BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pengguna E-Banking Menurut Sistem Hukum Indonesia dalam Perspektif Keadilan Bermartabat: Putusan N

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KAJIAN PUSTAKA

1. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada manusia dalam masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan

berbagai ancaman dari pihak manapun 1 . Berdasarkan pernyataan di atas perlindungan hukum berarti perlindungan, dalam hal

ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan

hukum 2 . Perlindungan hukum dijelaskan harafiah dapat menimbulkan banyak persepsi.

Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai oleh aparat

1 Mahesa Jati Kusuma, Op.Cit., hlm. 74.

penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu 3 .

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum. Yaitu konsep dimana hukum dapat

memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian 4 . Perlindungan hukum preventif merupakan bentuk perlindungan hukum dimana rakyat

diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Perlindungan Hukum Represif merupakan

bentuk perlindungan hukum yang lebih ditujukan dalam bentuk penyelesaian sengketa 5 . Secara umum perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum ketika subjek

hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum. Pada hakihatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir setiap hubungan hukum harus mendapatkan perlindungan hukum salah satunya adalah perlindungan konsumen yang diatur

dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 6 . Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir

seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya yang cukup populer, seperti perlindungan hukum terhadap konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang

3 Ibid., 4 Ibid.,

5 Ibid.,

Perlindungan Konsumen yang pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan kewajiban antara produsen dan konsumen 7 .

Sesungguhnya peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetitif. Terkait dalam hal ini bahwa tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi pasar selama konsumen memiliki hak untuk memilih

produk mana yang menawarkan nilai yang terbaik, baik dalam harga maupun mutu 8 . Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa

tersebut 9 . Cakupan perlindungan konsumen dapat dibedakan menjadi dua aspek yaitu:

Perlindungan hukum terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan yang disepakati. Perlindungan hukum terhadap diberlakukannya syarat-syarat

yang tidak adil kepada konsumen 10 .

2. Perbankan dan Nasabah

Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang begitu cepat menimbulkan tantangan yang tidak sedikit terhadap lembaga-lembaga keuangan. Demikian halnya terhadap lembaga perbankan. Peran strategis lembaga perbankan yang mengemban tugas utama sebagai wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana secara efektif dan efisien, memerlukan penyempurnaan yang terus menerus agar mampu memiliki

7 Wahyu Sasongko, Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm. 95.

8 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada, Jakarta, 2013, hlm. 21. 9 Ibid., hlm. 22.

keunggulan komparatif. Lembaga perbankan mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang besar, selain memiliki fungsi tradisional, yaitu untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam arti sebagai perantara pihak yang berlebihan dana dan kekurangan dana, yakni fungsi financial intermediary, juga berfungsi sebagai sarana pembayaran. Seperti telah dikemukakan, perbankan indonesia mempunyai fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan guna mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup

rakyat banyak 11 . Mengenai asas dan prinsip Perbankan bahwa perbankan indonesia dalam melakukan

usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian tercantum dalam pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992. Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati- hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle). Prinsip perbankan ini ada yang dituangkan dalam

UU Perbankan, ada pula yang tidak 12 . Dasar hukum beroperasinya lembaga perbankan jika diurut berdasarkan UU No. 10

tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut: Undang- Undang Dasar 1945 (terutama pasal 33). UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, KUHPerdata, KUHDagang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan Perbankan.

Sejak Indonesia merdeka, telah disusun 3 undang-undang yang mengatur tentang Perbankan, yaitu UU No. 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok Perbankan, UU No. 7 tahun

11 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm.

1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan 13 .

Menurut Kamus Perbankan, nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank. Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diintroduksilah rumusan masalah nasabah dalam pasal 1 angka 16, yaitu pihak yang menggunakan jasa bank.

Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. (Pasal 1

angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) 14 . Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998). 15 Adapun pihak-pihak yang termasuk sebagai nasabah adalah orang dan badan hukum. Nasabah bank terdiri dari orang yang telah dewasa dan orang yang belum dewasa.

Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit dan atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa-jasa bank lainnya dimungkinkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan dan atau nasabah lepas (working customer) untuk transfer dan sebagainya. Terhadap perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukum tersebut adalah tidak dipenuhinya salah satu unsur sahnya perjanjian seperti yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang dapat mewakili anak yang belum dewasa itu, yaitu orang tua atau walinya melalui acara gugatan pembatalan.

13 Neni Sri Imaniyati, Op.Cit., hlm. 18. 14 Saladin Djaslim, Manajemen Pemasaran, Linda Karya, Bandung, 2002, hlm. 7.

15 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, Ghalia

Dengan kata lain, selama orang tua atau wali dari orang yang belum dewasa tersebut tidak melakukan gugatan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat terhadap para pihak. Nasabah kredit dan rekening giro biasanya diwajibkan bagi nasabah yang telah dewasa. Hal ini disebabkan karena resiko bank yang sangat besar jika dalam pemberian kredit dan atau pembukaan rekening giro diperbolehkan bagi nasabah yang belum dewasa.

