Skripsi S1 Tinjauan Hukum Islam terhadap

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal
munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan mengenai keadilan memiliki
cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai
pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan
tidak adil tergantung pada kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki. Untuk
menjadi adil cukup terlihat mudah. Namun, tentu saja tidak sama
penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal
dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang
berbeda yaitu;
1) Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya
justness),
2) Sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya
judicature), dan
3) Orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan

sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge,
jurist, magistrate).1
Sedangkan kata “adil” bisa dilihat melalui adaptasi dari bahasa Arab
“al-‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak,
penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan.2 Untuk menggambarkan keadilan juga menggunakan kata-kata
1
2

http://iddiens.wordpress.com/2010/06/14/teori-keadilan, diakses pada 5 November 2011.
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indinesia, cet.III Jakarta: Balai Pustaka, 1994

2

yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata
‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya
yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).3
Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam alQur’an digunakan berulang-ulang. Kata “al-‘adl” dalam al-Qur’an dalam
berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al-qisth” terulang sebanyak

24 kali. Kata “al-wajnu” terulang sebanyak 23 kali, dan kata “al- wasth”
sebanyak 5 kali.4
Kata “al-‘adl” dalam al-Qur’an terulang berbagai bentuk, tidak ada
yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, beragam
aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh al-Quran, pelakunya pun
demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para
pakar agama. Pertama, adil dalam arti sama. Yang dimaksud adil di sini
adalah memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang
lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah
persamaan dalam hak. Dalam surat al-Nisa' (4): 585 dinyatakan bahwa:
        
         
        
Artinya: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengjaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha melihat.”

3

M. Quraish Shihab, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: PT.
Mizan, 2000, hal 18
4

http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm, diakses 5 November 2011.

5

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera

3

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya mencakup
sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini
menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di
dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama
(dengan


atau

kesungguhan

tanpa

embel-embel

mendengarkan,

dan

penghormatan),
memikirkan

keceriaan

ucapan

wajah,


mereka,

dan

sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila
persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka
terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.
Kedua, adil dalam arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada
suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju
satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap
bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan
berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam surat al-Infithar (82) : 6-7,
dinyatakan;
      

 

  

Artinya: “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu
(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha
Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu, dan menjadikan kamu (menjadikan susunan
tubuh)mu seimbang.” 6
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan
terjadi kesetimbangan (keadilan). Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian
6

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera

4

(keproporsionalan), bukan lawan kata “kezaliman”. Perlu dicatat bahwa
keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua
bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar,
sedangkan

kecil


dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan

darinya.
Ketiga, adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini
mendefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi
pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian
menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya.
Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja,
demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif. Pengertian keadilan seperti
inilah yang kemudian melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti
memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak
kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah.
Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya.
Keadilan-Nya konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk
diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.7

Demikian pentingnya makna keadilan bagi manusia sehingga
memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian dipahami sebagai hak yang
melekat pada setiap individu. Dari sinilah kemudian para filsuf dan ahli
7

M. Quraish Shihab, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: PT.
Mizan, 2000, hal 20

5

hukum tertarik untuk merumuskan makna keadilan yang terus berputar dan
tidak pernah berhenti dengan segala problematikanya.
Diantara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah
tentang persoalan keadilan yang berkaitan dengan hukum. Hal ini
dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi dalam
realitanya seringkali tidak ditemukan.
Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak
waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang

bertarung

dalam

kerangka

umum

tatanan

politik

untuk

mengaktualisasikannya.8
Dalam sejarahnya, perkembangan hukum liberal menjadi hukum
modern (pasca liberal) berdampak pada keterlibatan negara untuk berperan
aktif dalam menentukan segala kebijakan,9 sehingga negara diposisikan
sebagai lembaga yang memiliki hak untuk menetapkan sejumlah norma
sebagai bentuk redistibusi kekuasaan yang dalam pandang ilmu hukum

khususnya hukum pidana merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial.10
Redistribusi kekuasaan yang diterima oleh negara inilah yang
kemudian membuat negara dalam sistem peradilan pidana memiliki

8

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004, hal 239.
9

Satjipto Rahardjo, penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2010, hal 38
10

Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari kewenangan Negara untuk menetapkan
sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak memidana (ius puniendi)
sebagai betuk penanganan dalam suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. H.A. Zainal
Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: sinar Grafika, 2007, cet.II, hal. 1.

