BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Stabilitas Lereng Menggunakan Perkuatan Double Sheetpile dan Geogrid dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga (studi kasus : Ruas Jalan Siantar – Parapat KM 152)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Tinjauan Umum

  Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran), beberapa mineral-mineral padat yang tidak tersedimentasi (terikat secara kimia) satu sama lain dari bahan-bahan organik yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut. Salah satu kegunaan tanah adalah sebagai pendukung struktur bangunan atas sehingga tanah harus tetap stabil dan tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan kerusakan konstruksi. Istilah penurunan menunjukkan tenggelamnya suatu bangunan akibat kompresi dan deformasi lapisan tanah di bawah bangunan.

  Karena rumitnya sifat-sifat mekanik tanah maka penurunan struktur hanya dapat diperkirakan dengan hasil analisis tanah tersebut, sehingga perlu diketahui sifat-sifat dasar tanah seperti komposisi tanah, permeabilitas tanah, dan daya dukungnya serta penyebab lainnya.

  2.2 Parameter Tanah

  Dalam mendesain bangunan geoteknik, diperlukan data tanah yang dapat menunjukkan kondisi tanah di lapangan. Data yang diperlukan dapat berupa data pengujian di laboratorium dan data hasil pengujian di lapangan. Pengambilan sampel tanah dan pengujian laboratorium tidak dilakukan pada seluruh lokasi melainkan di tempat-tempat yang memungkinkan dianggap mewakili lokasi sebenarnya.

  Kelengkapan data dalam penyelidikan lapangan, menentukan akurasi dalam perencanaan, tetapi tidak semua data dapat diperoleh dengan lengkap. Hal terkait dengan masalah biaya pengambilan sampel atau kendala non teknis yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, perencana harus dapat mengambil asumsi yang dapat dipertanggung jawabkan dengan nilai kesalahan yang minimal. Asumsi tersebut diperoleh dari korelasi empiris yang telah dilakukan oleh ahli- ahli geoteknik yang mengacu pada pamahaman mekanika tanah yang baik.

  Secara umum elemen tanah mempunyai 3 (tiga) fase, yaitu butiran padat, air dan udara. Pemahaman mengenai komposisi tanah diperlukan untuk mengambil keputusan dalam memperoleh parameter tanah. Berdasarkan ketiga fase tersebut, diperoleh hubungan antara volume dengan berat seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Hubungan antar fase tanah Hubungan volume yang umum digunakan untuk suatu elemen tanah adalah angka pori (void ratio), porositas (porosity), derajat kejenuhan (degree of

  

saturation ), sedangkan untuk hubungan berat digunakan istilah kadar air (water

  ), dan berat volume (unit weight). Hubungan-hubungan tersebut dapat

  content

  dikembangkan sehingga dapat digunakan parameter tanah yang digunakan dalam perhitungan desain (Tabel 2.1).

  Korelasi berbagai jenis parameter tanah

  Tabel 2.1

2.2.1 Klasifikasi Tanah dari Data Sondir

  Data tekanan conus ( qc ) dan hambatan pelekat ( fs ) yang didapatkan dari hasil pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2:

  Klasifikasi tanah dari data sondir

  Tabel 2.2

  Hubungan antara konsistensi terhadap tekanan conus dan undrained adalah sebanding dimana semakin tinggi nilai c dan qc maka semakin

  cohesion

  keras tanah tersebut. Seperti yang terlihat dalam Tabel 2.3:

Tabel 2.3 Hubungan antara konsistensi dengan nilai tekanan konus pada sondir

  Tekanan Konus qc Undrained Cohesion

  

2

  2 Konsistensi Tanah (kg/cm ) (T/m )

  Very Soft < 2,50 < 1,25 Soft 2,50 – 5,0 1,25 – 2,50

  Medium Stiff 5,0 – 10,0 2,50 – 5,0 Stiff 10,0 – 20,0 5,0 – 10,0

  Very Stiff 20,0 – 40,0 10,0 – 20,0 Hard >40,0 >20,0

  Begitu pula hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N SPT, qc dan Ø adalah sebanding. Hal ini dapat dilihat dalam pada Tabel 2.4:

  Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc, dan ø

  Tabel 2.4

  (Mayerhoff, 1965) Relatif Nilai Tekanan Sudut

  Kepadatan Density N Konus qc Geser

  2 o

  SPT (kg/cm ) (ø ) (γd)

  Very Loose (sangat lepas) <0,2 <4 <20 <30 Loose (lepas) 0,2 – 0,4 4 – 10 20 – 40 30 – 35 Medium Dense (agak kompak) 0.4 – 0,6 10 – 30 40,0 – 120 35 – 40 Dense (kompak) 0,6 – 0,8 30 – 50 120 – 200 40 – 45 Very Dense (sangat kompak) 0,8 – 1,0 >50 >200 >45

2.2.2 Berat isi ( γ sat dan γ unsat )

  Berat volume atau berat isi ( γ) merupakan berat tanah persatuan volume, Berat (W) jadi:

  γ = Volume (V)

Tabel 2.5 Korelasi empiris antara nilai N-SPT dengan unconfined compressive strength dengan berat jenis tanah jenuh ( ) untuk tanah kohesif.

  γ sat q

  u

  N-SPT γ

  sat

  Konsistensi (Unconfined Compressive

  3 Blows/ft

  kN/m

  2

  ) (tons/ft )

  Stength

  < 2 Very Soft < 0.25 16 - 19 2 – 4 Soft 0.25 – 0.50 16 - 19 4 – 8 0.50 – 1.00 17 - 20

  Medium

  8 – 15 1.00 – 2.00 19 - 22

  Stiff

  15 – 30 2.00 – 4.00 19 - 22

  Very Stiff

  > 30 Hard > 4.00 19 - 22 Korelasi untuk menentukan berat jenis tanah (

  γ) dan berat jenis tanah jenuh ( ) pada tanah kohesif dan non kohesif dapat dilihat pada tabel 2.6 dan γ sat tabel 2.7. Korelasi berat jenis tanah ( Tabel 2.6 γ) untuk tanah non kohesif dan kohesif.

