31 BAB III TEOLOGI ISLAM

BAB III
TEOLOGI ISLAM
A. Pengertian Teologi Islam
Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran dasar dari suatu agama.
Setiap orang menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya, mempelajari
teologi akan memberi seseorang keyakinan yang berdasarkan kepada landasan
kuat yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Ushul al-Din dan oleh
karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam islam selalu diberi nama
kitab Ushul al-Din oleh nama pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar disebut ‘Aqa’id
atau keyakinan-keyakinan. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid.
Dalam istilah asing sudah sering pula dikenal untuk nama ilmu ini dengan
sebutan teologi yang terdiri dari dua kata yaitu “theos” dan “logos” yang berarti
“Tuhan” dan “ilmu”. Jadi teologi berarti ilmu tentang ketuhanan.
Berdasarkan informasi di atas, nyatalah persoalan prinsip yang dibahas
dalam ilmu (teologi) adalah:
1. Esensi Tuhan itu sendiri dengan segenap sifat-sifatnya.
2. Manusia dan seluruh alam, serta hubungannya dengan Tuhan.
3. Hubungan yang mempertalikan antara Tuhan sebagai pencipta
dengan alam sebagai ciptaan-Nya, melalui utusan-utusan atau

ajaran-ajaran tertentu.

31

32

Oleh karena itu teologi bersifat umum, artinya bisa berbagai aliran
kepercayaan atau agama mempergunakannya, baik kepercayaan yang bersumber
dari wahyu ataupun kepercayaan yang bersumber dari hasil pemikiran filosofis,
untuk melakukan penelitan yang mendalam yang membedakan satu agama
dengan agama lainnya, perlu diberi kualifikasi terhadap kata teologi itu sendiri,
sehingga dijumpailah istilah teologi Kristen, teologi Yahudi, teologi Islam, artinya
yang menjdi pokok perbincangan adalah segala sesuatu persoalan keyakinan
tentang ketuhanan menurut ajaran Islam.
Dalam Islam teologi itu disebut juga dengan ‘ilm al-tauhid ‘ilm al-kalam,
ajarannya yang berpatokan pada agama. Teologi Islam juga disebut sebagai suatu
disiplin ilmu yang tumbuh pada zaman klasik.
Teologi dikalangan umat Islam ada yang bersifat liberal atau rasional dan
ada pula yang bersifat tradisional. Yang dimaksud dengan teologi rasional adalah
pikiran yang bersifat filosofis dan ilmiah yang muncul dikalangan pemikiran

Islam klasik. Teologi ini juga mempunyai konsep bahwa Tuhan mengatur alam ini
sesuai dengan Sunnatullah, yaitu hukum ciptaan Tuhan. Adapun ciri-ciri teologi
rasional ini adalah;
a. Akal mepunyai kedudukan tinggi
b. Manusia bebas berbuat dan berkehendak
c. Karena akal kuat, manusia mampu berdiri sendiri, mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan mampu berfikir secara mendalam

33

d. Teologi ini mempercayai adanya hukum yang ada di alamnya.
sedangkan teologi tradsional adalah teologi yang dihasilkan oleh ulama
klasik yang hanya bersumber pada ajaran dasar, ajaran al-quran dan hadis,
sedangkan ciri-ciri teologi Tradisional antara lain:
a. Akal mempunyai kedudukan yang rendah
b. Manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak, karena akal lemah
manusia bergantung pada kehendak mutlak Tuhan, karena itu
tidak adanya paham sunnatullah dalam teologi ini.

B. Sejarah Lahirnya Teologi Islam

Latar belakang munculnya teologi Islam ini ada dua, yaitu
Sebab-sebab dari dalam
a. Ketika kaum muslimin membuka negeri baru untuk masuk islam,
mereka mulai tentram dan tenang fikirannya itu, di samping
limpahnya rezki. Di sinilah mulai membahas persoalan agama da
berusaha mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya
saling bertentangan.
b. Sebab yang kedua adalah soal politik. Untuk soal ini ialah soal
khilafah (pimpinan pemerintahan negara).
Ketika Rasulullah sakit dan meninggal dunia, tidak ada pesan
beliau tentang siapa penggatinya, tidak ada juga ketentuan

