Analisis Stabilitas Lereng Menggunakan Perkuatan Double Sheetpile dan Geogrid dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga (studi kasus : Ruas Jalan Siantar – Parapat KM 152)

(1)

1

ANALISIS STABILITAS LERENG MENGGUNAKAN

PERKUATAN DOUBLE SHEET PILE DAN GEOGRID

DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA

(Studi Kasus Jalan Siantar – Parapat Km.152)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh :

ARAN GREGORIUS SIMARMATA

08 0404 095

BIDANG STUDI GEOTEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

ABSTRAK

Stabilitas lereng sangat erat kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Semakin besar sudut lereng semakin besar pula daya dorong disebabkan meningkatkan tegangan geser berbanding terbalik dengan tegangan normal berupa kekuatan penahan. Analisis stabilitas lereng mempunyai peran yang sangat penting pada perencanaan konstruksi-konstruksi sipil. Kondisi tanah asli yang tidak selalu sesuai dengan perencanaan yang diinginkan misalnya lereng yang terlalu curam diperlukan pemotongan bukit atau kondisi lain yang membutuhkan timbunan dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan analisis stabilitas lereng yang lebih akurat agar diperoleh konstruksi lereng yang mantap (sesuai dengan syarat keamanan). Pada kasus ini kondisi Jalan Parapat KM 152 mengalami kelongsoran hingga badan jalan.

Adapun tujuan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai

safety factor (angka keamanan) dari perkuatan lereng dengan berbagai kondisi yaitu kondisi awal sebelum perkuatan, kondisi pada pengerjaan di lapangan yaitu perkuatan dengan menggunakan double sheet pile dan geogrid, kondisi dengan perkuatan alternatif I dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan

conterweight, dan kondisi dengan perkuatan alternatif II dengan menggunakan double sheet pile geogrid dan conterweight. Keempat kondisi ini dibandingkan dengan menggunakan Metode Elemen Hingga (Plaxis 8.2).

Dari hasil perhitungan didapatkan nilai safety factor pada kondisi awal adalah sebesar 0,78. Nilai safety factor pada perkuatan dengan menggunakan

double sheet pile dan geogrid adalah sebesar 1,09. Nilai safety factor dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan conterweight adalah sebesar 1,23.Nilai safety factor dengan menggunakan double sheet pile, geogrid dan

conterweight adalah sebesar 1,43. Perhitungan safety factor teraman adalah dengan penambahan beban conterweight dibelakang sheet pile sehingga didapatkan kelongsoran yang kecil.

Kata Kunci : stabilitas lereng, safety factor, double sheet pile, geogrid, conterweight, metode elemen hingga


(3)

3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini yang merupakan syarat utama yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana Teknik dari Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Analisis Stabilitas Lereng Menggunakan Perkuatan Double Sheetpile dan Geogrid dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga (studi kasus : Ruas Jalan Siantar – Parapat KM 152)”

Penulis menyadari bahwa selesainya tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak baik moril maupun materil. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ir. Syahrizal, MT selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto MSCE, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan yang tiada hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. 4. Bapak Ir. Rudi Iskandar, MT., dan Ibu Ika Puji Hastuti, ST, MT., selaku dosen

pembanding dan penguji Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Departemen Teknik Sipil yang telah membimbing dan memberikan pengajaran kepada penulis selama menempuh masa studi di kampus tercinta ini.

6. Kedua Orang Tua saya tercinta, A. Simarmata dan M. Sinambela, yang selalu memberi dukungan dan kasih sayangnya serta doa yang selalu menyertai penulis. Buat kakak dan adik yang saya sayangi Dr. Evita Goretti Simarmata, Sesilia Gloria Simarmata,ST., dan Gita Angela Simarmata, saya ucapkan terima kasih kepada kalian atas dorongan dan doanya.

7. Semua teman-teman stambuk 2008, yang selalu menemani disaat susah dan senang khususnya ipar Andry Gunawan L. Gaol, pahoppu Yusry Marihot Siagian, pal David Pramono Silalahi, parna Dhoni Dalimunthe, lae Saur Purba, Lae Danny Siagian, Dewi, Ardi. Dan juga teman - teman yang yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih.

8. Abang abang stambuk 2005 yang tiada hentinya memperhatikan dan memberikan motivasi, bg Ganda, bg Tonggo, bg Berlin, bg Gea, bg Ronal, bg Christian, bg Ucok, bg Kengkeng dan abang abang lainnya. Terima kasih bg. 9. Teman teman SMA saya khususnya Tejokers, Rudolfo, Bastian, Igor, Puji,

Albert, Andi, Voky.

10.Adik-adik saya Maestoso Colia, Tam Saka, Ari Pinem, Ambon, Defrin, Ilham, Triboy, Mien, Mudek, Sormin, Jeriko, Piter terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah kalian berikan.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan tugas akhir ini.


(5)

5

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat meningkatkan kemampuan menulis pada masa akan datang.

Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi yang membacanya.

Medan, Juli 2014

Aran Gregorius Simarmata 08 0404 095


(6)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... v

Daftar Gambar ... ix

Daftar Tabel ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Umum ... 1

1.2Tujuan ... 2

1.3Pembatasan Masalah ... 3

1.4Sistematika Penulisan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1Tinjauan Umum ... 5

2.2Parameter Tanah ... 5

2.2.1Klasifikasi Tanah dari Data Sondir ... 7

2.2.2BeratIsi……… ... 9


(7)

7

2.2.4Poisson Ratio ... 12

2.2.5Sudut Geser Dalam ... 12

2.2.6Kohesi ... 13

2.3Kekuatan Geser Tanah ……… ... 13

2.4Kriteria Umum Tanah Timbunan ……… ... 14

2.5Pemadatan Tanah Timbunan ……… ... 16

2.6Tekanan Tanah Lateral ……… ... 16

2.6.1 Tekanan Tanah dalam Keadaan Diam (At-Rest) ... 16

2.6.2 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif menurut Rankine ... 18

2.6.2.1 Kondisi Aktif ... 19

2.6.2.2 Kondisi Pasif ... 20

2.7Stabilitas Lereng ... 21

2.7.1 Upaya Stabilisasi Lereng... 22

2.7.2 Klasifikasi Tanah Longsor ... 24

2.7.3 Perhitungan Faktor Keamanan Lereng... 25

2.8Faktor Penyebab Kelongsoran ... 28

2.8.1 Pengaruh Geologi ... 28

2.8.2 Pengaruh Topografi ... 29

2.8.3 Pengaruh Proses Cuaca ... 30

2.8.4 Pengaruh Air dalam Tanah ... 30


(8)

2.9.1 Tipe-tipe Turap... 33

2.9.1.1 Turap Kayu ... 33

2.9.1.2 Turap Beton ... 34

2.9.1.3 Turap Baja ... 34

2.9.2 Pengertian Angka Keamanan (Safety Factor) dan Perlunya Perancangan Dinding Turap……… ... 37

2.9.3 Tipe-tipe Dinding Turap ... 39

2.9.3.1 Dinding Turap Kantilever ... 39

2.9.3.2 Dinding Turap Diangker ... 40

2.9.3.3 Dinding Turap dengan Landasan (Plafform) ... 41

2.9.3.4 Bendungan Elak Seluler ... 42

2.10Geogrid ... 42

2.10.1 Jenis Geogrid ... 43

2.10.1.1 Geogrid Uni-Axial ... 43

2.10.1.2 Geogrid Bi-Axial ... 44

2.10.1.3 Geogrid Triax ... 45

2.10.2 Keuntungan dari Penggunaan Geogrid ... 46

2.10.3Kekurangan Pemakaian Geogrid ... 47

2.10.4 Metode / Cara Pemasangan Geotekstil ... 47

2.11Plaxis………. 48

2.11.1 Metode Elemen Hingga ... 48

2.11.1.1 Elemen untuk Analisa Dua Dimensi……… ... 49

2.11.1.2 Interpolasi Displacement…………. ………… ... 50


(9)

9

2.11.1.4 Matrix Kekakuan Elemen……… ... 51

2.11.1.5 Matrix Kekakuan Global…………..………… ... 52

2.11.1.6 Analisa Elastis Dua Dimensi………... 53

2.11.2 Input ... 53

2.11.3 Calculation ... 64

2.11.4 Output ... 67

BAB III METODE PENELITIAN ... 68

3.1Umum ... 68

3.2Data Umum ... 68

3.3Data Primer ... 69

3.4Data Sekunder ... 73

3.5Data Teknis Geogrid, Sheet Pile ... 75

3.6Metode Analisis ... 75

3.7Metode Perencanaan Menggunakan Metode Elemen Hingga ... 76

3.8Denah Lokasi dan Potongan Melintang Pemasangan Proyek ... 84

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 85

4.1Kondisi Awal Lereng (Kondisi I) ... 85

4.2Kondisi Lereng dengan Pengerjaan di Lapangan (Kondisi II)…... 89

4.3Analisis dengan Perkuatan Alternatif I (Kondisi III) ……... 96


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 111 5.1Kesimpulan ... 111 5.2Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

11 DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

2.1 Hubungan antar fase tanah 6

2.2 Distribusi tekanan tanah dalam keadaan diam (at rest) pada

Dinding penahan 18

2.3 Grafik hubungan pergerakan dinding penahan dan tekanan tanah 19 2.4 Grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut

kemiringan lereng 28

2.5 Turap kayu 33

2.6 Turap beton 33

2.7 Variasi turap baja 35

2.8 Dinding turap kantilever 39

2.9 Dinding turap diangker 40

2.10 Dinding turap dengan landasan yang didukung tiang-tiang 41

2.11 Bendungan elak selular 42

2.12 Jenis-jenis geosintetik 43

2.13 Geogrid Uni-Axial 44

2.14 Geogrid Bi-Axial 45

2.15 Geogrid Triax 46

2.16 Contoh jaring-jaring dari elemen hingga 49

2.17 Elemen-elemen triangular dan lagrange 49


(12)

2.19 Analisa tegangan bidang 53

2.20 Dialog box create/open project 54

2.21 Tab sheet project dari windows general setting 54 2.22 Tab sheet dimensions dari windows general setting 56 2.23 Tab sheet general dari windows soil and interfaces data sets 58

2.24 Tab sheet parameters 60

2.25 Tab shee interfaces 60

2.26 Tampilan setelah geometry model, standard fixities dan

material setting 61

2.27 Bentuk mesh dari potongan melintang model 62

2.28 harga KO-procedure 63

2.29 Effective stress 64

2.30 Tahap perhitungan 66

2.31 Titik yang ditinjau 67

3.1 Peta lokasi proyek 74

3.2 Bagan alir penelitian 83

3.3 Potongan melintang pemasangan geogrid dan sheet pile 84

4.1 Model penampang asli lereng. 86

4.2 Tahapan perhitungan dengan Plaxis 2D 87

4.3 Kondisi displacement asli lereng 87

4.4 Perhitungan safety factor asli lereng 88 4.5 Potongan melintang tipikal perkuatan standar 89 4.6 Tahapan perhitungan dengan Plaxis 2D 92 4.7 Kondisi displacement dengan perkuatan standar 92


