Analisa Tingkat Kebisingan Pada Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Medan Baru Dan Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebisingan

2.1.1. Pengertian Kebisingan

  Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dari kenyamanan lingkungan (Kep MENLH No: KEP-48/MENLH/II/1996).

  Menurut Leslie (1993), kebisingan adalah tiap bunyi yang tidak diinginkan oleh penerima. Sehingga tiap bunyi yang mengalihkan perhatian mengganggu, atau berbahaya bagi kesehatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau belajar) dianggap sebagai bising.

  Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan yang bersumber dari alat produksi dan atau alat yang pada tingkat tertentu akan menimbulkan gangguan pendengaran. Kebisingan (Noise) dapat juga diartikan sebagai sebuah bentuk getaran yang dapat berpindah melalui medium padat, cair dan gas (Harris, 1979).

  Sedangkan menurut Permenkes No. 781/MENKES/Per/IX/1987 kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga menggangu atau membahayakan kesehatan.

  Jadi kebisingan dapat diartikan sebagai bunyi atau suara yang timbul akibat dari suatu aktivitas pada waktu tertentu yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.

  8

2.1.2. Bunyi dan Mekanisme Kebisingan

  Bunyi dikatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh beberapa benda yang bergetar, misalnya dawai gitar yang dipetik atau garpu tala yang dipukul. Sewaktu fluktuasi tekanan udara ini membentur gendang pendengaran (membrane Tympani) dari telinga kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara. Getaran ini melalui saluran dan proses tertentu akan sampai di otak kita dimana hal ini diinterpretasikan sebagai suara.

  Suara bising akan dapat terjadi apabila ada tiga hal yaitu: sumber bising, media, atau udara dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara dalam bentuk gelombang sampai suara tersebut diterima oleh pendengar/penerima.

  Kebisingan tidak akan terjadi tanpa adanya media/udara. Pengurangan kebisingan dapat dilakukan dengan jalan penggunaan isolasi/isolator antara sumber dan penerima.

  Gambar 2.1: Garpu tala yang dipukul menghasilkan perubahan tekanan di udara karena getarannya dan menghasilkan bunyi. (Sumber: Leslie, 1993)

  Tingkat tekanan bunyi minimum yang mampu membangkitkan sensasi pendengaran di telinga disebut ambang kemampuan didengar. Bila tekanan bunyi ditambah dan bunyi menjadi lebih keras akhirnya ia mencapai suatu tingkat dimana sensasi pendengaran menjadi tidak nyaman. Intensitas suara terendah yang masih dapat didengar oleh manusia (ambang pendengaran ideal) adalah 20 Pa (micro

  

paskal ). Intensitas suara inilah yang dianggap sebagai referensi artinya setiap tekanan

suara tertentu harus dibandingkan dengan tekanan suara ini.

  Perbandingan di antara tekanan suara tertentu dengan tekanan suara referensi disebut tingkat tekanan suara (sound presure level). Hubungan ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut:

  Tingkat tekanan suara 10 log (P/P )2 dB P = tekanan suara tertentu dalam pascal (Pb) P = tekanan suara tertentu dalam pascal (Pb) dB = decibel (satuan tingkat tekanan udara) Berarti ambang pendengaran ideal tekanan suara sebesar 20 Pa dan inilah yang sama dengan 0 dB, dengan demikian 0 dB tidak berarti ada suara.

  Untuk menentukan tingkat tekanan bunyi di titik berjarak r dari sumber bunyi yaitu: L

  1 2 = 10 log – L dB.

  Dengan L tingkat tekanan bunyi pada jarak r dan L tingkat tekanan bunyi

  1

  1

  2

  pada jarak r

  2 . Persamaan di atas menunjukkan bahwa tingkat tekanan bunyi sumber garis berkurang 3 dB setiap dilakukan penggandaan jarak. Gambar 2.2: Beberapa frekwensi yang berkaitan dengan pendengaran manusia (Sumber: Depkes RI, 1991)

  Lebar respon telinga manusia di antara 0 dB

  • – 140 dB dimana untuk mendengar suara itu sudah timbul perasaaan sakit pada alat pendengaran. Hal inilah yang kemudian menimbulkan masalah kesehatan akibat tekanan suara yang tinggi. Namun jangkauan frekwensi audio orang berbeda menurut umur orang tersebut. dengan bertambahnya umur batas atas jangkauan frekuensi audio orang akan turun atau berkurang (Leslie, 1993).

2.1.3. Sumber-sumber bising

  Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal atau aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran baik sementara ataupun permanen. Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan diklasifikasikan dalam kelompok:

  1. Bising interior yaitu bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin, dan aktivitas di dalam ruangan atau gedung.

  2. Bising luar yaitu bising yang dikategorikan berasal dari aktivitas di luar ruangan seperti transportasi udara, bus mobil, sepeda motor, transportasi air, kereta api dan bising yang berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang terpenting adalah makin cepat kendaraan akan semakin keras bising yang dihasilkan (Leslie, 1993).

  Sumber bising ditentukan dari bentuk suara atau bunyinya, yaitu: pertama, titik (point source) yang artinya sumber bunyi statis, akan menyebar melalui udara dengan kecepatan suara (344 m/s) dengan pola penyebaran berbentuk bola, contohnya suara mobil yang diam. Kedua, garis (line source) artinya sumber bunyi bergerak, akan menyebar melalui udara dengan pola yang berbentuk silinder, contohnya suara kereta api yang sedang berjalan, dan bidang. (Wilson, 1989). Sumber kebisingan garis umumnya berasal dari kegiatan transportasi.