34

bagaimana cara menentukan siapa pengganti Rasulullah sebagai
kepala pemerintahan, hanya di dalam al-Qur’an dan kemudian
menjadi tradisi kaum muslimin dibawah pimpinan nabi, untuk
melakukan

permusyawaratan


dalam

memecahkan

masalah-masalah duniawi termasuk masalah-masalah kenegaraan.
Sejarah menyebutkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui
oleh masyrakat Islam di waktu itu, pengganti nabi dan mengepalai
negara. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khatab
dan Umar oleh ‘Usman Ibn Affan.
Diantara Khulafa ar-Rasyidin yang empat, Usman terhitung
paling lama memerintah yaitu 12 tahun (24-35 H). Namun pada
masanya yang cukup lama tidak seluruhnya menjadinya menjadi
saat gemilang. Enam tahun pertama ia popular, enam tahun
kemudian ia menyedihkan. Di sini keadaan berbalik mundur.
Timbul gejala-gejala politik, huru-hara silih berganti, petisi dan
intrik merajalela yang membuahkan pembunuhan diri Usman pada
hari Jum’at, tanggal 8 Zulhijjah tahun 35 H. Kerusuhan yang
berlanjut dengan terbunuhnya Usman sendiri yang dinilai para
perusuh sebagai tidak adil dan tidak bijaksana.

Peristiwa terbunuhnya Usman menjadi titik tolak yang jelas
dari

permulaan

berlarut-berlarutnya

perselisihan

bahkan

35

peperangan di antara kaum muslimin sendiri. Sebab sejak waktu
itu timbullah orang menilai tentang peristiwa pembunuhan itu, di
samping

menilai amal perbuatan sendiri sewaktu hidupnya.

Segolongan kecil megatakan bahwa Usman itu kafir dan

pembunuhanya adalah benar, sebab Usman dianggap salah satu
akhir masa jabatannya. Pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan
terhadap usman itu adalah kejahatan besar dan pembunuhnya
adalah kafir.
c. Peristiwa Tahkim
Khlifah keempat segera terpilih setelah Usman terbunuh.
Khlifah ke-empat, Ali Bin Abi Thalib menantu Nabi memikul
tanggug Jawab yang berat, yaitu menyelesaikan masalah politik
dan hukum atas peristiwa pembunuhan khalifah Usman.
Kemuculan persolan kalam dipicu oleh persoalan politik
yang menyangkut peristiwa pembunuhan Usman bin Affan yang
berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifaan Ali bin Abi
Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib
mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan peristiwa
tahkim.
Adapun akibat dari peristiwa tahkim ini, selain timbul
perpecahan dan tubuh umat Islam ke dalam golongan-golongan

36


juga menimbulkan aliran-aliran dalam teologi. Keputusan Ali yang
mau menerima penyelasaian konflik dengan jalan tahkim,
walaupun dilakukan dengan terpaksa, ternyata menimbulkan rasa
tidak puas di kalangan pasukan. Mereka yang tidak puas ini
memisahkan diri dari Ali dan membentuk kelompok tersendiri
yang selanjutnya dikenal dengan sebutan kaum khawarij.
Selanjutnya

golongan

khawarij

ini

mengeluarkan

pernyataan-pernyatan yang berbau theologis. Mereka misalnya
memandang bahwa Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr ibn
al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima
arbitrase adalah kafir.

Persolan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam
Islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar
adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya
murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah menegaskan bahwa orang-orang berbuat dosa
besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa
yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau menghukumnya.

37

3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir tapi bukan
mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir,
yang dalam bahasa arabnya dikenalnya dengan manzilah baina
manzilatain (posisi diantara dua posisi).
C. Corak Teologi Islam
Aliran-aliran teologi yang timbul dalam Islam terdapat lebih dari suatu
aliran, namun yang terkenal dalam termasyhur hanya tiga aliran teologi yaitu:

Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Corak teologi yang pertama adalah corak
teologi rasional liberal. Corak ini terdapat pada aliran Mu’tazilah dan Maturidiah
Samarkand. Kedua corak teologi tradisional dan fatalis. Corak ini terdapat pada
aliran Asy’ariah dan Maturidiyah Bukhara.
Disini penulis lebih memfokuskan pembicaraan pada dua aliran yang
sangat terkenal yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariah.
1. Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah dikenal sebagai golongan rasional yaitu
golongan yang lebih mendahulukan argumen rasional, dan bukan berarti
Mu’tazilah mengenyampingkan naql (wahyu). Untuk dapat melihat letak
kerasionalan golongan Mu’tazilah dapat ditelusuri berdasarkan cara
mengatasi empat persoalan teologi diantaranya: mengetahui Tuhan,
mengetahui kewajiban berterimah kasih Tuhan, mengetahui yang baik dan