(13)

13

4.8 Kondisi strain pada lereng dengan perkuatan standar 93

4.9 Displacement pada sheet pile 1 dan 2 94

4.10 Safety factor dengan perkuatan standar 95

4.11 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 96

4.12 Data parameter tanah counterweight 97

4.13 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 98

4.14 Pembentukan mesh 99

4.15 Kondisi air tanah model 99

4.16 Effective stresses 100

4.17 Perhitungan Plaxis 2D 100

4.18 Total Displacement 101

4.19 Shear strains 101

4.20 Displacement pada sheet pile 102

4.21 Safety factor perkuatan alternative 103

4.22 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 104 4.23 Potongan melintang tipikal perkuatan alternatif 105

4.24 Pembentukan mesh 105

4.25 Kondisi air tanah model 106

4.26 Effective stresses 106

4.27 Perhitungan plaxis 2D 107

4.28 Total displacement 107

4.29 Shear strains 108

4.30 Displacement pada sheetpile 1 dan 2 109


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

2.1 Korelasi berbagai jenis parameter tanah 7

2.2 Klasifikasi tanah dari data sondir 8

2.3 Hubungan antara konsistensi dengan nilai tekanan konus

pada sondir 8

2.4 Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc, dan ø

(Mayerhof,1965) 9

2.5 Korelasi empiris antara nilai N-SPT dengan unconfined compressive strength dengan berat jenis tanah jenuh (γsat )

untuk tanah kohesif 9

2.6 Korelasi berat jenis tanah (γ) untuk tanah non kohesif dan kohesif 10 2.7 Korelasi berat jenis tanah jenuh (γsat) untuk tanah non kohesif 10 2.8 Nilai perkiraan modulus elastisitas tanah (Bowles, 1997) 11 2.9 Nilai perkiraan angka poisson tanah (Bowles, 1997) 12 2.10 Hubungan antara sudut geser dalam dengan jenis tanah 13 2.11 Nilai faktor keamanan untuk perencanaan lereng

(Sosrodarsono, 2003) 26

3.1 Data Tanah 70

3.2 Data geogrid yang dipakai 70

3.3 Parameter Geogrid 71


(15)

15

3.5 Parameter sheet pile 72

4.1 Klasifikasi jenis tanah 86

4.2 Data parameter sheet pile 90

4.3 Data parameter Geogrid dan Geotextile 91


(16)

ABSTRAK

Stabilitas lereng sangat erat kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Semakin besar sudut lereng semakin besar pula daya dorong disebabkan meningkatkan tegangan geser berbanding terbalik dengan tegangan normal berupa kekuatan penahan. Analisis stabilitas lereng mempunyai peran yang sangat penting pada perencanaan konstruksi-konstruksi sipil. Kondisi tanah asli yang tidak selalu sesuai dengan perencanaan yang diinginkan misalnya lereng yang terlalu curam diperlukan pemotongan bukit atau kondisi lain yang membutuhkan timbunan dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan analisis stabilitas lereng yang lebih akurat agar diperoleh konstruksi lereng yang mantap (sesuai dengan syarat keamanan). Pada kasus ini kondisi Jalan Parapat KM 152 mengalami kelongsoran hingga badan jalan.

Adapun tujuan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui perbandingan nilai

safety factor (angka keamanan) dari perkuatan lereng dengan berbagai kondisi yaitu kondisi awal sebelum perkuatan, kondisi pada pengerjaan di lapangan yaitu perkuatan dengan menggunakan double sheet pile dan geogrid, kondisi dengan perkuatan alternatif I dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan

conterweight, dan kondisi dengan perkuatan alternatif II dengan menggunakan double sheet pile geogrid dan conterweight. Keempat kondisi ini dibandingkan dengan menggunakan Metode Elemen Hingga (Plaxis 8.2).

Dari hasil perhitungan didapatkan nilai safety factor pada kondisi awal adalah sebesar 0,78. Nilai safety factor pada perkuatan dengan menggunakan

double sheet pile dan geogrid adalah sebesar 1,09. Nilai safety factor dengan menggunakan single sheet pile, geogrid dan conterweight adalah sebesar 1,23.Nilai safety factor dengan menggunakan double sheet pile, geogrid dan

conterweight adalah sebesar 1,43. Perhitungan safety factor teraman adalah dengan penambahan beban conterweight dibelakang sheet pile sehingga didapatkan kelongsoran yang kecil.

Kata Kunci : stabilitas lereng, safety factor, double sheet pile, geogrid, conterweight, metode elemen hingga


(17)

16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Umum

Lereng adalah kenampakan permukaan alam yang memiliki beda tinggi. Apabila beda tinggi dua tempat tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar, akan diperoleh besarnya kelerengan (slope). Bentuk lereng tergantung pada proses erosi gerakan tanah dan pelapukan. Lereng memiliki parameter topografi yang terbagi dalam dua bagian, yaitu kemiringan lereng dan beda tinggi relief. Stabilitas lereng sangat erat kaitannya dengan longsor atau gerakan tanah yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tanah ini terjadi karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai keseimbangan baru. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu menahan berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada permukaan lereng dan berkurangnya daya ikat antara butiran tanah relief. Beberapa parameter penting sebagai pemicu tanah longsor antara lain adalah kemiringan lereng. Semakin besar sudut lereng semakin besar pula daya dorong disebabkan meningkatnya tegangan geser berbanding terbalik dengan tegangan normal berupa kekuatan penahan. Selain itu adanya beban dinamis juga akan berpengaruh terhadap besarnya sudut kemiringan tersebut. Di daerah yang mempunyai pengaruh beban dinamis yang tinggi, maka sudut kemiringan lerengnya harus lebih kecil jika dibandingkan dengan daerah yang pengaruh beban dinamisnya rendah. Beban dinamis dapat berupa gempa maupun kegiatan manusia (lalu lintas kendaraan).


(18)

Perbedaan elevasi tersebut pada kondisi tertentu yang menimbulkan kelongsoran lereng dibutuhkan suatu analisis stabilitas lereng. Analisis stabilitas lereng mempunyai peran yang sangat penting pada perencanaan konstruksi-konstruksi sipil. Kondisi tanah asli yang tidak selalu sesuai dengan perencanaan yang diinginkan misalnya lereng yang terlalu curam sehingga dilakukan pemotongan bukit atau kondisi lain yang membutuhkan timbunan dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan analisis stabilitas lereng yang lebih akurat agar diperoleh konstruksi lereng yang mantap (sesuai dengan syarat keamanan).

Pada kasus ini kondisi jalan Parapat KM 152 mengalami kelongsoran hingga badan jalan. Pada skripsi metode yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan penimbunan lereng yang dilindungi dengan geogrid. Penyekatan bidang longsor dilakukan dengan menggunakan double sheet pile, yaitu pada badan lereng dan kaki timbunan.

1.2 Tujuan

1. Analisis stabilitas lereng pada kondisi awal sebelum menggunakan perkuatan geogrid dan sheet pile dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga.

2. Analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan double sheet pile dan perkuatan geogrid dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga. 3. Analisis stabilitas lereng dengan perkuatan alternatif menggunakan single sheet pile, perkuatan geogrid dan perkuatan counterweight dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga.


(19)

18

4. Analisis stabilitas lereng dengan perkuatan alternatif menggunakan double sheet pile, perkuatan geogrid dan perkuatan counterweight dengan menggunakan program Metode Elemen Hingga.

1.3 Pembatasan Masalah

Pada penulisan tugas akhir, ruang lingkup dari pembahasan yang akan dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Memilih lokasi penyelidikan tanah yang dianalisis yaitu ruas jalan lintas Siantar – Parapat Km. 152+750.

2. Menggunakan parameter tanah yang sudah didapat pada data soil investigation di lokasi tersebut.

3. Beban berjalan yang digunakan adalah sebesar 10 KN/m dan berjarak 2 meter dari ujung lereng.

4. Tidak menganalisa pengerjaan geogrid secara perhitungan analisis manual. 5. Tidak memperhitungkan kelongsoran dalam pada lokasi.

6. Lereng dianggap telah selesai diperbaiki yaitu pada kondisi II yaitu dengan menggunakan double sheet pile dan geogrid sepanjang 8 m.

7. Metode yang dilakukan untuk menganalisa stabilitas lereng menggunakan metode elemen hingga (PLAXIS 8.2)


(20)

1.4 Sistematika Penulisan

Rancangan sistematika penulisan secara keseluruhan pada tugas akhir ini terdiri dari 5 (lima) bab, uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, tujuan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini mencakup teori dasar, rumus dan segala sesuatu yang berhubungan dengan topik yang dibahas.

Bab III : Metode Penelitian

Menguraikan hasil analisis dari metode yang dipergunakan dan perhitungan-perhitungan yang terkait untuk pekerjaan penyelidikan tanah.

Bab IV : Analisis dan Pembahasan

Bab ini menampilkan analisis stabilitas lereng awal sebelum perkuatan, analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan double sheet pile dan geogrid, analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan alternatif menggunakan single sheet pile, geogrid, dan counterweight, dan analisis stabilitas lereng menggunakan perkuatan alternatif menggunakan double sheet pile, geogrid, dan counterweight dengan menggunakan metode elemen hingga program Plaxis versi 8.2

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menampilkan rangkuman dari pembahasan dan memberikan kesimpulan dari studi kasus pada laporan Tugas Akhir ini.


(21)

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran), beberapa mineral-mineral padat yang tidak tersedimentasi (terikat secara kimia) satu sama lain dari bahan-bahan organik yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut. Salah satu kegunaan tanah adalah sebagai pendukung struktur bangunan atas sehingga tanah harus tetap stabil dan tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan kerusakan konstruksi. Istilah penurunan menunjukkan tenggelamnya suatu bangunan akibat kompresi dan deformasi lapisan tanah di bawah bangunan.

Karena rumitnya sifat-sifat mekanik tanah maka penurunan struktur hanya dapat diperkirakan dengan hasil analisis tanah tersebut, sehingga perlu diketahui sifat-sifat dasar tanah seperti komposisi tanah, permeabilitas tanah, dan daya dukungnya serta penyebab lainnya.

2.2 Parameter Tanah

Dalam mendesain bangunan geoteknik, diperlukan data tanah yang dapat menunjukkan kondisi tanah di lapangan. Data yang diperlukan dapat berupa data pengujian di laboratorium dan data hasil pengujian di lapangan. Pengambilan sampel tanah dan pengujian laboratorium tidak dilakukan pada seluruh lokasi melainkan di tempat-tempat yang memungkinkan dianggap mewakili lokasi sebenarnya.


(22)

Kelengkapan data dalam penyelidikan lapangan, menentukan akurasi dalam perencanaan, tetapi tidak semua data dapat diperoleh dengan lengkap. Hal terkait dengan masalah biaya pengambilan sampel atau kendala non teknis yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, perencana harus dapat mengambil asumsi yang dapat dipertanggung jawabkan dengan nilai kesalahan yang minimal. Asumsi tersebut diperoleh dari korelasi empiris yang telah dilakukan oleh ahli-ahli geoteknik yang mengacu pada pamahaman mekanika tanah yang baik.

