Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME DARI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL A. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme

1. Sumber Hukum Internasional

  Sumber hukum dalam konteks hukum internasional mengacu pada Pasal

  38 Paragraf I Statuta Mahkamah Internasional yang menetapkan ketentuan- ketentuan hukum Internasional yang dapat diterapkan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya sumber hukum bagi hukum internasional tersebut juga berlaku bagi sumber hukum pidana internasional. Ada 4 sumber hukum internasional sebagaimana dimaksud dalam Statuta Mahkamah Internasional, yaitu :

  a. “International conventions whether general or particular, estabhlishing

  rules expressly recognized by contesting states”;

  b. “International costum point as evidence of a general practice accepted as

  law”;

  c. “The General priniple of law recognized by civilized nations”;

  d. “Subject to provisions of article 59,judicial decisions and the teaching of

  the most highly qualified publicist of the various nations as subsidary means for the determination of rules of law.”

  Terjemahan

  a. Konvensi Internasional, yaitu proses penetapan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum internasional yang berlaku umum; b. Kebiasaan internasional, yakni bukti umum yang diterima sebagai hukum

  c. Prinsip- prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa- bangsa beradab

  d. Putusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum dari berbagai bangsa sebagai sarana pelengkap untuk menetapkan ketentuan- ketentuan hukum.

  Secara garis besar, keempat sumber hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua yakni, sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Konvensi internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip- prinsip umum hukum digolongkan kedalam sumber hukum primer. Ketiga sumber hukum yang mengikat secara umum. Di lain pihak, putusan pengadilan dan doktrin atau ajaran para ahli hukum digolongkan kedalam sumber hukum sekunder. Konsekuensinya, sumber hukum sekunder ini tidak mengikat secara umum. Putusan pengadilan hanya mengikat sebatas para pihak yang bersengketa, sedangkan doktrin hanya

  35

  dapat menjadi ketentuan hukum melalui sumber hukum primer. Menurut Sugeng Istanto, keempat sumber hukum tersebut dibagi menjadi sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum formil hukum internasional meliputi konvensi internasional sedangkan sumber hukum materil meliputi prinsip- prinsip

  

36

umum hukum dan ajaran para ahli hukum.

2. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme

  Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan atau menggali suatu hukum. Pendapat Alra, sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil, sedangkan sumber hukum formil adalah

  37 tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.

  Demikian pula pendapat Sugeng Istanto yang menyatakan bahwa sumber hukum formil ialah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Tegasnya, sumber hukum formil adalah proses yang 35 Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Crimminal Law, Routledge, London dan New York, 2007, hal. 1. 36 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta,1998, hal. 2. 37 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, membuat suatu ketentuan hukum positif yakni proses perundang- undangan dan kebiasaan. Di lain pihak, sumber hukum materil ialah faktor yang menentukan isi

  38 ketentuan hukum yang berlaku.

  Hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin miliki dua sumber hukum yaitu hukum yang berasal dari hukum pidana nasional dan hukum internasional. Kedua sumber tersebut telah membentuk kepribadian ganda ini tidak harus dipertantangkan, tetapi justru harus harus saling mengisi dan melengkapi didalam menghadapi masalah kejahatan Internasional termasuk

  39 didalamnya masalah terorisme.

  Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hukum nasional dan hukum internasional terdapat pada lingkup pembahasan hokum pidana internasional dengan objek studi tindak pidana yang bersifat transional internasional. Hukum pidana internasional akan memberikan landasan berpijak bagi analisis kritis di dalam membahas konsepsi dan karaktereristik dari suatu tidak pidana internasional. Lahirnya beberapa Konvensi internasional yang menetapkan tindak pidana tertentu sebagai tindak pidana internasional mengandung makna dimulainya perjuangan untuk menegakkan hak dan kewajiban negara peserta konvensi atas isi ketentuan yang dituangkan didalam konvensi internasional tersebut.

  Salah satu kewajiban negara peserta (sekalipun masih diperkenankan adanya reservation) khususnya bagi Indonesia ialah memasukannya hasil konvensi dimaksud kedalam lingkungan nasional dalam arti antara lain 38 39 Sugeng Istanto, Op. Cit.

  Mochtar kusumaatmajda,Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Binacipta,1989 melaksanakan ratifikasi terlebih dahulu atas hasil konvensi, sebelum di tuangkan dalam bentuk suatu undang-undang ksususnya mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut.