  2.1.4. Bunyi yang timbul di Udara dan di Struktur Bangunan

  Bunyi dapat dihasilkan di udara, misalnya suara manusia/musik (airborne), karena tumbukan/benturan dan karena getaran mesin. Bunyi struktur/bunyi benturan adalah bunyi yang tidak hanya dipancarkan lewat udara tetapi juga secara serentak mengakibatkan kerangka bangunan yang padat bergetar.

  2.1.5. Transmisi Bising di Dalam Bangunan

  Transmisi bising di dalam bangunan dibedakan menjadi dua yakni transmisi di udara di dalam bangunan (airborne noise), dan transmisi bising struktur dan getaran (structural noise)

  1. Transmisi Bising di Udara di dalam Bangunan

  Bunyi di udara melemah intensitasnya oleh karena penyerapan udara dan juga oleh permukaan-permukaan yang menghalangi (tembok dan lantai). Transmisi bising ini merambat melalui bukaan seperti pintu, jendela, lubang ventilasi.

  2. Transmisi Bising Struktur dan Getaran (struktural noise)

  Transmisi ini meradiasikan dari sumber bising yang bersentuhan dengan struktur bangunan atau karena benturan yang menyebabkan bising merambat di dalam bahan bangunan. Sumber bising struktur misalnya getaran mesin, palu yang dipukul pada dinding.

2.1.6 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan Berdasarkan Waktu Pemaparan Waktu Pemaparan Setiap Hari (Jam) Batas Suara (dBA)

  16

  80

  Pengawasan kebisingan berpedoman pada Nilai Ambang Batas (NAB) seperti pada tabel di bawah ini:

  85

  4

  90

  2

  95

  1 100 1/2 105 1/4 110 1/8 115

  (Sumber : Depkes RI, 1991) Waktu pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih diperbolehkan adalah 85 dB.A (Depkes RI, 1991).

  8

  Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan ataupun diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang hari, petang hari, dan malam hari. Siang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk bekerja dan berpergian. Petang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk istirahat di rumah tetapi belum tidur. Malam hari adalah waktu yang digunakan kebanyakan orang untuk tidur atau istirahat.

  Pembagian waktu siang, petang dan malam hari disesuaikan dengan kegiatan kehidupan masyarakat setempat. Biasanya siang hari adalah pukul 06.00-19.00, petang hari adalah pukul 19.00-22.00 dan malam hari adalah 22.00-06.00 (Depkes RI, 1993).

  Pemerintah Indonesia, melalui keputusan menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-48/MENLH/11/1996 tentang baku tingkat kebisingan, membuat aturan mengenai baku tingkat kebisingan yang diizinkan di Indonesia. Baku tingkat kebisingan ini adalah pada tabel 2.2 sebagai berikut :

  60

  65

  8. Khusus

  6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum

  70

  5. Industri

  50

  4. Ruang Terbuka Hijau

  3. Perkantoran dan Perdagangan

  70

  70

  2. Perdagangan dan Jasa

  55

  1.Perumahan dan Pemukiman

  a. Peruntukkan Kawasan

Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan Peruntukan Kawasan/Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan (dB)

  7. Rekreasi

  • Bandara Udara -

  Stasiun Kereta Api

  60

  70

  • Pelabuhan Laut
  • Cagar Budaya

  b. Lingkungan Kegiatan

  1. Rumah Sakit atau sejenisnya

  55

  2. Sekolah atau sejenisnya

  55

  3. Tempat Ibadah atau sejenisnya

  55 (Sumber: Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.48/MENLH/11/1996)

2.2. Pengaruh Bising pada Kesehatan Manusia

  Kebisingan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap manusia sesuai dengan tingkat kebisingan yang terjadi (Suharsono, 1992). Efek kebisingan pada umumnya berkaitan dengan pendengaran, atau gangguan pada pendengaran. Hal tersebut dapat menimbulkan gangguan pada beberapa bagian pada sistem pendengaran (Azrul, 1995). Efek kebisingan pada pendengaran manusia yaitu: trauma akustik yaitu kerusakan organ telinga secara cepat akibat energi suara yang berlebihan, kehilangan pendengaran sementara, dan kehilangan pendengaran tetap (Harris, 1979).

  Untuk mengetahui pengaruh bising pada manusia harus diketahui terlebih dahulu jenis-jenis kebisingan yang ditemukan di lingkungan yaitu:

  1. Kebisingan yang kontiniu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state. wide ) misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain.

  band noise

  2. Kebisingan yang kontiniu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise ) misalnya gergaji sirkuler, katup gas dan lain-lain.

  3. Kebisingan terputus-putus (Intermitten) misalnya lalu-lintas, suara kapal terbang di lapangan udara.

  4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise) seperti pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam dan ledakan.

  5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan.

  Pengaruh utama pada kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengar, dan akibat ini telah diterima dan diketahui umum untuk berabad-abad lamanya. Umumnya gangguan pada indera pendengaran yang disebabkan timbul setelah bertahun-taun terkena paparan. Kecepatan dan kemunduran tingkat pendengaran tergantung kepada tingkat kebisingan, lamanya paparan, sifat bising, dan kepekaan individual tersebut terhadap kehilangan pendengaran akibat bising.

  Tetapi kerja terus menerus di tempat bising berakibat kehilangan daya dengar yang menetap dan tidak pulih kembali, biasanya dimulai pada frekuensi-frekuensi sekitar 4000 Hz dan kemudian meluas ke frekuensi-frekuensi sekitarnya yang membahayakan (Suma'mur, 1991).

  Dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kebisingan adalah efek kesehatan dan non kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena telinga tidak diperlengkapi untuk melindungi dirinya sendiri dari efek kebisingan yang merugikan. Bunyi mendadak yang keras secara cepat diikuti oleh reflek otot di telinga tengah yang akan membatasi jumlah energi suara yang dihantarkan ke telinga dalam. Meskipun demikian di lingkungan dengan keadaan semacam itu relatif jarang terjadi.

