Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam
Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Pengelolaan
Wilayah Laut Indonesia
Zufita Khairani
26020215130069
1.1 Pendahuluan
Negara Indonesia memiliki wilayah perairan laut lebih luas daripada wilayah daratan,
sehingga peranan wilayah laut menjadi sangat penting. Sebagai negara kepulauan, seharusnya
Indonesia memiliki budaya maritim yang kuat dalam cara hidup masyarakat, kebijakan
pembangunan nasionalnya, serta sistem pertahanan yang digunakan.
Dalam upaya mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, adil, dan makmur, Indonesia
dihadapkan pada berbagai tantangan, dengan tantangan yang paling utama yaitu bagaimana
cara Indonesia untuk mengelola wilayah laut yang luas dengan rendahnya konektivitas
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, serta antar pemerintah daerah.
Dengan pemerintahan desentralisasi, pemerintah akan lebih dekat dengan rakyat
sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan. Letak geografis yang mendukung adanya
otonomi daerah akan memberikan peluang seluas-luasnya bagi daerah untuk berkembang
sesuai potensi alam dan SDM yang ada, kemudian terciptalah suasana kompetisi tiap daerah.
1.2 Permasalahan
Peraturan daerah yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir
tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan regulasi lain sehingga menimbulkan
konflik dan kerusakan fisik. Hal ini terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.
Konflik pengelolaan laut tidak hanya terjadi antar pemerintah, tapi juga terjadi antara
rakyat dengan negara yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dan atau golongan.
Peraturan Otonomi Daerah kurang memberikan penjelasan mengenai batas teritorialnya,
sehingga konflik dalam lingkungan kelautan sering terjadi.
2.1 Kajian Pustaka
Pemerintah Indonesia, 17 Mei 1999 menetapkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah yang membawa implikasi baru pada sistem pemerintahan daerah dengan
memberikan otonomi luas pada daerah masing-masing (Bratakusumah,2002). Otonomi
Daerah dibentuk karena Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut lebih besar,
sehingga SDA yang melimpah didalamnya harus dimanfaatkan secara berkesinambungan
untuk masa depan ( Dahuri,1996).
Menurut Chalid (2005), berdasarkan UU 22/1999 pasal 3 bahwa propinsi terdiri dari
wilayah darat dan laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut.
Selanjutnya menurut pasal 10 ayat 2 bahwa Kewenangan Daerah di wilayah laut,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (b) pengaturan kepentingan
administratif; (c) pengaturan tata ruang;(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (e)
bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Undang-Undang No. 22/1999 maupun
amandemennya UU No. 32/2004 berisi tentang Perintahan Daerah menganut pemikiran
bahwa peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, kualitas pelayanan pemerintah dan
optimalisasi peran serta masyarakat dalam pembangunan. Dalam pasal 18 UU No 32 Tahun
2004 Lahirnya otonomi daerah membawa harapan baru untuk pembangunan ekonomi daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah berpotensi menimbulkan konflik
akibat pelimpahan wewenang ke daerah. Dalam UU No. 22/1999 memberikan kewenangan
yang besar kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan wewenang besar, timbul persepsi di
pejabat daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat
provinsi. Karenanya, sering terjadi bupati/ walikota tidak memenuhi undangan gubernur ke
ibukota provinsi dengan alasan kesibukan di daerah dan ketiadaan dana(Chalid,2005).
2.2 Kajian Aplikasi
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia masih banyak mengalami kendala, salah
satunya diakibatkan karena lemahnya koordinasi sektor dan daerah di antarwilayah
Indonesia. Koordinasi antarsektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam kerja sama
yang bersifat operasional, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan aturan. Di Indonesia
banyak adanya pembangunan yang dilakukan pemerintah derah tidak berjalan sinergis
dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat. Tidak adanya koordinasi, perbedaan konsep,
dan egoisme tiap daerah mengakibatkan pertentangan dalam pembangunan.
Di Indonesia kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan strategi khusus bagi
penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan, sehingga diperlukan adanya
kebijakan pemerintah pusat untuk menjembatani komunikasi dan sinkronasi arah serta tujuan
otonomi daerah. Ego sektoral dari masing-masing institusi terus menjadi kendala utama
dalam koordinasi keamanan laut. Ego sektoral tersebut muncul karena setiap institusi yang
terlibat memiliki kewenangan dengan dasar hokum yang dimilikinya.
Konflik pengelolaan laut tidak hanya terjadi antara pemerintah, tapi juga terjadi antara
rakyat dengan negara yang berorientasi kepada kepentingan pemilik modal sehingga
meminggirkan kepentingan rakyat , contohnya konflik antara nelayan tradisional di Labuhan
Batu dengan kapal trawl yang didukung aparat. Nelayan terus melawan kapal trawl yang
dilindungi aparat meskipun telah banyak jatuh korban.