  Kejahatan internasional yang dimaksud diatas, salah satunya adalah terorisme. Dan sumber hukum internasional yang mengatur mengenai pemberantasan terorisme adalah konvensi Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan dalam Convention for the Prevention and Punishment of Terorism di Genewa 1937. International Convention for the Suppression of Terrorism

  

Bombing 1998 dan International convention for the suppression of the financing

of terorism, Tahun 1999 sebagai Transnational Crimes. Walaupun adanya usaha-

  usaha Amerika Serikat untuk memasukkan tindak pidana teroris dalam

  

International Crimes menjadi yurisdiksi Rome Statute of the International

Criminal Court. Sama dengan Genocide, Crimes against Humanity, War Crimes

  dan Agressive Crimes. Tetapi semua negara peserta tidak menyetujui. Dalam Konvensi Teroris 1937, telah mendapat kesepakatan masyarakat internsional untuk melindungi titik rawan yang mudah dijadikan sasaran keuangan, kerusakan yang menimbulkan penderitaan penduduk atau masyarakat seperti fasilitas hidroelektrik atau nuklir dan untuk pengawasan pelatihan/penggunaan senjata, amunisi dan bahan-bahan peledak yang dapat digunakan untuk aksi teror.

  Konvensi 1997 dan knvensi 1998 tersebut memperkuat konvensi 1937 untuk mencegah dan meberantas tindakan peledakan bom oleh teroris. Dan konvensi 1999, secara khusus mencegah dan memberantas pendanaan atau keuangan untuk kegiatan teroris, termasuk negara- negara atau pihak- pihak yang menerima atau menyembunyikan dana-dana dimaksud. Dalam konvensi tersebut menyebutkan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang mengakibatkan kematian atau luka parah atau cacat serius terhadap penduduk sipil atau terhadap orang lain. Tindak pidana tersenut termasuk juga untuk setiap orang yang memberikan bantuan atau mengorganisasikan tindak pidana tersebut. Dalam pembuktian unsur kesalahan dititikberatkan kepada dua unsur yaitu unsur kesengajaan (intentional) dilengkapi unsur mengetahui adanya kesengajaan dimaksud knowledge of the intent) dan kelanjutan dari suatu tindakan pelanggaran (in furtherance of the offence)

  40 .

  Dalam patriot Act, menetapkan jenis tindak pidana terorisme terdiri dari

  Pasal 801 serangan teroris dan tindak kekerasan/ pelanggaran hukum terhadap transportasi massa yaitu barang siapa dengan tahu dan mau:

  41 a.

  Merusak, menyebabkan keluar dari rel/ jalur membakar atau melumpuhkan kendaraan massa atau ferry b. Menaruh atau menyebabkan ditaruhnya bahan/ unsur biologi atau racun yang dipergunakan sebagai senjata, zat/ bahan pemusnah atau alat pemusnah pada, atas atau dekat kendaraan transportasi massa atau ferry, tanpa mendapatkan izin sebelumnya dari pemilik atau pengelola transportasi massa, dan dengan maksud membahayakan keselamatan penumpang, atau pegawai pengelola transportasi massa, atau secara gegabah tidak mengindahkan keselamatan hidup manusia 40 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana jilid ke 2, CV. Utomo, 2004, hal.

  97. 41

  Membakar atau menaruh bahan/ unsur biologis atau toxin (racun) yang c. dipergunakan sebagai senjata, bahan pemusnah, atau alat pemusnah pada alas, dekat bengkel/ pool, terminal, bangunan sarana/ prasarana, penyediaan atau falisitas yang digunakan untuk pengoperasian, atau untuk mendukung pengoperasian kendaraan transportasi massa atau ferry, tanpa mendapatkan izin sebelumnya dari pengelola dan mengetahui atau mempunyai bukti mengenai kegiatan tersebut akan menyebabkan keluar dari jalur/ rel, melumpuhkan atau merusak kendaraan transportasi massa atau ferry, yang dipakai, dioperasikan atau digunakan oleh pengelola transportasi massa

  d. Menghilangkan/ memindahkan perlengkapan dan merusak atau secara lain merusak pengoperasian sebuah sistem sinyal transportasi, sistem pengirim sinyal terpusat, atau sinyal tanda persilangan kereta api yang mana merupakan wewenang dari pengelola transportasi massa Mengganggu, melumpuhkan atau menyebabkan tidak bekerjanya petugas e. pengiriman sinyal, pengendara, kapten atau siapa saja yang sedang bekerja dalam mengirim sinyal, mengoperasikan atau mengelola jalannya kendaraan transportasi massa atau ferry, dengan maksud untuk membahayakan keselamatan penumpang atau pegawai pengelola transportasi massa, secara gegabah tidak mengindahkan keselamatan manusia Melakukan sebuah tindakan termasuk penggunaan senjata yang f. membahayakan dengan maksud menyebabkan kematian atau luka fisik yang parah pada seseorang penumpang atau pegawai ketika salah satu dari orang- orang yang disebutkan terdahulu berada diatas harta tetap milik pengelola transportasi massa

  g. Mengirim atau menyebabkan dikirimkannya informasi yang salah, dengan mengetahui bahwa informasi tersebut keliru, berkaitan dengan upaya, atau yang sebagai dalih yang sedang dibuat atau akan dibuat, atau melakukan tindakan yang merupakan kejahatan yang dilarang

h. Upaya ancaman atau konspirasi untuk melakukan tindakan- tindakan yang disebut terdahulu.