6


kewenangan untuk mengambil alih peran korban jika terjadi suatu tindak
pidana dalam masyarakat.11
Akan tetapi konstruksi sistem peradilan pidana yang ada saat ini
dianggap belum mampu memberikan rasa keadilan karena tempat korban dan
masyarakat dalam sistem diambil alih oleh lembaga melalui penuntut umum.
Dalam hal demikian maka korban dan masyarakat tidak dapat berpartisipasi
secara langsung dalam penentuan akhir dari suatu penyelesaian perkara
pidana. Dalam kaitannya dengan konsepsi hukum yang membahagiakan
semua pihak12 tentunya akses masyarakat dan korban dalam penyelesaian
suatu perkara pidana yang menyangkut kepentingannya harus dibuka,
sehingga keadilan dapat dimaknai secara hakiki.13
Di Indonesia, sistem peradilan pidana hampir tidak memberikan tempat
terhadap upaya penyelesaian perkara pidana di luar sistem ini. Padahal
hakikat dari hukum pidana harus ditafsirkan sebagai suatu upaya terakhir
yang hanya dapat dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lainnya
yang lebih ringan telah tidak berdaya guna atau dipandang tidak memadai.14
Selain pengambil alihan peran korban oleh negara, yang menjadi
persoalan lain adalah sanksi atau pemidanaan. Sanksi dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia masih menganut pada paradigma pemidaan klasik yang
bersifat retributif15, dimana keberhasilan sanksi atau pemidanaan dapat dilihat
11

Peran Negara dalam hal ini dilaksanakan oleh penuntut umum yang kewenangannya
diatur dalam pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
12

Hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat, yang setiap individu
didalamnya dengan suka rela melaksanakan tanpa adanya keterpaksaan ataupun menjadi beban
budaya lokal. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2010, hal 42.
13

Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.53

14

Ibid, hal 44

15

Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata/mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Eva Achjani Zulfa. Keadilan

7

dari besar kecilnya penderitan yang diterima oleh pelaku tindak pidana. 16
Kemudian yang menjadi persoalan sekarang adalah penderitaan yang diterima
oleh pelaku ternyata tidak mampu memulihkan korban pada keadaan yang
semula,

karena

korban

tidak

memilki

ruang

untuk

mengutarakan

keinginannya.17
Oleh karena itu sangat perlu bagi sistem peradilan pidana untuk
memberikan ruang bagi keadilan yang lebih bersifat restoratif (Restorative
Justice). Keadilaan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang
muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.
Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana
konvensional. Pendekatan ini menitik beratkan pada adanya partisipasi
langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara
pidana.18
Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada
dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu
serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. 19
Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas
terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem
Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.66
16

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, 2004, hal.71.

17

Sebagai contoh adalah korban pemerkosaan, sebesar apapun penderitaan yang diterima
oleh pelaku sebagai pembalasan atas tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan tetap saja tidak
mampu memulihkan apa yang telah terenggut dari korban.
18
19

Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 2.

Dalam kenyataan pandangan ini tidak lepas dari pandangan ilmu kriminologi yang
melihat adanya perkembangan dalam melihat pelaku tindak pidana, pendefinisian tindak pidana
serta respon yang terjadi atas suatu tindak pidana. Meskipun tidak dapat dinyatakan bahwa
pandangan kriminologi baru adalah serupa dengan pandangan keadilan restoratif, akan tetapi tidak
dapat dipungiri bahwa kehadiran keduanya berdampak pada perubahan paradigma sebagai akibat
perkembangan pemikiran ini. Koesriani Siswosoebroto, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi,
Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hal 41

8

peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan
kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu
tindak pidana. Semantara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian
pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana
keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan
tersebut.20
Kedilan restoratif bukanlah suatu yang asing dan baru, karena keadilan
ini telah dikenal dalam hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat.
Dalam wacana tradisional, keadilan restoratif pada dasarnya merupakan
model pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang dominan pada
masyarakat adat diberbagai belahan dunia yang hingga kini masih berjalan.
Keadilan ini menjadi suatu yang baru karena dalam kenyataannya justru
masyarakat modern kembali mempertanyakan bagaimana sistem peradilan
pidana tradisional dapat digunakan kembali dalam menangani tindak pidana
yang sangat berkembang pada masa sekarang.21
Selain bukan menjadi hal baru yang sebelumnya telah ada dalam
hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat, prinsip dasar keadilan
restoratif juga telah lama ada dan menjadi landasan filosofis, doktrin, dan
tradisi yang diberlakukan oleh umat Hindu, Budha, Islam, Yahudi, Tao, atau
Kristen.
Dalam kepercayaan yang dianut oleh umat Hindu dinyatakan bahwa
proses reinkarnasi dari seseorang dalam setiap kehidupan yang dijalaninya
merupakan gambaran dari perilaku yang dibuat pada kehidupn sebelumnya.
20

Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 3.

21

Ibid, hal 55.

9

Dalam pandangan Kristen, keadilan dan kebenaran dalam injil perjanjian
lama merupakan terminologi yang tak terpisahkan satu dengan yang lain,
sama halnya dengan istilah damai, maaf dan cinta kasih yang merupakan inti
dari ajaran Kristiani. Ajaran ini juga terdapat dalam ajaran Budha, Tao, dan
Confusian.22
Sementara dalam konsep hukum Islam prinsip dasar keadilan restoratif
dapat dilihat pada proses pemberlakuan qishash dan diyat.23 Dalam ketentuan
qishash-diyat memungkinkan pengubahan hukuman pelaku tindak pidana
pembunuhan bila ada perdamaian dan pemaafan dari ahli waris.24
Dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 Allah SWT berfirman:
       
       
       
        
          
      
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah
itu, maka baginya siksa yang amat pedih”. (178)
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa”. (179) 25
22

Ibid, hal 13.

