Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Rovina Darmasanti F1105024
Analisis komoditi unggulan sektor pertanian Kabupaten Pacitan sebelum dan selama otonomi daerah
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-
Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan
Rovina Darmasanti F1105024 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Pembangunan mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang baik, secara material dan spiritual. (Todaro, 2000:20).
Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia merupakan hakekat pembangunan. Pembangunan mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-lain; kedua, kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat; ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial. (Emil Salim, 1986: 3).
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak dan nelayan, memperluas lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta memperluas pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Tujuan pembangunan pertanian layak ditempatkan sebagai prioritas utama agar tercapainya swasembada pangan. Pembangunan pertanian mengupayakan untuk mengembangkan potensi yang ada, yaitu memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia secara optimal. Pertanian tidak lagi dianggap sebagai usaha tradisional yang berskala kecil, dan apabila dikelola dengan baik produk yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang mampu bersaing, sehingga sangat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia.
Sektor pertanian diharapkan mampu memberikan sumbangan yang berarti dalam peningkatan pendapatan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber penghasil bahan pangan, sumber bahan baku bagi industri, mata pencaharian sebagian besar penduduk, penghasil devisa negara dari ekspor komoditinya bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Penduduk Indonesia yang sebagian besar penghasilannya bergantung pada bidang pertanian, namun tingkat produksinya tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Penyebabnya adalah pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia serta penggalian potensi alam pertanian yang kurang optimal.
Peranan sektor pertanian di Indonesia sangat penting karena dilihat dari keharusannya memenuhi kebutuhan pangan penduduk pada tahun 2005 yang berjumah 219,3 juta dan diprediksikan akan bertambah sebesar 1,25 persen (Nainggolan, 2006: 78) (dalam Yunastiti Purwaningsih).
Program peningkatan bahan pangan dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri dari produksi pangan nasional. Unsur- unsur dari ketahanan pangan antara lain tersedianya pangan dan aksesabilitas masyarakat terhadap bahan pangan. Jumlah penduduk yang cukup tinggi selalu menggantungkan penyediaan bahan pangan dari pasar nasional sehingga tidak ada pilihan lain untuk berusaha membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh pada keragaman sumber bahan pangan lokal. Ketersediaan dan kecukupan pangan mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan sedangkan aksesabilitas adalah kemampuan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangan karena didukung pemasaran yang efektif dan efisien.
Pemerintah harus melaksanakan kebijakan pangan yaitu menjamin ketahanan pangan yang meliputi pasokan, diversifikasi, keamanan, kelembagaan, dan organisasi pangan. Kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan kemandirian pangan. Pembangunan yang dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduknya selalu mengabaikan keswadayaan, akan bergantung pada negara lain dan menjadi negara yang tidak berdaulat (Arifin, 2004) (dalam Yunastiti Purwaningsih).
Pertambahan penduduk mendorong perlunya pengadaan pangan yang lebih besar sehingga produksi pertanian harus ditingkatkan. Peningkatan
produksi pertanian dicapai dengan peningkatan produktivitas disebabkan karena terbatasnya tanah dan waktu. (Emil salim, 1986:32). Sempitnya lahan pertanian dan dibangunnya industri-industri maupun bangunan fisik yang ditandai dengan tidak suburnya lahan akan mengganggu proses kegiatan pertanian dalam menghasilkan produksi. Pengalihan fungsi lahan dari fungsi pertanian ke fungsi bangunan menjadi penyebab utama berkurangnya lahan pertanian yang selanjutnya berdampak pada berkurangnya produksi produk pertanian, terutama pangan. Tenaga kerja di sektor ini juga cenderung berkurang, sementara kebutuhan pangan semakin meningkat. Faktor penyebab lain yaitu adanya perubahan iklim global yang mengakibatkan bencana alam, sehingga banyak areal panen menjadi puso, dan produksi menghadapi resiko berupa ketidakpastian iklim. (Yunastiti Purwaningsih, 2008: 6).
Sektor pertanian mempunyai peranan penting baik di tingkat nasional maupun regional, namun peranan tersebut menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita yang mencerminkan proses transformasi struktural. Penurunan ini disebabkan oleh interaksi dari berbagai proses yang bekerja antara lain disisi permintaan, penawaran, dan pergeseran kegiatan. Penurunan sektor pertanian tidak berarti menyebabkan sektor ini kurang berarti. (Ikhsan dan Arman, 1993) (dalam Ropingi dan Agustono, 2006: 117).
Peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara masih sangat besar. Sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Turunnya sektor pertanian dalam menyumbangkan output nasional dan penyediaan lapangan pekerjaan bukan berarti sektor pertanian mengalami stagnasi, bahkan mengalami Peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara masih sangat besar. Sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Turunnya sektor pertanian dalam menyumbangkan output nasional dan penyediaan lapangan pekerjaan bukan berarti sektor pertanian mengalami stagnasi, bahkan mengalami
Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perspektif ekonomi makro. Pertama, sektor pertanian merupakan sumber pertumbuhan output nasional. Studi Herliana (2004) menunjukkan sektor pertanian memberikan kontribusi 19,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari keseluruhan sektor perekonomian Indonesia, walaupun secara kuantitas lebih kecil jika dibanding dengan kontribusi sektor jasa (43,5%) dan manufaktur (23%) namun sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yakni 47%. Kedua, sektor pertanian memiliki karakteristik yang spesifik khususnya dalam hal ketahanan terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003) (dalam Andi Irawan, 2005: 250).
Sektor perekonomian yang mempengaruhi pembangunan daerah di Kabupaten Pacitan adalah sektor pertanian yang meliputi sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, dan sub sektor perikanan. Penentuan komoditi unggulan daerah merupakan salah satu faktor dari pengembangan ekonomi. Pada kenyataannya hampir di semua daerah mempunyai komoditas unggulan. Pengembangan komoditas unggulan di semua daerah tidak seluruhnya berjalan sukses karena masih rendahnya pembiayaan.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis mengenai komoditi unggulan sektor pertanian di Kabupaten Pacitan sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan ekonomi daerah. Maka dari itu, penelitian ini mengambil judul : ”ANALISIS
KOMODITI UNGGULAN SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN PACITAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH ”.
B. Perumusan Masalah
1. Komoditi pertanian apa saja yang menjadi unggulan ekonomi di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
2. Komoditi pertanian apa saja yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui komoditi pertanian yang menjadi unggulan ekonomi di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
2. Untuk mengetahui komoditi pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah ?
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan didalam merumuskan strategi dan kebijaksanaan pembangunan di Kabupaten Pacitan.
2. Bagi penulis, hasil penelitian ini digunakan untuk menambah pengetahuan tentang komoditi unggulan yang dimiliki di Kabupaten Pacitan sebelum dan selama Otonomi Daerah dan untuk melengkapi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bagi dunia pendidikan, sebagai bahan referensi atau masukan bagi peneliti lain yang mempunyai permasalahan yang sama.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Produksi
1. Pengertian Produksi
Produksi adalah suatu proses dimana barang dan jasa yang disebut input diubah menjadi barang-barang dan jasa-jasa yang disebut output. Proses perubahan bentuk faktor produksi disebut dengan proses produksi. Produksi pertanian dapat diartikan sebagai usaha untuk memelihara dan mengembangkan suatu komoditi untuk kebutuhan manusia. Pada proses produksi untuk menambah guna dan manfaat dilakukan proses penanaman dari bibit dan dipelihara untuk memperoleh manfaat atau hasil dari suatu komoditi pertanian.
Proses produksi pertanian menumbuhkan macam-macam faktor produksi seperti modal, tenaga kerja, tanah, dan manajemen pertanian yang berfungsi mengkoordinasikan faktor-faktor yang ada sehingga benar- benar mengeluarkan hasil produksi (output). Sumbangan tanah adalah berupa unsur-unsur tanah yang asli dan sifat-sifat tanah yang tak dapat dirusakan dengan mana hasil pertanian yang dapat diperoleh. Tetapi untuk memungkinkan diperolehnya produksi diperlukan tangan manusia yaitu tenaga kerja petani (labor). Faktor produksi modal adalah sumber-sumber ekonomi diluar tenaga kerja yang dibuat oleh manusia. Modal dilihat dalam arti uang atau dalam arti keseluruhan nilai sumber-sumber ekonomi non manusiawi. (Mubyarto, 1994:70).
Perusahaan sebagai pelaku ekonomi yang bertanggung jawab menghasilkan barang atau jasa harus menentukan kombinasi berbagai input yang akan dipakai untuk outputnya.
2. Faktor Produksi
Faktor produksi merupakan input yang digunakan dalam proses produksi, dibidang pertanian output yang dihasilkan dalam bentuk hasil produksi fisik membutuhkan sumberdaya yang digunakan sebagai faktor produksi berupa tanah, tenaga kerja, bibit, pupuk serta teknologi sebagai penunjang dalam usaha tani dengan tujuan menghasilkan output yang maksimal.
a. Tanah merupakan faktor produksi yang paling penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang terima oleh tanah dibandingkan faktor - faktor produksi lain. Tingkat produktifitas tanah dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah, sarana dan prasarana yang ada sebagai penunjang dalam meningkatkan produksi pertanian. Ada kemungkinan pemilik faktor produksi tanah menyakapkan tanahnya pada petani penggarap dengan sistem bagi hasil. David Ricardo dalam Mubyarto mengungkapkan teorinya tentang sewa tanah deferensial, dimana ditunjukan bahwa tinggi rendahnya sewa tanah disebabkan perbedaan kesuburan tanah, makin subur tanah makin tinggi harganya. (Mubyarto, 1994: 90).
b. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi utama dalam usaha tani. Tenaga kerja adalah manusia yang dengan aktifitasnya mencurahkan tenaga kerja untuk memenuhi apa yang menjadi tuntutan b. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi utama dalam usaha tani. Tenaga kerja adalah manusia yang dengan aktifitasnya mencurahkan tenaga kerja untuk memenuhi apa yang menjadi tuntutan
c. Bibit merupakan salah satu faktor produksi sangat menentukan keberhasilan usaha tani. Pemilihan bibit yang baik dan lahan terhadap hama sangat menunjang untuk menghasilkan output yang maksimal.
d. Pupuk merupakan faktor produksi yang mendukung keberhasilan usaha tani. Pupuk dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Pupuk organik adalah pupuk yang dihasilkan dari kotoran ternak atau sisa-sisa mahluk hidup yang karena alam dengan bantuan mikro organisme mengalami pembusukan.
2) Pupuk anorganik adalah pupuk buatan yang dihasilkan oleh manusia melalui proses pabrikasi, dengan meramu bahan-bahan- bahan kimia yang mengandung kadar hava tinggi.
3. Fungsi Produksi
Fungsi produksi merupakan hubungan antara jumlah output maksimum yang diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan output tersebut dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. (Paul A Samuelson dan William D Nourdhaus, 1996: 128). Fungsi Produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu. (Sugiarto, dkk, 2002: 202). Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau Fungsi produksi merupakan hubungan antara jumlah output maksimum yang diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan output tersebut dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. (Paul A Samuelson dan William D Nourdhaus, 1996: 128). Fungsi Produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu. (Sugiarto, dkk, 2002: 202). Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau
Q = f (X 1 ,X 2, X 3,.......... X n )
Dimana Q = tingkat produksi (output)
X 1 ,X 2, X 3,......... X n = input Berdasarkan faktor produksi yang digunakan dalam jangka pendek faktor tenaga kerja dianggap sebagai faktor tetap dan berlaku tambahan yang semakin berkurang (Law Diminishing Return), produk marginal setiap unit input akan menurun sebanyak penambahan jumlah input yang bersangkutan , dengan asumsi semua input lainnya konstan (Paul A Samuelson dan Willian D Noudous,1996:130). Dalam jangka pendek perusahaan tidak dapat menambah jumlah faktor produksi yang dianggap tetap. Faktor produksi yang dianggap tetap biasanya modal seperti mesin dan peralatan, bangunan perusahaan, sedangkan faktor produksi yang dapat mengalami perubahan adalah tenaga kerja.
Hukum hasil lebih yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Marginal Return) menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya (tenaga kerja) terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai negatif. Sifat pertambahan produksi seperti ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya mencapai tingkat yang maksimum dan Hukum hasil lebih yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Marginal Return) menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya (tenaga kerja) terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai negatif. Sifat pertambahan produksi seperti ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya mencapai tingkat yang maksimum dan
Produksi jangka panjang menggunakan seluruh faktor produksi yang bersifat variabel. Output diartikan dengan mengubah faktor produksi atau input dalam tingkat kombinasi yang seoptimal mungkin. Perubahan input ini memiliki proporsi yang sama atau berbeda. Dalam jangka panjang semua faktor produksi dapat mengalami perubahan sehingga perusahaan dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di pasar.
Suatu isoquant menunjukkan kombinasi yang berbeda dari input tenaga kerja (L) dan barang modal (K), yang memungkinkan perusahaan menghasilkan jumlah output tertentu. Isoquant yang lebih tinggi menunjukkan jumlah output yang lebih besar sedangkan isoquant yang lebih rendah menunjukkan jumlah output yang lebih kecil. (Dominick Salvatore, 1995: 150). Isoquant mempunyai karakteristik yaitu di daerah asal relevan, isoquant mempunyai kemiringan negatif, isoquant cembung terhadap titik asal dan isoquant tidak pernah saling berpotongan. Kurva biaya sama menunjukkan semua kombinasi berbeda dari tenaga kerja dan barang-barang modal yang dapat dibeli perusahan dengan pengeluaran total dan harga-harga faktor produksi tertentu. Kemiringan kurva biaya sama ditentukan oleh harga tenaga kerja dan harga barang-barang modal.
4. Teori Biaya Produksi
Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. (Sadono Sukirno, 2005: 205).
