar, sangat sering terjadinya delay bahkan sampai
dengan pembatalan. Menurut hasil survey Hasil
survey Standish Group tahun 1995 (Chaos Report),
Hanya sekitar 16% proyek yang dapat diselesaikan
secara on-time dan on-budget, itupun hanya sekitar
40% saja yang on-spec pada proyek skala enterprise,
Mahdy Arief
Telkom University
Information System – 1106110045
Bandung, Indonesia
Agung Insani Alam
Telkom University
Information System – 1106110087
Bandung, Indonesia
sedangkan pada proyek di perusahaan yang lebih
kecil bisa mencapai angka 74% on-spec (sesuai
fungsi dan fitur yang direncanakan di awal) Sekitar
53% proyek mengalami cost-overrun dan sisanya
31% bahkan mengalami cancellation. Investasi TI
senilai US$ 600 Billion pada tahun 2001 “terbuang”
(Gartner, 2002) CIO Fortune 1000 menyatakan
bahwa 40% investasi TI mereka tidak menghasilkan
value (IBM, 2004) Pada 2005, hanya 35% dari
keseluruhan proyek TI yang dapat dinilai sukses
mencapai tujuannya, sedangkan sisanya yaitu 65% itu
gagal parsial dan total (Standish Group, 2006). Salah
satu contoh proyek teknologi Informasi yang gagal
adalah kasus di perusahaan FoxMeyer yang
mengakibatkan perusahaan tersebut bangkrut pada
tahun 1996.
B. Tujuan
Mengetahui penyebab gagalnya proyek
teknologi informasi pada kasus perusahaan
FoxMeyer.
Sebagai pembelajaran berupa studi kasus
pada manajemen proyek sistem informasi.
C. Ruang Lingkup Materi
Studi kasus ini hanya membahas sisi
manajemen proyek sistem informasi,
mengapa proyek penerapan ERP di
perusahaan obat FoxMeyer gagal.
II.
ISI
A. Kasus Proyek Penerapan ERP Pada Perusahaan
Obat FoxMeyer
Perusahaan Obat FoxMeyer adalah perusahaan
keempat terbesar di dunia sebagai distributor obatobatan sebelum kejatuhannya. Dengan tujuan untuk
menggunakan teknologi sebagai alat peningkatan
efisensi, proyekk DELTA III dimulai pada tahun
1993. FoxMeyer melakukan riset pasar, evaluasi
produk, dan membeli SAP R/3 pada desember di
tahun tersebut. FoxMeyer juga membeli otomasi
pergudangan dari vendor Pinnacle dan memilih
Andersen Consulting untuk mengintegrasi dan
menerapkan dua sistem tersebut. Implementasi dari
proyek Delta III dilakukan dari tahun 1994 sampai
dengan tahun 1995.
Berdasarkan Christoper Cole, Chief Operating
Officer (COO) pada Pinnacle, bencana pada proyek
FoxMeyer, “Bukan kesalahan otomasi ,Itu juga bukan
kesalahan dari software komersial (SAP R/3), tetapi
itu adalah kesalahan manajemen” (Jesitus 1997).
Mungkin manajemen mempunyai ekspetasi yang
berlebihan terhadap teknologi sebagai “Peluru
Ajaib”? (Markus dan Benjamin 1996a, 1997b). Pada
kenyataanya yang terjadi adalah sebaliknya.
FoxMeyer menuju kebangkrutannnya pada tahun
1996 dan menuntut SAP, sebagai ERP vendor juga
Andersen Consulting sebagai integrator SAP dengan
500 juta USD masing – masing (Caldwell 1998, Stein
1998).
otomasi gudang oleh Pinnacle diintegrasikan
dengan SAP R/3 mengancam pekerjaan
mereka. Dengan penutupan tiga gudang,
transisi otomasi gudang yang pertama kali
menjadi bencana. Pekerja yang tidak puas
merusak persediaan, dan pesanan kepada
vendor tidak diisi, sehingga kesalahan
terjadi ditambah lagi sistem baru ini
berusaha keras dengan volume transaksi
yang tinggi. Persediaan seharga kurang lebih
34 juta dollar hilang (Jesitus 1997).
b) Cakupan dan Permintaan
FoxMeyer termasuk perusahaan yang
pertama kali mengadopsi SAP R/3 ketika
diluncurkan. Setelah proyek dimulai
FoxMeyer menandatangani kontrak yang
besar untuk menjadi suplier pada
Universitas
HealthSystem
Consortium
(UHC). Kejadian ini diperparah dengan
keperluan yang belum pernah terjadi
sebelumnya pada volume transaksi dari R/3.