Secara umum elemen tanah mempunyai 3 (tiga) fase, yaitu butiran padat, air dan udara. Pemahaman mengenai komposisi tanah diperlukan untuk mengambil keputusan dalam memperoleh parameter tanah. Berdasarkan ketiga fase tersebut, diperoleh hubungan antara volume dengan berat seperti terlihat pada Gambar 2.1.


(23)

22

Hubungan volume yang umum digunakan untuk suatu elemen tanah adalah angka pori (void ratio), porositas (porosity), derajat kejenuhan (degree of saturation), sedangkan untuk hubungan berat digunakan istilah kadar air (water content), dan berat volume (unit weight). Hubungan-hubungan tersebut dapat dikembangkan sehingga dapat digunakan parameter tanah yang digunakan dalam perhitungan desain (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Korelasi berbagai jenis parameter tanah

2.2.1 Klasifikasi Tanah dari Data Sondir

Data tekanan conus ( qc ) dan hambatan pelekat ( fs ) yang didapatkan dari hasil pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2:


(24)

Tabel 2.2 Klasifikasi tanah dari data sondir

Hubungan antara konsistensi terhadap tekanan conus dan undrained cohesion adalah sebanding dimana semakin tinggi nilai c dan qc maka semakin keras tanah tersebut. Seperti yang terlihat dalam Tabel 2.3:

Tabel 2.3 Hubungan antara konsistensi dengan nilai tekanan konus pada sondir

Konsistensi Tanah

Tekanan Konus qc (kg/cm2)

Undrained Cohesion (T/m2) Very Soft Soft Medium Stiff Stiff Very Stiff Hard < 2,50 2,50 – 5,0 5,0 – 10,0 10,0 – 20,0 20,0 – 40,0

>40,0

< 1,25 1,25 – 2,50

2,50 – 5,0 5,0 – 10,0 10,0 – 20,0

>20,0

Begitu pula hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N SPT, qc dan Ø adalah sebanding. Hal ini dapat dilihat dalam pada Tabel 2.4:


(25)

24 Tabel 2.4 Hubungan antara kepadatan, relative density, nilai N, qc, dan ø

(Mayerhoff, 1965) Kepadatan Relatif Density (γd) Nilai N SPT Tekanan Konus qc

(kg/cm2)

Sudut Geser (ø o) Very Loose (sangat lepas)

Loose (lepas)

Medium Dense (agak kompak) Dense (kompak)

Very Dense (sangat kompak)

<0,2 0,2 – 0,4 0.4 – 0,6 0,6 – 0,8 0,8 – 1,0

<4 4 – 10 10 – 30 30 – 50

>50

<20 20 – 40 40,0 – 120

120 – 200 >200

<30 30 – 35 35 – 40 40 – 45

>45

2.2.2 Berat isi (γsat dan γunsat)

Berat volume atau berat isi (γ) merupakan berat tanah persatuan volume,

jadi: (V) Volume (W) Berat γ=

Tabel 2.5 Korelasi empiris antara nilai N-SPT dengan unconfined compressive strength dengan berat jenis tanah jenuh (γsat) untuk tanah kohesif.

N-SPT

Blows/ft Konsistensi

qu

(Unconfined Compressive Stength) (tons/ft2)

γsat

kN/m3

< 2 Very Soft < 0.25 16 - 19

2 – 4 Soft 0.25 – 0.50 16 - 19

4 – 8 Medium 0.50 – 1.00 17 - 20

8 – 15 Stiff 1.00 – 2.00 19 - 22

15 – 30 Very Stiff 2.00 – 4.00 19 - 22

> 30 Hard > 4.00 19 - 22

Korelasi untuk menentukan berat jenis tanah (γ) dan berat jenis tanah jenuh (γsat) pada tanah kohesif dan non kohesif dapat dilihat pada tabel 2.6 dan tabel 2.7.


(26)

Tabel 2.6 Korelasi berat jenis tanah (γ) untuk tanah non kohesif dan kohesif.

Cohesionless Soil

N 0 - 10 11 - 30 31 – 50 > 50

Unit Weight

γ, kN/m3 12 -16 14 - 18 16 - 20 18 - 23

Angle of

Friction, φ 25 - 32 28- 36 30 - 40 > 35

State Loose Medium Dense Very Dense

Cohesive

N > 4 4 - 6 6 – 15 16 - 25 > 25

Unit Weight

γ, kN/m3 14 -18 16 - 18 16 - 18 16 - 20 > 20 qu, kPa < 25 20 - 50 30 - 60 40 - 200 > 100

State Very Soft Soft medium Stiff Hard

(Soil Mechanics, William T., Whitman, Robert V., 1962)

Tabel 2.7 Korelasi berat jenis tanah jenuh (γsat) untuk tanah non kohesif.

Desciption Very Loose Loose Medium Dense Very Dense

N-SPT

Fine 1 - 2 3 - 6 7 - 15 16 - 30

Medium 2 - 3 4 - 7 8 - 20 21 - 40 > 40

Coarse 3 - 6 5 – 9 10 - 25 16 - 45 > 45

Angle of friction φ

Fine 26 - 28 28 - 30 30 - 34 33 - 38

Medium 27 - 28 30 - 32 32 - 36 36 - 42 > 50

Coarse 28 - 30 30 - 34 33 - 34 40 - 50


(27)

26 2.2.3 Modulus Young

Nilai modulus young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai ini bisa didapatkan dari Traxial Test.

Dengan menggunakan data sondir, booring dan grafik triaksial dapat digunakan untuk mencari besarnya nilai elastisitas tanah. Nilai yang dibutuhkan adalah nilai qc atau cone resistance. Yaitu dengan menggunakan rumus :

E = 2.qc kg/cm²

E = 3.qc ( untuk pasir )

E = 2. sampai 8. qc ( untuk lempung )

Nilai yang dibutuhkan adalah nilai N. Modulus elastisitas didekati dengan menggunakan rumus :

E = 6 ( N + 5 ) k/ft² ( untuk pasir berlempung ) E = 10 ( N + 15 ) k/ft² ( untuk pasir )

Tabel 2.8 Nilai Perkiraan Modulus Elastisitas Tanah (Bowles, 1997)

Macam Tanah E (Kg/cm2)

Lempung Sangat Lunak Lunak Sedang Berpasir Pasir Berlanau Tidak Padat Padat

Pasir Dan Kerikil Padat

Tidak Padat

Lanau Loess Cadas

3 - 30 20 - 40 45 - 90 300 - 425

50 - 200 100 - 250 500 - 1000 800 - 2000 500 - 1400 20 - 200 150 - 600 1400 - 14000


(28)

2.2.4 Poisson Ratio

Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap regangan pemuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasar jenis tanah seperti yang terlihat pada Tabel 2.9 di bawah ini.

Tabel 2.9 Nilai Perkiraan Angka Poisson Tanah (Bowles, 1997)

Macam Tanah v (angka poisson tanah)

Lempung Jenuh Lempung Tak Jenuh

Lempung Berpasir Lanau Pasir Padat Pasir Kasar Pasir Halus Batu Loess

0,40 – 0,50 0,10 – 0,30 0,20 – 0,30 0,30 – 0,35 0,20 – 0,40

0,15 0,25 0,10 – 0,40 0,10 – 0,30

2.2.5 Sudut Geser Dalam

Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser dalam. Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan tanah akibat tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga didapatkan dari pengukuran engineering properties tanah dengan Direct ShearTest. Hubungan antara sudut geser dalam dan jenis tanah ditunjukkan pada Tabel 2.10:

Tabel 2.10 Hubungan antara sudut geser dalam dengan jenis tanah Jenis Tanah Sudut Geser Dalam (

ø

)

Kerikil kepasiran 35̊ - 40̊

Kerikil kerakal 35̊ - 40̊

Pasir padat 35̊ - 40̊

Pasir lepas 30̊

Lempung kelanauan 25̊ – 30̊


(29)

28 2.2.6 Kohesi

Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan sudut geser dalam, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah. Deformasi ini terjadi akibat kombinasi keadaan kritis pada tegangan normal dan tegangan geser yang tidak sesuai dengan faktor aman dari yang direncanakan. Nilai ini didapat dari pengujian Direct Shear Test. Nilai kohesi secara empiris dapat ditentukan dari data sondir (qc) yaitu sebagai berikut: Kohesi ( c ) = qc/20

2.3 Kekuatan Geser Tanah

Kekuatan geser tanah diperlukan untuk menghitung daya dukung tanah (bearing capacity), tegangan tanah terhadap dinding penahan (earth pressure) dan kestabilan lereng. Kekuatan geser tanah dalam tugas akhir ini pada ruas jalan P. Siantar – Parapat Km. 152+750 menggunakan analisa Direct Shear Test.

Kekuatan geser tanah terdiri dari dua parameter, yaitu:

1. Bagian yang bersifat kohesi c yang tergantung dari macam

2. Bagian yang mempunyai sifat gesekan / frictional yang sebanding dengan

tegangan efektif (σ) yang bekerja pada bidang geser.

Kekuatan geser tanah dapat dihitung dengan rumus:

S = c + (σ

– u) tan

ø

Dimana :

S = Kekuatan geser


(30)

u = Tegangan air pori c = kohesi

ø = Sudut geser

2.4 Kriteria Umum tanah Timbunan

Sebelum melakukan desain, terlebih dahulu kita harus mengetahui

nilai-nilai berat volume (γ), kohesi (c), sudut geser dalam tanah (ø) yang digunakan dalam hitungan tekanan tanah lateral. Nilai-nilai c dan ø dapat ditentukan dari uji geser dan tes triaksial. Tipe-tipe tanah timbunan tanah untuk dinding penahan tanah menurut Terzaghi dan Peck (1948) adalah :

1) Tanah berbutir kasar, tanpa campuran partikel halus, sangat lolos air (pasir bersih atau kerikil).

2) Tanah berbutir kasar dengan permeabilitas rendah karena tercampur oleh partikel lanau.

3) Tanah residu (residual soil) dengan batu-batu, pasir berlanau halus dan material berbutir dengan kandungan lempung yang cukup besar.

4) Lempung lunak atau sangat lunak, lanau organik, atau lempung berlanau. 5) Lempung kaku atau sedang yang diletakkan dalam bongkahan-bongkahan

dan dicegah terhadap masuknya air hujan kedalam sela-sela bongkahan tersebut saat hujan atau banjir. Jika kondisi ini tidak dapat dipenuhi, maka lempung sebaiknya tidak dipakai untuk tanah timbunan. Dengan bertambahnya kekakuan tanah lempung maka bertambah pula bahaya ketidakstabilan dinding penahan akibat infitrasi air yang bertambah dengan cepat.