23

Qishash-Diyat merupakan jarimah yang telah diancam dengan hukuman-hukuman yang
telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau tertinggi, tapi telah menjadi
hak perseorangan. Ahmad hanafi,M.A, Azas-azas Hukum pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan
Bintang,2005
24

Djazuli, H.A, Fiqh jinayat: Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada,1996 hal 149.

10

Sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Maraghi, Al-Baidawi dalam
tafsirnya mengatakan bahwa di masa jahiliyyah ketika diantara dua kabilah
(misalnya hutang darah) sedang keadaan salah satu kabilah lebih utama, maka
kabilah yang lebih utama itu akan bersumpah kepada kabilah lainnya, jika
seorang hamba dari kalangan kami terbunuh, maka harus ditebus dengan
seorang merdeka dari kalian, dan wanita harus ditebus dengan seorang lelaki.
Ketika agama Islam datang, mereka meminta keputusan hukum kepada
Rasulullah SAW, kemudian turun ayat ini yang memerintahkan agar mereka
berlaku sebanding didalam melaksanakan hukum qishash.26
Hukum qishash terhadap kejahatan pembunuhan merupakan ketentuan
hukum yang tak dapat ditawar lagi menurut agama Yahudi yang tersebut
dalam kitab keluaran sembilan belas. Dan hukum diyat juga tidak bisa
dirubah lagi menurut agama Nasrani. Sedang bangsa Arab kuno menghukum
pembunuhan ini tergantung dari kuat atau lemahnya kabilah. Terkadang
mereka lebih memilih sepuluh orang sebagai pengganti seorang yang
dibunuh, meminta seorang laki-laki sebagai pengganti wanita yang dibunuh,
atau meminta seorang merdeka dari hamba yang dibunuh. Jika permintaan
salah satu kabilah ini ditolak, maka akan terjadi pertempuran yang dahsyat
antara kedua belah kabilah. Jelas, masalah ini merupakan sebuah kedzaliman
yang melampaui batas, dan merupakan kekerasan yang sangat menyedihkan,

25
26

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, CV. Toha Putra,
1993, Cet. II, hal. 102

11

bahkan mereka tidak hanya melakukan pembunuhan terhadap pelakunya
saja.27
Tetapi, terkadang jika pelaksanaan hukum qishash itu dilaksanakan
akan sangat membahayakan, dan membiarkan tidak dilaksanakannya hukum
qishash adalah lebih baik. Misalnya, seorang membunuh saudaranya dalam
keadaan kalap melakukannya. Sedang pelakunya adalah orang yang
menanggung pihak terbunuh dalam hal penghidupan. Jika dilaksanakan
hukum qishash kepadanya, tentu ahlul bait akan kehilangan orang yang
mencarikan

nafkah

untuk

penghidupan

mereka.

Dengan

demikian

pelaksanaan qishash terhadap pembunuh tersebut akan timbul kerusakan
(mafsadah) bagi mereka sendiri. Dan jika pelaku pembunuh adalah orang lain
yang bukan dari lingkungan keluarga sendiri, sebaiknya ahli waris tidak usah
menuntut hukum qishash demi menolak bahaya dan mendapat diyat. Dalam
kasus seperti ini, ahli waris dibolehkan memilih antara memberi maaf dengan
mengambil diyat, atau memberi maaf sama sekali tanpa diyat.28
Terlepas dari kontroversi, pada dasarnya dalam pelaksanaan hukum
qishash ini akan tecipta suatu kehidupan yang tenang. Dengan sendirinya
masyarakat akan terpelihara dari berbagai penganiayaan dan permusuhan dari
anggota masyarakat. Hal ini karena siapapun yang mengetahui bahwa pelaku
pembunuhan juga akan mendapatkan hukuman dengan dibunuh, maka ia tak
akan berani melakukan pembunuhan. Dengan demikian jiwa masyarakat akan
terpelihara, dan orang yang akan melakukan pembunuhan pun akan
terpelihara dari hukum qishash karena tidak jadi melakukan pembunuhan.
27

Ibid

28

Ibid

12

Disamping itu, jika yang diberlakukannya hanya hukum diyat, maka tak
segan-segan orang melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Hal ini
karena ada sebagian orang orang yang mampu mengeluarkan harta benda
sebanyak itu, demi untuk melenyapkan saingannya.29
Jika ditarik dalam konteks kekinian, persoalan hukum Islam kaitannya
dengan tindak pidana pembunuhan tentu akan terlihat berbenturan dengan
konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi semangat perkembangan
hukum pidana di dunia saat ini. Namun terlepas dari itu semua perlu adanya
penggalian lebih dalam lagi untuk membuktikan Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin dengan tidak melihat Syari’at Islam sebagai suatu konsep baku yang
kaku dan anti perubahan, akan tetapi melihat syari’at sebagai nilai-nilai ideal
yang akan terus hidup sepanjang masa yang didalamnya terdapat semangat
keadilan restoratif.
Oleh karena itu, dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis
tertarik untuk mengangkat permasalahan ini untuk dijadikan kajian peeniltian
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif”
B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai
dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar
fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar
dari apa yang dikehendakai. Berangkat dari deskripsi diatas, ada beberapa
rumusan masalah yang penulis jadikan kajian dalam penelitian ini adalah;