  Kebanyakan seseorang yang terpajan pada kebisingan mengalami pajanan jangka lama, yang mungkin intermiten atau terus menerus. Transmisi energi seperti itu, jika cukup lama dan kuat akan merusak organ korti dan selanjutnya dapat mengakibatkan ketulian permanen. Gangguan kesehatan lainnya selain gangguan pendengaran biasanya disebabkan karena energi kebisingan yang tinggi mampu menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah, dan tingkat pengeluaran keringat. (Harrington dan Gill, 2005).

2.2.1. Respon Manusia pada Bising (Subjektif)

  Respon manusia yang ditimbulkan oleh bising terjadi dari:

  1. Kerasnya suara (loudness), merupakan besaran subjektif dari suara/bising yang dialami manusia.

  2. Tingkatan sejauh mana suara itu tidak disukai (noiseness), yaitu bising itu dirasakan dan menimbulkan reksi yang tidak disukai.

  3. Gangguan yang ditimbulkan dalam keadaan alamiah yang sebenarnya (annoyance), yaitu respon ini sudah termasuk noiseness ditambah dengan berbagai variabel yang berasal dari sumber bising dan keadaan sewaktu bising itu dirasakan, sebagai contoh: a. Bising yang sumbernya dapat dilhat menimbulkan gangguan yang lebih besar dibandingkan dengan jika sumber bising tersebut tidak dilihat. b. Bising yang terjadi pada malam hari menimbulkan gangguan yang lebih besar dibandingkan dengan bising yang sama dan terjadi pada siang hari.

  c. Bising yang sudah pernah dialami dan mengganggu, jika dialami kembali akan mengalami gangguan yang lebih besar.

  4. Gangguan pembicaraan (speech interference), yaitu bising sangat mengganggu pembicaraan sesama yang berbicara. Dalam hal ini perkataan-perkataan yang diucapkan tidak dapat didengar dengan jelas sehingga tidak dapat dimengerti dengan baik, sehingga menimbulkan kejengkelan.

  5. Keluhan-keluhan (complaints) akibat kebisingan Dari berbagai respon subjekif yang dikemukakan di atas dapat menimbulkan keluhan-keluhan, berbagai keluhan ini pada gilirannya akan menimbulkan protes baik secara perorangan maupun secara kelompok.

2.2.2. Pengaruh Fisik (Objektif) Bising pada Manusia

  Menurut Suma'mur (1991), bising yang dialami manusia, terutama bising yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan:

1. Pendengaran yang berkurang (hearing-loss)

  Pendengaran yang berkurang dapat didefenisikan sebagai berkurangnya kemampuan mendengar dibandingkan dengan orang yang normal.

  Ada 2 (dua) kategori dari pendengaran yang berkurang yaitu: a. Pendengaran yang berkurang untuk sementara waktu (Temporary Threshold Shift.

  

TTS ). Seorang yang mengalami bising yang keras untuk masa yang pendek, orang

  tersebut akan terganggu pendengarannya sebentar. Pendengaran orang tersebut akan kembali normal setelah beristirahat untuk beberapa waktu. b. Pendengaraan yang berkurang secara permanen (Permanent Hearing Loss) Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat dari proses ketuaan (aging

  process ), penyakit, trauma atau seseorang mengalami bising yang keras

  untuk jangka waktu yang lama. Bising yang keras akan merusakkan Organ

  of Corti sebagai reseptor pendengaran sehingga pendengaran berkurang secara permanen.

  2. Gangguan Kardiovaskuler dan gangguan sistem organ fungsional lainnya. Bising dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah, perubahan pada curah jantung semenit dan aliran darah (blood flow). Dapat dijumpai pada pekerja yang bekerja di lingkungan bising untuk waktu yang lama (bertahun-tahun) mempunyai tekanan darah rata-rata dari para pekerja yang bekerja dalam lingkungan yang kurang bising. Insidens hipertensi lebih tinggi pada kelompok pekerja yang bekerja di lingkungan bising dibandingkan dengan kelompok pekerja di lingkungan yang tidak bising. sistem respirasi, pencernaan, susunan saraf pusat, endokrin dan reproduksi juga mengalami gangguan.

  3. Gangguan tidur Tidur yang normal sangat diperlukan untuk memberi istirahat mental dan fisik kepada seseorang. Setelah bangun seseorang merasa segar kembali, kemampuan mental dan fisiknya sudah pulih untuk bekerja kembali. Bising dapat menggangu tidur seseorang sehingga istirahat mental dan fisik tidak diperoleh. Hal ini dapat menimbulkan gangguan (annoyance) dan mengurangi kemampuan bekerja.

  4. Gangguan efisiensi kerja Gangguan ini jelas dapat dilihat pada kegiatan mental yang memerlukan perhatian (konsentrasi pikiran) seperti proses belajar/mengajar.

2.3. Beberapa Cara Pengendalian Kebisingan

  Pengendalian kebisingan secara umum harus merujuk pada penataan bunyi akan melibatkan empat elemen, yaitu sumber suara, media, penerima bunyi, dan gelombang bunyi (Satwiko, 2004). Sejalan dengan itu pengurangan kebisingan dapat dilakukan pada tiga aspek, yaitu sumber (source), media (sound path) dan penerima (receiver) (Egan, M.D, 1976).

  Ada beberapa cara pengendalian kebisingan yaitu: 1. Mengurangi vibrasi sumber kebisingan, berarti mengurangi tingkat kebisingan yang dikeluarkan sumbernya.

  2. Menutupi sumber suara 3.

  Melemahkan kebisingan dengan bahan penyerap suara atau peredam suara.