  Cohesionless Soil

  N 0 - 10 11 - 30 31 – 50 > 50

  Unit Weight

  12 -16 14 - 18 16 - 20 18 - 23

  3

  γ, kN/m

  Angle of

  25 - 32 28- 36 30 - 40 > 35 ,

  Friction φ State Loose Medium Dense Very Dense

  Cohesive N > 4 4 - 6 6 – 15 16 - 25 > 25

  Unit Weight

  14 -18 16 - 18 16 - 18 16 - 20 > 20

  3

  γ, kN/m q , kPa < 25 20 - 50 30 - 60 40 - 200 > 100

  u State Very Soft Soft medium Stiff Hard

  (Soil Mechanics, William T., Whitman, Robert V., 1962) Korelasi berat jenis tanah jenuh ( ) untuk tanah non kohesif.

Tabel 2.7 γ

  sat Desciption Very Loose Loose Medium Dense Very Dense

  N-SPT

  Fine 1 - 2 3 - 6 7 - 15 16 - 30

  2 - 3 4 - 7 8 - 20 21 - 40 > 40

  Medium

Coarse 3 - 6 5 – 9 10 - 25 16 - 45 > 45

Angle of friction φ

Fine 26 - 28 28 - 30 30 - 34 33 - 38

  27 - 28 30 - 32 32 - 36 36 - 42 > 50

  Medium

  28 - 30 30 - 34 33 - 34 40 - 50

  Coarse

  3

  11 - 16 14 - 18 17 - 20 17 - 22

  20 γ wet (kN/m )

  • 23

2.2.3 Modulus Young

  Pasir Berlanau Tidak Padat Padat

  1400 - 14000

  800 - 2000 500 - 1400 20 - 200 150 - 600

  300 - 425 50 - 200 100 - 250 500 - 1000

  Cadas 3 - 30 20 - 40 45 - 90

  Lanau Loess

  Pasir Dan Kerikil Padat Tidak Padat

  Nilai modulus young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai ini bisa didapatkan dari Traxial Test.

  Dengan menggunakan data sondir, booring dan grafik triaksial dapat digunakan untuk mencari besarnya nilai elastisitas tanah. Nilai yang dibutuhkan adalah nilai qc atau cone resistance. Yaitu dengan menggunakan rumus :

  ) Lempung

  2

  Nilai Perkiraan Modulus Elastisitas Tanah (Bowles, 1997) Macam Tanah E (Kg/cm

  Tabel 2.8

  Nilai yang dibutuhkan adalah nilai N. Modulus elastisitas didekati dengan menggunakan rumus : E = 6 ( N + 5 ) k/ft² ( untuk pasir berlempung ) E = 10 ( N + 15 ) k/ft² ( untuk pasir )

  E = 2.qc kg/cm² E = 3.qc ( untuk pasir ) E = 2. sampai 8. qc ( untuk lempung )

  Sangat Lunak Lunak Sedang Berpasir

  2.2.4 Poisson Ratio

  Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap regangan pemuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasar jenis tanah seperti yang terlihat pada Tabel 2.9 di bawah ini.

Tabel 2.9 Nilai Perkiraan Angka Poisson Tanah (Bowles, 1997)

  Macam Tanah angka poisson tanah)

  v (

  Lempung Jenuh 0,40 – 0,50 Lempung Tak Jenuh 0,10 – 0,30

  Lempung Berpasir 0,20 – 0,30 Lanau 0,30 – 0,35

  Pasir Padat 0,20 – 0,40 Pasir Kasar 0,15 Pasir Halus 0,25

  Batu 0,10 – 0,40 Loess 0,10 – 0,30

  2.2.5 Sudut Geser Dalam Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser dalam.

  Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan tanah akibat tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga didapatkan dari pengukuran engineering properties tanah dengan Direct Shear Test. Hubungan antara sudut geser dalam dan jenis tanah ditunjukkan pada Tabel 2.10:

Tabel 2.10 Hubungan antara sudut geser dalam dengan jenis tanah

  Jenis Tanah Sudut Geser Dalam ( ø )

  Kerikil kepasiran

  35 ̊ - 40̊

  Kerikil kerakal

  35 ̊ - 40̊

  Pasir padat

  35 ̊ - 40̊

  Pasir lepas

  30 ̊

  Lempung kelanauan

  25 ̊ – 30̊

  Lempung

  20 ̊ – 25̊

2.2.6 Kohesi

  Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan

sudut geser dalam, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan

ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah dalam

hal ini berupa gerakan lateral tanah. Deformasi ini terjadi akibat kombinasi keadaan

kritis pada tegangan normal dan tegangan geser yang tidak sesuai dengan faktor aman

dari yang direncanakan. Nilai ini didapat dari pengujian Direct Shear Test. Nilai

kohesi secara empiris dapat ditentukan dari data sondir (qc) yaitu sebagai berikut: Kohesi ( c ) = qc/20

2.3 Kekuatan Geser Tanah

  Kekuatan geser tanah diperlukan untuk menghitung daya dukung tanah (bearing capacity), tegangan tanah terhadap dinding penahan (earth pressure) dan kestabilan lereng. Kekuatan geser tanah dalam tugas akhir ini pada ruas jalan P.

  Siantar – Parapat Km. 152+750 menggunakan analisa Direct Shear Test. Kekuatan geser tanah terdiri dari dua parameter, yaitu: 1.

  Bagian yang bersifat kohesi c yang tergantung dari macam 2. Bagian yang mempunyai sifat gesekan / frictional yang sebanding dengan tegangan efektif (σ) yang bekerja pada bidang geser.

  Kekuatan geser tanah dapat dihitung dengan rumus:

  S = c + (σ – u) tan ø

  Dimana : S = Kekuatan geser

  Tegangan total pada bidang geser σ = u = Tegangan air pori c = kohesi ø = Sudut geser

2.4 Kriteria Umum tanah Timbunan

  Sebelum melakukan desain, terlebih dahulu kita harus mengetahui nilai- ø) yang digunakan nilai berat volume (γ), kohesi (c), sudut geser dalam tanah ( dalam hitungan tekanan tanah lateral. Nilai-nilai c dan ø dapat ditentukan dari uji geser dan tes triaksial. Tipe-tipe tanah timbunan tanah untuk dinding penahan tanah menurut Terzaghi dan Peck (1948) adalah : 1) Tanah berbutir kasar, tanpa campuran partikel halus, sangat lolos air (pasir bersih atau kerikil).

