Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Pada Ma

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan
sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari
masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan
menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi
masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial pers
adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya
pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan
negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan
keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap
sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam
mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya
terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers
dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang
bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian
adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembagalembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk

menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila
negara mengendalikan media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan
penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.
Bagi suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya,
sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita
yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki
daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang
demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi
1

demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan
dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang
terpolarisasi.
Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya
prospek demokratisasi. Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem
politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari
sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23) Di negara dimana sistem
persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan
bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada. Tindakan

atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di
Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba
mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat
mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna
mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara
inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap
suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak
pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka
mengutamakan

konsep

stabilitas

politik

nasional

sebagai


acuan

untuk

kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia
yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya
serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat
ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau
normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian
berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin
tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir
seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi
mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor

2

maupun segmen masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat
warisan Orde Lama yang ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru

memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi
dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian
doktrin negara.
Oleh karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan
nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa
dilakukan oleh karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non
negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa
mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsideskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa
kehidupan pers diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan berbagai
kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala
penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel
sewaktu-waktu.
Meskipun pers bukanlah pelopor gerakan revolusi itu, sulit dibayangkan
bahwa gerakan revolusi yang dipelopori mahasiswa itu akan terus bergulir tanpa
pemberitaan dan dukungan gencar media di Indonesia seperti pers. Kekuasaan
presiden Soeharto yang mendekati absolut menyebabkan faktor pemersatu diluar
pemerintah bahkan menjadi semakin besar. Kondisi ini dipicu semakin keras oleh
peranan pers yang menyiarkan pemberitaan yang semakin kritis terhadap
pemerintah maupun penyajian opini publik mengenai kesalahan serta kelemahan
kebijakan publik.

Menurut hemat penulis upaya yang dilakukan oleh pers untuk mewujudkan
demokrasi di tengah-tengah rezim pemerintah otoritarian yang senantiasa
berusaha untuk mempertahankan kekuasaan merupakan hal yang menarik untuk
diteliti. Selain itu pers merupakan lembaga sosial yang secara ideal nya bersifat
netral, tidak untuk kepentingan kelompok orang-orang tertentu melainkan untuk
semua orang.

3

B. Perumusan Maslah
Pertumbuhan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan yang
semakin pesat mendorong meningkatnya kebutuhan akan informasi yang secara
tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan media massa. Informasi
yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak hanya terbatas pada hal bisnis dan
ekonomi bahkan lebih jauh kebutuhan informasi tentang kebijakan pemerintah
dan informasi tentang perkembangan politik yang terjadi serta tentang perilaku
aparat pemerintahan.
Kebutuhan masyarakat akan informasi tentang kebijakan pemerintah dan
situasi politik serta tentang perilaku pemerintah tersebut secara tidak langsung
akan menjadi kontrol politik bagi pemerintah, yang pada akhirnya akan

menunjang proses demokratisasi. Upaya penyajian informasi yang dilakukan oleh
pihak pers tidak pernah lepas dari hambatan ataupun kendala mengingat sebuah
fakta dan berita tentang kebobrokan pemerintah merupakan suatu bumerang yang
berbahaya bagi rezim pemerintahan yang berkuasa dan dapat menggerogoti
kekuasaan rezim.
Pers dalam rangka komunikasi politik dikaitkan dengan kebebasan pers,
independensi pers terhadap kontrol yang berasal dari luar dan integrasi pers paa
misi yang diembannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan ketika rezim Orde Baru :
1. Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam
masyarakat peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus nyata.
2. Komitmen pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi
komitmen akan kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam
suatu hubungan yang bertentangan.

