PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FIQH MUAMALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah pengelolaan pendidikan
yang di ampu oleh Bapak Anas Malik, M.E.Sy
Kelompok 3
Muhamad Oki Megananda 1721020050
Dwi Yola

1721

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
BANDAR LAMPUNG
2017/2018

KONSEP HARTA DALAM FIQIH MUAMALAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat

penting. Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan harta,
manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer, sekunder, bahkan
tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial atau hubungan
horizontal (manusia). Sebab harta ini didapat setelah terjadi hubungan timbal balik antar
manusia, atau biasa dikenal dengan kerja sama. Kerja sama dilakukan untuk memperoleh
sesuatu yang diinginkan, yaitu harta.
Tidak ada larangan dalam mencari harta baik konvensional maupun syariah, semua
sama-sama menganjurkan kepada manusia untuk mencari harta. Harta bagi manusia
merupakan dzat yang sangat berharga. Meskipun terkadang ada sekelompok orang yang tidak
menganggap itu berharga karena mungkin mereka telah memiliki sesuatu yang lebih
berharga. Singkatnya, penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif, tidak mengikat.
Sebab tergantung siapa yang menilainya. Bagi orang miskin, sepeda motor merupakan harta
yang paling berharga. Namun tidak bagi orang kaya. Orang kaya menganggap mobil mewah
lah harta yang paling berharga. Itulah sebabnya mengapa penilaian terhadap harta dilakukan

secara subyektif. Menyangkut sistem pembagian harta, dilihat dari subyek yang membaginya
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara Islami dan konvensional. Dua hal tersebut
memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam membagi harta. Dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang konsep harta dalam fiqih muamalat.


B.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari harta?
2. Unsur-unsur harta ?
3. Bagaimana kedudukan harta dalam fiqih muamalah?
4. Bagaimana pembagian harta dan akibat hukumnya?
5. Apa saja fungsi harta dan sikap islam terhadap harta ?
C. MANFAAT DAN TUJUAN
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep harta dalam perspektif islam
2. Menjelaskan kedudukan dan fungsi harta
3. Memahami sikap islam terhadap harta
4. Menjelaskan pembagian harta dan akibat hukumnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HARTA

Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz maala
– yamiilu – mailan yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu
yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian
unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan
memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
Ibnu Asyr mengatakan bahwa, “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi
kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki”.
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi oleh
tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.1[2]
Maksud pendapat di atas, definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai
dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat
dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam kategori sesuatu yang dapat
dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang
tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari.
Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya,
tetapi dapat dipunyai secara konkrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor
lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang
memenuhi dua kriteria :

Pertama, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya. Kedua, sesuatu yang
dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit (a’ayan) seperti tanah, barang-barang
perlengkapan, ternak dan uang
Menurut jumhur ulama’ fiqh selain Hanafiyah mendefinisikan konsep harta sebagai
adalah seagala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.
Dari pengertian di atas, jumhur ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat
termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa
segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai

1

tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan
melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut jumhur ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau
kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai
kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari
penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain
lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya.

Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat
bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan
Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaatmanfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak
paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh
ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan
tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di
dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau
menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf alKabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan
benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang konkrit, dan tidak berlaku jika hanya
kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
B.

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HARTA DALAM FIQIH MUAMALAH
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di
dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adhdharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Dalam ayat-ayat al-Qur’an, harta memiliki kedudukan antara lain:


1.

Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT manusia hanyalah pemegang amanah untuk
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta
sebenarnya tetap pada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah

menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan
menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan pahala yang besar”. (QS. Al-Hadid : 7)
2.

Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik dan
tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki,
menguasai dan menikmati. Firman Allah yang artinya: “Dijadikan indah pada pandangan
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup didunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imron :
14)

3.


Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak Allah berfirman yang
artinya:“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan dan di sisi Allahlah
pahala yang besar”. (QS. At-Taghabun : 15)
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama
yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik.
Hal ini berarti Islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin,
karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah
Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Di samping itu dalam
pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk
dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:2[3]
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun.
Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas (ihrazu al-mubahat). Di
samping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan
rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama
belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun negara.
Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi
atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan

sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya
seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan
arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak

2

sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal balik
antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli.
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut. Fungsi
harta sangat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun kegunaan dalam hal yang
jelek. Di antara sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah
memerlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk
melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang lainnya.
2.
3.

Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Bukhari
meriwayatkan hadist yang artinya : “Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah

dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan duniawi,
sehingga seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat.”

4.

Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya. Sesuai dengan QS.
An-Nisa : 9 yang artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

5.

Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal akan
tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia tidak memiliki biaya.

6.

Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan

tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan karena itu
tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.