Untuk nasabah berupa badan hukum, perlu diperhatikan aspek legalitas dari badan tersebut serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini berkaitan dengan aspek hukum perseorangan. Berkaitan dengan kewenangan bertindak bagi nasabah yang bersangkutan, khususnya bagi badan hukum, termasuk apakah untuk perbuatan hukum tersebut perlu mendapat persetujuan dari komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) agar diperhatikan anggaran dasar dari badan yang bersangkutan. Subjek hukum yang berbentuk badan, tidak otomatis dapat berhubungan dengan bank. Untuk dapat berhubungan dengan bank, harus juga dilihat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana ketentuan intern.

Arti nasabah pada lembaga perbankan sangat penting. Nasabah itu ibarat nafas yang sangat berpengaruh terhadap kelanjutan suatu bank. Oleh karena itu bank harus dapat menarik nasabah sebanyak-banyaknya agar dana yang terkumpul dari nasabah tersebut dapat diputar oleh bank yang nantinya disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan bank. Menurut Djaslim Saladin dalam bukunya ˝Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank˝ yang dikutip dari ˝Kamus Perbankan˝ menyatakan bahwa ˝Nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank˝.

Komaruddin dalam ˝Kamus Perbankan˝ menyatakan bahwa ˝Nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank˝.

Dari pengertian di atas penulis memberikan kesimpulan bahwa “Nasabah adalah seseorang ataupun badan usaha (korporasi) yang mempunyai rekening simpanan dan

pinjaman dan melakukan transaksi simpanan dan pinjaman tersebut pada sebuah bank“. Sedangkan perbankan dalam hal ini dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang

kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.

Pengertian bank menurut UU No. 10 tahun 1998 bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Pengertian bank pada awal di kenalnya adalah meja tempat menukar uang. Lalu pengertian berkembang penyimpan uang dan seterusnya. Pengertian ini tidaklah salah, karena pengertian pada saat itu sesuai dengan kegiatan bank pada saat itu. Namun semakin modernnya perkembangnya dunia perbankan, maka pengertian bank pun berubah pula. Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.

3. E-Banking

E-banking adalah salah satu sektor yang terpengaruh oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ialah perbankan, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi

di sektor perbankan nasional relatif lebih maju dibandingkan sektor lainnya 16 . Perbankan elektronik mencakup wilayah yang luas dari teknologi yang berkembang

pesat akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya terkait dengan layanan perbankan di garis depan, seperti ATM dan komputerisiasi “system” perbankan dan beberapa kelompok lainnya bersifat

“garis belakang” yaitu teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan, penyedia jasa transaksi (Merchant).

Adapun contoh layanan E-Banking yaitu: Anjungan Tunai Mandiri “Automated Teller Machine ”. Sistem Aplikasi Perbankan “Banking Application System”. Perbankan daring “Internet Banking”. Sistem kliring Elektronik.

Fungsi penggunaannya mirip dengan mesin ATM dimana sarananya saja yang berbeda, seorang nasabah dapat melakukan aktifitas pengecekan saldo rekening, tranfser dana antar rekening atau antar bank, hingga pembayaran tagihan-tagihan rutin bulanan seperti: listrik, telepon, kartu kredit, dll.

Dengan memanfaatkan E-Banking banyak keuntungan yang akan diperoleh nasabah terutama apabila dilihat dari banyaknya waktu dan tenaga yang dapat dihemat karena E- Banking jelas bebas antrian dan dapat dilakukan dari mana saja sepanjang nasabah memiliki sarana pendukung untuk melakukan layanan E-Banking tersebut.

Adapun hambatan E-Banking sebagai berikut: Transaksi E-Banking bukan hanya mempermudah tetapi dapat menimbulkan suatu resiko seperti strategi, operasional dan reputasi serta adanya berbagai ancaman terhadap aliran data realible dan ancaman kerusakan/kegagalan terhadap sistem E-Banking kemudian semakin kompleksnya teknologi yang menjadi dasar E-Banking. Kerugian/kehilangan yang diderita oleh bank/nasabah diakibatkan juga oleh petugas internal atau manajemen bank. E-Banking menjadi salah satu target dari para cybercrime yang memiliki kendala dalam hal pembuktian baik secara teknis maupun non-teknis. Karena itu Pemerintah bersama DPR pada tahun 2016 telah merevisi dan mensahkan UU No. 11 tahun 2008 menjadi UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun telah disahkan, para pelaku usaha “perbankan” dan

masyarakat pada umumnya masih kurang peduli terhadap proses penanganan kasus-kasus tindak pidana E-Banking.

Manajemen resiko dalam penyelenggaraan kegiatan E-Banking peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan E-Banking ialah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia NO. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada aktivitas pelayanan jasa Bank melalui E-Banking.