  2) Tanah berbutir kasar dengan permeabilitas rendah karena tercampur oleh partikel lanau.

  3) Tanah residu (residual soil) dengan batu-batu, pasir berlanau halus dan material berbutir dengan kandungan lempung yang cukup besar.

  4) Lempung lunak atau sangat lunak, lanau organik, atau lempung berlanau. 5) Lempung kaku atau sedang yang diletakkan dalam bongkahan-bongkahan dan dicegah terhadap masuknya air hujan kedalam sela-sela bongkahan tersebut saat hujan atau banjir. Jika kondisi ini tidak dapat dipenuhi, maka lempung sebaiknya tidak dipakai untuk tanah timbunan. Dengan bertambahnya kekakuan tanah lempung maka bertambah pula bahaya ketidakstabilan dinding penahan akibat infitrasi air yang bertambah dengan cepat.

  Hal pertama yang dilakukan saat mendesain dinding penahan tanah adalah menggunakan salah satu dari lima material di atas. Contoh 1 sampai 3 mempunyai sudut geser dalam tanah dengan permeabilitas sedang, ditentukan dengan uji triaksial drained, karena angka pori-pori tanah ini dapat menyesuaikan sendiri selama melaksanakan pekerjaan. Penyesuaian butiran sering dengan berjalannya waktu, akan mengurangi angka pori dan meningkatkan kuat geser dalam tanah.

  Untuk perhitungan, kohesi untuk tanah timbunan jenis 1-3 sebaiknya diabaikan.

  Untuk jenis 4 dan 5, nilai c dan ø ditentukan dari pengujian triaksial . Pengujian dilakukan pada contoh tanah dengan kepadatan dan kadar

  undrained

  air yang diusahakan sama seperti yang diharapkan terjadi di lapangan, pada waktu tanah timbunan selesai diletakkan. Penggunaan tanah timbunan berupa tanah lempung sebaiknya dihindari sebab tanah ini dapat berubah kondisinya sewaktu pekerjaan telah selesai.

2.5 Pemadatan Tanah Timbunan

  Proses pemadatan tanah timbunan harus dilakukan lapis per lapis. Untuk menghindari kerusakan pada dinding penahan tanah dan tekanan tanah lateral yang berlebihan, digunakan alat pemadat yang ringan. Sebab pemadatan yang berlebihan dengan alat yang berat, akan menimbulkan tekanan tanah lateral yang bahkan beberapa kali lebih besar dari pada tekanan yang ditimbulkan oleh tanah pasir yang tidak padat. Jika memakai tanah lempung sebagai tanah timbunan maka diperlukan pengontrolan yang sangat ketat. Bahkan walaupun timbunan berubah tanah berbutir dengan penurunan yang kecil dan dapat ditoleransikan, tanah timbunan harus dipadatkan lapis per lapis dengan ketebalan maksimum 22,5 cm. Pekerjaan pemadatan sebaiknya tidak membentuk permukaan miring, karena akan menyebabkan pemisahan lapisan dan akan berdampak pada keruntuhan potensial. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan dengan permukaan tanah horizontal.

2.6 Tekanan Tanah Lateral

  Analisa tekanan tanah lateral digunakan untuk perencanaan dinding penahan tanah. Tekanan tanah lateral adalah gaya yang ditimbulkan oleh akibat dorongan tanah di belakang struktur penahan tanah. Besarnya tekanan lateral sangat dipengaruhi oleh perubahan letak (displacement) dari dinding penahan dan sifat-sifat tanahnya.

2.6.1 Tekanan Tanah dalam Keadaan Diam (At-Rest)

  Suatu elemen tanah yang terletak pada kedalaman tertentu akan terkena tekanan arah vertikal ( σv) dan tekanan arah horizontal (σh). σv dan σh masing- masing merupakan tekanan aktif dan tekanan total, sementara itu tegangan geser pada bidang tegak dan bidang datar diabaikan. Bila dinding penahan tanah dalam keadaan diam, yaitu bila dinding tidak bergerak ke salah satu arah baik ke kanan atau ke kiri dari posisi awal, maka masa tanah berada dalam keadaan keseimbangan elastis (elastic equilibrium). Rasio tekanan arah horizontal dan tekanan arah vertical dinamakan “koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam

  (coefficient of earth pressure at rest)” . Ko”, atau

  = berat jenis x kedalaman σ v σ v = γz

  = k σ h o (γz)

  Untuk tanah berbutir, koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam diperkenalkan oleh jaky(1994) : k = 1 – sin θ

  Broker dan Jreland (1965) memperkenalkan harga Ko untuk lempung yang terkonsolidasi normal (normally consolidated) : k = 0,95 – sin θ

  Untuk tanah lempung terkonsolidasi normal (normally consolidated), Alpan (1967) telah memperkenalkan persamaan empiris lain: k = 0.19 + 0.233 log (PI) Dimana : PI = Indeks Plastis untuk tanah lempung yang terkonsolodasi lebih (overconsolidated) : k = k

  0(over consolidated) 0(normaly consolidated)

  Dimana : OCR = overconsolidation ratio Maka gaya total per satuan lebar dinding (P ) seperti yang terlihat pada

Gambar 2.2 adalah sama dengan luas dari diagram tekanan tanah yang bersangkutan

  Jadi :

Gambar 2.2 Distribusi tekanan tanah dalam keadaan diam (at rest) pada dinding

  penahan

2.6.2 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif Menurut Rankine

  Keseimbangan plastis (plastic equilibrium) di dalam tanah adalah suatu keadaan yang menyebabkan tiap-tiap titik di dalam massa tanah menuju proses ke suatu keadaan runtuh. Rankine (1857) menyelidiki keadaan tegangan di dalam tanah yang berada pada kondisi keseimbangan plastis.