  4. Menghalangi merambatnya suara 5.

  Melindungi ruang tempat manusia atau makhluk lain yang dari suara.

  6. Melindungi telinga dari suara (Leslie, 1993).

  Cara pengendalian kebisingan terbagi dalam tiga kategori yaitu: pengendalian kebisingan pada sumbernya, pengendalian bising pada jalur transmisi suara, dan penggunaan peralatan untuk melindungi penerima dari kebisingan (Harris 1979). Pengendalian kebisingan pada sumber bising berarti mereduksi tingkat kebisingan sumber bunyi di suatu tempat yang terdapat penerima suara atau pendengar.

  Pengendalian kebisingan pada jalur transmisi suara dapat dilakukan dengan meningkatkan jarak antara sumber suara dengan penerima atau dengan menggunakan penghalang. Penghalang dapat terbuat secara alami maupun buatan, contohnya dinding, pagar yang kokoh, bangunan, pohon, dan semak. Untuk melindungi pendengar dari sumber bunyi dapat menggunakan pelindung telinga.

  Menurut Knuden, Vern O dan Cyril M. Haris (1978), pengendalian kebisingan dengan pagar tanaman setebal 2 feet (0,610 m) mampu mengurangi kebisingan sebesar 4 dB. Kecilnya pengurangan kebisingan yang bisa dihasilkan dibandingkan dengan ketebalan pagar tanaman, menjadikan pengolahan ini jarang dilakukan.

  2.3.1. Pengendalian Suara dari industri

  Pengendalian suara dari industri dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Menggunakan alat-alat yang lebih rendah kebisingan yang dikeluarkan

  2. Menggunakan cara processing yang kurang bising

  3. Pemilihan bahan-bahan yang mengurangi kebisingan

  4. Penanaman pagar dari tanaman peredam suara (Slamet, 1996)

  2.3.2 Pengendalian Kebisingan dari Lalu Lintas

  Pengendalian kebisingan dari lalu lintas jalan raya dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Penggunaan peredam suara mesin mobil (knalpot).

  2. Mengurangi kepadatan lalu lintas

  3. Membuat landscaping yang dapat meredam suara, misalnya dengan menanami pohon, semak di kiri-kanan jalan.

  4. Membuat badan jalan yang meredam getaran dan permukaan jalan yang halus ( Depkes RI, 1993)

2.3.3 Pengendalian Kebisingan di Sekolah

  Dengan perubahan sebagai elemen penting dalam proses pendidikan, perencana sedang menggabungkan konsep dapat diubah (changeeability) atau keluwesan (flexibility) ke dalam bangunan-bangunan pendidikan baru.Ini terutama jelas dalam arah perkembangan yang mendorong atau menganjurkan kebebasan yang seluas-luasnya dalam pengaturan ruang kelas.

  Sedangkan Menurut Leslie (1985), metoda pengendalian bising lingkungan dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar bangunan antara lain dengan:

  1. Penekanan bising di sumbernya, dengan memilih mesin-mesin dan peralatan yang relatif tenang dan memakai proses-proses pabrik atau metode kerja yang tidak menyebabkan tingkat bising yang mengganggu, contohnya bising yang disebabkan bantingan pintu yang dapat dihindari dengan menggunakan penahan pintu karet- busa.

  2. Perencanaan kota. Ada sejumlah cara pengendalian bising kota, yaitu dengan mengikuti cara-cara perencanaan kota dan penataan masyarakat dengan suatu pemikiran pengurangan bising dalam derajat yang diinginkan, dengan membentuk dan memaksakan peraturan penetapan wilayah dan anti bising lewat hukum, mengharuskan pengusaha pabrik yang menggunakan peralatan mekanik dan elektrik yang bising untuk mencoba produksi mereka dan memberikan penilaian bising bagi mereka, mendidik anggota pengurus untuk mengamati dasar-dasar pengendalian bising, mendorong masyarakat untuk melaporkan bising yang tak dapat diterima lewat semua jalur komunikasi yang mungkin, mendidik masyarakat untuk sadar bahwa sejumlah sumber bising dapat menyebabkan gangguan dan tekanan yang hebat dapat ditiadakan dengan perencanaan dan peramalan yang diteliti dan secara manusiawi dengan sopan dan menghargai.

  Jalur lalu lintas kereta api harus dilindungi dengan bukit, pengendukan tanah (cuttings) atau tanggul sepanjang tepi jalur dan harus ditempatkan sejauh mungkin dari jalan yang berpenduduk, seperti terlihat pada gambar 2.3. Tanggul sepanjang sisi yang menghadap jalan raya harus dibuat semiring mungkin. Jala-jala jalan raya harus direncanakan untuk memungkinkan koordinasinya dengan daerah pemukiman baru bila kebutuhan itu timbul dengan kemungkinan pengembangan di masa yang akan datang sehingga jalur-jalur yang baru dapat ditambahkan pada jalan raya tersebut bila keadaan membutuhkan. Jalan-jalan di permukaan tidak boleh menjadi jalan pintas bagi lalu-lintas yang bising. Kereta api harus memasuki pusat kota metropolitan yang besar lewat jalur bawah tanah.

Gambar 2.3 Pengendukan tanah untuk mengurangi kebisingan Pengurangan bising dapat juga dilakukan dengan menaruh tumbuh-tumbuhan.

