Kasus Hukum Agraria Aspek hukum dalam

TEAM MANAGEMENT
& BUSINESS SEMINAR

KASUS PERTANAHAN
“SENGKETA KASUS LAHAN SENAYAN CITY”

Dosen: Dr. Robintan Sulaiman, SH, MH, MA,MM

Anggota Kelompok:
Erwin Wijaya – 0731501007
Michael Kusnadi – 0731501013
Vandy Cahyadi – 0731501021
Yorita Goeyardi – 0731501023

MAGISTER MANAGEMENT
KWIK KIAN GIE SCHOOL OF BUSINESS
2016

Hukum Agraria

1


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman sekarang, ini disebabkan karena
berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang sementara jumlah bidang
tanah terbatas. Hal tersebut menuntut perbaikan dalam bidang penataan dan penggunaan
tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan terutama kepastian hukumnya. Untuk itu berbagai
usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian sengketa
tanah dengan

cepat untuk menghindari penumpukan sengketa

merugikan masyarakat misalnya tanah
dalam sengketa.

tanah, yang dapat

tidak dapat digunakan karena tanah tersebut


1

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses.
Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang
proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses
litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama,cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya.
Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan kesepakatn yang
bersifat “win-win solution dihindari dari kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan
karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan
dan tetap menjaga hubungan baik.

2

Penggunaan pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut kemudian
diterapkan di Negara Indonesia yang di buatkan melaui UndangUndang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah menyediakan beberapa
pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para
pihak untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah
pendayagunaan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Pilihan penyelesaian sengketa (PPS) di luar pengadilan
bila para pihak menyepakati penyelesaiannya melalui pranata pilihan

hanya dapat ditempuh
penyelesaian sengketa

1
Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap
Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi peringatan “Satu Abad Bung
Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001
2
Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun,

2002. Hal. 11

Hukum Agraria

2

(PPS). Kemudian pilihan penyelesaian sengketa (PPS) dalam penyelesian sengketa diluar

pengadilan ini berkembang pada kasus-kasus perkara lain seperti kasus-kasus perkara pidana
tertentu dan sengketa tenaga kerja ataupun pada sengketa lingkungan dan sengketa tanah,
sehingga pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak hanya berlaku pada kasuskasus perdata saja. Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk
mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar
biaya yang harus dikeluarkan dan sering kali biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan
sengketa tanah hingga selesai tidak sebandingkan dengan harga dari obyek tanah yang
disengketakan. Namun oleh sebagian orang atau golongan tertentu tanah sebagai harga diri
yang harus dipegang teguh, tanah akan dipertahankan sampai mati.

3

Selama konflik berlangsung tanah yang menjadi obyek konflik biasanya berada dalam
keadaan status quo sehingga tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya
terjadi penurunan kualitas sumber daya tanah yang dapat merugikan kepentingan banyak
pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah.
Tulisan berikut akan mencoba mengkaji sebuah kasus sengketa yang terjadi di
indonesia, yaitu kasus sengketa tanah senayan city dalam rangka pengkajian ulang dan
permaslahan hukum yang menyangkut pertikaian dan mengurai sedikit bagaimana
pemecahan masalahnya.


B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam makalah ini diantaranya adalah:
1. Mediasi Sebagai Solusi Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan
2. Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap Harus Dilaksanakan

3

Ibid, Hal. 12

Hukum Agraria

3

BAB II
KASUS SENGKETA LAHAN SENAYAN CITY

Senayan City Mall atau disingkat dengan Senci adalah pusat perbelanjaan terbesar di
Jakarta yang upacara diresmikan hingga upacara pembukaan 'opening ceremony' sejak pada
tanggal hari Jumat, 23 Juni 2006 tenant terbesar antara lain adalah Debenhams, Fitness First
Plus, Best Denki, Zara, dan Senayan City XXI. Pusat perbelanjaan yang didirikan oleh