(31)

30

Hal pertama yang dilakukan saat mendesain dinding penahan tanah adalah menggunakan salah satu dari lima material di atas. Contoh 1 sampai 3 mempunyai sudut geser dalam tanah dengan permeabilitas sedang, ditentukan dengan uji triaksial drained, karena angka pori-pori tanah ini dapat menyesuaikan sendiri selama melaksanakan pekerjaan. Penyesuaian butiran sering dengan berjalannya waktu, akan mengurangi angka pori dan meningkatkan kuat geser dalam tanah. Untuk perhitungan, kohesi untuk tanah timbunan jenis 1-3 sebaiknya diabaikan.

Untuk jenis 4 dan 5, nilai c dan ø ditentukan dari pengujian triaksial

undrained. Pengujian dilakukan pada contoh tanah dengan kepadatan dan kadar air yang diusahakan sama seperti yang diharapkan terjadi di lapangan, pada waktu tanah timbunan selesai diletakkan. Penggunaan tanah timbunan berupa tanah lempung sebaiknya dihindari sebab tanah ini dapat berubah kondisinya sewaktu pekerjaan telah selesai.

2.5 Pemadatan Tanah Timbunan

Proses pemadatan tanah timbunan harus dilakukan lapis per lapis. Untuk menghindari kerusakan pada dinding penahan tanah dan tekanan tanah lateral yang berlebihan, digunakan alat pemadat yang ringan. Sebab pemadatan yang berlebihan dengan alat yang berat, akan menimbulkan tekanan tanah lateral yang bahkan beberapa kali lebih besar dari pada tekanan yang ditimbulkan oleh tanah pasir yang tidak padat. Jika memakai tanah lempung sebagai tanah timbunan maka diperlukan pengontrolan yang sangat ketat. Bahkan walaupun timbunan berubah tanah berbutir dengan penurunan yang kecil dan dapat ditoleransikan, tanah timbunan harus dipadatkan lapis per lapis dengan ketebalan maksimum 22,5 cm. Pekerjaan pemadatan sebaiknya tidak membentuk permukaan miring, karena


(32)

akan menyebabkan pemisahan lapisan dan akan berdampak pada keruntuhan potensial. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan dengan permukaan tanah horizontal.

2.6 Tekanan Tanah Lateral

Analisa tekanan tanah lateral digunakan untuk perencanaan dinding penahan tanah. Tekanan tanah lateral adalah gaya yang ditimbulkan oleh akibat dorongan tanah di belakang struktur penahan tanah. Besarnya tekanan lateral sangat dipengaruhi oleh perubahan letak (displacement) dari dinding penahan dan sifat-sifat tanahnya.

2.6.1 Tekanan Tanah dalam Keadaan Diam (At-Rest)

Suatu elemen tanah yang terletak pada kedalaman tertentu akan terkena tekanan arah vertikal (σv) dan tekanan arah horizontal (σh). σv dan σh masing -masing merupakan tekanan aktif dan tekanan total, sementara itu tegangan geser pada bidang tegak dan bidang datar diabaikan. Bila dinding penahan tanah dalam keadaan diam, yaitu bila dinding tidak bergerak ke salah satu arah baik ke kanan atau ke kiri dari posisi awal, maka masa tanah berada dalam keadaan keseimbangan elastis (elastic equilibrium). Rasio tekanan arah horizontal dan tekanan arah vertical dinamakan “koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam

(coefficient of earth pressure at rest)”. Ko”, atau

σv = berat jenis x kedalaman


(33)

32 σh = ko (γz)

Untuk tanah berbutir, koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam diperkenalkan oleh jaky(1994) :

k0 = 1 – sin θ

Broker dan Jreland (1965) memperkenalkan harga Ko untuk lempung yang terkonsolidasi normal (normally consolidated) :

k0 = 0,95 – sin θ

Untuk tanah lempung terkonsolidasi normal (normally consolidated), Alpan (1967) telah memperkenalkan persamaan empiris lain:

k0 = 0.19 + 0.233 log (PI)

Dimana : PI = Indeks Plastis untuk tanah lempung yang terkonsolodasi lebih (overconsolidated) :

k0(over consolidated) = k0(normaly consolidated)

Dimana : OCR = overconsolidation ratio

Maka gaya total per satuan lebar dinding (P0) seperti yang terlihat pada

Gambar 2.2 adalah sama dengan luas dari diagram tekanan tanah yang bersangkutan


(34)

Gambar 2.2 Distribusi tekanan tanah dalam keadaan diam (at rest) pada dinding penahan

2.6.2 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif Menurut Rankine

Keseimbangan plastis (plastic equilibrium) di dalam tanah adalah suatu keadaan yang menyebabkan tiap-tiap titik di dalam massa tanah menuju proses ke suatu keadaan runtuh. Rankine (1857) menyelidiki keadaan tegangan di dalam tanah yang berada pada kondisi keseimbangan plastis.


(35)

34 2.6.2.1 Kondisi Aktif

Tegangan-tegangan utama arah vertikal dan horisontal (total dan efektif) pada elemen tanah di suatu kedalaman adalah berturut-turut σv dan σh. Apabila

dinding penahan tidak diijinkan bergerak sama sekali, maka σh= Ko.σv. Kondisi tegangan dalam elemen tanah tadi dapat diwakili oleh lingkaran berwarna kuning. Akan tetapi, bila dinding penahan tanah diijinkan bergerak menjauhi massa tanah di belakangnya secara perlahan – lahan, maka tegangan utama arah horizontal akan berkurang secara terus – menerus. Pada suatu kondisi yakni kondisi keseimbangan plastis, akan dicapai bila kondisi tegangan di dalam elemen tanah dapat diwakili oleh lingkaran berwarna merah dan kelonggaran di dalam tanah terjadi. Keadaan tersebut diatas dinamakan sebagai “kondisi aktif menurut Rankine” (Rankine’s Active State); tekanan (σh’) yang terlingkar berwarna biru merupakan “tekanan tanah aktif menurut Rankine” (Rankine’s Active Earth Pressure).

Untuk tanah yang tidak berkohesi (cohessionless soil), c = 0, maka koefisien tekanan aktifnya adalah :

Langkah yang sama dipakai untuk tanah yang berkohesi (cohesive soil), perbedaannya adalah c ≠ 0, maka tegangan utama arah horizontal untuk kondisi aktif adalah :


(36)

2.7.2.2 Kondisi Pasif

Keadaan tegangan awal pada suatu elemen tanah diwakili oleh lingkaran Mohr berwarna kuning. Apabila dinding penahan tanah didorong secara perlahan – lahan kearah masuk ke dalam massa tanah, maka tegangan utama σh akan bertambah secara terus – menerus. Akhirnya kita akan mendapatkan suatu keadaan yang menyebabkan kondisi tegangan tanah dapat diwakili oleh lingkaran Mohr berwarna merah. Pada keadaan ini, keruntuhan tanah akan terjadi, disebut kondisi pasif menurut Rankine (Rankine’s Passive state). Tegangan utama besar (major principal stress) (σh), dinamakan tekanan tanah pasif menurut Rankine (Rankine’s passive earth pressure)

Untuk tanah yang tidak berkohesi (cohesionless soil), c = 0, maka koefisien tekanan pasifnya adalah :

Langkah yang sama dipakai untuk tanah yang berkohesi (cohesive soil), perbedaannya adalah c ≠ 0, maka tegangan ut ama arah horizontal untuk kondisi pasif adalah :

2.7 Stabilitas Lereng

Sebuah permukaan tanah yang terbuka yang berdiri membentuk sudut tertentu terhadap horisontal disebut sebuah lereng tanpa perkuatan. Lereng dapat


(37)

36

terjadi secara ilmiah atau buatan manusia. Jika tanah tidak horisontal, suatu komponen gravitasi akan cenderung untuk menggerakkan tanah ke bawah. Jika komponen gravitasi cukup besar maka kegagalan lereng akan terjadi, yakni massa tanah dapat meluncur jatuh. Gaya yang meluncurkan mempengaruhi ketahanan dari kuat geser tanah sepanjang permukaan keruntuhan.

Seorang engineer sering diminta untuk membuat perhitungan untuk memeriksa keamanan dari lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan. Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang permukaan keruntuhan dan membedakannya dengan kekuatan geser tanah. Proses ini disebut analisa stabilitas lereng. Permukaan keruntuhan itu biasanya adalah permukaan kritis yang memiliki faktor keamanan minimum.

Analisa stabilitas lereng adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Evaluasi variabel - variabel seperti stratifikasi tanah dan parameter - parameter tanahnya bisa menjadi suatu pekerjaan yang berat. Rembesan pada lereng dan pemilihan suatu permukaan gelincir potensial menambah kompleksitas dari permasalahan ini.

Pengertian tanah longsor sebagai respon dari pada yang merupakan faktor utama dalam proses geomorfologi akan terjadi di mana saja di atas permukaan bumi, terutama permukaan relief pegunungan yang berlereng terjal, maupun permukaan lereng bawah laut. Tanah longsor didefinisikan sebagai tanah batuan atau tanah di atas lereng permukaan yang bergerak ke arah bawah lereng bumi disebabkan oleh gravitasi / gaya berat.

Di daerah yang beriklim tropis termasuk Indonesia, air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah yang memicu gerakan material yang ada di atas permukaan


(38)

lereng. Material berupa tanah atau campuran tanah dan rombakan batuan akan bergerak ke arah bawah lereng dengan cara air meresap kedalam celah pori batuan atau tanah, sehingga menambah beban material permukaan lereng dan menekan material tanah dan bongkah-bongkah perombakan batuan, selanjutnya memicu lepas dan bergeraknya material bersama-sama dengan air.

2.7.1 Upaya Stabilisasi Lereng

Ada beberapa upaya dalam pengendalian kelongsoran pada suatu lereng, diantaranya adalah :

1. Mengurangi beban di puncak lereng

• Pemangkasan lereng

• Pemotongan lereng atau cut biasanya digabungkan dengan pengisian pengurugan atau fill di kaki lereng.

2. Menambah beban di kaki lereng

• Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama).

• Membuat dinding penahan (bisa dilakukan dalam waktu yang relatif cepat berupa dinding penahan atau retaining wall).

• Membuat bronjong, yaitu batu-batu bentuk menyudut diikat dengan kawat dengan bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan dengan bentuk bulat.

3. Mencegah lereng jenuh dengan air tanah atau mengurangi kenaikan kadar air

• Membuat beberapa pengaliran air (dari bambu atau pipa paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng yang berguna supaya muka air


(39)

38

tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar sehingga muka air tanah turun.

• Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng (infiltrasi).

• Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off.

4. Mengendalikan air permukaan

• Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.

• Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.

2.7.2 Klasifikasi Tanah Longsor

Tanah longsor yang disesuaikan dengan dasar klasifikasi yang dipergunakan masing-masing ahli, berikut ini dijelaskan nama-nama kelas gerakan tanah yang umum dipakai (Ritter, 1986) :

1. Tanah Longsor tipe jatuhan (falls)

Tanah longsor tipe ini, material batuan atau tanah atau campuran kedua-duanya bergerak dengan cara jatuh bebas karena gaya beratnya sendiri. Proses tanah longsor semacam ini umumnya terjadi pada lereng terjal , bisa dalam bentuk


(40)

bongkah individual batuan berukuran besar atau dalam bentuk guguran fragmen bongkah bercampur dengan bongkah-bongkah yang berukuran lebih kecil.