7.

Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga
terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.

C. PEMBAGIAN HARTA DAN AKIBAT HUKUMNYA
Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan
hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
1.

Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin

a. Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’ yaitu semua
harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Sebagai contoh:

kerbau halal dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya tidak sah
menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.

b. Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil menurut syara’ yaitu
kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya,
cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya. Contohnya: sepatu yang diperoleh
dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena memperolehya dengan cara yang
haram.
Faedah Pembagian
1).Sah dan Tidaknya Akad
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas muamalah, seperti
hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair mutaqawwim tidak sah dijadikan akad
dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah.
2).Tanggungjawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta mutaqawwim, maka ia bertanggungjawab untuk
menggantinya.

Akan

tetapi,

jika

merusak

harta

ghair

mutaqawwim,

ia

tidak

bertanggungjawab untuk menggantinya. Menurut ulama Hanafiyah, jika merusak ghair
mutaqawwim, ia tetap bertanggungjawab, sebab harta tersebut dipandang mutaqawwim oleh
nonmuslim. Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghair mutaqawwim tetap dipandang
mutaqawwim sebab umat nonmuslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan
yang diikuti oleh umat Islam.3[5]
2.

Harta Mitsli dan Harta Qimi

a. Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti
dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Jadi,
harta mitsli adalah harta yang ada imbangannya (persamaan). Seperti harta yang jenisnya
diperoleh di pasar (secara persis).
b. Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karena tidak dapat
berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi, harta qimi adalah
harta yang tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang jenisnya sulit di dapatkan
di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.

3

3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
a. Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa,
kecuali dengan menghabiskannya. Harta istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi
dan istihlak huquqi.
1). Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya
habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar, maka habislah harta yang berupa
kayu itu.
2). Harta huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih
tetap ada. Misanya uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut
hukum walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah kepemiliknya.
b. Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap
terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat digunakan lama
menurut apa adanya. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
4.

Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul

a. Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke
tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dll.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke
tempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dll. Istilahnya benda bergerak dan
benda tetap.
5.

Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur

a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun milik
badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk (yang dimiliki) terbagi manjadi
dua macam yaitu:
 Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah
yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik,
misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
 Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan
pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil,
salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh
dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang
berkongsi memiliki sebuah pabrik dan pabrik tersebut diurus bersama.
b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata
air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya. Tiap-tiap

manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang
mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah. Sesuai dengan sabda Nabi
SAW:“Barang siapa yang menghidupkan tanah(gersang),hutan milik seseorang, maka ia
yang paling berhak memiliki”
c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan kepada
orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang
dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan, dll.
6.

Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi

a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu
kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, tepung, dll.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan
suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja,
dll.
D. SIKAP ISLAM TERHADAP HARTA
a. Pemilik Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT.

Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola
dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya.
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada Hari Akhir
nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk
apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta
ilmunya untuk apa dipergunakan”.
b. Status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut:
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah
karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan
baik dan tidak berlebih-lebihan. Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan
keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNya dan melaksanakan
muamalah diantara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.
c. Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian (Ma’isyah)
yang halal dan sesuai dengan aturanNya.
Dalam sebuah Hadits di katakana :
“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah”.
(HR Ahmad).

d. Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati, melupakan

Zikrullah/mengingat ALLAH, melupakan sholat dan zakat, dan memusatkan kekayaan hanya
pada sekelompok orang kaya saja.
e. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual beli
barang yang haram, mencuri merampok, curang dalam takaran dan timbangan, melalui caracara yang batil dan merugikan, dan melalui suap menyuap.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa harta meliputi
segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi) seperti uang,
tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanlautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan
sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan
kepada manusia. Oleh karena itu, di dalam Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta
dengan bekerja. Dalam artian, terdapat keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan
materi agar sesuai dengan harapan yang di cita-citakan sebagai khalifah di bumi,
keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan,.
Harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan di peroleh manusia,baik berupa benda yang
tampak seperti mas perak maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti pakaian,tempat
tinggal. Sehingga persoalan harta dimasukkan kedalam salah satu lima keperluan pokok yang
diatur oleh Al-Qur’an dan as-sunah. Adapun fungsi harta diantaranya kesempurnaan ibadah
mahdzah,memelihara dan meningkatkan keimanan dan serta menyelaraskan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Sedangkan pembagian harta di bagi menjadi delapan bagian.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Rajawali Pers). 2010.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalat Cetakan 3. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2006.
http://zakiyahannisa.blogspot.co.id/2015/01/konsep-harta-dalam-fiqih-muamalah.html
http://syariah99.blogspot.co.id/2014/04/harta-pengertian-kedudukan-fungsinya.html