MELINDUNGI GURU DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA UNTUK MENJAGA KEUTUHAN DAN KEMAJUAN BANGSA

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

MELINDUNGI GURU DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
SISWA UNTUK MENJAGA KEUTUHAN DAN KEMAJUAN
BANGSA
I Wayan Suastra
Guru Besar Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali
iswuastra@undiksha.ac.id
ABSTRAK
Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh
dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para
siswanya. Peran guru sangat penting dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa
depan untuk menghadapi persaingan global yang begitu
kompleks dan semakin berat. Oleh karena itu, guru harus
dipersiapkan secara sistematis dan berkesinambungan agar
benar-benar mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang
berkualitas, berdaya saing tinggi, serta berkarakter bangsa
Indonesia yang kuat. Implikasi dari karakteristik guru masa
depan sebagai berikut. (1) Lembaga PendidikanTenaga
Pendidikan (LPT) agar memiliki sistem dan standar mutu yang

jelas dalam menyiapkan dan mengembangkan pendidikan guru.
(2) Pemerintah daerah kabupaten, provinsi, dan pusat agar
bersinergi menjagi mutu guru secara berkelanjutan. (3)
Masyarakat (staheholder) agar ikut memberikan kontribusi dalam
memantau dan mengembangkan profesionalime guru.
Kata-kata kunci: guru, pengembangan karakter, keutuhan
bangsa
PENDAHULUAN
Abad ke-21 merupakan abad yang penuh dengan kompleksitas dan
ketidakpastian. Untuk dapat mengatasi permasalahan ini diperlukan cara
belajar cepat dan berpikir kreatif (Rose&Nicholl, 2002). Gardner (2007)
menyatakan bahwa untuk
menghadapi tantangan masa depan
permasalahan ini adalah dengan menguasai lima pikiran untuk masa depan
(five minds for the future) yang meliputi:
pikiran terdisiplin, pikiran
menyintesis, pikiran mencipta, pikiran merespek, dan pikiran etis. Artinya,
selain sumber daya manusia itu cerdas (smart), juga diperlukan pikiran dan
perilaku etis (karakter baik/good character).
Saat ini berbagai persoalan dialami bangsa Indonesia, seperti

maraknya intoleransi, radikalisme, terorisme, saling curiga mencurigai, fitnah
di media sosial (Hoak), korupsi, pemerasan/kekerasan (bullying),
kekerasan/dominasi senior terhadap yunior bahkan sampai memakan korban
meninggal dunia,
penggunaan narkoba (Badan Narkotika Nasional
148

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

menyatakan ada lebih dari 3,6 juta penduduk pecandu narkoba di Indonesia
tahun 2010), ucapan/ujaran kebencian, rapuhnya rasa kebangsaan baik dari
kalangan masyarakat biasa sampai perguruan tinggi, serta adanya
sekelompok masyarakat yang ingin mengganti dasar negara kita Pancasila
yang berlandaskan kebhinekaan dengan ideologi lain.
Persoalan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan berakibat
pada runtuhnya tatanan kebangsaan kita. Salah satu yang diduga sebagai
penyebab persolan ini adalah kurang ditanamkannya secara baik karakter
kebangsaan dalam proses pendidikan di sekolah. Hal ini sesuai dengan
pendapatnya Zamroni (2000:1) yang mengatakan bahwa dewasa ini,
pendidikan cenderung menjadi sarana "stratifikasi sosial" dan sistem

persekolahan yang hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang
disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu bersifat
hafalan (textbookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar
budayanya. Lebih lanjut, Suastra (2016) menyatakan bahwa nilai-nilai
kearifan lokal yang ada di masyarakat kurang mendapat perhatian dalam
proses pembelajaran di sekolah, padahal nilai-nilai tersebut masih sangat
relevan diterapkan dalam kehidupan bermasyarat dan dapat menjaga
keutuhan banga Indonesia.
Fenomena ini mengindikasikan kegagalan dalam bidang dalam
mengembangkan pendidikan nilai. Lebih lanjut, Widja (2016) mengatakan
bahwa carut-marutnya bangsa ini disebabkan karena adanya disfungsi
sekolah dalam pendidikan budi pekerti (moral). Kurang baiknya moral siswa
berakibat pada rendahnya karakter siswa adalah indikator kegagalan guru
dalam mengintegrasikan pengetahuan tentang nilai menjadi tindakan yang
positif (Lickona, 1999; Lopes, et al, 2013; Abu, et al, 2014; Aisah, 2014).
Sudah saatnya segera dibangun kembali kesadaran akan pentingnya
pembinaan karakter bagi insan Indonesia melalui pendidikan yang bermutu.
Sesuai dengan pendapatnya Elmubarok (2008) yaitu, mengumpulkan yang
terserak, menyambung yang terputus, dan menyatukan yang tercerai.
Berkenaan dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja di masa depan,

National Association College Employers (NACE) tahun 2014 menguraikan
bahwa 5 teratas keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dunia usaha
adalah (1) kemampuan bekerja dalam tim (4,55), (2) kemampuan mengambil
keputusan yang tepat dan pemecahan masalah (4,50), (3) merencanakan,
mengorganisasi, dan memprioritaskan pekerjaan (4,48), (4) kemampuan
memperoleh informasi dan memproses informasi (4,48), serta (5)
kemampuan menganalisis data kuantitatif (4,37) dengan skor maksimal 5.
Artinya, untuk mengantisipasi perkembangan dunia yang begitu cepat dan
kompleks ini diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi dengan menekankan pada karakter (kecerdasan sosial dan
kecerdasan emosiaonal).
Rendahnya kualitas pendidikan tidak bisa lepas dari peran guru dalam
proses pendidikan. Perhatian utama dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan adalah meningkatkan kualitas guru. Jadi, gurulah yang
memegang peranan sentral dalam proses pendidikan, di samping faktorfaktor lainnya seperti: kurikulum, serta sarana dan prasarana pendukung
lainnya. Tenaga guru merupakan unsur penentu terciptanya mutu pelayanan

