BAB III RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi:

BAB III RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA:

KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS 1

Pada bagian ini penulis akan memperkenalkan Fakfak sebagai konteks keberadaan Etnik Mbaham Matta secara ringkas dari segi geografi dan sejarah. Pengenalan geografis menunjuk kepada ruang kehidupan dan eksistensi etnik Mbaham Matta. Pengenalan sejarah terkait dengan kedatangan dan kehadiran para tamu, yakni kekuatan politik-ekonomi serta agama-agama dunia ke Fakfak. Pada bagian ini disampaikan pula pengenalan wilayah utama penelitian, yakni Distrik Teluk Patipi yang bermula dari Kampung Tetar dan Kampung Offie.

A. Konteks Geografis 2

Kabupaten Fakfak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat dengan luas 14.320 km2 terletak pada 131 0 0 0 30’ – 130 0 40’ BT dan 2 25’ – 4 00’ LS. Wilayah Fakfak bertopografi

gunung-gunung, lembah, dan pesisir. Karakterristik topografis ini ditunjukkan melalui elevasi (ketinggian dari permukaan laut) dataran dengan keluasan wilayah: 0 m – 10 m (58,1%); 101 m – 500 m (15,9%); 501 m – 1000 m (13,8%); dan lebih dari 1.001 m (12,2%).Kekhasan

1 Geografis dan Historis adalah dua istilah penting dalam teorisasi etnisitas yang Penulis elaborasi dari Giddens. Georgafi menunjuk kepada

ruang atau lingkungan fisik dan dinamika interaksi sosial mikro maupun makro. Historis menunjuk kepada aspek waktu (time), yakni rentangan dan bentangan sejarah perjalanan suatu komunitas. Pada bagian ini Penulis memamparkan data-data atau informasi yang relevan saja dalam alur narasi.

2 Data untuk bagian ini didasarkan pada Biro Pusat Statistik Kabupaten Fakfak, Kabuapten Fakfak Dalam Angka 2017.

88 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

topografis ini ditunjuk pula oleh luas wilayah Kabupaten Fakfak menurut Kelas Lereng/Kemiringan: 0 – 15 0 (1.434.636 Ha), 15

– 40 0 (57.5000 Ha), lebih dari 40 0 (2.054.600 Ha). Wilayah Kabupaten Fakfak didominasi oleh pegunungan

berbatu cadas dan bersungai-sungai pula. Inilah wilayah keberadaan dan domisili masyarakat etnik Mbaham Matta. Kampung-kampung membentang sepanjang pesisir pantai yang sempit dan terjal serta menyebar di lembah-lembah dan punggung-punggung pegunungan. Sampai dengan akhir 1990- an tingkat keterisolasian cukup tinggi dan hubungan antar wilayah masih sangat sulit hanya bisa melalui laut dan jalan kaki. Sejak 2000-an pembangunan jalan penghubung terus dibangun dan memudahkan hubungan serta transportasi antar pusat kabupaten dengan wilayah-wilayah distrik secara signifikan.

Penduduk Kabupaten 74.095 jiwa yang tersusun dari 60,76 persen penganut agama Islam; 18,87 persen penganut Protestan; dan 20,34 persen penganut agama Katolik serta sisanya penganut agama Hindu dan Budha. Dalam lingkungan keagamaan Islam terdapat beberapa organisasi utama yakni Nahdatul Ulama (sejak 1960 an) dan Muhamadiyah (1980 an)

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 89

serta lembaga-lembaga dakwah lainnya. Ridwan al-Makssary 3 menunjukkan bahwa di Tanah Papua telah hadir pula kelompok-kelompok Islam transnasional seperti Salafy/ Wahaby, Ikhwanul Muslimun, Jemaah tabligh, Hizbut Tahrir, dsb. Menurut al-Makassary sebagian kelompok ini menyokong panji Islamisme dalam bentuk idealisasi negara islam (khilafah) dan jalan martir untuk agama yang dalam tingakatan tertentu menghalakan jalan kekerasan dan yang menempuh jalan damai atau non kekeraras. Fenomena sedemikian telah tampak pula di kabupaten Fakfak sejak awal tahun 2000 sebagai produk kampanye penularan kerusuhan Maluku. Menurut Ketua MUI Fakfak sinyalemen ini ada benarnya tetapi terkait dengan pribadi-pribadi atau keompok kecil tertentu. Keadaan mana telah juga diindikasikan oleh Saidin Ernas dalam disertasinya bahwa gerakan-gerakan salafi ini melakukan kampanye melalui dakwah khobtah maupun

dakwah sosial. 4 Umat Kristen terhimpun dalam tiga organisasi gereja

utama, yakni Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua), Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (GKI TP) dan Gereja Katolik. Juga sejak tahun 1970-an telah hadir Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI), Gereja Adven Hari Ketujuh, Gereja Baptis, dan kelompok-kelompok Kharismatik.

Dari sisi persebaran domisili, 64,84 persen penduduk tinggal di wilayah perkotaan dan sekitarnya sedangkan 31,16 persen penduduk hidup di wilayah pedesaan/kampung. Ini menunjukkan dominasi masyarakat perkotaan yang tinggi di berbagai bidang kehidupan masyarakat dan daerah Fakfak.

3 Lihat: Ridwan al-Makassary, Dialog dan Radikalisme Agama di Tanah Papua (Jayapura: FKUB Papua, 2016). 4 Saidin Ernas. “Integrasi Sosial Masyarakat Papua: Studi tentang Dinamika Perdamaian pada Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat.” (Disertasi Doktor, Universitas Gajah Mada, 2014).