Penerimaan daerah yang diberikan oleh pusat tidak sebanding dengan yang diberikan
daerah kepada pusat. Hanya saja daerah tidak dapat berbuat banyak, akibat tekanan
masyarakat. Beberapa gerakan separatis di daerah pada intinya merupakan bentuk
ketidakpuasan ‘daerah’ terhadap ketidakadilan pembangunan yang berorientasi pusat.
Gerakan separatis ini pernah terjadi di Indonesia, yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di
Aceh dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua – dahulu Irian Jaya.
2.3 Pembahasan
Perlu disadari bahwa pemerintah telah lengah akan pengawasan eksploitasi besarbesaran sehingga terjadi degradasi lingkungan pesisir dan laut. Penangkapan ikan yang
bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi menimbulkan kerusakan lingkungan laut, hal ini
merupakan bukti bahwa lemahnya pengawasan dan koordinasi sektor dengan daerah.
Buktinya, peralatan yang digunakan merupakan peralatan yang ilegal tetapi masih lolos dari
pengawasan pemerintah pusat dan daerah . Hal ini harus diperhatikan karena degradasi
merupakan ancaman bagi kehidupan masyarakat pesisir dan laut selanjutnya.
Rendahnya konektivitas menyebabkan hubungan antarpulau di Indonesia terganggu.
Dengan konektivitas nasional, pembangunan daya saing nasional maupun daerah dapat
ditingkatkan dan disebar kesluruh wilayah Indonesia. Selama ini, konektivitas di wilayah laut
hanya berada di daerah pesisir, yang masih mudah untuk dijangkau. Sedangkan wilayah
lautan masih kurang perhatian dari pemerintah daerah maupun pusat, sehingga berbagai
permasalahanpun muncul.
Seharusnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak hanya mengejar kepentingan
hasil ekonomi kelautan , tetapi juga diimbangi dengan komitmen menjaga dan
mengembangkan kelestariannya. Disamping itu, harus ada pula sinkronisasi dan koordinasi
dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat menghindari terjadinya konflik
sosial dan ekonomi antar nelayan.
Pemerintah perlu mengadakan koreksi setiap jangka waktu berkala, setelah diketahui
kendala yang ada seharusnya konflik tidak akan terjadi lagi. Pemerintah Daerah diharapkan
jangan terfokus oleh pengembangan daerah pesisir pantai saja, wilayah laut dan zona
teritorialnya masih membutuhkan banyak penyelesaian. Wilayah laut merupakan wilayah
yang paling terabaikan dibandingkan dengan wilayah lain, padahal Indonesia didominasi
wilayah laut daripada darat.
3.1 Kesimpulan
Desentralisasi dan otonomi daerah memiliki cita-cita memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah agar dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di tingkat lokal yang tergantung dari partisipasi masyarakat di daerah, sebab
tujuan dari desentralisasi dan otonomi daerah agar masyarakat lokal mampu mengatur potensi
wilayahnya sesuai dengan kemampuan lokal yang dimiliki. Masyarakat belum dapat
merasakan dari hasil pemerintahan desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah masih kental
diwarnai oleh perbedaan aturan yang berlaku. Perbedaan ini jelas berpotensi memunculkan
konflik. Konflik yang terjadi tidak hanya antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
konflik antar nelayan pun sering terjadi.
Konflik dan berbagai gesekan di daerah merupakan bukti dari hasil pemerintahan
yang ada. Pemerintah pusat dengan daerah lebih sering diwarnai dengan ketegangan dan
perselisihan untuk menjadi yang terbaik. Padahal, konflik tersebut sebenarnya dapat
terselesaikan dengan mudah jika adanya koordinasi antara pusat dan daerah sehingga mereka
memiliki tujuan yang sama dalam pembangunan wilayah. Dengan begitu, mereka dapat
bekerja sama untuk mencapai tujuan itu, selain itu perbedaan pendapat antar sektor akan
dapat diminimalisir.
3.2 Saran
Adanya pemerintah daerah diharapkan sistem yang berlaku di Indonesia akan lebih
baik dikarenakan luas pengawasan daerah yang hanya satu tempat. Tetapi wewenang
Pemerintah Daerah (bawah) tetaplah berpedoman wewenang dari Pemerintah Pusat (atas).
Selain itu perlunya tambahan komunikasi antar Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
serta Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah, sehingga dapat menyamakan tujuan
bersama untuk Indonesia lebih maju. Dengan ini diharapkan konflik yang terjadi akibat
kurangnya komunikasi antar pemerintah dapat tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bratakusumah, et al. 2002.Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Chalid, Pheni. 2005. OTONOMI DAERAH (MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN
KONFLIK). Jakarta
Dahuri, Rokhmin, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Kelautan Seacra
Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.
