BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Laut Internasional

A.1. Pengertian Hukum Laut Internasional

Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun subyek hukum internasional lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan negara atas laut, yuridiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut. Hukum laut internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum dilaut dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.

Akhir-akhir ini di kalangan para ahli hukum maupun di luar lingkungan yang terbatas ini telah disadari pentingnya hukum laut bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya, perkembangan hukum laut (publik) Indonesia jauh lebih pesat. Bahkan dapat dikatakan bahwa Indonesia memegang peranan yang cukup penting dalam perkembangan hukum laut internasional publik masa kini.

Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut tidak saja menghasilkan pengakuan universal terhadap konsepsi negara kepulauan (archipelagic state principle) , tetapi telah membantu tercapainya kedudukan negara pantai yang secara menyeluruh lebih kuat terhadap negara maritim daripada di masa-masa sebelumnya.

Dalam beberapa puluh tahun belakangan ini sejak dicetuskannya konsepsi “common heritage of mankind” dalam Sidang Majelis Umum PBB

di tahun 1967, 1 hukum laut internasional publik telah mengalami proses perubahan yang sangat mendasar dan menyeluruh. Perubahan-perubahan yang

telah terjadi berupa bertambahnya kekuasaan negara atas laut hingga 200 mil dari pantai, 2 bertambahnya wewenang negara tepi (riparian state) atas lalu

lintas kapal di selat dan bertambahnya wewenang negara untuk mengambil tindakan-tindakan perlindungan lingkungan laut.

Hukum laut internasional yang hingga kini belum selang beberapa lama merupakan penjelmaan supremasi negara maritim besar di lautan

berdasarkan doktrin 3 “mare liberum” (laut bebas) Hugo Grotius dengan demikian telah mengalami transformasi menjadi suatu perangkat ketentuan

hukum yang menggambarkan keseimbangan antara kepentingan negara maritim dan negara non-maritim yang lebih baik.

Karena negara maritim pada umumya merupakan negara industri dan maju, sedangkan negara non-maritim merupakan negara berkembang, maka perjuangan-perjuangan negara berkembang untuk mencapai suatu tata hukum laut internasional baru, sebagaimana juga perjuangan negara-negara berkembang untuk mencapai tata ekonomi internasional baru, merupakan suatu perjuangan negara-negara berkembang untuk suatu tata kehidupan

1 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), PT Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 192.

2 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Aspek Hukum Wilayah Negara Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, h. 47.

3 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1986, h. 12.

internasional baru (new international order) yang lebih adil dan berimbang. Itu sebabnya maka tata hukum laut internasional akan merupakan suatu hukum laut internasional yang baru (new international of the Sea).

Walaupun demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam proses pembentukannya, tidak dapat sama sekali dilepaskan daripada hukum laut internasional dewasa ini yang dasar-dasarnya diletakkan dalam abad ke

XVI di Eropa Barat. 4 Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga perkembangan-perkembangan yang kini sedang terjadi dalam bidang hukum

laut internasional publik tidak bisa sama sekali dipisahkan dari apa yang telah ada dan terjadi sebelumnya. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang hukum laut internasional merupakan lanjutan daripada suatu proses perubahan yang telah dimulai sejak akhir Perang Dunia ke-II.

Uraian mengenai hukum laut internasional perlu diawali dengan pembahasan mengenai berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi, antara lain sebagai:

1. Sumber makanan bagi umat manusia;

2. Jalan raya perdagangan;

3. Sarana untuk penaklukan;

4. Tempat pertempuran-pertempuran;

5. Tempat bersenang-senang; dan

6. Alat pemisah atau pemersatu bangsa.

4 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Djambatan, Jakarta, 1989, h. 1.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber

daya alam. 5

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan pelbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di atas telah dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.

