Aspek Budaya dalam Korupsi dalam

Aspek Budaya dalam Korupsi
Oleh: S Waryanti dan AB Wibowo
Pada tahun 1970 organisasio-organisasi mahasisiva Indonesia pernah
turun ke jalan-jalan di Jakarta untuk memprotes korupsi yang terjadi dalam
tubuh pemerintah. Peristiwa ini dapat dikatakan antiklimaks aksi anti korupsi
yang terjadi dalam kurun waktu 25 tahun sejarah Republik Indonesia. Aksi ini
kemudian mendapat tanggapan serius dari Bapak Soeharto, Presiden Republik
Indonesia, yang dengan tegas menyatakan, “tidak perlu ada keragu-raguan
lagi, saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi”.
Pernyataan pribadi ini sebagian dapat meredam gejolak persoalan yang
bergejolak saat itu. Akan tetapi dengan masalah yang sifatnya mudah
menyebar korupsi dipastikan menjadi persoalan yang berulang kembali dan
tidak ada habisnya. Karena apabila dilihat definisinya.korupsi tidak hanya
mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk kepentingan pibadi
(korupsi moneter), tetapi juga mencakup aspek skala korupsi juga mencakup
pemberian hadiah berupa rokok, penyahlagunaan waktu sampai pemberian
komisi dan lain-lain.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia
bertambah dahsyat menghantui masyaakat kita. Tidak kurang almarhum M
Hatta, bekas Wakil Presiden RI berujar bahwa korupsi telah membudaya di
Indonesia. Di tahun 1990, Jenderal M Yusuf sebagai Ketua Badan

Pemeriksaan Keuangan (BPK) pernah mengungkapkan di depan DPR bahwa
lembaga yang dipimpinnya itu menemukan banyak penyimpangan terhadap
ketentuan-ketentuan
yang
berlaku
dalam
pemakaian
dana-dana
pembangunan. Sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga riset luar negeri
mengambil kesimpulan bahwa korupsi masih berlangsung di Indonesia dan
tampaknya makin marak saja. Mengapa korupsi menjadi penyakit kronis yang
tidak pemah hilang di Indonesia? Tentunya, banyak faktor yang dapat
menyebabkannya. Tulisan ini mencoba mengangkat masalah korupsi dari
aspek budaya.

Aspek budaya
Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Serambi Indonesia pada
tanggal 27 Desember 1997 hari Sabtu halaman 4.





Dra Sri Waryanti dan Drs. Agus Budi Wibowo M.Si, keduanya adalah
staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

1

Pada beberapa abad yang lalu banyak daerah di Pulau Jawa diperintah
secara efektif oleh kaum aristokrat. Kaum ini banyak yang menikmati hakhak istimewa patrimonial yang berbeda dengan di Eropa yang feodal. Banyak
jabatan seperti pangeran, atau waliraja merupakan jabatan yang diwariskan
secara turun temurun. Mereka mendapat sebagian hasil panen dari rakyat,
seperti halnya dengan jasa domestik yang dikenal dengan panen.
Pada masa pemerintahan Daendles hak-hak istimewa itu mulai
dihilangkan. Namun usaha-usaha Daendles tersebut terancam gagal karena
adanya dampak Perang di Jawa (1825-1830). Akan tetapi pada akhir abad
ke19 kondisi berbalik dan mulai banyak hak istimewa tradisional tersebut mulai dikurangi pada segenap pemerintahan, kecuali di desa yang merupakan
basis pemerintahan sipil di Jawa. Di saat itu tidak ada pembedaan antara
uang yang masuk dan keluar. Kepala desa yang tidak digaji memungut pajak,
membayar untuk diri sendiri apa yang mereka rasakan patut untuk mereka
dan baru memakai sisanya untuk kepentingan desa. Singkatnya secara tradisi