4

3. Visi dan Kebijakan Editorial, yang akan membedakan media cetak yang
satu dengan media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria

dalam proses seleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput
dan dijadikan pemberitaan. (Jacob Oetama, 2001 : 433).
Negara lebih dominan dibanding dengan inisiatif masyarakat. Sedangkan menurut
R William Liddle partisipasi masyarakat pada era Orde Baru lebih banyak
disebabkan oleh mobilisasi birokrasi Negara, baik birokrasi pusat maupun
birokrasi lokal. (Eep, 2000 : 51) Apabila dilihat dari pendapat-pendapat diatas
terlihat bahwa kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalm proses politik dimasa
Orde Baru disebabkan oleh tekanan, monopoli kekuasaan, mobilisasi, besarnya
peranan militer dan intervensi Negara yang terlalu besar dalam kehidupan sosial
politik dan ekonomi, sehingga masyarakat mengalami krisis partisipasi politik
yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan dianggap tidak sah dan tidak legalnya
berbagai tuntutan serta tingkah laku politik masyarakat yang ingin berperan serta
dalam proses politik dan pemerintahan.

5

BAB II
PEMBAHASAN

1. ISI

Pada masa Orde Baru yang juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib
pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya
harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga
memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang
ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan
rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa
nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang
sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru
memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenangwenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar
memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga
tidak salah jika Surbakti mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat
pengendalian pers oleh pemerintah.
Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model
pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama,
mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu
dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya
dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun

keinginan murni dari pemimpinnya.
Bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP
yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal
pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan

6

menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga
fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan.
Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi
katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini
seperti apa yang disampaikan oleh Abar bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata
tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat
yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian
yang banyak dilakukan berkenaan dengan pers di masa Orde Baru bisa jadi benar
hanya pada titik tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar
tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga
pers.
Jika kita melihat hal tersebut, sebelumnya kita juga harus memperhatikan

bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki latar belakang
militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat
melepaskan

diri

dari

gaya-gaya

kepemimpinan

ala

militer.

Di

awal


kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami
kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan,
misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah
yang tepat. Situasi yang darurat, perubahan sosial begitu banyak, maka situasi
semacam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Pada titik inilah
Abdul Gafur (1988: 179), melihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru
adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau
tepatnya ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakankebijakan politik Orde Baru.
Sayangnya, model kepemimpinan ala militer itu tetap Soeharto pakai hingga era
1970-1980an. Padahal kondisi masyarakt saat itu sedikit-banyak sudah berubah.
Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara
demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh
kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto

7

menggunakan cara-cara yang bersifat menekan pada semua pihak yang
melawannya. Model kepemimpinan ini banyak sekali mendapat kritikan dari
berbagai pihak, karena secara umum apa yang diklaim Soeharto dengan
demokrasi Pancasilanya tak lain adalah proyek kekuasaan dan dominasi besarbesaran atas kesadaran masyarakat. Dalam mewujudkan proyek besar itu,
Soeharto menggunakan militer sebagai alat yang paling efektif untuk mengawal
setiap kebijakan yang ia keluarkan.
Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan
Soeharto akan memberantas kebebasan masyarakat. Artinya juga logika
kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya (pers),
karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki
funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada umumnya bersifat
kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru
sedemikian menekannya dengan pers, karena pers adalah penghalang bagi
lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.
Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harus
mengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus mampu
menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk menciptakan
perasaan semacam ini pada masyarakat, maka Orde Baru menggunakan logika
perpetuation of insecurity atau mengabadikan rasa ketidakamanan. Dengan
mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru akan lancar ketika
menggunakan kepemimpinan yang militeristik. Sehingga, dengan sendirinya
pengabadian rasa ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti
agama. Dakhidae ,mencatat bahwa kemanan yang dihubungkan dengan pers itu
bukan keamanan yang sifatnya fisikal, tetapi kemanan di sana sudah menjadi
suatu ideologi, dan dalam prosesnya terjadi suatu ideologisasi keamanan, dan
bahkan lebih jauh menjadi suatu religiofication of security.
Keamanan menjadi semacam hal yang sangat diprioritaskan oleh setiap orang,
dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti dalam arti yang biasa.
Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara, dan pada

8

gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat dan warga
negaranya. Nasib pers pada masa ideologisasi keamanan ini sangat sulit, karena
pers harus bertindak dalam kerangka yang buram. Kerangka yang diterapkan
kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk penekanan secara
tidak langsung. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde
Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Artinya,
tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang
benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggung jawab. Tanpa kebebasan
tidak mungkin menuntut tanggung jawab dan tanpa tanggung jawab tidak
mungkin menuntut kebebasan, tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggung
jawab (dalam Dakhidae, 1997: 31).

