POTENSI PENURUNAN EMISSI SEKTOR TRANSPOR

POTENSI PENURUNAN EMISSI SEKTOR TRANSPORTASI
(oleh : Wendy Aritenang PhD, Staf Ahli Menteri Perhubungan bidang Lingkungan)

Dengan

telah ditetapkannya kebijakan untuk menurunkan emisi

nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dari business as usual,
maka setiap sektor harus dapat merumuskan target penurunan
emisinya masing-masing termasuk sektor Transportasi. Untuk itu
sektor Transportasi harus meng-identifikasi faktor-faktor utama yang
menyebabkan besarnya

emisi yang dihasilkan dan membuat

kebijakan dan langkah untuk menurunkannya. Meskipun beberapa
inisiatif

telah

memperkirakan


mulai

dijalankan,

potential

target

namun

sangat

penurunan

emisi

sulit
yang


untuk
akan

dihasilkan secara kuantitatif. Tulisan ini akan mencoba meng
identifikasi dan mengelompokaan potensi-potensi efisiensi dan
penurunan emisi Transportasi dan membahas secara kuantitatif
perkiraan potensi penurunan emisi tersebut. Karena berbagai
keterbatasan, maka akurasi data yang dapat dikumpulkan tidak bisa
sangat tepat sehingga tentunya diperlukan kajian langsung untuk
kasus Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi acuan awal
untuk membuat analisa dan studi lebih lanjut agar didapat
pertimbangan dan masukan yang lebih baik bagi kebijakan yang
akan dibuat . Dalam pembahasan tulisan

berikut lebih menitik

beratkan kepada Transportasi Darat yang merupakan pengguna
sekitar 90% konsumsi energi sektor transportasi.
Emisi CO2 ekivalent sektor Transportasi di dunia di perkirakan berjumlah 13% dari
total emisi CO2 ekivalent dunia. Sedangkan bila dihitung dari total emisi CO2 yang

berasal dari penggunaan Energi saja, maka kontribusi Transportasi adalah 23%.
Diprediksikan bahwa emisi sektor transportasi akan naik sebesar 120% (dari level th
2000) pada tahun 2050. Prediksi lain menyatakan bahwa emisi sector transportasi
pada tahun 2030 akan meningkat sebesar 57% dari level tahun 2005, dimana 80% dari
kenaikan tersebut terjadi di negara2 berkembang.

1

Untuk Indonesia sendiri sektor transportasi menyumbang kurang dari 5% dari total
nasional emisi, karena emisi Indonesia sebagian besar berasal dari sektor Kehutanan
(kebakaran , perusakan ) dan alih fungsi lahan. Bila ditinjau dari emisi yang berasal
dari penggunaan energi (BBM, batubara, gas, panas bumi, energi terbarukan) maka
sektor transportasi menyumbang emisi sekitar 26% . Namun bila ditinjau dari
penggunaan BBM saja, maka sektor transportasi mengkonsumsi sekitar
50% BBM nasional setiap tahunnya.
Jadi sesungguhnya manfaat dari efisiensi sektor transportasi bukan hanya untuk
penurunan emisi, melainkan juga manfaat ekonomi yang langsung dan lebih besar.
Sebagai ilustrasi, penurunan penggunaan BBM sektor transportasi sebesar 20%,
berarti akan menurunkan konsumsi BBM nasional sebesar 10%. Dalam konteks
penurunan emisi Nasional dapat dikatakan bahwa kunci keberhasilan penurunan emisi

pada sektor transportasi adalah efisiensi; semakin efisien system transportasi maka
semakin berkurang emisi yang dihasilkan.
Secara umum faktor in-efisiensi yang menjadi penyebab besarnya emisi pada sektor
transportasi dapat dikelompokan menjadi sebagai berikut :