Pengendalian Pengamanan “Security Control” Bank harus melakukan langkah- langkah yang memadai untuk menguji keaslian “otentikasi” identitas dan otorisasi terhadap

nasabah yang melakukan transaksi melalui E-Banking. Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah “non repudiation” dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi E-Banking. Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem E-Banking, database dan aplikasi lainnya. Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses “privileges” yang tepat terhadap sistem E-Banking, database dan aplikasi lainnya. Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi E-Banking. Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran “audit trail” yang jelas untuk seluruh transaksi E-Banking. Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada E- Banking . Langkah tersebut harus sesuai degan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database.

Manajemen Resiko Hukum dan Risiko Reputasi Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalu E-Banking. Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat Manajemen Resiko Hukum dan Risiko Reputasi Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalu E-Banking. Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat

yang tidak diperkirakan “internal dan eksternal” yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa E-Banking. Dalam hal sistem penyelenggaraan E-Banking dilakukan oleh pihak ketiga “outsourcing”, bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga tersebut.

4. Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum mempunyai pengertian yang penting untuk dikenali. Pertama, pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagian

suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu 17 . Pemahaman umum mengenai sistem menurut Shrode dan Voich yang dikutip oleh

Satjipto Raharjo mengatakan bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.

Sistem hukum yang tampaknya berdiri sendiri, sesungguhnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya, yang mengutarakan suatu tuntutan etis. Oleh Paul Scholten dikatakan, bahwa asas hukum positif tetapi sekaligus ia melampaui hukum positif dengan cara menunjuk kepada suatu penilaian etis. Bagaimana asas hukum bisa memberikan

17 Ahmad M. Romli, Cyber Law dan HAKI, dalam Sistem Hukum Indonesia, Rafika Aditama, 17 Ahmad M. Romli, Cyber Law dan HAKI, dalam Sistem Hukum Indonesia, Rafika Aditama,

mengandung nilai etis yang self evident bagi yang mempunyai hukum positif 18 . Karena adanya ikatan oleh asas-asas hukum itu, maka hukum pun merupakan satu

sistem. Peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri itu lalu terikat dalam satu susunan kesatuan disebabkan karena mereka itu bersumber pada satu induk penilaian etis tertentu. Teori Stufenbau dari Hans Kelsen mengatakan, bahwa agar ilmu hukum itu benar-benar memenuhi syarat sebagai suatu ilmu, maka ia harus mempunyai objek yang bisa ditelaah secara empirik dan dengan menggunakan analisis yang logis dan rasional. Untuk memenuhi

persyaratan tersebut, maka tidak lain kecuali menjadikan hukum positif sebagai objek studi 19 . Oleh karena Kelsen secara konsekuen menghendaki agar objek hukum itu bersifat

empiris dan bisa dijelaskan secara logis, maka sumber tersebut diletakkannya di luar kajian hukum atau bersifat transeden terhadap hukum positif. Kajiannya bersifat metajuridis. Justru dengan adanya grundnorm inilah semua peraturan hukum itu merupakan satu susunan kesatuan dan dengan demikian pula ia merupakan satu sistem.

Beberapa alasan lain untuk mempertanggungjawabkan, bahwa hukum itu merupakan satu sistem adalah; suatu sistem hukum itu bisa disebut demikian karena ia bukan sekedar merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang mempersatukannya sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian itu mengenai masalah keabsahannya. Peraturan- peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi, dan kebiasaan.

Hukum merupakan suatu sistem, artinya hukum itu merupakan suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian (sub sistem) dan antara bagian-bagian itu saling berhubungan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Bagian atau sub sistem dari

18 Ibid ., hlm 5.

hukum itu terdiri dari: Struktur Hukum, yang merupakan lembaga-lembaga hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepengacaraan, dan lain-lain. Substansi Hukum, yang merupakan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah. Budaya Hukum, yang merupakan gagasan, sikap, kepercayaan, pandangan-pandangan mengenai hukum, yang intinya bersumber pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Ketiga sub sistem tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling berkait dan menopang sehingga pada akhirnya mengarah kepada tujuan (hukum) yaitu kedamaian.

Bila ketiga komponen hukum tersebut bersinergi secara positif, maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan. Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan tidak efektif mewujudkan tujuan hukum.

Salah satu hal yang spesifik dari hukum Indonesia sehingga membedakannya dengan hukum lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hak warisan pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan melakukan perubahan fundamental pada hukum “warisan” kolonial. Perubahan yang sudah dilakukan meliputi: Melakukan unifikasi terhadap KUHPidana. Menghapus sistem pembagian golongan. Memberlakukan satu sistem peradilam umum di seluruh Indonesia. Unsur-unsur dalam Sistem Hukum Indonesia.