149

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT


dan hasil pendidikan (Zamroni, 2001). Oleh karena itu, bangsa Indonesia
memerlukan guru yang cerdas, arif, dan berkarakter Indonesia.
PEMBAHASAN
Pentingnya Pendidikan Karakter
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), karakter merupakan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain. Dengan demikian, karakter adalah nilai-nilai yang unikbaik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Lebih
lanjut diuraikan dalam Disain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 20102015 dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata
berkehidupan baik. Jadi, karakter dalam tulisan ini adalah seperti yang
dinyatakan terakhir. Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter
merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antara
manusia. Secara Universal karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama
berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja
sama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness),
kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),
tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi
(tolerance), dan persatuan (unity) (Samani & Hariyanto, 2011).
Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari
seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Winston,

2010). Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan
yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan
pengembangan etik para siswanya. Dengan demikian, pendidikan karakter
adalah merupakan upaya sadar dan sistematis baik oleh sekolah maupun
pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai pokok (core
vaule) nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran,
kerajinan, fairness, keuletan, dan ketabahan (fortitude). Lebih lanjut Burke
(2001) mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan bagian dari
pembelajaran yang baik dan merupakan bagian fundamental dari pendidikan
yang baik atau dapat juga dikatakan sebagai pengembangan karakter yang
mulia (good character).
Karakter adalah sesuatu yang sangat penting dan vital bagi
tercapainya tujuan hidup. Karakter merupakan dorongan pilihan untuk
menentukan yang terbaik dalam hidup. Sebagai bangsa Indonesia setiap
dorongan pilihan itu harus dilandasi oleh Pancasila. Sementara itu sudah
menjadi fitrah bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang multi suku, multi
ras, multi bahasa, multi adat, dan tradisi. Untuk tetap menegakkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia maka kesadaran untuk menjunjung tinggi
Bhineka Tunggal Ika merupakan siatu condisio sine quanon, syarat mutlak
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena pilihan lainnya adalah runtuhnya

negara ini. Karakter yang berlandaskan Pancasila adalah karakter yang
dijiwai oleh kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif yaitu:
bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, bangsa yang menjunjung tinggi
kemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa yang mengedepankan
persatuan dan kesatuan bangsa, dan bangsa yang demokratis dan
menjunjung tinggi hukum dan hak hasasi manusia, serta bangsa yang

150

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

mengedepankan keadilan dan kesejahteraan. Begitu pentingnya karakter
dalam konteks universal sehingga Wiliam Franklin Graham,Jr mengatakan
sebagai berikut.
When wealth is lost, nothing is lost
When health is lost, something is lost
When character is lost, everything is lost
(Bila harta benda yang hilang, tidak ada sesuatu berarti yang hilang
Bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang
Bila karakter yang hilang, segala sesuatunya hilang)

Nilai Pendidikan Karakter dan Pengembangannya
Implementasi nilai-nilai dan proses pengembangan pendidikan karakter
dengan maksud agar peserta didik menjadi orang yang memiliki kualitas
moral, kewarganegaraan, kesantunan, rasa hormat, kesehatan, sikap kritis,
keberhasilan, kebiasaan baik, sehingga menjadi insan yang kehadirannya
dapat diterima dalam masyarakat. Lickona (1991) mengatakan pendidikan
karakter secara psikologis harus mencakup dimensi penalaran berlandaskan
moral (moral reasoning), perasaan berlandaskan moral (moral feeling), dan
perilaku berasaskan moral (moral behavior) seperti tampak pada Gambar.1
berikut.

MORAL FEELING:

MORAL KNOWING:
1.
2.
3.
4.
5.


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Moral awareness
Knowing moral values
Perspective taking
Moral reasoning
Decision making

6. Self knowledge

Conscience
Self esteem
Empathy
Loving the good
Self control

Humility

MORAL ACTION:
1. Competense
2. Will
3. Habit

Gambar 1. Cakupan Pendidikan Karater menurut Lickona

151

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

Dalam kaitan ini pada Grand Design Pendidikan Karakter
diungkapkan nilai-nilai yang terutama akan dikembangkan dalam budaya
satuan pendidikan formal dan non formal, dengan penjelasannya adalah
sebagai berikut.
Jujur, menyatakan apa adanya, terbuka, konsisten antara apa
yangdikatakan dan dilakukan (berintegritas), berani karena benar, dapat di
percaya (amanah, trustworthiness), dan tidak curang (no cheating).

Tanggung jawab, melakukan tugas sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja
yang tinggi, berusaha keras untuk mencapai prestasi terbaik (giving the
best), mampu mengontrol diri dan mengatasi stres, berdisiplin diri, akuntabel
terhadap pilihan dan keputusan yang diambil.
Cerdas, berpikir secara cermat dan tepat, bertindak dengan penuh
perhitungan, rasa ingin tahu yang tinggi, berkomunikasi efektif dan empatik,
bergaul secara santun, menjungjung kebenaran dan kebajikan, mencintai
Tuhan dan lingkungan.
Sehat dan Bersih, menghargai ketertiban, keteraturan, kedidiplinan,
terampil, menjaga diri dan lingkungan, menerapkan pola hidup seimbang.
Peduli, memperlakukan orang lain dengan sopan, bertindak santun, toleran
terhadap perbedaan, tidak suka menyakiti orang lain, mau mendengar orang
lain, mau berbagi, tidak merendahkan orang lain, tidak mengambil
keuntungan dari orang lain, mampu bekerja sama, mau terlibat dalam
kegiatan masyarakat, menyayangi manusia dan mahluk lain, setia, cinta
damai dalam menghadapi persoalan.
Kreatif, mampu menyelesaikan masalah secara inovatif, luwes, kritis, berani
mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, menampilkan sesuatu cesara
luar biasa (unik), memiliki ide baru, ingin terus berubah, dapat membaca
situasi dan memanfaatkan peluang baru.
Gotong royong, mau bekerja sama dengan baik, berprinsip bahwa tujuan
akan lebih mudah dan cepat tercapai jika dikerjakan bersama sama, tidak
memperhitungkan tenaga untuk saling berbagi dengan sesama, mau
mengembangkan potensi diri untuk dipakai saling berbagi agar mendaptkan
hasil yang terbaik, tidak egois (Samani & Hariyanto, 2012).
Sebagai perbandingan disajikan nilai-nilai pendidikan karakter yang
dikembangkan pada sekolah di negara maju Amerika Serikat seperti tampak
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Nilai-Nilai dalam Kurikulum Pendidikan Karakter Sekolah Dasar
menurut Character Counts (Six Pillars of Character Education)
No