hanya terdapat sedikit perbedaan antara uang pmerintah dan uang pribadi.
Praktek ini seluruhnya sesuai dengan nilai-nilai patrimonial.
Sejak kemerdekaan pola ini hanya sedikit.mengalami perubahan di
banyak desa di Jawa. Karena banyak anak desa yang mulai menduduki
jabatan tingkat kecamatan, kabupaten. Namun tingkah laku dan nilai-nilai
yang diterima secara tradisional itu tiba-tiba menjadi tingkah laku dan nilai
yang korup secara legal. Oleh karena sebagian besar dari pegawai Indonesia
dewasa ini berbasis dan dibesarkan di desa dan di dalam diri mereka pasti
sudah (dan masih) membawa banyak nilai-nilai tradisional itu ke dalam
jabatan mereka, maka pertentangan berdasarkan norma ini mempunyai
hubungan yang penting atas tingkah laku birokratik mereka (Soenarso, 1996:
Smith, 1993).
Oleh karena contoh yang tepat dari pejabat regional menunjukkan mayoritas yang jelas bahwa mereka dilahirkan dan dibesarkan di desa, maka
terdapat hubungan potensial dengan sistem patrimonial, seperti diuraikan
begitu baik oleh Geertz. Meskipun tidak ada data pembanding yang baik
untuk menunjukkan perbedaan dalam nilai-nilai di daerah desa dan kota,
namun sisa-sisa struktur nilai patrimonial yang kuat dapat dijumpai pada
sebagian besar penduduk kota yang multi-generasi. Jadi tidak adanya
kesesuaian antara nilai pegawai negeri dan norma birokratik yang rasional
legal, lebih umum dari pada data yang ditunjukkan oleh tempat lahir dan

masa kecil.
Meskipun penjelasan yang diberikan di atas tidak dimaksudkan sebagai pembelaan atas korupsi. Penjelasan ini cukup berguna untuk
menjelaskan dilema yang dihadapi oleh banyak pejabat pemerintah. Dididik
dalam nilai-nilai desa secara tradisional banyak dari mereka memasuki
pemerintah langsung pada saat kemerdekaan tanpa memperoleh manfaat
dari perubahan nilai yang ditimba dari pendidik yang lebih tinggi. Dewasa
ini mereka dibebani (dibantu ?) oleh nilai-nilai tradisional atau kalau tidak

1

mereka mengetahui
meningkat.

sedang dalam

keadaan disorientasi

moral yang

Pemahaman makna sistem nilai tradisional yang berlanjut terus di Jawa

juga membantu menjelaskan mengapa gerakan anti-korupsi jarang bertahan
lama (Smith, 1993). Budaya administratif di Jawa dibangun atas dasar
kedudukan status, sikap ramah dan rasahormat yang berlebihan.
Dengan demikian, untuk melakukan tuduhan langsung terhadap
seseorang karena praktek korupsi menimbulkan perselisihan terbuka yang
tidak akan menyenangkan dan akan mengancam mata pencaharian dan
status seseorang, keluarga, staf, dan bahkan mungkin organisasinya.
Sebagai benang yang mulai terurai, pengungkapan perbuatan salah
seorang pejabat dapat menimbulkan keterlibatan yang merusak beberapa
orang lain, bahkan mereka yang tidak dicurigai. Seorang peneliti, David
Mitchel (Smith, 1993) mengemukakan bahwa sebagian besar dari pejabat
dalam kabupaten yang diselidikinya saling terlibat dalam praktek korupsi
“tahu sama tahu”. Untuk tipikal orang Jawa, biaya batiniah dari pertikaian
langsung antara orang banyak dan budaya yang terlibat dalam gerakan anti
korupsi.Padahal hal itu merupakan syarat mutlak agar gerakan ini berhasil
dan berdaya guna.
Akhirnya, bahwa korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negaranegara lain di dunia juga berlangsung tindakan-tindakan semacamnya.
Penyakit ini tidak akan hilang apabila tidak ada tindakan nyata dari individu
dan political will dari pemerintah untuk memberantasnya. Salah satu cara
mungkin dapat dilaksanakan adalah melalui upaya-upaya penelusuran akar

dari masalah yang menjadi penyebab. Upaya tersebut diantaranya bisa
melalui gerakan disiplin nasional (GDN) yang terdiri dari budaya kerja.budaya
tertib, budaya bersih, dan budaya malu.

1