2. Tanah Longsor tipe robohan (toples)

Gerakan massa tipe robohan hampir serupa dengan tanah longsor tipe

falls, pada tipe topples ini gerakannya dimulai dengan bagian paling atas dari

bongkah lepas dari batuan dari batuan induknya karena adanya cela retakan pemisah, bongkah terdorong kedepan hingga tidak dapat menahan bebannya sendiri

3. Tanah Longsor tipe gelincir (slides)

Tanah longsor tipe gelincir adalah tanah longsor batuan atau tanah atau campuran keduanya yang bergerak melalui bidang gelincir tertentu yang bertindak sebagai bidang diskontinuitas berupa bidang perlapisan batuan atau bidang patahan, bidang kekar, bidang batas pelapukan. Jika bidang-bidang diskontinuitas tersebut sejajar dengan bidang perlapisan, maka semakin besar peluang terjadinya tanah longsor.

2.7.3 Perhitungan Faktor Keamanan Lereng

Faktor Keamanan (FS) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode. Faktor Keamanan (FS) adalah nilai banding antara gaya yang menahan dan gaya yang menggerakkan. Data-data yang diperlukan dalam perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng adalah :

a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng.)

• Sudut kemiringan lereng


(41)

40

b. Data mekanika tanah

• Sudut geser dalam (Ø)

• Berat isi tanah (ɣ)

• Kohesi (c)

• Kadar air tanah (w)

Perumusan dalam perhitungan suatu faktor keamanan (FS) suatu lereng adalah :

Dimana : FS = Faktor Keamanan

= Tegangan geser rata-rata tanah

= Tegangan geser yang terjadi di sepanjang bidang runtuh

Sedangkan nilai dan dari adalah: dan

Sehingga diperoleh persamaan baru yakni :

Faktor keamanan yang diperhitungkan juga ditinjau dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ). Persamaan untuk mendapatkan nilai dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ) adalah :

dan


(42)

Maka

Faktor keamanan suatu lereng dapat dilihat dari Tabel 2.11 yang dibuat sesuai dengan besar kestabilan suatu lereng.

Tabel 2.11 Nilai Faktor Keamanan Untuk Perencanaan Lereng (Sosrodarsono , 2003)

Faktor Keamanan ( FS ) Keadaan Lereng

FS < 1,00 Lereng dalam kondisi tidak mantap (lereng labil) 1,00 < FS < 1,20 Lereng dalam kondisi kemantapan diragukan 1,30 < FS < 1,40 Lereng dalam kondisi memuaskan

1,50 < FS < 1,70 Lereng dalam kondisi mantap (lereng stabil)

Dalam perhitungan perhitungan nilai faktor keamanan suatu lereng dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan metode grafik. Menurut

Taylor (1937), perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan menghitung resultan gaya dari faktor keamanan kohesi ( ) dan faktor keamanan friksi ( ). Angka stabilitas (m) diperoleh dari plot antara nilai sudut geser dalam tanah dengan sudut kemiringan lereng yang ditinjau, atau dengan menggunakan rumusan berupa :

Dimana : m = angka stabilitas c = kohesi tanah (kg/cm²) ɣ = berat isi tanah (g/cm3) H = tinggi lereng (m)


(43)

42

Gambar 2.4 menunjukkan grafik hubungan antara angka stabilitas dengan sudut kemiringan lereng (Ø > 0).

Dengan menggunakan metode Taylor, Singh (1970) juga memberikan grafik untuk menentukan angka-angka keamanan (FS) untuk bermacam-macam kemiringan lereng. Grafik tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Grafik Hubungan antara Angka Stabilitas dengan Sudut Kemiringan Lereng, Ø > 0 (Taylor, 1937)


(44)

2.8 Faktor Penyebab Kelongsoran

Beberapa faktor-faktor penyebab kelongsoran antara lain dapat dipengaruhi oleh geologi, topografi, proses cuaca, perubahan struktur tanah dan pengaruh air dalam tanah.

2.8.1 Pengaruh Geologi

Proses geologi dalam pembentukan lapisan-lapisan kulit bumi dengan cara pengendapan sedimen ternyata memungkinkan terbentuknya sutau lapisan yang potensial mengalami kelongsoran. Sebagai contoh adalah pembentukan lapisan tanah sebagai berikut, sungai yang mengalirkan air ke laut membawa partikel-partikel halus yang jumlahnya tergantung dari volume dan kecepatan alirannya, kemudian partikel-partikel tersebut mengendap di dasar laut membentuk lapisan tanah, dimana penyebaran pengendapannya bisa merata atau tidak merata tergantung arus air laut. Karena pembentukan tiap lapisan terjadi maka dasar tiap lapisan adalah air, yang bisa dilihat sering sekali sebagai lapisan tipis pada zona pemisah antara lapisan lempung dan lanau kepasiran atau sebagai aliran laminer pada lapisan pasir yang lebih permeabel.

Dengan keadaan demikian bila banyak air memasuki lapisan pasir tipis sedangkan pengeluaran air sedikit sehingga keadaan lapisan menjadi jenuh, maka tekanan air akan bertambah dan tekanan air inilah yang akan menyebabkan kelongsoran. Berbeda bila air memasuki lapisan pasir tebal sehingga keadaan lapisan tidak sepenuhnya jenuh air, maka lapisan tersebut bahkan bisa menjadi drainase alamiah.


(45)

44 2.8.2 Pengaruh Topografi

Variasi bentuk permukaan bumi yang meliputi daerah pegunungan dan lembah dengan sudut kemiringan permukaannya yang cenderung besar, maupun daerah dataran rendah yang permukaannya cenderung datar, ternyata memiliki peranan penting dalam menentukan kestabilan. Daerah dengan kemiringan besar tentu lebih potensial mengalami kelongsoran dibanding daerah datar, sehingga kasus kelongsoran sering ditemukan di daerah perbukitan atau pegunungan, dan pada perbedaan galian atau timbunan yang memiliki sudut kemiringan lereng yang besar. Kestabilan lereng terganggu akibat lereng yang terlalu terjal, perlemahan pada kaki lereng dan tekanan yang berlebihan dari beban di kepala lereng. Hal tersebut terjadi karena erosi air pada kaki lereng dan kegiatan penimbunan atau pemotongan lereng yang dilakukan manusia.

2.8.3 Pengaruh Proses Cuaca

Perubahan temperatur, fluktuasi muka air tanah musiman, gaya gravitasi dan relaksasi tegangan sejajar permukaan ditambah dengan proses oksidasi dan dekomposisi akan mengakibatkan suatu lapisan tanah kohesif yang secara lambat laun tereduksi kekuatan gesernya terutama nilai kohesi (c) dan sudut geser dalamnya (ø).

Pada tanah non kohesif misalnya lapisan pasir, bila terjadi getaran gempa, mesin atau sumber getaran lainnya akan mengakibatkan lapisan tanah tersebut ikut bergetar sehingga pori-pori lapisan akan terisi oleh air atau udara yang akan meningkatkan tekanan dalam pori. Tekanan pori yang meningkat dengan spontan


(46)

dan sangat besar ini akan menyebabkan terjadinya likuifikasi atau pencairan lapisan pasir sehingga kekuatan gesernya hilang.

2.8.4 Pengaruh Air Dalam Tanah

Keberadaan air dapat dikatakan sebagai faktor dominan penyebab terjadinya kelongsoran, karena hampir sebagian besar kasus kelongsoran melibatkan air didalamnya.

 Tekanan air pori memiliki nilai besar sebagai tenaga pendorong terjadinya kelongsoran, semakin besar tekanan air semakin tenaga pendorong.

 Penyerapan maupun konsentrasi air dalam lapisan tanah kohesif dapat melunakkan lapisan tanah tersebut yang pada akhirnya mereduksi nilai kohesi dan sudut geser dalam sehingga kekuatan gesernya berkurang.  Aliran air dapat menyebabkan erosi yaitu pengikisan lapisan oleh aliran

air, sehingga keseimbangan lereng menjadi terganggu.

Dalam menganalisa stabilitas lereng harus ditentukan terlebih dahulu faktor keamanan (FK) dari lereng tersebut. Secara umum faktor keamanan didefenisikan sebagai perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak longsoran.

Suatu lereng dikatakan stabil apabila memiliki faktor keamanan (FK) lebih dari 1,3. Untuk meningkatkan stabiitas lereng ada beberapa cara yang dapat dilaksanakan diantaranya :


(47)

46

1. Memperkecil gaya penggerak / momen penggerak.

Gaya dan momen penggerak dapat diperkecil hanya dengan merubah bentuk lereng, yaitu dengan membuat lereng lebih datar dengan cara mengurangi sudut kemiringan dan memperkecil ketinggian lereng.

2. Memperbesar gaya penahan / momen penahan.

Untuk memperbesar gaya penahan dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa metode perkuatan tanah, diantaranya dinding penahan tanah, box culvert, abutmen jembatan.

Untuk memilih jenis dinding penahan tanah yang akan digunakan hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain : sifat tanah, kondisi lokasi, dan metode pelaksanaan. Beberapa jenis dinding penahan antara lain :

1. Dengan memancangkan tiang-tiang pancang pada permukaan lereng yang labil. Tiang tersebut dapat berupa sheet pile berbahan beton concrete ataupun baja, cerucuk dari rel bekas, angkur, pancang beton, dan kayu. 2. Dengan menggunakan geotekstil, yaitu bahan perkuatan tanah yang terbuat

dari serat sintetis berbentuk lembaran-lembaran, yang disusun secara berlapis-lapis untuk menahan tekanan tanah pada lereng.

3. Membuat counterweight.

4. Grouting, yaitu metode untuk meningkatkan stabilitas dan daya dukung tanah lereng dengan cara menginjeksikan bahan grouting (semen) sehingga semen tersebut mengisi pori-pori tanah.


(48)

2.9 Turap ( Sheetpile )

Dinding turap (sheet pile) adalah dinding vertikal relatif tipis yang berfungsi kecuali menahan tanah juga berfungsi untuk menahan masuknya air ke dalam lubang galian. Karena pemasangan yang mudah dan biaya pelaksanaan yang relatif murah, turap banyak digunakan pada pekerjaan-pekerjaan, seperti: penahan tebing galian sementara, bangunan-bangunan di pelabuhan, dinding penahan tanah, bendungan elak dan lain-lain. Dinding turap tidak cocok untuk menahan tanah timbunan yang sangat tinggi karena akan memerlukan luas tampang bahan turap yang besar. Selain itu, dinding turap juga tidak cocok digunakan pada bahan tanah yang mengandung banyak batuan-batuan, karena menyulitkan pemancangan.

2.9.1 Tipe-tipe Turap

Tipe turap dapat dibedakan menurut bahan yang digunakan. Bahan turap tersebut bermacam-macm, contohnya: kayu, beton bertulang, dan baja.