Wilayah Laut Indonesia
Zufita Khairani
26020215130069
1.1 Pendahuluan
Negara Indonesia memiliki wilayah perairan laut lebih luas daripada wilayah daratan,
sehingga peranan wilayah laut menjadi sangat penting. Sebagai negara kepulauan, seharusnya
Indonesia memiliki budaya maritim yang kuat dalam cara hidup masyarakat, kebijakan
pembangunan nasionalnya, serta sistem pertahanan yang digunakan.
Dalam upaya mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, adil, dan makmur, Indonesia
dihadapkan pada berbagai tantangan, dengan tantangan yang paling utama yaitu bagaimana
cara Indonesia untuk mengelola wilayah laut yang luas dengan rendahnya konektivitas
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, serta antar pemerintah daerah.
Dengan pemerintahan desentralisasi, pemerintah akan lebih dekat dengan rakyat
sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan. Letak geografis yang mendukung adanya
otonomi daerah akan memberikan peluang seluas-luasnya bagi daerah untuk berkembang
sesuai potensi alam dan SDM yang ada, kemudian terciptalah suasana kompetisi tiap daerah.
1.2 Permasalahan
Peraturan daerah yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir
tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan regulasi lain sehingga menimbulkan
konflik dan kerusakan fisik. Hal ini terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.
Konflik pengelolaan laut tidak hanya terjadi antar pemerintah, tapi juga terjadi antara
rakyat dengan negara yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dan atau golongan.
Peraturan Otonomi Daerah kurang memberikan penjelasan mengenai batas teritorialnya,
sehingga konflik dalam lingkungan kelautan sering terjadi.
2.1 Kajian Pustaka
Pemerintah Indonesia, 17 Mei 1999 menetapkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah yang membawa implikasi baru pada sistem pemerintahan daerah dengan
memberikan otonomi luas pada daerah masing-masing (Bratakusumah,2002). Otonomi
Daerah dibentuk karena Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut lebih besar,
sehingga SDA yang melimpah didalamnya harus dimanfaatkan secara berkesinambungan
untuk masa depan ( Dahuri,1996).
Menurut Chalid (2005), berdasarkan UU 22/1999 pasal 3 bahwa propinsi terdiri dari
wilayah darat dan laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut.
Selanjutnya menurut pasal 10 ayat 2 bahwa Kewenangan Daerah di wilayah laut,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (b) pengaturan kepentingan
administratif; (c) pengaturan tata ruang;(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (e)
bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Undang-Undang No. 22/1999 maupun
amandemennya UU No. 32/2004 berisi tentang Perintahan Daerah menganut pemikiran
bahwa peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, kualitas pelayanan pemerintah dan
optimalisasi peran serta masyarakat dalam pembangunan. Dalam pasal 18 UU No 32 Tahun
2004 Lahirnya otonomi daerah membawa harapan baru untuk pembangunan ekonomi daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah berpotensi menimbulkan konflik
akibat pelimpahan wewenang ke daerah. Dalam UU No. 22/1999 memberikan kewenangan
yang besar kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan wewenang besar, timbul persepsi di
pejabat daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat
provinsi. Karenanya, sering terjadi bupati/ walikota tidak memenuhi undangan gubernur ke
ibukota provinsi dengan alasan kesibukan di daerah dan ketiadaan dana(Chalid,2005).
2.2 Kajian Aplikasi
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia masih banyak mengalami kendala, salah
satunya diakibatkan karena lemahnya koordinasi sektor dan daerah di antarwilayah
Indonesia. Koordinasi antarsektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam kerja sama
yang bersifat operasional, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan aturan. Di Indonesia
banyak adanya pembangunan yang dilakukan pemerintah derah tidak berjalan sinergis
dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat. Tidak adanya koordinasi, perbedaan konsep,
dan egoisme tiap daerah mengakibatkan pertentangan dalam pembangunan.
Di Indonesia kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan strategi khusus bagi
penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan, sehingga diperlukan adanya
kebijakan pemerintah pusat untuk menjembatani komunikasi dan sinkronasi arah serta tujuan
otonomi daerah. Ego sektoral dari masing-masing institusi terus menjadi kendala utama
dalam koordinasi keamanan laut. Ego sektoral tersebut muncul karena setiap institusi yang
terlibat memiliki kewenangan dengan dasar hokum yang dimilikinya.
Konflik pengelolaan laut tidak hanya terjadi antara pemerintah, tapi juga terjadi antara
rakyat dengan negara yang berorientasi kepada kepentingan pemilik modal sehingga
meminggirkan kepentingan rakyat , contohnya konflik antara nelayan tradisional di Labuhan
Batu dengan kapal trawl yang didukung aparat. Nelayan terus melawan kapal trawl yang
dilindungi aparat meskipun telah banyak jatuh korban.