29

Ibid

13

1. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan
dengan pendekatan keadilan restoratif?
2. Bagaimana relevansi tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana
pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif
3. Bagaimana prospek penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan
keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya untuk menjawab apa yang
telah dirumuskan dalam rumusan masalah diatas. Diantara beberapa tujuan
dari penelitian ini adalah
1. Mengungkapkan tinjauan hukum islam yang terkait dengan tindak
pidana pembunuhan.
2. Selain itu penulisan karya ini juga bertujuan untuk mengaitkan konsep
hukum islam tentang tindak pidana pembunuhan dengan prinsip-prinsip
keadilan restoratif. Dan untuk memagari pembahasan, penulis akan
melihat keadilan restoratif sebagai konsep yang bersifat filosofis yang
secara substansial sudah ada dan dipraktekkan masyarakat adat
diberbagai belahan dunia. Dari sini maka penulis mencoba menjawab
relevansi tinjauan hukm islam terhadap tindak pidana pembunuhan
dengan pendekatan keadilan restoratif.
3. Penulis juga bertujuan untuk melihat prospek penyelesaian perkara
pidana dengan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan
pidana.
D. Telaah Pustaka
Beberapa pustaka yang dapat dijadikan acuan sebagai bahan penulisan
adalah sebagai berikut: Adul Qadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri’ al-Jin’i
al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy yang diterjamahkan dalam Bahasa

14

Indonesia dengan judul Ensiklopedi Hukum Pidana islam. Dalam karyanya
ini, Abdul Qadir Audah menerangkan berbagai persoalan hukum pidana islam
yang didalamnya dibahas juga secara panjang lebar terkait tindak pidana
pembunuhan (Qishash-Diyat) beserta prinsip-prinsip yang mendasarinya.
Selain karya Abdil Qadir Audah, untuk mengarahkan penulisan skripsi
agar sesui dengan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan karya Eva
Achjani Zulfa yang berjudul Keadilan Restoratif. Dalam karyanya ini
memuat teori-teori keadilan restoratif yang diawali dengan difinisi keadilan
restoratif, prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif, serta penggunaan keadilan
retoratif dalam sistem peradilan pidana diberbagai negara. Disini dapat dilihat
bagaimana kegagalan sistem peradilan pidana untuk menciptakan keadilan
yang mampu memulihkan kondisi sosial

dan memberikan ruang kepada

masyarakat untuk masuk secara aktif menyelesaikan perkara pidana yang
terjadi dalam masyarakat. Sehingga hukum dapat dimaknai sebagaimana
mestinya, yakni hukum yang membahagiakan semua pihak.
Disamping menelaah pendapat para fuqaha dan ahli hukum dalam
penulisan ini, penulis juga menelaah skripsi yang berkaitan dengan keadilan
restoratif dan tindak pidana pembunuhan dalam hukum islam, diantaranya:
1. Tinjauan terhadap Penerapan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif sebagai
Pertimbangan

Hakim

dalam

Putusan

Mahkamah

Agung

No.107PK/PID/2006 karya Krisantiwi Meira Anggarini mahasiswi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) lulus tahun 2011. Dalam
skripsi ini dijelaskan bahwa keadilan restoratif pada tahapan Ajudikasi
adalah suatu penyelesaian perkara pidana untuk mencapai keadilan yeng
bersifat restoratif atau pemulihan. Keadilan restoratif yang diwujudkan

15

melalui upaya restoratif ini dapat diakomodir oleh hakim sebagai dasar
peringanan pidana atau dasar penghapusan pidana.
2. Qishash dan Upaya Pencapaian Maslahah dalam Al-Qur’an Surat AlBaqarah ayat 178 karya Imron mahasiswa Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang lulus tahun 2006.
Dalam Skripsi ini dijelaskan bahwa qishash merupakan suatu sistem
pemidanaan sebagai bentuk adopsi hukum islam atas masyarakat arab pra
islam. Ketentuan qishash ini mengedepankan prinsip kesimbangan
sebagai upaya untuk merekayasa keadaan sosial (sosial engineering),
sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang melampaui batas
sebagaimana yang telah dipraktekkan pada zaman sebelum islam.
Pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana
pembunuhan sudah pernah dibahas sebelumnya oleh beberapa mahasiswa
Fakultas Syari’ah, baik melalui kajian kitab maupun kajian hukum pidana
islam. Akan tetapi pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap
tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif belum
pernah disinggung sebelumnya oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo.
E. Metodologi Penelitian
1.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kualitatif,30 karenanya metode pengumpulan data dilakukan dengan
30

Adalah penelitian yang bersifat atau memilki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam
bentuk simbol-simbol atau bilangan. penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data
dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan/diinterpretasikan sesuai ketentuan
statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1996, hal.174.

