Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

(1)

HYGIENE SANITASI DAN ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO BAKAR YANG DIJUAL DISEKITAR SEKOLAH DASAR DI

KECAMATAN MEDAN BARU KOTA MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 081000114 NOVYANRI S. SITORUS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

HYGIENE SANITASI DAN ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO BAKAR YANG DIJUAL DISEKITAR SEKOLAH DASAR DI

KECAMATAN MEDAN BARU KOTA MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh: NIM. 081000114 NOVYANRI S. SITORUS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

HYGIENE SANITASI DAN ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA BAKSO BAKAR YANG DIJUAL DISEKITAR SEKOLAH DASAR DI

KECAMATAN MEDAN BARU KOTA MEDAN TAHUN 2012

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

NIM. 081000114 NOVYANRI S. SITORUS

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 10 Juli 2012

Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH

NIP. 194911191987011001 NIP.196803201993032001 Ir. Evi Naria, MKes

Penguji II Penguji III

dr. Taufik Ashar, MKM

NIP. 197803312003121001 NIP. 196811011993032005 Ir. Indra Chahaya S, MSi

Medan, Juli 2012

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP. 196108311989031001 Dr. Drs. Surya Utama, MS


(4)

ABSTRAK

Bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-bumbu seperti margarin, kecap, saos. Tempat jualan bakso bakar yang tidak terkoordinir dan berpindah-pindah dapat menyebabkan dagangan yang dijual tidak memenuhi syarat kesehatan. Bakso bakar banyak digemari sebagai makanan jajanan yang dalam proses pengolahan sampai penyajiannya kemungkinan terdapat bahan pencemar dan ditambahkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh pemerintah seperti boraks.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hygine sanitasi pengolahan dan kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru.

Jenis penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif yaitu dengan melihat gambaran hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar dan analisa laboratorium untuk mengetahui kandungan boraks pada bakso bakar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang bakso bakar belum memenuhi syarat kesehatan karena semuanya tidak melaksanakan seluruh prinsip hygiene sanitasi mulai dari pemilihan dan penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan penyajian bakso bakar sesuai dengan Kepmenkes RI No. 942/Menkes/sk/VII/2003. Secara umum gambaran hygiene sanitasi pedagang bakso bakar ini berada dalam kategori sedang. 12 sampel bakso bakar yang diperiksa tidak menagndung boraks sehingga memenuhi syarat kesehatan yang mengacu kepada Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan pedagang bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru belum menerapkan prinsip hygiene sanitasi yang benar. Kandungan boraks pada bakso bakar telah memenuhi syarat kesehatan menurut Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999 , yaitu tidak mengandung boraks. Disarankan kepada para pedagang bakso bakar agar lebih memperhatikan lagi hygiene sanitasinya. Bagi pihak SD agar lebih memperhatikan berbagai jenis makanan jajanan yang beredar disekitar sekolah dasarnya. Bagi BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih memperketat pengawasan terhadap makanan jajanan khususnya di SD dan juga dapat melakukan penyuluhan terhadap pedagang makanan.


(5)

Abstrack

Bakso bakar is the meatball that burned after smeared by spices such us margarine, ketchup, sauces. Selling places of bakso bakar that are not coordinated and moving cause the sale of merchandise do not fulfill the health qualification. Bakso bakar is favorite snack that in the processing until the presentation will likely added contaminants and food additives that not permitted by government such us borax .

The purpose of this research is to find out hygiene and sanitation of processing application and knowing the content of the borax in bakso bakar that sold at around the Primary Schools in District Medan Baru.

The method of research is descriptive method to see the description of the hygiene sanitation application in processing bakso bakar and laboratory analysis to determine the content of borax in bakso bakar.

The results showed that the seller of bakso bakar do not fulfill the health qualification because all of them have not implemented all the principles of hygiene sanitation from selecting and storing the raw material, processing, storing, transporting and presenting bakso bakar according to Kepmenkes RI 942/Menkes/sk/VII/2003. Generally, the description of hygiene sanitation is located in the medium category. 12 samples of basko bakar are not contains of borax and fulfill the health requirements that refers to Permenkes RI No. 1168/MENKES/PER/X/1999.

The conclusions from the result of this study is all of seller of bakso bakar around the Primary School in District Medan Baru have not applied the correct principles of hygiene sanitation. Content of Borax in bakso bakar has been qualified according to Permenkes RI No.1168/MENKES/PER/X/1999, that does not contain borax. The seller of bakso bakar advised to pay attention their hygiene sanitation anymore. The school also advised to pay attention to the kinds of snack that circulated around the school. To BPOM and Health Department of Medan City for controlling the snack especially in Primary School and provide counseling to the seller of food.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Novyanri Susanty Sitorus

Tempat/Tanggal Lahir : Silombu Toruan/23 Nopember 1990 Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Menikah Anak ke : 7 dari 7 Bersaudara

Alamat Rumah : Silombu Toruan, Desa Lumban Lobu Kecamatan Bonatua Lunasi, Toba Samosir

Riwayat Pendidikan:

2008 - 2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 2005 - 2008 : Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Balige

2002 - 2005 : Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Lumban Julu 1996 - 2002 : Sekolah Dasar (SD) Negeri No.173660 Lumban Lobu


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia menyertai penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Hanya karena kasihNya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ‘’Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012’’. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara (USU).

Tersusunnya skripsi ini, tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis.

3. Ir. Evi Naria MKes, selaku Dosen Pembimbing II dan Ketua Depertemen Kesehatan Lingkungan yang juga telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini. 4. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku penguji II skripsi yang telah memberikan saran

dan dukungan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Ir. Indra Chahaya S, MSi, selaku penguji III skripsi yang telah memberikan saran dan dukungan untuk kesempurnaan skripsi ini.


(8)

6. Dr. Drs. R.Kintoko Rochadi, Mkes, selaku pembimbing akademik yang memberi masukan setiap semester yang penulis lewati.

7. Kepala Camat Kecamatan Medan Baru dan Balitbang yang telah memberikan izin penelitian

8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan Staf Kesling Dinkes yang telah memberi izin penelitian dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

9. Dra. Norma Sinaga selaku pembimbing di Laboratorium Kesehatan Daerah Medan yang telah membimbing penulis dalam melakukan uji laboratorium dan memberikan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

10. Para pedagang bakso bakar yang memberikan izin penelitian untuk skripsi ini. 11. Teristimewa kepada mamaku tercinta (S. Butar-Butar) yang tidak pernah bosan

mendoakan penulis, memberikan dukungan moril, materil mendengarkan keluh kesah penulis dari tangisan pertama penulis sampai selesainya skripsi ini. Buat abang-abangku tercinta, Bang Alex, Bang Tami (dan keluarga), Bang Erman. Juga buat kakak-kakakku tercinta : Kak Murni (dan keluarga), Kak Fera (dan keluarga), Kak Herty (dan keluarga) yang tidak pernah bosan memberikan perhatian, dukungan moril, materil kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. 12. Kelompok Kecilku “Talitakum”: K’Maria, K’Decy, Nadia, Linda, Kristy dan

teman-teman koordinasi POMK FKM’2012,terimakasih buat motivasi & doanya. 13. Komisi peralatan se-USU, Mami Papi Inventaris dan eks Komisi peralatan: Kak

Erik, Windy, Elisabet, Tius, Ramson, Hendrikson, Tomi, Sabam, Herry dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya. Terimakasih


(9)

buat perhatian, dukungan dan waktunya menjadi sahabat dan teman sharing bagi penulis.

14. Harmoni’s girl 67 (Kak Donna, Kak Fretty, Kak Hermina, Windot) yang telah mendukung, mendoakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

15. Semua teman-teman seperjuangan di FKM stambuk 2008 dan IMAKEL’08: Febry, Susan, Eka, Neni, Stiphani, Mai, Yossi, Amjah, Caprin, Johannes, Edy, Mandroy, Merlyn, Ani, Evi, Shinta, Leo, Fitri, Berta, Purna, Iin dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya. Tetap semangat ya kawan-kawan, mari berjuang.

16. Terimakasih buat POMK FKM dan PD MARANATHA yang telah banyak membentuk pribadi penulis hingga saat ini.

17. Bagi semua pihak yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehinggga membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berguna bagi kita semua dan juga bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih. Syalom, Tuhan Yesus Memberkati. Medan, Juli 2012


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstrack ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Pengertian Higiene dan Sanitasi Makanan ... 7

2.2. Pencemaran dan Keamanan Makanan ... 7

2.3. Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan ... 10

2.4. Prinsip Higiene dan Sanitasi Makanan ... 11

2.4.1. Pemilihan Bahan Baku Makananan ... 11

2.4.2. Penyimpanan Bahan Baku Makanan ... 12

2.4.3. Pengolahan Makanan ... 15

2.4.4. Pengangkutan Makanan Jadi ... 18

2.4.5. Penyimpanan Makanan Jadi ... 19

2.4.6 Penyajian Makanan Jadi ... 21

2.4.7. Perlengkapan/Sarana Penjaja ... 22

2.5. Pengawasan Makanan Jajanan ... 22

2.6. Bahan Tambahan Makanan (BTM) ... 24

2.6.1. Defenisi Bahan Tambahan Makanan ... 24

2.6.2. Fungsi Bahan Tambahan Makanan ... 25

2.6.3. Penggolongan Bahan Tambahan Makanan ... 26

2.7. Boraks ... 31

2.7.1. Pengawet Boraks ... 31

2.7.2. Dampak Boraks Terhadap Kesehatan ... 32

2.8. Bakso Bakar ... 36

2.8.1. Proses Pembuatan Bakso Bakar ... 37

2.8.1.1. Bahan Baku Bakso Bakar ... 37

2.8.1.2. Proses Pembuatan Bakso Bakar ... 38

2.9. Kerangka Konsep Penelitian ... 40


(11)