A.2. Perkembangan Hukum Laut Internasional

Hukum dan ketertiban internasional laut di dunia telah diminta untuk mengatur kepentingan beragam semua bangsa. Hukum laut di salah satu cabang tertua hukum internasional, bagaimanapun, sumber kodifikasi dan perkembangan progresif undang-undang ini adalah tiga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada tahun 1958, 1960 dan 1973-1982. Perkembangan hukum laut telah memiliki sejarah yang panjang dan membingungkan, dipengaruhi oleh pendapat penulis, praktik Negara, dan

persidangan konferensi dan Konvensi konsekuen mereka. 6

5 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, h. 1.

6 Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Covention on the Mediterranean Sea, United Nations-Nippon Foundation Fellow 2008 – 2009, Division For Ocean Affairs and The Law of

the Sea, Office of Legal Affairs, The United Nation, New York, 2009, h. 7.

Seiring waktu, telah diterima bahwa negara-negara pantai berhak untuk mengklaim kedaulatan dan yurisdiksi atas laut yang berdekatan dan dasar laut. Klaim ini telah dibuat untuk berbagai keperluan. Faktor keamanan dan pertahanan adalah yang pertama yang membuat negara-negara memulai proses ini. Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang terus menerus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan umat manusia melalui aturan-aturan yang berlaku untuk setiap negara. Pemikiran-pemikiran para ahli dan konferensi-konferensi tentang hukum laut internasional turut mewarnai proses perkembangan Hukum Laut Internasional saat ini.

A.2.1. Zaman Romawi

Pada Zaman Romawi telah berkembang pemikiran dan aturan yang berkaitan dengan laut. Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara 2 konsepsi, yaitu:

a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik semua orang, jadi laut adalah milik bersama masyarakat internasional, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;

b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang lebih dahulu maka merekalah yang berhak menguasai wilayah tersebut. 7

7 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h. 11.

Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan di mana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran,

menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan. 8

Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communis omnium tersebut di atas, tampak bahwa embrio kebebasan di laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional merupakan tonggak bagi perkembangan hukum laut internasional pada masa-masa berikutnya.

Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda- tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk

menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui. 9 Pemilikan suatu

8 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 3. 9 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h.12.

kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan atas konsepsi res nulius.

Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam

hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi “occupatio” (occupation). Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-

negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi. 10

A.2.2. Masa Abad Pertengahan

Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang

berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. 11

1. Teori Bartolus dan Baldus Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar

negara atas laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazimnya disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut

10 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 4. 11 Ibid., h. 5.

oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad

pertengahan. 12

a. Bartolus Bartolus meletakan dasar bagi pembagian dua atas laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak merupakan dasar pembagian dua atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial (Wilayah) dan Laut Lepas.

b. Baldus Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia

membedakan 3 (tiga) konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut yakni:

- Pemilikan atas laut; - Pemakaian laut; - Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan

perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut. 13

2. Pada tahun 1493 Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional

adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah

12 Ibid., h. 6. 13 Ibid., h.7.

barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudera Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik

Portugal, 14 yang dilakukan oleh Paus Alexander VI ditahun 1493 dengan piagam yang dinamakan Inter Caetera.

Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini yang mulai timbul sejak jatuhnya Constantinopel (sekarang Istanbul) ke

tangan Turki di tahun 1453. 15

3. Dalam perkembangannya terjadi “Battle of the Books” dimana para ahli hukum saling berargumen. Para ahli hukum berpendapat bahwa laut bebas (mare liberum) lawan laut tertutup (mare calusum)

a. Mare Liberum Azas kebebasan laut (Freedom of the Sea) pertama kali

dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberum yang terbit ditahun 1609. Buku ini yang beranak judul (subtitle) “on the right of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk

14 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 4.

15 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h.8.

berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol untuk mengarungi lautan.

Dalam tahun yang sama (1609) raja James I dari Inggris telah mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di dekat pantai Inggris.

Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya di tujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “pertempuran buku-buku” (battle of the books) .

