Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan

SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

USWATUN CHASANAH

C0105050

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan

Disusun oleh: USWATUN CHASANAH C0105050

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I

Dra. Endang Tri W., M.Hum NIP 195811011986012001

Pembimbing II

Drs. Sisyono Eko W., M.Hum NIP 196205031988032001

Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004

SERAT MUDHATANYA: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan

Disusun oleh

USWATUN CHASANAH C0105050

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 13 Agustus 2009

Jabatan

Nama

Tanda Tangan

Ketua

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004

Sekretaris

Dra. Hartini, M.Hum NIP 195001311978032001

Penguji I

Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum NIP 195811011986012001

Penguji II

Drs. Sisyono Eko Widodo, M.Hum NIP 196205031988032001

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A NIP 195303141985061001

PERNYATAAN

Nama : Uswatun Chasanah NIM : C0105050

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 13 Agustus 2009

Yang membuat pernyataan,

Uswatun Chasanah

MOTTO

“Setiap kesuksesan dan keberhasilan membutuhkan syarat.”

“Believe yourself. You can do it. Doa, effort, tawakkal!” (iluvislam.com)

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5-6)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11)

“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” (Al Hadits)

“Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Berlarilah, tanpa lelah sampai engkau meraihnya. Laskar pelangi tak kan terikat waktu. Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa. Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga. Bersyukurlah pada Yang Kuasa.” (“Laskar Pelangi”, NIDJI)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada: - Ibundaku tercinta - Keluarga - Sahabat dan teman

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin , puji syukur hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan kepada hamba-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan ” ini dapat terselesaikan.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin selesai bila tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang juga telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum., selaku Pembimbing Pertama, dengan penuh kesabaran telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi ini, juga proses kelulusan penulis.

4. Drs. Sisyono Eko Widodo, M.Hum., selaku Pembimbing Kedua, yang juga telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi ini, juga proses kelulusan penulis.

5. Siti Muslifah, S.S., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik, yang telah membimbing penulis sejak awal hingga akhir studi di Jurusan Sastra Daerah.

6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga memberikan kontribusi nyata dalam penulisan skripsi ini.

7. Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kemudahan pelayanan kepada penulis.

8. Kepala dan staff Perpustakaan Museum Sana Budaya Yogyakarta yang telah memberikan pelayanan terbaiknya selama proses pengumpulan data.

9. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu penulis.

10. Rekan-rekan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2005, khususnya Filologi: Mita, Daning, Ruma, Ebi, mbak Wik, mbak Ambar, Tantri, Ama yang telah memberikan semangat untuk terus maju kepada penulis.

11. Saudara-saudariku pengurus dan anggota SKI, BPM, BKM, dan BEM FSSR UNS atas perhatian, dukungan, pelajaran, kebersamaan dan indahnya ukhuwah selama ini.

12. Berbagai pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik yang membangun demi perbaikan selanjutnya. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan pemerhati masalah filologi di Indonesia.

Surakarta, Agustus 2009

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Ketebalan naskah SM .............................................................. 34 Tabel 4.2 Lakuna ..................................................................................... 50 Tabel 4.3 Adisi ........................................................................................ 52 Tabel 4.4 Substitusi ................................................................................. 52 Tabel 4.5

Transposisi .............................................................................. 54 Tabel 4.6 Ketidakkonsitenan penulisan kata ‘kagaliya’ dengan ‘kagaliha’ ………………………………………………….

Tabel 4.7 Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘dhahuru’ dengan ‘dahuru’ ……………………………………………………

Tabel 4.8

Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘kalentu’, ‘kêlèntu’ dan ‘kalintu’ ……………………………………………………

Tabel 4.9 Ketidakkonsistenan penulisan kata ‘asreng’ dengan ‘angsring’ …………………………………………………..

Tabel 4.10 Ketidakkonsistenan penulisan kata ’Mukammat’, ’Mukammad’ dan ’Mukamad’ .................................................

Tabel 4.11 Ketidakkonsitenan dalam penulisan bunyi vocal .................... 56 Tabel 4.12 Variasi penulisan kata ‘blêdug’ dan kata ‘balêdug’ ................ 57 Tabel 4.13 Variasi penulisan kata ‘saknagari’ dan kata ‘saknêgari’ ........ 57 Tabel 4.14 Variasi penulisan kata ‘glêpung’ dan kata ‘galêpung’ ........... 57 Tabel 4.15 Variasi penulisan kata ‘panjênêngan’ dan kata

‘pênjênêngan’...........................................................................

DAFTAR SINGKATAN

cm

: menunjukkan ukuran centimeter

dkk

: dan kawan-kawan

hal.

: halaman

: Masehi, menunjuk pada tahun Masehi

Manassa

: Masyarakat Pernaskahan Nusantara

PB

: Paku Buwana

R.Ng

: Raden Ngabehi

R.T.

: Raden Tumenggung

SM

: Serat Mudhatanya

ABSTRAK

Uswatun Chasanah. C0105050. 2009. Serat Mudhatanya: Suntingan Teks dan Ajaran Kepemimpinan . Skripsi: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar belakang penelitian ini adalah mengkaji naskah yang mengalami korup (rusak) karena ditemukan banyak sekali kesalahan penulisan dan ketidakkonsistenan penulisan. Keadaan ini menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari kesalahan-kesalahan. Permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini, yaitu bagaimana suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi serta ajaran apa yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya. Tujuan penelitian ini adalah menyajikan suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi, serta mengungkapkan ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya .

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah katalog-katalog yang memuat informasi tentang keberadaan naskah Serat Mudhatanya. Dari hasil inventarisasi ditemukan 1 buah naskah yakni Serat Mudhatanya dengan nomor katalog PB C56. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik fotografis, print out, dan transliterasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dan analisis interpretasi. Teknis analisis deskriptif mengacu pada cara kerja penelitian filologi. Metode penyuntingan teks menggunakan metode edisi standar, melalui tahapan-tahapan: (1) deskripsi naskah, (2) transliterasi naskah, (3) kritik teks, (4) suntingan teks dan aparat kritik, (5) sinopsis. Teknik analisis interpretasi digunakan untuk menginterpretasikan isi naskah melalui berbagai sudut pandang peneliti.

Hasil akhir penelitian ini dapat disimpulkan bahwa naskah SM adalah naskah pertama dan naskah tunggal dengan kode PB C56, sehingga digunakan metode suntingan edisi standar untuk menghasilkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Suntingan teks SM ini adalah suntingan atau edisi teks yang pertama dan bersih dari kesalahan (penulisan dan ejaan). Teks ini merupakan karya R.T.Purbadipura, seorang Abdidalem Bupati Anom Gedong Tengen Karaton Surakarta, ditulis oleh Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. Dari hasil kritik teks ditemukan beberapa kesalahan tulis, yaitu lakuna, adisi, substitusi, ditografi, dan transposisi, juga ditemukan beberapa ketidakkonsistenan penulisan dan variasi penulisan kata. Jadi, disimpulkan bahwa naskah ini rusak/ korup. Secara garis besar, diketahui bahwa teks SM ini menjelaskan tentang ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilengkapi dengan beberapa contoh gaya kepemimpinan para Nabi, dan para sahabat Nabi Muhammad SAW, serta gaya kepemimpinan raja-raja di Jawa. Ada delapan ajaran kepemimpinan yang harus dipahami dan diterapkan oleh seorang pemimpin dalam memimpin keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya, yakni: kuwasa , purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan kebudayaan beserta peninggalan-peninggalan masa lampaunya. Bentuk peninggalan masa lampau yang masih dapat dilihat dan dinikmati adalah artefak yang umumnya berupa bangunan, seperti candi, masjid, kraton, dan bangunan lainnya. Tetapi sebenarnya, masih ada satu jenis artefak lagi yang sering diabaikan dan ditinggalkan oleh masyarakat yakni peninggalan kebudayaan yang berupa naskah. Naskah adalah karangan tulisan tangan, baik yang asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu (Darusuprapta, 1984:10).

Naskah di Indonesia jumlahnya sangat banyak, jenisnya pun sangat beragam, berbanding lurus dengan jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Hampir setiap suku mempunyai peninggalan naskah ini. Salah satunya adalah masyarakat Jawa, yang secara kepemilikan naskah menduduki urutan pertama dari suku-suku yang lain. Naskah-naskah tersebut perlu segera dilakukan upaya penanganan berupa penyelamatan, penelitian, pelestarian, pendayagunaan, dan penyebarluasan hasil penelitian agar karya luhur nenek moyang kita tidak sekedar menjadi benda pajangan di dalam museum-museum.

Suatu bidang ilmu yang erat kaitannya dengan upaya penanganan naskah adalah filologi. Cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah didayagunakan dan disebarluaskan untuk berbagai macam kepentingan. Tugas utama filolog adalah Suatu bidang ilmu yang erat kaitannya dengan upaya penanganan naskah adalah filologi. Cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah didayagunakan dan disebarluaskan untuk berbagai macam kepentingan. Tugas utama filolog adalah

Girardet-Susanto (1983) mengklasifikasikan jenis naskah Jawa sebagai berikut:

1. Kronik, Legende dan Mite Di dalamnya termasuk naskah-naskah: babad, pakem, wayang purwa, panji, pustakaraja dan silsilah.

2. Agama, Filsafat dan Etika Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang mengandung unsur-unsur: Hinduisme-Budhisme, Islam, mistik Jawa, Kristen, magic dan ramalan, sastra wulang.

3. Peristiwa kraton, hukum, peraturan-peraturan

4. Buku teks dan penuntun, kamus, ensiklopedi tentang linguistik, obat-obatan, pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan, masak-memasak dan sebagainya.

Dari beberapa jenis naskah Jawa yang telah disebutkan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji naskah Jawa jenis sastra piwulang. Sejarah telah mencatat bahwa naskah Jawa jenis piwulang sempat mengalami masa keemasan setelah melewati masa-masa populernya kembali karya sastra Jawa Kuna di zaman Surakarta awal. Naskah-naskah jenis piwulang bermunculan salah satu sebabnya sebagai wujud reaksi atas kondisi sosial masyarakat saat itu.

Salah satu dari sekian banyak karya sastra piwulang tersebut adalah Serat Mudhatanya (selanjutnya disebut SB). Kata Mudhatanya berasal dari dua kata, Salah satu dari sekian banyak karya sastra piwulang tersebut adalah Serat Mudhatanya (selanjutnya disebut SB). Kata Mudhatanya berasal dari dua kata,

Inventarisasi naskah sebagai langkah awal penelitian filologi dilakukan melalui penelusuran terhadap berbagai katalog diantaranya:

1. Descriptive Catalogus of the Javanese manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet-Sutanto, 1983)

2. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II (Nancy K. Florida, 1994)

3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990)

4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B (Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1998)

5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Lindstay, Jennifer, 1994)

6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 2 Keraton Yogyakarta,

7. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunagaran Surakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta, Daftar Naskah Perpustakaan Widyabudaya Keraton Yogyakarta dan Daftar Naskah Perpustakaan Pura pakualaman Yogyakarta.