90 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Pekerjaan utama masyarakat lokal di kampung- kampung adalah petani dan nelayan. Tanaman Pala (Myristica argantea) 5 dominan membentuk perkebunan. Setiap rumah tangga secara turun temurun menanam dan mengusahakan. Pala sebagai mata pencaharian dan sumber ekonomi utama. Mereka dengan bangga mengatakan bahwa Pala adalah

‘tanaman rumah’ yang telah menjadi bagian penting dari sejarah keberadaan mereka. 6 Dalam survey pemetaan

kemiskinan Kabupaten Fakfak yang dilakukan pada tahun 2015 7 ditetapkan garis kemiskinan sebesar Rp. 465.565,- per- kapita. Berdasarkan tetapan garis kemiskinan ini jumlah rumah tangga miskin Kabupaten Fakfak pada tahun 2015 sebanyak 13.579 rumah tangga atau 28,7 persen dari total penduduk Kabupaten Fakfak. Prosentase ini tidak bisa menutup kenyataan bahwa kemisikinan masih menjadi fenomena aktual di kampung-kampung. Kondisi faktual ini jelas bila kita perhatikan data Distribusi Tingkat Kesejahteraan menurut Distrik di Kabupaten Fakfak Tahun 2015. Data ini menunjukkan bahwa 80 persen Distrik penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dengan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di atas rata-rata prosentase rumah tangga miskin Kabupaten Fakfak. Tetapi disimpulkan oleh Tim bahwa kemiskinan di Kabupaten Fakfak ini bukanlah merupakan kondisi ketidakberdayaan penduduk memenuhi kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang dan papan. Kemiskinan ini disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan sekunder, yaitu pendidikan, kesehatan,

5 Pala Fakfak memiliki karakter yang berbeda dari Pala Banda (Myristica Fragrance). Fakfak dikenal sebagai Kota Pala. 6 Penanaman, pemeliharaan, dan panen Pala diawali dengan ritus adat khusus Meri Totora (Putri Pala). Ritus ini berinti pada permohonan agar tanaman Pala diberkati, dilindungi dan diberi kesuburan.

7 Lihat: “Ringakasan Eksekutif Pemetaan Kemiskinan di Kabupaten Fakfak Tahun 2015”, yang dilaksanakan dan disusun oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Fakfak Provinsi Papua

Barat.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 91

dan sosial. Kondisi dipengaruhi oleh rendahnya aksesibiltas atau ketersediaan sarana dan prasaranan transportasi. Tim juga mengatakan bahwa kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh faktor budaya yang terkait besaran jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga dan biaya ekonomi tinggi untuk menanggung kegiatan-kegiatan kekerabatan, seperti peminangan dan pesta perkawinan.

Peta Wilayah Adat Domberai

Sejak awal penduduk Fakfak sangat beragam asal-usul suku-bangsa dan agama. Keragaman initelah menjadi bagian dari dinamika kehidupan masyarakat lokal (indigenous people) yang memperkenalkan eksisnsi sebagai etnik Mbaham Matta. Bila dihitung dengan menggunakan data jumlah penduduk beberapa distrik (kecamatan) yang dipandang sebagai penuh berpenduduk etnik atau suku lokalbisa kita simpulkan bahwa etnik Mbaham Matta mencapai porsi 34,48 persen dari total jumlah penduduk Kabupaten Fakfak. Di tengah kentalnya pengaruh sosial-budaya-politik-religi masyarakat pendatang etnik lokal Fakfak tetap survive. Sebutan Mbaham Matta sesungguhnya adalah sebuah istilah atau konsep payung yang merangkum sembilan suku asli (lokal) yang mendiami

92 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Kabupaten Fakfak secara turun-temurun. Kesembilan suku asli Fakfak adalah Mbaham, Iha, Onim, Karas, Buruai, Bedoana, Sekar, Maninggo dan Kembarano. Menurut Peta Suku bangsa di

Tanah Papua 8 kesembilan suku ini bersama dengan delapan suku di Kabupaten Kaimana dikelompokkan dalam Wilayah Adat Domberay.

Pada tahun 1990-an timbul suatu kesadaran baru di antara sembilan suku lokal Fakfak yang mendorong penyebutan kolektivitas mereka dengan sebutan khas Mbaham Matta. Sebutan ini merupakan istilah kolektif yang memayungi suku-suku asli Fakfak ini. Kemunculan istilah pemayung ini berlatarbelakangkan beberapa bentuk fenomena reaktif politik yang menggangu ketentraman hidup persaudaraan mereka. Keberadaan suku-suku ini dapat dibedakan dari penggunaan bahasa lokal mereka masing- masing.

Identifikasi diri sebagai aliansi lintas etnik Mbaham Matta tersebut menegaskan bahwa mereka berasal-usul satu atau bersama dan hidup dalam interaksi kekerabatan yang

kental, yang tidak bisa diganggu. 9 Pusat identifikasi aliansi atau federasi ini adalah gunung Mbaham yang dituturkan

8 Lihat: Peta Suku Bangsa Di Tanah Papua, yang disusun oleh D. Rumbewas, Masmur Asso, et.al. (Jayapura, Papua, Indonesia: Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Papua, 2009). Di Tanah Papua terdapat sekitar 248 suku yang dikelompokan dalam tujuh wilayah adat, yaitu Mamta (87 suku), Sairei (31 suku), Bomberai (19 suku), Domberai (52 suku), Ha- Anim (29 suku), La-Pago (19 suku) dan Mi-Pago (11 suku).