3.1. Jenis Penelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 41

3.2.2. Waktu Penelitian ... 42

3.3. Populasi dan sampel ... 42

3.3.1. Populasi ... 42

3.3.2. Sampel ... 42

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.4.1. Data Primer ... 42

3.4.2. Data Sekunder ... 43

3.5. Definisi Operasional ... 43

3.6. Cara pengambilan Sampel ... 45

3.7. Prosedur Kerja Pemeriksaan Boraks secara Kualitatif ... 45

3.8. Aspek Pegukuran ... 46

3.9. Analisa Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Umum penelitian ... 50

4.1.1 Geografi ... 50

4.2. Hasil Penelitian ... 51

4.2.1. Karakteristik Pedagang Bakso Bakar ... 51

4.2.2. Enam Prinsip Hygiene Sanitasi pada Pedagang Bakso ... 52

4.2.2.1. Pemilihan Bahan Baku Bakso Bakar ... 53

4.2.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Bakso Bakar ... 53

4.2.2.3. Pengolahan Bakso Bakar ... 54

4.2.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi ... 56

4.2.2.5. Pengangkutan Bakso Bakar. ... 57

4.2.2.6. Penyajian Bakso Bakar ... 59

4.2.2.7. Gambaran Umum Hygiene Sanitasi Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru ... 60

4.2.3.Hasil Pemeriksaan Boraks ... 64

4.2.4. Pengawasan Dinas Kesehatan terhadap Makanan Jajanan di Kota Medan ... 65

BAB V PEMBAHASAN ... 68

5.1. Karakteristik Penjual Bakso Bakar ... 68

5.1.1. Jenis Kelamin ... 68

5.1.2. Umur ... 68

5.1.3. Lama Bekerja ... 69

5.2. Observasi Enam Prinsip Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan... 69

5.2.1. Pemilihan Bahan Baku Bakso Bakar ... 69

5.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Bakso Bakar ... 71

5.2.3. Pengolahan Bakso Bakar ... 72

5.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi ... 77


(12)

5.2.6. Penyajian Bakso Bakar ... 80

5.2.7. Gambaran Hygiene Sanitasi Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan ... 83

5.3. Kandungan Boraks pada Bakso Bakar ... 85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 89

6.1. Kesimpulan ... 89

6.2.Saran ... 90 Daftar Pustaka


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Lama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Bahan Makanan ... 13 4.1. Distribusi Pedagang Bakso berdasarkan Umur disekitar SD di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012 ... 51 4.2. Distribusi Pedagang Bakso berdasarkan Lamanya Bekerja disekitar SD

Di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012 ... 52 4.3. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan Bahan

Baku ... 53 4.4. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Pengolahan Makanan ... 54 4.5. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan Makanan

Jadi ... 57 4.6. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Pengangkutan Bakso

Bakar ... 58 4.7. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan Bakso

Bakar ... 59 4.8. Hasil Rekapitulasi Hygiene Sanitasi Bakso Bakar Yang dijual di Sekitar

SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan ... 60 4.9. Distribusi Hygiene Sanitasi Pedagang Bakso Bakar yang dijual disekitar

SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012... 61 4.10. Distribusi Kategori Hygiene Sanirasi Pedagang Bakso Bakar yang dijual

Disekitar SD di Kecamatan Medab Baru Kota Medan Tahun 2012 ... 64 4.11. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Bakso Bakar yang dijual disekitar SD


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Observasi Hygiene dan Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks Pada Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tahun 2012

Lampiran 2. Lembar Kuesioner Hygiene dan Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks Pada Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tahun 2012

Lampiran 3. Lembar Kuesioner tentang Pengawasan Dinkes terhadap Makanan Jajanan disekitar SD di Kecamatan Medan Baru

Lampiran 4. Data Hasil Observasi Hygiene Sanitasi Pedagang Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun2012 Lampiran 5. Hasil output spss

Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Kepala Camat Medan Baru Lampiran 8. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Balitbang

Lampiran 9. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Kantor Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan

Lampiran 10. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Balai Laboratorium Kesehatan Kota Medan

Lampiran 11. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Boraks dari Balai Laboratorium Kesehatan Kota Medan

Lampiran 12. Keptusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Sanitasi Makanan Jajanan

Lampiran 13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1168/MENKES/PER/X/1999 tentangPerubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan


(15)

ABSTRAK

Bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-bumbu seperti margarin, kecap, saos. Tempat jualan bakso bakar yang tidak terkoordinir dan berpindah-pindah dapat menyebabkan dagangan yang dijual tidak memenuhi syarat kesehatan. Bakso bakar banyak digemari sebagai makanan jajanan yang dalam proses pengolahan sampai penyajiannya kemungkinan terdapat bahan pencemar dan ditambahkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh pemerintah seperti boraks.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hygine sanitasi pengolahan dan kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru.

Jenis penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif yaitu dengan melihat gambaran hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar dan analisa laboratorium untuk mengetahui kandungan boraks pada bakso bakar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang bakso bakar belum memenuhi syarat kesehatan karena semuanya tidak melaksanakan seluruh prinsip hygiene sanitasi mulai dari pemilihan dan penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dan penyajian bakso bakar sesuai dengan Kepmenkes RI No. 942/Menkes/sk/VII/2003. Secara umum gambaran hygiene sanitasi pedagang bakso bakar ini berada dalam kategori sedang. 12 sampel bakso bakar yang diperiksa tidak menagndung boraks sehingga memenuhi syarat kesehatan yang mengacu kepada Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan pedagang bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru belum menerapkan prinsip hygiene sanitasi yang benar. Kandungan boraks pada bakso bakar telah memenuhi syarat kesehatan menurut Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999 , yaitu tidak mengandung boraks. Disarankan kepada para pedagang bakso bakar agar lebih memperhatikan lagi hygiene sanitasinya. Bagi pihak SD agar lebih memperhatikan berbagai jenis makanan jajanan yang beredar disekitar sekolah dasarnya. Bagi BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih memperketat pengawasan terhadap makanan jajanan khususnya di SD dan juga dapat melakukan penyuluhan terhadap pedagang makanan.


(16)

Abstrack

Bakso bakar is the meatball that burned after smeared by spices such us margarine, ketchup, sauces. Selling places of bakso bakar that are not coordinated and moving cause the sale of merchandise do not fulfill the health qualification. Bakso bakar is favorite snack that in the processing until the presentation will likely added contaminants and food additives that not permitted by government such us borax .

The purpose of this research is to find out hygiene and sanitation of processing application and knowing the content of the borax in bakso bakar that sold at around the Primary Schools in District Medan Baru.

The method of research is descriptive method to see the description of the hygiene sanitation application in processing bakso bakar and laboratory analysis to determine the content of borax in bakso bakar.

The results showed that the seller of bakso bakar do not fulfill the health qualification because all of them have not implemented all the principles of hygiene sanitation from selecting and storing the raw material, processing, storing, transporting and presenting bakso bakar according to Kepmenkes RI 942/Menkes/sk/VII/2003. Generally, the description of hygiene sanitation is located in the medium category. 12 samples of basko bakar are not contains of borax and fulfill the health requirements that refers to Permenkes RI No. 1168/MENKES/PER/X/1999.

The conclusions from the result of this study is all of seller of bakso bakar around the Primary School in District Medan Baru have not applied the correct principles of hygiene sanitation. Content of Borax in bakso bakar has been qualified according to Permenkes RI No.1168/MENKES/PER/X/1999, that does not contain borax. The seller of bakso bakar advised to pay attention their hygiene sanitation anymore. The school also advised to pay attention to the kinds of snack that circulated around the school. To BPOM and Health Department of Medan City for controlling the snack especially in Primary School and provide counseling to the seller of food.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Makanan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesehatan masyarakat. Seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali adalah konsumen makanan itu sendiri. Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek kelezatan (cita rasa dan flavour) kandungan gizi dalam makanan dan aspek kesehatan masyarakat.

Dalam Undang – undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 disebutkan bahwa penyelenggaraan dan peningkatan upaya kesehatan dilaksanakan melalui 15 macam kegiatan, salah satu diantaranya adalah pengawasan terhadap pengamanan makanan dan minuman agar mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pengamanan terhadap makanan merupakan upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat, peralatan dan membebaskan makanan dari zat-zat yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan makanan.

Dalam Undang – undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 109 tentang pengamanan makanan dan minuman disebutkan bahwa Setiap orang atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.


(18)

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan ditempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan oleh jasa boga, rumah makan/restoran dan hotel (Depkes, 2003 ). Salah satu makanan jajanan yang saat ini beredar di masyarakat adalah bakso bakar. Bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-bumbu seperti kecap dan margarin. Namun, makanan jajanan mengandung resiko penyebab terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan. Oleh sebab itu, makanan jajanan yang kita konsumsi haruslah terjaga kebersihan dan keamanannya. Makanan jajanan yang mengandung resiko ini misalnya adalah adanya penambahan bahan tambahan makanan (BTM) yang tidak diijinkan seperti boraks.

Walaupun boraks dilarang digunakan di dalam makanan, tetapi ternyata masih ditemukan dalam beberapa produk makanan seperti mie kuning basah, bakso dan lontong. Penggunaan boraks sebagai bahan tambahan, selain dimaksudkan untuk bahan pengawet juga dimaksudkan untuk membuat bahan menjadi kenyal dan memperbaiki penampilan.