  42 Pasal 803 menyebutkan bahwa, larangan melindungi terorisme,

  barangsiapa yang melindungi atau menyembunyikan atau dengan bukti yang layak dipercaya, telah melakukan pelanggaran hukum berkaitan dengan pemusnahan/ perusakan pesawat terbang, dengan senjata biologis, dengan senjata kimia, dengan bahan- bahan nuklir, dengan pembakaran dan pengeboman harta tetap milik pemerintah yang beresiko atau menyebabkan luka fisik atau kematian, dengan penghancuran fasilitas sumber daya listrik, dengan pelanggaran hukum terhadap navigasi laut, dengan senjata pemusnah massal, dengan tindakan teror yang melewati batas negara, dengan data base bahan bakar atau fasilitas nuklir, dengan pembajakan/ perampokan pesawat udara, akan dikenakan denda dan atau dijatuhi hukum penjara tidak lebih dari 10 tahun atau keduanya.

  Pasal 806 menyebutkan, aset organisasi teroris adalah semua aset yang berada di dalam ataupun luar negeri yang 42 a. Milik perorangan, lembaga ataupun organisasi yang terlibat dalam mencerahkan atau melakukan tindakan teror dalam negeri atau internasional terhadap Amerika Serikat, warga negara atau yang bermukin di Amerika Serikat atau harta tetap mereka dan seluruh aset baik didalam negeri ataupun diluar negeri, memungkinkan siapa saja menjadi sumber pengaruh terhadap lembaga atau organisasi tersebut

  b. Diperoleh atau dikelola oleh siapa aja dengan maksud dan tujuan mendukung, merencanakan, melaksanaka, atau menyembunyikan tindakan terorisme internasional atau terorisme dalam negeri terhadap Amerika Serikat, warga negara Amerika Serikat atau orang yang bermukim di Amerika Serikat atau harta tetap mereka

  c. Berasal dan terlibat dalam atau digunakan atau ditujukan untuk digunakan melakukan tindakan teror internasional atau teror dalam negeri terhadap Amerika Serikat, warga negara Amerika Serikat atau orang yang bermukim di Amerika Serikat atau terhadap harta tetap mereka.

  Pasal 808 definisi tindak pidana terorisme federal menambah elemen pada definisi tindak pidana terorisme domestik/dalam negeri, yaitu berkaitan : a. Dengan pemusnahan/perusakan pesawat terbang atau fasilitas pesawat terbang.

  b. Dengan pelanggaran hukum/kekerasan di bandara Internasional

  c. Dengan pembakaran gedung/fasilitas dalam wilayah kewenangan/yurisdiksi maritim atau teritorial khusus.

  d. Dengan senjata biologi, senjata kimia. e. Dengan penculikan dan pembunuhan anggota kongres, kabinet dan Mahkamah Agung.

  f. Dengan bahan-bahan nuklir, bahan peledak/bom plastik.

  g. Dengan pembakaran atau pengeboman harta tetap pemerintah yang berisiko atau mengakibatkan kehilangan nyawa seseorang.

  h. Dengan pembakaran harta tetap (bangunan/fasilitas) yang digunakan dalam perdagangan antara negara bagian. i. Dengan pembunuhan atau upaya pembunuhan selama terjadinya serangan atas fasilitas federal dengan senjata yang membahayakan j. Dengan konspirasi untuk membunuh, menculik, menganiaya siapa saja (warga AS) diluar negeri hingga cacat. k. Dengan pejabat negara asing, tamu resmi, atau orang yang dilindungi oleh hukum Internasional l. Dengan sistem, stasiun transmisi, atau jalur komunikasi. m. Dengan merusak bangunan atau harta tetap dalam wilayah kewenangan /yurisdiksi maritim atau teritorial khusus Amerika Serikat. n. Dengan serangan teroris dan tindakan kekerasan atau pelanggaran hukum lainnya terhadap sistem transportasi massa. o. Dengan perusakan utilitas (pusat sarana-sarana), bangunan beserta tanahnya, atau alat-alat pertanahan nasional. p. Dengan anjungan/bangunan tetap lepas pantai, perusakan terhadap navigasi laut.