38

buruk, mengetahui kewajiban, mengetahui mengerjakan yang baik dan
menghindari yang buruk.
Bagi Mu’tazilah keempat persoalan di atas dapat diketahui dengan
akal, karena dengan perantara akal maka kewajiban-kewajiban dapat

diketauhi dengan pemikiran dan kekuatan akal. Paham Mu’tazilah ini
didasarkan pada surat al-Fusshilat ayat 53

 ฀     
  ฀  ฀  

     ฀   

53. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah
benar. Tiadakkah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah memberikan petunjuk
bahwa manusia wajib beriman kepada Allah dengan kemampuan akalnya
dapat mengetahui bahwa kekufuran itu haram. Di samping penggunaan
akal di atas, kerasionalan golongan Mu’tazilah juga dapat dilihat dari
pandangan terhadap konsep kebebasan manusia, konsep kekuasaan dan

39


kehendak Mutlak Tuhan, konsep keadilan Tuhan, dan perbuatan-perbuatan
Tuhan, konsep Iman.
Untuk mengetahui corak ajaran Mu’tazilah selanjutnya dapat
dilihat dalam ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah. Menurut Harun Nasution
ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah diberi nama pancasila atau al-ushul
al-khamsah, yaitu al-tauhid, al-adl, al- wa’ad wa al-wa’id, al-manzilah
baina manzilatain, dan al-‘amr bin ma’ruf wa al- nahy an munkar.
Pandangan

rasional

kaum

mu’tazilah

dapat

dilihat

pada

kedudukan akal, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, kewajiban
mengatahui Tuhan, mangenai baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang jahat.
Untuk dapat dipahami bahwa ciri-ciri dari teologi rasional adalah:
a. Kedudukan akal yang tinggi
b. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
c. Kebebasan berfikir hanya dilihat oleh ajaran-ajaran dasar
dalam al-Quran dan Hadis yang jumlah sedikit
d. Percaya adanya Sunnatullah
e. Mengambil arti metaforis dari teks wahyu
f.

Dinamakan dengan sikap dan berfikir

2. Asy’ariah

40

Paham teologi Asy’ariah merupakan paham teologi tradisional.
Dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kedudukan akal rendah
b. Ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
c. Kebebasan berfikir yang banyak diikat dengan dogma
d. Ketidak percayaan pada Sunnatullah
e. Statis dalam berfikir dan berbuat
Melihat dari ciri-ciri di atas maka, Asy’ariah jelas dapat
dikelompokkan menjadi teologi tradisional karena teologinya yang bersifat
mengambil makna harfiah, manusia tidak bebas berbuat karena adanya
ikatan-ikatan berupa dogma, sehingga manusia berjalan sesuai menurut
ketentuan yang ada, di samping itu adanya kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Asy’ari juga menempatkan manusia pada posisi yang
lemah. Berikut ini penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang
persolan-persoalan di atas dan dibatasi kepada dua persoalan yang
nantinya sangat berkaitan dengan pembahasan selanjutnya.
Aspek-aspek tersebut antara lain, akal dan wahyu, perbuatan manusia.
a. Akal dan wahyu
Menurut pendapat Harun Nasution teologi merupakan ilmu
yang membahas tentang ketuhanan dan kewajiban manusia
terhadap Tuhan. Disini akal akan berfungsi sebagai daya berfikir

41

yang ada dalam diri manusia, berusaha untuk sampai kepada
Tuhan, dan wahyu sebagai konfirmasi dari alam yang disampaikan
kepada manusia yang ada mencakup mengenai Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, dalam arti kata
berusaha untuk sampai kepada Tuhan, yang mana tujuan utama
adalah mengenai Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia.
Sedangkan sistem teologi yang dapat digunakan terhadap
aliran-aliran teologi Islam berpendapat bahwa akal manusia bisa
sampai kepada Tuhan, sebagaimana pertanyaan yang dimajukan
adalah sebagai berikut:
1. Sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat
mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia?
2. Sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua
hal di atas?
Bagi

kaum

Mu’tazilah

segala

pengatahuan

melalui

perantaraan akal, sedangkan kewajiban-kewajiban dapat diperoleh
melalui

pemikiran-pemikiran

yang

mendalam.

