Demokrasi Minus Toleransi Politik Diskri

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

Demokrasi Minus Toleransi:
Politik Diskriminasi Beragama/Berkeyakinan di Indonesia
mahbib khoiron

Muka
Dalam sejarah pemikiran politik, demokrasi tetaplah primadona yang
paling banyak menyedot kekaguman manusia-manusia modern. Buah pergeseran
pandangan dunia abad pencerahan ini selain mapan lama di Eropa dan Amerika
ternyata juga meluas ke hampir seluruh penjuru dunia, salah satunya Indonesia.
Kita tahu, demokrasi lahir sejalan dengan komitmen pengingkaran terhadap
monopoli kekuasaan yang menindas dan menjajah martabat kemanusian.
Begitulah republik ini didirikan, setelah tercengkeram kolonialisme dan
otoritarianisme, kemudian menyambut cita baru kedaulatan dan kemerdekaan
yang seutuhnya, dengan penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak demokratis
setiap warganya.
Kesepakatan untuk memilih demokrasi memang tidak berlangsung mulus.
Perdebatan ideologis dan pertarungan intrik menyertai proses konsensi politik

para pendiri bangsa. Selain menghadapi counter keras dari kaum agamawan yang
membela terbentuknya negara teokratis, perjalanan demokrasi Indonesia juga
diwarnai pertarungan opini mengenai penerjemahan demokrasi itu sendiri. Usulan
Hatta untuk memasukkan hak-hak demokratis dalam batang tubuh undang-undang
dasar sempat ditolak Soekarno dan Soepomo, yang mengkhawatirkan
individualisme Barat mengontaminasi karakter kebangsaan. Sementara alasan
sebenarnya Hatta yang didukung Muhammad Yamin ini adalah untuk
menghindari timbulnya negara kekuasaan. Bagaimanapun, meski berdebat,
sesungguhnya mereka disatukan oleh satu kesadaran kolektif yang mantab bahwa
negara ini harus didirikan di atas prinsip kedaulatan rakyat.1
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) sangat tegas
dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan negara Indonesia adalah
negara hukum. Fakta ini menjelaskan bahwa di Indonesia, sebagaimana
demokrasi pada umumnya, terjadi konvergensi antara kedaulatan rakyat

1

F. Magnis-Suseno, SJ, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis (Jakarta: Gramedia,
1995), h.9.


1

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

(„demokrasi‟) dan kedaulatan hukum (nomokrasi).2 Hukum diakui mempunyai
supremasi dalam mengawal etika demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan
dan kebebasan rakyat. Ia adalah payung dan referensi utama bagi semua lapisan
untuk mengharap, merealisasikan, dan menuntut hak-hak sipil dan politik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Nuansa nomokratis ini kian menonjol setelah
amandemen ketiga peraturan dasar kita secara eksplisit menyatakan bahwa
kedaulatan rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Aspek yuridis (kedaulatan hukum) dan aspek sosiologis/politik
(kedaulatan rakyat) dalam demokrasi adalah dua hal yang senantiasa berelasi
tanpa putus. Betapapun mendasarnya fungsi hukum, ia tetaplah manifestasi
demokrasi yang kontraktual. Artinya, produk yang dihasilkan tidak sepenuhnya
derivasi etika demokratis murni (kebebasan dan kesetaraan), melainkan terdapat
campuran peristiwa politik yang melibatkan kompromi, negosiasi, adu kekuatan,
perebutan pengaruh, dan pertengkaran kepentingan. Hal ini tidak hanya terjadi di

tingkat perumusan konstitusi, tapi juga implementasi dan interpretasi atas undangundang yang sudah tersedia. Peristiwa politik yang timbul dari berbagai
kepentingan dan kalangan merupakan konsekuensi dari keterbukaan demokrasi.
Di poin inilah kita melihat letak “relativitas” kebenaran demokrasi sebagai sistem
politik, yang memberi kemungkinan untuk menyimpang dari prinsip
substansialnya untuk menegakkan keadilan melalui kebebasan dan kesetaraan.
Etika demokratis dapat diintervensi secara politik baik lewat masyarakat sipil
maupun kelembagaan resmi negara, sehingga bisa saja terjadi negara yang
demokratis sekaligus juga diskriminatif.
Khusus masalah keberagamaan dan keberkeyakinan, Indonesia
menyimpan sejarah pergulatan hubungan agama dan negara yang tak kunjung
selesai. Pernyataan populer bahwa “Indonesia bukan negara agamis, juga bukan
negara sekuler”, di satu sisi menunjukkan “kesuksesan” di awal untuk melerai
pertarungan ideologi agama versus ideologi negara, tapi di sisi lain merupakan
kerancuan di kemudian hari yang dapat memicu intervensi negara atas perkara
privat warganya untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani.
Tampak sekali, politik demokrasi yang dinamis sejak rezim Orde Lama
(demokrasi liberal/parlementer dan demokrasi terpimpin), Orde Baru (demokrasi
Pancasila), hingga demokrasi pasca-reformasi, secara konsisten masih merawat
beberapa produk kesepakatan dan implementasi kebijakan yang diskriminatifpolitis terhadap keberagamaan dan keberkeyakinanan warga negara.
2