Badan POM secara rutin mengawasi pangan yang beredar di Indonesia untuk memastikan apakah pangan tersebut memenuhi syarat. Dari hasil analisis sampel yang dikirimkan oleh beberapa laboratorium Balai POM antara Februari 2001 hingga Mei 2003, dapat disimpulkan bahwa masih ada pangan olahan yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti boraks. Dari 77 sampel bakso yang diperiksa terdapat 22% sampel yang mengandung boraks (BPOM RI, 2004).

Di DKI Jakarta ditemukan 26% bakso mengandung boraks baik di swalayan, pasar tradisional dan pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan


(19)

ditemukan 7 dari 13 pedagang menggunakan boraks dengan kandungan boraks antara 0,01 – 0,6 % (Oliveoile, 2008). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Agus Purnomo tentang boraks pada makanan berupa mie basah, lontong, bakso, pempek dan kerupuk udang yang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung Sawah, dan swalayan Bandar Lampung, dari 30 contoh mie basah, 84% positif mengandung boraks. Dari 9 sampel lontong, 11,1% mengandung boraks, dan dari 13 sampel pempek, 85% juga positif mengandung boraks dari 12 sampel bakso, 7 sampel cincau hitam dan 12 sampel kerupuk undang, 100% positif mengandung boraks (Nasution, 2009).

Dalam penelitian yang dilakukan tentang Pemeriksaan dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso di Kotamadya Medan tahun 2010 didapat bahwa dari 80% dari sampel yang diperiksa ternyata mengandung boraks dengan kadar boraks yang di dapat dalam bakso antara 0,08% - 0,29% (Panjaitan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Anisyah Nasution tentang Analisa Kandungan Boraks pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009, terdapat 62,5% pedagang lontong di Kelurahan Padang Bulan menjual lontong yang mengandung boraks (Nasution, 2009).

Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, pedagang bakso bakar biasanya menjajakan bakso bakarnya dengan berkeliling pada tempat-tempat yang strategis dan banyak peminatnya, seperti di pasar tradisional, pinggir jalan raya, hingga ke sekolah-sekolah. Umunya peminat yang paling banyak adalah anak-anak sekolah, khususnya anak SD. Harga bakso bakar yang cukup murah dan rasanya yang enak membuat anak-anak sekolah banyak menggemarinya. Tempat jualan yang tidak


(20)

terkoordinir dan berpindah-pindah ini menyebabkan dagangan yang dijual tidak memenuhi syarat kesehatan. Dengan keadaan demikian, menyebabkan kemungkinan besar bakso bakar dapat tercemar. Pencemaran dapat terjadi pada setiap tahapan produksi yang dilalui, baik pada proses pemilihan bahan baku, penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan bahan jadi, pengangkutan hingga penyajian.

Pedagang bakso bakar terkadang tidak memperhatikan hygiene sanitasi dagangannya. Tempat penjualan bakso bakar tidak ditutupi, sehingga kememungkinkan terkontaminasi dengan udara yang kotor maupun lalat. Selain itu tekstur bakso bakar yang mereka jual pun sangat kenyal.

Untuk itu dalam pemilihan bahan sampai penyajian bakso bakar seharusnya memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan KepMenKes No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Sanitasi Makanan Jajanan dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1168/MENKES/PER/X/1999

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan.

Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang Hygiene sanitasi dan penggunaan zat kimia yaitu boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan. Mengingat bakso bakar merupakan jajanan yang biasa dijual dan banyak disukai oleh masyarakat, khususnya anak SD.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Bakso bakar banyak digemari sebagai makanan jajanan yang dalam proses pengolahan sampai penyajiannya kemungkinan terdapat bahan pencemar dan ditambahkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh pemerintah seperti boraks. Maka perlu dilakukan penelitian terhadap hygiene sanitasi bakso bakar dan ingin mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada bakso bakar tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran hygine sanitasi pengolahan dan kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hygiene sanitasi pemilihan bahan baku bakso bakar. 2. Untuk mengetahui hygiene sanitasi penyimpanan bahan baku bakso bakar. 3. Untuk mengetahui hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar.

4. Untuk mengetahui hygiene sanitasi penyimpanan bakso bakar. 5. Untuk mengetahui hygiene sanitasi pengangkutan bakso bakar. 6. Untuk mengetahui hygiene sanitasi penyajian bakso bakar.


(22)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi pihak SD dan masyarakat mengenai kebersihan dan kandungan boraks pada bakso bakar.

2. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan dan BPOM untuk lebih memperhatikan bahan pengawet berbahaya yang dilarang di Indonesia seperti boraks pada bakso.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi

Hygiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004 ).

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia (Mubarak, 2009).

Hygiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat kaitannya. Misalnya hygienenya sudah baik karena mau mencuci tangan, tetapi sanitasinya tidak mendukung karena tidak cukup tersedia air bersih, maka mencucui tangan tidak sempurna (Depkes RI, 2004).

2.2. Pencemaran dan Keamanan Makanan

Keamanan makanan diartikan sebagai terbebasnya makanan dari zat-zat atau bahan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh tanpa membedakan apakah zat itu secara alami terdapat dalam bahan makanan yang digunakan atau tercampur secara


(24)

sengaja atau tidak sengaja ke dalam bahan makanan atau makanan jadi (Moehyi,1992).

Pangan yang tidak baik dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne diseases, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen. Penyakit yang ditimbulkan makanan dapat digolongkan kedalam dua kelompok utama, yaitu infeksi dan intoksitas. Infeksi apabila setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksikasi adalah keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun (Baliwati, 2002).

Makanan merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya mikroorganisme. Oleh karena itu makanan merupakan media perantara yang baik bagi penularan berbagai penyakit. Mikroorganisme yang hidup dalam makanan akan meninggalkan racun, dan apabila makanan yang mengandung racun tersebut dimakan oleh manusia, maka kesehatannya akan terganggu. Gangguan kesehatan dapat juga terjadi setelah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh melalui makanan, kemudian berkembang biak dan menyebabkan terjadinya penyakit. Disamping itu, gangguan kesehatan juga dapat terjadi karena senyawa kimia dalam makanan. Senyawa kimia ini dapat berasal dari makanan itu sendiri, tapi dapat juga berasal dari luar. Senyawa kimia yang berasal dari makanan itu sendiri misalnya adalah asam bongkrek pada tempe bongkrek, asam sianida pada ubi kayu. Senyawa kimia yang berasal dari luar misalnya sisa pestisida yang digunakan untuk membunuh hama tanaman (Moehyi,1992).


(25)

Mikroorganisme yang berbahaya bagi manusia dapat masuk ke dalam makanan melalui berbagai cara, yaitu sebagai berikut:

1) Mikroorganisme dapat masuk melalui bahan makanan sebelum diolah atau dimasak. Salmonella, misalnya, sejenis bakteri yang sering terdapat dalam bahan makanan yang mentah seperti daging ayam dan telur. 2) Mikroorganisme dapat masuk melalui udara ke dalam makanan yang

akan kita makan.

3) Mikroorganisme dapat masuk melalui permukaan berbagai benda. Misalnya mikroorganisme bisa berasal dari pisau, piring atau gelas yang kita gunakan, baju atau tangan penjamah yang kurang bersih.

Menurut Moehyi (1992), secara garis besar terdapat tiga hal yang menyebabkan terjadinya pencemaran makanan sehingga makanan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi:

a. Penanganan makanan tidak dilakukan dengan mengindahkan syarat-syarat kebersihan.

b. Alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan, mengolah, memasak dan menyajikan makanan tidak dibersihkan sebagaimana mestinya.

c. Makanan dibiarkan terlalu lama di lingkungan yang temperaturnya memungkinkan berbagai mikroorganisme berkembangbiak.


(26)

2.3. Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel. Penanganan makanan jajanan adalah kegiatan yang meliputi pengadaan, penerimaan bahan makanan, pencucian, peracikan, pembuatan, pengubahan bentuk, pewadahan, penyimpanan, pengangkutan, penyajian makanan atau minuman (Depkes RI, 2003).

Makanan dan minuman termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia karena merupakan satu-satunya sumber energi manusia, sehingga apapun yang disajikan sebagai makanan dan minuman harus memenuhi syarat utama, yaitu citra rasa makanan dan keamanan makanan dalam arti makanan tidak mengandung zat atau mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan tubuh (Moehyi, 1992).

Untuk mencegah kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, diperlukan penerapan sanitasi makanan. Sanitasi yang buruk dapat disebabkan tiga faktor yakni faktor fisik, faktor kimia, dan faktor mikrobiologi.

Faktor fisik terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik, temperatur ruangan yang panas dan lembab, dan sebagainya. Untuk menghindari kerusakan makanan yang disebabkan oleh faktor fisik, maka perlu diperhatikan susunan dan kontruksi dapur serta tempat penyimpanan pangan.


(27)

Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor kimia karena adanya zat-zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat-obat penyemprot hama, penggunaan wadah bekas obat-obat-obat-obat pertanian untuk kemasan makanan dan lain-lain.

Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor mikrobiologi karena adanya kontaminan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Akibat buruknya sanitasi makanan dapat timbul gangguan kesehatan pada orang yang mengonsumsi makanan tersebut (Sumantri, 2010).

Tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan menurut Mubarak (2009) antara lain:

1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan. 2. Mencegah penularan wabah penyakit.

3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat. 4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan makanan.