Kegiatan produksi dalam mengubah input menjadi output, suatu perusahaan tidak hanya menentukan input saja yang diperlukan, tetapi harus mempertimbangkan harga dari input-input tersebut yang merupakan biaya produksi dari output. Biaya produksi sangat penting peranannya bagi perusahaan dalam menentukan jumlah output. (Sugiarto, 2002: 248).
Biaya produksi yang dikeluarkan setiap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu biaya eksplisit dan biaya tersembunyi. Biaya eksplisit adalah pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang berupa pembayaran dengan uang untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dan bahan mentah yang dibutuhkan. Biaya tersembunyi adalah taksiran pengeluaran terhadap faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh perusahaan itu sendiri. Pengeluaran biaya tersembunyi antara lain adalah pembayaran untuk keahlian keusahawanan produsen tersebut, modalnya sendiri yang digunakan dalam perusahaan dan bangunan perusahaan yang dimiliki. (Sadono Sukirno, 2005: 208).
Biaya produksi dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan jangka waktunya yaitu biaya produksi jangka pendek dan biaya produksi jangka panjang. Biaya produksi jangka pendek yaitu jangka waktu dimana sebagian faktor produksi tidak dapat ditambah jumlahnya, pemakaian Biaya produksi dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan jangka waktunya yaitu biaya produksi jangka pendek dan biaya produksi jangka panjang. Biaya produksi jangka pendek yaitu jangka waktu dimana sebagian faktor produksi tidak dapat ditambah jumlahnya, pemakaian
1. Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost = TFC) Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang tidak dapat diubah jumlahnya walaupun jumlah outputnya yang dihasilkan berubah.
2. Biaya Variabel Total (Total Variabel Cost = TVC) Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya.
3. Biaya Total (Total Cost = TC) Keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan dalam menghasilkan output. Biaya total merupakan penjumlahan biaya tetap total dan biaya variabel total.
4. Biaya Marginal (Marginal Cost = MC) Kenaikan biaya produksi yang dikeluarkan untuk menambah produksi sebanyak satu unit.
MC = ∆TC / ∆q
5. Biaya Tetap Rata-rata (Average Fixed Cost =AFC) Rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan output. AFC diperoleh dari membagi biaya tetap total dengan jumlah output. Karena TFC konstan maka nilai AFC akan semakin kecil jika output yang dihasilkan semakin bertambah.
AFC = TFC / Q
6. Biaya Variabel Rata-rata (Average Variabel Cost = AVC) Rata- rata biaya variabel yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan output. AVC diperoleh dari membagi biaya variabel total dengan jumlah output.
AVC = TVC / Q
7. Biaya Total Rata-rata (Average Cost = AC) Besarnya biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk membuat satu-satuan output. AC diperoleh dengan membagi biaya total dengan jumlah output.
AC = TQ / C atau AC = AFC + AVC Biaya produksi jangka panjang adalah jangka waktu dimana semua faktor produksi dapat mengalami perubahan. Perusahaan dapat menambah semua faktor produksi atau input yang akan digunakan. Di dalam jangka panjang tidak ada biaya tetap, semua jenis biaya yang dikeluarkan merupakan biaya variabel.
5. Penerimaan Produsen
a. Penerimaan Total (TR) Penerimaan total produsen dari hasil penjualan output dikalikan dengan harganya. Secara matematika dinotasikan:
TR = Q . Pq Dimana: TR = Total Penerimaan Q = Jumlah output Pq = Harga output TR = Q . Pq Dimana: TR = Total Penerimaan Q = Jumlah output Pq = Harga output
AR = TR/ Q
c. Penerimaan Marginal (MR) Kenaikan dari penerimaan total (TR) yang disebabkan oleh tambahan penjualan per unit. Secara matematika dinotasikan (Boediono, 1996: 95):
MR = ∆TR / ∆Q
6. Keuntungan Maksimum
Permintaan individu akan suatu komoditi merupakan jumlah suatu komoditi yang bersedia dibeli individu selama periode waktu tertentu. Permintaan tersebut tergantung pada harga komoditi itu, pendapatan nominal individu, harga komoditi lain, dan citarasa individu. Semuanya itu harus dianggap konstan (asumsi citeris paribus). Penawaran komoditi oleh produsen tunggal yaitu jumlah komoditi yang bersedia ditawarkan oleh produsen tunggal selama periode waktu tertentu. Penawaran tersebut tergantung pada harga komoditi itu dan biaya produksi untuk produsen tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya produksi harus dipertahankan konstan (asumsi citeris paribus) antara lain teknologi, harga input yang diperlukan untuk memproduksi komoditi itu, dan untuk komoditi pertanian adalah kondisi iklim dan cuaca. Dalam teori ekonomi, ekuilibrium terjadi bila jumlah komoditi yang diminta dalam pasar per unit Permintaan individu akan suatu komoditi merupakan jumlah suatu komoditi yang bersedia dibeli individu selama periode waktu tertentu. Permintaan tersebut tergantung pada harga komoditi itu, pendapatan nominal individu, harga komoditi lain, dan citarasa individu. Semuanya itu harus dianggap konstan (asumsi citeris paribus). Penawaran komoditi oleh produsen tunggal yaitu jumlah komoditi yang bersedia ditawarkan oleh produsen tunggal selama periode waktu tertentu. Penawaran tersebut tergantung pada harga komoditi itu dan biaya produksi untuk produsen tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya produksi harus dipertahankan konstan (asumsi citeris paribus) antara lain teknologi, harga input yang diperlukan untuk memproduksi komoditi itu, dan untuk komoditi pertanian adalah kondisi iklim dan cuaca. Dalam teori ekonomi, ekuilibrium terjadi bila jumlah komoditi yang diminta dalam pasar per unit