pengembang Agung Podomoro Land ini pernah dikunjungi oleh Miss Universe 2006, dan
Miss Indonesia 2006. Di Senayan City terdapat 2 menara yaitu Panin Tower & SCTV Tower
yang menjadi office tower mengudara program berita dan hiburan dari SCTV, O Channel,
Screenplay Productions, Nexmedia, Liputan 6 dan Indosiar bersaluran program berita dan
hiburan dari lokal bersiaran nasional tayangan pertama di Indonesia yang berseluruh daerah
menjuru dalam negeri mencakup nusantara.
Kasus sengketa pertama kali terjadi pada tanggal 7 oktober 2009, perihal sengketa
atas hak tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming.
Pengaduan dari ahli waris Toyib Bin Kiming yang mengklaim kepemilikan tanah seluas enam
hektar di atas lahan Senayan City.

Hukum Agraria

4

Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu selama setahun
bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga batas waktu yang
diberikan jatuh tempo kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa.
B.


Posisi Kasus
Dalam surat Dinas P2B tertanggal 7 Oktober 2009 yang ditandatangani Kepala Dinas

P2B Hari Sasongko menyebutkan, berkaitan dengan pembangunan Senayan City dan
penguasaan tanah di atas sertifikat hak guna bangunan nomor 296 atas nama PT Manggala
Gelora Perkasa tersebut, ada pengaduan atau klaim dari ahli waris alm Toyib bin Kiming
melalui kuasa hukumnya Toni Arif.
Klaim ditujukan kepada Kepala Dinas P2B DKI, perihal sengketa hak atas tanah
kepemilikan berupa pembebesan tanah yang belum diselesaikan. Dalam surat tersebut juga
disebutkan, izin penyesuaian fungsi hotel menjadi perkantoran atas nama PT Manggala
Gelora Perkasa untuk sementara ditangguhkan hingga ada penyelesaian sengketa.
Penangguhan dilakukan selama setahun dan habis masanya pada tanggal 5 Januari 2010.
Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin
Kiming, hingga kini terus berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat Pusat Pengelolaan
Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) turut gerah.
Mereka tidak terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat tanah.
Bahkan PPK GBK menantang di peradilan jika ahli waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki
bukti otentik atas lahan yang diperebutkan itu.
Direktur Utama PPK GBK, Bambang Prajitno mengatakan, sudah tidak bisa tinggal
diam dan membiarkan berbagai pihak yang menuding PPK GBK bersalah dalam kasus

sengketa lahan tersebut. “Kami ingin masalah ini segera diselesaikan agar tidak berlarutlarut,” kata Bambang di Jakarta.
Ia menjelaskan, dalam rangka pengelolaan dan pengembangan kawasan Gelanggang
Olahraga Bung Karno, PPK GBK atau Sekretariat Negara bekerja sama dengan mitra
usahanya untuk membangun kawasan tersebut dengan standar internasional.
Termasuk pengembangan gedung Senayan City yang awalnya berfungsi sebagai hotel
diubah menjadi perkantoran. Pengembangan kawasan tersebut dilakukan dalam sistem build,
operate and transfer (BOT) selama 35 tahun. Pada akhir perjanjiannya nanti, lahan dan
seluruh bangunannya akan diserahkan kepada negara.

Hukum Agraria

5

“Nah salah satu mitra usaha kami yaitu PT Manggala Gelora Perkasa yang
membangun proyek Senayan City di atas Hak Penggunaan Lahan (HPL) No. 1/Gelora milik
PPKGBK/Sekretariat negara,” ujarnya. Karena lahan tersebut milik negara maka apabila
terdapat permasalahan terhadap status kepemilikan tanah di kawasan Gelanggang Olahraga
Bung Karno yang dikembangkan mitra usaha, penyelesaian permasalahannya sepenuhnya
merupakan tanggung jawab PPK GBK/Setneg.
Mengenai adanya klaim dari ahli waris alm Toyib bin Kiming terhadap tanah tersebut,