2.4. Prinsip Hygiene dan Sanitasi Makanan 2.4.1. Pemilihan Bahan Makanan

Bahan makanan adalah semua bahan makanan dan minuman baik terolah maupun tidak, termasuk bahan tambahan makanan dan bahan penolong (Depkes RI, 2003). Semua jenis bahan makanan perlu mendapat perhatian secara fisik serta kesegarannya terjamin, terutama bahan-bahan makanan yang mudah membusuk atau rusak seperti daging, ikan susu, telur, makanan dalam kaleng dan buah. Bahan makanan yang baik kadang kala tidak mudah kita temui, karena jaringan perjalanan makanan yang begitu panjang dan melalui perdagangan yang begitu luas. Salah satu


(28)

upaya mendapatkan bahan makanan yang baik adalah menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas (liar) karena kurang dapat dipertanggungjawabkan secara kualitasnya (Sumantri, 2010).

Persyaratan bahan makanan menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan adalah sebagai berikut:

1) Semua bahan yang diolah menjadi makanan jajanan harus dalam keadaan baik mutunya, segar dan tidak busuk.

2) Semua bahan olahan dalam kemasan yang diolah menjadi makanan jajanan harus bahan olahan yang terdaftar di Departemen Kesehatan, tidak kadaluwarsa, tidak cacat atau tidak rusak.

3) Penggunaan bahan tambahan makanan dan bahan penolong yang digunakan dalam mengolah makanan jajanan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

4) Bahan makanan, serta bahan tambahan makanan dan bahan penolong makanan jajanan siap saji harus disimpan secara terpisah.

5) Bahan makanan yang cepat rusak atau cepat membusuk harus disimpan dalam wadah terpisah.

2.4.2. Penyimpanan Bahan Baku Makanan

Tidak semua bahan makanan yang tersedia langsung dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan makanan yang tidak segera diolah terutama untuk katering dan penyelenggaraan Rumah Sakit perlu penyimpanan yang baik, mengingat sifat bahan bahan makanan yang berbeda-beda dan dapat membusuk, sehingga kualitasnya


(29)

terjaga. Cara penyimpanan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi makanan menurut Sumantri (2010) adalah sebagai berikut:

a) Penyimpanan harus dilakukan ditempat khusus (gudang) yang bersih dan memenuhi syarat.

b) Barang-barang agar disusun dengan baik sehingga mudah diambil, tidak memberi kesempatan serangga atau tikus untuk bersarang, terhindar dari lalat/tikus dan untuk produk yang mudah busuk atau rusak agar disimpan pada suhu yang dingin.

Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama dalam jumlah yang banyak, (untuk katering dan jasa boga ) dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan tersebut. Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik adalah sebagai berikut :

1. Suhu Penyimpanan yang Baik

Menurut Permenkes RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Hygiene Sanitasi Jasa Boga, penyimpanan bahan makanan mentah dilakukan dalam suhu sebagai berikut:

Tabel 2.1. Lama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Jenis Bahan Makanan Lama Penyimpanan

< 3 Hari < 1 Minggu >1 Minggu Daging, ikan, udang dan

olahannya -5°C s/d 0°C -10 s/d 5°C > -10°C Telur, susu dan olahannya -5°C s/d 7°C -5°C s/d 0°C > -5°C

Sayur, buah dan minuman 10°C 10°C 10°C

Tepung dan biji 25°C atau suhu ruang

25°C atau suhu ruang

25°C atau suhu ruang Sumber: Depkes RI, Permenkes No. 1096/MENKES/PER/VI/2011


(30)

Makanan yang disimpan di tempat yang agak dingin, sekitar 5-10°C, mikroorganisme masih dapat berkembang biak. Menyimpan makanan dalam freezer sama sekali tidak membunuh bakteri. Apabila makanan dikeluarkan dari dalam freezer dan temperatur menjadi tinggi, maka bakteri akan mulai memperbanyak diri kembali. Bakteri baru berhenti tumbuh apabila makanan disimpan pada temperatur dibawah 3°C (Moehyi, 1992).

2. Cara Penyimpanan

Penyimpanan bahan makanan dilakukan untuk menghindari : 1) Tercemar bakteri karena alam atau perlakukan manusia.

2) Kerusakan mekanisme seperti gesekan, tekanan, benturan dan lain-lain.

Bahan mentah harus terpisah dari makanan siap santap. Makanan yang berbau tajam harus ditutup dalam kantong plastik yang rapat dan dipisahkan dari makanan lain, kalau mungkin dalam lemari yang berbeda, kalau tidak letaknya harus berjauhan. Makanan yang disimpan tidak lebih dari dua atau tiga hari harus sudah digunakan. Lemari tidak boleh terlalu sering dibuka, maka dianjurkan lemari untuk keperluan sehari-hari dipisahkan dengan lemari untuk keperluan penyimpanan makanan.

Penyimpanan untuk makanan kering adalah sebagai berikut: a. Suhu cukup sejuk, udara kering dengan ventilasi yang baik. b. Ruangan bersih, kering, lantai dan dinding tidak lembab.

c. Rak-rak berjarak minimal 15 cm dari dinding lantai dan 60 cm dari langit-langit.


(31)

d. Rak mudah dibersihkan dan dipindahkan.

Penempatan dan pengambilan barang diatur dengan sistem FIFO (first in first out), artinya makanan yang masuk terlebih dahulu harus dikeluarkan lebih dahulu. Setiap barang yang yang dibeli harus dicatat dan diterima oleh bagian gudang untuk ketertiban administrasinya. Setiap jenis makanan mempunyai kartu stok, sehingga bila terjadi kekurangan barang dapat segera diketahui (Sumantri, 2010).

Ada empat cara penyimpanan makanan yang sesuai dengan suhunya, yaitu: 1) Penyimpanan sejuk (cooling), yaitu suhu penyimpanan 10°C - 15°C untuk

jenis minuman, buah dan sayuran.

2) Penyimpanan dingin (chilling), yaitu suhu penyimpanan antara 4°C-10°C untuk bahan makanan yang berpotensi yang akan segera di olah kembali. 3) Penyimpanan dingin sekali (freezing), yaitu suhu penyimpanan 0°C – 4 °C

untuk bahan berpotensi yang mudah rusak untuk jangka waktu sampai 24 jam.

4) Penyimpanan beku (frozen), yaitu suhu penyimpanan <0°C untuk bahan makanan proten yang mudah rusak untuk jangka waktu >24 jam.

2.4.3. Pengolahan Makanan

Pada proses atau cara pengolahan makanan, menurut Sumantri (2008) ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:

a.Tempat pengolahan makanan

Tempat pengolahan makanan adalah suatu tempat dimana makanan diolah. Tempat pengolahan makanan mempunyai peranan penting dalam proses pengolahan makanan, karena itu kebersihan dapur dan lingkungan sekitarnya


(32)

harus selalu dijaga dan diperhatikan. Dapur yang baik harus memenuhi persyaratan sanitasi.

b.Tenaga pengolah makanan/penjamah makanan

Penjamah makanan menurut Depkes RI (2006) adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian. Dalam proses pengolahan makanan, peran dari penjamah makanan sangatlah besar peranannya. Penjamah makanan ini mempunyai peluang untuk menularkan penyakit. Banyak infeksi yang ditularkan melalui penjamah makanan, antara lain Staphylococcus aureus ditularkan melalui hidung dan tenggorokan, kuman Clostridium perfringens, Streptococcus, Salmonella dapat ditularkan melalui kulit. Oleh karena itu, penjamah makanan harus selalu dalam keadaan sehat dan terampil.

c.Cara pengolahan makanan

Cara pengolahan yang baik adalah tidak terjadinya kerusakan-kerusakan makanan sebagai akibat cara pengolahan yang salah dan mengikuti kaidah atau prinsip-prinsip hygiene dn sanitasi yang baik atau disebut GMP (good manufacturing practice)

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, penjamah makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan makanan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain:


(33)

a. Tidak menderita penyakit mudah menular misal : batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya.

b. Menutup luka (pada luka terbuka/ bisul atau luka lainnya). c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku, dan pakaian d. Memakai celemek, dan tutup kepala.

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

f. Menjamah makanan harus memakai alat/ perlengkapan, atau dengan alas tangan.

g. Tidak sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya).

h. Tidak batuk atau bersin di hadapan makanan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.

Sedangkan persyaratan untuk peralatan yang digunakan untuk mengolah makanan adalah sebagai berikut:

a. Peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan makanan jajanan harus sesuai dengan peruntukannya dan memenuhi persyaratan hygiene sanitasi.

b. Untuk menjaga peralatan, maka peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan dengan sabun, lalu dikeringkan dengan alat pengering/lap yang bersih kemudian peralatan yang sudah bersih tersebut disimpan di tempat yang bebas pencemaran.

c. Dilarang menggunakan kembali peralatan yang dirancang hanya untuk sekali pakai.


(34)

2.4.4. Pengangkutan Makanan Jadi

Pengangkutan makanan dari tempat pengolahan ke tempat penyajian atau penyimpanan perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi kontaminasi baik dari serangga, debu maupun bakteri. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat dan tidak tidak berkarat atau bocor. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya dalam keadaan panas 60°C atau tetap dingin 4°C (Sumantri, 2010).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Makanan jajanan yang diangkut, harus dalam keadaan tertutup atau terbungkus dan dalam wadah yang bersih. Makanan jajanan yang diangkut juga harus dalam wadah yang terpisah dengan bahan mentah sehingga terlindung dari pencemaran.

Makanan siap santap lebih rawan terhadap pencemaran sehingga perlu hati-hati. Sehingga dalam prinsip pengangkutan makanan siap santap perlu diperhatikan hal berikut:

1. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing.

2. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat, dan ukurannya memadai dengan makanan yang ditempatkan dan terbuat dari bahan anti karat atau bocor.

3. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya agar tetap panas 60°C atau tetap dingin 4°C.

4. Wadah selama dalam perjalanan tidak boleh selalu dibuka dan tetap dalam keadaan tertutup sampai di tempat penyajian.

5. Kendaraan pengangkut disediakan khusus dan tidak digunakan untuk keperluan mengangkut bahan lain.


(35)

2.4.5. Penyimpanan Makanan Jadi

Penyimpanan makanan masak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tempat penyimpanan makanan pada suhu biasa dan tempat penyimpanan pada suhu dingin. Makanan yang mudah membusuk sebaiknya disimpan pada suhu dingin yaitu < 4°C. Untuk makanan yang disajikan lebih dari 6 jam, disimpan dalam suhu -5 s/d -10°C (Sumantri, 2010).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan makanan matang menurut Sumantri (2010) adalah sebagai berikut:

a. Makanan yang disajikan panas harus tetap disimpan dalam suhu di atas 60°C.

b. Makanan yang akan disajikan dingin disimpan dalam suhu dibawah 4°C.

c. Makanan yang disajikan dalam kondisi panas yang disimpan dengan suhu dibawah 4°C. harus dipanaskan kembali sampai 60°C sebelum disajikan.

d. Suhu makanan yang diangkut dari tempat pengolahan ke tempat penyajian harus dipertahankan.

e. Makanan yang akan disajikan lebih dari 6 jam dari waktu pengolahan harus diatur suhunya pada suhu dibawah 4°C atau dalam keaadaan beku 0°C.

f. Makanan yang akan disajikan kurang dari enam jam dapat diatur suhunya dengan suhu kamar asal makanan segera dikonsumsi dan tidak menunggu.


(36)

g. Pemanasan kembali makanan beku (reheating) dengan pemanasan biasa atau microwave sampai suhu stabil terendah 60°C.

h. Hindari suhu makanan berada pada suhu antara 24 °C sampai 60°C karena pada suhu tersebut merupakan suhu terbaik untuk pertumbuhan bakteri patogen dan puncak optimalnya pada suhu 37°C.

i. Makanan matang yang akan disajikan jauh dari tempat pengolahan makanan, memerlukan pengangkutan yang baik agar kualitas makanan tersebut tetap terjaga. Prinsip pengangkutan makanan matang/siap saji. j. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing. Isi makanan tidak terlampau penuh untuk mencegah tumpah. Wadah harus mempunyai tutup yang rapat dan tersedia lubang hawa (ventilasi) untuk makanan panas. Uap makanan harus dibiarkan terbuang agar tidak terjadi kondensasi. Air uap kondensasi merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga makanan cepat basi.

k. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat dan ukurannya memadai dengan makanan yang ditempatkan dan tidak berkarat atau bocor. l. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya dalam

keadaan tetap panas 60°C atau tetap dingin 4°C.

m. Wadah selama perjalanan tidak dibuka sampai tempat penyajian. n. Kendaraan pengangkut disediakan khusus dan tidak bercampur dengan


(37)

2.4.6. Penyajian Makanan Jadi

Saat penyajian makanan yang perlu diperhatikan adalah agar makanan tersebut terhindar dari pencemaran, peralatan yang digunakan dalam kondisi baik dan bersih, petugas yang menyajikan harus sopan serta senantiasa menjaga kesehatan dan kebersihan pakaiannya.

Penyajian makanan merupakan salah satu pinsip dari hygiene dan sanitasi makanan. Penyajian nakanan yang tidak baik dan etis, bukan saja dapat mengurangi selera makan seseorang tetapi dapat juga menjadi penyebab kontaminasi terhadap bakteri (Sumantri, 2010).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, persyaratan untuk penyajian makanan adalah sebagai berikut:

a. Makanan jajanan yang disajikan harus dengan tempat/alat perlengkapan yang bersih, dan aman bagi kesehatan.

b. Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau tertutup.

c. Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam keadaan bersih dan tidak mencemari makanan.

d. Pembungkus makanan tersebut dilarang ditiup.

e. Makanan jajanan yang siap disajikan dan telah lebih dari 6 jam apabila masih dalam keadaan baik, harus diolah kembali sebelum disajikan.

f. Makanan jajanan yang dijajakan dengan sarana penjaja konstruksinya harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran.


(38)

g. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain: 1) Mudah dibersihkan.

2) Tersedia tempat untuk air bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), tempat sampah.

h. Pada waktu menjajakan makanan harus terlindungi dari debu dan pencemaran. 2.4.7. Perlengkapan/Sarana Penjaja

Untuk meningkatkan mutu dan hygiene sanitasi makanan jajanan disarankan menggunakan perlengkapan/sarana penjaja yang juga memenuhi syarat kesehatan. Makanan jajanan yang dijajakan dengan sarana penjaja konstruksinya harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran, antara lain (Depkes RI, 2003):

1. Mudah dibersihkan.

2. Harus terlindung dari debu dan pencemaran. 3. Tersedia tempat untuk:

a. Air bersih.

b. Penyimpanan bahan makanan.

c. Penyimpanan makanan jadi/siap disajikan. d. Penyimpanan peralatan.

e. Tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan). 2.5. Pengawasan Makanan Jajanan

Pengawasan sentra makanan jajanan dilaksanakan dengan inspeksi sanitasi secara berkala dan penerapan HACCP secara bertahap oleh Dinas Kesehatan


(39)

Kabupaten/Kota setempat. Inspeksi sanitasi dapat dilaksanakan dengan pengujian contoh sampel makanan dan spesimen di laboratorium untuk penegasan/konfirmasi yang dilaksanakan sesuai kebutuhan.

Contoh makanan dan spesimen yang dikirim langsung oleh Penanggung jawab Sentra Pedagang makanan jajanan dapat dilayani bila pengambilannya dilakukan sesuai dengan persyaratan pengambilan contoh makanan dan spesimen. Hasil pemeriksaan dikirim kepada pengirim dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk keperluan pemantauan/ pengawasan.

Biaya pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan contoh makanan dan spesimen yang dilakukan secara rutin menjadi tanggung jawab pedagang makanan jajanan yang bersangkutan. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan contoh makanan dan spesimen dalam rangka uji petik ditanggung oleh Pusat, Propinsi dan atau Pemerintah daerah.

Laporan hasil inspeksi sanitasi dikirim kepada Bupati/Walikota dan tembusan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Direktorat Penyehatan Air dan Sanitasi Ditjen PPM & PL Depkes RI dengan periode 3 (tiga) bulan sekali.

Sentra makanan jajanan yang telah memenuhi syarat dan menerapkan HACCP dapat diberikan penghargaan (Depkes RI, 2003).


(40)

2.6. Bahan Tambahan Makanan (BTM) 2.6.1. Defenisi Bahan Tambahan Makanan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2008).

Suatu laporan dari Komite gabungan ahli FAO (Food Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organizaton) di roma pada tahun 1956 mendefenisikan zat aditif bahan pangan sebagai substansi bukan gizi yang ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan sengaja, yang pada umumnya dalam jumlah kecil, untuk memperbaiki kenampakan, citra rasa, tekstur atau sifat-sifat penyimpanannya. Substansi yang ditambahkan terutama yang mempunyai nilai gizi seperti vitamin A dan mineral tidak dimasukkan kedalam golongan ini.

Di Amerika Serikat, Food Protection Comittee dari National Academy of Sciences mendefenisikan zat aditif bahan pangan sebagai suatu substansi atau campuran substansi yang berbeda dengan bahan pangan dasar, yang ada dalam bahan pangan sebagai hasil dari setiap aspek produksi, pengolahan, penyimpanan atau pengemasan. Istilah ini tidak mencakup kontaminan (Desrosier, 2008).


(41)

2.6.2. Fungsi Bahan Tambahan Makanan

Bahan tambahan makanan (BTM) digunakan untuk mendapatkan pengaruh tertentu misalnya untuk memperbaiki tekstur, rasa dan penampilan dan memperpanjang daya simpan. Namun, penggunaan bahan tambahan pangan dapat merugikan kesehatan (Baliwati, dkk, 2004).

Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional (Cahyadi, 2008).

Menurut Cahyadi (2008), bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila:

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan.

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan.


(42)

2.6.3. Penggolongan Bahan Tambahan Makanan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar (Cahyadi, 2008):

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, citra rasa, dan membantu pengolahan. Sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras. 2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang

tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula berupa residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida dan rodentisida), antibiotik dan hidrokarbon aromatik polisiklis. Bahan tambahan pangan yang diijinkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.772/MenKes/Per/IX/88, terdiri dari (Cahyadi, 2008):

1. Antioksidan (antioxidant)

Merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di dalam bahan. Antioksidan terutama penting dalam melindungi lemak, minyak dan bagian lemak dari pangan. Antioksidan yang diizinkan antara lain propil gallat, butil hidroksitoluen, etoksiquin butil hidroksilanisol atau BHA (antioksidan


(43)

sintetik), asam askorbat, asam eritrobat, askorbil stearat, butil hidrokinon tersier,dilauril tiodipropionat, timah II klorida, alpa tokoferol campuran pekat. 2. Antikempal (anticaking agent)

Antikempal adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah mengempalnya pangan berupa serbuk juga mencegah mengempalnya pangan yang berupa tepung. Antikempal merupakan senyawa anhydrous yang dapat menyerap air tanpa basah.