Nilai Karakter

1

Trustworthy
(Amanah)

2

Respect
(Mengormati/
Menghargai)

Bagaimana Caranya untuk Manjadi
Orang yang Amanah:
 Berlaku jujur: jangan bohong, jangan curang, jangan mencuri.
 Menjadilah andal: pegang janjimu, ikuti apa yang menjadi
komitmenmu.
 Bersikap berani: kerjakan apa yang benar walupun orang lain
menganggap hal itu salah.
 Jadilah teman yang baik: jangan menghianati kepercayaan.
Orang yang Menghargai:

Perlakukanlah orang lain seperti halnya engkau ingin
diperlakukan.

152

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

No

Nilai Karakter

Bagaimana Caranya untuk Manjadi




3

Responsibility (Penuh
tanggung jawab)

4

Fairness
(Adil dan jujur, sportif)

5

Caring
(Peduli)

6

Citizenship
(Kewarganegaraan)

Jadilah orang yang beradab dan sopan.
Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh orang lain.
Jangan menghina orang, atau memperolok-olokan, atau
memanggil orang dengan julukannya.

Jangan pernah mengancam atau memalak orang lain.

Jangan menilai orang sebelum engkau mengenalnya dengan
baik.
Orang yang Bertanggung jawab:

Jadilah orang yang dapat diandalkan, jika engkau sepakat
untuk mengerjakan sesuatu, kerjakanlah.

Jalankanlah urusanmu dengan baik. Jangan melakun hal lain
semata-mata karena kau menganggap hal itu perlu engkau
lakukan. Fokuslah.

Bertanggung jawab pada apa pun yang engkau lakukan,
jangan menyalahkan orang lain, atau sekedar minta maaf
karena kesalahan yang engkau perbuat.

Gunakan otakmu, pikirlah sebelum bertindak, pikirkanlah
akibat-akibat dari perbuatanmu.
Oarng yang fair:

Perlakukan orang lain seperti engkau ingin diperlakukan.

Ambilah giliran, biasakan antre.

Katakanlah hal yang sebenarnya.

Bermainlah seperti aturan bermain.

Pikirkanlah tentang bagaimana tindakanmu akan berakibat
buruk kepada orang lain.

Dengarkanlah orang lain dengan pikiran yang terbuka.

Jangan salahkan orang lain karena kesalahanmu.

Jangan mengambil keuntungan dari orang lain.

Jangan bertindak berdasarkan favoritisme.
Orang yang Peduli:

Perlakukan orang lain dengan penuh kebaikan dan
kedermawanan.

Bantulah orang yang memerlukan bantuan.

Pekalah terhadap perasan orang lain.

Jangan pernah menjadi kasar atau senang menyakiti hati.

Pikirkanlah bagaimana tindakanmu akan dapat menyakiti atau
melukai hati orang lain.

Selalu ingatlah kita akan menjadi orang yang peduli dengan
perbuatan yang dilandasi kepedulian.
Warga Negara yang Baik:

Berbagilah agar menjadikan sekolahmu, masyarakatmu, serta
dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

Bertanggung jawablah terhadap apa yang terjadi di
sekelilingmu.

Berpartisipasilah dalam pelayanan masyarakat.

Pedulilah pada lingkungan alammu.

Jadilah tetangga yang baik.

Perlakukan orang lain dengan hormat dan kebesaran hati.

Ikutlah aturan-aturan keluargamu, sekolahmu, dan juga aturan
masyarakatmu.

Sumber: http://www.goodcharacter.com
Keterangan: Nilai-nilai ini diajarkan mulai dari TK sampai kelas 8 (di Amerika
Serikat, SD dimulai kelas 1 sampai kelas 5, SMP dimulia kelas 6 sampai 8).

Kecuali nilai-nilai tersebut sejak kelas 7 sampai 12 juga ditambahkan
nilai-nilai honesty (kejujuran), courage (keberanian), diligence (kerajinan),
dan integrity (integritas). Namun perlu diketahui bahwa pembelajaran

153

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

karakter yang diberikan berupa tuntunan seperti di atas hanya berlangsung
sejak TK sampai Kelas VI (jika di Indonesia setara SMP kelas VII).
Sementara itu sejak kelas VII sampai kelas XII karena dianggap sudah
pernah melakukan pendidikan karakter dengan tuntunan dari guru, mereka
hanya diberikan suatu inventori evaluasi diri yang harus dijawab dengan
jujur.
Namun perlu diketahui bahwa implementasi pendidikan karakter di
Amerika Serikat itu, para siswa juga diberi kesempatan unuk berdiskusi
tentang nilai-nilai tersebut dalam suatu kelompok pembelajaran, ada tugastugas penulisan, ada kegiatan yang harus dilakukan para siswa, ada juga
surat pemberitahuan kepada orangtua tentang karakter anaknya di sekolah,
dan meminta tanggapan orangtua tentang hal-hal yang telah dilakukan
anaknya tersebut, serta kewajiban kerja sama antara orangtua dan akan
untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan rumah terkait pendidikan
karakter dan sebagainya.
Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Karakter
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsipprinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap
individu yang bekerja dalam lingkung pendidikan itu sendiri. Koesoema
(2010) menyebutkan ada 6 prinsip dasar pengembangan pendidikan karakter
di sekolah sebagai berikut.
1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang
kamu katakan atau kamu yakini.
2. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang
macam apa dirimu.
3. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan
dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus
membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko.
4. Jangan pernah pengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain
sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih
baik dari mereka.
5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang
individu bisa mengubah dunia.
6. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu
menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi
tempat yang lebih baik untuk di huni.
Melindungi Guru melalui Profesionalitas dan Nilai Etik Guru
Sejarah telah membuktikan bahwa kemajuan dan kejayaan suatu
bangsa di dunia ditentukan oleh pembangunan di bidang pendidikan. Mereka
menganggap kebodohan adalah musuh kemajuan dan kejayaan bangsa.
Setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, maka menjadi
pertanyaan petma Kaisar Jepang adalah “berapa guru dan dokter yang
tersisa dan masih hidup?”. Dari pertanyaan tersebut betapa guru sangat
diakui dan dijunjuung tinggi dalam konteks kemajuan dan kejayaan bangsa
Jepang.