Hasil inventarisasi dari berbagai katalog tersebut hanya ditemukan satu naskah yang berjudul Serat Mudhatanya dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990) dengan nomor PB C56 dan dalam katalog Girardet-Susanto tahun 1983 dengan nomor 68615 (PB C56) berjudul Mudha Tanaya.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengecekan langsung ke tempat penyimpanan naskah yakni di perpustakaan museum Sana Budaya Yogyakarta. Berdasarkan pengecekan ke tempat penyimpanan naskah tersebut, naskah SM dalam kondisi masih tersimpan disana dan hanya berjumlah 1 buah naskah.

Serat Mudhatanya terdapat pada sebuah buku cukup tipis yakni terdiri dari 130 halaman, berukuran 21,2 cm x 16,8 cm. Selain Serat Mudhatanya ternyata dalam naskah ini ada satu judul lain, yakni Serat Kawontenanipun Pergerakan Komunis. Hal itu bisa dilihat dalam cover luar naskah ini yang bertuliskan ”Serat Moedatanya. Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis” , berikut gambarnya:

Gambar 1.1 Judul pada cover depan

Kemudian pada cover dalam naskah juga terdapat perbedaan lagi, judul naskah bertuliskan ”Moedatanya (Koemoenis)”, berikut gambarnya:

Setelah dibaca secara teliti, ternyata naskah ini terdiri dari 2 bentuk teks, yakni prosa dan tembang macapat. Dua bentuk teks yang berbeda jika dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada beberapa kemungkinan seperti berikut:

1. Jika didasarkan pada gambar 1.1, dua teks yang berbeda bentuk memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat Mudhatanya” , sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri.

2. Jika didasarkan pada gambar 1.2, dua teks yang berbeda bentuk tersebut include dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling berkaitan.

Teks yang berbentuk prosa disajikan dalam bentuk dialog antara dua tokoh. Hal-hal yang didialogkan atau didiskusikan antara dua tokoh tersebut seputar kehidupan bermasyarakat tentang etika dan norma-norma, juga

Gambar 1.2 Judul pada cover dalam

kepemimpinan yang dilengkapi dengan kisah beberapa Nabi (Nabi Muhammad, Nabi Adam, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Yusuf) dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad yang biasa disebut dengan khulafaur rasyidin (Abu Bakar ash- Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Juga beberapa kisah tentang gaya kepemimpinan beberapa pemimpin atau raja-raja di Jawa mulai dari Kyai Ageng Sela hingga Paku Buwana VIII.

Teks yang berbentuk tembang macapat terdiri dari tiga pupuh, yaitu Durma (24 bait), Pangkur (32 bait), dan Asmaradana (38 bait). Gaya tulisannya sama dengan gaya tulisan teks yang berbentuk prosa. Teks ini berisi tentang sejarah pemberontakan gerakan komunis yang terjadi di Banten, Bandung, dan Batavia. Dalam katalog Behrend disebutkan bahwa teks lain ini merupakan surat edaran yang ditandatangani oleh pepatih dalem K.R.A.Jayanagara, tertanggal 15 November 1926, menyebutkan bahwa tahun tersebut di Batavia, Banten, dan Bandung sedang terjadi pemberontakan Komunis (hal. 504).

Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing, judul Serat Mudhatanya mewakili teks yang berbentuk prosa, sedangkan judul Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis mewakili teks yang berbentuk tembang macapat. Teks yang berbentuk prosa termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sastra piwulang, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sejarah. Akhirnya, secara otomatis teks yang berbentuk tembang macapat, yang berisi sejarah, tereliminasi dari objek kajian penelitian ini karena tidak sesuai Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing, judul Serat Mudhatanya mewakili teks yang berbentuk prosa, sedangkan judul Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis mewakili teks yang berbentuk tembang macapat. Teks yang berbentuk prosa termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sastra piwulang, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sejarah. Akhirnya, secara otomatis teks yang berbentuk tembang macapat, yang berisi sejarah, tereliminasi dari objek kajian penelitian ini karena tidak sesuai

Teks Serat Mudhatanya terdapat pada halaman 1-37 dan halaman 53-90, sedangkan teks Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis terdapat pada halaman 38-52. Pada halaman 63-70, teks dicoret dengan tanda silang oleh penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu dibaca). Tinta yang digunakan dari awal sampai akhir tidak sama. Ada 3 jenis tinta yang digunakan: tinta sejenis pulpen boxi berwarna hitam kebiru-biruan dan cukup tebal (halaman iv & 1-52); tinta sejenis pulpen biasa berwarna hitam kecoklatan dan sangat tipis (halaman 53-74 & 74i-90); tinta sejenis pulpen boxi berwarna hitam pekat dan sangat tebal (halaman 74a-74f).

SM merupakan naskah tulisan tangan (manuscript) dengan huruf Jawa berbahasa Jawa Baru ragam krama dan ngoko. Naskah ini dikarang oleh RT Purbadipura, Abdidalem Bupati Anom Gedhong Tengen di Surakarta pada Kamis Legi, 28 Sura, Jimakir 1858 (28 Juli 1927). Naskah ini ditulis oleh dua orang penulis, yakni Wignyaukara dan R.T.Purbadipura sendiri. SM pada halaman 1-37 ditulis oleh Wignyaukara, halaman 53-90 ditulis RT Purbadipura sendiri. Informasi mengenai pengarang naskah SM bisa dilihat dari kutipan berikut:

“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.”