Unsur-unsur hukum yang dimaksudkan adalah bahwa peraturan-peraturan hukum itu meliputi: Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup Unsur-unsur hukum yang dimaksudkan adalah bahwa peraturan-peraturan hukum itu meliputi: Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup

Unsur-unsur hukum meliputi. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku

Maksud dari uraian unsur-unsur hukum di atas adalah bahwa hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Teori Keadilan Bermartabat Pengertian atau definisi dari konsep sistem yang dianut dalam teori keadilan

bermartabat adalah, suatu perangkat prinsip atau perangkat asas dan perangkat kaidah hukum positif yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan teramat penting dari suatu hukum positif yang keseluruhannya telah dirancang menurut pola tertentu, saking berkaitan erat antara satu bagian dengan bagian yang lain dan saling bahu-membahu antara satu unsur

dengan unsur yang lainnya dalam suatu kesatuan tujuan 20 . Dalam batasan tentang sistem menurut teori keadilan bermartabat, diperoleh lagi

makna bahwa sistem itu tidak ada dengan sendirinya. Sehingga hasil rancang bangun teori keadilan bermartabat menjadi suatu sistem kaidah dan asas-asas hukum yang utuh dan

sistemik sebagai hukum dan sistem hukum berdasarkan pancasila 21 .

6. Pengaturan

20 Teguh Prasetyo, Sistem Hukum Pancasila, Nusamedia, Bandung, 2016, hlm. 29.

Peraturan perundang-undangan yang melindungi nasabah bank pengguna E-Banking dari Ancaman Cybercrime. Dikarenakan perkembangan pelayanan jasa-jasa perbankan yang dilakukan melalui internet semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang semakin cepat. Masalah keamanan tidak hanya untuk kepentingan nasabah tetapi juga untuk kepentingan bank penyelenggara E-banking itu sendiri maupun industri perbankan secara keseluruhan. Namun demikian, masalah keamanan bertransaksi serta perlindungan nasabah menjadi perhatian tersendiri untuk pengembangan internet banking ke depan, terutama karena tidak adanya kepastian hukum bagi nasabah dimana belum terdapat

suatu bentuk pengaturan atas kegiatan internet di Indonesia 22 . Di dalam peraturan hukum Indonesia, belum ada pengaturan perundang-undangan

khusus mengatur tentang internet banking di Indonesia, kita dapat menemukan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah E-Banking dengan cara menafsirkan peraturan- peraturan tersebut ke dalam pemahaman tentang E-Banking atau mengaitkan peraturan satu dengan peraturan lainnya. Berikut ini penjelasan mengenai peraturan – peraturan yang terkait dengan pelindungan nasabah pengguna E-banking.

5.1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan

Pada pengujung tahun 1998 telah diundangkan undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 mengubah beberapa pasal dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”.

Salah satu pelaksanaan kegiatan perbankan dalam memberikan pelayanan kepada nasabah dengan cara konvensional ataupun melalui media alternatif lainnya seperti E- Banking . E-Banking merupakan suatu bentuk pemanfaatan media internet oleh bank untuk mempromosikan dan sekaligus melakukan transaksi secara online, baik dari produk yang

sifatnya konvensional maupun yang baru 23 . Khusus berkenaan dengan konsep E-banking, terdapat hal serius yang harus dicermati yaitu mengenai privacy atau keamanan data nasabah.

Hal ini dikarenakan karakteristik layanan E-banking yang rawan akan aspek perlindungan data pribadi nasabahnya.

Ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan dan memberikan perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan E-banking dapat dicermati pada Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbul resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan oleh bank. Hal tersebut diatur mengingat bank dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan.

Selanjutnya, ketentuan lain dalam Undang-undang Perbankan adalah ketentuan Pasal

40 ayat (1) dan (2), Bank diwajibkan untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42 Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Prinsip kerahasian bank pada ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan secara optimal terhadap perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggara layanan E- banking . Hal ini dikarenakan perlindungan hukum atas data pribadi nasabah yang ada pada ketentuan tersebut terbatas hanya pada data yang disimpan dan dikumpul oleh bank, padahal data nasabah di dalam penyelenggara layanan E-banking tidak hanya data yang disimpan dan

23 Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, 2005, 23 Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, 2005,

6.2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Diperlukan seperangkat aturan hukum untuk melindungi konsumen. Aturan tersebut berupa Pembentukan Undangundang Perlindungan Konsumen mempunyai maksud untuk memberikan perlindungan kepada konsumen menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen mempunyai pengertian berupa segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang dilakukan untuk melindungi konsumen sekaligus dapat meletakan konsumen dalam kedudukan yang seimbang dengan pelaku usaha. Konsumen dalam Pasal 1 Ayat (2) UUPK disini yang dimaksudkan adalah “Pengguna Akhir (end user)” dari suatu produk yaitu setiap orang pemakaian barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan 24 . Hak-hak konsumen untuk memperoleh keamanan, kenyamanan, dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta hak untuk memperoleh ganti rugi. Dalam Pasal 4 huruf a 25 , Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tentang hak konsumen atas

kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Menjadi tanggung jawab pihak bank sebagai penyedia jasa, bahkan bank akan memberikan yang terbaik dalam pelayanannya kepada nasabah dan konsumen pengguna berhak mendapatkan fasilitas terbaik terutama dalam hal ini, berkaitan dengan keamanan nasabah sendiri.