9 Penulis teringat pada pernyataan tegas pimpinan gereja kami padamasa merebaknya kerusuhan model Maluku tahun 2000 di Fakfak:

“kerusuhan ini tidak akan terjadi di Fakfak selama yang beragama Islam, Protestan, dan Katolik masih berambut keriting.” Beliau menegaskan bahwa

orang asli Fakfak (Mbaham Matta) tidak akan pernah terlibat dalam kerusuhan bernuansa agama ini. Bagi mereka justru yang memprovokasi dan menginisiasi kerusuhan itu adalah kaum pendatang!! Oleh karena itu saat beliau mengikuti rapat rekonsiliasi, dengan tegas pula dinyatakannya bahwa “bila sampai terjadi kerusuhan di Fakfak maka kaum pendatang akan diusir keluar. Individu atau kelompok suku mana yang mengacau maka seluruh suku itu harus keluar dari Fakfak.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 93

sebagai daerah asal-usul para leluhur mereka. Melalui sejarah perpindahan dan persebaran mereka mencapai wilayah pesisir, di mana terjadi perjumpaan dengan para pedatang dari luar baik dalam konteks perdagangan, politik, agama dan budaya. Wilayah pesisir ini yang disebut sebagai Matta. Pemahaman diri aliansi ini menunjuk lebih dalam lagi kepada karaktersosial-kultural suku-suku lokal Fakfak, yakni keramahan dan keterbukaan serta inklusifisibilitas. Karakter dasar ini mewarnai dan mengerakkan kehidupan sehari-hari mereka: orang atau pihak lain yang datang di sambut dan dirangkul ke dalam kehidupan sosial-kultural- religi mereka.

B. Konteks Historis

Sejarah perjumpaan etnik Mbaham Matta dengan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Perjumpaan etnik Mbaham Matta dengan ketiga agama telah berlangsung sejak

abad XVI SM 10 mengikuti dinamika pergeseran politik dan perdagangan Kesulatanan Tidore dengan Belanda. Islam

10 Rujukan awal bagi paparan sejarah perjumpaan ini, antara lain, adalah Holger Warnk, “The Coming of Islam and Moluccan-Malay Culture to the New Guinea ca.1500- 1920” Indonesia and Malay World Vol.38, No.110 March 2010, pp.109-134; Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern

Indonesia in The Early Period (Honolulu: University of Hawai Press, 1993); J. Van Baal, K.W.Galis, R.M. Koentjaraningrat, West Irian: A Bibliography (Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA: Fori Publications, 1984); Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku – Papua Sekitar 1780-1810 (Depok: Komunitas Bambu, 2013); Rosmaida Sinaga. Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962 (Jakarta: Kounitas Bambu,2013); Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 2011); Dessy Pola Usmany, Siberia, dan Rosmaida Sinaga, Kerajaan Fatagar Dalam Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Fakfak Papua Barat (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaab, 2014); J. F. Onim,

“Islam & Kristen Di Tanah Papua: Meniti Jalan Bersama Hubungan Islam- Kristen Dalam Sejarah Penyebaran dan Perjumpaannya di Wilayah Semenanjung Onon Fakfak” [Tesis, STT Jakarta, 2003]. Namun eksistensi daerah Fakfak sendiri telah terendus jauh dalam lingkup sejarah Majapahit.

Ini ditandai dengan adanya nama Wwanin dalam buku Nagaraktagama. Kata Wwanin menunjuk kepada Semenanjung Onin (Fakfak) yang terdaftar sebagai salah satu wilayah dalam kekuasaan Majapahit.

94 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

masuk ke Tanah Papua mengikuti dua jalur perdagangan, yakni Maluku Utara dan Maluku Tengah. Jalur pertama melibatkan Kepulauan Raja Ampat Pantai Utara Semenanjung Kepala Burung, Teluk Cenderawasih dan Pulau Biak dalam relasi politik dan perdagangan dengan Kesultanan Tidore. Jalur kedua melibatkan wilayah pantai selatan Kepala Burung, yakni Teluk MacCluer dan Semenajung Bomberai, yakni Fakfak, Onin dan Teluk Arguni yang memiliki relasi-relasi

perdagangan dan kultural dengan “the central Moluccan chifdoms, domains and states, predominantly the Ceram Laut (Geser) Islands and the Gorom Islands .” Kedua jalur relasi ini

membentuk simpul perjumpaan penting di wilayah pesisir selatan Kepala Burung. Produk-produk yang diekspor dari Papua adalah kulit kayu masohi, pala hutan, bulu burung cenderawasih, sagu, batok penyu, ambar dan hasil-hasil hutan- laut lainnya. Di samping itu dalam kerangka penguatan ekonomi dan politik Kesultanan Tidore dan Belanda kegiatan

penting dalam rangka “ekspor upeti” dari Tanah Papua adalah perburuan dan perdagangan budak yang berlangsung sejak

abad XVII-XIX. 11 VOC memperkuat cengkeraman kekuasaan politik dan

ekonominya atas Tidore melalui berbagai perjanjian pada tahun 1660 dan 1667. Rosmadia Sinaga menjelaskan strategi VOC itu demikian:

Perjanjian tahun 1660 mengatur hak monopoli perdagangan dan hak Tidore atas penduduk dan wilayah Papua dan semua pulau di sekitarnya. Perjanjian ini kemudian dituangkan dalam kontrak pada 1667. VOC mulai menempatkan semua orang Papua di bawah kekuasaan Tidore tanpa perlu mengeluarkan biaya. Pengakuan itu membuat negara-negara Eropa lainnya tidak ke NNG [Nederlands Nieuw Guinea] dan mendirikan pangkalan untuk bersaing dalam

11 Ketika Sultan Saifudin memutuskan untuk menolak Spanyol dan menerima kekuasaan Belanda.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 95

perdagangan rempah-rempah.itu Belanda merasa cukup menanamkan pengaruhnya atas NNG melalui Sultan Tidore, karena wilayah NNG dianggap tidak dapat memberikan

keuntungan komersil bagi Belanda. 12

Dalam perjanjian khusus tahun 1677 Tidore dipaksa menerima VOC sebagai protectornya. Perjanjian ini merupakan pengambilalihan kekuasaan perdagangan rempah-rempah di Maluku Utara oleh pihak Belanda. Perjanjian ini berisi taktik politik dagang monopoli Belanda yang dikenal sebagai the spice eradication policy (kebijakan pemberantasan rempah- rempah). Sebagai protector, Belanda mengambil berbagai keuntungan ekonomi dan politik. Kesultanan Tidore memikul kewajiban membayar upeti khusus kepada Belanda dalam bentuk uang, budak, dan rempah-rempah. Kesultanan Tidore bertanggungjawab atas keamanan jalur-jalur-jalur pelayaran dan perdagangan terkait dengan acaman dan serangan perompak (bajak laut) yang dilakukan oleh penguasa- penguasa asli Papua. Dengan itu, Kesulatanan Tidore mendapatkan hak eksklusif perdagangan dengan wilayah- wilayah di Tanah Papua. Untuk menanggulangi kehilangan pendapatan dari rempah-rempah, yang telah dimonopoli oleh VOC, Kesultanan Tidore memperluas dan memperbesar