1. Jenis Energi/BBM
2. Teknologi dan Jenis Kendaraan
3. Regulasi
4. System Transportasi dan Tata Ruang
5. Perilaku dan Teknik Mengemudi Kendaraan.
Sesungguhnya banyak peluang untuk melakukan efisiensi disektor transportasi yang
dapat dilakukan secara segera tanpa harus melakukan investasi yang besar. Misalnya,
penerapan regulasi yang efektif, perubahan perilaku dan teknik mengemudi kendaraan
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan BBM yang besar, dan menekan besarnya
emisi yang dikeluarkan . Berikut diuraikan faktor2 penyebab in-efisiensi di sektor
Transportasi sbb ;

2

1. Jenis Energi/BBM:

Sumber energi pada sektor Transportasi saat ini hampir seluruhnya berupa bahan
bakar minyak / BBM (premium, pertamax, solar, dan avtur untuk pesawat) , karena
berasal dari fossil maka bersifat tak terbarukan / “ non re-newable”. Sebagian
kecil mulai menggunakan bahan bakar gas /BBG , baik gas alam LNG (Liquid
Natural Gas) maupun LPG (Liquid Petroleum Gas) , seperti pada sebagian
angkutan umum bus, taxi, bajaj . Disamping itu pemerintah mulai mengkampanyekan
pemakaian bahan bakar nabati /Bio-fuel berupa Ethanol dan Bio-diesel sebagai
campuran 5% sd 10% dengan BBM.
Masing-masing jenis sumber energi ini mempunyai kandungan energi dan komposisi
kimia yang berbeda, namun semua sama mengandung unsur Carbon (C) yang akan
terbuang keudara pada waktu pembakaran pada mesin kendaraan.Setiap satuan
Carbon yang terkandung dalam setiap jenis bahan bakar (apakah petrol, diesel,
kerosene atau lainnya) pada proses pembakaran akan meng-emisikan jumlah CO2
yang sama, yaitu setiap 1 Kg kandungan unsur C akan menghasilkan sekitar 3.63 Kg
CO2. Untuk perbandingan dalam Tabel 1 (lihat Lampiran) adalah daftar besarnya
kandungan CO2 per-satuan energi (gram CO2/MJ) .

Besarnya kandungan energi dalam setiap jenis bahan bakar disebut Kandungan Energi
/“Energy Content”. Kandungan Energi dari suatu bahan bakar besarnya tidak
sama, didefinisikan sebagai “energi panas” yang dihasilkan apabila sejumlah satuan

(1 liter, 1 gallon, atau 1 Kg) bahan bakar dibakar (lihat Tabel 2 pada Lampiran).

Dari Table 1 dan Table 2 terlihat bahwa untuk Petrol kandungan CO2 nya adalah 68
gram per MJ kandungan energi, sedangkan jumlah kandungan energi nya per satuan
Kg Petrol adalah 46 MJ. Berarti proses pembakaran / “combustion” 1 Kg Petrol
menghasilkan emisi CO2 sebesar : 46 gr CO2/MJ X 68 MJ/gr = 3128 gr CO2 .
Bila dibandingkan dengan per 1 Kg LNG menghasilkan : 50 gr CO2/MJ X 55 MJ/gr =
2750 gr CO2., atau sekitar 12% lebih rendah dibanding Petrol.

3

Bila dibandingkan kandungan CO2 per satuan energi , seperti terlihat pada table 1,
Petrol mengandung 68 gram , sedangkan LNG 50 gram 26% lebih rendah. Dengan
kata lain , menggunakan LNG sebagai bahan bakar akan menghasilkan emisi CO2
26% lebih rendah dari pada menggunakan Petrol.
Bila kebijakan pemerintah dalam tahun 2020 berhasil merubah 20% pengguna
BBM menjadi menggunakan LNG, dan 20% lagi menggunakan 10% campuran
bio-fuel (yang berasal dari sustainable plantation), maka penurunan
emisi yang dihasilkan akan mencapai : (20% X 26% ) + (20%X10%) = 5.2% +
2% = 7.2%.

Sebagai informasi, dalam Transportasi Udara dan Laut, penggunaan Bio-fuel juga
sudah dimasukaan dalam kebijakan ICAO ( International Civil

Aviation

Organisasition) dan IMO (Internationla Maritime Organisation). Beberapa Airline
Operator telah melakukan uji coba penerbangan dengan menggunakan campuran
ethanol 5 sd 10%. Namun sampai saat ini belum diputuskan jadwal waktu kewajiban
bagi para angggota untuk menerapkannya.