2.9.1.1Turap Kayu

Turap kayu digunakan untuk dinding penahan tanah yang tidak begitu tinggi, karena tidak kuat menahan beban-beban lateral yang besar. Turap ini tidak cocok digunakan pada tanah berkerikil, karena turap cenderung pecah bila dipancang. Bila turap kayu digunakan untuk bangunan permanen yang berada di atas muka air, maka perlu diberikan lapisan pelindung agar tidak mudah lapuk. Turap kayu banyak digunakan pada pekerjaan-pekerjaan sementara, misalnya untuk penahan tebing galian.


(49)

48 Gambar 2.5 Turap kayu

2.9.1.2 Turap Beton

Turap beton merupakan balok balok beton yang telah dicetak sebelum dipasang dengan bentuk tertentu. Balok-balok turap dibuat saling mengkait satu sama lain. Masing-masing balok, selain dirancang kuat menahan beban-beban yang bekerja pada turap, juga terhadap beban-beban yang akan bekerja pada waktu pengangkatannya. Ujung bawah turap biasanya dibentuk meruncing untuk memudahkan pemancangan.


(50)

2.9.1.3 Turap Baja

Biasa digunakan pada bangunan permanen. Konstruksi dinding turap ini lebih ringan, lebih mudah pelaksanaannya, dapat digunakan berulang-ulang, mempunyai keawetan yang tinggi, serta hasilnya lebih baik. Sedangkan kerugiannya adalah adanya tenggang waktu pemesanan serta adanya bahan korosi. Bahan korosi pada konstruksi ini dapat dicegah dengan memberikan catodic protection.

Variasi kontruksi baja sangat tergantung pada pabrik pembuatan. Beberapa variasi antara lain:

- Variasi di daerah eropa seperti Laarsen, Krupp dan De Wendell DPF. - Variasi di daerah Amerika seperti DP type dan ZP type


(51)

50

Biasanya pada setiap pabrik akan disediakan bentuk penampang tipe-tipe di bawah ini:

- Tipe penampang U (U type sections) - Tipe penampang Z (Z type sections) - Tipe penampang F (F type sections)

- Tipe penampang kotak/boks (Box type sections) - Tipe penampang straight web

- Tipe penampang tabung pipa (Pipa type sections)

Jika tidak berdasarkan faktor ekonomi ataupun keterpaksaan pengadaan jenis bahan, maka pada pemakaian konstruksi dinding turap (sheet pile) dianjurkan untuk memilih konstruksi baja dengan alasan:

• Lebih tahan driving stresses misalnya pemancangan pada tanah dengan lapisan tanah keras atau batuan

• Lebih tipis penampangnya

• Bisa digunakan berulang-ulang

• Panjang turap bisa ditambah atau dikurangi dengan mudah

• Bisa digunakan baik di bawah atau di atas air

• Penyambungan yang mudah memungkinkan untuk mendapatkan dinding yang menerus dan lurus pada waktu pemancangan.

2.9.2 Pengertian angka keamanan (safety factor) dan perlunya perancangan dinding turap

Pengertian angka keamanan (safety factor)

Pengertian angka keamanan pada dinding turap selama ini tidaklah begitu jelas. Sebagai contoh dari suatu perhitungan diperoleh suatu harga dalamnya


(52)

pemancangan. Bila dalam pelaksanaan diperdalam 30% dari dalam pemancangan semula, belum berarti didapat angka keamanan 1,3. Karena belum tentu angka keamanan dari struktur yang baru ini sama dengan 1,3.

Selama ini anggapan angka keamanan (safety factor) untuk sheet pile

berdasarkan cara konvensional yaitu dengan memperpanjang dalamnya pemancangan. Misalnya didapat dalamnya pemancangan adalah ‘D’ dari dredge line kemudian untuk mendapatkan safety factor, harga ‘D’ tersebut dikalikan dengan suatu angka tertentu. Atau dengan cara membagi harga koefisien pasif (Kp) dan kohesi (c) dengan suatu angka keamanan tertentu.

Anggapan yang disebutkan pertama tidak benar. Seperti yang diterangkan di depan, yang diperlukan sebetulnya menghitung kembali gaya-gaya yang bekerja sesuai dengan anggapan pertama. Dari hasil perhitungan ini akan diperoleh angka keamanan yang sebenarnya. Sedangkan anggapan kedua, pada umumnya memberikan angka keamanan yang cukup memadai.

Lebih dianjurkan untuk menghitung pertambahan dalamnya pemancangan yang diabaikan oleh kriteria-kriteria antara lain sebagai berikut:

- Bertambahnya gaya horizontal yang disebabkan oleh karena naiknya harga berat isi tanah atau adanya pembebanan.

- Menurunnya dredge line akibat pelaksanaan misalnya pada perhitungan cara perletakan sendi (Free Earth Method).

Lingkup Perancangan dinding turap Perencanaan dinding turap mencakup:


(53)

52

- Panjang dinding turap yang diperlukan untuk konstruksi statistik. Panjang yang ada di pasaran 27 meter, sedangkan jika dipesan di pabrik dapat mencapai 37 meter.

- Profil sheet pile terutama yang mudah di pasaran.

- Karakteristik mekanik dari baja yang dapat digunakan, komposisi kimia, dan harga limit elastiknya.

2. Penentuan sistem jangkar (anchor) yaitu dengan menentukan:

- Daerah penjangkaran, kemiringan dan luas penampang tali jangkar - Panjang tali jangkar yang menjamin stabilitas bersama turap

- Sistem penjangkaran, dapat berupa jangkar pasif, jangkar aktif, dan lain-lain

3. Dan kemungkinan penentuan stabilitas lebih umum, yaitu stabilitas terhadap gelincir, bersama-sama dalam satu sistem dari dinding turap dan tali jangkar.

2.9.3 Tipe-tipe dinding turap

Terdapat 4 tipe dinding turap, yaitu: 1. Dinding turap kantilever.

2. Dinding turap diangker

3. Dinding turap dengan landasan/panggung (platform) yang didukung tiang-tiang


(54)

2.9.3.1 Dinding Turap kantilever

Dinding turap kantilever (Gambar 2.8) merupakan turap yang dalam menahan beban lateral mengandalkan tahanan tanah di depan dinding. Turap kantilever adalah dinding penahan tanah yang tidak menggunakan jangkar. Defleksi lateral yang terjadi relatif lebih besar pada pemakaian turap kantilever. Karena luas tampang bahan turap yang dibutuhkan bertambah besar dengan ketinggian tanah yang ditahan (akibat momen lentur yang timbul), turap kantilever hanya cocok untuk menahan tanah dengan ketinggian sedang.

Gambar 2.8 Dinding turap kantilever

2.9.3.2 Dinding Turap diangker

Dinding turap diangker cocok untuk menahan tebing galian yang dalam, tetapi masih juga bergantung pada kondisi tanah (Gambar 2.9). Dinding turap ini menahan beban lateral dengan mengandalkan tahanan tanah pada bagian turap yang terpancang ke dalam tanah dengan dibantu oleh angker yang dipasang pada bagian atasnya. Kedalaman turap menembus tanah bergantung pada besarnya tekanan tanah. Untuk dinding turap yang tinggi, diperlukan turap baja dengan


(55)

54

kekuatan tinggi. Stabilitas dan tegangan-tegangan pada turap yang diangker bergantung pada banyak faktor, misalnya: kekuatan relatif bahan turap, kedalaman penetrasi turap, kemudah-mampatan tanah, kuat geser tanah, keluluhan angker dan lainnya.

Gambar 2.9 Dinding turap diangker

2.9.3.3 Dinding Turap dengan Landasan (Platform)

Dinding turap semacam ini dalam menahan tekanan tanah lateral dibantu oleh tiang-tiang, dimana di atas tiang-tiang tersebut dibuat landasan untuk meletakkan bangunan tertentu (Gambar 2.10). Tiang-tiang pendukung landasan


(56)

juga berfungsi untuk mengurangi beban lateral pada turap. Dinding turap ini dibuat bila di dekat lokasi dinding turap direncanakan akan dibangun jalan kereta api, mesin derek, atau bangunan-bangunan berat lainnya.

Gambar 2.10 Dinding turap dengan landasan yang didukung tiang-tiang

2.9.3.4 Bendungan Elak Seluler

Bendungan elak seluler (cellular cofferdam) merupakan turap yang berbentuk sel-sel yang diisi dengan pasir (Gambar 2.11). Dinding ini menahan tekanan tanah dengan mengandalkan beratnya sendiri.


(57)

56 Gambar 2.11 Bendungan elak selular

2.10 Geogrid

Geogrid adalah salah satu jenis material Geosintetik (Geosynthetic) yang mempunyai bukaan yang cukup besar, dan kekuatan badan yang lebih baik dibanding Geotextile. Istilah Geosintetik berasal dari kata geo, yang berarti bumi atau dalam dunia teknik sipil diartikan sebagai tanah pada umumnya, dan kata

synthetic yang berarti bahan buatan, dalam hal ini adalah bahan polimer.

Geogrid adalah perkuatan sistem anyaman. Geogrid berupa lembaran berongga dari bahan polymer. Pada umumnya sistem serat tikar banyak digunakan untuk memperkuat badan timbunan pada jalan, lereng atau tanggul dan dinding tegak. Mekanisme kekuatan perkuatan dapat meningkatkan kuat geser. Material


(58)

dasar Geogrid bisa berupa: Polyphropylene, Polyethilene, dan Polyesther atau material polymer yang lain.

Gambar 2.12 Jenis-jenis Geosintetik

2.10.1 Jenis Geogrid

Geogrid dapat dibedakan berdasarkan arah penarikannya yaitu: 2.10.1.1 Geogrid Uni-Axial

Uni-axial Geogrid adalah lembaran massif dengan celah yang memanjang dengan bahan dasar HDPE (high density polyethelene), banyak digunakan di Indonesia untuk perkuatan tanah pada dinding penahan tanah untuk memperbaiki lereng yang longsor dengan menggunakan tanah setempat/bekas longsoran. Material ini memiliki kuat tarik 40 kN/m hingga 190 kN/m. Geogrid jenis ini biasanya dipakai untuk perkuatan dinding penahan tanah dan perbaikan lereng yang longsor.

Geogrid Uni-Axial berfungsi sebagai material perkuatan pada sistem konstruksi dinding penahan tanah (retaining wall) dan perkuatan lereng (slope reinforcement).