Gambar 2.3 Grafik hubungan pergerakan dinding penahan dan tekanan tanah

2.6.2.1 Kondisi Aktif

  Tegangan-tegangan utama arah vertikal dan horisontal (total dan efektif) pada elemen tanah di suatu kedalaman adalah berturut- turut σv dan σh. Apabila dinding penahan tidak diijinkan bergerak sama sekali, maka σh= Ko.σv. Kondisi tegangan dalam elemen tanah tadi dapat diwakili oleh lingkaran berwarna kuning.

  Akan tetapi, bila dinding penahan tanah diijinkan bergerak menjauhi massa tanah di belakangnya secara perlahan – lahan, maka tegangan utama arah horizontal akan berkurang secara terus – menerus. Pada suatu kondisi yakni kondisi keseimbangan plastis, akan dicapai bila kondisi tegangan di dalam elemen tanah dapat diwakili oleh lingkaran berwarna merah dan kelonggaran di dalam tanah terjadi. Keadaan tersebut diatas dinamakan sebagai “kondisi aktif menurut Rankine” (Rankine’s Active State); tek anan (σh’) yang terlingkar berwarna biru merupakan “tekanan tanah aktif menurut Rankine” (Rankine’s Active Earth ).

  Pressure

  Untuk tanah yang tidak berkohesi (cohessionless soil), c = 0, maka koefisien tekanan aktifnya adalah : Langkah yang sama dipakai untuk tanah yang berkohesi (cohesive soil), perbedaannya adalah c

  ≠ 0, maka tegangan utama arah horizontal untuk kondisi aktif adalah :

2.7.2.2 Kondisi Pasif

  Keadaan tegangan awal pada suatu elemen tanah diwakili oleh lingkaran Mohr berwarna kuning. Apabila dinding penahan tanah didorong secara perlahan

  • – lahan kea rah masuk ke dalam massa tanah, maka tegangan utama σh akan bertambah secara terus – menerus. Akhirnya kita akan mendapatkan suatu keadaan yang menyebabkan kondisi tegangan tanah dapat diwakili oleh lingkaran Mohr berwarna merah. Pada keadaan ini, keruntuhan tanah akan terjadi, disebut kondisi pasif menurut Rankine (Rankine’s Passive state). Tegangan utama besar (major principal stress

  ) (σh), dinamakan tekanan tanah pasif menurut Rankine (Rankine’s passive earth pressure)

  Untuk tanah yang tidak berkohesi (cohesionless soil), c = 0, maka koefisien tekanan pasifnya adalah : Langkah yang sama dipakai untuk tanah yang berkohesi (cohesive soil), perbedaannya adalah c

  ≠ 0, maka tegangan ut ama arah horizontal untuk kondisi pasif adalah :

2.7 Stabilitas Lereng

  Sebuah permukaan tanah yang terbuka yang berdiri membentuk sudut tertentu terhadap horisontal disebut sebuah lereng tanpa perkuatan. Lereng dapat terjadi secara ilmiah atau buatan manusia. Jika tanah tidak horisontal, suatu komponen gravitasi akan cenderung untuk menggerakkan tanah ke bawah. Jika komponen gravitasi cukup besar maka kegagalan lereng akan terjadi, yakni massa tanah dapat meluncur jatuh. Gaya yang meluncurkan mempengaruhi ketahanan dari kuat geser tanah sepanjang permukaan keruntuhan.

  Seorang engineer sering diminta untuk membuat perhitungan untuk memeriksa keamanan dari lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan.

  Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang permukaan keruntuhan dan membedakannya dengan kekuatan geser tanah. Proses ini disebut analisa stabilitas lereng. Permukaan keruntuhan itu biasanya adalah permukaan kritis yang memiliki faktor keamanan minimum.

  Analisa stabilitas lereng adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Evaluasi variabel - variabel seperti stratifikasi tanah dan parameter - parameter tanahnya bisa menjadi suatu pekerjaan yang berat. Rembesan pada lereng dan pemilihan suatu permukaan gelincir potensial menambah kompleksitas dari permasalahan ini.

  Pengertian tanah longsor sebagai respon dari pada yang merupakan faktor utama dalam proses geomorfologi akan terjadi di mana saja di atas permukaan bumi, terutama permukaan relief pegunungan yang berlereng terjal, maupun permukaan lereng bawah laut. Tanah longsor didefinisikan sebagai tanah batuan atau tanah di atas lereng permukaan yang bergerak ke arah bawah lereng bumi disebabkan oleh gravitasi / gaya berat.

  Di daerah yang beriklim tropis termasuk Indonesia, air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah yang memicu gerakan material yang ada di atas permukaan lereng. Material berupa tanah atau campuran tanah dan rombakan batuan akan bergerak ke arah bawah lereng dengan cara air meresap kedalam celah pori batuan atau tanah, sehingga menambah beban material permukaan lereng dan menekan material tanah dan bongkah-bongkah perombakan batuan, selanjutnya memicu lepas dan bergeraknya material bersama-sama dengan air.

2.7.1 Upaya Stabilisasi Lereng

  Ada beberapa upaya dalam pengendalian kelongsoran pada suatu lereng, diantaranya adalah :

  1. Mengurangi beban di puncak lereng

  • Pemangkasan lereng
  • Pemotongan lereng atau cut biasanya digabungkan dengan pengisian pengurugan atau fill di kaki lereng.

2. Menambah beban di kaki lereng • Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama).

  • Membuat dinding penahan (bisa dilakukan dalam waktu yang relatif cepat berupa dinding penahan atau retaining wall).
  • Membuat bronjong, yaitu batu-batu bentuk menyudut diikat dengan kawat dengan bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan dengan bentuk bulat.

  3. Mencegah lereng jenuh dengan air tanah atau mengurangi kenaikan kadar air

  • Membuat beberapa pengaliran air (dari bambu atau pipa paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng yang berguna supaya muka air
tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar sehingga muka air tanah turun.

  • Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng (infiltrasi).
  • Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off.

  4. Mengendalikan air permukaan

  • Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.
  • Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.

2.7.2 Klasifikasi Tanah Longsor

  Tanah longsor yang disesuaikan dengan dasar klasifikasi yang

dipergunakan masing-masing ahli, berikut ini dijelaskan nama-nama kelas

gerakan tanah yang umum dipakai (Ritter, 1986) :

1. Tanah Longsor tipe jatuhan (falls)

  Tanah longsor tipe ini, material batuan atau tanah atau campuran kedua-

duanya bergerak dengan cara jatuh bebas karena gaya beratnya sendiri. Proses

tanah longsor semacam ini umumnya terjadi pada lereng terjal , bisa dalam bentuk

  

bongkah individual batuan berukuran besar atau dalam bentuk guguran fragmen

bongkah bercampur dengan bongkah-bongkah yang berukuran lebih kecil.

  2. Tanah Longsor tipe robohan (toples) Gerakan massa tipe robohan hampir serupa dengan tanah longsor tipe

falls , pada tipe topples ini gerakannya dimulai dengan bagian paling atas dari

bongkah lepas dari batuan dari batuan induknya karena adanya cela retakan

pemisah, bongkah terdorong kedepan hingga tidak dapat menahan bebannya

sendiri

  3. Tanah Longsor tipe gelincir (slides) Tanah longsor tipe gelincir adalah tanah longsor batuan atau tanah atau campuran keduanya yang bergerak melalui bidang gelincir tertentu yang bertindak

sebagai bidang diskontinuitas berupa bidang perlapisan batuan atau bidang

patahan, bidang kekar, bidang batas pelapukan. Jika bidang-bidang diskontinuitas tersebut sejajar dengan bidang perlapisan, maka semakin besar peluang terjadinya tanah longsor.

2.7.3 Perhitungan Faktor Keamanan Lereng

  Faktor Keamanan (FS) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode. Faktor Keamanan (FS) adalah nilai banding antara gaya yang menahan dan gaya yang menggerakkan. Data-data yang diperlukan dalam perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng adalah : a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng.)

  • Sudut kemiringan lereng • Tinggi lereng atau panjang lereng dari kaki lereng ke puncak lereng.
b. Data mekanika tanah

  • Sudut geser dalam (Ø)
  • Berat isi tanah (ɣ)
  • Kohesi (c)
  • Kadar air tanah (w)

  Perumusan dalam perhitungan suatu faktor keamanan (FS) suatu lereng adalah : Dimana : FS = Faktor Keamanan

  = Tegangan geser rata-rata tanah = Tegangan geser yang terjadi di sepanjang bidang runtuh

  Sedangkan nilai dan dari adalah: dan Sehingga diperoleh persamaan baru yakni :

  Faktor keamanan yang diperhitungkan juga ditinjau dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ). Persamaan untuk mendapatkan nilai dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ) adalah : dan Membandingkan nilai dan , sehingga diperoleh : Maka Faktor keamanan suatu lereng dapat dilihat dari Tabel 2.11 yang dibuat sesuai dengan besar kestabilan suatu lereng.

  Nilai Faktor Keamanan Untuk Perencanaan Lereng

  Tabel 2.11

  (Sosrodarsono , 2003) Faktor Keamanan ( FS ) Keadaan Lereng

  FS < 1,00 Lereng dalam kondisi tidak mantap (lereng labil) 1,00 < FS < 1,20 Lereng dalam kondisi kemantapan diragukan 1,30 < FS < 1,40 Lereng dalam kondisi memuaskan 1,50 < FS < 1,70 Lereng dalam kondisi mantap (lereng stabil)

  Dalam perhitungan perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan metode grafik. Menurut

  

Taylor (1937), perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan menghitung

resultan gaya dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ).

  Angka stabilitas (m) diperoleh dari plot antara nilai sudut geser dalam tanah dengan sudut kemiringan lereng yang ditinjau, atau dengan menggunakan rumusan berupa : Dimana : m = angka stabilitas c = kohesi tanah (kg/cm²)

  3

  ) ɣ = berat isi tanah (g/cm

  H = tinggi lereng (m)

Gambar 2.4 menunjukkan grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut kemiringan lereng (Ø > 0).

  Dengan menggunakan metode Taylor, Singh (1970) juga memberikan grafik untuk menentukan angka-angka keamanan (FS) untuk bermacam-macam kemiringan lereng. Grafik tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Grafik Hubungan antara Angka Stabilitas

  dengan Sudut Kemiringan Lereng, Ø > 0 (Taylor, 1937)

2.8 Faktor Penyebab Kelongsoran

  Beberapa faktor-faktor penyebab kelongsoran antara lain dapat dipengaruhi oleh geologi, topografi, proses cuaca, perubahan struktur tanah dan pengaruh air dalam tanah.

2.8.1 Pengaruh Geologi

  Proses geologi dalam pembentukan lapisan-lapisan kulit bumi dengan cara pengendapan sedimen ternyata memungkinkan terbentuknya sutau lapisan yang potensial mengalami kelongsoran. Sebagai contoh adalah pembentukan lapisan tanah sebagai berikut, sungai yang mengalirkan air ke laut membawa partikel- partikel halus yang jumlahnya tergantung dari volume dan kecepatan alirannya, kemudian partikel-partikel tersebut mengendap di dasar laut membentuk lapisan tanah, dimana penyebaran pengendapannya bisa merata atau tidak merata tergantung arus air laut. Karena pembentukan tiap lapisan terjadi maka dasar tiap lapisan adalah air, yang bisa dilihat sering sekali sebagai lapisan tipis pada zona pemisah antara lapisan lempung dan lanau kepasiran atau sebagai aliran laminer pada lapisan pasir yang lebih permeabel.

  Dengan keadaan demikian bila banyak air memasuki lapisan pasir tipis sedangkan pengeluaran air sedikit sehingga keadaan lapisan menjadi jenuh, maka tekanan air akan bertambah dan tekanan air inilah yang akan menyebabkan kelongsoran. Berbeda bila air memasuki lapisan pasir tebal sehingga keadaan lapisan tidak sepenuhnya jenuh air, maka lapisan tersebut bahkan bisa menjadi drainase alamiah.