154

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

Mengkaji masalah peningkatan tanggung jawab profesional guru
(dosen) pada saat ini dalam hubungannya dengan isu peningkatan kualitas
pendidikan nasional pada umumnya, khususnya peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) pendidikan (guru) sesuai dengan UU No.14
tahun 2005 tentang guru dan dosen yang merupakan penjabaran logis UU
No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Munculnya upaya peningkatan kualitas guru bermula pada peringatan
Hari Guru Nasional tanggal 2 Desember 2004. Pada saat itu Mendiknas
menyampaikan program kerja 100 hari kerja kabinat, menegaskan satu
tema, yaitu “Guru sebagai Profesi”. Yang menarik sebenarnya dari tema ini
adalah tekad Mendiknas untuk meningkatkan harkat dan martabat guru yang
sedang terpuruk. Keterpurukan tersebut bisa dilihat antara lain pada realitas:
menjadi guru nampaknya bukan pilihan pekerjaan yang ideal (kalau ada
peluang lain, pekerjaan ini akan ditinggalkan), juga dari realitas input siswa
ke lembaga pendidikan guru bukan lulusan terbaik dari sekolah, yang terlihat
juga dari penguasaan materi dari guru-guru yang dihasilkannya; dan juga
merupakan kenyataan bahwa guru-guru banyak yang melakukan pekerjaan
sampingan (yang sering bukan pekerjaan wajar) yang dikaitkan dengan
kesejahteraan guru yang sangat rendah. Yang lebih tragis lagi, banyak
diantara para guru tersebut terlibat dalam praktek-praktek tersela dilihat dari
segi nilai etik profesi.
Di berbagai media massa telah muncul berbagai komentar kritis
tentang kondisi nyata yang sedang dihadapi dunia pendidikan Indonesia.
Realirtas-realitas itu antara lain menyangkut kebijakan pendidikan
pemerintah pusat yang terkesan kontroversial bahkan bersifat anomali,
kesan kuat penerapan kebijakan coba-coba (tidak didasari uji kelayakan)
seperti dalam pemberlakuan kurikulum baru bila menterinya baru, dan
berbagai kebijakan lainnya.
Khusus menyangkut pelaksanaan UU Guru, juga dihadapkan pada
banyak kondisi yang tidak menguntungkan terutama menyangkut nilai etik
yang akan menjadi landasan utama kualitas profesionalisme guru. Banyak
kasus-kasus yang sangat tragis terjadi di kalangan dunia pendidikan kita
dalam kaitan nilai etik dalam hubungan tingkat profesionalitas guru. Seperti,
“nyontek massal di Sekolah justru didorong oleh Kepala Sekolah atau
bahkan pejabat di atasnya dan didukung pula oleh orang tua siswa,
pelecehan seksual kepada muridnya, dan sebagainya.
Tantangan lainnya bagi guru adalah fenomena globalisasi yang tidak
lain merupakan kelanjutan proses modernisasi yang dimatangkan oleh
revolusi di bidang tekonologi informasi. Ini ditandai dengan pemampatan
ruang dan waktu (time space compression). Tidak saja jarang ruang menjadi
sempit tetapi juga gerak waktu menjadi semakin cepat, yang berdampak pula
pada proses pendidikan (human learning). Ini membawa tuntutan baru di
semua sektor kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan khususnya
menyangkut proses/strategi pembelajaran terutama berupa: (a) pentingnya
strategi pembelajaran yang menekankan orientasi ke masa depan dan efek
proses yang bersifat jangka panjang, (b) pentingnya strategi pembelajaran
untuk
pengembangan
kemampuan/kesiapan
menghadapi
situasi
ketidakpastian akibat perubahan cepat , misalnya berpikir kompleks dan

155

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

enigmatik (sitausi penuh teka-teki), mampu membuat pilihan alternatif dan
tidak pada pola berpikir baku, (c) pentingnya strategi pembelajaran terkait
timbulnya masyarakat informasi (peran guru bukan sebagai sumber informasi
tetapi sebagai pembimbing, mengelola, menyeleksi/memanfaatkan
informasi), dan (d) pentingnya strategi pembelajaran akibat fenomena
interaksi manusia dalam pola jaringan alternatif (pembelajaran koperatif dan
kolaboratif) (Scheunpflug, dalam Wija, 2016).
Sebagai seorang guru profesional yang memiliki keahlian dan
kecakapan dalam bidang profesinya, ia sendirilah yang harus menentukan
kompetensi tentang pelayanan apa yang dapat disumbangkan lewat
profesinya bagi kepentingan dan pelayanan umum. Guru sendiri yang harus
menentukan standar pelayanan dan norma etis yang membantu kinerja
profesinya. Tidak mengherankan jika para profesional biasanya juga memiliki
otonom dalam proses rekuitmen anggota seprofesi dan menentuksn program
pelatiahn yang cocok untuk kebutuhan tersebut. Ini menandakan ada hak
prerogratif bagi kalangan guru untuk menentukan standar etika profesi yang
mereka miliki.
Agar etika profesi terjaga—sehingga martabat profesi itu tetap
dipercaya oleh masyarakat pengguna maka perlu ada sebuah badan yang
menjadi penjaga kinerja profesional guru (Nasrul, 2014). Badan ini bisa
disebut Dewan Kehormatan Guru (DKG). Dewan kehormatan ini yang
mengawasi dan mengontrol perilaku moral anggota-anggotanya. Bila ada
yang melanggar etika profesi maka akan dikenakan sangsi. Dengan
demikian, maka profesi guru akan mendapat kepercayaan publik.
Karakteristik Guru Profesional
Berdasarkan Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 1 ayat 2
dinyatakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Shulman (dalam Bell & Gilbert, 1996) mengatakan bahwa guru
profesional memiliki 7 kompetensi dasar yaitu: (1) Pemahaman terhadap
materi pelajaran. (2) Pengetahuan pedagogi umumyang diarahkan pada
prinsip-prinsip dasar mengajar, seperti pendekatan mengelola kelas. (3)
Pengetahuan kurikulum, yaitu pemahaman tentang kurikulum yang berlaku
nasional, kurikulum sekolah, dan buku-buku apa yang dapat digunakan. (4)
Pengetahuan materi subjek (pedagogical-content knowledge) yaitu memilih
materi-materi yang esensial dan bagaimana mengajarkannya secara efektif.
(5) Pemahaman terhadap karakteristik pembelajar. Jika guru berharap
mengajar dengan efektif, maka ia harus memahami betul karakteristik
siswanya untuk dapat memilih strategi/model/metode yang tepat untuk
diterapkan. (6) Pengetahuan konteks pendidikan, yaitu pengetahuan yang