Produsen dianggap akan selalu memilih tingkat output dimana keuntungan yang diperoleh adalah maksimum. Keuntungan adalah perbedaan antara hasil penjualan total yang diperoleh dengan biaya total yang dikeluarkan. Posisi tersebut dinyatakan sebagai posisi ekuilibrium, karena ada kecenderungan bagi produsen untuk mengubah output dan harga output. Bila produsen mengurangi atau menambah volume outputnya (penjualannya), maka keuntungan justru menurun. (Walter Nicholson, 1991: 251).
Upaya peningkatan produksi tidak akan menguntungkan bila penggunaan input produksi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dan modal yang dikeluarkan oleh petani. Petani yang rasional tidak hanya berorientasi pada produksi yang tinggi, akan tetapi lebih menitikberatkan pada semakin tingginya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh. Nicholson (1991) menyatakan bahwa petani sebagai produsen yang rasional akan memaksimumkan keuntungan atau akan menjalankan usaha tani secara efisien. Keuntungan maksimum diperoleh apabila produksi per satuan luas pengusahaan dapat optimal, artinya mencapai produksi yang maksimal dengan menggunakan input produksi secara tepat dan berimbang. Pemakaian input produksi juga berpengaruh terhadap pendapatan petani sehingga petani perlu mengetahui dan mengambil sikap untuk mengurangi atau menambah input produksi tersebut.
B. Pengertian Pembangunan Ekonomi
Tiga nilai pokok dalam keberhasilan pembangunan ekonomi yaitu :
1. Ketahanan (Sustenance) merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan, proteksi untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteam) merupakan pembangunan yang seharusnya memanusiakan orang. Pengertian dalam arti luas pembangunan suatu daerah seharusnya meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah atau wilayah tersebut.
3. Freedom from servitude merupakan kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :
1. Suatu proses perubahan yang terjadi secara terus menerus.
2. Usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita.
3. Kenaikan pendapatan perkapita berlangsung dalam jangka panjang.
4. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari 2 aspek yaitu: aspek perbaikan di bidang organisasi (institusi) dan perbaikan 4. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari 2 aspek yaitu: aspek perbaikan di bidang organisasi (institusi) dan perbaikan
Pembangunan sebagai pergerakan keatas dari seluruh sistem sosial yang menekankan pada pentingnya pertumbuhan dengan perubahan khususnya perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. (Mudrajad Kuncoro, 2004: 63)
C. Pembangunan Ekonomi Daerah
1. Definisi Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses di mana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi ) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999: 108).
Tiga pengertian daerah berdasarkan aspek ekonomi yaitu (Lincolin Arsyad, 1999: 107-108):
a. Daerah Homogen adalah daerah yang dianggap sebagai ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam pelosok ruang terdapat sifat- sifat yang sama. Kesamaan sifat-sifat tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapita, sosial-budayanya, geografis, dan sebagainya.
b. Daerah Nodal adalah suatu daerah yang dianggap sebagai suatu ruang ekonomi yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi.
c. Daerah Perencanaan atau Daerah Administrasi adalah suatu daerah yang ruang ekonomi berada di bawah satu administrasi tertentu seperti satu propinsi, kabupaten, kecamatan, dan sebagainya. Jadi daerah ini berdasarkan pada pembagian administrasi suatu negara.
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah).
Ada empat peran yang diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu (Lincolin Arsyad, 1999: 120)
a. Entrepreneur
Pemerintah daerah bertanggungjawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis. Pemerintah daerah bisa mengembangkan suatu usaha sendiri (BUMD). Pemerintah daerah harus dapat mengelola aset- aset dengan lebih baik sehingga secara ekonomis dapat menguntungkan.
b. Koordinator
Pemerintah daerah dapat bertindak sebagai koordinator untuk menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan di daerahnya. Pemerintah daerah bisa mengikutsertakan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha, dan masyarakat dalam proses penyusunan sasaran-sasaran ekonomi, rencana-rencana, dan strategi.
c. Fasilitator
Pemerintah daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan attitudinal (perilaku atau budaya masyarakat) di daerahnya. Hal ini dapat mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.
d. Stimulator
Pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus. Hal ini dapat mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang ada sebelumnya tetap berada di daerah tersebut.
2. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
Para ahli mengemukakan berbagai teori tentang pembangunan daerah antara lain (Lincolin Arsyad, 1999: 115).
a. Teori Ekonomi Neo Klasik
Konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan (equilibrium) dan mobilitas faktor produksi. Sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiah apabila modal bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah.
b. Teori Basis Ekonomi ( Economics Base Theory)
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama dari pertumbuhan ekonomi daerah adalah adanya hubungan langsung Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama dari pertumbuhan ekonomi daerah adalah adanya hubungan langsung
Teori basis ekonomi membagi kegiatan ekonomi ke dalam dua sektor yaitu sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan sektor basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya berupa barang dan jasa yang ditujukan untuk ekspor keluar, regional, nasional, dan internasional. Kegiatan sektor non basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya berupa barang dan jasa yang diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. (Rachmat Hendayana, 2003: 3).
Penekanan terhadap arti penting bantuan (aid) kepada dunia usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional merupakan strategi dari pembangunan daerah. Implementasi kebijakannya mencakup pengurangan hambatan atau batasan terhadap perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor yang ada dan akan didirikan di daerah tersebut.
Ketergantungan yang tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar secara nasional maupun global merupakan kelemahan dari model ini. Model ini juga berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis- jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi.
c. Teori Lokasi
Teori ini mengatakan bahwa lokasi mempengaruhi pertumbuhan daerah khususnya bila dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri. Pemilihan lokasi yang tepat seperti memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar lebih dipilih oleh perusahaan karena dapat meminimumkan biaya. Model pengembangan industri kuno menyatakan bahwa lokasi yang terbaik adalah biaya termurah antara bahan baku dengan pasar. Keterbatasan dari teori lokasi ini adalah teknologi dan komunikasi modern yang telah mengubah signifikansi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi dan distribusi barang.
d. Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hirarki tempat dan disetiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa- jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya.
Pembangunan ekonomi daerah di perkotaan maupun di pedesaan dapat menerapkan teori ini, misal perlu pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan lainnya hanya sebagai daerah pemukiman.
e. Teori Kausasi Kumulatif
Teori kausasi kumulatif menunjukkan kondisi daerah sekitar kota semakin buruk. Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperoleh kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus terbelakang). Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibandingkan dengan daerah lainnya.
f. Model Daya Tarik
Teori daya tarik industri merupakan model pembangunan ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasari adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industrialis melalui pemberian subsidi dan insentif.
D. Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah merupakan perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya publik yang tersedia dan memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya- sumberdaya swasta secara bertanggung jawab. (Lincolin Arsyad, 1999: 127).
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dapat melihat secara keseluruhan suatu daerah sebagai suatu unit ekonomi yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain.
Tiga unsur dasar dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah yaitu (Lincolin Arsyad, 1999: 133).
1. Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional
(horizontal dan vertikal) di mana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut.
2. Perencanaan yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional.
3. Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah, misal administrasi, proses pengambilan keputusan, otoritas biasanya berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Derajat pengendalian kebijakan sangat berbeda pada dua tingkat tersebut. Perencanaan daerah yang efektif harus dapat membedakan penggunaan sumberdaya - sumberdaya pembangunan dengan sebaik mungkin, dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencananya dengan objek perencanaan.
Proses perencanaan pembangunan daerah dapat dipengaruhi oleh dua kondisi yaitu (Mudrajad Kuncoro, 2004: 47):
1. Tekanan yang berasal dari lingkungan dalam negeri maupun luar negeri yang mempengaruhi kebutuhan daerah dalam proses pembangunan perekonomian
2. Perekonomian daerah dalam suatu negara dapat dipengaruhi oleh setiap sektor yang berbeda-beda. Adanya perbedaan pertumbuhan di beberapa daerah, misal beberapa daerah mengalami pertumbuhan sedangkan di daerah lainnya mengalami penurunan.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan perencanaan yang integratif dan komprehensif, artinya bahwa penentuan dan pemilihan prioritas didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Perencanaan pembangunan daerah harus melibatkan seluruh bidang sosial dan ekonomi serta mengacu pada kebijakan nasional.
Perencanaan pembangunan daerah harus berdasarkan pada kondisi dan potensi sumber daya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Karakteristik pembangunan daerah terletak pada penekanan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development ) dengan menggunakan potensi sumber daya daerah yang ada. (Gunawan Sumodiningrat, 1997) (dalam Lilis Siti Badriah, 2003:143).
