Politik Tubuh Dalam Masyarakat Urban Per

Politik Tubuh Dalam Masyarakat Urban Perempuan Makassar

Kondisi realitas yang semakin berkembang pada masa ini, adalah sebagai sebuah bentuk
pola pikir yang semakin meluas dan bebas. Budaya hari ini semakin menampakkan
perkembangannya, terlebih pada era yang serba maju atau yang lebih sering dikenal dengan era
globalisasi. Budaya konsumerisme dan masyarakat hedonisme pun semakin tak terelakkan.
Iklan-iklan berpacu untuk menarik perhatian masyarakat. Tidak jarang kemudian, iklan terselip
di mana-mana, media cetak, elektronik, hingga di pinggir jalan. Masyarakat yang telah sejak
awal dikonstruksi oleh pikiran konsumerisme mudah sekali tergoda oleh tampilan berbagai iklan
itu.
Perkembangan berikutnya adalah dimulainya budaya politik tubuh. Perempuan, biasanya,
dijadikan sebagai ’alat’ penarik perhatian. Dari sana muncul juga konsep kecantikan yang
’dimatematikakan’, yaitu pola atau ukuran-ukuran kemolekan tubuh. Masyarakat pun mudah
sekali tergoda oleh apa yang disajikan iklan, terutama bila bintang iklannya memiliki standar
kecantikan yang terbangun dalam masyarakat.
Konstruksi pemikiran yang semacam itu semakin memberikan penegasan akan adanya
unsur-unsur kepentingan dengan nuansa politik yang melingkupi tuntutan hidup kaum
perempuan di zaman ini. Sadar atau tidak sadar, tuntutan untuk selalu tampil cantik dan menarik
di depan publik memberikan banyak pengaruh pada segala sektor, utamanya perekonomian.

Tubuh Sosial dan Tubuh Fisik

Foucault memberikan gambaran akan adanya pengaturan politik tubuh melalui tubuh
fisik. Menurutnya akar kekuasaan berada pada kekuasaan atas tubuh dan menjadi berkembang di
dalam setiap aktivitas mikrofisika pada setiap institusi dalam politik tubuh. Menurutnya,
masyarakat pada setiap esensinya bersifat disipliner. Synnot mengutip Foucault bahwa:
Momen historis disiplin adalah memomen ketika seni mengenai tubuh
manusia lahir .... Apa yang kemudian dibentuk adalah sebuah kebijakan
pemaksaan atas tubuh, sebuah manipulasi yang telah diperhitungkan atas
elemen-elemen, sikap-sikap dan tingkah laku tubuh. Tubuh manusia masuk
ke dalam mesin kekuasaan yang menyelidikinya, mempretelinya, dan

menatanya kembali. Sebuah ’anatomi politik’, yang juga merupakan
’mekanika kekuasaan’, dilahirkan .... Dengan demikian, disiplin
menghasilkan tubuh-tubuh yang berkwalitas dan terlatih, tubuh-tubuh ’yang
taat’ (Foucault dalam Synnot, 2003: 415).
Tubuh-tubuh yang ditawarkan oleh media adalah tak lain dari tubuh-tubuh yang telah
dibentuk sedemikian rupa untuk mewakili gambaran kecantikan, dan tubuh perempuan sebagai
bahan empuk untuk dijadikan sebagai penggambaran atau yang dianggap mampu mewakili
bentukan-bentukan tubuh yang telah dikonstruksi oleh media sebelumnya. Kita tidak bisa
memungkiri bahwa, pasar mendikte kita tentang sebuah ukuran kecantikan dan media
memandang hal ini sebagai sebuah peluang besar. Banyak masyarakat beranggapan bahwa