16

menggunakan metode pengumpulan data library research31 yang
mengandalkan atau memakai sumber karya tulis kepustakaan. Metode ini
penulis gunakan dengan jalan membaca, menelaah buku-buku dan artikel
yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Sumber Data
Kerena penelitian ini merupakan studi terhadap karya dari seorang tokoh,
maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada
dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data skunder.
1.
Data primer yang dimaksud merupakan karya yang langsung
diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema
penelitian. Jadi data primer ini merupakan karya dari Abdul Qadir
Audah yang berjudul At-Tasyri’ al-Jin’i al-Islamiy Muqaranan bil
Qanunil Wad’iy yang diterjamahkan dalam Bahasa Indonesia
dengan judul Ensiklopedi Hukum Pidana islam. Selain itu penulis
juga menggunakan karya dari Eva Achzani Zulfa yang bejudul
Keadilan Restoratif yang akan dipergunakan sebagai bahan
2.

rujukan dalam penelitian ini.
Data sekunder adalah data-data yang relevan yang terkait dengan
tujuan penelitian. Artinya data ini berasal dari buku atau kitab
yang relevan sehingga dapat mendukung dan melengkapi

penulisan skripsi ini.
3. Metode Analisis Data
Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya
merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema
yang dapat dirumuskan sebagai hipotesa kerja. Jadi yang pertama kali
31

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 1997, hal.9.

17

dilakukan dalam analisa dat ini adalah pengorganisasian data dalam
bentuk mengatur, mengurutkan ,mengelompokkan, memberi kode dan
mengkategorikannya. Tujuan pengorganisasian dan pengolahan data
tersebut untuk menemukan tema dan hipotesa kerja yang akhirnya
diangkat menjadi teori.32
Berdasarkan data

yang

diperoleh

untuk

menyusun

dan

menganalisa data-data yang terkumpul dipakai meetode deskriptifanalitik. Metode deskriptif-Analitik ini akan penulis gunakan untuk
melakukan pemaparan dan analisa terhadap tinjauan hukum islam
terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan
restoratif.
Kerja dari metode Deskriptif-Analitik ini yaitu dengan cara
menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut
kemudian diperoleh kesimpulan.33 Untuk mempertajam analisis, metode
content analysis (analisis isi) juga penulis gunakan. Content analysis
(analisis isi) digunakan melalui proses mengkaji data yang teliti. Dari
hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai sumbangan teoritik.34
4. Sedangkan teknis penulisan dalam skripsi ini adalah mengacu kepada
buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
F. Sistematika Penulisan

32

Ibid

33

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineke Cipta,
1992, hal.210.
34

hal. 51

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996,

18

Sebagai jalan untuk memahami persoalan yang dikemukakan secara
runut atau sistematis. Bab Pertama berisi Pendahuluan yang memuat: latar
belakang, rumusan maslah, manfaat dan tujuan penelitian, telaah pustaka,
metodologi penilitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua membahas seputar tinjauan umum tentang tindak pidana
pembunuhan, meliputi: definisi pembunuhan menurut KUHP dan Hukum
Islam, klasifikasi pembunuhan menurut KUHP dan Hukum Islam, dan sanksi
pidana menurut KUHP dan Hukum Islam.
Pada Bab Ketiga mengkaji konsep keadilan retoratif yang meliputi:
Pengertian keadilan restoratif, prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif, dan
kedudukan keadilan restoratif.
Bab Keempat berisi tentang Analisis tinjauan hukum islam terhadap
tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif yang
meliputi: Analisis tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan
dengan pendekatan keadilan restoratif, relevansi tinjauan hukum islam
terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif,
dan prospek penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restoratif dalam sistem peradilan pidana.
Bab Kelima merupakan akhir dari pembahasan skripsi ini yang
meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.

BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

19

A. PEMBUNUHAN MENURUT KUHP
1. Definisi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut KUHP
Tindak pidana adalah salah satu istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda dengan “Strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan
istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia.
Menururt Wirjono Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu
perbuatan

yang

pelakunya

dapat

dikenakan

hukuman

pidana.35

Sedangkan Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacakara, tindak pidana
diartikan sebagai sikap tindak pidana atau prilaku manusia yang masuk
kedalam ruang lingkup tingkah laku perumusan kaidah hukum pidana,
yang melanggar hukum dan didasarkan kesalahan.36.
Dari pengertian tindak pidana diatas, dapat diketahui unsur-unsur
tindak pidana yaitu:
1) Adanya perbuatan atau tingkah laku;
2) Perbuatan tersebut dilarang atau melawan hokum;
3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan);
4) Diancam dengan pidana atau hukuman pidana

35

Wirjono Projodikoro, Asas-asa Hukum di Indonesia, Bandung : PT.Eresco, __, hal 55
Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacaraka, Sendi-Sendi dan Hukum Indonesia, ,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal 85
36

20

Sehingga dapat disimpulkan tindak pidana adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang yang melawan hukum dan diancam
dengan hukuman pidana.
Tindak pidana pembunuhan dalam kitab undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan
terhadap nyawa (misdrjn tegen het leven) adalah berupa penyerangan
terhadap nyawa orang lain.37 Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh
yang berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh artinya
membuat agar mati. Pembunuhan artinya orang atau alat hal membunuh.
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan
oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain.38
Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada paal 338
KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang,
karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun.”
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa:
1. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian
2.