Pikiran Grotius tentang kebebasan berlayar yang mula-mula dibentangkan dalam buku “Mare Liberum” dikembangkannya kemudian dalam buku “De Iure Praedae” dan akhirnya dalam “De Iure Belli ac Paccis” yang meliputi tiga jilid.

Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal dan Spanyol melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian bahwa laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada yang memilikinya.

Sebagaimana diketahui sekarang buku “Mare Liberum” semula sebenarnya dimaksudkan sebagai bab ke-12 dari buku “De Jure Praedae” yang ditulis untuk menyerang politik Portugal dan Spanyol yang merampas kapal-kapal bangsa lain yang melayari laut dan samudera yang mereka anggap hanya boleh dilayari kapal-kapal mereka. Keputusan untuk menerbitkan bab ini sebagai suatu buku tersendiri didorong oleh keinginan dan harapan untuk meyakinkan pihak Spanyol dengan alasan-alasan yang termuat didalamnya.

Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal kebebasan untuk menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut

yang tak ada batasnya. 16

b. Mare Clausum Ajaran Grotius mengenai “Mare Liberum” sebagaimana

disebutkan di atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya. Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough, Paulo Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius mencegah kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori

16 Ibid., h. 12-14.

“Mare Liberium” hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.

Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John Sheldon. Penentangnya ini mengemukakan dalam bukunya “Mare Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut itu bukan “Mare Liberium” tetapi “Mare Clausum”. Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena

sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki. 17

Selden kembali mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang mengemukakan bahwa: Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut mencakup didalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga wewenang untuk melarang melakukan perikanan dan pelayaran tidak lagi dikaitkan dengan pemilikan (dominium) atas laut. Dengan demikian dihindarkannya persoalan dapat atau tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi

yang merupakan salah satu titik kelemahan dalam argumentasi Grotius. 18

17 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 6.

18 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 19.

Kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya “Mare Liberum” seorang ahli hukum terkemuka bangsa Belanda lainnya Cornelis van Bynkershoek menulis sebuah buku berjudul “De Dominio Maris Dissertatio ”. Dalam tulisan ini ia menolak dalil John Selden, yang mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur yang berbeda di bawah kedaulatan negara pantai dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu besar. Untuk ini ia mengemukakan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi : “Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis” (kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah (territori) daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian

dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “perang buku” antara doktrin 19 “Mare Liberum” dan “Mare Clausum”.

4. Jarak tembakan meriam dan asal-usul kaidah lebar laut territorial 3 (tiga) mil

Sudah menjadi anggapan umum bahwa kaidah lebar laut tiga mil yang pernah dianggap sebagai suatu ukuran lebar laut territorial yang berlaku umum berasal dari kaidah tembakan meriam. Akan tetapi penelitian

19 Ibid., h. 20.

yang diadakan beberapa waktu yang lalu telah mengemukakan beberapa fakta yang membantah anggapan tadi. 20

Untuk lebih jelasnya baik apabila kita teliti sejarah penetapan lebar laut teritorial ini setelah konsepsi laut wilayah ini lahir dengan membagi dua laut dalam dua bagian yakni laut wilayah (territorial) yang berada di bawah kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang berstatus bebas.

Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata, dan (3) ukuran "marine league". Baru jauh kemudian muncul ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum.

Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula dari kaidah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut. Karenanya menarik kiranya kita ikuti sejarah perkembangan ukuran tembakan meriam ini dan hubungannya dengan kaidah lebar laut tiga mil.