PPK GBK menyatakan tanah yang digunakan PT Manggala Gelora Perkasa (MGP) untuk
proyek Senayan City merupakan tanah milik negara. Apabila ada pihak-pihak lain yang
mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut, tentu dapat melakukan upaya
hukum melalui lembaga peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
“Untuk menentukan dokumen siapa yang benar, asli dan otentik, silakan ajukan ke
pengadilan. Biar lembaga hukum yang menentukannya,” tantang Bambang. Sebab, ia yakin
dokumen-dokumen tersebut yang dimiliki Setneg cukup lengkap. Namun ia mengakui
mungkin saja dari pihak yang mengklaim lahan itu juga memiliki bukti-bukti kepemilikan
tanah yang cukup kuat. “Mungkin saja itu terjadi, tidak dapat dipungkiri. Tapi untuk
menentukan itu mari selesaikan di pengadilan,” tambahnya.
Munculnya sengketa tanah itu bermula saat ahli waris Toyib bin Kiming mengirimkan
surat ke gubernur DKI Jakarta bahwa lahan yang digunakan untuk pembangunan Senayan
City merupakan tanah miliknya. Kemudian gubernur melayangkan surat yang isinya
menyarankan agar masalah tersebut diselesaikan secara musyawarah.
Selanjutnya PPK GBK melayangkan surat balasan pada April 2009, menyampaikan
sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6
tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. Karena itulah maka PPK GBK tidak
dalam posisi melakukan tindakan musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan. “Setahu
saya, Juni 2009, gubernur telah mengirimkan surat ke pihak ahli waris dengan mengutip surat

kami,” tandasnya.
Terkait hal tersebut, Komisi D DPRD DKI menggelar rapat khusus dan tertutup
dengan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI di ruang rapat kerja Komisi
D. Hasilnya dewan mendesak agar kasus sengketa lahan tersebut dapat segera diselesaikan.
“Kita mendesak supaya masalah ini bisa diselesaikan. Bentuk penyelesaiannya bisa melalui
jalur hukum ataupun musyawarah,” kata Zainuddin, Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI.
Pengembang dan ahli waris diberikan tenggat waktu hingga Oktober 2010 untuk

Hukum Agraria

6

segera menyelesaikan masalah tersebut. Selama dalam proses penyelesaian, Dinas P2B harus
tetap menangguhkan izin perubahan fungsi gedung untuk Senayan City dari hotel ke
perkantoran.
Terkait tantangan pihak PPK GBK akan menempuh jalur hukum, Zainuddin
mempersilahkan kedua belah pihak yang bersengketa untuk menempuh jalur hukum. Sebab
hanya institusi peradilan hukum saja yang bisa menentukan sah tidaknya sebuah dokumen
kepemilikan tanah.
Karena masalahnya tidak serumit yang dibayangkan maka Komisi D memutuskan,

untuk sementara tidak akan membentuk Pansus Senayan City, menunggu penyelesaian
permasalahan itu pada Oktober 2010. Jika belum ada kesepakatan juga, maka tidak tertutup
kemungkinan pansus akan dibentuk. “Masalah tidak serumit ini. Mudah-mudahan bisa selesai
sebelum Oktober tahun ini. Kalau tidak bisa kita akan ambil langkah lebih lanjut,” tegasnya.