3. Pengatur keasaman (acidity regulator)

Merupakan senyawa kimia yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajad keasaman. Sifat asam senyawa ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Pengelompokan pengatur keasaman adalah pengasaman (asam asetat, asam suksinat, asam tartrat, asam malat dan lain-lain), basa/penetral (natruim bikarbonat, natrium hidroksida, amonium bikarbonat), penetral (asam lemak jenuh, asam-asam lemak tak jenuh).

4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)

Merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut sedangkan kalori yang dihasilkannya jauh lebih rendah daripada gula. Pemanis terdiri dari pemanis alami ( sukrosa, laktosa, maltosadan lain-lain) dan pemanis buatan (sakarin, siklamat, aspartam, dulsin, sorbitol sintetis, nitro-propoksi-anilin.


(44)

5. Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent)

Merupakan bahan tambahan pangan yang seringkali digunakan pada bahan tepung dan produk olahannya dengan maksud karakteristik warna putih yang merupakan ciri khas tepung yang bermutu baik tetap terjaga. Penambahan bahan pemutih dan pematang tepung diharapkan dapat mempercepat proses pematangan dan untuk mendorong pengembangan adonan.

6. Pengemulsi, pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener) Pengemulsi adalah suatu bahan yang dapat mengurangi kecepatan tegangan permukaan dan tegangan antara dua fase yang dalam keadaan normal tidak saling melarutkan, menjadi dapat bercampur dan selanjutnya membentuk emulsi. Tujuan dari pengemulsi ini adalah untuk mengurangi tegangan permukaan antara minyak dan air, sedikit mengubah sifat-sifat tekstur teknologi produk pangan dan untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak.

7. Pengawet (preservative)

Umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Pengawet yang sering digunakan adalah benzoat (dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat). Pengawet terbagi dua yaitu zat pengawet anorganik (sulfit, hidrogen peroksida, nitrat nitrit) dan zat pengawet Organik (asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat dan epoksida).


(45)

8. Pengeras (firming agent)

Bahan pengeras sering digunakan untuk memperkeras atau mencegah melunaknya pangan. Contohnya adalah senyawa kapur untuk memperkeras produk kripik.

9. Pewarna (colour)

Ada dua jenis zat pewarna yaitu pewarna alami (karotenoid, riboflavin dan kobalamin, dll) dan zat pewarna sintetis. Zat pewarna sintetis yang diizinkan yaitu amaran, biru berrlian, eritrosin, hijau FCF, hijau S, Indigotin, ponceau 4R, kuning, kuinelin, kuning FCF, riboflavina, tartrazine. Sedangkan zat warna yang dilarang adalah rhodamin B, methanyl yellow, amaranth.

10.Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enchance )

Merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma.

11.Sekuestran (sequestrant)

Bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang ada pada makanan sehingga mencegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan perubahan warna dan aroma. Biasa ditambahkan pada produk lemak dan minyak atau produk yang mengandung lemak atau minyak seperti daging dan ikan. Contoh: asam folat dan garamnya.

Beberapa BTM yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/ PER / X / 1999 adalah:


(46)

2. Formalin (formaldehyde)

Formalin sering sekali digunakan sebagai pengawet pada susu, tahu, mie, ikan asin, ikan basa dan produk pangan lainnya. Formaldehid sangat berbahaya bagi manusia. Dapat menyebabkan iritasi lambung, alergi, kanker bahkan kematian.

3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils) 4. Kloramfenikol (chlorampenicol)

Memiliki rumus kimia C11H12C12N2O5, sering ditambahkan pada air susu untuk mematikan mikroba pengurai pada susu.

5. Kalium klorat ( potassium chlorate)

Memiliki rumus kimia KClO3, sering digunakan sebagai pengawet. Dalam jumlah besar dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, gangguan pada fungsi ginjal.

6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate)

Penggunaan DEPC sebagai antimikroba (jamur, ragi, bakteri) pada produk-produk minuman ringan (nonkarbonasi), minuman sari buah, dan minuman hasil fermentasi. Pada hasil penelitian, DEPC dapat mengakibatkan penyusutan berat badan dalam waktu empat minggu pada tikus, iritasi pada mata dan hidung serta diikuti pusing-pusing pada tikus dan babi.

7. Nitrofuranzon ( nitrofuranzone)

Dengan rumus C6H6N4010, sering digunakan pada pakan ternak dengan sifat kimiawi berwarna kuning, pahit. Dalam percobaan pada tikus, daoat menyebabkan skin lession pada kulit serta infeksi pada kandung kemih.


(47)

8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenylurea) Dulsin dalam bahan pangan digunakan sebagai penggabti sukrosa bagi orang yang perlu diet. Konsumsi dulsin yang berlebih dapat menyebabkan kematian. 9. Asam salisitat dan garamnya (salicylic acid and its salt)

Rumus kimia C6H6O7, digunakan sebagai aroma penguat rasa. Pada pemberian peroral. Asam salisitat dapat menimbulkan gangguan epigastrik, pusing, berkeringat, mual dan muntah. Dalam jumlah besar dapat menimbulkan pendarahan lambung.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 selain bahan tambahan diatas, masih ada tambahan kimia yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning) , dulsin (pemanis sintesis) dan potassium bromat (pengeras) (Cahyadi, 2008). 2.7. Boraks

2.7.1. Pengawet Boraks

Boraks adalah senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7) berbentuk padat dan jika terlarut dalam air akan menjadi natrium hidroksida dan asam borat (H3BO3). Boraks atau asam borat mempunyai sifat antiseptik sehingga bisa digunakan dalam obat-obatan seperti salep, bedak, larutan kompres dan obat-obatan lain (Baliwati, dkk, 2004). Komposisi dan bentuk asam borat mengandung 99% dan 100,5% H3BO3. Mempunyai bobot molekul 61,83 dengan B= 17,50% ; H= 4,88% ; O= 77,62% berbentuk serbuk kristal transparan atau granul putih tak berwarna dan tak berbau serta agak manis (Cahyadi, 2008).


(48)

Senyawa asam borat menurut Cahyadi (2008) mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut :

1. Titik lebur sekitar 171°C.

2. Larut dalam 18 bagian air dingin , 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol. 3. Tidak larut dalam eter.

4. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat, atau asam tartrat.

5. Mudah menguap dengan dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100 °C yang secara perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2).

6. Asam borat merupakan asam lemah dan garam alkalinya bersifat basa.

7. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tidak berwarna.

8. Asam borat tidak tercampur dengan alkali karbamat dan hidroksida. 9. Asam borat berbentuk kristal berwarna putih.

2.7.2. Dampak Boraks Bagi Kesehatan

Boraks atau yang sering disebut asam borat, natrium tetraborat atau sodium borat, sebenarnya merupakan pembersih, fungisida, herbisida dan insektisida yang bersifat toksik atau beracun untuk manusia (Yuliarti, 2007).

Jika suatu objek biologi berkontak dengan suatu zat, maka hanya dapat terjadi efek toksik setelah absorbsi zat tersebut. Umumnya hanya zat yang dalam bentuk terlarut yang dapat diabsorbsi (Ariens, dkk, 1986). Suatu zat kimia akan menyebabkan kerusakan bila diserap oleh organisme tersebut. Adsorbsi zat kimia


(49)

dapat terjadi melalui saluran cerna, kulit, paru-paru dan beberapa jalur lain. Sifat dan hebatnya efek zat kimia terhadap organisme tergantung dari kadarnya di organ sasaran. Agar dapat diserap, didistribusi dan akhirnya dikeluarkan, suatu toksikan harus melewati sejumlah membran sel (Lu, 1995).

Semua zat kimia yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perlakuan tertentu atau mengalami proses metabolisme. Pada umumnya metabolisme itu melakukan transformasi agar zat kimia lebih mudah diekskresikan lewat ginjal. Akibat dari metabolisme ini adalah kemungkinan zat kimia akan diakumulasikan/disimpan di dalam tubuh, dikeluarkan/diekskresikan dan mengalami perubahan biokimia (Soemirat, 2005).

Ketika suatu zat kimia masuk ke dalam tubuh, maka zat tersebut akan mengalami beberapa proses dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Ketika zat kimia misalnya boraks masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dimakan (oral), maka tubuh akan melakukan proses metabolisme zat kimia tersebut. Lambung akan lebih mudah menyerapnya karena merupakan asam lemah. Dalam dosis tertentu dapat menyebabkan mual, muntah-muntah dan diare. Di dalam usus, asam lemah tidak mudah diserap karena akan berada dalam bentuk ion. Setelah diserap lambung, toksikan akan dibawa oleh vena porta hati ke hati.

Ketika sampai di darah, toksikan (boraks) akan didistribusi dengan cepat keseluruh tubuh dan akan melalui dinding kapiler darah. Dalam dosis tertentu dapat mengganggu kemampuan transport darah ke otak sehingga dapat menyebabkan pusing-pusing, sakit kepala dan lemah.


(50)

Zat kimia yang telah diabsorbsi ke dalam darah akan langsung dialirkan ke hati. Di hati, toksikan tersebut akan diikat. Kadar enzim yang memetabolisme toksikan dalam hati juga tinggi sehingga membuat sebagian toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ( Lu, 1995). Fungsi pokok hati adalah menerima dan mengolah zat kimia yang diabsorbsi dari saluran gastrointestinal sebelum disebarkan kejaringan lain (Ester, 2002). Namun, apabila kadar zat kimia (termasuk boraks) dalam jumlah yang tinggi dan terus menerus kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan pada hati.