Jadi

disini

penegtahuan itu tercipta karena adanya peranan akal, di samping
itu mengetahui kewajiban-kewajiban juga menggunakan akal,
sehingga terciptalah ilmu pengetahuan yang mendalam dan tidak
mengenyampingkan kewajiban-kewajiban. Dalam hal berterimah

42

kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu, manusia wajib
berterimah kasih kepada Tuhan. Sedangkan baik dan jahat wajib
diketahui dengan akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang jahat adalah wajib.
Sebagaimana pendapat Asy’ari segala kewajiban manusia
hanya dapat diketahui dengan wahyu, akal tidak menjadi wajib
diketahui melalui wahyu, akal tidak wajib mengetahui bahwa
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi
manusia.
Disamping itu juga dikatakan bahwa akal tak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itu wahyu
diperlukan, sedangkan akal dapat mengetahui baik dan jahat itu
jelas dalam karangan-karangan Asy’ari.
Paham Asy’ari yang dikemukakan oleh pemuka-pemuka
Asy’ariyah, sebagaimana terdapat di dalam kitab al-Luma’
al-Asy’ari menulis “ jika seseorang mengatakan: jika berdusta
adalah jahat karena menentukan demikian”, jadi jelas baik dan
buruk ditentukan Allah. Bukan oleh akal manusia. Kalau ditinjau
ulang lagi antara pendapat-pendapat di atas tersebut adanya
pertentangan, karena versi pandangan suatu aliran.

43

Sedangkan pendapat yang dikemukakan Muhammad Abduh
juga dikatakan dalam bukunya Hasyiah ‘ala al-Aqa’id al-Adudiah’
sebagaimana komentar tentang Al-Ijl bahwa akal tidak dapat
menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan, bagi kaum
Mu’tazilah dan kaum Maturidiah, menurut Muhammad Abduh
perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar.
Sedangkan baik dan buruknya suatu perbuatan tidak
tergantung pada sifat yang ada di dalamnya, tetapi bergantung pada
perintah larangan Tuhan, bagi Mu’tazilah dan kaum Maturidiah
berpendapat bahwa baik dan buruk, yang mana perbuatan itu bisa
diketahui dari perintah atau larangan yang diturunkan Tuhan
terhadap perbuatan itu. Sedangkan pendapat Al-Maturidi yang
dipandang benar oleh Muhammad Abduh tidak memberi
penjelasan yang pasti. Tapi disini Al-Maturidi lebih menjelaskan
mengenai Al-Ijl yang berbicara mengenai baik dan buruk dan
bukan mengenai kewajiban berbuat baik dan larangan berbuat
jahat.
Sedangkan akal menurut pendapat Al-Maturidi dapat
mengetahui baik dan buruk, lebih menjelaskan mengenai perintah
dan larangan, dan bukan mengerjakan baik dan menjauhi yang
buruk. Demikianlah pendapat yang dikemukakannya sehingga akal

44

dapat mengetahui tiga persolan pokok dan yang ketiga adalah
kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui
hanya melalui wahyu.
Dari fenomena di atas dapat dibandingkan pendapat antara
aliran Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Menurut Asy’ariah
dan Maturidiah golongan Bukhara berpendapat bahwa akal tidak
dapat mengetahui kewajiban berterimah kasih kepada Tuhan, akal
juga tidak menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia.
Kedua aliran ini juga berbeda paham dalam memandang
akal, menurut Maturidiah Bukhara, akal dapat sampai mengetahui
Tuhan. Akal hanya tidak sampai kepada pengetahuan adanya
Tuhan dan tidak lebih dari itu. Lebih difokuskan bahwa Maturidiah
Bukhara, memberi daya yang lebih besar kepada akal daripada
Asy’ariah. Lain halnya dengan aliran Mu’tazilah dan Maturidiah
Samarkand berpendapat bahwa akal dapat sampai, tidak hanya
kepada adanya Tuhan. Tetapi akal menurut Maturidiah Samarkand
tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban
menjauhi kejahatan. Di samping itu pula menurut kedua pendapat
di atas, akal punya kewajiban berterimah kasih kepada Tuhan.
Sedangkan aliran Asy’ari yang memberikan daya terkecil kepada
akal.