  2.8.2 Pengaruh Topografi

  Variasi bentuk permukaan bumi yang meliputi daerah pegunungan dan lembah dengan sudut kemiringan permukaannya yang cenderung besar, maupun daerah dataran rendah yang permukaannya cenderung datar, ternyata memiliki peranan penting dalam menentukan kestabilan. Daerah dengan kemiringan besar tentu lebih potensial mengalami kelongsoran dibanding daerah datar, sehingga kasus kelongsoran sering ditemukan di daerah perbukitan atau pegunungan, dan pada perbedaan galian atau timbunan yang memiliki sudut kemiringan lereng yang besar. Kestabilan lereng terganggu akibat lereng yang terlalu terjal, perlemahan pada kaki lereng dan tekanan yang berlebihan dari beban di kepala lereng. Hal tersebut terjadi karena erosi air pada kaki lereng dan kegiatan penimbunan atau pemotongan lereng yang dilakukan manusia.

  2.8.3 Pengaruh Proses Cuaca

  Perubahan temperatur, fluktuasi muka air tanah musiman, gaya gravitasi dan relaksasi tegangan sejajar permukaan ditambah dengan proses oksidasi dan dekomposisi akan mengakibatkan suatu lapisan tanah kohesif yang secara lambat laun tereduksi kekuatan gesernya terutama nilai kohesi (c) dan sudut geser dalamnya (ø).

  Pada tanah non kohesif misalnya lapisan pasir, bila terjadi getaran gempa, mesin atau sumber getaran lainnya akan mengakibatkan lapisan tanah tersebut ikut bergetar sehingga pori-pori lapisan akan terisi oleh air atau udara yang akan meningkatkan tekanan dalam pori. Tekanan pori yang meningkat dengan spontan dan sangat besar ini akan menyebabkan terjadinya likuifikasi atau pencairan lapisan pasir sehingga kekuatan gesernya hilang.

2.8.4 Pengaruh Air Dalam Tanah

  Keberadaan air dapat dikatakan sebagai faktor dominan penyebab terjadinya kelongsoran, karena hampir sebagian besar kasus kelongsoran melibatkan air didalamnya.

  • Tekanan air pori memiliki nilai besar sebagai tenaga pendorong terjadinya kelongsoran, semakin besar tekanan air semakin tenaga pendorong.
  • Penyerapan maupun konsentrasi air dalam lapisan tanah kohesif dapat melunakkan lapisan tanah tersebut yang pada akhirnya mereduksi nilai kohesi dan sudut geser dalam sehingga kekuatan gesernya berkurang.
  • Aliran air dapat menyebabkan erosi yaitu pengikisan lapisan oleh aliran air, sehingga keseimbangan lereng menjadi terganggu. Dalam menganalisa stabilitas lereng harus ditentukan terlebih dahulu faktor keamanan (FK) dari lereng tersebut. Secara umum faktor keamanan didefenisikan sebagai perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak longsoran.

  Suatu lereng dikatakan stabil apabila memiliki faktor keamanan (FK) lebih dari 1,3. Untuk meningkatkan stabiitas lereng ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan diantaranya :

  1. Memperkecil gaya penggerak / momen penggerak.

  Gaya dan momen penggerak dapat diperkecil hanya dengan merubah bentuk lereng, yaitu dengan membuat lereng lebih datar dengan cara mengurangi sudut kemiringan dan memperkecil ketinggian lereng.

  2. Memperbesar gaya penahan / momen penahan.

  Untuk memperbesar gaya penahan dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa metode perkuatan tanah, diantaranya dinding penahan tanah, box culvert, abutmen jembatan. Untuk memilih jenis dinding penahan tanah yang akan digunakan hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain : sifat tanah, kondisi lokasi, dan metode pelaksanaan. Beberapa jenis dinding penahan antara lain :

  1. Dengan memancangkan tiang-tiang pancang pada permukaan lereng yang labil. Tiang tersebut dapat berupa sheet pile berbahan beton concrete ataupun baja, cerucuk dari rel bekas, angkur, pancang beton, dan kayu.

  2. Dengan menggunakan geotekstil, yaitu bahan perkuatan tanah yang terbuat dari serat sintetis berbentuk lembaran-lembaran, yang disusun secara berlapis-lapis untuk menahan tekanan tanah pada lereng.

  3. Membuat counterweight.

  4. Grouting, yaitu metode untuk meningkatkan stabilitas dan daya dukung tanah lereng dengan cara menginjeksikan bahan grouting (semen) sehingga semen tersebut mengisi pori-pori tanah.

2.9 Turap ( Sheetpile )

  Dinding turap (sheet pile) adalah dinding vertikal relatif tipis yang berfungsi kecuali menahan tanah juga berfungsi untuk menahan masuknya air ke dalam lubang galian. Karena pemasangan yang mudah dan biaya pelaksanaan yang relatif murah, turap banyak digunakan pada pekerjaan-pekerjaan, seperti: penahan tebing galian sementara, bangunan-bangunan di pelabuhan, dinding penahan tanah, bendungan elak dan lain-lain. Dinding turap tidak cocok untuk menahan tanah timbunan yang sangat tinggi karena akan memerlukan luas tampang bahan turap yang besar. Selain itu, dinding turap juga tidak cocok digunakan pada bahan tanah yang mengandung banyak batuan-batuan, karena menyulitkan pemancangan.

2.9.1 Tipe-tipe Turap

  Tipe turap dapat dibedakan menurut bahan yang digunakan. Bahan turap tersebut bermacam-macm, contohnya: kayu, beton bertulang, dan baja.

2.9.1.1Turap Kayu

  Turap kayu digunakan untuk dinding penahan tanah yang tidak begitu tinggi, karena tidak kuat menahan beban-beban lateral yang besar. Turap ini tidak cocok digunakan pada tanah berkerikil, karena turap cenderung pecah bila dipancang. Bila turap kayu digunakan untuk bangunan permanen yang berada di atas muka air, maka perlu diberikan lapisan pelindung agar tidak mudah lapuk. Turap kayu banyak digunakan pada pekerjaan-pekerjaan sementara, misalnya untuk penahan tebing galian.