156

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

memungkinkan untuk dapat membedakan bentuk manajemen kelas,
manajemen sekolah, dan pengapresasian terhadap budaya masyarakat dari
mana siswa berada. (7) Pengetahuan tentang tujuan, nilai pendidikan,
filosofi, dan sejarah bangsanya.
Guru Indonesia Masa Depan
Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
demikian cepat serta perkembangan tuntutan kualitas sumber daya manusia
yang semakin tinggi, terdapat sejumlah kompetensi lain yang harus dimiliki
guru sains pada masa depan. Komptensi tersebut seperti diuraikan diberikut
ini.
Memahami hakikat ilmu (Nature of Science/NOS) dan implikasinya
terhadap pembelajaran
NOS merupakan faktor penting yang menentukan arah pembelajaran
di masa akan datang. Wenning (2006) mendeskripsikan hakikat ilmu sebagai
pemahaman karakteristik dari ilmu yang berhubungan dengan sifat-sifat khas
dari sains seperti empiris, kreatif, imajinatif, teoritis, konteks sosial budaya,
dan tentatifnya.Bell (2008) menyatakan NOS mencakup beberapa konsep
yang didefinisikan secara sederhana, baik itu ontologis, epistomologi dan
aksiologi dari ilmu. Adapun ketiga aspek tersebut, yaitu 1) ontologi, yaitu
pengetahuan sebagai bidang ilmu yang mengkaji artikulasi, sosiologi, dan
historisnya; 2) epistemologi, yaitu pengetahuan sebagai cara untuk meraih
pemahaman (understanding), wawasan (insight), dan kearifan (wisdom); 3)
aksiologi, yaitu pengetahuan yang lebih menitikberatkan pada manfaat
pengetahuan tersebut bagi masyarakat dan lingkungannya. Memahami NOS
merupakan bagian penting dari literasi ilmu (Cakiki,et al, 2012). American
Association for the Advancement of Science dan National Research Council
menekankan peran penting dalam meningkatkan NOS siswa. NOS menjadi
penting karena diperlukan untuk membuat, mengelola serta memeroses
objek sains dan teknologi, memberi tahu pengambilan keputusan pada
socioscientific issue, menghargai nilai sains sebagai budaya masa kini,
mengembangkan pemahaman terhadap norma-norma dari komunitas ilmiah
untuk mewujudkan komitman moral yang bernilai umum untuk masyarakat
serta memfasilitasi pokok persoalan pembelajaran sains (Hardianty, 2015).
Implikasi dari NOS adalah guru harus menyediakan kondisi belajar yang
memungkinkan siswa mengembangan NOS seperti, penyelidikan, inkuiri,
diskusi, menulis karya ilmiah, serta mengkomunikasikan secara lisan
maupun tulisan (Collette & Chiapetta, 1994).
Menguasai isi pelajaran secara luas dan mendalam sertacara
membelajarkannya
Pengetahuan materi subjek (pedagogical-content knowledge) yaitu
menguasai materi ajar dengan baik dan mampu mengajarkannya secara
efektif.Guru harus memahami substansi struktur materi pelajaran, konsep
dasar dan saling hubungannya, serta materi pengayaannya. Guru harus
memahami secara luas dan mendalam konten sains (McDermott,1990).
Contohnya, guru atau calon guru sains harus mendapatkan perkuliahan

157

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

sains secara terintegrasi dengan inkuiri, seperti yang akan mereka ajarkan
di kelas (NRC, 1996).
Memahami budaya lokal siswa dengan berbagai karakteristiknya dan
mampu berperan arif sebagai agen budaya (cultural broker)
Pemahaman guru terhadap keyakinan, ide dan gagasan, serta budaya
siswa amatlah penting. Sebelum pembelajaran, guru sebaiknya
mengidentifikasi keyakinan,kebiasaan, ide dan gagasannya yang mungkin
sedikit berbeda dan bahkan tidak sesuai sama sekali dengan pelajaran sains
yang diajarkan di sekolah dan selanjutnya menjadikan acuan dalam
pembelajaran sains. Suastra (2012) menyebutnya sebagai sains asli
(etnosains), yaitu suatu pandangan, ide dan gagasan, keyakinan yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutanya dalam suatu etnik
tertentu dan sampai saat ini masih diyakini kebenarannya, serta
diimplementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sains asli ini
merupakan kearifan lokal (budaya lokal) setempat dan diwariskan secara
turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan diwarnai oleh
pandangan alam semesta mereka). Guru harus berperan arif sebagai “agen
budaya” (cultural broker), yaitu mampu menjembatani budaya lokal mereka
menuju budaya ilmiah yang merupakan bagian dari budaya Amerika-Eropa
(George, 2000; Suastra, 2017).
Mampu mengembangkan pembelajaran inovatif untuk pengembangan
HOT siswa
Tuntutan masyarakat (stakeholder) pada era masa kini dan mampu
bersaing di masa depan yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi, selain
kemampuan lainnya. Menurut taksonomi Bloom yang telah direvisi, proses
kognitif terbagi menjadi dua yaitu kemampuan berpikir tingkat rendah (Lower
Order Thinking, LOT) dan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order
Thinking, HOT). Kemampuan yang termasuk LOT adalah kemampuan
mengingat (remember), memahami (understand), dan menerapkan (apply),
sedangkan HOT meliputi kemampuan menganalisis (analyze), mengevaluasi
(evaluate), dan mencipta (create) (Anderson&Krathwaohl, 2001). Guru harus
menerapkan pembelajaran inovatif yang mampu mengembangkan HOT
siswa, seperti model problem based learning, Inkuiri, Discovery, 5E atau 7E,
Kooperatif Group Investigation, dan pembelajaran berbasis budaya (Suastra,
2013).
Mampu mengajarkan cara belajar (learning how to learn/metacognitive
process)
Guru tidak lagi harus menjejali siswa dengan berbagai pengetahuan
atau informasi, namun yang lebih penting diajarkan kepada siswa adalah
bagaimana cara belajar yang baik, seperti cara membaca yang efektif dan
efisien, cara meringkas yang terstruktur (misalnya dengan peta konsep), cara
berkonsentrasi dengan baik, cara menggunakan kamus, cara melakukan
inkuiri/penyelidikan (misalnya melalui heuristic Vee), serta cara memecahkan
masalah yang benar. Bekal itulah yang harus mereka kuasai sehingga
mereka mampu menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan yang