4

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI akan memanggil Dinas Pengawasan
dan Penertiban Bangunan (P2B). Pemanggilan tersebut terkait kasus Senayan City.
"Senin Komisi D akan panggil P2B untuk kita mintai keterangan seputar kasus itu (Senayan
City)," ujar Wakil Ketua DPRD Lulung Lunggana di Gedung DPRD DKI Jl Kebon Sirih,
Jakarta Pusat, Kamis (7\/1\/2010).
Tidak hanya memanggil P2B, para politisi Kebon Sirih juga berencana membentuk
panitia khusus untuk bisa mengungkap sengketa tersebut.
"Dukungan untuk membentuk pansus terkait kasus ini pun terus mengalir," tambah Politisi
PPP tersebut.
Senayan City dibangun tahun 2005 dengan tiga perizinan yaitu hotel dan dua kantor
yang dibagi dalam tiga menara. Kemudian pada tahun 2008, PT Manggala Gelora Perkasa
mengajukan perubahan peruntukan menara hotel menjadi perkantoran.
Dalam perubahan izin itu, hanya 20 lantai saja diajukan sebagai kantor, sisanya masih tetap
sebagai hotel. Pada tahun yang sama, muncul pengaduan dari ahli waris Toyib Bin Kiming
yang mengklaim kepemilikan tanah seluas enam hektar di atas lahan Senayan City.
Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu selama setahun
bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga batas waktu yang
diberikan jatuh tempo (5\/1\/2010) kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa.

5

Sumber artikel berita juga bisa dilihat disini:
4
5

http://metro-jaksel.blogspot.co.id/2010_01_01_archive.html
http://news.detik.com/berita/1273952/tuntaskan-kasus-senayan-city-dprd-dki-akan-panggil-p2b

Hukum
Agraria

7

Akibatnya para penyewa gedung yang terletak di Jalan Asia Afrika pun tidak mendapat
kepastian soal gedung yang saat ini mereka tempati.
C.

Permasalahan Hukum
Berdasarkan kasus di atas terhadap sengketa atas hak tanah antara pengelola Senayan

City dengan ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Pengaduan dari ahli waris Toyib Bin Kiming
yang mengklaim kepemilikan tanah seluas enam hektar di atas lahan Senayan City.
Akibat timbul sengketa tersebut Pemprov DKI memberi batas waktu selama setahun
bagi kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun hingga batas waktu yang
diberikan jatuh tempo kedua pihak belum bisa menuntaskan sengketa. Akibatnya para
penyewa gedung yang terletak di Jalan Asia Afrika pun tidak mendapat kepastian soal gedung
yang saat ini mereka tempati.
Adapun undang-undang yang mengatur kasus Sengketa Tanah di Senayan City
tersebut. meliputi :
Dasar Hukum


PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menggantikan PP No. 10 Tahun
1961.



UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA
Pasal 19, Pendaftaran Tanah
Ayat (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah RI menurut ketentuan yang diatur dengan PP.
Ayat (2) Pendaftaran Tanah, meliputi:
1.

Pengukuran, Perpetaan, dan Pembukaan Tanah.

2.

Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3.

Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.

Pasal 23 : Hak Milik
Ayat (1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam pasal 19.
Ayat (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 : Hak Guna Usaha.

Hukum Agraria

8

Ayat (1) Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
Ayat (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 34 : Hak guna usaha hapus karena:
1.

jangka waktu berakhir;

2.

dihentikan sebelum jangka waktnya berakhir karena sesuatu syarat tidak
terpenuhi;

3.

dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

4.

dicabut untuk kepentingan umum;

5.

ditelantarkan;

6.

tanahnya musnah;

7.

ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.

Pasal 38 : Hak Guna Bangunan
Ayat (1) Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
Ayat (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali
alam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

6

Sertifikat
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersamasama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :

1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu
adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan
satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.

6

Bisa dilihat lagi pada peraturan perundang-undangan yang membahas tentang sengketa pertanahan.

Hukum Agraria

9

2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum
didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan
yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
Sertifikat cacat hukum


Yaitu sertifikat yang terdapat kekeliruan-kekeliruan saat menerbitkannya.



Bentuk-bentuk kekeliruan tersebut adalah :
1. Pemalsuan sertifikat
Yaitu berupa pemalsuan blangko sertifikat tanah, stempel BPN dan pemalsuan
data pertanahannya.
2. Pembuatan sertifikat aspal
Secara formal, sertifikat aspal ini tidak berbeda dengan sertifikat sebenarnya
(asli), namun secara materiil, penerbitan sertifikat aspal ini tidak didasarkan
pada alas hak yang benar, seperti penerbitan sertifikat yang didasarkan pada
surat keterangan pemiliknya yang dipalsukan.
3. Pembuatan sertifikat ganda
Yaitu sebidang tanah mempunyai lebih dari satu sertifikat.