Dalam praktek antara negara ukuran tembakan meriam ini untuk pertama kalinya disebut dalam sengketa antara Negeri Belanda dan Inggris dalam nota wakil inggris, Gerbier di Brussel kepada Rajanya yang menulis

20 Ibid.

antara bahwa "............ orang Belanda tidak dapat mengakui Paduka Yang Mulia memiliki kekuasaan di laut yang melampaui jarak tembakan

meriam". 21 Dalil Bynkershoek yang dikemukakan seratus tahun setelah kejadian

di atas lekas sekali menjadi suatu teori yang diterima secara umum oleh ahli-ahli hukum internasional antara lain Surland, Moser dan Vattel. Lebih menarik lagi adalah usaha-usaha yang mencoba untuk menggambarkan dalil tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit, yang pertama kali dilakukan oleh Galiani, seorang penulis Italia yang dalam bukunya "Dei doveri dei principii neutrali verso i principii guerregianti, e diquesto verso i netrali” (Naples, 1782), menghubungkannya secara khusus dengan suatu

jalur netralitas yang lebarnya tiga mil. Lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan dalil tembakan meriam dengan kaidah 3 mil adalah penulis Italia Domenico Anzuni yang mengemukakan pendapatnya itu dalam buku berjudul “Sistema universale dei principii del dirrito marittimo dell’ Europa”, yang diterjemahkan dalam bahasa Perancis dan kemudian bahasa Inggris. 22

Disamakannya dalil tembakan meriam Bynkershoek dengan ukuran

3 mil laut yang dipelopori oleh Galiani dan Anzuni dalam abad ke-18, ini ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar atas pemikiran dan penulisan selanjutnya di bidang ini. Walaupun pada mulanya dalil tembakan meriam dan kaidah tiga mil lebar laut teritorial disebut sebagai dua alternatif yang identik (sama benar) dan dapat dipertukarkan satu sama lainnya,

21 Ibid., h. 21. 22 Ibid., h. 22.

diantara penulis-penulis hukum internasional kemudian timbul kecenderungan untuk menyebutnya secara terpisah.

Menurut penelitian yang diadakan oleh Riesenfeld mengenai pendapat dan tulisan-tulisan sarjana hukum internasional tentang batas lebar laut teritorial dalam abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar menganut pendirian bahwa ukuran tembakan meriam atau 3 mil merupakan ukuran lebar laut teritorial yang berlaku umum. Tetapi, ditambahkannya bahwa sebagian besar daripada penulis ini hanya mengutip dan mengulang penulis- penulis lain sebelumnya tanpa penelitian sendiri sehingga arti daripada pendapat yang menyamakan dalil tembakan meriam dengan kaidah tiga mil

karenanya sangat berkurang.

A.2.3. Zaman Modern

Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut internasional pada masa ini lebih banyak melibatkan negara-negara di dunia melalui konferensi sebagai pemikir dan pembuat aturan-aturan dalam perumusan hukum laut.

1. Den Haag Convention 1930 Di dalam tahun 1930 Liga Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi kodifikasi Hukum Internasional yang meliputi 3 masalah yakni:

1. Kewarganegaraan (Nationality);

2. Perairan Territorial (Territorial Waters);

3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing (Responsibility of State).

Patut disimak bahwa persoalan laut territorial ini dibicarakan dan dibahas di dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial. Konferensi ini didahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun 1929 yang menyusun dasar perbincangan (bases of discussion) dari konferensi. Sebelum Konferensi Den Haag diadakan, Panitia Persiapan ini menyusun rancangan pasal-pasal perihal laut teritorial dan jalur tambahan. Dasar perbincangan konferensi itu antara lain menyebutkan bahwa suatu negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut

teritorial. 23

Konferensi kodifikasi yang diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa ini di dalam sejarah hukum internasional dapat dianggap sebagai usaha lanjutan atas usaha kodifikasi hukum internasional dari masyarakat bangsa-bangsa yang untuk pertama kalinya diadakan tahun 1899 pada waktu diadakannya konferensi perdamaian di kota yang sama.

Dalam tahun 1899 hingga 1901 diselenggarakan Konferensi- Konferensi Perdamaian di Den Haag yang merupakan usaha pertama dari masyarakat bangsa-bangsa untuk melakukan perumusan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara negara dalam bentuk tertulis. Konferensi-Konferensi Perdamaian Den Haag ini kemudian disusun dengan

23 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 7.

