BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Inter

BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai

  negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.504 pulau, membentang dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Rote dengan 111 Pulau

1 Pulau Kecil Terluar (PPKT). Untuk melindungi pulau-pulau kecil terluar

  Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan dalam mengelola pulau-pulau kecil terluar tersebut Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil Terluar serta Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

  Selanjutnya perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat 1 UNCLOS ‘82 yang menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat perbandingan antara

  2 wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang adalah 1:1 sampai 9:1.

  Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak 1 boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari

Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-

2 Pulau Kecil Terluar.

  Article 6 UNCLOS 1982 :Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai

karang-karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis

air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh Negara pantai yang bersangkutan. jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

  Kemudian, ayat 3,4 dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan dari ujung ke ujung.

  Syarat pertama adalah bahwa garis-garis pangkal lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum pantai (ayat 3).

  Syarat kedua adalah garis-garis pangkal lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut atau elevasi surut (low-tide elevations), kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air dan penarikan garis-garis lurus dari elevasi ini atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu

  3 jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat (ayat 4).

  Ketentuan ini hampir serupa dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 yang berlaku untuk penarikan garis pangkal lurus, namun penggunaan elevasi surut sebagai titik pangkal dikenakan persyaratan letak atau jarak yang harus kurang dari atau tidak

  4 melebihi laut teritorial, diukur dari pulau terdekat.

  Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut teritorial negara lain dengan laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ayat 5).

  3 4 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 131-132.

  Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional, Op., Cit., h. 447.

  Syarat lain yang harus diperhatikan dalam penarikan garis pangkal lurus kepulauan terhadap negara tetangga yang berdekatan termuat dalam ayat 6 yang berbunyi:

  

(6) If part of the archipelagic waters of an archipelagic State

lies between two parts of an immediately adjacent neighbouring

State, existing rights and all other legitimate interests which the

latter State has traditonally exercised in such waters and all

rights stipulated by agreement between those States shall

continue and be respected.

  Ketentuan ayat 5 dan 6 di atas ditetapkan untuk mengurangi dampak penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan terhadap hak dan kepentingan negara tetangga, khususnya agar tidak menyebabkan tertutupnya akses dari laut teritorial negara tetangga. Dampak lain agi negara tetangga yang dilindungi oleh Konvensi Hukum Laut 1982 adalah terhadap kemungkinan putusnya komunikasi melalui laut antara dua bagian wilayah dari suatu negara tetangga terdekat, atau hapusnya hak-hak dan kepentingan sah lainnya yang secara tradisional telah dilaksanakan oleh negara tersebut di bagian laut yang sekarang menjadi perairan

  5 kepulauan.

  Selanjutnya, ayat 8 menyatakan bahwa hasil penarikan garis-garis pangkal tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai gantinya dapat dibuat daftar dari titik-titik koordinat geografis yang secara tegas memerinci datum geodetik. Peta tersebut harus dibuat dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Ayat 9 mewajibkan negara kepulauan untuk mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta atau daftar-daftar koordinat 5 geografis demikian serta menyerahkan satu salinan peta atau daftar demikian dan Ibid., h. 448. didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketentuan- ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 16 yang menetapkan kewajiban negara pantai untuk penarikan garis-garis pangkal laut teritorial.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 48 garis-garis pangkal lurus yang ditarik menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan. Ketentuan Pasal 48 tersebut menguatkan bahwa garis- garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis-garis pangkal biasa, atau garis-garis pangkal lurus. Penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak menghilangkan hak negara kepulauan untuk menetapkan bagian dari perairannya sebagai perairan pedalaman. Untuk itu Pasal 50 Konvensi Hukum Laut menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup dalam perairan kepulauannya untuk penetapan batas perairan pedalaman sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Istilah penetapan (delimitation) biasanya digunakan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang garis batas antar negara. Dalam ketentuan di atas garis batas yang dimaksud adalah suatu garis penutup (closing line) sebagaimana yang berlaku untuk mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang akan memisahkan perairan pedalaman dari perairan

  6 kepulauan.

  Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam Undang- Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah No.

  38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal 6 Kepulauan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Ibid., h. 450-452.

  Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

  Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut dan wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya, sehingga pulau- pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian.

  Ketentuan-ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa:

1. Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan; 2.

  Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau- pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan

  bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan selanjutnya terlihat ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan nasional Indonesia tidak jauh beda dengan Konvensi Hukum Laut 1982 karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan merupakan jiplakan dari Konvensi.

  Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Batasan yang diberikan oleh ayat 4 Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.

  Dalam ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

  Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan beberapa negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura telah menimbulkan sengketa perbatasan dan pelbagai kerawanan serta masalah-masalah keamanan, sehingga perlu segera ditetapkan. Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut pada dasarnya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum tentang wilayah, batas kedaulatan, dan hak-hak berdaulat Republik Indonesia, memudahkan kegiatan penegakan hukum di laut, serta menjamin kepastian hukum kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut. Penetapan batas maritim ini juga mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau kecil terluar Republik Indonesia, karena Indonesia menggunakan pulau-pulau terluar tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil terluar adalah pulau-pulau kecil terdepan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk menentukan Jalur Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.

  Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini, belum ada satupun batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara-negara tetangga.

  Selanjutnya, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengatur cara penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat 2 menyatakan bahwa apabila garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat dalam ayat 1 tidak dapat Berdasarkan ketentuan ayat 6, garis pangkal biasa sebagaimana tersurat dalam ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai. Pengaturan mengenai garis pangkal lurus seperti dimaksud dalam ayat 2 termuat dalam ayat 7, yang menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang menjorok jauh dan menikung.

  Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

  Dalam perundingan batas maritim peran pulau-pulau kecil terluar adalah sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar proyeksi klaim wilayah ke laut. Setelah penentuan titik-titik ini dilakukan, maka sebenarnya peran pulau-pulau terluar bersifat statis. Hal ini disebabkan karena berbagai aspek yang mempengaruhi pergerakan garis batas dalam perundingan, yakni apakah garisnya lebih ke atas atau ke bawah, apakah lebih ke kiri atau ke kanan, apakah ada lekukan tertentu, atau tidak, sangat tergantung kepada hal-hal lain yang sifatnya lebih makro seperti panjang pantai, arah pantai, bentuk pantai, geologi dasar, lokasi sumber daya alam di dasar laut, lokasi ikan dan lain

7 Ayat 5 memuat syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan

  penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Ada pun syarat tersebut adalah garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 tidak boleh ditarik dari dan ke di antara elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.

  Garis pangkal kepulauan diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik

8 Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

  Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 7 Tahun 2002 ini menyatakan bahwa Pemerintah menarik garis pangkal kepulauan 8 Ibid., h. 313.

  

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa penarikan garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan dengan menggunakan: a) garis pangkal lurus kepulauan; b) garis pangkal biasa; c) garis pangkal lurus; d) garis penutup teluk; e) garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan f) garis penutup pada pelabuhan.

  Dari berbagai cara penarikan garis pangkal kepulauan di atas dapat dikemukan di sini bahwa, pertama, ketentuan mengenai garis pangkal lurus kepulauan terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002. Dalam Pasal 3 ayat 1 ditentukan bahwa garis pangkal lurus kepulauan merupakan garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia. Garis pangkal menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan. Dalam ayat 6 ditegaskan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tersebut di atas adalah perairan kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus kepulauan adalah laut teritorial.

  Bertalian dengan syarat penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, maka ketentuan ayat 3 pada hakekatnya tetap sama. Hal penting diutarakan di sini adalah ketentuan ayat 4 yang menetapkan tentang syarat mengenai penarikan garis pangkal kepulauan tersebut di atas dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.

  Berdasarkan ayat 5, penarikan garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat dalam ayat 2 di atas dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari garis air rendah pulau terdekat.

  Kedua, Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa digunakan terluar menunjukkan bentuk yang normal. Pengecualian terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8. Menurut ayat 2, garis pangkal biasa tersebut adalah garis air rendah sepanjang pantai yang ditetapkan berdasarkan Datum Hidrografis yang berlaku.

  Sebagaimana diatur dalam ayat 3, garis pangkal biasa berupa garis air rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut yang juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau terluar yang terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai karang-karang di sekitarnya. Dalam ayat 5 ditetapkan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal biasa tersebut adalah laut teritorial.

  Ketiga, Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengatur cara penarikan garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut, menurut ayat 2 adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menonjol dan berseberangan di mulut lekukan pantai tersebut.

  Berdasarkan ayat 3 garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat delta atau kondisi alamiah lainnya.

  Garis pangkal lurus yang dimaksud ayat 3 ini, sesuai dengan ayat 4, adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menjorok paling jauh ke arah laut pada delta atau kondisi alamiah lainnya tersebut. seperti tersurat dalam ayat 1 dan ayat 3 di atas adalah perairan pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus tersebut adalah laut teritorial.

  Sementara itu, cara-cara lain dalam penarikan garis pangkal kepulauan juga terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk, Pasal 7 tentang garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dan Pasal 8 yang menetapkan garis penutup pelabuhan.

  Dalam perkembangannya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 adalah Keputusan Mahkamah Internasional mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan Provinsi Timor Timur telah menjadi negara tersendiri.

  Kedua hal tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

  Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 dinyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 diubah sebagai berikut: 1.

  Ketentuan Pasal 1 ayat 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: 2.

  Di antara ayat 1 dan ayat 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat 1a sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: (1)

  Pemerintah melakukan pembaharuan secara rutin untuk memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangan dalam penetapan Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.

  (1a) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas di bidang survei dan pemetaan, di bawah koordinasi kementerian yang membidangi Politik, hukum dan keamanan.