2. Pemecahan Masalah
Dalam hal ini

yang paling dapat dilakuakan ialah bagaimana cara untuk

mengamankan hubungan antara pers-pemerintah-masyarakat- pemilik modal,
haruslah ada suatu siklus kontrol dari masyarakat kepada pers, dari pers kepada
pemerintah dan dari pers kepada pemilik modal. Pada titik inilah, komunikasi dua
arah dengan sendirinya akan terbangun. Kontrol yang saling terhubung ini tentu
saja mensyaratkan suatu kesadaran politik masyarakat yang tinggi. Kesadaran
politik ini bisa sedikit banyak berkembang dengan mengutamakan pembangunan
Sumber Daya Manusia (SDM). Jika hal ini dapat lahir, maka kita tidak perlu
mengkhawatirkan keotoriteran seperti Orde Baru atau kebebasan yang kebablasan
di Orde Reformasi, akan terulang kembali dalam lembaran sejarah bangsa ini.

9

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Pada masa Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan kebebasan
yang akhirnya ia berhadap-hadapan dengan rezim yang otoriter. Tetapi, dengan
kontrasnya suasana ketika rezim orde baru membuat seolah-olah pers menjadi
sebuah boneka dari pemerintah yang berkuasa pada rezim tersebut. Dalam hal ini
latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam
sistem politik dan bahwa pers selama orde baru senantiasa dibatasi ruang
geraknya oleh pemerintah, dengan kata lain dilakukannya kontrol yang ketat oleh
pemerintah terhadap pers, namun dalam situasi dan kondisi seperti itu pers tetap
mampu berperan dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia.
2. Saran
Dalam hal ini bagaimanapun pers seharusnya tidak dapat dikekang oleh
pemerintah yang berkuasa baik itu siapapun karena dalam hal ini ini pers
berkedudukan sebagai salah satu penyeimbang dalam suatu proses pemerintahan
serta pers juga berperan sebagai sebuah lembaga yang bertindak sebagai control
politik, social dalam suatu pemerintahan. Pers tidak boleh di batasi secara otoriter,
karena dengan hal ini dapat mengurani kinerja akan fungsi pers itu sendiri. Tetapi
pers juga tidak boleh seenaknya dalam hal membuat pemberitaan, para insan pers
haruslah bersikap professional dan selalu berprilaku objektif. Disamping itu para
insan pers juga harus tunduk kepada kode etik mereka serta hukum dan undangundang yang berlaku di negara ini.

10

DAFTAR PUSTAKA

Abar, Ahmad Zaini. 1994. “Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers”.
Prisma. Jakarta: LP3ES.
Afandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara; Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan
Kebebasan. Jakarta: PBHI.
Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Bulkin, Farchan (Peng). 1988. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia; Pilihan
Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES.
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muis, A. 2000. Titian Jalan Demokrasi; Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya
Komunikasi Politik. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.
Pamungkas, Sri-Bintang. 2003. Setelah hari “H”. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Simanjutak, Togi (ed.). 1998. Wartawan Terpasung; Intervensi Negara di Tubuh
PWI. Jakarta: ISAI.
Online :
Putra, A. Firdaus. 2009. Pers Pada Era Orde Baru dan Reformasi. Bandung :
eljudge.co.cc.
Memey. 2009. Peranan Pers di Era Orde Baru dan Reformasi. Bandung :
mumu0089.blogspot.com.
Ismail, Taufik. 2009. Pers Bebas, Konflik Sosial, Pendidikan Politik. Bandung :
budimanshartoyo.wordpress.com.

11

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45