Konferensi Kodifikasi tahun 1907 menghasilkan Konvensi-Konvensi tentang Perang dan Netralitas. 24

Liga Bangsa-Bangsa setelah berakhirnya Perang Dunia I dengan melanjutkan usaha ini menunjukkan optimisme dan kepercayaan anggota- anggota akan kemampuan badan ini untuk paling tidak mengusahakan terpeliharanya perdamaian melalui kodifikasi atas ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku dipilihnya hukum mengenai Laut Teritorial sebagai salah satu masalah hukum yang perlu dikodifikasikan menggambarkan keinginan masyarakat bangsa-bangsa waktu itu untuk memperoleh ketegasan dalam suatu bidang hukum yang telah berkembang sejak beberapa abad.

2. Truman Proclamation 28 September 1945 Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman telah mengeluarkan suatu proklamasi yang di dalam paragrap-

paragrap pokoknya menyatakan sebagai berikut: 25 Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United

States of America, do hereby proclaim the following policy of United States of America with respect to the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the Government of the United States regards the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coasts of the United States are appertaining to the United States, subject to its jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extends to the shores of another State, or is shared with an adjacent State, the boundary shall be determined

24 Mochtar Kusumaatmadja

25 , “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.

Proclamation No. 2667, “Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of

the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”, 28 Sept. 1945, 10 Fed. Reg. 12,305 (1945); 3 CFR, 1943-1948 Compt., p.67.

by the United States and the State concerned in accordance with equitable principles. The character as high seas of the waters above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are in no way thus affected.

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas pengertian yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi

“continental shelf” atau dataran kontinen. Tindakan Presiden Amerika Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan

tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi.

Di dalam pertimbangannya proklamasi Truman tersebut di atas antara lain menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya. Tindakan ini perlu diadakan demi eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah (subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang telah tercapai sudah dapat di eksploitasikan. Sebagai alasan atas tindakan Pemerintah Amerika Serikat untuk mengamankan cadangan kekayaan alam yang terdapat pada dasar dataran kontinen dan tanah dibawahnya dikemukakan bahwa sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah atas wilayah daratan dan bagaimana pun juga usaha-usaha untuk mengolah kekayaan alam yang terdapat di dalamnya memerlukan kerja Di dalam pertimbangannya proklamasi Truman tersebut di atas antara lain menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya. Tindakan ini perlu diadakan demi eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah (subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang telah tercapai sudah dapat di eksploitasikan. Sebagai alasan atas tindakan Pemerintah Amerika Serikat untuk mengamankan cadangan kekayaan alam yang terdapat pada dasar dataran kontinen dan tanah dibawahnya dikemukakan bahwa sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah atas wilayah daratan dan bagaimana pun juga usaha-usaha untuk mengolah kekayaan alam yang terdapat di dalamnya memerlukan kerja

berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan. 26

Tindakan Pemerintah Amerika Serikat ini didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari dataran kontinen di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan minyak bumi yang sangat berharga. Tindakan

ini memungkinkan untuk mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut (sub marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang di tutup oleh air yang dalamnya tidak lebih dari 100 fathom.

Kesimpulan ini didasarkan atas pengamatan dan penelitian atas struktur-struktur geologi yang terdapat dalam teluk Texas. Juga indikasi yang sama terdapat di dalam struktur-struktur yang terdapat dalam teluk Mexico. Pemerintah sekali lagi menekankan bahwa diumumkannya penguasaan Amerika Serikat atas kekayaan mineral yang terdapat di dalam dataran kontinen tidak sekali-kali bermaksud untuk mengurangi hak kebebasan berlayar atas, atau melalui perairan yang terdapat di atas "continental shelf” (dataran kontinen) yang tetap meliputi statusnya sebagai laut lepas. Proklamasi ini juga tidak bermaksud untuk memperluas batas- batas laut teritorial Amerika Serikat.