perdagangan ‘upeti’ atas wilayah-wilayah Kepulauan Raja Ampat dan pesisir Tanah Papua, yang sebelumnya tidak

dipandang penting. 13

Pencarian keuntungan ekonomi inilah yang mendorong Kesultanan Tidore menanam kekuasaan dan memperluas sosok kehadiran politiknya di Tanah Papua. Klem otoritas atas wilayah-wilayah pesisir di Tanah Papua ini

12 Usmany, et.al., Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962, 3. 13 Andaya, The World of Maluku, 99-ff. menjelaskan bahwa sebelum

perjanjian dengan Belanda, Kesultanan Tidore masih memperlakukan wilayah-wilayah di Halmahera sampai Raja Ampat sebagai wilayah pinggiran. Tetapi kondisi telah berubah, sejak 1677 itu, wilayah-wilayah ini merupakan the true breadbaskets of Tidore Kings.

96 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dilakukan oleh Kesultanan Tidore, yang bertindak sebagai pemegang suzerainty, melalui politik pemberian atau penganugerahan gelar-gelar istana seperti raja (king/vassal), sengaji (district chief), orang kaya (nobleman), jugugu

(minister) dan korano/kolano (ruler). 14 Andaya menginfor- masikan bahwa penganugerahan gelar-gelar tersebut dilakukan melalui sebuah proses dan ritual khusus. Ritual ini

menunjukkan bahwa “the acquisition of spiritual powers, either through association with sultan or through the taking of heads,

for the well-being of the community. 15 ” Praktik ritual politik ini disemangati oleh keyakinan pada pengalihan “the sacred

power of the Tidore ruler ” yang membawa perlindungan atas para penerimanya. Gelar-gelar ini diwariskan kepada keturunan selanjutnya.

Di Semenanjung Onin (Fakfak) pada mulanya telah berdiri tiga kerajaan tradisional, yakni Rumbati, Fatagar, dan Ati-ati. 16 Kemudian muncul kerajaan-kerajaan lain: Patipi, Sekar, Wertuar dan Arguni. Pemberian gelar-gelar oleh Sultan Tidore sebagai bagian dari strategi Sultan menjalin dan membangun relasi dagang dengan orang-orang yang dipandang menonjol di wilayah tersebut. Sebagai penerima gelar raja, para raja di Semenajung Onin hanyalah agen dagang dan aparat pemungut pajak Kesultanan Tidore. Jadi para raja berperan sebagai makelar dagang antara penduduk setempat

14 Setelah Belanda mengambil kekuasaan atas wilayah Papua dari Tidore, mereka memanfaatkan warisan model penanaman kekuasaan Tidore ini. Belanda menambahkan pemberian gelar-gelar seperti mayor, kapitan, dan kapitan laut. Belanda melakukan itu untuk menata pemerintahan lokal di Papua. Gelar-gelar ini masih digunakan sampai saat ini.

15 Andaya, The World of Maluku, 107 juga memberi catatan tentang fungsi gelar- gelar tersebut demikian “the adoption of foreign titles did not indicate a shift to a more centralized hierarchial structure, but rather a way of distingushing the major chiefs of a particular islands or the most important leaders within one community .”

16 Terkait kerajaan-kerajaan ini lihat, antara lain Usmany, et.al., Kerajaan Fatagar Dalam Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Fakfak Papua Barat.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 97

dan Kesultanan Tidore. Lokasi kedudukan para raja ini biasanya di muara-muara sungai untuk memudahkan pengawasan dan persinggahan. Sultan Tidore secara berkala mengirim utusan-utusan untuk mengingatkan para raja akan kewajiban pengumpulan upeti atau pajak. Karena masyarakat di Semenanjung Onin wajib membayar upeti kepada Sultan Tidore. Setiap tahun para raja mengantar upeti kepada Sultan. Upeti yang diserahkan kepada Sultan Tidore berupa burung cenderwasih, gong, meriam, budak, dan barang-barang berharga lainnya. Kesanggupan ini telah ditandai sejak awal bahwa pihak yang diberi gelar raja adalah mereka yang datang ke Tidore dan sanggup membayar upeti khusus kepada Sultan. Para raja ini diangkat dari kalangan bangsawan lokal.

Sebagian besar para raja ini adalah keturunan campuran buah perkawinan dengan perempuan dari Seram, Buton, atau yang berdarah campuran. Narasi-narasi lokal tentang pengangkatan raja ini sangat menarik, karena mereka bukan penduduk asli – paling tidak berdarah campuran. James J. Fox menjelaskan fenomena ini sebagai “installing the outsider

inside. 17 ” Fenomena ini terkait dengan narasi-narasi lokal dari berbagai kelompok masyarakat atau etnik yang berbahasa Austronesia di mana ketika menceritakan keberasalan masyarakat mereka akan disebutkan tentang kedatangan dan intervensi tokoh atau kelompok dari luar yang sangat menentukan. Fenomena ini merupakan inkorporasi pihak luar ke dalam sistim dan struktur sosial mereka. Proses ini berlangsung dalam sejarah perjumpaan masyarakat lokal dengan orang atau kelompok dari luar. Intervensi melibatkan kehadiran orang luar ini merubah struktur masyarakat dan memperkenalkan dimensi-dimensi politik dan keagamaan baru. Karakter inkorporatif masyarakat etnik Mbaham Matta

17 Lihat James J. Fox, “Installing The ‘Outsider’ Inside: The exploration of epistemic Austronesian cultural theme and its social significance” Indonesia and Malay World Vol. 36, No. 105 July 2008, pp.201-

98 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

ini sangat kental dalam sejarah sosial-budaya mereka sebagaimana yang menjadi fokus studi ini.