2.Kendaraan :
Emisi yang berasal dari kendaraan per-kilometer jarak tempuh banyak ditentukan
oleh faktor-faktor sebagai berikut :
-

jenis mesin penggerak (“combustion engine” mesin bakar/bensin, mesin
diesel, listrik, hybrida)

-


besar mesin (volume atau cc)

-

bentuk stream line (body drag)

-

berat kendaraan

-

friksi ban dengan jalan (rolling resistance)

Teknologi mesin Hybrid merupakan teknologi mutakhir yang lebih efisien dibanding
kendaraan bermesin motor bakar pada umumnya saat ini. Pada mobil hybrid energi

4

terbuang pada saat pengereman di konversi menjadi listrik dan disimpan dalam

baterei/accu, dan digunakan untuk menjalankan suatu elektrik motor yang dapat
menambah daya gerak dari mesin yang ada.
Fuel Efisiensi atau efisiensi suatu bahan bakar adalah efisiensi dari suatu proses
konversi kandungan energi ( dalam suatu cairan/bahan ) menjadi energi kinetik
/gerak. Fuel efisiensi berbeda pada setiap mesin/peralatan. Sedangkan yang dimaksud
dengan Energi Efisiensi adalah

jarak yang dapat ditempuh oleh suatu kendaran

dengan mengkonsumsi satu satuan unit unit energi (BTU,MJ,Kcal,KWh).
Kebalikannya adalah Intensitas Energi /Energi Intensity, yaitu jumlah input energi
yang dibutuhkan oleh suatu kendaraan untuk mencapai satu satuan jarak.
Dalam konteks Transportasi, fuel efisiensi adalah energi efisiensi dari suatu jenis
/model suatu kendaraan. Biasanya dinyatakan dengan berapa Km jarak/ 1 liter bahan
bakar.
Secara umum teknologi mesin motor bakar yang digunakan kendaraan yang
digunakan

dapat


dikatakan

tidak

efisien,

karena

dalam

proses

pembakaran/combustion sekitar 62% kandungan energi hilang sebagai panas , dan
hanya sekitar 32% yang menjadi energi mekanis. Dari Energi mekanis ini hanya 1/3
nya yang jadi energi penggerak roda karena sebagian besar hilang dalam proses
perpindahan energi pada system mekanis (system transmisi, dll). Jadi sesungguhnya
hanya sekitar 12% dari kandungan energi dalam bahan bakar yang dipakai sebagai
energi penggerak roda suatu kendaraan. (sumber :Chevron Tech Bulletin, June 1999).
Karena itu para ahli terus berupaya meningkatkan energi efisiensi dari kendaraan.
Secara umum dari berbagai pendapat dikatakan bahwa dengan berbagai kemajuan

teknologi para ahli dapat meningkatkan efisiensi suatu kendaraan setiap tahunnya
sebesar sekitar 1% sd 2% , dengan demikian
mendatang

(sd

th

2020)

dapat

dalam 10 tahun

diharapkan

terjadi

peningkatan efisiensi mesin kendaraan sekitar 10 sd 20%
dibanding energi efisiensi kendaraan saat ini.

5

Penggunaan mobil listrik dan Hybrida, sekalipun sangat baik bagi lingkungan, namun
karena harganya yang relative mahal maka dalam beberapa tahun kedepan
diperkirakan jumlah peminatnya belum signifikan; kecuali ada suatu kebijakan
pemerintah yang memberi insentif besar yang dapat menekan harga kendaraan
tersebut . Selain itu mobil listrik tergantung kepada sumber energi listriknya, bila
sumber energinya berasal dari pembangkit listrik yang menggunakan energi tidak
ramah lingkungan, maka mobil listrik menjadi tidak terlalu berarti bagi penurunan
emisi.
Selain itu penggunaan jenis ban kendaraan yang tepat ternyata dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan sekitar 5% lebih karena dapat
mengurangi friction antara ban dengan permukaan jalan.
Jadi dalam sepuluh tahun kedepan, dengan kemajuan teknologi kendaraan ditambah
dengan efisiensi ukuran kendaraan, jenis ban, dan lain , maka diperkirakan efisiensi
kendaraan minimal 10% dapat dicapai.
Khusus untuk Transportasi Udara pihak ICAO telah mencanangkan efisiensi bahan
bakar dari kemajuan teknologi pesawat sebesar minimal 1,5 % per-tahun, dengan
target pada tahun 2030 dapat dicapai neutral growth. Meskipun IMO sampai saat
ini belum secara tegas menyatakan target penurunan emisi dari kemajuan teknologi
kapal, namun secara indikatif IMO menyampaikan bahwa mereka juga berupaya
untuk dapat mencapai tingkat efisiensi setiap tahun seperti yang ditargetkan oleh
ICAO.