26 Ibid.

Dari bunyi teks proklamasi Truman yang dikutip di atas dan penjelasan-penjelasan yang menyertainya kiranya jelas bahwa tindakan Pemerintah Amerika Serikat ini bertujuan mengamankan atau mencadangkan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai tidak bermaksud mengganggu pelayaran bebas yang terdapat dalam laut lepas. Dengan demikian proklamasi Truman secara sekaligus memperluas wewenang Amerika Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan dengan pantainya termasuk tanah yang ada di bawahnya sambil tetap mempertahankan kebebasan berlayar yang juga menjadi kepentingan Amerika Serikat dalam perairan di atasnya dengan menegaskan bahwa kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.

3. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 (UNCLOS I) Dari tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958 di kota Jenewa,

Switzerland telah diselenggarakan suatu konferensi internasional tentang hukum laut yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 86 negara. Daftar negara peserta memperlihatkan perubahan yang telah terjadi dalam keanggotaan masyarakat bangsa dengan telah masuknya negara-negara yang memperoleh

kemerdekaannya setelah akhir Perang Dunia ke-II. 27

Kenyataan dan faktor bertambah pentingnya laut sebagai sumber kekayaan alam dan kemajuan teknologi memungkinkan penggaliannya yang telah dijelaskan dalam tulisan diatas, menjadikan Konferensi Hukum Laut

27 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 109.

yang diadakan di Jenewa pada tahun 1958 ini suatu kejadian yang penting dalam perkembangan hukum laut masa kini.

Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 diadakan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957. Paragraf operatif (operative paragraph) yang mengandung pokok isi

resolusi berbunyi sebagai berikut: 28

"The General Assembly, (2) Decides ...... that an international conference of

plenipotentiaries should be convoked to examine the law of the sea, taking account not only of the legal but also of the technical, biological, economic and political aspects of the problem, and to embody the results of its work in one or more international conventions or such other instrument as it may deem appropriate."

Resolusi di atas yang merupakan dasar bekerja bagi konferensi dan menetapkan batas-batas tugas konferensi dengan tegas menetapkan bahwa konferensi harus membahas hukum laut tidak hanya dari sudut hukum, melainkan harus pula mempertimbangkan aspek-aspek teknis, biologis, ekonomis, dan politik atas masalah ini.

Untuk memahami persoalan sedalam-dalamnya perlu dijelaskan arti dari aspek-aspek non-yuridis yang telah ditegaskan dalam resolusi di atas dan pengaruhnya atas pertumbuhan hukum laut. Selanjutnya akan ditinjau dengan cara bagaimana aspek-aspek non-yuridis ini dapat turut dipertimbangkan di dalam membahas masalah hukum laut.

28 UN General Assembly, Official Records, 11th session, plenary meeting 658th, February 21, 1957. Res. 1105 (XI), p. 54.

Pembahasan atas persoalan-persoalan atau pertanyaan pre-liminer ini perlu, karena akhirnya penilaian tentang berhasil atau tidaknya Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dalam menunaikan tugasnya harus kita lakukan menurut batas-batas tugas (terms of reference) yang telah diberikan.

Hasil Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 menghasilkan 4 (empat) Konvensi antara lain: 29

a. Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone (Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);

b. Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas);

c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas);

d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas Kontinen).

4. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1960 (UNCLOS II) Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam

klaim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan selebar 12 mil. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960. Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil (Kanada), enam mil laut teritorial dikombinasikan dengan dua belas mil

29 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 128.

zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan

Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas. 30 Dengan demikian jelas, diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas

masalah laut teritorial dan masalah perikanan.