Narasi-narasi lokal tentang pengangkatan atau penunjukkan raja dari “orang luar” ini didasarkan pada kepentingan komunikasi dagang kelompok etnik setempat

yang masih sulit berbahasa melayu atau Belanda. Kelompok etnik lokal membutuhkan “juru bahasa” yang dapat menghubungkan mereka dengan pihak-pihak luar dalam perdagangan. Untuk itu mereka memilih “orang luar” yang memiliki kemampuan berbahasa dan komunikasi serta

berjejaring dagang. Dalam ungkapan metaforik, salah satu nara sumber menyampaikan demikian: “moyang kami telah serahkan pena kepada mereka, tetapi penutup pena tetap kami pegang.” Ungkapan ini hendak menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan atau pemangku-asli kekuasaan itu adalah kelompok

etnik lokal, yakni marga-marga utama (pendiri atau perintis kampung) dan hal ini harus selalu diingat oleh para raja. Memang dalam praktik pemerintahan hal ini tidak bisa dilupakan atau diabaikan oleh para raja dan keturunan. Dalam fase-fase tertentu, semisal rapat atau sidang untuk mengambil keputusan-keputusan akan terlihat komposisi pengampu kekuasaan asal, yakni marga-marga utama (ningrat atau kepala adat) lokal sangat berperan. Raja harus memangggil dan mendengar serta mempertimbangkan secara serius nasihat atau usul mereka. Dalam penetapan pengalihan gelar raja ini, peran para pemangku asli kekuasaan lokal sangat menentukan. Para pemangku-asli kekuasaan lokal ini mengingat secara rinci dan fasih menunturkan sejarah bagaimana sampai mereka pergi mencari dan mengangkat raja dalam lingkup masyarakat mereka.

Ketika Belanda mengambil alih kekuasaan atas Papua bagian barat sampai pertengahan abad ke-19 seluruh Raja di Fakfak telah diangkat dengan Surat Keputusan Pemerintah Belanda melalui Keresidenan setempat. Dalam hal ini

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 99

pemerintah kolonial Belanda hanya memanfaatkan lebih lanjut struktur politik-dagang yang sudah dibangun oleh Kesulatanan Tidore. Ketika Belanda mengambilalih penuh otoritas atas Papua, berakhir pula keuasaan Kesultanan Tidore atas wilayah Papua ini. Kini institusi kerajaan tersisa sebagai simbol sosial yang lebih bergerak dalam lingkup adat.

Relasi perdagangan dan politik dengan Tidore jelas membawa pengaruh sosial, budaya dan khususnya agama Islam di wilayah pesisir Tanah Papua. Para penerima gelar- gelar tersebut memiliki dan menjalani kontak-kontak utama dengan para pedagang dan pejabat muslim dari Tidore. Dalam kontak-kontak inilah mereka dipengaruhi dan menerima

Islam. 18 Proses Islamisasi atas penduduk pesisir asli Tanah Papua berlangsung dalam pola yang sama dengan di Maluku Utara sebagai fenomena masyarakat pesisir. Fokus penyebaran Islam lebih kepada lingkup para penguasa dan pemuka masyarakat. Dan sejarah penyebaran agama Islam terkait erat dengan penyatuan motivasi politik-ekonomi dan spiritual. Pola tersebut dijelaskan oleh Andaya demikian:

[D]utch description of the Muslim Papuans of the early eighteenth century resembles in many details the Portuguese account of the Muslims in the North Malukan states in the early sixteenth century. Islam in the North Maluku then was very much a coastal phenomenon and confined to the circles of the rulers or chiefs. Even among the Muslim there was a strong belief in local gods and little adherence to religious food taboos. Although the Islamization of the Papuan inslanders took place some two centuries after the

18 Pola ini terkonfirmasi oleh tuturan Bapak Syamsudin Pattiran tentang Islam masuk ke Kampung Ofi. Leluhur mereka (bernama Mbanekin) yang pergi belajar agama Islam, yakni membaca AlQuran dan sholat, di Tidore. Setelah selesai belajar Islam, Sultan menyerahkan gelar raja dan kapitan serta Al Quran. Penyebutan Al Quran ini maksudnya buku Maulud, yang masih dipegang oleh salah satu dari saudara mereka sampai saat ini.Marion Holmes Katz, The Birth of Prophet Muhamad: Devotional Piety in Sunni Islam (London and New York: Routledge, 2007).

100 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

introduction of Islam to the north Maluku, the process was very similar. Islam was brought first to the leading members of the community and only later spread to the rest of populace... The Papua case is especially instructive because it provides an explanation for merging of political and spiritual motivations for conversion, which was very much in keeping with local perceptions of proper functioning of relationships in Maluku. To enter into the a beneficial relationship with an overlord required a total commitment to his world, which was demonstrated in the transformation of the

subject in name, dress, and spiritual beliefs. 19 Kita perlu memberikan perhatian juga pada pola

Islamisasi atas Kesultan Tidore terkait dengan inkorporasi Islam dalam struktur politik kesultanan. Model Islamisasi kesulatanan Tidore mengikuti pola yang terjadi di Kesultanan Ternate. Islamisasi mengikuti rute perniagaan Nusantara dari bagian Barat ke Timur. Pada tahap-tahap awal dimulai dikota- kota pelabuhan yang adalah pusat-pusat perdagangan yang berada di pulau-pulau dan wilayah pesisir. Para pedagang besar atau saudagar dan para penyiar agama Islam terutama kaum Sufi merupakan kelompok penting dalam jaringan perdagangan internasional ini. Para saudagar dan sufi secara perlahan memperkenalkan agama Islam. Barulah pada akhir

abad ke-14 Islam menjadi agama negara, 20 setelah Kolano Ciriliyati masuk agama Islam berkat dakwah Sykeh Mansyur, seorang saudagar Arab. Syekh Mansur adalah guru spiritual Kolano Ciliyati. Kemudian Kolano Ciliyati mendapat gelar Sultan dengan nama Djamaludin. Konversi Kolano Ciriliyati ini telah dijalani sebelumnya oleh Raja Ternate Zainal Abidin (1468-1500) yang masuk Islam di bawah bimbingan guru