Penerimaan daerah yang diberikan oleh pusat tidak sebanding dengan yang diberikan
daerah kepada pusat. Hanya saja daerah tidak dapat berbuat banyak, akibat tekanan
masyarakat. Beberapa gerakan separatis di daerah pada intinya merupakan bentuk
ketidakpuasan ‘daerah’ terhadap ketidakadilan pembangunan yang berorientasi pusat.
Gerakan separatis ini pernah terjadi di Indonesia, yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di
Aceh dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua – dahulu Irian Jaya.
2.3 Pembahasan
Perlu disadari bahwa pemerintah telah lengah akan pengawasan eksploitasi besarbesaran sehingga terjadi degradasi lingkungan pesisir dan laut. Penangkapan ikan yang
bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi menimbulkan kerusakan lingkungan laut, hal ini
merupakan bukti bahwa lemahnya pengawasan dan koordinasi sektor dengan daerah.
Buktinya, peralatan yang digunakan merupakan peralatan yang ilegal tetapi masih lolos dari
pengawasan pemerintah pusat dan daerah . Hal ini harus diperhatikan karena degradasi
merupakan ancaman bagi kehidupan masyarakat pesisir dan laut selanjutnya.
Rendahnya konektivitas menyebabkan hubungan antarpulau di Indonesia terganggu.
Dengan konektivitas nasional, pembangunan daya saing nasional maupun daerah dapat
ditingkatkan dan disebar kesluruh wilayah Indonesia. Selama ini, konektivitas di wilayah laut
hanya berada di daerah pesisir, yang masih mudah untuk dijangkau. Sedangkan wilayah
lautan masih kurang perhatian dari pemerintah daerah maupun pusat, sehingga berbagai
permasalahanpun muncul.
Seharusnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak hanya mengejar kepentingan
hasil ekonomi kelautan , tetapi juga diimbangi dengan komitmen menjaga dan
mengembangkan kelestariannya. Disamping itu, harus ada pula sinkronisasi dan koordinasi
dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat menghindari terjadinya konflik
sosial dan ekonomi antar nelayan.
Pemerintah perlu mengadakan koreksi setiap jangka waktu berkala, setelah diketahui
kendala yang ada seharusnya konflik tidak akan terjadi lagi. Pemerintah Daerah diharapkan
jangan terfokus oleh pengembangan daerah pesisir pantai saja, wilayah laut dan zona
teritorialnya masih membutuhkan banyak penyelesaian. Wilayah laut merupakan wilayah
yang paling terabaikan dibandingkan dengan wilayah lain, padahal Indonesia didominasi
wilayah laut daripada darat.
3.1 Kesimpulan
Desentralisasi dan otonomi daerah memiliki cita-cita memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah agar dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di tingkat lokal yang tergantung dari partisipasi masyarakat di daerah, sebab
tujuan dari desentralisasi dan otonomi daerah agar masyarakat lokal mampu mengatur potensi
wilayahnya sesuai dengan kemampuan lokal yang dimiliki. Masyarakat belum dapat
merasakan dari hasil pemerintahan desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah masih kental
diwarnai oleh perbedaan aturan yang berlaku. Perbedaan ini jelas berpotensi memunculkan
konflik. Konflik yang terjadi tidak hanya antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
konflik antar nelayan pun sering terjadi.
Konflik dan berbagai gesekan di daerah merupakan bukti dari hasil pemerintahan
yang ada. Pemerintah pusat dengan daerah lebih sering diwarnai dengan ketegangan dan
perselisihan untuk menjadi yang terbaik. Padahal, konflik tersebut sebenarnya dapat
terselesaikan dengan mudah jika adanya koordinasi antara pusat dan daerah sehingga mereka
memiliki tujuan yang sama dalam pembangunan wilayah. Dengan begitu, mereka dapat
bekerja sama untuk mencapai tujuan itu, selain itu perbedaan pendapat antar sektor akan
dapat diminimalisir.
3.2 Saran
Adanya pemerintah daerah diharapkan sistem yang berlaku di Indonesia akan lebih
baik dikarenakan luas pengawasan daerah yang hanya satu tempat. Tetapi wewenang
Pemerintah Daerah (bawah) tetaplah berpedoman wewenang dari Pemerintah Pusat (atas).
Selain itu perlunya tambahan komunikasi antar Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
serta Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah, sehingga dapat menyamakan tujuan
bersama untuk Indonesia lebih maju. Dengan ini diharapkan konflik yang terjadi akibat
kurangnya komunikasi antar pemerintah dapat tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bratakusumah, et al. 2002.Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Chalid, Pheni. 2005. OTONOMI DAERAH (MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN
KONFLIK). Jakarta
Dahuri, Rokhmin, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Kelautan Seacra
Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.