37

orang lain;
Pembunuhan itu sengaja, artinya diniatkan untuk membunuh;

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nywa, , Jakarta : Raja Grafindo
Persada hal 55
38
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum, , Jakarta: Sinar Grafika 2007 hal 24

21

3.

Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud

untuk membunuh.39
Kalsifikasi Tindak Pidana Pembuuhan Menurut KUHP

2.

Dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur pada
buku II title XIX (paal 338-350), tentang “kejahatan-kejahatan terhadap
nyawa orang”. Pembunuhan adalah termasuk tindak pidana material
(material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak
cukup dengan dilakukannya perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat
juga adanya akibat dari perbuatan itu.
Pada dasarnya pembunuhan itu terbagi dalam dua bagian, yaitu
dilihat dari kesalahan pelaku (subjective element) dan sasaran (objective
element).
Jika didasarkan pada kesalahan pelakunya, maka diperinci atas
dua golongan, yakni:
1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang dilakukan
dengan sengaja (dolense misdrijven). Terdapat pada Bab XIX pasal
338-350 KUHP;
2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena
kealpaan (culpose misdrijven). Terdapat pada pasal 359 KUHP.40
Sedangkan jika didasarkan kepada sasaranya, dibedakan kepada
tiga macam:
39

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Bandung:
PT. Karya Nusantara, 1989, hal 207
40
M.Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek dan
Tantanagan, , Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hal 143

22

1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia pada umumya;
2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seseorang anak yang sedang
atau belum lama dilahirkan;
3) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seseorang anak yang masih
dalam kandungan.41
Dibawah ini akan dijelaskan kejahatan terhadap nyawa manusia
yang dilakukan dengan sengaja dan yang dilakukan dengan kealpaan.
Pembunuhan sengaja adalah perbuatan yang mengakibatkan
kematian orang lain, kematian itu dikehendaki oleh pelaku. Dalam
KUHP pembunuhan yang dilakukan dengan senagaja, dikelompokkan ke
dalam beberapa jenis, yakni :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)

Pembunuhan biasa;
Pembunuhan terkwalifikasi;
Pembunuhan yang direncanakan;
Pembunahan anak;
Pembunuhan atas permintaan si korban;
Membunuh diri;
Menggugurkan kandungan (abortus).42
Dibawah ini akan dijelaskan ketujuh macam pembunuhan tersebut.

a) Pembunuhan biasa
Pembuhuhan biasa ini terdapat dalam pasal 338 KUHP, yang
berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang
lain dipidana

karena pembunuhan dengan pidana paling

lama lima belas tahun”43
41

Ibid, hal 144
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, __, Bandung :
Remaja karya, 1986, hal 121
43
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP hal 134
42

23

Istilah “orang lain” dalam pasal 338 itu, maksudnya adalah
bukan dirinya sendiri, jadi terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan
tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap
bapak, ibu atau anak sendiri.
Dalam pembunuhan biasa (doodslag), harus dipenuhi unsur :
1. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus
timbul seketika itu juga, ditunjukan kepada maksud supaya orang
itu mati.
2. Melenyapkan nyawa orang itu harus merupakan perbuatan yang
“positif” atau sempurna walaupun dengan perbuatan yang kecil
sekalipun.
3. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang, seketika itu
juga atau beberapa saat setelah dilakukannya perbuatan itu.44
b) Pembunuhan terkwalifikasi
Maksud dari pembunhan ini adalah pembunhan yang diikuti,
disertai, atau didahului dengan perbuatan lain. Sebagaimana yang
dirumuskan dalam pasal 339 yaitu:
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahuli oleh
suatu delik, yang dilakukan dengn maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya,
atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta
lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang
44

M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam KUHP, hal 121

24

diperolehnya secara melawan hukum, diancam pidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun”.45
Apabila rumusan diatas dirinci, maka terdiri beberapa unsur
sebagai berikut:
1. Semua unsur pembunuhan dalam pasal 338;
2. Yang diikuti, disertai, atau didahului oleh tindak pidan lain;
3. Pembunuhan yang dilakukan dengan maksud:
a. Untuk mempersiapkan tindak pidana
b. Untuk mempermudah pelaksanaan tindak piudana lain dan jika
tertangkap tangan bertujuan untuk menghidarkan diri sendiri
ataupun orang lain yang ikut terlibat atau untuk memastikan
penguasaan benda yang didapatkanya dengan cara melawan
hukum.
c) Pembunuhan yang direncanakan (moord)
Pembunuhan
direncanakan

terlebih

yang

dilakukan

dengan

dahulu dalam

keadaan

sengaja

dan

tenang untuk

melenyapkan nyawa orang atau lebih dikenal dengan pembunuhan
berencana. Pembunuhan ini diatur dalam pasal 340 KUHP dengan
ancaman hukuman yang paling berat, yaitu hukuman mati atau
pidana penjara seumur hidup.
Unsur-unsur dari pembunuhan jenis ini adalah:

45

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hal 134

25

1. Adanya

kesengajaan,

yaitu

kesengajan

yang

disertai

perencanaan terlebih dahulu;
2. Yang bersalah dalam keadaan tenang memikirkan untuk
melakukan

pembunuhan

itu

dan

kemudian

melakukan

maksudnya dan tidak menjadi soal berapa lama waktunya;
3. Diantara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat
melakukan pembunuhan itu, ada waktu ketenangan pikiran.46
d) Pembunuhan anak (kinderdoodslag)
Dalam pembunuhna jenis ini yang terkena pasal adalah
seorang Ibu, baik kawin mauapun tidak, yang dengan sengaja
membunuh anaknya pada waktu dilahairkan atau beberapa lama
setelah dilahairkan. Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 341
dan 342.47
Untuk pembunuhan dalam 341 diancam dengan hukuman
selama-lamanya tujuh tahun pnjara. Pasal 342 memuat perbuatan
yang eujudnya sama dengan yang dimuat dalam pasal 341 dengan
perbedaan bahwa dalam pasal 342 perbuatannya dilakukan untuk
menjalankan kehendak yang ditentukan sebelum anak dilahairkan.
Tindak pidana ini diancam dengan maksimum hukuman Sembilan
tahun penjara.
e) Pembunuhan atas permintaan si korban
Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 344:
“Barang siapa yang merampas jiwa orang lain atas
permintaan yang sangat tegas dan sungguh-sungguh,
46
47

M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, hal 124
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hal 135

26

diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”
Dari bunyi pasal diatas diketahui bahwa pembunuhan ini
mempunyai unsure: atas permintaan yang tegas dari si korban dan
f)

sungguh-sungguh nyata
Masalah bunuh diri
Pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam bunuh diri
karena tidak ada pelaku secara langsung didalamnya. Hanya saja
disini akan diancam hukuman bagi orang yang sengaja menghasut
atau menolong orang lain untuk bunuh diri, yaitu akan dikenakan
pasal 354 KUHP yang akan diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun. Dengan syarat membunuh diri itu harus benarbenar terjadi dilakukanya, artinya orangnya sampai mati karena

bunuh diri tersebut.
g) Menggugurkan kandungan (abortus)
Dilihat dari subjek hukumnya maka pembunuhan jenis ini
dapat dibedakan menjadi :
1. Pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan hamil itu sendiri
(pasal 346) dengan ancama hukumanya adalah pidana penjara
paling lama empat tahun;
2. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya
(pasal 347) atau tidak atas persetujuannya (pasal 348);
3. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai
kualitas tertentu seperti dokter, bidan dan juru obat atas
3.

persetujuan ataupun tidak.
Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut KUHP
Ancaman hukuman terhadap suatu kejahatan pembunuhan
termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP

27

menetapkan jenis-jenis pidana atau hukuman yang termaktub dalam pasal
10 KUHP yang terbagi dalam dua bagian, yaitu hukuman pokok dan
hukuman tambahan.
1. Hukuman pokok terdiri atas empat macam, yaitu:48
a. Hukuman mati
Hukuman jenis ini yang terberat dari semua pidana yang
diancamkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat,
b.

misalnya pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP)
Hukuman penjara
Hukuman ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan
seseorang. Hukuman penjara ditujukan kepada penjahat yang
melakukan perbuatan buruk dan nafsu jahat. Hukuman penjara
minimun satu hari dan maksimum seumur hidup.
Hukum penjara diancam pada berbagai

kejahatan,

diantaranya adalah pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP),
pembunuhan terkualifikasi (pasal 339 KUHP), pembunuhan
anak (pasal 341 dan 342 KUHP), pembunuhan atas permintaan
korban (pasal 344 KUHP), dan menggugurkan kandungan (pasal
c.

346, 347, 348, dan 349 KUHP).
Hukuman kurungan
Hukuman kurungan lebih ringan aripada hukuman penjara
karena hukuman ini diancam terhadap pelanggaran atau
kejahatan

yang

dilakukan

sebab

kelalaian.

Pelaksanaan

hukuman kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu
tahun.
Kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman kurungan
diantaranya; pasal 490 KUHP tentang izin memelihara binatang
48

Leden Marpaung, Asas-Teori Praktek Hukum Pidana, hal.107-110

28

buruan, pasal 492 KUHP tentang mabuk di muka umum, dan
d.

lain-lain yang berkaitan dengan pelanggaran keamanan umum.
Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku
pelanggaran

juga

diancamkan

terhadap

kejahatan

yang

adakalanya sebagai alternatif atau komulatif jumlah yang
dikenakan pada hukuman denda ditentukan dengan nilai
2.