Tubuh akan berusaha melakukan detoksifikasi terhadap boraks yang masuk ke dalam tubuh dan akan di ekskresi secara lamban oleh ginjal (Adiwisastra, 1995). Toksikan yang mempengaruhi ginjal dapat bekerja dalam empat cara yaitu :

a. Mengurangi aliran darah keginjal sehingga dapat merusak ginjal.

b. Secara langsung dapat mempengaruhi glomerulus dan menggangu kemampuan selektifnya dalam memfiltrasi darah.

c. Mempengaruhi fungsi reabsorpsi dan fungsi sekresi tubulus.

d. Menyumbat tubulus, menghambat urine (produksi urine berkurang).

Ginjal biasanya rentan terhadap efek toksik zat kimia. Kerusakan ginjal oleh zat kimia kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan produksi urine dan kerusakan jaringan di ginjal (Ester, 2002). Oleh sebab itu, boraks dalam dosis tertentu dan terus menerus dapat merusak ginjal dan dalam keadaan kronis dapat mengakibatkan gagal ginjal.

Pada saat zat kimia diserap oleh sel-sel dalam tubuh, maka zat kimia tersebut dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat), sehingga sel akan mengalami


(51)

trasformasi yang tidak dipahami sehingga dapat mengubah sel-sel tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kecacatan pada bayi. Kerusakan yang terjadi pada DNA juga sering diperbaiki oleh sel itu sendiri, atau jika sel imun mengenalinya, sel yang rusak akan dibunuh sehingga tidak dapat menyebabkan kanker. Jika tidak satupun proses di atas terjadi, maka sel yang rusak akan terus membelah dan tumbuh sehingga salinan dirinya yang memang rusak semakin banyak, dan dapat merusak sel lainnya yang dapat menyebabkan kanker (Ester, 2002).

Paparan zat kimia selama kehamilan dapat mengakibatkan perkembangan yang defektif (menuju kecacatan). Pada waktu-waktu tertentu, janin yang sedang bertumbuh dan berkembang menjadi sangat sensitif terhadap paparan zat kimia, misalnya saat perkembangan sistem organ atau perkembangan sel-sel tertentu (Ester, 2002). Dengan demikian, paparan boraks pada ibu hamil juga dapat menyebabkan gangguan pada janinnya.

Menurut Adiwisastra (1992), pengaruh boraks dalam tubuh adalah: 1) Sakit perut sebelah atas, muntah dan diare.

2) Sakit kepala dan gelisah.

3) Penyakit kulit berat (dermatitis).

4) Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah.

5) Hilangnya cairan dalam tubuh ditandai dengan kulit kering dan pingsan. 6) Tidak nafsu makan.

7) Kadang-kadang tidak dapat kencing.

Asam borat merupakan bakterisida lemah. Larutan jenuhnya tidak membunuh staphylococcus aureus. Pemakaian berulang atau absorbs berlebihan dapat


(52)

mengakibatkan toksik (keracunan). Gejala dapat berupa mual, muntah, diare, suhu tubuh menurun, lemah, sakit kepala, rash erythematous, bahkan dapat menimbulkan shock. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15-25 gram, sedangkan pada anak dosis 5-6 gram.

Asam borat juga bersifat teratogenik pada anak ayam. Absorpsinya melalui saluran cerna, sedangkan ekresinya yang utama melaui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada pada otak, hati, dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan ginjal. Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2008).

Dalam kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Maka, hendaknya berhati-hati dan berupaya mengenali makanan yang ditambahkan pengawet ini. Sedapat mungkin harus menghindarinya demi kesehatan (Yuliarti, 2007).

2.8. Bakso Bakar

Bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, maupun ikan. Sedangkan bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah mengolesi bumbu-bumbu seperti kecap dan margarin.

Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tampahan utama garam dapur, tepung tapioka dan bumbu, berbentuk bulat seperti kelereng, dengan berat 25–30gr per butir. Setelah dimasak, bakso memiliki tekstur yang kenyal sebagai ciri spesifiknya (Widyaningsih, 2006).


(53)

Ada tiga jenis bakso yang biasa dijual di pasaran yaitu bakso daging, bakso urat (terbuat dari urat sapi), dan bakso aci (terbuat dari tepung tapioka). Bakso yang baik adalah bakso yang dibuat dari daging yang berkualitas dan tidak berlemak yang biasanya mengandung 90% daging dan 10% tepung tapioka. Selain bumbu, ada bahan yang biasa ditambahkan ketika membuat bakso. Bahan yang dimaksud adalah pengenyal. Adapun bahan pengenyal yang aman digunakan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Bahan kimia tersebut berfungsi sebagai pengemulsi sehingga diahasilkan adonan yang lebih merata.

Sayangnya tidak semua bakso yang dijual di pasaran, banyak bakso menggunakan boraks sebagai pengenyal dan sebagai pengawet agar bakso lebih tahan lama. Ciri-ciri bakso yang mengandung boraks adalah biasanya lebih kenyal dibanding bakso yang menggunakan STF, jika digigit akan kembali kebentuk semula. Warna bakso yang mengandung boraks juga tampak lebih putih. Hal ini berbeda dengan bakso yang baik, biasanya berwarna abu-abu segar merata disemua bagian (Cahyadi, 2008).

Bakso memiliki sifat keasaman yang rendah sehingga bakso tidak dapat bertahan lama dan rentan terhadap kerusakan, sehingga bakso memiliki masa simpan maksimal satu hari pada suhu kamar (Widyaningsih, 2006).

2.8.1. Proses Pembuatan Bakso Bakar 2.8.1.1. Bahan Baku Bakso

Bahan utama yang diperlukan dalam membuat bakso bakar adalah daging dan bahan pendukung (bahan pengisi, Sodium Tripoliphosphate, air es/es , serta bumbu-bumbu penyedap, garam/merica). Daging yang digunakan dapat berupa daging sapi,


(54)

kerbau, kambing, ayam dan sebagainya. Dalam membuat bakso, disarankan menggunakan daging yang masih segar (prerigor) agar bakso yang dihasilkan kenyal dan kompak, meskipun tanpa penambahan bahan pengenyal.

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah pati, misalnya tepung tapioka, gandum dan tepung aren. Kandungan pati yang tinggi pada tepung membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat mengemulsi lemak.

Penambahan es/air es dapat mempengaruhi tekstur bakso. Penambahan es/air es bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan selama proses pembuatan bakso.

Bumbu berfungsi meningkatkan cita rasa dan mengawetkan bakso. Adonan bakso sering ditambah dengan sodium tripoliphosphat (STPP) yaitu suatu garam natrium tripolyphospat unttuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkraman air. STTP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan (Usmiati, 2009).

2.8.1.2. Proses Pembuatan Bakso Bakar

Pada prinsipnya, pembuatan bakso terdiri atas empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso dan pemasakan. Bakso dicetak secara manual atau dengan alat cetak bakso, lalu direbus dalam air mendidih atau dikukus (Usmiati, 2009).

Proses pembuatan bakso bakar terdiri dari : 1. Penghancuran daging


(55)

Bertujuan untuk memecahkan serabut daging. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan mencacah, menggiling atau mencincang sampai lumat. Alat yang digunakan bisa dengan pisau, pencincangan atau penggilingan.

2. Pembentukan adonan

Pembentukan adonan dilakukan dengan mencapur seluruh bagian daging yang telah dihancurkan dengan bumbu-bumbu ataupun garam dan air. Adonan juga bisa ditambah dengan telur dan ditambahkan tepung sedikit demi sedikit.

3. Pencetakan bakso

Setelah adonan siap, bakso dapat dicetak, cukup dengan dibulatkan secara manual atau dengan alat cetak bakso.

4. Pemasakan bakso

Bakso dipanaskan dalam panci yang berisi air mendidih selama 10 – 15 menit.

5. Pembakaran bakso

Pada proses ini, bakso yang telah masak ditusuk dengan tusuk sate dan dibakar di atas bara api sambil sesekali dioles dengan bahan olesan seperti margarin dan kecap sampai berwarna kecokelatan.


(56)

2.9. Kerangka Konsep Pemeriksaan Laboratorium secara kualitatif Pedagang bakso bakar Observasi sanitasi pedagang bakso bakar berdasarkan enam prinsip sanitasi makanan

1. Pemilihan bahan makanan

2. Penyimpanan bahan makanan 3. Pengolahan makanan 4. Penyimpanan makanan jadi 5. Pengangkutan makanan

6. Penyajian makanan

Mengandung Boraks Tidak mengandung Boraks Memenuhi Syarat Mengacu kepada Permenkes No. 1168/MENKES/PER/ X/1999

Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VI I/2003 Tidak Memenuhi Syarat Bakso bakar


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitan

Penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif yaitu dengan melihat gambaran hygiene sanitasi dan analisa laboratorium untuk mengetahui kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitan

Penelitian ini dilakukan di lingkungan sekolah-sekolah dasar yang ada di Kecamatan Medan Baru Kota Medan, dimana pada sekolah dasar tersebut terdapat pedangang bakso bakar yaitu :

1. SD Negeri No. 060882 , SD Negeri No. 060884.

2. SD Negeri No. 060886, SD Negeri No. 060889, SD Negeri No. 060894. 3. SD Negeri No. 060885, SD Negeri No.060891, SD Negeri No. 060892,

SD No. 060895 4. SD Percobaan Negeri.

5. SD Antonius 1, SD Antonius 2, SD St. Thomas 5, SD St. Thomas 6. 6. SD Muhammadyah 05.


(58)

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret- Mei 2012. 3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang bakso bakar yang menjajakan dagangannya di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan, yaitu sebanyak 6 pedagang bakso bakar.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah pedagang bakso bakar yang menjajakan dagangannya disekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan. Jumlah pedagang bakso bakar adalah 6 orang.