24 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Pelindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 27. 25 Sembiring Sentosa, Himpunan tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Lain yang terkait,

Bank sebagai pelaku usaha berusaha mematuhinya dengan menerapkan sistem keamanan berlapis seperti yang telah dikemukan diatas, namun pengamanan yang ada sepertinya masih kurang, hingga menyebabkan terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah. Undang-undang telah berusaha sebaik mungkin mengatur tentang ketentuan- ketentuan yang melindungi kepentingan konsumen, namun faktor lain penyebab tidak dapat terwujudnya aturan di atas. Pasal ini merupakan bentuk perlindungan preventif, untuk mencegah terjadinya kerugian bagi konsumen. Diharapakan dengan mengetahui hak-haknya konsumen tidak mudah tertipu dan mengalami kerugian terus-menerus.

Pasal 4 huruf d 26 , berisi tentang “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa ya ng digunakan”. Aturan ini memberikan kesempatan kepada konsumen

untuk dapat menyampaikan kekurangan-kekurangan dari pelayanan jasa E-banking yang diberikan oleh bank. Sebagai timbal baliknya pihak bank berkewajiban mendengarkan pendapat dan keluhan dari pihak konsumennya. Meskipun disemua bank mayoritas sudah melakukannya melalui layanan customer service (CS), tetapi seharusnya bank dapat lebih serius lagi menanggapi keluhan penggunaan layanan apalagi jika sampai ada yang dirugikan, dengan cara meningkatkan sistem keamanan bank tersebut dan terus memperbaharui Risk Technology yang dipunyai.

Pasal 7 huruf f 27 , berisi tentang kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Sebenarnya dalam undang-undang perlindungan konsumen ini sudah cukup baik, apalagi dengan pengulangan isi pasal yang hampir sama sampai dua kali.

Sedangkan menurut Pasal 4 huruf h pada undang-undang yang sama, dapat menuntut ganti rugi jika tidak sesuai dengan perjanjian yang tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.

26 Ibid.,

Dalam Pasal 26 dalam UUPK Berbicara mengenai, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Seperti iklan yang disebutkan dalam setiap promosi bank penyedia layanan E-banking, bahwa kelebihan penggunaan jasa ini salah satunya, yaitu keamanan. Meski pada kenyataannya keamanan yang diberikan bank masih dapat dibobol dengan berbagai cara. Ini menunjukan kewajiban keamanan yang diberikan oleh bank masih belum terpenuhi dengan baik. Ternyata, pasal dalam undang-undang tersebut menunjukkan belum ada kepastian hukum, karena tidak adanya pelaksanaan hukum atau aturan lain yang mampu menindak tegas bahkan memberikan sanksi atas pelanggaran dan/atau belum terpenuhinya aturan hukum.

6.3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Salah satu bentuk implementasi dari yuridiksi untuk menetapkan hukum (yuridiction to enforce ) terhadap tindak pidana siber berdasarkan hukum pidana Indonesia adalah salah satu pembentukan Undang-undang ITE. Undang-undang ITE merupakan Undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur berbagai aktivitas manusia dibidang teknologi informasi dan komunikasi termasuk beberapa tindak pidana yang dikategorikan tindak pidana cybercrime . Namun demikian berdasarkan luas lingkup dan kategorisasi tindak pidana cybercrime , disamping undang-undang ITE peraturan perundang-undangan lainnya juga secara eksplisit atau implisit mengatur tindak pidana cybercrime. Kriminalisasi tindak pidana cybercrime dalam peraturan perundang undangan Indonesia tersebut memiliki implikasi terhadap upaya pemberantas tindak pidana cybercrime di Indonesia khususnya dan dunia

pada umumnya 28 .

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang disahkan pada tanggal 21 April 2008 dinilai telah cukup mampu mengatur permasalahan-permasalahan hukum dari sistem E-banking sebagai salah satu layanan perbankan yang merupakan wujud perkembangan teknologi informasi.

Kendala seperti aspek teknologi dan aspek hukum bukan lagi menjadi faktor penghambat perkembangan E-banking di Indonesia, meskipun dalam pasal-pasal Undang- undang ITE tidak ada pasal-pasal yang spesifik mengatur mengenai E-Banking itu sendiri, akan tetapi terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai transaksi dengan media Internet.