Secara umum dapat dipahami, konsekuensi logis dari operasionalisasi kedaulatan rakyat
membutuhkan kerangka yuridis atau format hukum agar wajah kedaulatan rakyat itu mengemuka
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum yang sudah disetujui rakyat kemudian
berdaulat atas nama kedaulatan rakyat. Kepastian hukum dijadikan alat untuk mencapai keadilan
yang didambakan rakyat. Di sinilah kemudian letak transformasi dan konvergensi, yaitu hukum
berdaulat atas nama rakyat. Lihat, Handra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), h.41.

2

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

Kadar Komitmen Demokratis
Ciri penting yang menandai demokrasi sebagai politik modern adalah
keberpihakannya kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Keduanya ditopang oleh
sistem nilai politik rasional a la abad pencerahan yang mengalihkan teosentrisme
kepada humanisme. 3 Politik dijalankan bukan atas legitimasi teologis yang sukar

dijangkau dan kebal kritik, melainkan atas legitimasi politis (juga yuridis) yang
bisa diakses, diperjuangkan, dan dipertanyakan secara publik. Demokrasi
mengklaim dirinya sebagai organisasi politik paling wajar melalui pendasaran
kekuasaan yang bersifat akomodatif, inklusif, egaliter, dan toleran. Negara yang
demokratis dengan demikian adalah negara yang bersikap netral terhadap
pluralitas keyakinan dan keagamaan yang menempati wilayah privat warga
negaranya.
Jauh sebelum itu, sejarah Nusantara memperlihatkan bahwa netralitas
sikap atas keyakinan dan keagamaan masyarakat sudah menjadi tabiat politik
yang mengakar sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno.4 Kehidupan majemuk
berlangsung stabil dan damai meskipun di bawah kekuasaan feodal seorang raja.
Hampir tidak ditemukan kebijakan atau pertempuran politik dilatari oleh
primordialitas suku, etnis, warna kulit, agama dan kepercayaan. Mereka memang
berbeda-beda tetapi soliditas sebagai bangsa tetaplah satu (Bhineka Tunggal Ika).
Jargon inilah yang kelak dikutip bangsa Indonesia sebagai semboyan moral yang
diharapkan mengikat keberagaman budaya menjadi kesatuan politik-administratif,
termasuk kesatuan ideologis: kebangsaan.
Bermodal semboyan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia sedang menunjukkan
toleransi atas perbedaan agama dan keyakinan, sekaligus komitmen atas persatuan
keindonesiaan. Filosofi persatuan selalu disebabkan oleh perbedaan. Jadi, bukan

persatuan itu yang paling penting, tetapi alasan yang melandasinya, yaitu
perbedaan. Nafas demokrasi dilarang mengorbankan perbedaan demi alasan
“persatuan” (baca: penyeragaman). Atas dasar fakta kemajemukan itulah, Sumpah
Pemuda, Pancasila, dan Konstitusi di Indonesia lahir. 5
Butir-butir kesepakatan bangsa ini yang paling mendasar ada pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Keduanya merupakan elemen paling
3

Menurut Magnis, pengakuan semakin universalnya demokrasi bukanlah karena demokrasi adalah
satu-satunya kemungkinan pemerintahan yang legitim an sich, melainkan karena terjadi perubahan
dalam pandangan dunia. Legitimasinya tidak berdiri di ruang kosong dan tidak bersifat mutlak dan
apriori, melainkan berdasarkan kepercayaan tertentu tentang manusia, masyarakat, dan Tuhan.
Artinya, kalau demokrasi menganggap politik tradisional sebagai hal yang irasional, demikian juga
ia akan tertolak dalam sistem kepercayaan tradisional yang banyak mendasarkan kekuasaan secara
metafisik. Magnis-Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, h.41-42.
4
Abdurrahman Wahid, Merajut Akar-Akar Kebangsaan Indonesia , sumber tak terlacak.
5
Rocky Gerung, Agama dan Negara , dalam Bonar Tigor (ed.), Beragama, Berkeyakinan, dan
Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: Setara

Institute, 2009), h.169-170.