Objek penelitiannya adalah bakso bakar. Dari masing-masing pedagang diambil 2 sampel bakso bakar yang dijual pada saat dijajakan, yaitu bakso sebelum dibakar dan bakso sesudah dibakar. Jumlah keseluruhan adalah 12 bakso bakar. Pemeriksaan dilakukan di Balai Laboratotium Kesehatan Medan.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari observasi langsung ke lokasi dengan mengadakan wawancara langsung kepada pedagang bakso bakar serta data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan boraks pada bakso bakar di laboratorium.


(59)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari kantor Kecamatan Medan Baru berupa data Sekolah dasar di Kecamatan Medan baru dan dari Dinkes berupa pengawasan Dinkes terhadap makanan jajanan.

3.5. Defenisi Operasional

a. Pedagang bakso bakar yaitu pedagang yang menjajakan bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru.

b. Bakso bakar yaitu produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam maupun ikan yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-bumbu seperti margarin, saus dan kecap.

c. Pemeriksaan laboratorium secara kualitatif yaitu pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya boraks pada bakso bakar.

d. Mengandung boraks yaitu sampel positif mengandung boraks.

e. Tidak mengandung boraks yaitu sampel negative mengandung boraks.

f. Boraks yaitu senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7) berbentuk padat dan jika terlarut dalam air akan menjadi natrium hidroksida dan asam borat (H3BO3).

g. Higiene yaitu upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya.

h. Sanitasi yaitu upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subyeknya.


(60)

i. Pemilihan bahan makanan adalah proses menentukan bahan-bahan dengan kondisi segar, masih utuh dan diperoleh dari sumber yang resmi untuk digunakan dalam proses pengolahan bakso bakar.

j. Penyimpanan bahan makanan adalah menaruh bahan makanan pada tempat yang aman dan sehingga tidak terjangkau tikus, serangga, serta binatang pengganggu lainnya.

k. Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan yang siap saji.

l. Penyimpanan makanan jadi adalah meletakkan makanan yang sudah siap saji pada tempat yang tidak tercemar debu, tertutup, tidak dapat dijangkau tikus, serangga dan binatang pengganggu lainnya.

m. Pengangkutan makanan adalah memindahkan makanan dari tempat pengolahan ke tempat penyajian.

n. Penyajian makanan adalah tata cara menghidangkan makanan siap santap (bakso bakar) di tempat yang telah disediakan.

o. Memenuhi syarat adalah keadaan dimana hasil observasi di lapangan sesuai dengan standard yang ditetapkan Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003.

p. Tidak memenuhi syarat keadaan dimana hasil observasi tidak sesuai dengan standard yang ditetapkan Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003.


(1)

seperti bawang atau daun sop juga langsung didapatkan di pajak pada hari mereka akan menggilingkan bakso sehingga semua bahan dalam keadaan baru.

Setiap pedagang biasanya mempunyai SD yang tetap sebagai tempat mereka menjajakan bakso bakarnya sehingga anak-anak SD tersebut telah mengenal pedagang bakso itu. Menurut asumsi peneliti, hal tersebut kemungkinan bisa menjadi alasan bagi si pedagang untuk tidak menggunakan boraks pada baksonya. Ada 1 pedagang yang memang menjajakan baksonya di dalam kantin sekolah (pedagang VI) sehingga apa yang dijual pedagang tersebut tidak boleh sembarangan dan pedagang tersebut mempunyai tangggung jawab dalam menjajakan makanan jajanannya. Berdasarkan hasil wawancara juga, para pedagang bakso mengaku kurang mengerti secara mendalam tentang bahan-bahan pengawet seperti boraks yang sering dibuat dalam bakso. Mereka memang pernah mendengar kasus boraks tersebut namun mereka mengaku tidak berani membuat dalam bakso mereka.

Dalam mengolah bakso bakar, para pedagang memang masih kurang memperhatikan kebersihannya. Hygine pribadi pedagang masih tergolong kurang. Namun menurut asumsi peneliti, itu bukan menjadi alasan bagi pedagang untuk membuat pengawet boraks pada bakso bakarnya. Karena memang pedagang tidak membutuhkan pengawet untuk baksonya. Lama berjualan pedagang juga bukan menjadi alasan bagi pedagang untuk dapat membuat pengawet boraks pada bakso bakarnya. Semakin lama berjualan bakso bakar bukan berarti pedagang semakin berani membuat pengawet boraks pada dagangannya. Hal itu dapat dilihat dari pedagang yang telah berjualan selama 5 tahun pun tidak menggunakan boraks pada


(2)

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian (Labora,2010) tentang Pemeriksaan dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso di Kota Madya Medan, didapat dari 10 sampel yang diperiksa ternyata 8 sampel menunjukkan hasil yang positif mengandung boraks. Hal itu mungkin terjadi karena bakso yang diperiksa merupakan bakso yang diproduksi dalam jumlah besar sehingga membutuhkan boraks sebagai pengawet. Maka diperoleh bahwa belum terjadi praktek penggunaan boraks untuk tujuan pengawetan ataupun pengenyal pada bakso bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi hygiene sanitasi dan pemeriksaan boraks pada bakso bakar yang dijual disekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemilihan bahan baku bakso bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012 memenuhi syarat kesehatan.

2. Penyimpanan bahan baku, pengolahan bakso bakar, penyimpanan bakso bakar, pengangkutan bakso bakar dan penyajian bakso bakar yang dijajakan disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tahun 2012 tidak memenuhi syarat kesehatan.

3. Tidak ada pedagang yang memenuhi syarat kesehatan secara keseluruhan dalam melaksanakan enam prinsip higiene sanitasi makanan jajanan. 4. Kondisi hygiene sanitasi pedagang bakso bakar disekitar SD dikecamatan

Medan Baru Kota Medan Tahun 2012 berada dalam kategori sedang. 5. Kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual disekitar sekolah dasar di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan telah memenuhi syarat kesehatan menurut permenkes No.1168/MENKES/PER/X/1999, yaitu tidak mengandung boraks.


(4)

6.2. Saran

1. Diharapkan para pedagang bakso bakar lebih memperhatikan hygiene sanitasi seperti menjaga kebersihan tangan dan tubuh, juga kebersihan peralatan yang digunakan.

2. Diharapkan kepada para penggiling bakso agar lebih memperhatikan kebersihan pada saat menggiling bakso. Baik kebersihan diri maupun kebersihan tempat penggilingan tersebut.

3. Bagi pihak SD agar lebih memperhatikan berbagai jenis makanan jajanan yang beredar disekitar sekolah dasarnya demi keamanan siswa/siswi. 4. Untuk orang tua siswa agar senantiasa mendidik anaknya dan

mengajarinya tentang cara memilih makanan yang sehat dan aman.

5. Dinas Kesehatan Kota Medan bekerja sama dengan BPOM perlu melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara periodik terhadap makanan jajanan yang beredar di Kota Medan, khususnya disekitar Sekolah –sekolah Dasar

6. Perlu memberikan pelatihan dan penyuluhan secara periodik kepada pedagang makanan jajanan untuk meningkatkan pengetahuan tentang hygiene sanitasi makanan.

7. Untuk peneliti lain agar dapat meneliti tentang keluhan kesehatan siswa SD terhadap makanan jajanan bakso bakar ataupun makanan jajanan lainnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adiwisatra A, 1995. Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya.

Angkasa Bandung, Bandung

Ariens E.J, dkk. 1985. Toksikologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Baliwati Y.F, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Swadaya,Bogor BPOM RI. 2004. Food Watch, Sistem Keamanan Pangan Terpadu,Bahan

Tambahan Ilegal-Boraks, Formalin dan Rhodamin B.

tanggal 28 Maret 2012.

Cahyadi W, 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, edisi kedua. Bumi aksara, Jakarta

Chandra B, 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta Desrosier N.W, 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta Depertemen Kesehatan RI. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI

No.1168/Menkes/X/1999 tentang Perubahan atas Permenkes RI No.722/Menkes/IX/1998 tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta . 2003.Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Jakarta

. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1096/MENKES/PER/VI/2011tentang Hygiene Sanitasi Jasaboga,

Jakarta

Ester M, 2002. Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Hardinsyah, Rimbawan, 2001. Analisis Bahaya dan Pencegahan Keracunan Pangan. PERGIZI PANGAN, Jakarta

Hasan W, 2011. Hand Out Matakuliah Manajemen Penyehatan Makanan dan Minuman. Medan


(6)

Moehyi S, 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Bhratara, Jakarta

Mubarak W.I, Chayatin N, 2009. Kesehatan Masyarakat : Teori dan Aplikasi. Salemba Medika, Jakarta

Mukono, 2004. Hygiene Sanitasi Hotel dan Restoran. Airlangga University Press. Surabaya

Nasution A, 2009. Analisa Kandungan Boraks pada Lontong

di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Skripsi FKM USU, Medan Oliveoile, 2008. Formalin dan Boraks.

31 Maret 2012.

Panjaitan L, 2010. Pemeriksaan dan Penetapan Kadar Boraks

dalam Bakso di Kota Madya Medan. SkripsiFakultas Farmasi USU, Medan Soemirat J, 2005. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta

Soemirat J, 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Sumantri A, 2010. Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam.Kencana Prenada Tanti F, 201

Januari 2012

Usmiati S, 2009. Bakso Sehat.

14 januari 2012

Widyaningsih T.D, Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya

Yuliarti N, 2007. Awas Bahaya dibalik Lezatnya Makanan. ANDY Yogyakarta, Yogyakarta