6.4 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Dalam hal perlindungan hukum atas data pribadi nasabah terdapat pada ketentuan Pasal 22 Undang- undang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, dan tidak sah, atau memanipulasi: Akses ke jaringan telekomunikasi, dan/atau Akses ke jasa telekomunikasi, dan/atau Akses ke jaringan telekomunikasi kh usus”.

Ketentuan ini apabila dianalogikan pada masalah perlindungan data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan layanan E-banking terasa ada perbedaan dari objek data atau informasi yang dilindungi dimana ketentuan ini lebih menitikberatkan pada data yang ada

dalam jaringan dan data yang sedang ditransfer 29 . Ketentuan pidana terhadap para pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan

Pasal 22 Undang-undang Telekomunikasi tersebut terdapat dalam Pasal 50 menyatakan bahwa: “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak enam ratus juta rupiah).”

Beberapa ketentuan perundang-undangan diatas dapat diberlakukan pada berbagai macam kasus mengenai data pribadi nasabah dan hak nasabah apabila mengalami kerugian dalam layanan E-Banking namun hal tersebut tergantung kepada jenis kasusnya.

Ketentuan perundang-undangan perbankan tidak dapat diberlakukan pada kasus (Typosquatting) yang merugikan nasabah, karena dalam hal ini keterangan atau data nasabah yang bocor tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait dalam lembaga perbankan tersebut.

Data nasabah yang sampai kepada pihak lain tersebut disebabkan kekurang hati-hatian nasabah yang dimanfaatkan si pelaku tindak kejahatan dengan membuat situs plesetan yang hampir sama.

6.5 Mekanisme perlindungan dan Tanggungjawab yang diberikan oleh pihak bank terhadap nasabah yang mengalami masalah dalam penggunaan E-Banking

Perkembangan teknologi informasi kian pesat, terjadi disegala bidang, termasuk di bidang perbankan. Kegiatan perbankan dapat dilakukan melalui media elektronik, seperti melalui internet. Maka munculah istilah E-Banking yang saluran jaringannya digunakan untuk memberikan layanan perbankan seperti membuka rekening, transfer dan pembayaran online. Dalam menjalankan kegiatan E-Banking wajib menerapkan manajemen risiko pada

aktivitas layanannya secara efektif 30 . Perlindungan yang diberikan oleh bank sangat penting untuk menimbulkan

kepercayaan dan kenyaman nasabah. Karena resiko yang ditimbulkan dalam layanan ini sangat tinggi, ada kemungkinan nasabah menderita kerugian karena disadap oleh

hacker/cracker 31 yang mampu menembus firewall. Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang

bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, di antaranya 32 , Teori Utilitas: Teori ini Menitik-beratkan pada kemanfaatan bagi jumlah

30 Ibid., hlm. 200. 31 Nasser Atorf,.et.al., Loc.cit., 30 Ibid., hlm. 200. 31 Nasser Atorf,.et.al., Loc.cit.,

B. Temuan dan Analisis

1. Tinjauan terhadap putusan No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel dalam Sistem Hukum Indonesia

Pihak dalam putusan Mahkamah Agung No.150/Pdt.G/2012/PN.Jkt Sel adalah H. Helme Sholeh, bertempat tinggal di Perum TAS Blok D-5/37, Rt. 008/Rw. 08, Desa Kedungbendo, Kec. Tanggulangin, Kab. Sidoarjo, Jawa Timur (dahulu beralamat di Sampurna 21 Rt. 08/Rw. 10 Pabean Cantian Krembangan Utara, Surabaya, Jawa Timur), yang dalam hal ini diwakili dan memilih domisili di Kantor Kuasanya M. Ainuljakin, S.H. dan Sri Redjeki Slamet, S.H., M.H., Advokat dari Law Firm M. Ainuljakin & Partners, beralamat di Jl. Otista II No. 67 C, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Januari 2013, sebagai penggugat.

Merupakan pihak pula, yaitu tergugat adalah PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk, berkedudukan di Jl. Gatot Subroto Kav 36-38, Jakarta Selatan. Perkara yang terjadi akan diuraikan sebagai berikut: penggugat adalah nasabah penyimpan dari tergugat (Deposan), yaitu sebagai nasabah dari Bank Mandiri KCP Surabaya

Juanda. Sebagai nasabah dari tergugat, penggugat memiliki dua buah rekening Tabungan Bisnis Mandiri, yaitu masing-masing meliputi

a) Rek No. 141-00-1074177-5 atas Helme Sholeh.

b) Rek No. 141-00-0994978-5 atas Helme Sholeh. Kedua rekening tersebut telah dibuatkan dalam satu kartu ATM ”Prioritas/Priority”

dengan nomor kartu: 4617 0081 0065 2452 tanpa nama (karena kartu ATM tersebut adalah kartu instant). Kedua rekening milik penggugat tersebut merupakan rekening yang menampung setoran keberangkatan Haji dan Umroh yang dikelola oleh penggugat.