E. Konsep Otonomi Daerah
Otonomi Daerah secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pengertian otonomi daerah dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Penjelasan dalam Undang-Undang tersebut adalah pemberian kewenangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota didasarkan atas asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Tujuan Otonomi Daerah menurut Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah Otonomi Daerah diarahkan untuk memacu pemerataan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata, dinamis dan bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberi peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
Di era otonomi daerah dan globalisasi yang sedang terjadi, setiap daerah dituntut untuk dapat menggali potensi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Tujuannya untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki suatu daerah, sehingga akan lebih cepat dan tanggap dalam menyusun strategi dan kebijakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sasaran pembangunan akan terwujud apabila pemerintah daerah mengetahui potensi daerah dan kawasan andalan serta merumuskan strategi kebijakan pengembangan produk atau komoditi basis ekonominya. (Ropingi dan Agustono, 2007: 61).
Pemerintah daerah dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, mampu bersaing dengan tenaga dari luar daerah dan mampu untuk mengolah potensi daerah. Sumber daya manusia yang tidak atau belum berkualitas dapat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya seperti adanya konflik dan penyelewengan yang diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok. Sumber daya manusia sebagai pelaksana dari otonomi daerah harus manusia yang Pemerintah daerah dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, mampu bersaing dengan tenaga dari luar daerah dan mampu untuk mengolah potensi daerah. Sumber daya manusia yang tidak atau belum berkualitas dapat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya seperti adanya konflik dan penyelewengan yang diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok. Sumber daya manusia sebagai pelaksana dari otonomi daerah harus manusia yang
Penyelenggaraan otonomi daerah membawa pemerintah daerah dituntut untuk lebih pro aktif dalam menggali potensi yang ada didaerahnya. Namun ada kecenderungan bagi pemerintah daerah untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Rusaknya sumber daya alam disebabkan karena keinginan dari pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan daerah, dimana sumber daya alam yang potensial dieksploitasi secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak negatif atau kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Penyelengaraan pemerintah daerah di berbagai daerah yang mementingkan kepentingannya sendiri akan menciptakan ego daerah yang tinggi. Hal ini akan membawa dampak negatif dari otonomi daerah yaitu setiap daerah mempunyai kebebasan untuk mengelola pemerintah daerah sesuai dengan kehendak dan aspirasi daerah sendiri yang cenderung keluar dari konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Pelaksanaan otonomi daerah semakin memperluas kewenangan daerah untuk melaksanakan program-program pembangunan di daerahnya. Konsekuensi dari semakin meluasnya kewenangan, tugas dan tanggung jawab, suatu daerah harus merespon untuk segera menetapkan suatu pandangan baru perencanaan pembangunan sebagai suatu konsep dasar untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan sesuai kondisi daerah.
Kebijakan otonomi daerah yang lebih luas membuat kewenangan daerah untuk melaksanakan program-program pembangunan di daerah semakin meluas. Perhatian pemerintah daerah harus diperlukan untuk menghasilkan perencanaan daerah yang dapat berperan sebagai dasar kebijakan pembangunan ekonomi. Para perencana daerah diharapkan mampu menyusun rencana-rencana pembangunan yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal. (Abdul Aziz Ahmad, 2008: 61).
Kebijakan otonomi daerah berakar dari konsep tentang desentralisasi yaitu pelimpahan sebagian wewenang yang dimiliki pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Konsep desentralisasi merupakan kebalikan dari sistem sentralisasi di mana seluruh kewenangan dikuasai oleh pemerintah pusat. Ciri –ciri dari teori desentralisasi adalah pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan, dan harus dianggap sebagai wilayah terpisah yang tidak mendapatkan kontrol langsung dari pemerintah pusat. Karakteristik lainnya adalah pemerintah lokal seharusnya memiliki batas-batas kewilayahan yang ditetapkan secara hukum, agar tataran administrasi sebuah pemerintah lokal mampu melaksanakan fungsi-fungsinya yang secara otomatis sinergis dengan pemerintah lokal lainnya dan memperoleh status kelembagaan yang jelas sekaligus wewenang kekuasannya. (Safi’i, 2007: 18).