(59)

58 Gambar 2.13 Geogrid Uni-Axial

2.10.1.2 Geogrid Bi-Axial

Bi-axial Geogrid dari bahan dasar polypropylene (PP) dan banyak digunakan di Indonesia sebagai bahan untuk meningkatkan tanah dasar lunak (CBR << 1%). Bi-axial Geogrid adalah lembaran berbentuk lubang bujursangkar dimana dengan struktur lubang bujursangkar ini partikel tanah timbunan akan saling terkunci dan kuat geser tanah akan naik dengan mekanisme penguncian ini. Kuat tarik bervariasi antara 20 kN/m – 40 kN/m. Keunggulan Geogrid Bi-Axial ini antara lain:

 Kuat tarik yang bervariasi

 Kuat tarik tinggi pada regangan yang kecil  Tahan terhadap sinar ultraviolet

 Tahan terhadap reaksi kimia tanah vulkanik dan tropis  Tahan hingga 120 tahun


(60)

Geogrid Bi-Axial berfungsi sebagai stabilitas tanah dasar. Seperti pada tanah dasar lunak (soft clay maupun tanah gambut). Metode kerjanya adalah interlocking, artinya mengunci agregat yang ada di atas Geogrid sehingga lapisan agregat tersebut lebih kaku, dan mudah dilakukan pemadatan.

Gambar 2.14 Geogrid Bi-Axial

2.10.1.3 Geogrid Triax

Fungsinya sama dengan Biaxial sebagai material stabilisasi dasar lunak, hanya saja performance nya lebih baik. Hal ini disebabkan bentuk bukaan segitiga lebih kaku sehingga penyebaran beban menjadi lebih merata.


(61)

60 Gambar 2.15 Geogrid Triax

2.10.2 Keuntungan dari Penggunaan Geogrid

Beberapa keuntungan-keuntungan atau kelebihan dari penggunaan Geogrid antara lain:

 Kekuatan tarik yang tinggi,  Pelaksanaan yang cepat,

 Memungkinkan penggunaan material setempat,

 Pemasangan yang mudah dan dapat membangun lebih tinggi dan tegak,  Tambahan PVC sebagai pelindung terhadap ultraviolet,

 Pemasangan dan harga geogrid yang murah dibandingkan beton,

 Merupakan struktur yang fleksibel sehingga tahan terhadap gaya gempa,  Tidak mempunyai resiko yang besar jika terjadi deformasi struktur


(62)

 Tipe elemen penutup lapisan luar dinding penahan dapat dibuat dalam bentuk yang bermacam-macam, sehingga memungkinkan untuk menciptakan permukaan dinding yang mempunyai nilai estetika.

 Biasanya perbaikan tanah dengan perkuatan dilakukan secara horisontal artinya digelar karena lebih mudah pelaksanaannya ketimbang arah tegak vertikal. Perkuatan horizontal dapat menerima beban tekan dari permukaan atau tarik dari arah horizontal. Sedangkan perbaikan tanah arah vertikal lebih utama menerima beban vertikal dari permukaannya tanpa mampu menerima beban horizontal.

2.10.3 Kekurangan Pemakaian Geogrid

Geogrid tanpa PVC akan mengalami penurunan tingkat kemampuan penahan gaya tarik. Karena bahan Geogrid sangat peka terhadap naik turunnya temperatur udara, dimana pemuaian akan sangat mudah terjadi terhadap bahan geogrid pada saat mendapatkan temperatur tinggi. Pemuaian akan membuat geogrid atas, dan akhirnya akan mengurangi kuat tarik.

Selain itu, geotekstil juga mempunyai kelemahan, yaitu sinar ultraviolet, karena bahan geosintetik akan mengalami degradasi yang cepat di bawah terik sinar matahari.

2.10.4 Metode / Cara Pemasangan Geotekstil

1. Geotekstil harus digelar di atas tanah dalam keadaan terhampar tanpa gelombang atau kerutan.


(63)

62

2. Sambungan geotekstil tiap lembarannya dipasang overlapping terhadap lembaran berikutnya.

3. Pada daerah pemasangan yang berbetuk kurva (misalnya tikungan jalan), geotekstil dipasang mengikuti arah kurva.

4. Jangan membuat overlapping atau jahitan pada daerah yang searah dengan beban roda (beban lalu-lintas).

5. Jika geotekstil dipasang untuk terkena langsung sinar matahari maka digunakan geotekstil yang berwarna hitam.

2.11 Plaxis

2.11.1 Metode Elemen Hingga

Metode elemen hingga adalah prosedur perhitungan yang dipakai untuk mendapatkan pendekatan dari permasalahan matematis yang sering muncul pada rekayasa teknik. Inti dari metode tersebut adalah membuat persamaan matematis dengan berbagai pendekatan dan rangkaian persamaan aljabar yang melibatkan nilai - nilai pada titik – titik diskrit pada bagian yang dievaluasi. Persamaan metode elemen hingga dibuat dan dicari solusinya dengan sebaik mungkin untuk menghindari kesalahan pada hasil akhirnya.

Jaring (mesh) terdiri dari elemen - elemen yang dihubungkan oleh node.

Node merupakan titik - titik pada jaring di mana nilai dari variabel primernya dihitung. Misal untuk analisa displacement, nilai variabel primernya adalah nilai dari displacement. Nilai - nilai nodal displacement diinterpolasikan pada elemen agar didapatkan persamaan aljabar untuk displacement, dan regangan, melalui jaring - jaring yang terbentuk.


(64)

Gambar 2.16 Contoh jaring – jaring dari elemen hingga

2.11.1.1Elemen untuk Analisa Dua Dimensi

Analisa dua dimensi pada umumnya merupakan analisa yang menggunakan elemen triangular atau quadrilatelar ( Gambar 2.17 ). Bentuk umum dari elemen – elemen tersebut berdasarkan pada pendekatan Iso-Parametric di mana fungsi interpolasi polynomial dipakai untuk menunjukkan

displacement pada elemen.


(65)

64 2.11.1.2 Interpolasi Displacement

Nilai - nilai nodal displacement pada solusi elemen hingga dianggap sebagal primary unknown. Nilai ini merupakan nilai displacement pada nodes. Untuk mendapatkan nilai - nilai tersebut harus menginterpolasikan fungsi - fungsi yang biasanya merupakan polynomial.

Gambar 2.18 Elemen dan six-noded triangular

Anggap sebuah elemen seperti pada Gambar 2.18 U dan V adalah

Displacement pada sebuah titik di elemen pada arah x dan y. Displacement ini didapatkan dengan menginterpolasikan displacement pada nodes dengan menggunakan persamaan polynomial :

U(x,y) = a0 + a1x + a2y2 + a3x2 + a4xy + a5y2 V(x,y) = b0 + b1x + b2y + b3x2 + b4xy + b5y2

Konstanta a1, a2, …, a5 dan b1, b2, …, b5 tergantung pada nilai nodal displacement. Jika jumlah nodes yang menjabarkan elemen bertambah maka fungsiinterpolasi untuk polynomial yang juga akan bertambah.


(66)

2.11.1.3 Regangan

Regangan pada elemen dapat diturunkan dengan memakai definisi standar. Sebagai contoh untuk six-node triangle :

ε = ∂u / ∂x = a1 + 2a3x + a4y ε = ∂v / ∂y = b2 + b4x + 2b5y

ε = (∂u / ∂y) + (∂v / ∂x) = (b1+ a2) (a4 + 2b3)x + (2a5x + b4)y

Persamaan yang menghubungkan regangan dengan nodal displacement ditulis dalam bentuk persamaan matrix :

ε = B. Ue

Vektor regangan ε dan vektor nodal displacement masing – masing dihubungkan dengan Ue :

2.11.1.4 Matrix Kekakuan Elemen

Gaya pada tanah yang diaplikasikan pada elemen dianggap sebagai gaya yang bekerja pada nodes. Vektor nodal forces Pe ditulis :


(67)

66 Nodal forces yang bekerja pada titik i di arah x dan y adalah Pix dan Piy, dan dihubungkan dengan nodal displacement dengan matrik :

KeUe = Pe

Sedangkan Ke merupakan Matrik Kekakuan Elemen yang ditulis : Ke = Bt.D.B.dv

Keterangan :

D : Matrik kekakuan material

B : Matrik penghubung nodal displacement dengan regangan

dv : Elemen dari volume

2.11.1.5 Matrik Kekakuan Global

Matriks kekakuan K untuk jaring ( mesh ) elemen hingga dihitung dengan menggabungkan matrik - matrik kekakuan elemen di atas.

K.U = P

Di mana U merupakan vektor yang mempunyai unsur displacement pada semua titik pada jaring elemen hingga.


(68)

2.11.1.6 Analisa Elastis Dua Dimensi

Dalam mencari solusi dan analisa numerik dua dimensi kondisi model yang dianalisa tersebut harus seperti pada kondisi tiga dimensi. Pendekatan yang digunakan adalah tegangan bidang (plane stress) dan regangan bidang (plain strain). Pendekatan yang sering digunakan dalam ilmu tanah adalah kondisi regangan bidang (plain strain) .

Gambar 2.19 Analisa regangan bidang

Pada analisa regangan bidang, nilai regangan yang terletak di luar bidang ( out - of plain ), dalam hal ini bidang z, adalah nol.

2.11.2 Input

Memulai program PLAXIS V. 8. 2 dari start kemudian program, pilih PLAXIS V.8.2. Dialog Box A Create / Open Project akan timbul. Pilih New Project dan klik <OK>, window General Setting akan muncul yang terdiri dari dua tab sheet Project dan Dimensions ( lihat Gambar 2.20 dan 2.21 ).


(69)

68 Gambar 2.20 Dialog box Create/Open project

Gambar 2.21 Tab sheet Project dari windows General Settings

General Settings

Langkah paling awal dari setiap analisis adalah membuat parameter dasar dari metode elemen hingga. Tahap ini dilakukan pada windows General Setting

yang mencantumkan tipe analisis, tipe elemen, basic unit dan ukuran bidang gambar. Langkah – langkahnya adalah sebagai berikut:


(70)

• Berikan judul proyek pada box Title dan keterangan pada box Comments.

• Spesifikasikan pada box General tipe analisis dan tipe elemen. Untuk kasus ini dipilih model Plain Strain dan tipe elemen memakai 15 nodal (15 node).

Program komputer ini menggunakan elemen segitiga dengan pilihan 6 nodal atau 15 nodal. Pada penggunaan 6 nodal lebih mempercepat proses perhitungan komputer dengan menggunakan memori yang jauh lebih kecil daripada 15 nodal. Dengan menggunakan elemen ini akurasi hasil analisis sudah cukup teliti dan dapat diandalkan.

• Box Accelerations memberi nilai sudut gravitasi -90° yang menunjukkan arah kebawah. Nilai-nilai pada box Accelerations dibiarkan nol, karena pemberian nilai – nilai pada box tersebut hanya untuk analisa Pseudo-dinamis.

• Nilai-nilai pada tab sheet Dimension dibiarkan sesuai dengan defaultnya di box Unit ( Length = m: Force = kN: Time = day )

• Masukkan nilai yang diperlukan pada box Geometry Dimensions.

• Masukkan nilai untuk Spacing (besar kecilnya spacing bergantung pada nilai ketelitian berapa angka dibelakang koma yang diinginka),dan 1 untuk

Intervals.


(71)

70 Geometry Contour

Apabila tahap pengisian General settings telah selesai maka bidang gambar akan muncul dengan sumbu x dan y. sumbu x menuju arah kanan dan sumbu y ke arah atas. Untuk membuat objek gambar dapat dipilih dari tombol ikon pada toolbar atau dari menu Geometry. Langkah-langkah pembuatan sebagai berikut:

• Pilih Geometry Line.