3.Regulasi :
Kebijakan subsidi pada penggunaan energi seperti terdapat di beberapa Negara
berkembang, termasuk Indonesia , telah menyebabkan “kemudahan dan kenyamanan”
pagi pemilik kendaraan yang menyebabkan terjadi in-efisiensi penggunaan bahan
bakar . Sebagian rakyat yang mampu cenderung memiliki dan menggunakan
kendaraan pribadi secara tidak efisien dalam ber-transportasi, menyebabkan
pemborosan penggunaan BBM dan kenaikan emisi CO2 transportasi.
6

Sebaliknya beberapa peraturan dan kebijakan di beberapa negara maju yang bersifat
dis-insentif seperti fuel tax, congestion charge, parking policy, road
pricing, emission charge, emission standard ;akan menyebabkan pengguna
kendaraan pribadi lebih hemat dan efisien dalam bertransportasi, dan akan sangat
membantu dalam menurunkan pemakaian BBM pada sektor transportasi yang
tentunya akan menurunkan emisi CO2 transportasi.
Suatu peraturan secara nasional yang kuat dan terarah dalam hal ini akan sangat
membantu pemerintah daerah untuk menerapkan instrument kebijakan yang
dibutuhkan terutama dalam pengaturan traffic demand management. Sebagai
contoh, kebijakan untuk menerapkan ERP (Electronic Road Pricing) di Jakarta
melalui suatu peraturan daerah memerlukan acuan hukum/regulasi dari pemerintah
pusat.
Di beberapa negara maju, beberapa perubahan dalam peraturan pusat dalam bidang
transport telah dibuat untuk memungkinkan diterapkannya beberapa peraturan lokal
/daerah tentang road pricing .
Besarnya efisiensi dari penerapan suatu regulasi sulit di
ukur dan di generalisir karena tergantung kepada keadaan
setempat dan efektivitas nya. Namun secara perkiraan,
efisiensi antara 5 sd 10% adalah sangat masuk akal bisa
dicapai apabila regulasi yang diterapkan tersebut dapat
dilaksanakan secara baik.
Untuk sub-sektor perhubungan udara dan pelayaran juga telah mulai diberlakukan
beberapa regulasi dan kebijakan terkait dengan penurunan emisi, seperti penerapan
program Eco-port (Eco Airport dan Eco Seaport) yang sudah dimulai oleh
Kementerian Perhubungan.
4.System Transportasi dan tata Ruang :
Tata ruang sangat mempengaruhi efesiensi transportasi. Tata ruang yang baik harus
mampu mencakup perencanaan system transportasi yang baik, yang dapat secara