3

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

vital yang menentukan komitmen demokrasi di Indonesia. Dalam konteks
beragama dan berkeyakinan, masing-masing adalah sumber kepastian bagi
jaminan kebebasan dan perlakuan yang sama terhadap warga negara.
Kedudukannya bukan hanya sekadar simbol, tapi merangkap sebagai landasan
yuridis tertinggi untuk keseluruhan praktik berdemokrasi di Indonesia. Sebagai
landasan yuridis tertinggi, ia mempengaruhi peraturan/kebijakakan perundangundangan turunannya. Sejauh mana jaminan kebebasan terwujud, dan sebatas apa
negara turut campur mengatur kebebasan, secara fundamental bergantung pada
Pancasila sebagai asas negara dan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi.
Sampai saat ini, Pancasila memang memberi jalan tengah, kompromi yang
bisa diterima untuk mengelola kemajemukan, pada satu sisi, sekaligus menjaga
kesatuan, pada sisi lain. Tapi kompromi itu selalu rentan, goyah, dan sering
menimbulkan masalah pelik jika ditempatkan dalam konteks kebebasan

beragama. Sila yang dipandang kerap menimbulkan perebatan tafsir adalah
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara konseptual, seperti dikutip Ihsan Ali-Fauzi,
Olaf Schumann menjelaskan bahwa istilah “ketuhanan” merupakan istilah yang
sangat abstrak; bukan “Tuhan”, melainkan “ketuhanan”, suatu prinsip mengenai
Tuhan, tetapi bukan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, ia pun sangat sulit
diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dalam bahasa inggris barangkali dapat
diterjemahkan dengan istilah divinity, bukan “diety” atau “God”, dan dalam
bahasa Jerman Gottheit atau Gottlichkeit. Ia pun bukan Gott. Hanya teologi yang
dapat menjelaskan dengan memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan ketuhanan itu secara nyata.6
Secara historis, kemunculan redaksi itu memang buah kompromi
ideologis-politis antara kelompok yang menginginkan “negara teokratis” dan
negara demokratis. 7 Kompromi alot di kedua kubu pada akhirnya membuahkan
“hasil maksimal”, kendatipun di kemudian hari implikasi dari butir itu adalah
favoritisme agama-agama besar dan pelarangan terhadap animisme, dinamisme,
6

Ihsan Ali-Fauzi, et.all., Membela Kebebasan Beragama: Catatan pengantar , dalam Budhy
Munawar-Rachman (ed.), Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme,
Liberalisme, dan Pluralisme (Jakarta: Paramadina, 2010), h.xiii.

7
Sejak awal kelompok Islam baik modernis maupun tradisionalis, telah menginginkan penetapan
syari‟at Islam sebagai dasar negara yang kemudian terkenal dengan “Piagam Jakarta”. Meskipun
penerimaan Bung Hatta, pada waktu itu, atas keberatan kelompok non-muslim dan kelompok
nasionalis atas pencantuman tujuh kata dalam Pancasila, lebih didasarkan atas realitas
kemajemukan masyarakat Indonesia, tetapi Soekarno sendiri lebih memiliki pertimbangan
ideologis. Bagi Bung Karno, menuruti usulan NU (KH. Abdul Wahid Hasyim) untuk menambah
sila pertama yang semula hanya “Kepercayaan kepada Tuhan” menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, yang merupakan upaya untuk mendekatkan Pancasila dengan prinsip ketauhidan dalam
Islam, tentu tidak sekadar mengganti kekecewaan umat Islam, atas ditolaknya Piagam Jakarta.
Kepentingan Soekarno untuk mengakomodir aspirasi umat Islam, adalah kekhawatirannya
terhadap disintegrasi nasional dan melemahnya dukungan umat Islam menghadapi agresi Belanda
waktu itu. Selain itu, akomodasi juga ditunjukkan lewat persetujuan atas berdirinya Kementerian
Agama. Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta:
Desantara, 2004), h.14 & 55.

4

Pesantren Ciganjur


berperadaban dengan tradisi

politeisme, ateisme dan non-teisme, serta kepercayaan-kepercayaan minoritas lain
yang menjadi wilayah personal warga negara. Fakta ini rawan sekali dipolitisasi
oleh negara untuk mencampur-tangani urusan privat secara legitimatif, karena
ditemukan pendasarannya di dalam konstitusi.
Kebijakan restriktif terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan mencolok
sekali terutama di sepanjang rezim Orde Baru. Berbeda dengan orientasi Orde
Lama yang ideologis, otoritarianisme Orde Baru hampir tidak memperlihatkan
konsistensi dan komitmen yang jelas terhadap kebijakan keagamaannya.
Demokrasi Pancasila sering kali menempatkan Pancasila sebatas pengelabuan
untuk menutupi kebutuhan atas pemeliharaan kekuasaannya. Maka, sesekali
Soeharto berafiliasi dengan umat Islam untuk bersama-sama mengadakan
pemberantasan PKI dan pelarangan lebih dari seratus aliran kepercayaan dan
kebatinan yang berhaluan kiri. Dan sesekali mengebiri umat Islam sebagai
kekuatan politik melalui peneguhan asas tunggal Pancasila. 8 Di rezim ini pula
marak lahir kebijakan keagamaan yang intoleran seperti pembedaan antara agama
resmi dan tidak resmi, pengawasan terhadap aliran yang dianggap sesat, larangan
faham Marxisme-Leninisme, dan lain-lain. Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat 2
yang secara terang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu” tidak berfungsi dengan baik di bawah
kedigdayaan politik Soeharto yang demikian kuat.
Bangkitnya orde reformasi pasca-Orde Baru telah banyak mengubah
perkembangan mutakhir kepolitikan kita. “Demokrasi seolah-olah” diperjuangkan
untuk diluruskan lagi menjadi demokrasi yang sebenarnya. Di antara prestasi yang
dapat diinventarisir adalah empat kali amandemen (1999-2002) terhadap undangundang “bermasalah”. Khusus mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan, yang
menjadi fokus tulisan ini, hasil amandemen UUD 1945 memberi jaminan
konstitusional yang sangat kuat. Pasal 28E memberi penegasan bahwa (1) “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali”; dan (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Dengan itu mejadi
jelas bahwa hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan pilihan yang
bebas “sesuai dengan hati nurani” seseorang yang dihormati. Tidak ada institusi
apapun yang dapat menghalangi, meniadakan atau memaksakan agama atau
keyakinan seseorang. 9