158

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

semakin hari semakin pesat dan permasalahan hidup semakin hari semakin
kompleks. “Anak jangan diberikan ikan, tetapi berikan mereka kail dan cara
menangkap ikan yang benar dengan kail”.
Menguasai bahasa asing khususnya bahasa Inggris
Hampir sebagian besar komunikasi ilmiah dewasa ini, baik lewat
jurnal, media masa, maupun internet menggunakan bahasa asing,
khususnya bahasa Inggris.Demikian juga literatur-literatur dalam berbagai
bidang ilmu disajikan dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, tuntutan akan
kemampuan guru dalam berbahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis
merupakan sesuatu yang wajar.
Mampu melaksanakan penelitian tindakan kelas
Guru masa depan diharapkan selalu aktif dalam melakukan
perbaikan-perbaikan pembelajarannya melalui penelitian tindakan kelas.
Pada masa depan hendaknya kebiasaan meneliti ini tumbuh dan
berkembang secara alami. Guru seyogianya tidak lagi menjadi sasaran
kegiatan penelitian atau pengabdian pada masayarakat oleh dosen LPTK,
tetapi lebih banyak menjadi sumber pengembangan profesinya sendiri
sekaligus pendukung perkembangan profesi guru lainnya (NRC, 1996).
Pengalaman melakukan PTK, membuat laporan PTK, serta menjadikannya
artikel ilmiah akan memberikan kontibusi positif terhadap pengembangan
profesinya.
Menjadi tauladan dalam pengembangan karakter bangsa
Membangun karakter bangsa Indonesia yang baik adalah merupakan
salah satu cita-cita Bapak pendiri bangsa (the founding fathers) yang di
disepakati ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.Hal ini juga didukung gagasan Ki
Hajar Dewantara tentang pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
bathin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak (Samani & Hariyanto,
2012). Suastra (2012) mengidentifikasi 18 karakter bangsa Indonesia yang
berbaris kearifan lokal Bali yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran
sains meliputi, religius, satyam (berbuat jujur dan berkata benar), toleransi
(tat twam asi), disiplin, tanggungjawab, kreatif, rasa ingin tahu, cinta tanah
air, menghargai prestasi, menyama braya (bersaudara, gotong royong),
santhi (cinta damai), gemar membaca, mulat sarira (mampu merefleksi diri),
peduli dan bersahabat dengan alam, jengah (malu bila tidak mampu
mengemban tugas/tanggungjawab), tidak sombong, bekerja keras dan
dermawan. Koesoema (2010) mengatakan bahwa guru menjadi faktor
penting dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Dalam
pengembangan pendidikan karakter di sekolah, guru hendaknya mengikuti
sistem among Ki Hajar Dewantara yang meliputi, ing ngarsa sung tuladha
(jika di depan memberikan teladan), ing madya mangun karsa (jika di tengahtengah atau sedang bersama-sama menyumbangkan gagasan, maknanya di
samping guru memberikan idenya, para siswa juga didorong untuk
mengembangkan karsa atau gagasannya), dan tut wuri handayani (jika

159

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

berada di belakang menjaga agar tujuan pendidikan tercapai dan peserta
didik diberi motivasi serta diberi dukungan psikologis untuk mencapai tujuan
pendidikan) sebenarnya sarat akan nilai-nilai karakter.
Mampu berkomunikasi secara ilmiah
Guru
masa
depan
harus
memiliki
kemampuan
untuk
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian tindakan kelas atau pemikiranpemikiran mereka dalam bidang pendidikan sains, baik secara lisan maupun
tertulis. Mereka harus dapat mengeskpresikan ide-ide mereka secara ringkas
dan jelas. Guru sains diharapkan dapat memanfaatkan pertemuanpertemuan ilmiah, seperti seminar, workshop, pelatihan untuk
mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman serta ide-ide mereka untuk
disebarluarkan kepada teman sejawat. Kegiatan seperti ini akan memberi
kontribusi pada teman sejawatnya maupun bagi pengembangan kariernya ke
depannya.
Menguasai Informasi Teknologi (IT) dan membuat jejaring (networking)
Teknologi informasi melalui jaringan internet dewasa ini merupakan
sumber informasi dan sumber belajar yang penting. Oleh karena itu, guru
harus memiliki kemampuan untuk memanfaatkan media ini dalam mencari
informasi, mengolah, dan menggunakannya sebagai sumber belajar.Peran
guru perlu dirubah dari pemberi informasi menjadi manajer informasi.Sekolah
hendaknya menyediakan fasilitas internet sehingga memudahkan guru untuk
mencari sumber-sumber belajar demi tercapainya tujuan pembelajaran
secara efektif dan efisien. Guru harus mampu membuat jejaring terutama
dengan teman sejawatnya di dalam maupun di luar negeri. Melalui jaringan
ini guru akan mudah memperoleh informasi tentang perkembangan baru
dalam kurikulum, konten, media, penilaian, berbagai metode/pendekatan
pembelajaran, serta publikasi ilmiah yang berkaitan dengan tugas pokoknya
sebagai guru sains. Di samping itu, guru dapat juga menjalin kerja sama
dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas maupun publikasi ilmiah.
Namun, hal yang lebih penting untuk dimiliki oleh seorang guru adalah
kemampuan kemampuan mengelola informasi dengan arif dan bijaksana
serta kritis. Saat ini informasi yang beredar di dunia maya begitu banyaknya
dan mana yang benar dan mana yang palsu selalu bertebaran di dunia
maya. Oleh karena itu, peran guru adalah mendampingi anak didiknya agar
mereka kritis serta dapat memilah dan memilih mana informasi yang baik
dan benar dan mana yang salah atau palsu (Hoak).
Upaya-Upaya Peningkatan Profesional Guru Sains
Peningkatan profesional guru dapat ditempuh melalui beberapa cara,
yaitu inservice training; memberdayakan musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP), studi lanjut, memberdayakan organisasi profesi, menilai kinerja
guru mengajar di kelas secara kontinyu, dan sertifikasi dan uji kompetensi.