45

a. Free Will dan Predistination
Menurut kaum Mu’tazilah dalam sistem teologi, manusia
dipandang mempunyai daya yang mengandung paham kebebasan,
lain halnya dengan Al-Juba’i bahwa manusia yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh
kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Sedangkan menurut ‘Abd al-Jabbar, perbuatan manusia
bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia , tetapi manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatan, perbuatan itu muncul
karena adanya daya yang bersifat baharu, Tuhan menciptakan daya
di dalam diri manusia, jadi dapat disimpulkan bahwa manusia
sebagai pelaksana segala perbuatan dan Tuhan sebagai pemberi
daya pada manusia.
Bertitik tolak dari paham Mu’tazilah di atas lebih
memfokuskan, bahwa daya dari manusia dan bukan daya dari
Tuhan untuk mewujudkan perbuatan manusia. Jadi perbuatan
adalah sebenarnya perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan.
Sedangkan menurut Asy’ari menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, Tuhan lah yang
menjadikan perbuatan sebenarnya, perbuatan manusia timbul dari

46

manusia sendiri, tetapi manusia diberi daya. Menurut Asy’ari kasb
(pemberian daya-daya) tidak bisa terjadi kecuali daya yang
diciptakan dalam diri manusia.
Mengenai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa itu lahir dari dalam diri manusia itu
sendiri, diri manusia kadang berkuasa kadang tidak berkuasa. Di
samping itu Al-Maturidiah menyebut daya yang diciptakan, tetapi
tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia,
sedangkan mengenai kehendak manusialah yang menentukan
pemakaian daya, baik itu untuk kebaikan maupun untuk kejahatan.
Sedangkan menurut Al-Bazdawi mengatakan bahwa di dalam
perwujudan perbuatan, terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan
dan perbuatan manusia, perbuatan Tuhan adalah menciptakan
perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya.

D. Ruang Lingkup Kajian Teologi Islam
Yang termasuk dalam masalah kalam atau teologi adalah segala persoalan
yang berkaitan dengan akidah yang diperdebatkan oleh mutakallimin. Pada bagian
ini, setiap persoalan itu tidaklah mungkin dapat dijelaskan secara menyeluruh.
Oleh sebab itu, penulis hanya menjelaskan persoalan yang dianggap penting dan
sering dibicarakan oleh mutakallimin.

47

Di antara persoalan-persoalan yang sering dibicarakan dan diperdebatkan
oleh mutakallimin tersebut adalah akal dan wahyu, fungsi wahyu, free will dan
predestination, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan tuhan, sifat-sifat
Tuhan. Dalam pembahasan ini akan digambarkan pendapat atau pandangan
aliran-aliran

teologi

Islam

terhadap

persoalan-persoalan

teologi

beserta

argmentasi dari masing-masing aliran teologi di atas.
Dalam menggambarkan pembahasan ruang lingkup kajian teologi Islam,
penulis memfokuskan tiga aliran teologi Islam saja, agar pembahasan ini lebih
terarah dan lebih jelas, yang mana ketiga aliran teologi ini merupakan aliran
teologi terbesar sepanjang sejarah umat Islam dan juga ketiga aliran teologi inilah
yang paling besar pengaruhnya dan yang mewarnai corak pemikiran di dunia
Islam. Ketiga aliran tersebut ialah aliran Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.
1. Akal dan Wahyu
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan, memakai
akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal
tersebut. Akal, sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia,
berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Tuhan.

48

Akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam
menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Dalam teologi Islam,
akal dan wahyu dihubungkan dengan persoalan mengetahui Tuhan dan
persoalan baik dan buruk. Persoalan pertama berkembang

menjadi

mengetahui Tuhan dan kewajiban mengenai Tuhan, persoalan kedua
berkembang menjadi mengetahui baik dan buruk dan mengetahui
wajibnya mengerjakan yang baik dan mengetahui yang jahat. Dengan
demikian, ada empat persoalan yang berkaitan dengan akal wahyu.
Keempat persoalan ini telah dibicarakan oleh keempat mazhab kalam,
yaitu Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah Samarkhan dan Bukhara.
Polemik yang terjadi antara-antara aliran teologi Islam yang
bersangkutan ialah, yang manakah diantara keempat masalah itu yang
dapat

diperoleh melalui

akal

dan mana

yang melalui

wahyu.