  Namun pohon dan tumbuhan biasanya tidak efektif sebagai penghalang bising. Pengurangan bising dari pohon bergantung kepada dahan dan daun sehingga bising yang berada dekat tanah tidak tereduksi secara signifikan. Pohon yang ditanam berdekatan dan searah dengan arah datang gelombang bunyi lebih efektif daripada pohon yang berdiri sendiri. Tanaman yang digunakan untuk penghalang kebisingan diharuskan memiliki kerimbunan dan kerapatan daun merata mulai dari permukaan tanah hingga ketinggian yang diharapkan. Maka perlu diatur kombinasi antara tanaman penutup tanah, perdu, dan pohon atau kombinasi dengan bahan lainnya sehingga efek penghalang menjadi optimum.

  Tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh vegetasi tergantung pada 1) jenis spesies, tinggi tanaman, berat, dan jarak tumbuh. 2) faktor-faktor iklim, yaitu kecepatan angin, suhu, dan kelembaban, dan 3) jenis suara, asal dan tingkat desibel

  (tingkat intensitas). Gelombang suara yang diserap oleh daun, cabang, ranting pohon dan semak-semak. Telah dilaporkan bahwa tanaman yang paling efektif untuk penyerapan suara adalah bagian yang memiliki daun tebal, berdaging dengan banyak tangkai daun (daun tangkai). Kombinasi ini memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi dan getaran. Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorbsi gelombang oleh daun, cabang, dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara adalah yang mempunyai tajuk tebal dan daun yang rindang. Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%. (Grey dan Deneke, 1978). Kemampuan tanaman mereduksi kebisingan dipengaruhi oleh ketebalan dan kelenturan daun, hal ini berkaitan dengan kemudahan daun untuk bergerak karena angin dan energi suara (Widagdo, 1998)

Tabel 2.3 Efektifitas pengurangan kebisingan oleh berbagai macam tanaman Jenis tanaman Volume Jarak dari Ketinggian Rata-rata kerimbunan Sumber ke Pengukuran Reduksi daun (m3) Tanaman (m) kebisingan

  

(d)(m)

  IL (dBA)

  114.39

  18.2

  1.2

  2.5 Akasia (Acasia

  Mangium)

  30.2

  4

  4.1 118.23

  18.2

  1.2

  2.7

  24.6

  4

  4.4 Bambu 122.03

  7

  1.2

  1.1

  16.4

  2.5

  4.9 Pringgodani

  (Bambuga Sp) 366.08

  35.4

  1.2

  14.7 Johar (Casia

  60.74

  9.8

  1.2

  0.3

  siamea)

  17

  3.6

  3.2

  83.24

  9.6

  1.2

  0.2 2.464

  8.2

  1.2

  2.3 Likuan

  • – Yu (Vemenia

  obtusifolia) Anak Nakal

  1.68

  9.8

  1.2

  0.8

  (Durant repens)

  1.35

  11.2

  1.2

  0.9 Soka

  Kekaretan 1.105

  4.6

  1.2

  0.9 Sebe (Heliconia 1.792

  3.2

  1.2

  3.4 Sp)

  Teh-tehan

  11.1

  6

  1.2

  2.1 Disisipkan

  a.Teh-tehan

  13.88

  6

  1.2

  2.7

b. Heliconia Sp

  2.75

  9

  1.2

  3.8

  16.65

  6

  1.2

  4.2

  33.3

  9

  1.2

  5 (Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen Pekerjaan Umum, 2005)

  3. Perencanaan tempat. Gedung-gedung yang membutuhkan lingkungan bunyi yang tenang (sekolah, rumah sakit, lembaga penelitian, dan lain-lain) di letakkan pada tempat-tempat yang tenang, jauh dari jalan raya, daerah industri dan bandar udara. Bila memungkinkan maka dianjurkan untuk membelakangi (back form) jalan untuk memanfaatkan pengaruh reduksi bising karena jarak yang bertambah antara jalur jalan dan deretan bangunan. Bila jarak yang cukup antara bangunan dengan lalu lintas yang bising tak dapat disediakan, maka ruang-ruang yang membutuhkan jendela atau tembok ruang yang dapat dihuni tanpa jendela harus menghadap jalan yang bising.

  4. Rancangan arsitektur. Rancangan arsitektur yang baik dengan memperhatikan kebutuhan akan pengendalian bunyi adalah pendekatan yang paling ekonomis dalam mengendalikan bising yang efektif dalam bangunan.

  5. Rancangan struktural/bangunan. Teknisi bangunan harus menggabungkan langkah- langkah pengendalian bising bangunan karena insulasi bunyi lantai atau dinding tergantung terutama pada tebal struktur, maka kapasitas daya tahan/kekuatan bahan tidak boleh diangggap sebagai kriteria satu-satunya dalam menentukan ukuran bangunan.

  6. Penyerapan bunyi. Tingkat bising bunyi dapat direduksi sampai batas tertentu lewat usaha penyerapan bunyi. Penggunaan bahan penyerap bunyi yang cocok dalam ruang mempunyai keunungan-keuntungan antara lain: ruang menjadi tenang, tingkat bunyi keseluruhan akan dikurangi, lapisan penyerap cenderung melokalisir bising di daerah asalnya.

  7. Penyelimutan (masking) bising, dapat dipecahkan dengan menenggelamkan (menyelimuti) bising yang tak diinginkan lewat bising latar belakang yang dibuat secara elektronik. Proses ini menekan pembesaran kecil yang dapat mengganggu

  

pripacy penerima. Bising dari sistem ventilasi, dari arus lalu lintas yang serba

  sama atau dari kegiatan-kegiatan kantor pada umumnya membantu bising penyelimut buatan. Dalam ruangan kelas dengan pengajaran tim, bunyi diproduksi karena beberapa grup belajar dan tersebar ke berbagai arah saling meniadakan sampai suatu batas tertentu dan menghasilkan tipe bising selimut tertentu yang nampaknya dapat diterima pemakai ruang.