5. United Nations Seabed Committe 18 Desember 1967 (Komisi PBB mengenai Seabed)

Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2750 (XXV) tertanggal 17 Desember 1970. Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah diberikan kepada The Committe of the Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the Limits of national jurisdiction yang lebih dikenal dengan nama aslinya UN Seabed Committe yang lahir sebagai hasil atas inisiatif Malta pada tahun 1967. UN Seabed Committe ditetapkan menjadi Panitia Persiapan bagi suatu Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun 1973. Konferensi ini ditugaskan untuk membahas:

a. Pengaturan hukum (regime) yang mengatur: “the area and the resources of the seabed and ocean floor and the subsoil beyond

the limits of national jurisdiction, ...”;

b. Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (high seas);

c. Landas Kontinen (continental shelf);

30 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 5.

d. Territorial Sea, termasuk masalah lebar laut teritorial dan masalah selat internasional;

e. Perikanan dan perlindungan sumber daya hayati di laut lepas;

f. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk pencegahan pencemaran); dan

g. 31 Penelitian ilmiah kelautan.

6. United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10 Desember 1982, Montego Bay, Jamaica.

Konvensi Hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka untuk penandatanganan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi Lautan (Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi ini antara lain terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga mengatur tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk

31 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,

h. 11.

menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari konvensi ini.

Pada tahun 1967 Majelis Umum membicarakan konsep Common Heritage of Mankind (warisan umum kemanusiaan) dalam kaitan dengan pemeliharaan dasar laut secara eksklusif untuk perdamaian, di mana sebelumnya konsep warisan umum kemanusiaan ini belum pernah dibicarakan dalam forum internasional. Pekerjaan dari Konferensi Ketiga PBB tidaklah didasarkan kepada rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan oleh International Law Commission seperti halnya dalam Konferensi Geneva tahun 1958, tetapi kesimpulan-kesimpulan didasarkan atas dasar rasional yang merupakan paket dari konsep tersebut.

Majelis Umum kemudian membentuk Komite Ad Hoc untuk mempelajari Peaceful Uses of the Sea-bed and Ocean Floor di luar batas- batas yurisdiksi nasional, yang diberi nama Sea-Bed Committee untuk

menentukan ide dan konsep baru mengenai hal tersebut. 32 Sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain,

Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLC) , dan International Sea-bed Authority (ISBA) . Di samping itu, juga telah dicapai beberapa perjanjian tambahan yang merupakan aturan pelaksanaan dari konvensi, yaitu Agreement relating to the Implementation of Part XI of the Convention tahun 1994.

32 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 7.

Ada pun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan progresif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif, pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut tertutup atau separuh tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk pencegahan pencemaran), penelitian ilmiah dan alih teknologi

kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan. 33

Kemudian ternyata bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 yang berhasil mengkodifikasikan perkembangan di atas tidak dapat menyelesaikan masalah perikanan tangkap. Ketentuan Pasal 63 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 1 Konvensi ini sudah tidak efektif dalam mengatur masalah konservasi dan pengelolan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh.

Demikian pula, ketentuan-ketentuan dalam Bab VII Konvensi tidak efektif dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas dan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang terkait dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas. Ketidakefektifan kedua ketentuan tersebut menimbulkan kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing yang memerlukan perhatian, baik dari masyarakat nasional maupun masyarakat internasional. Kegiatan IUU fishing ini merupakan kegiatan penangkapan ikan tidak bertanggung jawab

33 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 13.

yang mengakibatkan persediaan sumber-sumber daya ikan yang terus mengalami penurunan drastis.

Konvensi Hukum Laut 1982 juga tidak memberikan pengertian genuine link secara jelas yang menimbulkan banyak interpretasi dan mendorong maraknya praktik bisnis penggunaan flags of convenience (bendera pura-pura). Keadaan-keadaan yang disebutkan di atas mendorong disusunnya the Agreement to Promote with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (the 1993 FAO Compliance Agreement) dan Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Persetujuan PBB tentang Persediaan Ikan 1995).