Walaupun pada awal kontrak percobaan
melihat adanya indikasi bahwa R/3 pada
server HP9000 dapat menangani volume
transaksi, pada tahun 1994 R/3 hanya dapat
memproses 10.000 pesanan pelanggan per
hari dibandingkan dengan sistem mainframe
sebelumnya milik FoxMeyer yang dapat
menangani 420.000 pesanan.
c)
B.
Analisis
Proyek
Penerapan
ERP
Pada
Perusahaan Obat FoxMeyer
1) Resiko Proyek
Proyek Delta III pada perusahaan obat
FoxMeyer sangat beresiko dengan beberapa
alasan.
Menggunakan
framework
yang
dikembangkan untuk mengindentifikasi resiko
proyek (Keil, Cule, Lyytinen dan Schmidt 1998),
hasil dari riset ini mengklompokan resiko
proyek pada FoxMeyer menjadi 4 bagian yaitu
mandat pelanggan, cakupan dan permintaan,
eksekusi, dan lingkungan.
a) Mandat Pelanggan
Mandat pelanggan bergantung pada
komitmen baik antara manajemen puncak
dan pengguna. Pada kasus FoxMeyer,
walaupun komitmen manajemen senior
tinggi,
laporan
menunjukan
adanya
pengguna yang tidak sekomitmen dengan
manajemen. Pada faktanya terdapat masalah
moral diantara pegawai di gudang ini tidak
mengejutkan karena semenjak proyek
Eksekusi
Eksekusi dari proyek menjadi masalah
karena kekurangan tenaga yang terampil dan
berpengetahuan.
FoxMeyer
tidak
mempunyai
keterampilan
didalam
perusahaan dan mengandalkan Andersen
Consulting untuk mengimplementasi R/3
dan mengintegrasikannya dengan sistem
otomasi gudang oleh Pinnacle. Walaupun
proyej ini menggunakan lebih dari 50 orang
konsultan tetapi banyak dari mereka yang
tidak
berpengalaman.
(Computergram
International 1998).
d) Lingkungan
Dari lingkungan proyek diketahui
bahwa manajemen hanya mempunyai sedikit
kontrol atau bahkan tidak ada kontrol (Keil,
Cule, Lyytinen dan Schmidt 1998).
Walaupun FoxMeyer harus menyadari
bahwa proyeknya dalam masalah tetapi
karena kebergantungan pada konsultan dan
vendor mencegah FoxMeyer melihatnya
bagaimana
seharusnya
manajemen
mempunyai kontrol. Dikarenakan FoxMeyer
berkompetisi dengan harga, FoxMeyer
memerlukan volume transaksu yang tinggi
dan menguntungkan, tetapi dengan kontrak
kepada UHC “fokus proyek secara drastis
berubah” kontribusi untuk menaikan biaya
proyek (bahkan sampai lebih dari 100 juta
dollar),
sudah
membuat
FoxMeyer
menurunkan margin dan menghapuskan
keuntungannya.
2) Eskalasi Proyek
Sistem mainframe FoxMeyer menjadi tidak
memadai dalam pertumbuhan volume bisnis,
ditambah lagi sistem Unisys yang dikeluarkan
oleh vendor sebelumnya perlu diganti. Proyek
Delta digambarkan sebagai solusi client/server
R/3 terintegrasi dengan otomasi gudan untuk
mengakomodasi
pertumbugan
perusahaan
dimasa
depan.