  8. Konstruksi bangunan penginsulasi bunyi. Bila metode pengendalian bising yang di atas sejauh ini tidak dapat diikuti untuk mengadakan lingkungan akustik yang disukai dalam bangunan, maka masih ada satu pemecahan, yaitu transmisi bising lewat struktur bangunan atau getaran harus dicegah, artinya privacy akustik yang diinginkan harus dicapai dengan menggunakan dinding, lantai, pintu atau jendela penginsulasi bunyi.

  Secara sederhana pengendalian bunyi tiap bangunan pendidikan membutuhkan pertimbangan sebagai berikut:

  1. Pemilihan dan perencanaan tempat (site).

  2. Perancangan akustik ruang dari ruang-ruang kelas, ruang kuliah, auditorium, ruang olahraga, ruang musik, ruang pandang-dengar dan lain-lain.

  3. Pengendalian bising eksterior dan interior dalam seluruh bangunan.

2.3.4. Penyerapan Bunyi

  Efisiensi penyerapan suatu bunyi suatu bahan pada suatu frekuensi tertentu dinyatakan oleh koefisien penyerapan bunyi. Koefisien penyerapan bunyi suatu permukaan adalah bagian energi bunyi datang yang diserap, atau tidak dipantulkan oleh permukaan. Permukaan interior yang keras, yang tak dapat ditembus (kedap), seperti bata, bahan bangunan batu, dan beton, biasanya menyerap energi gelombang bunyi datang kurang dari 5% (0,05). Di lain pihak, isolasi tebal menyerap energi gelombang bunyi yang datang lebih dari 80% (koefisien penyerapan di atas 0,8). (Doelle, 1986)

  Dalam kepustakaan akustik arsitektur dan pada lembaran informasi yang diterbitkan oleh pabrik-pabrik dan penyalur, bahan akustik komersial kadang-kadang dicirikan oleh koefisien reduksi bising, yang merupakan rata-rata dari koefisien penyerapan bunyi pada frekuensi 250, 500, 1000, dan 2000 Hz yang dinyatakan dalam kelipatan terdekat dari 0,05. Nilai ini berguna dalam membandingkan penyerapan bunyi bahan-bahan akustik komersial secara menyeluruh bila digunakan untuk tujuan reduksi bising (Doelle, 1986).

  Bila bunyi menumbuk suatu permukaan, maka ia dipantulkan atau diserap. Energi bunyi yang diserap oleh oleh lapisan penyerap sebagian diubah menjadi panas, tetapi sebagian besar ditransmisikan ke sisi lain lapisan tersebut, kecuali bila transmisi tadi dihalangi oleh penghalang yang berat dan kedap. Dengan perkataan lain penyerap bunyi yang baik adalah pentransmisi bunyi yang efisien dan arena itu adalah insulator bunyi yang tidak baik. Sebaliknya dinding insulasi bunyi yang efektif akan menghalangi transmisi bunyi dari satu sisi ke sisi lain. Bahan-bahan dan kontruksi penyerap bunyi dapat dipasang pada dinding ruang ataupun digantung di udara (Doelle, 1986). Bahan-bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Bahan berpori, seperti papan serat (fiber board), plesteran lembut, mineral wools, dan selimut isolasi, memiliki karakteristik dasar suatu jaringan seluler dengan pori-pori yang saling berhubungan. Energi bunyi datang di ubah menjadi energi panas dalam pori-pori ini. Bahan-bahan selular, dengan sel yang tertutup dan tidak saling berhubungan seperti damar busa, karet selular, dan gelas busa, adalah penyerap bunyi yang buruk. Penyerap berpori mempunyai karakteristik penyerapan bunyinya lebih efisien pada frekuensi tinggi dibandingkan pada frekuensi rendah dan efisiensi akustiknya membaik pada jangkauan frekuensi rendah dengan bertambahnya tebal lapisan penahan yang padat dan dengan bertambahnya jarak dari lapisan penahan ini. Bahan berpori ini antara lain ubin selulosa, serat mineral, serat-serat karang (rock

  

wool ), serat-serat gelas (glass wool), serat-serat kayu, lakan (felt), rambut,

karpet, kain dan sebagainya.

  2. Penyerap panel atau selaput merupakan penyerap frekuensi rendah yang efisien. Bila dipilih dengan benar, penyerap panel mengimbangi penyerapan frekuensi sedang dan tinggi yang agak berlebihan oleh penyerap-penyerap berpori dan isi ruang. Jadi penyerap ruang menyebabkan karakteristik dengung yang serba sama pada seluruh jangkauan frekuensi audio. Penyerap- penyerap panel yang berperan pada penyerapan frekuensi rendah antara lain panel kayu dan hardboard, gypsum boards, langit-langit plesteran yang digantung, plesteran berbulu, jendela, kaca, dan pintu. Bahan-bahan yang berpori yang diberi jarak dari lapisan penunjangnya yang padat juga berfungsi sebagai penyerap panel yang bergetar dan menunjang penyerapan pada frekuensi rendah.

  3. Resonator rongga (Helmholtz) merupakan penyerap bunyi yang terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi dinding-dinding tegar dan dihubungkan oleh celah sempit ke ruang sekitarnya, di mana gelombang bunyi merapat.

  1. Pemasangan dan Distribusi Bahan-Bahan Penyerap

  Karakteristik penyerapan bunyi tidak boleh dianggap seperti sifat intrinsik bahan-bahan akustik, tetapi sebagai suatu segi yang sangat tergantung pada sifat-sifat fisik, detail pemasangan dan kondisi lokal. Tidak ada tipe cara pemasangan tertentu yang dapat dikatakan sebagai pemasangan optimum untuk setiap pemasangan.