  (2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, yang dapat digunakan untuk penetapan titik-titik terluar dari Garis Pangkal Kepulauan, maka diadakan perubahan. (3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar, pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, maka diadakan

  9 penyesuaian.

  Ketentuan mengenai Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan adalah Garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah pulau-pulau dan karang-

  10

  karang kering terluar dari Kepulauan Indonesia. Lebih lanjut melalui Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.

  Sejatinya menurut UNCLOS 1982, dalam hal dua negara berhadapan dan

terdapat klaim tumpang tindih landas kontinen dan ZEE, negara-negara tersebut

  9 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal 10 Kepulauan Indonesia.

Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

  

harus berunding untuk menentukan batas-batas klaim masing-masing negara.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE, yang menyatakan:

Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE negara

yang berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia maka

batas ZEE antara Indonesia dengan negara tersebut ditetapkan

dengan persetujuan antara Ri dengan negara yang bersangkutan.

B. Prinsip Pengelolaan Oleh Pemerintah Terhadap Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia

  Prinsip Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (disingkat = PPKT) bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah, keamanan dan pertahanan negara, pemanfaatan sumberdaya alam, dan pemberdayaan masyarakat setempat dengan prinsip wawasan nusantara, berkelanjutan, terpadu dan berbasis masyarakat.

  Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar meliputi 5 (lima) bidang, yaitu: sumber daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan serta ekonomi, sosial, dan budaya.

  Pemerintah telah membentuk Tim Kerja Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Namun dalam perjalanan waktu, pengelolaan yang lebih terintegrasi dan terstruktur dan sinergis antar Kementerian/Lembaga yang tergabung dalam Tim Kerja perlu dioptimalkan tugas pokok fungsinya.

  Perpres No. 78 Tahun 2005 merupakan salah satu instrumen peraturan perundang-undangan pemerintah untuk mengelola keberadaan pulau-pulau kecil terluar. Perpres ini mengamanatkan pembentukan Tim Koordinasi dengan tugas mengkoordinasikan dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar serta melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil. Sesuai dengan Perpres ini, pengorganisasian pelaksanaan pengelolaan PPKT dan menghindari tumpang tindih kewenangan ditetapkan 2 (dua) Tim Kerja. Tim Kerja I membidangi sumberdaya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi, sosial, dan budaya; sedangkan Tim Kerja II membidangi wilayah, pertahanan, dan keamanan; serta Sekretariat Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Di dalam penyelenggaraan sehari-hari Tim Koordinasi dibantu oleh Tim Kerja yang dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

  Di sisi lain didalam pengelolaan PPKT, pemerintah telah berupaya juga untuk mengatur dan menetapkan dasar-dasar peraturan perundangan dan beberapa instrumen diantaranya adalah: UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara serta PP No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

  Namun pada implementasinya, instrumen-instrumen tersebut termasuk Perpres No. 78 tahun 2005, belum sepenuhnya mampu untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi untuk mengelola PPKT dalam rangka mensejahterakan masyarakat setempat tepat sesuai dengan sasaran yang didasari oleh kebijakan-kebijakan pengelolaan yang telah ditetapkan. Terutama dalam sinkronisasi dan keterpaduan pengelolaan pembangunan PPKT baik dari aspek kebijakan pertahanan dan keamanan, kesejahteraan serta kelestarian lingkungan hidup. Hal ini mengindikasikan instrumen dan peraturan perundangan yang telah ditetapkan belum dapat dijadikan pedoman bagi para pemangku kepentingan pengelola pembangunan PPKT.

  Dengan demikian, keberadaan Tim Kerja Perpres No. 78 tahun 2005 perlu untuk dioptimalkan sehingga diharapkan dapat mengakomodasi dan menjembatani ketidaksinkronan dan ketidakterpaduan pemangku kepentingan dalam rangka mengelola dan pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). PP No. 62 Tahun 2010 mengamanatkan juga prinsip dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar bertujuan untuk pertahanan dan keamanan; kesejahteraan masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan.

  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pertahanan dan keamanan dalam bentuk: a) akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara dilaut; b) penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; c) penempatan aparat Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian

  Negara Republik Indonesia;

  d) penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara; e) penempatan sarana bantu navigasi pelayaran; dan/atau f) pengembangan potensi maritim lainnya.

  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk kesejahteraan masyarakat dalam bentuk: a) usaha kelautan dan perikanan; b) ekowisata bahari; c) pendidikan dan penelitian; d) pertanian subsisten; e) penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi; dan/atau f) industri jasa maritim.

  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pelestarian lingkungan

  11 dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi.

  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar adalah kegiatan yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan potensi sumber daya Pulau-Pulau Kecil Terluar dan perairan di sekitarnya sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis

  12 pantai dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan pemerintah daerah.

  11 Pasal 5-8 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil 12 Terluar.

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 3 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

1 3 47

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 97