Terjemahan: ”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura,

Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”

Informasi tentang pengarang dan penulis naskah SM dikuatkan lagi oleh gambar berikut:

Ada empat alasan mengapa Serat Mudhatanya dijadikan objek kajian dalam penelitian ini. Pertama, sejauh ini penelitian yang dilakukan terhadap naskah Serat Mudhatanya baru sebatas deskripsi naskah untuk inventarisasi bagi pembuatan katalog yang dilakukan oleh T.E. Behrend pada tahun 1990 dan Girardet-Susanto pada tahun 1983, sedangkan penelitian secara filologis dan telaah isi belum pernah dilakukan.

Gambar 1.3 Akhir teks SM bagian pertama ditutup dengan tanda semacam tanda tangan pengarang dan penulisnya, dan disertai keterangan teks tersebut

berlanjut ke halaman 53

a. Tulisan RT Purbadipura, bertuliskan “nyandhak kaca angka 53.

Purbadipura”

b. Tulisan Wignyaukara, bertuliskan “ingkang nyêrat Wignyaukara”

Kedua, di dalam teks SM ini ditemui banyak sekali ketidakaturan pemakaian ejaan dan kesalahan-kesalahan penulisan. Hal ini yang mendorong peneliti untuk segera mengkaji naskah ini secara filologi untuk menghasilkan sebuah teks yang diperkirakan paling mendekati aslinya dan menyediakan terbitan naskah yang bersih dari kesalahan dan mudah dipahami oleh pembaca. Berikut sebagian contoh dari ketidakaturan pemakaian ejaan dan kesalahan- kesalahan penulisan tersebut:

1) Ketidakkonsistenan dalam penulisan kata, berikut sebagian contohnya: - kata ”kalèntu” dengan kata ”kalintu”, berikut kutipannya:

”Wasana manawi wontên kalintu tuwin lêpating atur kula” (SM: 15) ”manawi botên kalèntu, criyosipun sabên…” (SM: 53c)

- kata ”dhahuru” dengan kata ”dahuru”, berikut kutipannya:

”uyang wayang wuyung botên raharja: dahuru” (SM: 56) “Dhahuru têgêsipun rêbut suwala lahir batin” (SM: 57)

2) Variasi penulisan kata, berikut contohnya: - kata ”balêdug” dengan kata ”blêdug” dan kata ”balêduga”, berikut

kutipannya: “Nyirêp balêduga ron-ronan sami lembaka ijêm ariyu-riyu sakeca dhatêng

paningal ” (SM: 53a) “miwah mawi angin agêng blêdug angampak-ampak dhatêng mripat sêpêt sakit ” (SM: 53c) “tilem boten sakeca, balêdug angampak-ampak kabur…” (SM: 58a)

- kata ”saknagari” dengan kata ”saknêgari”, berikut kutipannya: ”kawêwahan ningali solah bawanipun tiyang saknagari” (SM: 53)

“tiyang saknêgari manahipun tamtu suka rêna” (SM: 54) - kata ”panjênêngan” dengan kata ”pênjênêngan”

”Pancen kula ajêng-ajêng rawuh panjênêngan” (SM: 53c) “salam taklim kula dhatêng garwa putra pênjênêngan” (SM: 62)

3) Kesalahan penulisan kata, berikut contohnya: ”tiyang-tiyang sanakari ingkang dados wêwêngkonipun” (SM: 60)

4) Kekurangan penulisan kata, seperti kata ”gadha”, ”pamrentaha”, ”gri”, ”jantu”, dan lain-lain. Berikut kutipannya:

“Siyang dalu tansah kuwatir kêtir-kêtir. Gadha raos bok bilih …” (SM: 57) “angsal duduka saking ingkang nyêpêng pamrentaha kadakwa botên anu- anu .” (SM: 57)

“Dhatêng manah sumpêg namung muntêl wontên salêbêting gri kemawon .” (SM: 58b) “Sirah punika isi utêg, utêg panggenan budi, budi tumurun dhateng jantu jantung anggèn pikir-pikir awon ingkang sae ingkang ngriku …” (SM: 61)

Ketiga, ada beberapa hal yang sangat menarik dari naskah SM ini, yakni tentang gaya penulis naskah SM dalam menulis teks. Berikut uraiannya:

a. Pemakaian tanda berhenti di setiap kalimat dibuat sama, yakni dengan tanda pada lingsa (,). Tanda pada lungsi (.) peneliti temukan hanya dipakai ketika menuliskan judul teks. Berikut gambarnya:

Gambar 1.4 Penulisan pada lungsi (.) pada judul teks SM (SM: 1)

Tanda pada lungsi

Tanda pada Tanda pada

c. Pemakaian huruf Latin ketika menuliskan dua tokoh yang sedang berdialog, yakni ditulis dengan huruf “a” dan “b” (“a”:orang pertama yang diasumsikan sebagai ‘seorang kyai’, “b”:orang kedua yang diasumsikan sebagai ‘seorang murid’). Berikut gambarnya:

d. Penggunaan angka Romawi ketika menuliskan pembagian poin-poin kedelapan ajaran (kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa ). Berikut gambarnya:

Gambar 1.6 Penulisan kata ‘Allah’ dengan huruf Arab. (SM: 23)