  Bermacam-macam perincian yang harus diperhatikan secara serentak yaitu tentang sifat-sifat bahan akustik, kekuatan, susunan (texture) permukaan, dan lokasi dinding- dinding ruang di mana bahan akustik akan dipasang, ruang yang tersedia untuk lapisan permukaan tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk pekerjaan itu, kemungkinan penggantian di waktu yang akan datang, biaya dan lain-lain (Doelle,1986).

  2. Pemilihan Bahan Penyerap Bunyi

  Bahan-bahan akustik dimaksudkan untuk mengkombinasikan fungsi penyerapan bunyi dan penyelesaian interior, maka dalam pemilihan lapisan akustik sejumlah pertimbangan di luar segi akustik juga harus diperhatikan. Perincian berikut ini harus diperiksa dalam pemilihan lapisan-lapisan penyerap bunyi yaitu mengenai koefisien penyerapan bunyi pada frekuensi-frekuensi wakil jangkauan frekuensi audio, penampilan (ukuran, tepi, sambungan, warna, jaringan), daya tahan terhadap kebakaran dan hambatan terhadap penyebaran api, biaya instalasi, kemudahan instalasi, keawetan (daya tahan terhadap tumbukan, luka-luka mekanis, dan goresan), pemantulan cahaya, ketebalan dan berat, nilai insulasi termis, daya tarik terhadap kutu, kutu busuk, jamur, kemungkinan penggantiannya dan kebutuhan serentak akan insulasi bunyi yang cukup (Doelle,1986).

  Jenis bahan peredam suara yang sudah ada yaitu bahan berpori, resonator dan panel (Lee, 2003). Dari ketiga jenis bahan tersebut, bahan berporilah yang sering digunakan. Khususnya untuk mengurangi kebisingan pada ruang-ruang yang sempit seperti perumahan dan perkantoran. Hal ini karena bahan berpori relatif lebih murah dan ringan dibanding jenis peredam lain (Lee, 2003). Material yang telah lama digunakan pada peredam suara jenis ini adalah glasswool dan rockwool.

  Desain akustik ruangan tertutup pada intinya adalah mengendalikan komponen suara langsung dan pantul ini, dengan cara menentukan karakteristik akustik permukaan dalam ruangan (lantai, dinding dan langit-langit) sesuai dengan fungsi ruangannya. Ada ruangan yang karena fungsinya memerlukan lebih banyak karakteristik serap (studio, home theater, dll) dan ada yang memerlukan gabungan antara serap dan pantul yang berimbang (auditorium, ruang kelas, dsb). Dengan mengkombinasikan beberapa karakter permukaan ruangan, seorang desainer akustik dapat menciptakan berbagai macam kondisi mendengar sesuai dengan fungsi ruangannya, yang diwujudkan dalam bentuk parameter akustik ruangan (Sarwono, 2008).

  Karakteristik akustik permukaan ruangan pada umumnya dibedakan atas (Sarwono, 2008):

  Bahan Penyerap Suara (absorber) yaitu permukaan yang terbuat dari material yang menyerap sebagian atau sebagian besar energi suara yang datang padanya. Misalnya glasswool, mineral wool, foam. Bisa berwujud sebagai material yang berdiri sendiri atau digabungkan menjadi sistem absorber (fabric covered absorber, panel absorber, grid absorber, , dsb).

  resonator absorber, perforated panel absorber, acoustic tiles

  Bahan Pemantul Suara (reflektor) yaitu permukaan yang terbuat dari material yang bersifat memantulkan sebagian besar energi suara yang datang kepadanya. Pantulan yang dihasilkan bersifat spekular (mengikuti kaidah Snelius yaitu sudut datang = sudut pantul). Contoh bahan ini misalnya keramik, marmer, logam, aluminium, gypsum board, beton, dsb.

  Bahan pendifuse/penyebar suara (diffusor) yaitu permukaan yang dibuat tidak merata secara akustik yang menyebarkan energi suara yang datang kepadanya.

  Misalnya QRD diffuser, BAD panel, diffsorber dsb. Bahan dan struktur akustik dapat digambarkan untuk tujuan pengurangan kebisingan; benda yang memiliki sifat menyerap sebagian besar energi dari gelombang suara yang mencapai permukaan. Bahan akustik memiliki empat kegunaan, yakni sebagai permukaan untuk dinding dan langit-langit, sebagai unit perintang individu, sebagai pelapis untuk menghambat dan pagar yang digunakan untuk membatasi kebisingan sumber tertentu, dan sebagai pelapis untuk mengurangi kebisingan transmisi melalui saluran atau bagian-bagian kecil. (Sabine, 1957)

2.3.5. Penanganan Kebisingan pada Titik Penerimaan

  1. Pengubahan Posisi Bangunan

  Tingkat kebisingan pada titik penerimaan dapat dikurangi dengan mengubah orientasi/posisi/letak bangunan yang semula menghadap sumber kebisingan menjadi menyamping terhadap sumber kebisingan atau membelakangi sumber kebisingan. Untuk dapat menerapkan metoda ini, perencana perlu memperhatikan fleksibilitas ruang, akses bangunan, dan keasrian arsitektur bangunan. Apabila lahan yang tersedia mencukupi, ruang yang berdekatan dengan sumber bising dapat dibangun garasi, gudang, atau fasilitas gedung yang sekaligus menjadi penghalang perambatan suara.

  Perubahan orientasi bangunan dapat mengurangi jarak efektif sumber ke penerima hingga 64%.

  2. Insulasi pada sisi luar bangunan

  Penggunaan insulasi ini dilakukan apabila upaya lain untuk mengurangi kebisingan tidak memungkinkan. Metoda ini diterapkan pada daerah-daerah dengan kepadatan tinggi, seperti pusat kota, baik untuk bangunan permukiman maupun bangunan perkantoran.