Gambar 2.5 Turap kayu

2.9.1.2 Turap Beton

  Turap beton merupakan balok balok beton yang telah dicetak sebelum dipasang dengan bentuk tertentu. Balok-balok turap dibuat saling mengkait satu sama lain. Masing-masing balok, selain dirancang kuat menahan beban-beban yang bekerja pada turap, juga terhadap beban-beban yang akan bekerja pada waktu pengangkatannya. Ujung bawah turap biasanya dibentuk meruncing untuk memudahkan pemancangan.

  Turap beton

  

Gambar 2.6

2.9.1.3 Turap Baja

  Biasa digunakan pada bangunan permanen. Konstruksi dinding turap ini lebih ringan, lebih mudah pelaksanaannya, dapat digunakan berulang-ulang, mempunyai keawetan yang tinggi, serta hasilnya lebih baik. Sedangkan kerugiannya adalah adanya tenggang waktu pemesanan serta adanya bahan korosi.

  Bahan korosi pada konstruksi ini dapat dicegah dengan memberikan catodic protection .

  Variasi kontruksi baja sangat tergantung pada pabrik pembuatan. Beberapa variasi antara lain: Variasi di daerah eropa seperti Laarsen, Krupp dan De Wendell DPF.

  • Variasi di daerah Amerika seperti DP type dan ZP type
  • Variasi turap baja

  Gambar 2.7 Biasanya pada setiap pabrik akan disediakan bentuk penampang tipe-tipe di bawah ini: Tipe penampang U (U type sections)

  • Tipe penampang Z (Z type sections)
  • Tipe penampang F (F type sections)
  • Tipe penampang kotak/boks (Box type sections)
  • Tipe penampang straight web
  • Tipe penampang tabung pipa (Pipa type sections)
  • Jika tidak berdasarkan faktor ekonomi ataupun keterpaksaan pengadaan jenis bahan, maka pada pemakaian konstruksi dinding turap (sheet pile) dianjurkan untuk memilih konstruksi baja dengan alasan:
    • Lebih tahan driving stresses misalnya pemancangan pada tanah dengan lapisan tanah keras atau batuan
    • Lebih tipis penampangnya
    • Bisa digunakan berulang-ulang
    • Panjang turap bisa ditambah atau dikurangi dengan mudah
    • Bisa digunakan baik di bawah atau di atas air
    • Penyambungan yang mudah memungkinkan untuk mendapatkan dinding yang menerus dan lurus pada waktu pemancangan.

2.9.2 Pengertian angka keamanan (safety factor) dan perlunya perancangan dinding turap

  

  Pengertian angka keamanan (safety factor)

  Pengertian angka keamanan pada dinding turap selama ini tidaklah begitu jelas. Sebagai contoh dari suatu perhitungan diperoleh suatu harga dalamnya pemancangan. Bila dalam pelaksanaan diperdalam 30% dari dalam pemancangan semula, belum berarti didapat angka keamanan 1,3. Karena belum tentu angka keamanan dari struktur yang baru ini sama dengan 1,3.

  Selama ini anggapan angka keamanan (safety factor) untuk sheet pile berdasarkan cara konvensional yaitu dengan memperpanjang dalamnya pemancangan. Misalnya didapat dalamnya pemancangan adalah ‘D’ dari dredge line kemudian untuk mendapatkan safety factor, harga ‘D’ tersebut dikalikan dengan suatu angka tertentu. Atau dengan cara membagi harga koefisien pasif (Kp) dan kohesi (c) dengan suatu angka keamanan tertentu.

  Anggapan yang disebutkan pertama tidak benar. Seperti yang diterangkan di depan, yang diperlukan sebetulnya menghitung kembali gaya-gaya yang bekerja sesuai dengan anggapan pertama. Dari hasil perhitungan ini akan diperoleh angka keamanan yang sebenarnya. Sedangkan anggapan kedua, pada umumnya memberikan angka keamanan yang cukup memadai.

  Lebih dianjurkan untuk menghitung pertambahan dalamnya pemancangan yang diabaikan oleh kriteria-kriteria antara lain sebagai berikut: Bertambahnya gaya horizontal yang disebabkan oleh karena naiknya harga - berat isi tanah atau adanya pembebanan.

  Menurunnya dredge line akibat pelaksanaan misalnya pada perhitungan - cara perletakan sendi (Free Earth Method).

  

  Lingkup Perancangan dinding turap

  Perencanaan dinding turap mencakup:

  1. Penentuan karakteristik dari dinding turap (sheet pile) dengan mengetahui:

  Panjang dinding turap yang diperlukan untuk konstruksi statistik. - Panjang yang ada di pasaran 27 meter, sedangkan jika dipesan di pabrik dapat mencapai 37 meter.

  Profil sheet pile terutama yang mudah di pasaran. - Karakteristik mekanik dari baja yang dapat digunakan, komposisi - kimia, dan harga limit elastiknya.

  2. Penentuan sistem jangkar (anchor) yaitu dengan menentukan: Daerah penjangkaran, kemiringan dan luas penampang tali jangkar - Panjang tali jangkar yang menjamin stabilitas bersama turap -

  • Sistem penjangkaran, dapat berupa jangkar pasif, jangkar aktif, dan lain-lain

  3. Dan kemungkinan penentuan stabilitas lebih umum, yaitu stabilitas terhadap gelincir, bersama-sama dalam satu sistem dari dinding turap dan tali jangkar.

2.9.3 Tipe-tipe dinding turap

  Terdapat 4 tipe dinding turap, yaitu: 1. Dinding turap kantilever.