Gambar 2.22 Tab sheet Dimensions dari windows General Setting

• Klik tombol mouse sebelah kiri pada titik titik geometri sampai terbentuk sebuah cluster dengan kembali pada titik asal

• Untuk membuat cluster baru, ulangi langkah yang sama agar terbentuk cluster - cluster yang diinginkan.


(72)

Boundary Conditions

Ikon Boundary Condition bisa dicari di bagian tengah toolbar atau di menu Loads. Prinsipnya, semua batas harus mempunyai satu kondisi batas (boundary conditions) pada tiap arah. Jika suatu model tidak diberi boundary conditions maka kondisi alamiah akan terjadi di mana gaya yang ditentukan sama dengan nol dan terjadi free displacement.

Tahapan pembuatannya dilakukan sebagai berikut:

• Tekan ikon Standard Fixities pada toolbar atau pilih Standard Fixities dari menu Loads untuk memilih standard boundary conditions.

• Program Plaxis akan membentuk jepit pada dasar geometri dan kondisi nol pada dasar geometri ( Ux = 0: Uy = free ).

• Pilih ikon Traction-Load System A dari toolbar atau pilih dari menu

Loads. Traction-Load System A digunakan untuk memodelkan beban merata yang bekerja pada permukaan.

Material Data Set

Simulasi sifat tanah pada geometri perlu dilakukan agar dapat dilakukan analisis elemen hingga. Program Plaxis V.8.2 dilengkapi dengan database

mengenai material tanah dan struktur ( beam, anchors dan geotextile ), namun pengguna program ini dapat juga memasukkan database sesuai kebutuhan. Tahapan pendefinisian material tanah dilakukan setelah tahap pemberian


(73)

72

pada geometri sudah didefinisikan jenis materialnya. Tahapan untuk memasukkan data tanah dapat dilihat pada halaman beriktunya :

• Pilih ikon material sets pada toolbar.

• Klik tombol <New> di bagian bawah window dari material sets. Dialog box yang baru akan muncul dengan tiga buah tab sheet: General,

Parameter dan Interface (lihat Gambar 2.23 dan 2.24 ).

Gambar 2.23 Tab sheet General dari windows Soil and interfaces data sets

• Ketikan nama material box Identification.

• Pilih model material pada kombo boks material model dan tipe material pada kombo boks material type.


(74)

Perilaku tanah dan batuan di bawah beban umumnya bersifat non-linier. Perilaku ini dapat dimodelkan dengan berbagai persamaan, diantaranya model Mohr-Coulomb, Linear Elastic Model, Hardening Soil Model, Soft Soil Model, dan Soft Soil Creep Model. Pada analisis ini digunakan model Mohr-Coulomb yang memerlukan 5 buah parameter yaitu modulus elastisitas ( E ), Poisson’s Ratio ( ν ), kohesi ( c ), sudut geser tanah ( φ ), dan sudut dilatansi ( ψ ). Dipilih metode Mohr-Coloumb karena metode ini berdasarkan parameter-parameter tanah yang ada paling mendekati dengan sifat tanah di lokasi.

Material Type menggambarkan hubungan antara air dan sifat tanah, di mana tanah dibedakan menjadi 3, yaitu : Drained, yaitu tanah yang diijinkan adanya excess pore pressure, contoh pada kasus full drainage pada tanah permeabilitas tinggi dan atau dengan beban rendah. Pada umumnya tanah lempung adalah undrained, di mana digunakan adanya excess pore pressure

dengan permeabilitas yang rendah dan beban yang berat. Nonporous behaviour , digunakan dalam analisa batuan.

• Masukkan nilai – nilai yang sesuai dari data yang didapatkan

• Tekan tombol <Next> atau langsung tombol parameters untuk masuk ke tab Parameters sesuai dengan model yang dipilih pada tab General.


(75)

74 Gambar 2.24 Tab Sheet Parameters

• Masukkan nilai – nilai yang terdapat pada data, sesuai dengan nama boks yang ada pada tab sheet parameters. Biarkan tab sheet interfaces sesuai kondisi defaultnya


(76)

• Proses di atas diulang untuk material yang lain

• Drag tiap material tanah tersebut pada layer dimana material tersebut bertempat berdasarkan hasil dari stratifikasi tanah.

Gambar 2.26 Tampilan setelah Geometry model, Standard fixities dan Material setting

Mesh Generation

Program Plaxis 8.2 dapat membangun jaring (mesh) secara otomatis, di mana jaring - jaring tersebut membagi geometri menjadi beberapa elemen. Pembuatan jaring elemen berdasarkan prinsip triangulasi yang akan membentuk jaringan yang kokoh dan jaringan tersebut bentuknya tidak teratur ( unstructured mesh ). Untuk melakukan mesh dilakukan tahap :

• Tekan tombol ikon Mesh generations pada toolbar atau pilih lewat opsi Generate dari menu Mesh. Sebuah window baru akan muncul dan memperlihatkan bentuk mesh dari model (Gambar 2.27 )


(1)

Gambar 4.31 Displacement pada sheet pile 1 dan 2

Section Modulus (Z)

Dari tabel profil sheet pile tipe CCSP W-400 dengan panjang 12 m didapat nilai section modulus adalah 12434 /m’. Pada program plaxis 2D kita akan menganalisa nilai section modulus yang terjadi pada kedua sheet pile.

Sehingga nilai section modulus pada sheet pile I dan II adalah :

Jenis sheet pile (KNm/m’) (KN/ ) Z ( /m’) Sheet pile I 50,23 3570 1407,00 Sheet pile II 63,04 3570 1765,83

Dari perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa pada nilai section modulus pada sheet pile I dan II lebih kecil dari nilai section modulus ijin sheet pile CCSP W-400 (aman).


(2)

Nilai Safety Factor

Gambar 4.32 Safety faktor perkuatan alternatif.

Dari analisis perhitungan plaxis 2D diatas dapat disimpulkan bahwa perkuatan alternatif menghasilkan kelongsoran yang sangat kecil terjadi. Dimana perkuatan alternatif menambahkan counterweight yang mengakibatkan nilai safety factor bertambah.

Nilai keamanan yang cukup (1,43), nilai angka keamanan yang melebihi 1,30 mengakibatkan tingkat kelongsoran jarang terjadi. Dan bila dibandingkan dengan alternatif yang pertama maka dapat disimpulkan safety factor pada alternatif kedua jauh lebih tinggi dibandingkan safety factor yang pertama (1,43 >


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh penulis selama mengerjakan Tugas Akhir ini adalah :

1. Didapatkan perbandingan nilai safety factor dari berbagai kondisi perkuatan dengan menggunakan program metode elemen hingga yaitu pada Tabel 5.1 Tabel 5.1 Nilai safety factor pada berbagai kondisi

No Kondisi lereng Jenis perkuatan Nilai safety factor 1 Kondisi I Tidak menggunakan perkuatan

(kondisi awal lereng) 0,78

2 Kondisi II Menggunakan perkuatan double sheet

pile dan geogrid sepanjang 8 m 1,09

3 Kondisi III

Menggunakan perkuatan single sheet pile, geogrid sepanjang 10 m, dan counterweight

1,23

4 Kondisi IV

Menggunakan perkuatan double sheet pile, geogrid sepanjang 8 m, dan counterweight

1,43

2. Nilai section modulus pada double sheet pile pada kondisi II adalah Jenis sheet pile (KNm/m’) (KN/ ) Z ( /m’) Sheet pile I 59,89 3570 1677,59 Sheet pile II 392,91 3570 11005,88 3. Nilai section modulus pada single sheet pile pada kondisi III adalah

Jenis sheet pile (KNm/m’) (KN/ ) Z ( /m’) Single sheet pile 63,45 3570 1777,31


(4)

4. Nilai section modulus pada single sheet pile pada kondisi IV adalah Jenis sheet pile (KNm/m’) (KN/ ) Z ( /m’) Sheet pile I 50,23 3570 1407,00 Sheet pile II 63,04 3570 1765,83 5. Geogrid sangat efektif jika dipakai untuk fungsi perkuatan pada dinding

penahan, karena ketika tulangan tanah berupa lembaran berusuk seperti geogrid digunakan, rusuk- rusuk tersebut menyebabkan daerah geser semakin luas. Baik peningkatan pada volume daerah geser atau peningkatan tegangan lokal yang disebabkan dilatasi tanah, sehingga dapat menghasilkan peningkatan koefisien geser tampak.

6. Sheet pile sangat berpengaruh terhadap nilai safety factor suatu lereng. Pada kasus ini sangat baik digunakan double sheet pile daripada single sheet pile karena sheet pile yang ditambah dapat menahan kelongsoran dalam pada badan lereng.

7. Panjang Geogrid sangat tergantung pada jumlah beban yang dipikulnya. 8. Nilai kohesi sangat berpengaruh pada hasil akhir perhitungan faktor

keamanan terhadap kegagalan stabilitas global pada Metode Bishop. Karena itu, semakin kohesif tanahnya maka faktor keamanan yang diperlukan semakin besar.

5.2 Saran

1. Sebaiknya dilakukan penambahan beban counterweight di belakang sheet pile, guna mengurangi kemungkinan terjadinya kelongsoran pada lokasi


(5)

2. Dalam pemilihan jenis counterweight sebaiknya menggunakan jenis counterweight yang memiliki nilai kohesi yang cukup besar karena dapat mengurangi terjadinya displacement.

3. Sebaiknya timbunan yang dipakai pada struktur dalam tanah (tanah timbunan lapis geogrid) adalah tanah yang friksional sehingga menimbulkan gaya geser antara tanah dan tulangan, dan akhirnya akan menimbulkan adanya transfer beban.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bintang, R, 2012, Kajian Desain Diaphragm Wall Dengan Metode Keseimbangan Batas dan Metode Elemen Hingga (Plaxis), Universitas Katolik Santo Thomas

Dharmawansyah, D., Alternatif Perkuatan Lereng pada Ruas Jalan Trenggalek-Ponorogo Km 23+650, Jurnal Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya

Brinkgreve,R.B.J,dkk, Plaxis 2D – Versi 8, Delft University of Technology & PLAXIS, Belanda

Das,B.M, 1994, Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid II, Erlangga, Jakarta

Das,B.M, 2006, Principles of Geotechnical Engineering fifth edition, Thomson Canada Limited, Canada

Hardiyatmo, H. C., 1992, Mekanika Tanah I, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta

Muntohar, A. S., Analisis Stabilitas Lereng (Slope Stability), Jurnal Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta

Sebayang, E.A, 2014, Perencanaan Stabilitas Lereng Dengan Sheetpile dan Perkuatan Geogrid Menggunakan Metode Elemen Hingga , Universitas Sumatera Utara

Sitohang, I.G, 2012, Alternatif Stabilitas Lereng Menggunakan Perkuatan Geogrid, Universitas Sumatera Utara