minimum 25 sen sedang jumlah maksimum tidak ada ketentuan.
Hukuman tambahan terdiri dari tiga jenis;49
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Hal ini diatur pada pasal 35 KUHP, yaitu pencabutan hak si
bersalah berdasarkan putusan hakim dalam hal yang ditentukan
undang-undang. Hak tersebut bisa saja jabatan atau kekuasaan,
seperti mencabut haknya sebagai pegawai negeri sipil atau PNS;
b. Perampasan barang tertentu
Karena putusan suatu perkara mengenai diri terpidana,
maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan
atau

barang

milik

terpidana

yang

digunakan

untuk

melaksanakan kejahatannya;
c. Pengumuman putusan hakim
Hukuman ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada
khalayak ramai agar dengan demikian masyarakat umum lebih
berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh
hakim dalam surat kabar yang semuanya atas biaya si terhukum.
Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan merupakan suatu
bentuk kejahatan yang serius. Hal ini dapat dilihat dari ancaman
hukuman bentuk tindak pidana pembunuhan dibawah ini:

49

Ibid hal. 112

29

1. Pembunuhan sengaja, dalam bentuk umum atau pokok diatur dalam
pasal 338 KHUP:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun”.
2. Pembunuhan berencana, diatur dalam pasal 340 KUHP:
“Barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”;
3. Pembunuhan tidak dengan sengaja. Diatur dalam pasal 359 KUHP:
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun”.
B. PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
1. Definisi Tindak Pidana Pembunuhan Prespektif Hukum Islam
Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal dengan Jinayah dan
meunurut ahli fikh perkataan Jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang
terlarang menururt syara’ yang diancam dengan hukuman hudud50 dan
qishas51.
Menururt Abdul Qodir Audah, Jinayah adalah suatu perbuatan
yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta,
atau lainnya52

50

Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. menurut bahasa bisa juga
cegahan. sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al
qur'an sebagai hak Allah.
51
H. A Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, ,Jakarta:
Grafindo Persada, 2000, hal 2
52
Abdul Al-Qadir Audah, AL-Tasyri’ Al-islami Juz I, Beirut: Muassasah al-Risalah 1992,
hal 9

30

Istilah yang mempunyai makna yang sepadan dengan Jinayah
adalah Jarimah.53 Akan tetapi kebanyakan para ulama’ menggunakan
istilah jarimah dalam menjelaskan perbuatan yang dilarang dan diancam
hukuman atasnya. Selain itu, ulama’ juga bersepakat pembunuhan
termasuk dalam kategori dosa besar karena pembunuhan berarti tindakan
yang membuat orang lain kehilangan nyawanya.
Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut ‫ القتل‬berasal dari kata
‫ قتل‬yang sinonimnya ‫ أمات‬yang artinya mematikan.
Sedang mengenai pengertian dari pembunuhan itu sendiri, Abdul
Qadir Al-Audah mendefinisikan sebagai berikut :
‫القتل هو فعل العباد تزول به إزهاق روح ىأدمىى بفعل أدمىى‬
‫أخر‬
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang
menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu
adalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab
perbuatan manusia yang lain.”54
Wahbah zuhaili memberikan pengertian pembunuhan dengan
mengutip pendapat Syarbini khatib sebagai berikut:
‫القتل هو فعل المزهق أى القاتل‬
‫للنفس‬
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan
atau mencabut nyawa seseorang”.55
Dari definisi diatas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa
unsur-unsur dalam tindak pidana pembunuhan dalam Hukum Islam
adalah:
a) Menghilangkan nyawa manusia;
53

Jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara dan
ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas
ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir).
54
Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 217
55
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-islami wa Adillatuhu, juz VI, Damaskus: Dar Al-kitab
Al-‘Arabi tanapa tahun, hal 6

31

b) Adanya perbuatan, baik perbuatan itu aktif maupun pasif. Maksud
dari prbuatan aktif adalah adanya perbuatan atau tingkah laku yang
dilakukan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang,
misalnya menusuk seseorang dengan pisau. Maksud dari perbuatan
pasif adalah tidak adanya perbuatan atau tingkah laku yang
dilakukan tetapi karena tidak berbuat itu mengakibatkan hilangnya
nyawa seseorang;
c) Dilakukan oleh orang lain, karena jika dilakukan oleh diri sendiri
dinamakan bunuh diri meskipun dilarang oleh syara’ tetapi tidak ada
ancaman hukuman di dalamnya, dikarenakan pelaku sudah tiada.
Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
Tindak pidana pembunuhan dalam Hukum islam secara garis

2.

besar dibagi dalam dua bagian sebagai berikut:
1) pembunuhan yang dilarang, yaitu pembunuhan yang dilakukan
dengan melawan hukum;
2) pembunuhan dengan hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan
tidak melawan hukum, seperti membunuh orang murtad atau
pembunuhan oleh seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan
hukuman mati.56
Pembunuhan yang dilarang terbagi kepada beberapa bagian,
menururt Abdul Qodir Audah jika pembagian tersebut dilihat dari
maksud kehendak si pelaku melakukan pembunuhan, maka dalam ini
para fuqoha’ berbeda pendapat. Menururt Imam Malik pembunuhan
dilihat dari segi kehendak si pelaku terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Pembunuhan sengaja;
b. pembunuhan karena kesalahan atau57
56
57

Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 6
Ibid hal 7

32

Sedang Jumhur fuqoha’ (ulama’ hanafiyah, syafi’iyah, dan
hanabillah) membagi pembunuhan menjadi tig