160

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

In-Service Training
Sekolah harus memberi kesempatan pada guru untuk berpartisipasi
dalam programin-service yang difokuskan pada perolehan pengetahuan
tentang kurikulum baru, pendekatan pengajaran baru, atau perkembangan
ilmu terkini. Beberapa kegiatan dapat berupa pelatihan guru dalam
mengimplementasikan suatu pendekatan baru, pengayaan penguasaan
materi subjek, meningkatkan kemampuan guru dalam membimbing
olimpiade siswa, peningkatan kemampuan meneliti/menulis dan kegiatan lain
yang sesuai dengan kebutuhan guru. Kegiatan in-service training ini dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan, Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maupun kerjasama anatara
sekolah/Dinas Pendidikan dengan perguruan tinggi yang baik/unggul yang
menyelenggarakan pendidikan guru atau sertifikasi guru.
Pemberdayaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Dalam upaya peningkatan profesional guru, peran MGMP ditingkatkan
menjadi sebuah gugus kendalai mutu pendidikan.Di gugus ini, para guru
berkumpul secara berkala untuk membahas masalah-masalah yang
berkaitan dengan profesi mereka dan tugas-tugas mengajar mereka.Lewat
gugus ini dapat diupayakan kegiatan pengayaan penguasaan bidang studi
yang diajarkan, mendiskusikan metode baru, mendiskusikan temuan-temuan
baru dalam bidang pendidikan sains. Pemerintah daerah melalui dinas
pendidikan semestinya memberi dukungan fasilitas maupun dana untuk
penyelenggaraan kegiatan ini.
Studi Lanjut
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat
mangharuskan guru untuk meningkatkan pengetahuannya.Untuk itu, sekolah
harus selalu mendorong dan memberi kesempatan pada guru-gurunya untuk
mengambil kuliah lanjut (magister) untuk menambah wawasan akademik
ataupun profesionalnya.Untuk membantu guru meningkatkan kualitas
profesionalnya, pendidikan lanjut bagi guru hendaknya diarahkan paling tidak
pada tiga hal, yaitu peningkatan pengetahuan materi subjek; peningkatan
pengetahuan pendidikan spesifik bidang studi; pendidikan profesional
(Lardizabal et al, 2001).
Menilai Kinerja Guru dalam Mengajar di Kelas secara Kontinyu
Menilai secara kontinu terhadap kinerja guru di kelas merupakan hal
yang esensial dalam pertumbuhan profesional guru sains. Penilaiani ini
dapat dilakukan oleh guru sendiri, teman sejawat, siswa, dan pengawas
(supervisor).Dalam konteks ini, peranan supervisor perlu direformasi.
Pelaksanaan supervisi yang selama ini lebih menitikberatkan pada
administrasi guru harus digeser ke supervisi kegiatan mengajar guru di
dalam kelas. Hasil supervisi ini dapat dijadikan umpan balik dalam
meningkatkan kualitas profesional guru penilaian kinerja guru.Bagi guru yang
kinerjanya bagus dapat diberikan penghargaan (reward) dan yang kurang
dilakukan pembinaan melalui program guru pembelajar.

161

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

Sertifikasi dan Uji Kompetensi secara Berkelanjutan
Tujuan sertifikasi guru adalah untuk mengetahui apakah guru telah
memiliki kemampuan profesional dan akademik yang memadai. Sertifikasi
dan uji kompetensi dapat menjadi instrumen untuk standarisasi profesi guru.
Dengan program sertifikasi akan terpetakan kemampuan guru secara
nasional. Data ini dapat digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan dan
pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.
Melalui program sertifikasi juga akan diperoleh peta kebutuhan pembinaan
mutu guru sebagai dasar peningkatan kompetensi dan kualifikasi. Program
sertifikasi juga diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi,
keterampilan, kemamdirian, dan tanggung jawab guru.Pemerintah harus
merancang kegiatan setelah mereka terpetakan dalam uji sertifikasi.Bila
kompetensinya masih kurang, diharapkan ada pembinaan atau pelatihan
sehingga kekurangannya dapat diatasi.Kegiatan sertifikasi juga harus
dilakukan secara berkelanjutan, misalnya setiap 4 atau 5 tahun sekali untuk
menjaga mutu guru tetap berkualitas. Dengan cara demikian, guru akan
selalu berusaha menjaga kualitas profesinya.
KESIMPULAN
Untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, berdaya saing tinggi,
dan berkarakter bangsa Indonesia yang kuat maka guru profesional harus
memiliki kompetensi, yaitu: (1) memahami hakikat ilmu dan implikasinya
terhadap pembelajaran, (2) menguasai isi pelajaran secara luas dan
mendalam dan cara pembelajarannya, (3) memahami budaya lokal dengan
berbagai karakteristiknya dan berperan sebagai “agen budaya” (cultural
broker), (4) menguasai dan mampu mengembangkan berbagai pembelajaran
inovatif untuk mengembangkan High Order Thinking (HOT) siswa, (5)
mampu mengajarkan bagaimana belajar (learning how to learn/metacognitive
processes) bagi siswa, (6) menguasai bahasa asing khususnya bahasa
Inggris, (7) mampu melaksanakan penelitian tindakan kelas, (7) menjadi
tauladan dalam pengembangan karakter bangsa, (8) mampu berkomunikasi
secara ilmiah, (9) menguasai IT serta mampu
membangun jejaring
(networking) dengan teman sejawat (seprofesi).
Berbagai upaya dalam pengembangan profesionalisme guru, yaitu: (1)
in-service training, (2) pemberdayaan MGMP, (3) studi lanjut, (4) menilai
kinerja guru di kelas secara kontinyu, dan (5) sertifikasi dan uji kompetensi
secara berkelanjutan.
Implikasi dari karakteristik guru masa depan sebagai berikut. (1)
Lembaga PendidikanTenaga Pendidikan (LPT) agar memiliki sistem dan
standar mutu yang jelas dalam menyiapkan dan mengembangkan
pendidikan guru. (2) Pemerintah daerah kabupaten, provinsi, dan pusat agar
bersinergi menjagi mutu guru secara berkelanjutan. (3) Masyarakat
(staheholder) agar ikut memberikan kontribusi dalam memantau dan
mengembangkan profesionalime guru.

