Kerajaan dan Islam di Maluku

Kerajaan Islam di Maluku
Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan dunia di kawasan timur
Nusantara. Oleh karena itu tidak mengherankan bila sejak abad ke-15 hingga abad ke-19
kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis, dan belanda.
Dalam bidang kebudayaan, di maluku berkembang seni pahat, seni bangunan, dan seni
patung.
Kepulauan Maluku menduduki posisi penting dalam perdagangan di Nusantara.
Mengingat keberadaan daerah Maluku ini maka tidak mengherankan jika sejak abad ke15 hingga abad ke-19 kawasan ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol,
Portugis dan Belanda. Kepulauan Maluku sangat penting peranannya karena Maluku
adalah penghasil rempah-rempah terbesar pada waktu itu sehingga bayak negara yang
berdatangan ke Maluku. Sejak awal diketahui bahwa didaerah ini terdapat dua kerajaan
besar bercorak Islam, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah
barat Pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di
Pulau Ternate dan Tidore.
Tanda-tanda awal kehadiran Islam ke daerah Maluku dapat diketahui dari sumber-sumber
berupa naskah-naskah kuno dalam bentuk hikayat seperti Hikayat Hitu, Hikayat
Bacan,dan hikayat-hikayat setempat lainnya. Sudah tentu sumber berita asing seperti
Cina, Portugis, dan lainnya amat menunjang cerita sejarah daerah Maluku itu.
http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0ahUKEwjUh7OrPzKAhWNkI4KHRpMDnEQFggtMAI&url=http%3A%2F%2Fwww.mikirbae.com
%2F2015%2F10%2Fkerajaan-kerajaan-islam-di-malukuutara.html&usg=AFQjCNE2p6e3T1olliv5dXNM8jCd20eKBA&bvm=bv.114195076,d.b

Gs
KERAJAAN TERNATE

 Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate. Ibu kota
Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain
Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain, seperti
Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku,
Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak
dikunjungi oleh pedagang, baik dari Nusantara maupun pedagang
asing.
A. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan

Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M).
Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa
pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke
pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal
Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah mangkat,
pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah,
Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan

Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya. Wilayah
kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku,
Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar
sangat luas.
B. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat
sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku.
Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan,
pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah.
Ramainya perdagangan memberikan keuntungan besar bagi
perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun laut
yang cukup kuat.Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat
Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum
Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate
dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan
mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan
yang cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah keahlian
masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
C Kemunduran Kerajaan Ternate.
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba

dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis
dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore
sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol,
mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan
Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut
tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur,
rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
KERAJAAN TIDORE

 Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah
raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalah
Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada
tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa
oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan
Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari
Arab.

A. Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate
dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu
Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate.
Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan
dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan
waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh
Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran
rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas,
meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai,
dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia
juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
B. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam
kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal
itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De
Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat
sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.
Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di

daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore
banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang
datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
C. Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan
Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan
Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil

rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate
sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol,
mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan
Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut
tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur,
rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
http://arif-aba.blogspot.co.id/2012/06/kerajaan-islam-di-maluku.html
Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku Kepulauan Maluku menduduki posisi penting
dalam perdagangan dunia di kawasan timur Nusantara. Mengingat keberadaan daerah
Maluku ini maka tidak mengherankan jika sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 kawasan

ini menjadi wilayah perebutan antara bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda. Sejak awal
diketahui bahwa di daerah ini terdapat dua kerajaan besar bercorak Islam, yakni Ternate
dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku
Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi
wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua.
Kerajaan Ternate dikenal sebagai pemimpin Uli Lima, yaitu persekutuan lima bersaudara
dengan wilayahnya meliputi Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Sementara
Kerajaan Tidore dikenal sebagai pemimpin Uli Siwa, yakni Persekutuan Sembilan
(persekutuan Sembilan Saudara) dengan wilayahnya meliputi pulau pulau Makyan,
Jailolo, atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah tersebut sampai dengan wilayah
Papua.
Dalam bidang kebudayaan, di Maluku berkembang seni pahat, seni bangunan, dan seni
patung. Seni bangunan berupa istana raja, bangunan masjid, dan lain-lain, tetap
dikembangkan. Agama Islam dan bahasa Melayu juga semakin berkembang di Maluku.
http://www.gurusejarah.com/2015/01/kerajaan-kerajaan-islam-di-maluku.html

Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal
merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang
masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–

tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru
mencari rempah–rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya
pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang
semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas
prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk
suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di
kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai
sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar
(belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan
populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan
Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa
berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah
pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia
khususnya Maluku.