8
9

Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta , h.14-16.
Ihsan, Membela Kebebasan Beragama , h.xv-xvi.

5

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

Seperti disebutkan, sebagai politik modern demokrasi tidak bisa
dilepaskan dari akomodasi hak-hak dasar kemanusiaan. Komitmen politik
kesetaraan demokrasi pasca-Orba telah berusaha mewujudkan hal itu. Usaha itu
tergolong berhasil dengan adanya ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik
(ICCPR) lewat UU No. 12/2005 dan masuknya HAM dalam UU No.39/1999
tentang Hak Asasi Manusia. Kedua UU ini menjelaskan secara rinci betapa
kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak dasar yang tidak seorang pun
dapat membatasi, mengganggu, atau memaksakannya. Segala praktik
diskriminatif berdasarkan sentimen keagamaan, kepercayaan, suku, ras, etnis,
kelompok, jenis kelamin, bahasa, status sosial, status ekonomi, dan keyakinan
politik termasuk melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar maupun Undang-Undang.
Secara umum, gairah demokratisasi pada orde pembaharuan ini telah
mampu memperlihatkan komitmen demokratis yang sangat kuat. Sejumlah
amandemen dan ratifikasi telah berkontribusi banyak dalam mengubah wajah
konstitusi kita untuk semakin tinggi menjunjung hak asasi manusia sebagai
perwujudan hak-hak demokratis warga. Hanya, perlu diingat bahwa beberapa
peraturan perundang-undangan masih menyediakan ruang tafsir dan kesempatan
diskriminasi oleh penegak hukum, praktisi politik, atau kekuatan mayoritas
rakyat. Sehingga, idealisme hukum terkadang diselewengkan lewat tarik-menarik
politik yang sarat kepentingan dan sentimen keyakinan dan keagamaan.

Politik Diskriminasi Beragama/Berkeyakinan
Dalam demokrasi terdapat segitiga hubungan antara etika, hukum, dan
politik. Secara filosofis, etika demokratis, berupa prinsip kebebasan dan
kesetaraan, menjadi jangkar nurani yang menjustifikasi demokrasi sebagai
gagasan politik yang baik untuk diterima. Basis etis ini selanjutnya diterjemahkan
ke dalam serangkaian hukum dengan melibatkan proses-proses politik.
Keberadaan hukum lalu menggeser etika sebagai sikap batin yang mutlak,
menjadi peraturan yang memiliki dimensi koersifitas lahiriah melalui
kelembagaan politik yang diisi oleh sejumlah aparat dan sanksi-sanksi sebagai
sarana pemaksa. Pada level politik, ekspresi negatif kekuasaan kerap kali
memanfaatkan dimensi koersifitas (pemaksaan) ini untuk melakukan kekerasan
dan dominasi yang mengatasnamakan hukum. Tepat di sinilah letak vulnerability
dan paradoks demokrasi, yaitu ketika etika demokrasi terlepas dari dan dikuasai
oleh menifestasi yuridis dan politiknya. 10
10

Menurut prinsip eksistensialnya demokrasi mengandung tiga fenomena sekaligus, yaitu
fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral), dan fenomena hukum, yang saling
berjalin kelindan membentuk sebuah teori dengan pendasaran teoritis yang tegas-tegas menolak
tatanan kekuasaan yang otoriter dan totaliter. Jadi, demokrasi dapat diartikan sebagai spirit (ide)