7

efisien melayani trafik perpindahan penumpang dan logistik. Misalnya, Harus
diperhitungkan benar pola transportasi yang harus disediakan untuk menghubungkan
pusat-pusat pemukiman dengan pusat bisnis, sebab banyak pekerja yang akan pulangpergi /commute setiap hari.
Sampai sekitar 20 tahun yang lalu Kota-kota besar umumnya cenderung
mengembangkan pemukiman baru diluar kota sebagai kota Satelit mengingat
keterbatasan tanah di Kota besar. Kebijakan tersebut ternyata berdampak pada
pemborosan energi dan economi karena beban biaya transportasi dan kehilangan
waktu yang besar bagi para pekerja yang pulang pergi setiap hari. Bahkan telah
mengakibatkan kualitas hidup masyarakat berkurang karena kemacetan yang luar
biasa mengakibatkan selain pemborosan energi dan biaya, juga menghabiskan waktu
perjalanan yang dapat mencapai 2 sampai 5 kali lebih lama dari seharusnya sehingga
waktu tersisa bagi seseorang untuk kehidupan keluarga dan lain2 menjadi sangat
tersita. Hal ini menyebabkan paradigma perancangan kota saat ini mulai bergeser ,
yaitu ketimbang mengembangkan kota2 satelit terus menerus, dianggap lebih tepat
mengembangkan “pemukiman vertical” disekitar kota dalam bentuk apartemen atau
rumah susun..
Memang kasus setiap kota tidak sama kompleksitasnya, namun bila dilihat kota
Jakarta, bisa dirasakan bahwa paling tidak separuh energi dan waktu perjalanan yang
dikeluarkan untuk transportasi bagi para komuter sebenarnya dapat di hemat apabila
mereka tinggal di dalam Jakarta. Itulah salah satu pertimbangan utama mengapa mulai
banyak masyarakat yang lebih cenderung memilih bertempat tinggal di rumah
susun /apartemen daripada harus tinggal jauh di luar kota. Kebijakan ini di support
dengan baik oleh pemerintah dengan membantu pengembangan rumah susun/
apartemen murah di Jakarta yang berlokasi antara lain, KaliBata, Meruya,
Kemayoran,Tangerang, dan lail-lain.
Meskipun perbaikan kebijakan tata ruang yang tepat akan besar manfaat nya bagi
efisiensi transportasi, namun tentunya tidak mudah menghitung secara kuantitas besar
penghematan energi dan penurunan emisi yang dihasilkannya. Untuk sekedar
memberikan gambaran, bila di asumsikan pengguna transportasi harian yang
“commute” ke kota2 besar sekitar 25% dari total pengguna transportasi Nasional, dan
20% dari mereka (pada th 2020) bertempat tinggal di pemukiman2 vertikal disekitar/
8

dalam kota, dan dengan perkiraan penghematan energi untuk transportasi sekitar 50%;
maka total penghematan energi transportasi yang dimungkinkan dari kebijakan tata
ruang perkotaan ini adalah sekitar : 25% X 20 % X 50% = 2,5 %.
Selain itu pembangunan Sistem Transportasi Massal (Kereta Api dan Bis) didalam
kota, akan sangat menentukan. Bila 10 tahun mendatang system transportasi masal
dapat menyerap 20% pengendara kendaraan pribadi saat ini, yang berarti menghemat
minimal 50% energi per penumpang ; dan dengan asuumsi aktivitas transportasi
perkotaan adalah 25% dari aktivitas transportasi nasional, maka penghematan yang
didapat adalah : 25% X 20% X 50% = 2,5%
Jadi apabila system Tata Ruang dan Sistem Transportasi

serta

pembangunan Transportasi massal dalam 10 tahun kedepan dapat
berhasil menjangkau sekitar 20% dari pengguna transportasi
perkotaan, maka paling tidak dapat diharapkan efisiensi energi dan
penurunan emisi sebesar : 2,5% + 2,5% = 5 %.
5. Perilaku dan Teknik Berkendaraan :
Perilaku dan teknik berkendaraan berpengaruh besar pada efisiensi penggunaan BBM.
Salah satu paradigma utama dalam Transportasi Berkelanjutan / Sustainable
Transport adalah Avoid and Shift / hindarkan dan beralih, yaitu menghindari
untuk bepergian menggunakan kendaraan bila tidak perlu, dan bila harus bepergian
hindarilah sebisa mungkin penggunaan kendaraan bermotor pribadi, melainkan
beralih ke transportasi umum atau bersepeda bila memungkinkan. Disamping itu,
agar dihindari menggunakan kendaraan yang besar (body besar dan berat, dan mesin
besar) terutama untuk penggunaan didalam kota.
Teknik berkendaraan secara benar (penggunaan transmisi yang sesuai, hindari
akselerasi yang mendadak, hindari sebisa mungkin pengereman mendadak dengan
selalu menjaga jarak, dll) atau disebut “smart driving atau eco driving” dari beberapa
percobaan dan study dapat menghasilkan efisiensi sebesar 5% sd 15%. Bahkan ada
suatu study untuk transport diperkotaan dapat mereduksi pemakaian energy sampai