Gambar 1.7 Penulisan icon 2 tokoh yang berdialog dengan

huruf Latin “a” dan “b” (SM: 2)

Setiap penulis naskah mempunyai gaya masing-masing yang khas dalam menuliskan suatu teks. Dan gaya menulis tersebut bukan suatu permasalahan filologi melainkan suatu ciri tersendiri dari penulis naskah sebagai bentuk wujud kreativitas. Di antara keempat gaya penulis naskah SM tersebut, ada satu yang dikategorikan bisa menjadi permasalahan filologi yakni gaya penulis naskah yang hanya menggunakan tanda pada lingsa (,) (untuk selanjutnya disingkat PLi) di bagian tengah maupun di akhir kalimat. Hal tersebut akan mengganggu pembaca dalam memahami teks. Oleh sebab itu, dibutuhkan hasil suntingan teks yang bersih dari kesalahan-kesalahan sehingga didapatkan teks yang mudah dibaca dan dimengerti oleh pembaca. Berikut contoh penggunaan tanda PLi atau koma dalam paragraf:

Gambar 1.8 Penulisan angka Romawi dalam pembagian

kedelapan ajaran (SM: 8)

Transliterasi: ”Lamba punapa rangkêp (PLi) anggèr kêdah waspada (PLi) dados

botên kablowok ing rêmbag (PLi) sawatawis dipunêmong (PLi) mangatur- aturipun kêdah kagalih ingkang panjang (PLi) sampun kasêsa anyagahi (PLi) nanging bilih sampun sagah sampun ngantos nyidrani (PLi) ingkang sampun kasagahakên kêdah kalêksanan (PLi) anggèr kêdah adhadhasar panggalih lamba rumiyin (PLi) kaliyan pangandika arum manis mardawa mamalad driya ingkang narik suka rêna (PLi) sampun ngêtrapakên pangandika sêrêng sora (PLi) ingkang sarèh rèrèh ririh (PLi) sawatawis ingkang radi sumarah ing karsa (PLi) ingkang botên rêkasa sangsara (PLi)

Keempat, isi dari naskah Serat Mudhatanya ini sangat menarik, yakni tentang ajaran kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat bagi generasi muda yang disajikan dalam bentuk dialog antara seorang pemuda dengan seorang kyai atau ulama. Dalam Baoesastra Djawa halaman 323 karya W.J.S.Poerwadarminta kata “mudha” diartikan sebagai ”enom” (muda) dan ”bodho” (bodoh). Dan pada halaman 592 kata “tanya” diartikan sebagai ”takon” (bertanya).

Ajaran kepemimpinan dalam hidup bermasyarakat ini memuat tentang bekal apa saja yang harus dimiliki bagi generasi muda ketika kelak terjun dalam

Gambar 1.9 Penggunaan pungtuasi yang sama di dalam kalimat (SM: 7)

pedoman yang benar-benar harus dipahami, yaitu kuwasa, purba, wisesa, kukum, adil, paramarta, dana, dan pariksa. Dalam teks SM ini, kedelapan pedoman tersebut diartikan sebagai berikut:

1. Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak. Berikut kutipannya: ”Kuwasa: wênang ngewahi tatanan ingkang kirang murakabi dhatêng

kulawarga” (SM: 7)

2. Purba berarti bertanggungjawab atas semua semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berikut kutipannya: ”Purba: mêngku dhatêng samukawis agêng alit, amis bacin, èwêt pêkèwêt,

gampil angèl, ruwêt rêntêng, papa sangsara. Sadaya kukubanipun ing ngriku, punika anggèr ingkang kajibah mêngku.” (SM: 7)

3. Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan. Berikut kutipannya: ”Wisesa: punika satêngah amêksa dhatêng tindak sae. Angancam-ancam

sintên ingkang nglampahi lêpat badhe tampi pamisesa ing samurwatipun nanging saderengipun kêdah dipundhawuhakên. Yen ala bakal nemu ala. Yen becik bakal nemu becik.” (SM: 8)

4. Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun. Berikut kutipannya: ”Kukum: kêdah nindakakên ing salêrêsipun. Têgêsipun: botên bahu kapine

sintên-sintêna bilih botên lêrês inggih kêdah kalêrêsakên. Manawi mêksa botên purun mantuni tindakipun ingkang awon. Ing ngriku sampun sêdhêngipun katindakakên prakawisipun.” (SM: 8)

5. Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Berikut kutipannya: ”Adil: punika tumrap dhatêng putra wayah sadhèrèk santana abdi agêng alit.

Manawi prakawisan rêbat lêrês. Dhatêng sasaminipun putra wayah sadhèrèk santana abdi, kêdah dipuntêtêpakên ing pangadilanipun ingkang jêjêg. Babasan utang nyaur, nyilih ngulihake. Utang lara nyaur lara, utang pati

Têgêsipn yen si dhadhap kang utang, mung nyaur samene, yen si waru kang utang kudu nyaur samene, punika dlêmok cung namanipun. Sampun ngantos makatên, kêdah sami-sami pamidananipun, sarta kêdah têtêp ingkang sampun kasêbut ing anggèr, anggèr botên kenging mèncèng.” (SM: 8)

6. Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf. Berikut kutipannya: ”Paramarta: punika bilih putra wayah sadhèrèk santana abdi gadhah

prakawis dhatêng anggèr, ingkang sanès prakawis agêng, kadosta kalentu ing patrap, dêksura, kumasurun, anggêgampil kagunganipun anggèr ingkang botên sapintêna, punika kêdah dipunparingi paramarta. Sampun lajêng katêtêpakên ing kalêpatanipun. Kêdah dipunaring-aringi supados asrêp manahipun. Saupami lêpat sakêdhik kemawon dhatêng angger lajêng kapidana awrat, sarta lajêng kauwus-uwus ingkang botên sampun-sampun, punika botên prayogi.” (SM: 9)

7. Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik. Berikut kutipannya: ”Dana: inggih ingkang kêrêp paparing. Manawi paparing barang ingkang

enggal risak, kadosta dhahar-dhaharan, sêmbêt sapanunggilanipun, punika kêdah ingkang kêrêp. Manawi paparing barang ingkang sagêd lami kanggenipun kadosta: ingkang warni mas, intên, dhuwung, tumpakan tuwin griya papan semahan. Punika kêdah ingkang awis-awis.” (SM: 9)

8. Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah. Berikut kutipannya: ”Pariksa: pikajêngipun inggih ingkang pariksa sayêktos. Têgêsipun ingkang

botên kaliyan aturing liyan, ingkang awon ingkang sae anggèr kêdah matitisakên piyambak dhatêng tiyangipun, botên mawi lalantaran utusan sabab utusan punika asring suda wêwah kaliyan nyatanipun.” (SM: 12)

Kedelapan ajaran diatas relevan sekali dengan kenyataan hidup bermasyarakat saat ini. Seorang pemuda yang nantinya bakal menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin di keluarga maupun pemimpin di masyarakat. Karena kedudukannya sangat berpengaruh terhadap perubahan dan perbaikan kondisi Kedelapan ajaran diatas relevan sekali dengan kenyataan hidup bermasyarakat saat ini. Seorang pemuda yang nantinya bakal menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin di keluarga maupun pemimpin di masyarakat. Karena kedudukannya sangat berpengaruh terhadap perubahan dan perbaikan kondisi

B. Batasan Masalah

Banyaknya permasalahan yang ada dalam Serat Mudhatanya, kemungkinan naskah ini bisa diteliti dari berbagai sudut pandang. Untuk itu diperlukan pembatasan masalah untuk mencegah melebarnya pembahasan. Batasan masalah tersebut lebih ditekankan pada dua kajian utama, yakni kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan untuk mengupas permasalahan seputar uraian-uraian dalam naskah melalui cara kerja filologis, yakni meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, aparat kritik dan terjemahannya. Sehingga diperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan-kesalahan. Kajian isi berfugsi untuk mengungkapkan isi yang terkandung dalam teks Serat Mudhatanya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian teks Serat Mudhatanya sebagai berikut:

1. Bagaimana suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi?

2. Bagaimana ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menyajikan suntingan teks dari Serat Mudhatanya yang bersih dari kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi.

2. Mengungkapakan ajaran yang terkandung di dalam Serat Mudhatanya.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

a. Menyelamatkan data dalam naskah Serat Mudhatanya dari kerusakan dan hilangnya data dalam naskah tersebut.

b. Mempermudah pemahaman isi teks Serat Mudhatanya, sekaligus memberikan informasi kepada masyarakat tentang ajaran yang terkandung di dalamnya.

2. Manfaat Teoretis

a. Memberikan kontribusi dan membantu peneliti lain yang relevan untuk mengkaji lebih lanjut naskah Serat Mudhatanya khususnya dan naskah Jawa pada umumnya dari berbagai disiplin ilmu.

b. Menambah kajian terhadap naskah Jawa yang masih banyak dan belum terungkap isinya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai laporan hasil penelitian. Laporan penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab, yang akan disusun sebagai berikut: BAB I

Pendahuluan Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

Kajian Teoritis Bab ini menguraikan pengertian filologi, objek penelitian filologi dan cara kerja filologi.

BAB III

Metodologi Penelitian Bab ini menguraikan bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV

Pembahasan Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi kemudian dilanjutkan pembahasan kajian isi.

BAB V

Penutup Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai simpulan dari yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Selain simpulan, dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran. Sebagai bagian akhir dari penulisan laporan hasil ini akan dilampirkan copy naskah dan daftar pustaka yang dipakai sebagai bahan acuan dalam kegiatan penelitian ini.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Filologi

Filologi secara etimologis menurut Siti Baroroh Baried (1994), berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan kata Philos yang berarti “senang” dan Logos yang berarti “pembicaraan” atau “ilmu”. Jadi Filologi berarti “senang berbicara”, yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu”, “senang kepada tulisan-tulisan”, dan kemudian “senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi” seperti karya-karya sastra (hal.2).

Istilah filologi muncul pada saat para ahli dihadapkan pada upaya mengungkapkan kandungan suatu naskah yang merupakan produk masa lampau, yaitu beratus-ratus tahun sebelum peneliti lahir. Dalam sejarah perkembangannya, istilah filologi mengalami perubahan dan perkembangan.

Menurut Edward Djamaris (1977), filologi adalah ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama (hal.2). Sedangkan menurut Achadiati Ikram (1980), filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat istiadat, hukum dan lain sebagainya (hal.1).

Tugas utama filologi adalah menyediakan sebuah teks yang diperkirakan paling mendekati aslinya dan menyediakan terbitan naskah yang mudah dipahami. Dr. Haryati Soebadio menyatakan bahwa pekerjaan utama dalam penelitian filologi ialah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan (dalam

Robson dalam Prinsip-prinsip Filologi Indonesia menyatakan bahwa agar sebuah karya sastra klasik ‘terbaca/dimengerti’ pada dasarnya ada dua hal yang harus dilakukan: menyajikan dan menafsirkannya (Robson, S.O. 1994:12).