Pada hari Jum’at, tanggal 11 Maret 2011 jam 9.30, kartu ATM ”Prioritas/Priority” penggugat nomor 4617 0081 0065 2452 yang merupakan kartu ATM untuk kedua rekening tertelan di mesin ATM Bank Mandiri di SPBU Raden Inten, penggugat bermaksud mengambil uang di mesin ATM Bank Mandiri (milik tergugat) yang terletak di SPBU Raden Inten, Jakarta Timur, pada saat penggugat memasukkan kartu ATM Mandiri ”Prioritas/Priority” di mesin ATM Mandiri, saat itu penggugat sama sekali belum sempat memasukan nomor PIN.

Setelah Kartu ATM penggugat tertelan, penggugat pergi mencari Bank Mandiri terdekat untuk melaporkan tertelannya kartu ATM miliknya, dimana sementara penggugat pergi, penggugat meminta rekan penggugat yang bernama Bunyamin untuk menjaga mesin ATM tersebut. Belum lama penggugat pergi dari mesin ATM tersebut kurang lebih 10 menit, penggugat ditelpon oleh rekan penggugat memberitahukan bahwa telah datang dua orang teknisi ATM tergugat (yang belakangan setelah bertemu dalam rapat dengan tergugat, penggugat baru mengetahui bahwa kedua teknisi tersebut bernama Yanuar dan A. Junaedy dari PT. Tunas Artha Gardatama (TAG) yang merupakan perusahaan offsourcing tergugat). Untuk itu maka kemudian penggugat segera kembali ke mesin ATM tersebut di SPBU Raden Inten.

Saat penggugat datang kembali ke ATM SPBU Raden Inten, kedua teknisi tersebut telah membuka/membongkar mesin ATM dan mengambil kurang lebih lima kartu ATM dari dalam mesin ATM tersebut. Salah seorang teknisi (yang ternyata bernama Yanuar) menanyakan kepada penggugat, “apa kartu ATM milik penggugat?” Atas pertanyaan tersebut, penggugat mengatakan bahwa kartunya adalah kartu ”Prioritas/Priority” tanpa nama, lalu kemudian teknisi menyerahkan sebuah kartu ATM Nomor 4097-6621-7804-9105 kepada penggugat. Penggugat tidak mengecek lagi apakah kartu yang diberikan padanya adalah kartu miliknya atau bukan karena mesin sedang diperbaiki.

Penggugat tidak melakukan pemblokiran rekening, karena penggugat merasa telah aman disebabkan kartu ATM telah ada dan dikembalikan kepada penggugat. Kemudian penggugat ketahui ternyata kartu ATM bukan merupakan kartu ATM ”Prioritas/Priority” milik penggugat. Hal ini penggugat ketahui setelah keesokan harinya penggugat gagal/tidak dapat menggunakan kartu ATM yang diberikan oleh teknisi. Karena ternyata kartu ATM Bank Mandiri yang diserahkan oleh teknisi ternyata bukan merupakan kartu ATM ”Prioritas/Priority” kepunyaan penggugat, maka sejak tanggal 11 Maret penggugat tidak lagi memegang kartu ATM ”Prioritas/Priority”, karena ternyata kartu ATM Bank Mandiri yang ada pada penggugat (yang diberikan oleh teknisi) bukan kepunyaan penggugat. Karena penggugat mengalami kegagalan/tidak dapat menggunakan kartu ATM yang diserahkan oleh teknisi, maka sekembalinya penggugat ke Surabaya, pada tanggal 14 Maret 2011 penggugat melakukan pengecekan atas kedua rekening milik penggugat dengan cara meminta rekening koran (mencetak/print out rekening koran).

Setelah penggugat melakukan pencetakan/print out rekening koran atas kedua rekening penggugat pada Bank Mandiri, diketahui bahwa rekening penggugat telah dibobol, sehingga sejumlah dana/uang milik penggugat telah hilang. dari rekening koran tersebut, diketahui ternyata pada periode tanggal 12 Maret 2011 sampai dengan tanggal 14 Maret 2011 Setelah penggugat melakukan pencetakan/print out rekening koran atas kedua rekening penggugat pada Bank Mandiri, diketahui bahwa rekening penggugat telah dibobol, sehingga sejumlah dana/uang milik penggugat telah hilang. dari rekening koran tersebut, diketahui ternyata pada periode tanggal 12 Maret 2011 sampai dengan tanggal 14 Maret 2011

ATM ”Prioritas/Priority” Nomor 4617 0081 0065 2452. Akibat pembobolan tersebut, dana milik penggugat yang hilang/dibobol dari kedua rekening penggugat berdasarkan data

sementara dari rekening koran adalah keseluruhannya berjumlah lima ratus delatan puluh lima juta rupiah, dengan perincian sebagai berikut:

a) Rek No. 141-00-1074177-5 sebesar lima ratus sepuluh juta rupiah.