6

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

Kata Frédéric Bastiat, hukum adalah organisasi hak individu secara
kolektif untuk membela diri secara sah. 11 Dalam konteks demokrasi, proposisi ini
melengkapi pendapat Jean Bachler tentang karakter dasar demokrasi yang selalu
berproses secara kontraktual untuk mencapai suatu kesepakatan yang dijadikan
dasar bagi kepatuhan bersama. 12 Idealisme hukum yang dikemukakan Bastiat
adalah sarana kepatuhan bersama untuk mengharap, menuntut, dan
mempertanyakan hak-hak demokratis warga negara. Namun, Bastiat sendiri
mengingatkan bahwa hukum sama sekali tidak membatasi dirinya pada fungsifungsi yang seharusnya. Dan ketika ia melampaui fungsi-fungsi yang seharusnya
itu, hukum bisa berkembang melawan tujuannya sendiri. Hukum sudah dipakai
untuk memberangus keadilan yang seharusnya ia pelihara; untuk membatasi dan
menghancurkan hak-hak yang seharusnya ia junjung tinggi. 13
Dalam konteks Indonesia, secara yuridis “organisasi hak individu” itu
terlembaga dalam konstitusi yang dimiliki. Jaminan kebebasan dan perlakukan
yang sama warga negara secara eksplisit diatur oleh perundang-undangan. Hanya
saja, lantaran proses-proses politik yang intoleran, beberapa kebijakan melenceng
dari fungsi-fungsi hukum yang seharusnya. Pelenccengan tersebut terjadi pada
dua hal. Pertama , produksi hukum yang diskriminatif terhadap warga negara.
Kalau dalam sejumlah pasal perundang-undangan menyatakan jaminan kebebasan
dan kesetaraan, maka sejumlah peraturan lain yang mengadakan pembatasan
kebebasan dan diskriminasi secara tak wajar adalah wujud kerancuan produk
hukum yang diciptakan oleh negara. Hukum semacam ini biasanya lahir dari
kebutuhan situasi politik tertentu, atau desakan kekuatan sementara pihak yang
menginginkan adanya ketidakbebasan dan ketidaksetaraan di masyarakat.
Kedua , implementasi hukum yang diskriminatif, yang dimotori oleh para
aparatnya dan sejumlah kelembagaan politik yang terkait. Di sini aktor-aktor
pembuat kebijakan telah tertutup dari kebijaksanaan pengambilan keputusan,
sehingga memunculkan sejumlah keputusan yang bertentangan dengan asas
kebebasan dan kesetaraan dalam demokrasi. Dalam hal ini, kolaborasi antara
mayoritarianisme dan aktor-aktor politik negara (legislatif, yudikatif atau
eksekutif) untuk membatasi kebebasan dan membeda-bedakan perlakuan
merupakan pangkal masalah mengapa kebijakan itu keluar dan diterapkan dengan
melanggar nilai demokrasi.

dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dengan segala derivasinya
menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka
yuridis. Handra, Filsafat Demokrasi, h.82-84.
11
Frédéric Bastiat, The Law (Terjemahan: Hukum, Rancangan Klasik untuk Membangun
Masyarakat Merdeka) (Jakarta: Freedom Institute, 2010), h.2.
12
Jean Baechler, Democracy an Analycal Survey (Terjemahan: Demokrasi, Sebuah Tinjauan
Analitis) (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.95-96.
13
Bastiat, The Law, h.4-5.

7

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

Kita bisa memulai analisa politik diskriminasi di Indonesia dengan
menunjukkan kebijakan yang tidak memihak secara merata kepada warga negara,
kemudian mengamati proses politisasi yang merugikan sebagian pihak sebagai
warga negara dalam kerangka demokrasi. Dalam konteks beragama dan
berkeyakinan di Indonesia, masalah intoleransi dan diskriminasi banyak berporos
pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. Peraturan ini seringkali dijadikan legitimasi yuridis untuk
melakukan pelarangan terhadap keyakinan-keyakinan yang dianggap sesat dalam
pandangan agama-agama mainstream. Pasal undang-undang itu memuat larangan
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk
melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama yang dianut di Indonesia. Jika penyimpangan tersebut dilakukan oleh
organisasi atau aliran, Presiden dapat membubarkannya sebagai organisasi/aliran
yang terlarang. 14
Dalam sejarahnya, UU yang sebelumnya Penpres ini 15 lahir dari situasi
saat dinamika sosial politik Indonesia diwarnai persaingan antar ideologi-idologi
besar seperti nasionalisme, agama, dan komunisme. Saat itu timbul aliran-aliran
atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai agama, yang mengancam terjadinya pelanggaran
hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan menodai agama.
Perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke
arah membahayakan agama-agama yang ada. PNPS 1965 terbit selain untuk
melindungi agama-agama (yang diakui negara), juga merupakan bagian dari
gagasan Nasakom Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan
Bunyi selengkapnya adalah: Pasal 1, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran
tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”; Pasal 2 ayat (1), “Barang siapa melanggar
ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri.” Dan Pasal 2 ayat (2), “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1)
dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia
dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai
Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri
Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.”
15
UU Penodaan Agama awalnya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965
yang dikeluarkan Soekarno pada 27 Januari 1965. Setelah Soekarno jatuh, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memerintahkan untuk dilakukan peninjauan kembali
produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut dibentuk UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Berdasarkan UU No.5 Tahun
1969 maka Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama ditetapkan sebagai suatu UU dan disebut UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Siti Aminah & Uli Parulian S, Memahami Pendapat
Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama (Jakarta: ILRC, 2011),
h.1-2.
14