Tujuan


Antara Lain :
-

Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun, hak tanggungan dan hak-hak
lain yang didaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.

-

Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan.

-

Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Fungsi


Yaitu memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya pembuatan hukum
mengenai tanah.



Kegiatan Pendaftaran tanah meliputi :

Hukum Agraria

10

1. Pengukuran, Perpetaan, dan Pembukaan tanah yang menghasilkan peta-peta
pendaftaran dan surat-surat ukur.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
Dalam kegiatan ini meliputi pencatatan mengenai :
-

Status Tanah

-

Subjek Pemegang Hak

-

Beban-beban yang membebani hak atas tanah tersebut.

3. Pemberian Surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
Hak Guna Bangunan (HGB)


HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri.



Subjek HGB :
1. WNI
2. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.



Terjadinya HGB :
1. Tanah Negara: Penetapan Pemerintah
2. Tanah Milik: Perjanjian



PP No. 40 Tahun 1996: Hak Guna Bangunan diberikan untuk waktu paling lama 30
tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk 30 tahun.

Hak Guna Usaha (HGU)


HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
guna perusahaan pertanian, perikanan, atau pertenakan.



UUPA pasal 28 s/d pasal 34, PP No. 40 Tahun 1996 pasal 2 s/d pasal 18.



PP No. 40 Tahun 1996 :
Pasal 8 : Hak guna usaha dapat diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun, dan dapat diperbahurui kembali.

Hukum Agraria

D.

11

Pembahasan
Awal terjadinya sengketa tersebut muncul pada tanggal 7 oktober 2009 yang berawal

dari Pengaduan dari ahli waris Toyib Bin Kiming yang mengklaim kepemilikan tanah seluas
enam hektar di atas lahan Senayan City, dan juga Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung
Karno (PPK GBK) tidak terima jika lahan yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat
tanah. Namun mengenai adanya klaim dari ahli waris alm Toyib bin Kiming terhadap tanah
tersebut, PPK GBK menyatakan tanah yang digunakan PT Manggala Gelora Perkasa (MGP)
untuk proyek Senayan City merupakan tanah milik negara. Apabila ada pihak-pihak lain yang
mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut, tentu dapat melakukan upaya
hukum melalui lembaga peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Terkait hal tersebut, Komisi D DPRD DKI menggelar rapat khusus dan tertutup
dengan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI di ruang rapat kerja Komisi
D. Hasilnya dewan mendesak agar kasus sengketa lahan tersebut dapat segera diselesaikan.
Adapun jika diamati dari peristiwa terdapat faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya sengketa tanah setra antara lain dapat berupa faktor internal (perbedaan
kepentingan, batas-batas wilayah yang tidak jelas, serta kekuasaan dan hak) dan faktor
eksternal (Perkembangan jamandan globalisasi serta perkembangan dalam sektor pariwisata).
Faktor-faktor tersebut menyebabkan beruba hnya nilai-nilai, pola prilaku, pandangan hidup
dan gaya hidup dari warga masyarakat serta perubahan pada fungsi kelembagaan masyarakat.
Penyelesaian sengketa hukum atas tanah seperti contoh kasus di atas seharusnya perlu
diperhatikan mengangap konsep sumber daya agraria dengan pemanfaatan secara adil,
transparan dan produktif. Selain itu, kelengkapan data mengenai keberadaan, jumlah/luas
tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up to date, sehingga dengan
demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi
sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi oleh pejabat setempat dan hasil
penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat diterima para pihak yang bertikai. Kondisi
inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus
pembangunan masyarakatnya. Pembaharuan hukum pertanahan yang didahului oleh
pengembangan kebijakan pertanahan tentunya harus diawali dengan pengembangan hukum
pertanahan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan
tersebut semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang

Hukum Agraria

12

7

ada pada UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional. Untuk itu berbagai
usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian sengketa tanah dengan
cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat
misalnya tanah tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa.

Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses.
Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian
berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja
pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan

sama (kooperatif) di luar

yang bersifat adversial yang

belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru,
lambat dalam penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan
kesepakatan kesepakatn yang bersifat “win-win solution dihindari dari kelambatan proses
penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan
komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.
1.

8

Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Luar Jalur Peradilan
Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan adalah melalui Altenatif
Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Ada juga yang
menyebutnya sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK).
Menurut Philip D. Bostwick yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution
(ADR) adalah sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (A set of
practice and legal techniques that aim):
1.

Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak.

2.

Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa
terjadi.

3.

Mencegah terjadinya sengketa hukum nyang biasanya diajukan ke pengadilan.

7
8

M. Arba, 2015, Hukum agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Hal. 152
Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70
Tahun, 2002. Hal. 11

Hukum Agraria

13

Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan pada umumnya dapat
dilakukan melalui berbagai cara berikut:
1.

Negosiasi;

2.

Proses Mediasi;

3.

Proses Konsiliasi;

4.

Proses Fasilitasi;

5.

Proses Penilaian Independen; dan

6.

Proses Arbitrase.

Mediasi Sebagai Solusi Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Sebagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan, maka
menggunakan dengan sebaik-baiknya
solution diantara para pihak yang

sebaiknya diupayakan

jalur mediasi, sehingga tercapailah

win win

berperkara. Mediasi adalah salah satu proses

penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan juga dapat memberikan akses keadilan
yang lebih besar kepada pihak-pihak dalam menemukan jalan penyelesaian sengketa yang
memuaskan dan memberikan rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi kedalam proses
beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam
mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan juga memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk penyelesaian sengketa di samping
proses acara pengadilan yang besifat

ajudikatif (memutus). Orang

yang (merasa)

dirugikan orang lain dan ingin mendapatkan kembali haknya, harus mengupayakan melalui
prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi (pengadilan) maupun alternatif penyelesaian
sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) dan tidak boleh main hakim sendiri
(eigerichting).

9

Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan ini dilakukan
dengan 3 tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan sampai dengan jawab
jinawab. Tahap penentuan dimulai dari pembuktian sampai dengan putusan, dan tahap
pelaksanaan adalah pelaksanaan putusan. Setiap tahap tersebut memerlukan waktu relatif
lama, mahal dan prosedur yang cukup rumit.Dalam perkembangannya, tuntutan akan
kecepatan, kerahasiaan, efisiensi dan efektifitas serta demi menjaga kelangsungan hubungan

9

Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, Hal. 28

Hukum Agraria

14

antara pihak yang bersengketa, selama belum dapat direspon lembaga litigasi (pengadilan),
sehingga mendapat banyak kritikan. Dalam operasionalnya, pengadilan dinilai lamban,
mahal, memboroskan energi, waktu, uang serta win-win slution. Karena itu, penyelesaian
sengketa alternatif mendapat sambutan positif, terutama di dunia bisnis yang menghendaki
efisiensi, kerahasiaan serta lestarinya hubungan kerja sama, tidak formalistis, serta
menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan. Alternatif dimaksud
adalah mediasi sebelum perkara diajukan ke pengadilan dimulai.
2. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Peradilan
a. Gugatan Perdata Sengketa Tanah Di Pengadilan Umum
Tugas dan kewenangan badan peradilan perdata adalah menerima, memeriksa,
mengadili, serta menyelesaikan sengketa di antara pihak yang berperkara. Subjek
sengketa di atur sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang
diubah menjadi UndangUndang No. 35 Tahun 1999; sekarang menjadi Pasal 16ayat (1)
UndangUndang No. 05 Tahun 2004.
b. Pengadilan Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan dengan dua cara, yakni:
1. Melalui Upaya Administrasi.
Cara ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum
perdata apabila tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara.
Bentuk upaya administrasi adalah:

10

a) Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan
oleh instansi atasan atau instansi lain
b) Keberatan, yaitu penyelesaian upaya

dari yang mengeluarkan putusan.
administrasi yang dilakukan sendiri

oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan putusan itu.
2. Melalui Gugatan.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua
pihak, yaitu:
a) Penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan
dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata
usaha negara baik di pusat atau di daerah.

10

Erman Suparman, 2004, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), Bandung:
Fokud media, Hal.59.

Hukum Agraria

15

b) Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahk
padanya.
c. Kasasi Di Mahkamah Agung RI
Menurut Pasal 131 UU No.
yaitu putusan Pengadilan Tinggi

5 Tahun 1986, terhadap putusan tingkat akhir,
dapat diajukan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah

Agung RI. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung RI jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung RI.
Adapun landasan hukum kewenangan kasasi adalah sebagai berikut :
1) Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.”
2) Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
mengatur sebagai berikut:
a) Pasal 11 ayat (1) mengemukakan bahwa Mahkamah Agung
merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan
(peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan PTUN).
b) Pasal 11 ayat (2) huruf (a) menegaskan kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Agung dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pengadilan negara tertinggi:
“Mengadili pada tingka kasasi terhadap putusan yangdiberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung.

Hukum Agraria

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kompleksitas penegakan hukum agraria menjadi persoalan serius, hal ini didasarkan
pada fungsi tanah yang sangat strategis dalam menunjang aktivitas kemajuan ekonomi,
social, budaya, teknologi dan informasi. Dengan demikian harus ada kemauan dan komitmen
bersama untuk mencari solusi alternative konflik pertanahan di Indonesia yang telah
memakan banyak korban jiwa, baik Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Perguruan
Tinggi dan seluruh masyarakat agar mendahulukan penyelesaian secara kekeluargaan, namun
apabila belum tercapai dapat dilakukan melalui mediasi, apabila masih belum tercapai, maka
pengadilan merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh. Sehingga putusan hakim sebagai
Ultimum

remedium

(jalan

terakhir)

dalam

sengketa

pertanahan,

dan

siapapun

wajibmelaksanakan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, karna posisinya
sebagai hukum dalam kasus konkrit.
Manusia sebagai perorangan atau individu cenderung untuk berkumpul dengan
individu-individu lain, dan dengan itu membentuk kelompok manusia yang hidup bersama.
Karena kecenderunganya berkelompok ini manusia dinamakan makhluk sosial. Fakta ini
sudah diketahui sejak dahulu kala, dan filsuf yunani terkenal Aristoteles karenanya
menamakan itu "Zoon Politiken" (makhluk sosial). Walaupun ada juga manusia yang hidup
sendiri atau menyendiri dengan maksud tertentu, misalnya bertapa atau bersemedi, hal ini
merupakan pengecualian. Cerita terkenal yang hidup sendiri karena terdampar yaitu
Robinson Crusoe dalam novel karangan Daniel Defoe sering dipakai untuk menggambarkan
bagaimana orang yang semula hidup sendiri secara berangsur-angsur membentuk kelompok
yang semakin besar.
Alkisah kapal yang ditumpangi Robinson Crusoe ditimpa badai besar dan terdampardi
sebuah pulauyang tidak berpenghuni, hanya ia sendiri yang selamat. Untuk mempertahankan
hidupnya ia mendirikan gubuk, bercocok tanam, menangkap dan memelihara beberapa ekor
kambing dan ternak lain serta memakan buah-buahan yang ada di pulau itu. Selama ia hidup
sendiri di pulau itu tidak timbul persoalan tentang hak atau hukum, ia tidak memerlukan
pengertian tentang hak atau hukum. Ia tidak membutuhkan hukum dan bebas melakukan
apapun sekehendak hatinya. Tetapi situasinya berubah ketika kemudian terdampar lagi
seorang lain yang karena kepalanya mengalami benturan melupakan segalanya termasuk