Masing-masing aliran mempunyai paradigma dan pendapat serta
jawaban-jawaban yang berbeda.
Dalam pandangan Mu’tazilah disamping untuk memperoleh
pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara
kebaikan dan kejahatan. Dengan kata lain akal mempunyai fungsi dan
tugas moral. Demikian pentingnya akal bagi kaum Mu’tazilah sehingga
mereka

dijuluki

kaum

rasionalis

Islam,

karena

mereka

sangat

mengutamakan pemakaian akal dalam pembahasan mengenai masalah

49

keagamaan, namun demikian mereka juga masih tetap berpegang pada
wahyu.
Bagi Mu’tazilah, mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui
Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan mengetahui wajibnya menjauhi
yang jahat itu diketahui dengan akal. Tanpa wahyu pun akal manusia
mampu mengetahui keempat persoalan tersebut.
Kaum Asy’ariah, sebaliknya berpendapat bahwa akal tidak begitu
besar daya kekuatannya. Diantara keempat masalah di atas akal dapat
sampai hanya kepada adanya Tuhan. Soal kewajiban manusia terhadap
Tuhan, soal baik dan buruk, dan kewajiban berbuat baik serta kewajiban
menjauhi kejahatan, itu tidak dapat diketahui akal manusia. Itu diketahui
manusia hanya melalui wahyu yang diturunkan Tuhan melalui para Nabi
dan Rasul.
Asy’ariah, lebih bergantung kepada wahyu, selain itu baru
memberi argumen-argumen rasional terhadap teks atau nash al-qur’an.
Sebab menurut pandangan mereka akal tidak dapat mengetahui semua
persoalan Tuhan, tetapi akal hanya dapat mengetahui Tuhan saja. Dalam
hal ini aliran Asy’ariah berpandangan akal sebagai konfirmasi dan sebagai
informasi, jadi akal tidak dapat mengetahui seandainya tidak ada
informasi wahyu.
2. Free Will dan Predestination

50

Perbincangan tentang Free Will dan Predestination yang dalam
pemikiran kalam tersebut dengan istilah jabariah selalu dikaitkan dengan
dinamika dan fatalisnya manusia. Sebagaimana diketahui pemikiran kalam
yang secara sederhana, diartikan membahas soal-soal yang berkaitan
dengan Tuhan dan hubungannya dengan manusia, memang menampilkan
dua pandangan di atas. Pola hubungan manusia dengan Tuhan dalam
keyakinan seseorang merupakan faktor utama dalam mewujudkan persepsi
dunia bagi dirinya.
Paham Free Will dan free act atau qadariah, yang memandang
manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan, mungkin
manusia bersikap dinamis. Paham ini dianut oleh Mu’tazilah dan
Maturidiah Samarkand. Sedangkan paham predestination atau jabariah,
yang memandang manusia telah ditentukan semenjak asal, mungkin
manusia bersikap fatalis. Paham ini dianut oleh aliran Asy’ariah dan
Maturidiah Bukhara.
Dari penjelasan di atas, kedua paham tersebut memberikan
informasi bahwasanya dalam kajian Teologi Islam terdapat dua hal
yang mempengaruhi manusia dalam beraktifitas yaitu paham dinamis
dan fatalis, yang mana implementasinya tergantung dari masing-masing
individu yang memaknai kedua paham ini.
3. Kekuasan dan Kehendak Mutlak Tuhan

51

Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak dan
kekuasaan

yang

berbatas

meski

yang

membatasinya

adalah

kehendaknya sendiri. Menurut Mu’tazilah yang membatasi kehendak
dan kekuasaan Allah itu adalah:
a.

Kebebasan yang telah diperbaiki-Nya kepada manusia untuk
memilih dan melakukan perbuatannya

b.

Sunnah-Nya dalam mengatur alam semesta dan makhluknya

c.

Norma keadilan

d.

Kewajiban yang telah ditetapkan-Nya atas diri-Nya terhadap
manusia
Sebaliknya Asy’ariah mengatakan bahwa Allah memiliki

kehendak yang mutlak. Karena itu, dia dapat berbuat apa saja secara
sewenang-wenang pada makhluk-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya
tanpa ada yang membatasi dan melarang-Nya.
4. Keadilan Tuhan
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh sifat
adil. Oleh karena itu, Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak
hati-Nya menyalahi prinsip keadilan yang telah ia tetapkan. Tuhan
sudah terikat pada janji-janji dan nilai-nilai keadilan yang telah ia
tetapkan yang kalau dilanggar menjadikan-Nya tidak adil atau zalim
dan dusta.

52

Paham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham
kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak
Tuhan. Kaum Mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan akal dan
kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tedensi untuk
meninjau wujud ini dari sudut rasional dan kepentingan manusia.
Memang dalam paham Mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia.
Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan
Tuhan. Mempunyai tendensi yang sebaliknya. Mereka menolak
paham

Mu’tazilah

bahwa

perbuatan-perbuatan-Nya.

Tuhan

mempunyai

tujuan

dalam