19 Andaya, The World of Maluku, 118. 20 Kerajaan Tidore berdiri pada tahun 1081 dengan Kolano pertama bernama Syahjati dengan nama Islam Muhammad Naqil. Jarak waktu beberapa abad ini menunjukkan Islamisasi tidak terjadi secara serta merta mengikuti kehadiran para pedagang islam atau para penyiar agama Islam dari luar.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 101

spiritualnya Datu Maula Hussein, seorang pedagang dan mubaligh asal Jawa. Zainal Abidin berhak menggunakan gelar Sultan sebagai pengganti gelar Kolano. Sultan Zainal Abidin kemudian ke jawa dan memperdalam agama Islam di bawah bimbingan Sunan Giri. Dari sinilah ulama-ulama asal Jawa diboyong oleh Sultan ke Ternate dalam rangka mengembangkan dan menyebarkan Islam yang telah menjadi agama resmi kesultanan.

Integrasi struktur keagamaan Islam ini membawa perubahan struktur politik dan administrasi pemerintahan Kesultanan Ternate. Sultan membentuk institusi baru, yakni Jolebe yang diisi oleh para Ulama asal Giri. Restrukturisasi lembaga-lembaga kerajaan dan badan-badan kekuasaanya tertata dari pusat sampai ke daerah-daerah dilanjutkan dan dipertegas oleh pengganti Sultan Zainal Abidin, yakni Sultan Bayanullah (1500-1522). Struktur mana kemudian diikuti oleh kerajaan-kerajaan tetangga: Tidore dan Bacan. Berbagai peraturan yang bernafaskan islam dibentuk. Berbagai konvensi yang mengaitkan eksistensi dan aktivitas kesultanan dengan penyebaran agama Islam dibuat. Pengangkatan seluruh pejabat pusat sampai ke daerah-daerah taklukkan didasarkan pada syarat mutlak beridentitas Muslim. Terkait dengan perubahan struktur kesultanan ini dijelaskan demikian:

Fungsi sultan, selain sebagai pemimpin pemerintahan dan pemangku tertinggi adat serta tradisi, adalah sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Amir al-Din. Predikat ini bukan sekedar simbol spiritual, tetapi membawa konsekuensi pembebanan sejumlah tugas keagamaan (dinniyah) kepada sultan, baik menyangkut pelaksanaan hukum Islam (syariat) maupun tugas sosio-ekonomik untuk kepentingan rakyat dan agama.

102 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Penerapan Islam dalam lembaga-lembaga kerajaan dilakukan dengan pembentukan institusi kerajaan baru yang disebut bobato akherat atau jolebe di samping bobato dunia... Institusi jolebe berpuncak pada sultan yang didampingi dan dibantu oleh seorang kalem atau qadhi. Kalem dibantu empat imam, dan setiap imam dibantu dua khatib serta empat moding. Di daerah-daerah terdapat seorang imam yang dibantu empat khatib dan delapan moding pada setiap distrik. Di setiap komunitas Muslim semisal di kampung atau desa terdapat seorang khatib yang dibantu dua

moding. 21 Struktur dan fungsi-fungsi kelembagaan ini, khusus

bidang keagamaan Islam, tampak masih berlaku di daerah- daerah bekas vassal Kesultanan Tidore, termasuk sampai ke kampung-kampung Islam di Kabupaten Fakfak.

Karakteristik Islam yang di bawa ke Asia Tenggara ini terkait erat dengan sufisme. Marthin van Burinessen 22 memberi catatan awal bahwa kemungkinan sekali para pedagang dan pewarta Islam telah hadir di Nusantara beberapa abad sebelumnya, tetapi barulah pada akhir abad ke-

13 baru Islam diterima. Jadi Islamisasi Nusantara bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan mengikuti proses yang sama: Islamisasi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perihal terjadinya konversi ke agama Islam ini masih

21 M. Adnan Kamal, Kepulauan Rempah-Rempah, 243-244. Disampaikan juga tugas lembaga Jolebe sebagai berikut (1) terkait dengan ritual-ritual keagamaan untuk menjaga dan memelihara kehidupan spiritualitas rakyat seperti shalat, pengurusan jenazah dan pemakaman, kenduri, tahlilan, sholat idul fitri dan idhul adha, tarawih, dll.; (2) menetapkan awal dan akhir ramadhan, menjadi amil dalam pengumpulan zakat dan sedekah serta tugas-tugas lain seperti sunat, akikah, dll.; (3) tugas- tugas yudisial sebagai hakim syara. Di pusat, Kalem bertanggungjawab memberikan fatwa atas permintaan sultan maupun rakyat terkait soal-soal syariat dan fiqih Islam. Kalem adalah peradilan banding untuk keputusan hakim syara. Keputusan Kalem adalah keputusan akhir.