8

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

nasionalisme, agama dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya.
Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin yang otoriter, sentralistik dan
terpusat di tangan Presiden Soekarno telah menyebabkan produk-produk hukum
yang diciptakan pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sentralistik, tidak
terkecuali UU Penodaan Agama. 16
Di tangan Orde Baru UU PNPS ini tampil semakin politis. Diliputi hasrat
mempertahankan status quo, Soeharto mengontrol kekuatan politik di
sekelilingnya melalui sejumlah undang-undang, bahkan dasar negara Pancasila.
Kehadiran PNPS ini memberinya keleluasaan untuk menyingkirkan setiap lawan
politik yang berlatar belakang kepercayaan atau keagamaan dengan dalih
penyalahgunaan dan penodaan agama. Di era ini kontrol politik atas agama
dipertegas dengan peresmian agama-agama besar, yang terbatas pada Islam,
Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu. 17 Di tingkat empirik, politik pengesahan ini
memacu kaum misionaris agama-agama semitis (mayoritas) khususnya Islam,
Kristen, dan Katolik untuk mengolonialisasi agama-agama lokal (minoritas) yang
bisa jadi ada lebih awal namun tidak diakui oleh negara.18 Untuk agama-agama
yang dianggap “devian” dari agama-agama besar ini, seperti Dayak Kaharingan di
Kalimantan, Parmalim di Medan, Tolotang di Sulawesi Selatan, dan Sunda
Wiwitan di Jawa Barat, kadang juga digolongkan secara sewenang-wenang ke
dalam salah satu dari agama resmi. Jelas ini termasuk pemaksaan, apalagi politik
pengesahan ini berpengaruh besar terhadap keseharian hidup warga, seperti sistem
administrasi kependudukan dan pernikahan, subsidi, pendidikan dan lain-lain.
Dalam praktiknya, kebijakan keagamaan itu beroperasi atas partisipasi
utama dari lembaga negara yang bersinggungan dengan agama dan keyakinan
seperti Kementerian Agama dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran dalam
Masyarakat (Bakorpakem). Fungsi lembaga yang hingga kini masih eksis itu
semakin memperkuat cengkeraman negara terhadap kepercayaan privat warganya.
Untuk kementerian agama, secara genealogis merupakan warisan zaman kolonial
Belanda (dengan nama Kantoor voor Inlandsche zaken/Kantor Urusan Pribumi)
dan Jepang (dengan nama Shumubu), yang dilanjutkan pasca-kemerdekaan

16

Departemen Agama (Depag) melaporkan pada tahun 1953, terdapat lebih dari 360 kelompok
kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran menentukan hingga pada
pemilu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara mayoritas. Aminah & Parulian, Memahami
Pendapat Berbeda , h.2-3.
17
Status agama-agama resmi ini terkandung dalam Surat Edaran Mendagri
No.477/74054/BA.01.2/4683/95 (18 November 1978) tentang Pengakuan Agama yang diakui oleh
Pemerintah. Belakangan Konghucu masuk sebagai “agama resmi” setelah Abdurrahman Wahid
melalui Keppres No.6/2000 mencabut Inpres No.14/1967 tentang pelarangan dan pembekuan
kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.
18
Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta , h.59-62.

9

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

sebagai “jalan tengah” menghadapi tarik-menarik keras antara yang menginginkan
“negara sekuler” dan “negara teokratis”.19
Selain diskriminatif, “fungsi kolonial” ternyata juga melekat di
Kementerian Agama dan Bakorpakem. Terbukti, Soeharto bertingkah layaknya
Snouck Hurgronje, yang berupaya melakukan pengawasan, pengaturan, dan
pembatasan ketat terhadap munculnya agama-politik melalui tangan kedua
institusi ini. Adapun di era demokrasi sekarang ini, fungsi itu lebih merupakan
pemihakan negara kepada tafsir keagamaan kaum mayoritas untuk
mengolonialisasi, bahkan mengriminalisasi, 20 sekte-sekte “baru” atau “aneh” yang
berbeda pandangan dengan alur umum. Politik pemihakan ini, dengan instrumen
UU PNPS, dilakukan negara:21 (1) melalui Depag, menentukan apa yang disebut
“pokok-pokok ajaran agama”; (2) menetukan mana penafsiran agama yang
dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” dan mana yang tidak;
(3) jika diperlukan, melakukan penyidikan terhadap aliran-aliran yang diduga
melakukan penyimpangan serta menindak mereka. Dua kewenangan terakhir
dilaksanakan oleh Bakorpakem, yang mula-mula didirikan oleh Depag pada 1954
untuk mengawasi agama-agama baru, kelompok-kelompok kebatinan dan
kegiatan mereka. Sejak 1960, tugas dan kewenangan itu diletakkan di bawah
Kejaksaan Agung.
Terlihat aneh memang, di zaman keran demokrasi dibuka lebar seperti
sekarang ini masih saja tersisa produk dan implementasi kebijakan yang
membredel kebebasan agama dan keyakinan pribadi seseorang. Gelombang
demokratisasi belum menyentuh ke semua lapisan perundang-undangan dan
institusi negara.22 Sejumlah kebijakan restriktif keagamaan era Orde Lama dan
19