Faktor
model
yang
mempromosikan eskalasi proyek menyarankan
bahwa faktor proyek, faktor pisikologi, faktor
sosial dan faktor organisasi turut berkontribusu
dalam proyek walaupun adanya informasi
negatif. Masalah implementasi muncul hampir
dari awal. Walaupun peringatan dari Woltz
Consulting pada tahap awal proyek, bahwa
penjadwalan implementasi seluruhnya harus
diselesaikan dalam waktu 18 bulan sangatlah
tidak mungkin, untuk proyek Delta FoxMeyer
(Jesitus 1997).
3) Faktor Proyek
Eskalasi dapat terjadi ketika didapatnya
bukti kelanjutan investasi dapat menghasilkan
nilai yang lebih besar. FoxMeyer menduga
bahwa proyek Delta dapat menghemat 40 juta
dollar pertahun. Andersen Consulting dan SAP
juga termotivasi untuk melanjutkan proyek.
Berdasrakan FoxMeyer, Andersen menggunakan
trainees (pegawai baru) dan menggunakan
proyek Delta sebagai “tempat latihan” untuk
“konsultan yang belum berpengalaman”
(Caldwell 1998, Computergram International
1998). FoxMeyer juga mengklaim bahwa SAP
memperlakukan proyek Delta III “sebagai
penelitian perusahaan dan kelinci percobaan
pengembangan produk ” (Financial Times 1998).
Lebih jauh lagi Selain itu, kemunduran proyek
muncul untuk beberapasaat. Misalnya, terdapat
beberapa bukti dari pengukuran bahwa sistem ini
tidak dapat mengatasi permintaan transaksi
FoxMeyer.
4) KESIMPULAN DAN SARAN
a.
Kesimpulan
Keputusan yang dilakukan oleh Fox Meyer
Drug untuk mengimplementasikan SAP R/3 perlu
dikaji ulang agar segala sesuatunya dapat berjalan
dengan lancar dan sesuai dengan kebutuhan
bisnisnya.Perusahaan perlu untuk melibatkan end
user secara lebih mendalam karena perusahaan
tidak boleh melupakan B2E atau business to
employment. People perlu dikelola untuk dapat
mengerti IS. Perencanaan yang baik akan
menghindari perusahaan dari sebuah kegagalan
implementasi sistem informasi.
b.
Saran
Evaluasi vendor sangat dibutuhkan mulai dari
review vendor, proses demo, adanya referensi
(testimony dari perusahaan lain), dan ada tim yang
berfungsi untuk mengevaluasi kemampuan teknis
atau fungsi-fungsinya (perlu dicoba dulu). Selain
itu, pertimbangkan adanya beberapa penyesuaian
dan pahami akan membutuhkan biaya berapa
seberapa besar, sehingga hal ini sudah jelas di
awal. Baru kemudian mengambil keputusan yang
tepat. Vendor yang dipilih adalah yang memiliki
track record yang baik dan expert di bidangnya. RFP
yang dibuat oleh perusahaan kepada vendor
merupakan formal document untuk mengarahkan
vendor apa yang dibutuhkan secara detail.
Yang paling penting adalah bagaimana
implementasi ERP diterima oleh user dan user merasa
nyaman atas hal baru ini, sehingga dibutuhkan
training secukupnya kepada mereka. Alangkah lebih
jika user diikutsertakan dalam proses uji coba
dengan
vendor
sehingga mereka juga bisa
melakukan assessment. Peranan SDM disini menjadi
salah satu faktor kritis, karena berbicara tentang ERP
adalah tentang sebuah sistem yang terintegrasi
sehingga jika terjadi kesalahan di berbagai titik akan
berdampak signifikan bagi proses bisnis perusahaan.
Sehingga, fasilitas TI ini tidak hanya berfungsi
sebagai alat bantu semata, tapi juga bisa sebagai
business enabler.
DAFTAR PUSTAKA
[1] L TORUAN, DEWI MARGARETH 2013
“KESUKSESAN
DAN
KEGAGALAN
IMPLEMENTASI ENTERPRISE RESOURCE
PLANNING (ERP) DAN CONTOH STUDI
KASUS PT SEMEN GRESIK & FOX MEYER”
[2] Judy E.Scott, The University of Texas at Austin
“The FoxMeyer Drugs’ Bankruptcy: Was it a
Failure of ERP?”