Sekolah Berbasis Keummatan id. docx

SEKOLAH BERBASIS KEUMMATAN
Oleh : Anjaya Wibawana
Sebagai umat Islam di Indonesia kita wajib bersyukur sekaligus prihatin. Kita bersyukur
karena menjadi Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan Allah SWT memberikan
kekayaan alam yang berlimpah. Ironisnya, sesudah hampir 70 tahun kemerdekaan – umat
Islam belum mampu mewarnai bangsa ini. Islam masih dipandang secara simbolis, hanya
diperlukan ketika mencari dukungan suara. Namun, kehidupan bernegara masih jauh dari
ajaran dan nilai-nilai Islam. Disini terkadang kita merasa sedih.
Keberhasilan sebuah bangsa dalam mewujudkan kehidupan yang makmur dan sejahtera itu
tidak terlepas dari tersedianya sumberdaya manusia dalam jumlah yang mencukupi. Dalam
sebuah presentasi di Bina Qolam, Ir. Abdulkadir Baraja menjelaskan bahwa umat Islam itu
dibagi menjadi tiga kategori : muslim profesional, muslim pasif dan munafik. Harapan umat
Islam bertumpu pada muslim profesional. Yakni sebagian umat Islam yang memiliki
kemampuan intelektual, dapat dipercaya (amanah) dan memperjuangkan aspirasi umat
Islam. Adapun kategori muslim pasif dan munafik ini jauh lebih besar dan berpotensi
problem maker.
Karena jumlahnya yang tidak memadai, muslim profesional ini tidak mampu mewarnai
bangsa ini. Mereka kalah bersaing dengan Non Muslim, meskipun jumlahnya sedikit
namun memiliki banyak SDM berkualitas dan dukungan financial yang unlimited. Jadi
sebaik apapun orang Islam yang memiliki posisi strategis di pemeritahan – kebijakannya
akan mentog karena orang dibawahnya tidak memiliki visi keummatan.

Mewujudkan visi keummatan itu membutuhkan dua pilar. Pertama, struktural yaitu melalui
jalur politik dengan harapan mampu menyalurkan aspirasi umat baik melalui kebijakan
maupun program strategis. Pasca reformasi, mobilitas vertikal memang terbuka bagi umat
Islam namun sering terlena – akhirnya ikutan memperkaya diri sendiri. Untuk itulah kita
butuh pilar yang kedua, kultural melalui pendidikan. Daripada sibuk menebang pohon yang
sudah rusak lebih baik menanam pohon-pohon baru. Secara teknis dan biologis, orang yang
bermasalah di Negara ini akan tergantikan dan tutup.
Secara praktis, ternyata sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh anak kita adalah di
sekolah, kurang lebih delapan jam. Hal ini menandakan bahwa sekolah merupakan sarana
strategis mendidik umat Islam secara massal. Tidak sebatas pada sekolah yang dikelola
oleh sebagian kelompok atau umat Islam. Karena bagaimanapun juga mayoritas pendidik
dan anak didik adalah muslim.

Tantangan utama dalam merealiasikan visi keummatan adalah mendorong sekolah
berbasis keummatan. Cita-cita pendidikan Islam secara sederhana dapat digambarkan
melalui outputnya : membentuk manusia muslim yang penguasaannya terhadap ilmu-ilmu
umum sebanding dengan penguasaaanya terhadap ilmu agama. Dengan kata lain, anak
muslim yang di-kader melalui memiliki tradisi ilmu amaliah - amal ilmiah, ulama intelek –
intelek ulama.


Sekolah berbasis keummatan ini harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu
pendidikan. Bukan semata-mata memenuhi atribut sekolah dengan simbol Islam. Akan
tetapi, diperlukan strategi dalam meningkatkan mutu sekolah. Ibarat sebuah pohon, maka
pohon sekolah yang baik harus memiliki : buah ‘kemanfaatan’, pohon dan ranting
‘kemandirian’, serta akar kultur sekolah yang kuat.
Pertama, Membangun kultur sekolah yang Islami. Pimpinan sekolah dan guru harus paham
dan bermitmen melaksanakan kultur pendidikan Islam. Mereka adalah operator sekolah
yang setiap hari ‘menyalakan obor’ Islam ke dalam dada anak didiknya. Kultur positif ini
sebagai faktor pembeda dengan sekolah pada umumnya. Tanpa adanya kultur ini, sekolah
akan terjebak pada ritual, seremoni dan simbol belaka.
Kedua, kemandirian sekolah yang terefleksikan pada pembelajaran di mana ruang-ruang
kelas diibaratkan ‘laboratorium’. Yakni, proses pembelajaran yang menjadikan ruang kelas
sebagai realitas kehidupan di mana anak didik mengembangkan kemampuan cara-cara
untuk mengetahui, berpikir dan melaksanakan pembelajaran. Sehingga sekolah harus
mampu menjadikan guru dan siswanya sebagai fail (pelaku). Guru diberikan kemandirian
dalam menyusun strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar anak didik.
Sementara anak didik bukan seperti ‘gelas kosong’, melainkan menemaninya untuk
menumbuh-kembangkan potensinya secara sempurna.
Ketiga, buah kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh dirinya maupun orang lain. Proses
pendidikan yang utuh dalam sekolah akan mampu melahirkan manusia muslim yang

cerdas dan amanah. Mereka adalah muslim profesional yang menjadi harapan umat Islam.
Keberadaanya amat dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai problem sesama, hingga
masalah kebangsaan. Buah ini nantinya dipetik oleh generasi selanjutnya dan ditanam
kembali oleh anak cucu kita.
Saya meyakini bahwa dengan proses yang optimal di dalam sekolah maka kelak bangsa
yang mayoritas muslim ini akan memetik buahnya.
Rujukan :

1. Ir. Abdulkadir Baraja. 2015, Presentasi : “Menciptakan Mesin Kaderisasi Umat”
2. Zamroni. 2014. “Percikan Pemikrian Pendidikan Muhammadiyah”, Yogyakarta
:Penerbit Ombak