22 Lihat secara khusus, Marthin van Burinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading Publishing, 2015), 225-247

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 103

penuh perdebatan. Tetapi yang pasti menurutnya ada beberapa faktor utama yang berperan dalam proses Islamisasi dan konversi menjadi penganut agama Islam, yaitu perdagangan dan aliansi politik antara para pedagang dan raja-raja setempat, perkawinan antara para pedagang Muslim yang kaya dengan para putri bangsawan setempat, dan teologi atau ajaran agama Islam yang dibawa yakni tassawuf

(sufisme) dan tarekat. Anthony H. Johns 23 juga menekankan secara khusus teologi tasawuf (sufisme) sebagai katalisator utama Islamisasi Asia Tenggara. Johns menjelaskan keutamaan teologi dan praktik tassawuf ini dalam topangan kompleks beberapa faktor integral penting, yakni sistem dan jaringan perdagangan Samudera Hindia, serikat-serikat pekerja, komunitas-komunitas muslim yang bertumbuh di kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan yang terkait dengan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal, kehadiran dan peran para ulama serta tarekat. Kompleks faktor-faktor yang digerakkan oleh para pedagang dan ulama pengembara sufistik ini kemudian memeperkuat syiar Islam sampai ke istana kerajaan-kerajaan lokal dan berlanjut pada konversi para raja lokal. Konversi ini mendudukan dan memperkuat posisi dinasti para raja lokal yang menempatkan diri sebagai sultan dalam komunitas politik dan ekonomi/perdangangan internasional Islam serta berbasis kuat pada jejaring ulama dengan kompleks tarekat internasional. Johns secara khusus berargumentasi bahwa terdapat hubungan yang erat antara serikat-serikat pekerja di kota-kota pelabuhan dan pusat- pusat perdagangan, tarekat-tarekat sufi dan para penyebar sufisme (para ulama dan saudagar) yang menjadi pendorong

utama Islamisasi di Asia Tenggara. 24

23 Lihat: Anthony H. Johns, “Islamization in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”. Southeast Asian Studies, Vol. 31, No. 1, June 1993.

24 Martin van Burinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading Publishing, 2015), 225-253, menolak argumentasi

104 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Terkait hal ini Thomas Gibson menjelaskan dengan pola pemikiran yang hampir sama bertolak dari konteks jejaring perdagangan dan penyiaran serta para ulama pengembara agama Islam internasional (kosmopolitan) pada abad ke-16 dan ke-17. Menurut Gibson

Rulers [di negara-negara kota sepanjang Laut Arabia] depended on the goodwill of long-distance traders who moved in and out of their ports. They derived both their economic and religious authority from their reputation for enforcing the universal norms of the shariah law as interpreted by a cosmopolitan group of ulama. The model of kingship taught by the ulama assigned a relatively humble role to local political rulers. They were expected to establish their religious legitimacy not by claiming superior legal and mystical konowledge for themselves, but by patronizing charismatic scholars and mystics who traveled far and wide through the Islamic

world accumulating universal knowledge. 25 Penjelasan Gibson ini menegaskan bahwa para ulama

pengembara serta saudagar Arab sangat berperan sebagai broker teologi dan etika Islam dalam Islamisasi bertahap dan mendalam di Asia Tenggara. Dari perspektif ini kita bisa memahami konversi raja-raja lokal di Asia Tenggara menjadi pemeluk agama Islam dan menerima atau menggunakan gelar Sultan dengan semua keutamaan yang melekat padanya.

Johns ini. Bruinessen menyebut argumentasi atau hipotesis Johns sebagai spekulasi. Menurutnya sangat diragukan bahwa perdagangan Muslim di Asia Tenggara pada masa itu sudah teroganisir menyerupai serikat pekerja dan sumber-sumber paling awal menyebut tarekat-tarekat berasal dari akhir abad ke-16. Menurut penulis hipotesis Johns ini penting untuk memahami model dan dinamika Islamisasi Asia Tenggara sampai ke Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Tentu akan ada jejaring penguatnya sebagaimana disebutkan oleh Johns terutama untuk pengalaman Islamisasi di Sulawesi Selatan sebagaimana ditunjukan oleh Thomas Gibson dan Maluku Utara (Kesulatanan Ternate dan Tidore).

25 Thomas Gibson, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia From the 16th to the 21st Century (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 55- 56.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 105

Menurut Johns 26 kota-kota pelabuhan yang berada di bawah seorang Sultan dengan orientasi keagamaan dan perdagangan mereka yang melintas Samudera Hindia menyediakan mekanisme politik dan ekonomi bagi ekspansi Islam selanjutnya. Insititusi kesultanan ini juga menyediakan jalur bagi relasi-relasi yang lebih dekat dengan warga Muslim yang lain, dan menciptakan pula kesempatan-kesempatan dalam struktur kesultanan bagi pengembangan sekolah-sekolah agama serta partispasi dalam pengajaran dari ulama-ulama asing dan lokal serta pembangunan perpustakaan- perpustakaan.

Gibson lebih jauh berargumentasi bahwa karakteritik Islam yang dibawa melalui jejaring perdagangan dunia oleh para ulama dan saudagar Islam kosmopolit masa itu ke Asia Tenggara dan Sulawesi Selatan adalah neo-sufisme atau mistisime popular. Para syaikh memainkan peranan sentral melalui tarekat masing-masing. Menurut Gibson para shaik tarekatlah yang combined a rigourous trainning in the mysthical tariqa with an equally rigourous study of the hadith. Immersion in the hadith tend to replace devotion to one’s sufi

master with devotion to the prophet Muhammad. This was expressed through the collective recitation of devotional texts such as the Maulid al-nabi of Jaffar al-Barzanji, or Barasanji. The Barasanji presents a distinctively populist image of Muhammad as a poor orphan whose charismatic power was

acknowledge by all the kings of his age. 27

Gibson menjelaskan bahwa gerakan neo-sufisme atau mistisisme popular ini telah mulai jauh sebelum abad ke-18. Menurutnya gerakan baru ini bermula dari perjumpaan para shaikh India dan ulama Afrika Utara. Selama abad ke-16

26 Lihat: Johns, “Islamization in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”, ibid., 49-52 27 Lihat: Gibson, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia

From the 16th to the 21st Century, 111-136.