B. Objek Filologi

Edward Djamaris (1977) mengemukakan bahwa, objek penelitian filologi terdiri dari dua hal yakni naskah dan teks (hal.2). Siti Baroroh Baried pun berpendapat sama, filologi mempunyai objek naskah dan teks (hal.3). Dijelaskan juga bahwa objek penlitian filologi adalah naskah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau (hal.54).

Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah (handschrift atau manuschrift ), sedangkan teks adalah kandungan atau muatan naskah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja dan memuat berbagai ungkapan pikiran serta perasaan penulis yang disampaikan kepada pembacanya.

C. Langkah Kerja Penelitian Filologi

Langkah kerja penelitian filologi menurut Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), terdiri atas: penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan penerjemahan teks. Sedangkan menurut Edward Jamaris (1977), langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian filologi meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditranseliterasi, singkatan naskah dan transliterasi naskah (hal.23). Cara tersebut Langkah kerja penelitian filologi menurut Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), terdiri atas: penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah, dan penerjemahan teks. Sedangkan menurut Edward Jamaris (1977), langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian filologi meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditranseliterasi, singkatan naskah dan transliterasi naskah (hal.23). Cara tersebut

Serat Mudhatanya ini penanganannya menggunakan tahapan/langkah kerja penelitian filologi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang dipadukan dengan langkah kerja menurut Edward Djamaris. Karena Serat Mudhatanya adalah naskah tunggal, maka tidak terdapat perbandingan naskah.

Secara terperinci langkah kerja penelitian filologi sebagai berikut:

1. Penentuan sasaran penelitian

Langkah pertama adalah menentukan sasaran, karena banyak ragam yang perlu dipilih, baik tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ada naskah yang bertuliskan huruf Arab, Jawa, Bali dan Batak. Ada naskah yang ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, atau rotan. Ada naskah yang berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Ada naskah yang berisi sejarah/babad, kesusastraan, cerita wayang, cerita dongeng, primbon, adat-istiadat, ajaran/piwulang, dan agama.

Berdasarkan hal tersebut, ditentukan sasaran yang ingin diteliti adalah sebagai berikut: naskah bertuliskan huruf Jawa carik, ditulis pada kertas, berbentuk prosa dan berisi masalah piwulang/ajaran. Keseluruhan bentuk di atas terangkum di dalam Serat Mudhatanya.

2. Inventarisasi naskah sasaran

Inventarisasi naskah dilakukan dengan mendaftar dan mengumpulkan naskah yang judulnya sama dan sejenis untuk dijadikan objek penelitian. Menurut

Edi S. Ekadjati (1980) bila hendak melakukan penelitian filologi, pertama-tama harus mencari dan memilih naskah yang akan dijadikan pokok penelitian, dengan mendatangi tempat-tempat koleksi naskah atau mencarinya melalui katalog.

Langkah ini dilakukan untuk mengetahui jumlah naskah, dimana tempat penyimpanannya, dan penjelasan lain tentang keadaan naskah.

3. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah

Observasi pendahuluan ini dilakukan dengan mengecek data secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang diungkapkan oleh katalog. Setelah mendapatkan data yang dimaksud yakni Serat Mudhatanya maka diadakan deskripsi naskah dan ringkasan isi.

Deskripsi naskah ialah uraian ringkas naskah terperinci. Deskripsi naskah penting sekali untk mengetahui keadaan naskah dan sejauh mana isi naskah itu. Emuch Sumantri (1986) menguraikan bahwa deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan informasi mengenai: judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, ukuran naskah dan teks, keadaan naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, fungsi sosial naskah serta ikhtisar teks (halm.2). Sedangkan ringkasan isi naskah digunakan untuk mengetahui garis besar kandungan naskah sesuai dengan urutan cerita dalam naskah.

4. Transliterasi naskah

Transliterasi naskah ialah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Penyajian bahan transliterasi harus Transliterasi naskah ialah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Penyajian bahan transliterasi harus

5. Kritik teks

Kegiatan kritik teks dilakukan setelah naskah dideskripsikan. Pengertian kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta (1984) adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimat- kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu.

6. Suntingan teks dan aparat kritik

Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya, yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.

Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik teks. Segala kelainan bacaan yang ditampilkan merupakan kata-kata atau bacaan salah yang terdapat dalam naskah tampak dalam aparat kritik. Jika peneliti melakukan perubahan (conjecture), pengurangan (eliminatio), dan penambahan (divinatio) itu harus selalu disertai pertanggungjawaban melalui dasar teori maupun rujukan yang tepat. Kesemuanya itu dicatat dan ditempatkan pada aparat kritik.

7. Sinopsis

Sinopsis adalah penuturan yang ringkas suatu teks yang mencakup keseluruhan isi secara utuh. Maksud mengemukakan sinopsis suatu teks yaitu untuk memudahkan pembaca agar memperoleh gambaran isi teks secara menyeluruh.