3. Pengaturan Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme

  Perjanjian internasional itu ada dua macam bentuknya, ada yang berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua negara dan multirateral bila yang

  

43

  menjadi pihak lebih dari dua negara. Dan konvensi merupakan salah satu sumber hukum internasional baik publik maupun privat. Adapun sumber hukum lainnya antara lain, traktat( treaty), pakta (pact), piagam (statue), charter, deklarasi, protocol, arrangement, accord, modus Vivendi, convenant, dan

  44 sebagainya.

  Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian- perjanjian internasional multirateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Konvensi, conventie, convention, termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multirateral, baik yang diprakarsai oleh negara- negara

  45 maupun oleh lembaga atau organisasi internasional.

  

B. Proses Perwujudan Pengaturan Hukum Internasional menjadi Hukum

Positif Indonesia

  Proses legislasi di setiap negara memiliki perbedaan satu sama lain, akan tetapi satu hal yang sama yaitu bahwa proses legislasi adalah suatu proses politik.

  Jika proses legislasi itu adalah merupakan proses politik maka tidaklah dapat dipungkiri bahwa proses legislasi tersebut tidaklah steril dari berbagai 43 Boer Manua, Hukum Internasional ; Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era

  Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2008, hal. 8 44 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoe, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hal. 119 45

  kepentingan politik. Hal ini dapat terjadi dalam proses legislasi yang menyangkut konflik kepentingan seperti hukum yang mengatur konglomerasi dan hukum yang mengatur dunia perbankan. Namun, terhadap hukum yang mengatur masalah kedaulatan negara dan kedaulatan hukum suatu negara sikap yang sama dari setiap aktor dalam proses legislasi di setiap negara hampir sama yaitu satu sikap politik yang tegas tegas mempertahankan kedaulatan yang dimaksud dan seoptimal mungkin mencegah adanya intevensi dari luar.

  Proses legislasi di Indonesia memiliki standar tertentu dan terukut sebagai landasan berproses, yaitu :

  1. Ideologi Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR, dan peraturan perundang- undangan lainnya (TAP MPR RI Nomor

  III/MPR/ 2000).

  2. Kebijakan politik pemerintah yang sedang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan akan perkembangan dalam bidang baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang kehidupan beragama.

  3. Koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi hukum

  4. Uji kelayakan melalui konsultasi publik atau melalui proses sosialisasi 5. Perspektif substansi menuju kepada ius constituendum.

  Diharapkan melalui kelima sub-proses legislasi tersebut dapat dipenuhi empat syarat sebagau peraturan perundang- undangan yang baik yaitu, mengandung landasan filosofis berbangsa dan bernegara RI, memiliki karakteristik dan kultur masyarakat yang merupakan landasan sosiologis bangsa Indonesia, dan memiliki landasan yuridis yang kuat, dalam arti selain memenuhi teknik perundang-undangan yang baku juga memenuhi asas- asas hukum universal, dan landasan efisiensi dan efektivitas operasionalisasi sehingga dicegah peraturan perundang- undangan yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan

  46 cermat.

  Keterikatan pemerintah Indonesia ke dalam setiap ketentuan konvensi internasional yang bertujuan memelihara keamanan dan perdamaian dunia termasuk konvensi mengenai terorisme, merupakan refleksi dari salah satu pernyataan para pendiri RI yang tersurat di dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Namun demikian kebijakan dan rencana aksi untuk mewujudkan hal tersebut harus juga dalam kerangka kesejahteraan sosial bangsa Indonesia.

  Konteks inilah maka kebijakan dan rencana aksi pemerintah untuk memerangi kegiatan terorisme harus melalui proses legislasi dengan tolok ukur seberapa jauh kebijakan dan rencana aksi tersebut memberikan kemaslahatan terbesar bagi seluruh komponen bangsa ini.

  46 Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional bagian II. Hecca Press.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kemampuan Penguasaan Musik dengan Self-Esteem Ditinjau dari Jenis Kelamin pada Siswa Sekolah Dasar Kristen 04 Yayasan Pendidikan Eben Haezer GKI Salatiga

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 97

BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Inter

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara hukum, menurut perspektif keadilan bermartabat, Indonesia - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pengguna E-Banking Menurut Sistem Huku

0 0 10

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pengguna E-Banking Menurut Sistem Hukum Indonesia dalam Perspektif Keadilan Bermartabat: Putusan N

0 0 64

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent - Tingkat Pengetahuan Dan Tindakan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Bedah Mulut Rsgmp Usu Tentang Informed Consent Untuk Pencabutan Gigi Posterior Mandibula

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Pengawas Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional Bpjs Kesehatan

0 0 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian Hukum Kontrak - Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

0 0 46