9

hamper 50%. Apalagi mengingat sebagian besar pengemudi di Indonesia masih
sedikit pengetahuannya tentang cara mengemudi yang baik.
Direktorat

Jendral

Perhubungan

Darat,

Kementerian

Perhubungan,

pernah

mengadakan suatu studi perihal smart driving tersebut. Dengan memberikan pelatihan
smart driving pada suatu operator taxi pada suatu kurun waktu tertentu, dapat dicapai
penghematan penggunaan BBM antara 5 sd 10%.
Apabila kampanye dan pelatihan smart driving atau eco
driving dapat dilakukan secara nasional dengan efektif, dan
apabila

di

asumsikan

50%

pengendara

kendaraan

di

Indonesia mampu menerapkannya, maka sangat mungkin
didapat

penghematan

penggunaan

BBM

transportasi

Nasional minimal sebesar : 5% X 50% = 2,5 %.

Kesimpulan :
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila berbagai kebijakan yang
terkait dengan Transportasi dapat dilaksanakan secara efektif , maka diperkirakan
pada tahun 2020 akan didapat penurunan emisi Transportasi yang berasal dari :
1.Perubahan dari 20% penggunaan BBM ke Gas Alam dan dan 20% ke Campuran
Bio-fuel, sebesar 7,2%
2.Teknologi Kendaraan secara natural setiap tahun, sebesar 10%
3.Penerapan berbagai regulasi dalam transportasi terutama terkait Demand
Management, sebesar 5%
4.Sistem Tata Ruang dan Sistem Transportasi yang baik, sebesar 5%
5.Perilaku dan Teknik berkendaraan, sebesar 2,5%.
Supaya perhitungan penurunan emisi total lebih realistis (tidak mengandung double
counting; mengingat efisiensi pada energi merupakan input bagi kendaraan dan
seterusnya), maka bila semua kebijakan tersebut diatas berhasil dijalankan dengan

10

bersamaan, total penurunan tidak bisa dijumlah langsung ; 7,2% + 10% + 5% + 5% +
5% = 29,7% , melainkan harus diperhitungkan secara progressive, yaitu menjadi :
100% - [(100%-7.2%) X (100%-10%) X (100%-5%) X (100% -5%) X (100%2,5%) ] = 26,5 % .
Jadi dengan kata lain total potensi penurunan emisi dari sektor transportasi
pada tahun 2020 adalah sebesar 26,5% dari business as usual.
Tentunya hasil perkiraan tersebut hanya bersifat indikatif, untuk mendapatkan angka
potensi penurunan yang lebih akurat harus dilakukan studi (dan survey) agar didapat
data dan informasi spesifik keadaan Indonesia, sehingga analisa dan perhitungan
kuantitatif yang dibuat hasilnya bisa lebih mendekati keadaan yang sebenarnya.

LAMPIRAN : Potensi Penurunan Emisi Sektor Transportasi
Table 1 : Kandungan CO2 per-satuan Energi
Jenis Bahan Bakar

Kandungan CO2

Petrol
Minyak Tanah
Natural Gas
LPG
Avtur
Minyak Bakar
Kayu Bakar
Batu Bara

(Gram/MJ)
68
68
50
60
66
69
84
88(bitumen),95(antrasit)

Table 2 : Energi Panas yang dihasilkan per-satuan berat Bahan Bakar
Jenis Bahan Bakar

Energi Panas

11

Petrol/Petramax
Minyak Tanah
Natural Gas / LNG
LPG
Avtur
Diesel
Ethanol
Methanol
Gasohol (10% ethanol)
Bio-diesel
Vegetable Oil

(MJ/Kg)
46
47
55
51
47
48
31
20
45
40
38

( Sumber : Greenhouse gas - Wikipedia )

12