Kementerian Agama tidak ada pada kabinet pertama 1945 lantaran mendapat penolakan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kehadiran kementerian agama pada Kabinet Syahrir
pada 3 Januari 1946 adalah “konsensi” yang diberikan kepada umat Islam. Meski kontroversial,
Soekarno berharap “hadiah” ini dapat mengobati kekecewaan umat Islam dengan dihapusnya tujuh
kata di Piagam Jakarta, dan segera berintegerasi secara nasional untuk bersama-sama ikut serta
menghadang penjajah yang ingin kembali masuk ke Indonesia. Di awal pembentukannya
mengemuka usulan nama kementerian agama Islam, namun selanjutnya disepakati kementerian
agama saja. Lihat, Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta , h.55-59
20
Dalam pasal 3 UU PNPS eksplisit dinyatakan, “apabila… mereka masih terus melanggar
ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi
yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”
21
Ihsan, Membela Kebebasan Beragama , h.xix.
22
Menarik jika kita menyaksikan pergulatan usaha pencabutan UU No.1/PNPS/1965. MK tahun
2010 menolak uji materiil undang-undang tentang penodaan agama itu yang diajukan oleh
Abdurahman Wahid (Alm), Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dan
tujuh organisasi masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Imparsial, Setara Institute, Demos, Elsam, Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
(PBHI). Dalam proses persidangan salah satu hakim MK Maria Farida Indarti berbeda pendapat
(dissenting opinion) dengan mayoritas hakim lainnya. Menurutnya, UU Penodaan Agama telah
menciptakan diskriminasi, terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam
agama resmi saja (Dirjen Bimas), yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu.
Undang-undang itu produk lampau, yang walau berdasarkan Aturan Peralihan I UUD 1945 secara

10

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

Orde Baru masih dipelihara dan diteruskan dengan baik hingga hari ini.
Kemunculan keyakinan-kayakinan yang berseberangan dengan pendapat
mainstream dicap begitu saja sebagai aliran sesat yang menodai agama, dan
karena dianggap kriminal para pelakunya harus meringkuk di penjara.
Netralitas sikap negara terhadap urusan privat warganya sebagai realisasi
etika demokrasi untuk mewujudkan kebebasan dan kesetaraan kepada setiap
warga ternyata tidak berkutik di bawah hegemoni politik mayoritas, yang selalu
menempatkan pihak di luar dirinya sebagai kelas nomor dua. Negara akhirnya
berurusan dengan wilayah privat dan perdebatan yang semestinya menjadi perkara
di tingkat horisontal antar-warga. Pemihakan negara atas pendapat keyakinan dan
keberagamaan tertentu jelas berseberangan dengan fungsi negara dalam
demokrasi sebagai pengayom warga secara keseluruhan. Pemihakan, lalu
penanganan perbedaan melalui jalur negara (perundang-undangan dan institusi
politik) menyebabkan adanya pengabaian terhadap persoalan-persoalan partikular
yang harusnya didudukkan secara khusus. Penanganan terhadap kasus-kasus
“menyimpang”, seperti ketidaksensitifan polling tabloid Monitor , pemahaman
Ahmadiyah dan Yehowa, ide shalat dwi bahasa, gerakan agama baru Lia Eden,
lantas digeneralisasi sebagai “penodaan agama” yang berujung punishment yang
mengekang. 23 Maka, di sini politik mayoritas telah memanfaatkan dimensi
koersifitas hukum dalam demokrasi untuk mendominasi dan memaksa pihak
minoritas mengikuti alur pemahaman mayoritas.
Etika politik memang menyediakan paham-paham inti sekitar demokrasi,
tetapi yang dapat mempergunakannya dalam perjuangan politik bukanlah etika
politik sendiri, melainkan diskursus politik dalam masyarakat yang
bersangkutan.24 Pun saat etika itu dilembagakan dalam produk hukum, masih
terbuka lebar potensi manipulasi oleh aktor-aktor politik dan diktator mayoritas,
sehingga—meminjam istilah Bastiat—hukum bisa dipakai untuk menghancurkan
tujuannya sendiri. Hasil amandemen dan ratifikasi Hak-Hak Sipil dan Politik,
serta ratifikasi Hak Asasi Manusia menjadi “ompong”, ketika sentimen kelompok,
subyektifitas kepentingan, dan egoisme status tetap mendominasi ruang publik
formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai
kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Sementara ketua MK Mahfud
MD berpandangan, jaminan konstitusional kebebasan beragama di Indonesia sudah absolutely
clear , tetapi tanggung jawab negara terhadap agama tidak sebatas memberi perlindungan
kebebasan beragama kepada para pemeluk agama, tetapi juga memberikan pelayanan terhadap
pemeluk agama dan melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan dan penyimpangan.
Pendapat Mahfud selengkapnya bisa dirujuk di Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam
Perspektif Konstitusi, makalah dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan
Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih , yang
diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5
Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.
23
CRCS, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan” (2010), h.5.
24
Magnis, Mencari Sosok Demokrasi, h.68-69.