Struktur Kerajaan
Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk

kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan
abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam
diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan
gelar sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala
raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan
yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa
lalu, masing–masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan
ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18),
Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
Kolano dan Sultan Ternate
Baab Mashur Malamo
Jamin Qadrat
Komala Abu Said
Bakuku (Kalabata)
Ngara Malamo (Komala)
Patsaranga Malamo
Cili Aiya (Sidang Arif Malamo)

Panji Malamo
Syah Alam
Tulu Malamo
Kie Mabiji (Abu Hayat I)
Ngolo Macahaya
Momole
Gapi Malamo I
Gapi Baguna I

Masa jabatan[3][4][5][6][7]
1257 - 1277
1277 - 1284
1284 - 1298
1298 - 1304
1304 - 1317
1317 - 1322
1322 - 1331
1331 - 1332
1332 - 1343
1343 - 1347

1347 - 1350
1350 - 1357
1357 - 1359
1359 - 1372
1372 - 1377

Komala Pulu
Marhum (Gapi Baguna II)
Zainal Abidin
Sultan Bayanullah
Hidayatullah
Abu Hayat II
Tabariji
Khairun Jamil
Babullah Datu Syah
Said Barakat Syah
Mudaffar Syah I
Hamzah
Mandarsyah
Manila

Mandarsyah
Sibori
Said Fatahullah
Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin
Ayan Syah
Syah Mardan
Jalaluddin
Harunsyah
Achral
Muhammad Yasin
Muhammad Ali
Muhammad Sarmoli
Muhammad Zain
Muhammad Arsyad
Ayanhar
Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi)
Haji Muhammad Usman Syah
Iskandar Muhammad Jabir Syah
Haji Mudaffar Syah (Mudaffar Syah II)

Moloku Kie Raha

1377 - 1432
1432 - 1486
1486 - 1500
1500 - 1522
1522 - 1529
1529 - 1533
1533 - 1534
1535 - 1570
1570 - 1583
1583 - 1606
1607 - 1627
1627 - 1648
1648 - 1650 (masa pertama)
1650 - 1655
1655 - 1675 (masa kedua)
1675 - 1689
1689 - 1714
1714 - 1751
1751 - 1754
1755 - 1763
1763 - 1774
1774 - 1781
1781 - 1796
1796 - 1801
1807 - 1821
1821 - 1823
1823 - 1859
1859 - 1876
1879 - 1900
1900 - 1902
1902 - 1915
1929 - 1975
1975 – 2015[8]

Lukisan pemandangan Pulau Ternate dengan Gunung Gamalama-nya (sekitar tahun
1883-1889).
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki
pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Kerajaan–
kerajaan ini merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni di Maluku.
Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan
ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di
Maluku yang memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya
perang.
Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya
atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Maluku
yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini
kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari
pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan
kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka
disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam

Sigi Lamo, masjid peninggalan Kesultanan Ternate.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate
masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang
telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan
nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk

Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate
resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang
diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano
Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil
Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan
sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan
membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir
tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal
Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau
Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan Perang Saudara

Peta terawal Kepulauan Maluku Utara karya seorang kartografer Belanda, Willem
Janszoon Blaeu, pada tahun 1630. Arah utara berada di sebelah kanan, dengan Pulau
Ternate terletak di ujung kanan, diikuti oleh Pulau Tidore, Mare, Moti dan Kepulauan
Makian. Pada bagian bawah adalah Gilolo (Jailolo atau Halmahera). Inset yang berada di
atas menunjukkan Pulau Bacan.
Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang,
rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata
yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate.
Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo
(Ludovico Varthema) tahun 1506.
Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah
pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos
dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan
untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu
terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda
sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak

sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan
Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat
(kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara
pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah
perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese
didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan
dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan
pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran
Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap
bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk
menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal
kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun
(1534-1570).

Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan
bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga
menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak
masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan
pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan
Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak
terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran
Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan
kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi
yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang
terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat
bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik
gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan
dan akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan
Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan
Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia
digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku
untuk selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate
mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di
bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian
utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga
menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di

samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu.
Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak
dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang
membendung kolonialisme Barat.

Kedatangan Belanda
Putra Sultan Ternate bersama seorang controleur dan seorang warga Belanda (sekitar
tahun 1900).
Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah
bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan
menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di
Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol
namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke
Manila.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda
pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan
yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada
tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku
sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda
membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di
nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah
Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja
Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia
mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah
kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan Rakyat Maluku dan Kejatuhan Ternate

Pengawal Sultan Ternate pada tahun 1910-an.

Ngara Lamo, gerbang Istana Kesultanan Ternate pada tahun 1910-an.
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda
dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan.
Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan
kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan
yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.


Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang
merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon
cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi
Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641,
dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda
di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi
mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga
1646.



Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan
Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,16551675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda.
Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di antara
pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalamata.
Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan
Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran Kalamata
adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di
Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan
Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan
Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), namun
berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5
tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa
secara kejam hingga mati sementara Pangeran Majira dan Kalamata menerima
pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.



Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan
Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semenamena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa

Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena
daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur
jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya.
Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori
terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai
kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai
negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang
terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya
secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah
(1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya,
bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena
keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan
tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung.
Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh
karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September
1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh
hartanya disita, dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong
selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa
memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan
Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.

Warisan Ternate

Istana Kesultanan Ternate di kaki Gunung Gamalama, Kota Ternate.
Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak
pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang
panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat
besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir
timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat-istiadat dan bahasa.
Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang besar
dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur
nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan
syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar
yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.
Keberhasilan rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada
tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh
karenanya Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda
penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh
kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia
akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat
Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah
pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate dalam
konteks bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa
Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat
timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari Bahasa
Ternate. Bahasa Melayu Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama
Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan
dialek yang berbeda–beda.[9]
Dua naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal
27 April dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah
naskah Melayu Tanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih
tersimpan di Museum Lisabon, Portugal.[10][11][12]
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ternate#Asal_Usul

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24