D. Pengertian Sastra Piwulang

Istilah serat wulang berasal dari kata serat dan wulang. Serat mempunyai arti tulisan dan wulang piwulang mempunyai arti ajaran, pelajaran (Prawiroatmojo, 1989-1990: 190&328). Dengan demikian serat wulang/piwulang adalah tulisan yangh berisi tentang suatu ajaran. Ajaran tersebut tentunya mengandung nilai-nilai keluhuran moral yang di dalamnya memuat pemikiran- pemikiran tentang pengajaran moral secara baik menurut ukuran suatu bangsa. Ajaran dalam serat wulang pada umumnya merupakan nilai-nilai yang berasal dari pemikiran para pujangga. Keberadaan pujangga pada masa kesusastraan Jawa Baru ini mempunyai kedudukan sebagai abdi dalem di kraton, kabupaten, sebagai wali, kyai, atau guru di pondok pesantren. Para pujangga yang berfungsi sebagai juru jarwa , juru anggit, juru penget, juru citra, juga juru penglipur (Darusuprapta, 1980:12).

Serat wulang/piwulang merupakan karya sastra yang dominan dalam sastra Jawa. Sebagai karya sastra lama, serat wulang ini mengandung nilai-nilai rohani dan ajaran moral/etika yang ditujukan pada masyarakat pembacanya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa karya sastra lama bersifat didaktis (Edi Subroto dkk., 1996:4). Sifat didaktik ini dimungkinkan karena orang Jawa tidak memisah- Serat wulang/piwulang merupakan karya sastra yang dominan dalam sastra Jawa. Sebagai karya sastra lama, serat wulang ini mengandung nilai-nilai rohani dan ajaran moral/etika yang ditujukan pada masyarakat pembacanya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa karya sastra lama bersifat didaktis (Edi Subroto dkk., 1996:4). Sifat didaktik ini dimungkinkan karena orang Jawa tidak memisah-

Serat piwulang sebagai fungsi didaktis ini pada umumnya dijadikan sebagai pegangan hidup dalam membentuk sikap pribadi yang ideal (Sadewa, 1989:14). Serat wulang lebih banyak mengajarkan kehidupan praktis, kehidupan lahiriah yang disebut budi luhur, seperti mematuhi aturan berumah tangga, aturan pemerintah, aturan agama, mendidik bawahan, mendidik anak, bercita-cita luhur, mencintai tanah air, mengendalikan hawa nafsu, menjauhi berbuat jahat. Terdapat pula ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai upaya untuk mendasari motivasi ajaran lahiriah (Moh. Ardani, 1995:45).

E. Kepemimpinan Jawa

Pada zaman pemerintah Islam di Jawa (seperti pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta) para leluluhur atau pujangga Jawa mewariskan nilai-nilai atau pemikiran budaya Jawa kepada generasi sekarang melalui naskah-naskah lama, baik berupa fiksi maupun nonfiksi yang cukup melimpah. Karya sastra Jawa lama itu memuat berbagai hal, seperti bahasa, filsafat, sastra, etika, hukum, obat-obatan dan sebagainya. Sejumlah warisan naskah Jawa itu banyak yang berisi ajaran kepemimpinan yang disampaikan oleh para pujangga atau para raja pada masa itu (Pardi Suratno, 2009:2)

Nilai-nilai kepemimpinan dalam naskah-naskah Jawa itu tampaknya menjadi perhatian bagi para pemimpin Jawa saat ini. Oleh sebab itu, banyak pihak yang berkeinginan tetap mewariskan nilai-nilai itu kepada generasi sesudahnya.

Sebagai sosok intelektual dan pemimpin rakyat yang menyadari dirinya sebagai wakil Tuhan tentunya menyadari bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab menyampaikan ajaran yang memiliki nuansa universal dan melampaui batas waktu itu kepada masyarakat luas (Pardi Suratno, 2009:2).

Diantara sejumlah naskah Jawa yang memuat ajaran kepemimpinan adalah Sêrat Wulangrèh, Asthabrata, Sêrat Sabdatama, Sêrat Wedhatama, Sêrat Tripama, Sêrat Wirawiyata, Sêrat Pepali , dan sebagainya. Realitas menunjukkan bahwa ajaran kepemimpinan itu disampaikan oleh para pemimpin pemerintahan Jawa saat itu, seperti yang dilakukan oleh Pakubuwana IV (melalui karya yang sangat popular Sêrat Wulangrèh), Paku Buwana IX (Sêrat Wulangputra), Mangkunagara IV (Sêrat Tripama, Sêrat Wirawiyata, Sêrat Wedhatama), dan sebagainya. Asthabrata merupakan salah satu ajaran kepemimpinan yang paling terkenal di Jawa. Ajaran Asthabrata terdapat dalam Sêrat Rama Jarwa atau Sêrat Nitisruti . Di dalamnya disampaikan ada 8 ajaran yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yakni sebagai berikut:

1. Pemimpin berwatak bumi: mampu menampung seluruh rakyatnya; kuat santosa; suci.

2. Pemimpin berwatak matahari: kekuatan, kesabaran, dan sumber energi.

3. Pemimpin berwatak rembulan: keindahan, kelembutan, kehadirannya sangat dinantikan karena dapat menyenangkan semua pihak.

4. Pemimpin berwatak angin: kepekaan dan empati.

5. Pemimpin berwatak samudra: keikhlasan dan lapang.

6. Pemimpin berwatak geni: ketegasan, keberanian, dan keadilan hukum.

7. Pemimpin berwatak bintang: simbol keindahan dan keteladanan.

8. Pemimpin berwatak mendung (awan): pengayoman, perlindungan, keamanan, dan keteduhan serta kewibawaan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Bentuk dan Jenis Penelitian