  2. Dinding turap diangker

  3. Dinding turap dengan landasan/panggung (platform) yang didukung tiang- tiang

  4. Bendungan elak seluler (cellular cofferdam)

  2.9.3.1 Dinding Turap kantilever

  Dinding turap kantilever (Gambar 2.8) merupakan turap yang dalam menahan beban lateral mengandalkan tahanan tanah di depan dinding. Turap kantilever adalah dinding penahan tanah yang tidak menggunakan jangkar. Defleksi lateral yang terjadi relatif lebih besar pada pemakaian turap kantilever. Karena luas tampang bahan turap yang dibutuhkan bertambah besar dengan ketinggian tanah yang ditahan (akibat momen lentur yang timbul), turap kantilever hanya cocok untuk menahan tanah dengan ketinggian sedang.

  Dinding turap kantilever

  Gambar 2.8

  2.9.3.2 Dinding Turap diangker

  Dinding turap diangker cocok untuk menahan tebing galian yang dalam, tetapi masih juga bergantung pada kondisi tanah (Gambar 2.9). Dinding turap ini menahan beban lateral dengan mengandalkan tahanan tanah pada bagian turap yang terpancang ke dalam tanah dengan dibantu oleh angker yang dipasang pada bagian atasnya. Kedalaman turap menembus tanah bergantung pada besarnya tekanan tanah. Untuk dinding turap yang tinggi, diperlukan turap baja dengan kekuatan tinggi. Stabilitas dan tegangan-tegangan pada turap yang diangker bergantung pada banyak faktor, misalnya: kekuatan relatif bahan turap, kedalaman penetrasi turap, kemudah-mampatan tanah, kuat geser tanah, keluluhan angker dan lainnya.

  Dinding turap diangker

  Gambar 2.9

2.9.3.3 Dinding Turap dengan Landasan (Platform)

  Dinding turap semacam ini dalam menahan tekanan tanah lateral dibantu oleh tiang-tiang, dimana di atas tiang-tiang tersebut dibuat landasan untuk meletakkan bangunan tertentu (Gambar 2.10). Tiang-tiang pendukung landasan juga berfungsi untuk mengurangi beban lateral pada turap. Dinding turap ini dibuat bila di dekat lokasi dinding turap direncanakan akan dibangun jalan kereta api, mesin derek, atau bangunan-bangunan berat lainnya.

  Dinding turap dengan landasan yang didukung tiang-tiang

  Gambar 2.10

2.9.3.4 Bendungan Elak Seluler

  Bendungan elak seluler (cellular cofferdam) merupakan turap yang berbentuk sel-sel yang diisi dengan pasir (Gambar 2.11). Dinding ini menahan tekanan tanah dengan mengandalkan beratnya sendiri.

Gambar 2.11 Bendungan elak selular

2.10 Geogrid

  Geogrid adalah salah satu jenis material Geosintetik (Geosynthetic) yang mempunyai bukaan yang cukup besar, dan kekuatan badan yang lebih baik dibanding Geotextile. Istilah Geosintetik berasal dari kata geo, yang berarti bumi atau dalam dunia teknik sipil diartikan sebagai tanah pada umumnya, dan kata

  synthetic yang berarti bahan buatan, dalam hal ini adalah bahan polimer.

  Geogrid adalah perkuatan sistem anyaman. Geogrid berupa lembaran berongga dari bahan polymer. Pada umumnya sistem serat tikar banyak digunakan untuk memperkuat badan timbunan pada jalan, lereng atau tanggul dan dinding tegak. Mekanisme kekuatan perkuatan dapat meningkatkan kuat geser. Material dasar Geogrid bisa berupa: Polyphropylene, Polyethilene, dan Polyesther atau material polymer yang lain.

Gambar 2.12 Jenis-jenis Geosintetik

2.10.1 Jenis Geogrid

  Geogrid dapat dibedakan berdasarkan arah penarikannya yaitu:

2.10.1.1 Geogrid Uni-Axial

  Uni-axial Geogrid adalah lembaran massif dengan celah yang memanjang dengan bahan dasar HDPE (high density polyethelene), banyak digunakan di Indonesia untuk perkuatan tanah pada dinding penahan tanah untuk memperbaiki lereng yang longsor dengan menggunakan tanah setempat/bekas longsoran.

  Material ini memiliki kuat tarik 40 kN/m hingga 190 kN/m. Geogrid jenis ini biasanya dipakai untuk perkuatan dinding penahan tanah dan perbaikan lereng yang longsor.

  Geogrid Uni-Axial berfungsi sebagai material perkuatan pada sistem konstruksi dinding penahan tanah (retaining wall) dan perkuatan lereng (slope ).

  reinforcement

Gambar 2.13 Geogrid Uni-Axial

2.10.1.2 Geogrid Bi-Axial

  Bi-axial Geogrid dari bahan dasar polypropylene (PP) dan banyak digunakan di Indonesia sebagai bahan untuk meningkatkan tanah dasar lunak (CBR << 1%). Bi-axial Geogrid adalah lembaran berbentuk lubang bujursangkar dimana dengan struktur lubang bujursangkar ini partikel tanah timbunan akan saling terkunci dan kuat geser tanah akan naik dengan mekanisme penguncian ini. Kuat tarik bervariasi antara 20 kN/m – 40 kN/m. Keunggulan Geogrid Bi-Axial ini antara lain:

  Kuat tarik yang bervariasi

   Kuat tarik tinggi pada regangan yang kecil

   Tahan terhadap sinar ultraviolet

   Tahan terhadap reaksi kimia tanah vulkanik dan tropis

   Tahan hingga 120 tahun 

  Geogrid Bi-Axial berfungsi sebagai stabilitas tanah dasar. Seperti pada tanah dasar lunak (soft clay maupun tanah gambut). Metode kerjanya adalah interlocking, artinya mengunci agregat yang ada di atas Geogrid sehingga lapisan agregat tersebut lebih kaku, dan mudah dilakukan pemadatan.

Gambar 2.14 Geogrid Bi-Axial

2.10.1.3 Geogrid Triax

  Fungsinya sama dengan Biaxial sebagai material stabilisasi dasar lunak, hanya saja performance nya lebih baik. Hal ini disebabkan bentuk bukaan segitiga lebih kaku sehingga penyebaran beban menjadi lebih merata.