F. Penelitian yang Relevan
1. Ropingi dan Agustono, Jurnal SEPA, Vol. 4 No. 1, September 2007. “PEMBANGUNAN
KECAMATAN BERBASIS KOMODITI
WILAYAH
PERTANIAN DI KABUPATEN BOYOLALI (PENDEKATAN SHIFF-SHARE ANALISIS)”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui komoditi pertanian yang menjadi basis pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Boyolali, mengetahui komponen pertumbuhan komoditi pertanian di masing-masing kecamatan dan mengetahui jenis komoditi pertanian dan wilayah pengembangannya di tiap-tiap kecamatan wilayah Kabupaten Boyolali. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series tahun 2004-2005. Data yang dimaksud adalah data nilai produksi komoditi pertanian dan harga komoditi pertanian. Penentuan komoditi pertanian basis di tiap-tiap kecamatan menggunakan analisis Location Quotien (LQ). Dari hasil analisis diketahui bahwa komoditi pertanian basis yang paling banyak adalah komoditi padi, kelapa, ayam buras, dan ikan lele. Berdasarkan hasil analisis shiff – share dari berbagai komoditi pertanian basis diketahui bahwa pertumbuhan selama tahun 2004-2005 sebesar 8,09%. Pertumbuhan komoditi pertanian di setiap kecamatan berbeda-beda, ada yang pertumbuhan dibawah pertumbuhan tingkat kabupaten ada yang dibawah tingkat kabupaten. Kondisi ini terjadi karena adanya perbedaan beberapa faktor diantaranya daya dukung sumberdaya, kondisi topografi, kondisi kesuburan lahan, sarana dan prasarana irigasi.
2. Catur Sugiyanto, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 22 No.4, Oktober 2007. ”STRATEGI PENYUSUNAN KOMODITAS UNGGULAN DAERAH”
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui perbedaan metode penentuan komoditas unggulan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan perbankan. Data yang digunakan oleh pemerintah daerah adalah komoditi unggulan masing-masing sektor sedangkan dari perbankan adalah melakukan survei potensi dasar terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM) di daerah. Alat analisis yang digunakan adalah Revealed Comparative Advantage (RCA). Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa tidak semua produk unggulan termasuk dalam kelompok industri primadona yang menggabungkan keunggulan relatif dalam hal: jumlah usaha, nilai tambah, dan jumlah tenaga kerja dapat mendeteksi kriteria jenis usaha atau sektor yang primadona maupun sektor yang dapat menopang menyelesaikan masalah ekonomi daerah (kesempatan kerja dan pendapatan).
3. Mei Tri Sundari dan Nuning Setyowati, Jurnal SEPA, Vol. 2 No. 2, Februari 2005. ” ANALISIS BASIS EKONOMI SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN
PENDEKATAN ANALISIS LOCATION QUOTIENT”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sektor perekonomian yang menjadi basis di Kabupaten Karanganyar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data
KARANGANYAR
DENGAN
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 1993 Kabupaten Karanganyar dan Propinsi Jawa Tengah tahun 1999-2003. Alat analisis yang digunakan adalah LQ. Dari hasil analisis diketahui bahwa selama tahun 1999-2003 sektor pertanian yang menjadi basis di Kabupaten Karanganyar adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air minum, dan sektor jasa-jasa. Secara umum sektor pertanian belum mampu menjadi sektor basis, namun ada subsektor yang menjadi basis yaitu sektor perkebunan dan peternakan.
4. Rachmat Hendayana, Jurnal Informatika Pertanian, Vol 12, Desember 2003. ”APLIKASI METODE LOCATION QUOTIENT (LQ) DALAM PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN NASIONAL”.
Tujuan penelitian tersebut adalah membahas penerapan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas pertanian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat time series tahun 1997- 2001. Data yang dimaksud meliputi data areal panen tanaman pangan, holtikultura (sayuran dan buah-buahan), perkebunan dan populasi ternak. Dari hasil analisis tersebut dapat digunakan sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasi penyebaran komoditas pertanian. Dalam hal ini komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 dianggap memiliki keunggulan komparatif karena basis. Komoditas pertanian yang tergolong basis dan memiliki sebaran wilayah paling luas menjadi salah satu indikator komoditas unggulan.
5. Lilis Siti Badriah, Jurnal JEBA, Vol. 5 No. 2, September 2003. “IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN DI PROPINSI JAWA TENGAH”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Jawa Tengah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 1993 Propinsi Jawa Tengah. Alat analisis yang digunakan adalah Location Qoutient (LQ), Model Ratio Pertumbuhan (MRP), dan Overlay. Dari hasil analisis diketahui bahwa sektor – sektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan di Jawa Tengah secara keseluruhan terdiri dari sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang potensial terdiri dari sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air minum, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang unggul tetapi cenderung menurun adalah sektor jasa-jasa.
6. Ropingi dan Dyah Listiarini, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 3 No.2, Desember 2003. ” PENENTUAN SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN PATI BERDASAR ANALISIS LQ DAN SHIFF SHARE”.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan dalam perekonomian Kabupaten Pati, posisi sektor pertanian, dan posisi sektor tanaman bahan makanan, perkebunan,