162

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

DAFTAR RUJUKAN
Anderson, L.W. & Krathwohl, V. (2012). A Taxonomy of Learning, Teaching,
and Asssesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Education
Objectives. Longman.
Bell, V & Gilbert, J (1996). Teacher Development: A Model from Science
Education.Falmer Press.
Bell, Randy L. (2008). Teaching the Nature of Science: Three Critical
Questions.
tersedia
pada:
http://www.ngsp.com/Portals/0/downloads/SCL220449A_AM_Bell.pdf.
Cakikci, Y & Bayir, E. (2012).Developing Children’s Views of the Nature of
Science Through Role Play. Journal of Research in Science Teaching.
Collette, A.T & Chiappetta, E.L..(1994).Science Instruction in the Midle &
Secondary School. New York: Maxwell Macmillan International.
Ellianur. R,. Indonesia Peringkat 10 Besar Terbawah dari 65 Negara Peserta
PISA.
http://www.kompasiana.com/chanel/humaniora.
Diunduh
tanggal 17 Mei 2015.
Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Jakarta: Penerbit
Alpabeta.
Gardner, H. (2007). Five Minds for The Future (Alih Bahasa Tome Beka).
Gramedia Pustaka
George.J. (2001). Culture and Science Education:
Worldhttp://www.id21.org/education/e3jg1g2.html.(2001).

Developing

Gonzales, P., Williams,T., Jocelyn, L. Roey,S., Kastberg, D & Brenwald, S.
(2008). Higlights from TIMSS 2007: Mathematics and Science
Achievement of U.S. Fourth and Eighth Grade Students in an
International Context. Washington DC:Institute of Education Sciences.
Hardianty, N. (2015).Nature of Science: Bagian Penting dari Literasi Science.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2015.
Koesoema A. D. (2009). Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger
Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan
Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lardizabal, et al. (2000).Principles and Methods of Teaching. Phonix
Publishing House, Inc.
Lickona, T. (1991). Educating for Character. New Yor: Bantam Book.
Lickona,T. (1999). Character Education: Seven Crusial Issue. Action in
Teacher Education. 20(4):77-84.
McDermoot, L.C.(1990).A Persepective on Teacher Preparation in Physics
and Other Sciences. “The Need for Special Sciece Courses for
Teachers”.American Journal of Physics. 58 (8), 734-742.
Nasrul,H.S. (2014). Profesi dan Etika Keguruan. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.

163

2nd Annual Proceeding, November 2017 (ISSN: 2355-5106) STKIP Citra Bakti, Bajawa, NTT

National Research Council (NRC).(1996).National
Standard. Washington DC: National Press.

Science Education

Rose,C &Nicholl,M.J.(2002) Accelerated Learning for The 21st Century. P.12.
Editor: Purwanto. Penerbit Nuansa.
Samani, M & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya.
Suastra, I.W.(2013).Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa
dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budayanya. Singaraja:
Undiksha Press.
Suastra,I.W. (2012).Model Pembelajaran Fisika untuk Pengembangan
Kreativitas Berpikir dan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal Bali.
Makalah. Disajikan pada Konvensi Nasional Pendidikan (Konaspi) ke8 pada tanggal 30 Oktober s.d 4 Nopember 2012 di Yogyakarta.
Suastra,I.W. (2015). Guru Sains Profesional dan Berkarakter Indonesia.
Makalah. Disajikan pada Konvensi Nasional Pendidikan (Konaspi) ke9 padatanggal 12 – 15 Oktober 2016 di Jakarta.
Suastra,I.W. (2017). Balinese Local Wisdom and their Implications in Science
Education at School. International Research Journal of Management,
IT & Social Sciences (IRJMIS). 4(2), 42-50.
Suma, K. (2004).Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja
Edisi Khusus XXXVII Desember.
Tilaar, H.A.R. (2012).Pengembangan Kreativitas dan Enterpreneurship
dalam Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Kompas.
Widja. I.G. (2016). Pendidikan Nasional antara Harapan dan Realitas.
Jakarta: Krishna Anadi Printing.
Wijda,I.G. (2016) Pendidikan Nasional: Mengurai Benang Kusut (Suatu
Refleksi dari Perspektif Antropologi Pendidikan). Jakarta: Krishna
Anadi Printing.
Wenning, C. J. A. (2006). Framework for teaching the nature of science.
Journal of Physics Teacher Education Online. 3(3): 3-10. Tersedia
pada: http://www.phy.ilstu.edu/jpteo.
Zamroni. (2001) Peran Kolaborasi Sekolah-Universitas dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di
Indonesia. Makalah.Disampaikan pada National Seminar on Science
Education Faculty of Science and Mathematic Education on
Collaboration with Japan International Cooperation Agency and
Directorate General of Higher Education. Bandung August 21, 2001

164