  Metoda mitigasi terhadap dampak kebisingan yang berasal dari peningkatan volume lalu lintas di sepanjang jalan meliputi beberapa pekerjaan antara lain: a) penggantian jendela,misalnya dengan kaca jendela ganda.

  b) pemasangan dinding peredam; c) pemasangan sistem ventilasi khusus.

  Efektifitas Penggunaan bahan kaca sebagai jendela untuk penghalang kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan nilai estetika lingkungan dengan mengupayakan tetap terlihatnya pemandangan di seberang jalan dari sisi yang lain dan sebaliknya. Penerapan penghalang kaca perlu memperhitungkan upaya-upaya perawatan dan pembersihan,karenanya komitmen antara pihak pengelola jalan dengan pengelola lingkungan untuk pemeliharaan penghalang ini perlu diatur secara jelas.

  Efektifitas insulasi pada sisi luar bangunan dengan penggantian jendela menggunakan jendela berkaca ganda atau triple dapat mengurangi kebisingan 15 s.d 25 dB(A), secara umum, penggunaan metoda ini dapat diharapkan menghasilkan tingkat kebisingan dalam ruangan 38 s.d. 44 dB (A). (Departemen Pekerjaan Umum, 2005)

Tabel 2.4 Pengurangan perambatan suara pada bagian muka gedung, dengan ketebalan kaca minimal adalah 6 mm.

  Jenis Bangunan Jendela Pengurangan kebisingan internal

  Semua jenis Terbuka 10 dB(A) Tembok Kaca tunggal (tertutup) 25 dB(A)

  Kaca dobel (tertutup) 35 dB(A)

  Tembok

  (Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Departemen Pekerjaan Umum, 2005)

2.4. Metode Pengukuran

  Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

2.4.1. Metode Sederhana

  Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dapat dilakukan setiap 5 (lima) detik.

  Alat sound level meter dapat digunakan untuk pengukuran: 1. kebisingan industri dan lingkungan 2. Analisa frekuensi dari sumber suara.

  3. Range dB yang dapat dipilih: 40-110 dB, 50-120 dB, dan 60-130 dB.

  Cara penggunaan alat:

  a. Sebelum menggunakan alat, periksalah terlebih dahulu baterai apakah masih berfungsi atau tidak.

  b. Hidupkan Sound Level Meter dengan cara menggeser tombol dari posisi off ke posisi on.

  c. Kalibrasi Sound Level Meter dengan menggeser tombol cal atau pengaturan kalibrasi.

  d. Stel tombol pengaturan pengukuran kebisingan ke posisi A (desibel A)

  e. Baca angka pada Sound Level Meter

  f. Cara pengukuran tingkat kebisingan:

  • Pada lokasi dengan tingkat kebisingan kontiniu Pengukuran cukup dilakukan beberapa saat, angka rata-rata pengukuran ditetapkan sebagai tingkat kebisingan
  • Pada lokasi kebisingan yang berubah-ubah (intermittent) Pengukuran tingkat kebisingan pada satu titik dilakukan selama 5 (lima) menit dengan periode waktu pengukuran setiap 4 (empat) detik untuk satu angka atau tingkat kebisingan. Angka rata-rata hasil pengukuran ditetapkan sebagai tingkat kebisingan yang diukur.

  Decibel atau dBA adalah besaran akustik yang umum digunakan dalam praktek sehari-hari untuk menunjukkan besarnya L. Beberapa skala dB yang disesuaikan dengan karakteristik tanggapan telinga manusia terhadap suara antara lain sebagai berikut.

  1. Skala dBA Untuk menilai tanggapan manusia terhadap tingkat bising lingkungan luar dan dalam bangunan, seperti misalnya bising lalu lintas, bising lingkungan perumahan, bising ruangan kantor, dsb.

  2. Skala dBB Untuk tingkat bising yang lebih tinggi, seperti misalnya bising dilingkungan kerja industri.

  3. Skala dBC Untuk tingkat bising industri yang tinggi dari mesin-mesin sehingga memungkinkan terjadinya kerusakan fisiologis telinga manusia.

  4. Skala dBD Diusulkan untuk tingkat bising yang ditimbulkan oleh operasi pesawat udara.

  Akan tetapi dalam perkembangannya sampai saat ini, hanya dBA yang direkomendasikan oleh ISO (International Organization of Standardization) dan dianggap paling sesuai dengan tanggapan manusia terhadap suara (terutama bising), sedangkan ketiga pembebanan yang lain (B, C, dan D) tidak populer dalam praktek sehari-hari. Walaupun demikian, banyak alat ukur akustik yang telah dilengkapi dengan ke-empat jenis filter tersebut, paling tidak dilengkapi dengan filter Linier dan dBA.

  Dengan menggunakan skala dBA dalam pengukuran, maka tingkat bising yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut dapat dipakai dasar untuk menggambarkan tingkat kebisingan (atau ketergangguan) manusia terhadap sumber tersebut.

2.4.2. Metode Langsung

  Dengan sebuah intergrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukur LTM5, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 (lima) detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit. Waktu pengukuran dilakukan selama 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktivitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00- 22.00 dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang waktu 22.00-06.00. Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh: 1.

  L1 diambil pada jam 07.00, mewakili jam 06.00-09.00 2. L2 diambil pada jam 10.00, mewakili jam 09.00-11.00 3. L3 diambil pada jam 15.00, mewakili jam 14.00-17.00 4. L4 diambil pada jam 20.00, mewakili jam 17.00-22.00

5. L5 diambil pada jam 23.00, mewakili jam 22.00-24.00 6.

  L6 diambil pada jam 01.00, mewakili jam 24.00-03.00 7. L7 diambil pada jam 04.00, mewakili jam 03.00-06.00