11

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

demokrasi. Keompogan itu terlihat dari inkoherensi peraturan/kebijakan
perundang-undangan pasca reformasi hukum antara UUD dan sejumlah peraturan
turunannya, dan dikendalikan oleh aparat-aparat yang kehilangan kebijaksanaan
dan toleransi.

Akhir
Uraian di atas memperlihatkan bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa ini
untuk mewujudkan nilai-nilai demokratis belum terlaksana secara penuh hingga
sekarang. Kebijakan keagamaan pasca kemerdekaan masih memiliki “garis
kesinambungan” dengan kebijakan keagamaan pada zaman kolonial. Garis itu
terlihat dari intensitas campur-tangan kekuasaan atas kehidupan pribadi warganya
dalam hal keberagamaan dan keberkeyakinan. Favoritisme negara atas pihakpihak tertentu menimbulkan intoleransi dan diskriminasi perlakuan terhadap
pihak-pihak lainnya, yang kemudian menghilangkan ketulusan dan nafas lega
warga untuk mencari jalan spiritualnya sendiri.
Politik diskriminasi yang tampil memang menunjukkan variasi
kepentingan yang berbeda di setiap orde pemerintahan. Namun, dampak yang
ditimbulkan nuansanya selalu sama: kolonialisasi, marginalisasi dan kriminalisasi
kepercayaan-kepercayaan minoritas yang dianggap menyimpang. Katakanlah,
“misi mulia” negara adalah melakukan politik kerukunan untuk mengatasi konflik
di masyarakat demi stabilitas demokrasi, akan tetapi tidak seharusnya pendekatan
yang diambil adalah institusionalisasi pengesahan dan pelarangan agama dan
keyakinan. Pendekatan ini menimbulkan kerancuan, apakah institusionalisasi itu
sungguh-sungguh menciptakan kerukunan atau justru memberi justifikasi
kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dinilai menyimpang.
Terlebih, negara atas nama melindungi kemurnian ajaran agama telah masuk
pada wilayah definisi, tafsir, dan penghakiman pendapat yang seharusnya hanya
terjadi antara warga vis-à-vis warga, bukan negara vis-à-vis warganya. Di sini,
logika “perlindungan” akhirnya berjalan seiring dengan dampak ketidakadilan.25
Dalam konteks negara demokratis, gejala ini menunjukkan adanya jurang
pemisah antara idealisme dan impelementasi praktis dari demokrasi. Secara ideal,
demokrasi mengusung cita-cita kemanusiaan yang menghargai kemerdekaan dan
25

Dalam konteks kebebasan beragama/berkeyakinan, penulis sepakat dengan pernyataan Bastiat
bahwa hukum adalah konsep negatif, sehingga pernyataan “tujuan hukum adalah menjadikan
keadilan berdaulat” bukanlah pernyataan yang akurat. Seharusnya dinyatakan bahwa tujuan
hukum adalah mencegah bercokolnya ketidakadilan. Dalam kenyataan, ketidakadilanlah, dan
bukan keadilan, yang memiliki eksistensi sendiri. Keadilan dicapai hanya ketika ketidakadilan tak
ada. Hukum adalah keadilan yang terorganisasi. Ketika keadilan diorganisasi oleh hukum—yakni,
oleh kekuatan/paksaan—hal ini menyingkirkan gagasan tentang menggunakan hukum (paksaan)
untuk mengorganisasi segala aktivitas manusia, di antaranya pendidikan, seni, atau agama. Lihat,
Bastiat, The Law, h.55 & 25-26.

12

Pesantren Ciganjur

berperadaban dengan tradisi

kesetaraan warga negara. Namun, kedaulatan mayoritas rakyat atau elit-elit politik
yang mendominasi keputusan rakyat sering kali mengingkari cita-cita tersebut.
Pembatasan kebebasan dalam demokrasi hanya masuk akal diterapkan kepada
mereka yang bertentangan dengan demokrasi. Para penolak kemajemukan,
penganjur permusuhan, dan pelaku kriminal yang merugikan masyarakat
demokratis adalah sasaran tepat untuk mendapatkan pembatasan gerak. Perlakuan
negara demokratis juga menolak keungulan individu dalam masyarakat plural
berdasarkan sentimen keagamaan, kepercayaan, suku, ras, etnis, kelompok, jenis
kelamin, bahasa, status sosial, dan status ekonomi. Apabila yang terjadi
sebaliknya, percayalah, demokrasi akan melahirkan anak-anak kandung yang
suatu saat akan membunuh demokrasi itu sendiri. Monggo…

asrama,
malem tahoen baroe rongewoerolas
mahbib khoiron

13