dengan cantik dan bertubuh kurus, seorang perempuan akan terlihat menarik dan lebih percaya
diri.
Tubuh terekonstruksi secara sosial oleh masyarakat dengan bermacam cara. Masyarakat
dalam hal ini dibagi menjadi beberapa populasi yang berbeda-beda. Tubuh bukan hanya telah ada
secara alamiah, akan tetapi juga telah menjadi sebuah kategori sosial dengan makna yang
berbeda-beda yang telah dihasilkan dan dikembangkan oleh zaman. Tubuh juga mempunyai
kekuatan untuk menyerap makna, yang juga tak bisa dihindari sarat dengan nuansa politis.
Semakin mendalamnya makna sosial akan ukuran kecantikan pada umumnya tidak hanya
mempengaruhi persepsi tubuh secara umum, akan tetapi juga merambah pada bagian-bagian
tubuh itu sendiri, seperti halnya pada wajah. Pencitraan kesempurnaan terhadap mata, hidung,
bibir, dan dagu merekonstruksi pikiran-pikiran manusia utamanya perempuan sebagai objek
kecantikan itu sendiri. Seorang artis misalnya, yang dianggap sebagai public figur harus selalu
tampil sempurna dan menarik, bahkan mereka tidak segan-segan untuk melakukan bedah
pelastik sekedar menyempurnakan apa yang mereka anggap kurang di tubuhnya. Ukuran
kelebihan tidak terlepas dari persepsi-persepsi yang telah tumbuh sejak jaman kolonial. Selain
itu, semakin meningkatnya kebutuhan perempuan akan kosmetik dan alat-alat rias adalah sebagai
sebuah bukti bahwa perempuan pada khususnya memang dituntut untuk tampil estetik dan cantik
demi sebuah penampilan diri secara fisik sebagai tuntutan pada fenomena sosial yang sedang
tren. Pengaruh dari tuntutan tampil cantik hampir mempengaruhi semua sektor perekonomian,
baik itu di bidang industri pakaian, penataan rambut, bedah plastik, makanan, fitnes, dan tentu

saja tidak terlepas pada industri media dan periklanan.

Masyarakat membangun citra terhadap perempuan-perempuan yang cantik dan jelek.
Standar kecantikan seorang perempuan dengan tampilan tubuh yang kurus, kaki yang jenjang
dan rambut yang lurus serta kulit yang putih akan melahirkan kesan lebih lembut, baik hati,
sensitif, menyenangkan, cerdas dan berjiwa sosial jika dibandingkan dengan mereka yang dinilai
jelek oleh masyarakat dengan tampilan tubuh yang gemuk, berkulit hitam dan postur tubuh yang
pendek. Hal ini justru membuktikan bahwa pengaruh dari sebuah penampilan fisik sangat
dominan, semakin seseorang tidak menarik semakin besar kemungkinannya ia dinilai memiliki
keanehan dan sakit atau bahkan sampai pada persepsi gangguan mental.
Diskriminasi estetik sejajar dengan diskriminasi gender, kelas dan ras, yang menyebar
begitu luas dan secara tidak sadar telah menjadi sebuah norma budaya yang diterima begitu saja
seolah hal tersebut lumrah adanya. Mitos kecantikan yang tak nampak secara kasat mata telah
berpengaruh pada banyaknya investasi waktu, energi, uang, dan penderitaan dalam tuntutan akan
sebuah kecantikan. Perempuan lebih mementingkan kecantinkan dibanding laki-laki. Mereka
yang tidak puas dengan berat badan misalnya bisa saja melakuakan operasi sedot lemak yang
sekarang ini semakin marak di kalangan masyarakat hedonis hingga untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut akhirnya menjadikan mereka sebagai masyarakat konsumerisme.
Begitu banyaknya aturan dan syarat-syarat untuk menjadi cantik oleh kaum perempuan
secara tidak sadar menjadikan mereka merasa perlu memenuhi kebutuhan akan tuntutantuntutannya yang lebih dianggap sebagai sebuah kebutuhan utama untuk dapat tampil di depan
publik secara lebih menarik dan estetik. Sebuah bentukan persepsi yang lahir dari kolonialisme.

Sehingga ketika perempuan memilih untuk bekerja di luar rumah atau sebagai seorang wanita
karir, maka pada saat yang sama pula industri diet, pelangsing tubuh, dan perawatan kulit
melingkupi perempuan, tidak hanya itu, industri mode juga menampilkan para model dengan
tubuh yang amat kurus. Perempuan muda adalah yang cantik dan atraktif seperti yang ditawarkan
industri perawatan kulit dan dengan serta-merta menyisihkan perempuan-perempuan yang
berusia lanjut sebagai hal yang alamiah dan membuat mereka sebagai sosok yang bijaksana.