b) Rek No. 141-00-0994978-5 sebesar tujuh puluh lima juta rupiah. Pembobolan rekening tersebut terjadi dalam periode tanggal 12 Maret 2011 sampai

dengan tanggal 14 Maret 2011 yang dilakukan dengan cara mentransfer dana dari rekening penggugat ke rekening lain dan dengan cara tarik tunai yang kesemuanya dilakukan oleh pelaku melalui mesin ATM. Padahal sejak ka rtu ATM ”Prioritas/Priority” milik penggugat tertelan di mesin ATM Bank Mandiri yang terletak di SPBU Raden Inten (tanggal 11 Maret 2011), penggugat tidak lagi memegang/menguasai ATM “Prioritas/Priority”. Ini artinya transaksi tersebut kesemuanya bukan dilakukan oleh penggugat.

Setelah dilakukan verifikasi oleh tergugat, diperoleh data dan fakta bahwa ternyata jumlah dana/uang milik penggugat yang telah dibobol/hilang dari kedua rekening penggugat bukannya berjumlah lima ratus delapan puluh lima juta rupiah sebagaimana perhitungan sementara yang tertera dari rekening koran, namun ternyata keseluruhannya adalah berjumlah enam ratus delapan juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah yang transaksinya menurut pengakuan tergugat dilakukan melalui mesin ATM. Berdasarkan Pasal 174 HIR, Pengakuan merupakan bukti terkuat dan sempurna yang tidak dapat ditarik lagi kebenarannya.

Atas pembobolan rekening miliknya, penggugat telah menggunakan segala upaya untuk memperoleh kembali dana/uang yang hilang dari rekening penggugat akibat pembobolan rekening melalui mesin ATM dengan memanfaatkan kartu ATM

”Prioritas/Priority” milik penggugat yang tertelan di mesin ATM SPBU Raden Inten. Penggugat telah membuat pengaduan dengan harapan dapat memperoleh kembali dana penggugat yang hilang, yaitu pengaduan kepada Bank Mandiri.

Pada tanggal 14 Maret 2011, penggugat mengajukan pengaduan kepada customer service Bank Mandiri unit kerja KK Sby Bandara Juanda untuk pembobolan rekening nomor 141-00-1074177-5 sebagaimana tanda Terima Pengaduan No. Reg. C-110314-14102- 0000249 tanggal 14 Maret 2011 jam 16.30. Pada tanggal 15 Maret 2011, penggugat mengajukan pengaduan melalui surat Kuasa Hukum penggugat kepada Bank Madiri Customer Care & Service Group Kantor Pusat melalui Surat tertulis tertanggal 15 Maret 2011. Pada tanggal 12 April 2011, penggugat telah mengajukan banding kepada tergugat (Bank Mandiri Kantor Pusat) sebagaimana Tanda Teraima Pengaduan No. Reg C-110412- 99104-0010181 tanggal 12 April 2011 jam 16.55 WIB yang diterima oleh Officer Customer

Care Group – CHM unit kerja Mobile Banking. Kepada Menteri Keuangan sebagai institusi yang mempunyai kewenanganan di bidang keuangan dan selaku pemegang saham/ RUPS Bank Mandiri (Persero), Tbk (tergugat), penggugat telah mengirim pengaduan sebagaimana surat kuasa hukum penggugat tertanggal 25 April 2011 No. 15/MA&P/IV/011 tanggal 25 April 2011. Kepada Bank Indonesia sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengawasan Perbankan, penggugat telah mengirim pengaduan sebagaimana surat kuasa hukum penggugat tertanggal 25 April 2011 No. 15/MA&P/IV/011 tanggal 25 April 2011 dan Laporan kepada Kepolisian Polda Metro Jaya sebagaimana Tanda Bukti lapor No.: LP/1320/IV/2011/PMJ/Dit.Reskrim SUS tanggal 13 April 2011 dengan laporan dugaan tindak pidana pencurian (money laundering) Perbankan sebagaimana ketentuan Pasal 362 KUHP, Pasal 4,5, dan 6 UU No. 8 Tahun 2009 dan Pasal 49 UU No. 10 Tahun 1998.

Terhadap pengaduan penggugat tersebut sama sekali tidak ada tanggapan dari tergugat. Bahkan dalam jawabannya tergugat telah mendalilkan bahwa seluruh transaksi

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 97

BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Inter

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Cor

0 0 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pad

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Corpora

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Putusan Hakim dalam Perkara Perdata tentang Perjanjian Baku: Studi Kasus Putusan MA NO. 560 K/Pdt.Sus/2012

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Putusan Hakim dalam Perkara Perdata tentang Perjanjian Baku: Studi Kasus Putusan MA NO. 560 K/Pdt.Sus/2012

0 0 92

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara hukum, menurut perspektif keadilan bermartabat, Indonesia - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Pengguna E-Banking Menurut Sistem Huku

0 0 10