Hukum Agraria

17

namanya sendiri. Robinson yang menolong dan memelihara orang itu dan memberikan nama
si Jumat, karena menurut perhitungannya ia menemukan orang tersebut pada hari jumat.
Hadirnya si Jumat memunculkan persoalan pertama tentang siapa yang berhak menentukan
pemanfaatan segala sesuatu yang ada di lahan tempat mereka hidup dan sekitarnya. Tetapi
karena hubungan antar manusianya masih amat sederhana dan apa yang mereka butuhkan
untuk hidup masih tersedia dalam jumlah cukup, kehidupan mereka tanpa aturanaturan
prilaku yang dirumuskan secara eksplisit masih dirasakan nyaman dan tanpa mengalami
gangguan yang berarti. Kehidupan yang tenang dan menyenangkan itu mulai berubah ketika
penduduk pulau itu mulai bertambah baik karena ada lagi kapal yang terdampar maupun
karena kedatangan orang-orang yang menghuni pulau lain. Hubungan orang-orang di pulau
ini mulai majemuk.
B. Saran
Untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan hak atas tanah
pemerintah harus
ini pemerintah
pemerintah lebih

lebih bersikap netral dalam menyelesaikan sengketa, mengingat sejauh
cenderung bersikap represif. Hal ini hanya bisa dicapai apabila
menggunakan pendekatan secara yuridis dan musyawarah sehingga

bisa tercapai jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak, dan segera mengambil
tindakan tegas terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan
penyimpangan dari peraturan yang ada khusunya dalam menangani konflik dibidang
pertanahan. Disarankan pula agar pemerintah daerah atau instansi terkait harus peka melihat
terhadap adanya gerakan-gerakan dalam sengketa antara semuah pihak, pelaksanaan dan
penegakan hukum harus berjalan secara konsekuen.
Pemerintah hendaknya membuat undang-undang baru yang bercorak nasional dengan
mengutamakan kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Cara penyelesaian sengketa
pertanahan disarankan dilakukan dalam dua model, yaitu pertama, harus dilaksanakan dengan
negosiasi dan musyawarah dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan
lainnya. Dalam hal ini, pemerintah harus bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai
mediator, yang cenderung bersifat sebagai partisipan dalam kelompok yang bertikai. Model
kedua adalah penyelesaian melalui proses Pengadilan sebagai upaya terakhir. Target
penyelesaian konflik Tanah di luar Pengadilan tersebut, antara lain adalah mempertemukan
kepentingan hak dan penguasaan atas obyek tanah sengketa antara para pihak yang
bersengketa dan mengoptimalkan upaya tercapainya kesepakatan

Hukum Agraria

18

para pihak melalui musyawarah, dalam rangka mewujukan kehendak para pihak untuk
memperoleh kepastian hukum atas suatu bidang tanah. Sedangkan strategi yang digunakan
adalah pelayanan pengaduan sengketa tanah oleh Unit Pelayanan Pengaduan Sengketa.

19

DAFTAR PUSTAKA

Litelatur:
Gunawan Wiradi, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform terhadap
Perekonomian Negara, Makalah yang disampaikan dalam rangkaian diskusi
peringatan “Satu Abad Bung Karno” di Bogor, tanggal 4 Mei 2001.
Felix MT. Sitorus, Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun, 2002. M.
Arba, 2015, Hukum agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Erman Suparman, 2004, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara),
Bandung: Fokud media.
Undang-Undang:
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agrarian.
Internet:
http://metro-jaksel.blogspot.co.id/2010_01_01_archive.html
http://news.detik.com/berita/1273952/tuntaskan-kasus-senayan-city-dprd-dki-akan-panggilp2b