Instrumen-instrumen hukum perikanan internasional penting lainnya yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (untuk selanjutnya akan disebut sebagai CCRF) (aturan perilaku tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab) dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (untuk selanjutnya akan disebut sebagai IPOA-IUU) (rencana aksi global untuk memberantas kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak diatur dan tidak Instrumen-instrumen hukum perikanan internasional penting lainnya yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (untuk selanjutnya akan disebut sebagai CCRF) (aturan perilaku tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab) dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (untuk selanjutnya akan disebut sebagai IPOA-IUU) (rencana aksi global untuk memberantas kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak diatur dan tidak

internasional lainnya tidak akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan tindakan Indonesia di bidang ini. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Indonesia di bidang ini merupakan implementasi dari ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi ini melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.

A.3. Sumber-Sumber Hukum Laut Internasional

Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan, semenjak itu pulalah para ahli hukum mulai mencurahkan perhatiannya pada hukum laut. Sebagai suatu bentuk dari hukum laut yang paling dini pada abad ke-12 telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan yang dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah “Lex Rhodia” atau Hukum Laut Rhodia mulai dikenal sejak abad ketujuh.

Kemudian suatu koleksi hukum maritim, yang mungkin merupakan koleksi yang paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim, kapten- kapten kapal dan pedagang-pedagang ternama, diterbitkan pada tahun 1494, yang dinamakan Consolato del Mare (Konsulat dari Lautan).

Himpunan Rolles d'Oleron di dalam bahasa Perancis kuno, merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik. Sea Code of Wisby merupakan himpunan hukum laut penting yang diterapkan di Eropa Utara. Bagian pertamanya merupakan terjemahan ke dalam bahasa Flam dari 24

34 Ibid., h. 14.

Bab (Rolles d'Oleron), sedangkan bagian keduanya “Ordonancie” kelihatannya disusun di Amsterdam tahun 1407. 35

Kemudian pada abad ke-16 dan abad ke-17 keinginan untuk menguasai lautan merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara maritim di Eropa. Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan Perjanjian Tordesillas tahun 1494, memperoleh tantangan baik dari Inggris yang di bawah Elizabeth I menghendaki kebebasan di laut dan tantangan dari Belanda, yang tercermin dalam karangan Grotius tahun 1609 yang berjudul “mare liberum”. Pada abad ke-17 Raja James I dari Inggris memproklamirkan bahwa penangkapan ikan dipantai negara-negara di bawah kekuasaannya hanya diperkenankan dengan memakai izin. Hal ini berarti bahwa nelayan-nelayan Belanda harus membayar semacam royalty di perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa kepada perdebatan yuridis yang sengit antara yurist Belanda Grotius yang mempertahankan mare liberum dengan pembelaan Selden dari Inggris yang bergejolak dalam bukunya mare clausum. Masing-masing antara Belanda dan Inggris sama-sama tidak menghendaki monopoli Spanyol dan Portugis atas lautan.

Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakkan konsep-konsep dasar tentang hukum laut, biasanya membagi teori-teori tentang lautan secara legalistik dalam empat bagian, yaitu (1) perairan pedalaman, (2) laut teritorial, (3) zona tambahan, (4) laut lepas. Terlihat dalam perkembangan yang cepat dari hukum laut internasional dengan diperkenalkannya

35 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 1.

pengaturan tentang “landas kontinen” dalam UNCLOS I dan regim baru “Zona Ekonomi Eksklusif”, “Negara Kepulauan”, “Kawasan Dasar Laut Internasional” dan lain-lain. Adapun konferensi internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah Codification Conference pada tahun 1930 di Den Haag, yang dilangsungkan di bawah naungan Liga Bangsa- Bangsa.

Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret sampai tanggal 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari 47 negara. Konferensi tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Peserta konferensi pendapatnya terbagi di dalam beberapa versi, di antaranya ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), ada pula yang menghendaki 6 mil laut teritorial (12 negara), serta negara-negara Nordic menghendaki laut teritorial selebar 4 mil. Konferensi Kodifikasi Den Haag tidak menghasilkan suatu konvensi, kecuali beberapa rancangan pasal- pasal yang disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag merupakan satu-satunya konferensi hukum laut yang dilangsungkan di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 3 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

1 3 47

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12