106 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

terjadi gelombang pelarian atau pengungsian para shaikh India ke Mekah dan Medina (Haramain), karena mereka menolak doktrin-doktrin mistik ke-raja-an (kingship) dalam Istana Akbar di India. Di Haramain mereka berjumpa dengan ulama-ulama Timur Tengah yang mengajarkan empat aliran ortodoks hukum Islam. Berkembanglah suatu sintesis baru studi hukum dan mistik. Para santri kini memberikan perhatian yang sama baik kepada pedalaman hadit maupun praktik mistik. Menyelam ke dalam teknik-teknik ritual suatu tarekat Sufi dan ke dalam pembelajaran serta tafsir hadith ini cenderung mengubah orientasi imajinatif kehidupan para santri dari tokoh utama pengembang tarekat (sang Sufi) kepada teladan Nabi Muhammad, Sang Pembangun sunna, jalan yang harus dikuti oleh setiap manusia untuk mencapai keselamatan. Ini kemudian ditandai dengan menyebarluasnya

Kitab Pemujaan Nabi Muhammad, yakni Kitab Barzanji. 28 Kitab ini berisi narasi tentang kehidupan nabi Muhhamad (mulai dari pra kelahiran, kelahiran, sampai kematiannya) yang biasa dibacakan atau dilafalkan pada hari raya peringatan kelahiran

28 Selanjutnya Gibson, ibid., 161-182 menjelaskan bahwa Muhamadiyah,

dan purifikasi Islam, mengampanyekan penolakan terhadap apa yang dianggap sebagai praktik- praktik penyembahan berahala di Sulawesi Selatan. Kampanye ini berawal dengan penolakan terhadap resitasi kitab Barzanji ini. Barzanji merupakan komponen kunci kehidupan masyarakat pedesaan selama abad ke-19. Muhammadiyah menegaskan bahwa dalam resitasi Barzanji, pada titik tertentu umat berdiri sebagai tanda penghormatan kepada spirit nabi Muhammad – di Malaysia disebut sebagai berdiri maulid. Sikap ini menjadi kontroversi antara kaum modernis (Muhammadiyah) dan kaum tradisionalis yang diwakili oleh Nahdatul Ulama (NU). Kaum modernis menolak untuk ikut dalam ritual-ritual lingkar-kehidupan selama mana Kitab Barzanji dilafalkan. Pada Kongres ke-5 NU pada tahun 1930 dideklarasikan

bahwa “berdiri Maulid” [pada saat resitasi Barzanji] adalah “adat istiadat atau kebiasaan legal yang direkomendasikan.” Sementara pada dua tahun berikut kaum modernis (Muhammadiyah) mengutuk keras praktik keagamaan ini, yang dimumkan secara resmi pada Kongres Muhhamdiyah ke-21 di Makasar; Kitab Barzanji ini yang digunakan sampai saat ini di lingkungan umat Islam di Kampung-Kampung Fakfak, sebagaimana di Kampung Offie.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 107

nabi Muhammad. Kitab Barzanji ditulis oleh Jaffar bin Hasan bin ‘Abd al-Karim al-Barzanji (1690-1776 M/1103-1180 H). 29

Konsep neo-sufisme ini dijelaskan oleh Azyumardi Azra mengikuti pikiran penggagas konsep ini, Fazlur Rahman, sebagai:

tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan estactic dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoks Islam. Tasawuf model baru ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf populer yang menyimpang (unorthodox sufism). Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat. Akibatnya,

menyimpulkan karakter keseluruhan neo-sufisme tak pelak lagi adalah puritan

Rahman

dan aktivis. 30

Islam juga masuk ke Tanah Papua mengikuti jalur relasi dengan Geser-Gorom di Pulau Seram. Dari peta terlihat jelas bahwa letak geografis Semenanjung Onin (Fakfak) dan Pulau Seram bagian Timur sangat dekat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar ke dua wilayah ini pun sangat dekat di bandingkan dengan Tidore. Agaknya pengaruh Seram Timur terhadap Semenajung Onin sangat kuat di bidang sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Terlebih bila kita perhatikan

29 Lebih jauh tentang perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad ini lihat, antara lain: Marion Holmes Katz, The Birth of Prophet Muhamad: Devotional Piety in Sunni Islam (London and New York: Routledge, 2007).

30 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2013), 125-126. Catatan Penulis: Agaknya aspek rekonstruksi moral-sosial ini lebih pada penjaminan daya politik dan keutuhan wilayah jajahan demi menjamin keberlangsungan kuasa ekonomi.

108 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

catatan telusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Widjojo 31 bahwa sebenarnya Tidore tidak memiliki pengaruh nyata di Onin. Orang-orang Tidore melakukan ekspedisi ke wilayah Onin hanya untuk menjarah pemukiman dan mengambil budak. Memang pengaruh struktural institusi keagamaan Islam yang melekat pada struktur politik Tidore dalam konteks kerajaan-kerajaan (petuanan) di Semenanjung Onin sangat kuat. Tetapi yang mengajarkan dan menanamkan Islam kepada penduduk pesisir Semenanjung Onin adalah orang- orang dari Seram Timur.

Hubungan perdagangan antara masyarakat di Seram Timur (Seram Laut, Gorom dan Geser) telah terbangun sejak lama. Hal itu ditandai dengan berkembangnya sistem jaringan perdagangan khusus antara Seram Timur dengan orang Papua di Semenanjung Onin. Sistem ini disebut sosolot, yakni pembuatan pemukiman-pemukiman dagang yang dibangun di berbagai tempat strategis sebagai pos-pos pertukaran

(barter). 32 Dinyatakan pula bahwa dalam konteks perdagangan ini Orangkaya Onin nyaris mengendalikan semua hal. Para pedagang Seram Timur bertindak sebagai pembeli, penerjemah, dan penghubung bisnis yang handal.

Pada abad ke-17, Onin merupakan pusat perdagangan budak, 33 di mana budak-budak dikumpulkan dari daerah- daerah tetangganya. Kemudian Orangkaya Onin menjual mereka kepada para pedagang Seram Timur yang membayar dengan kain dan barang-barang yang terbuat dari besi seperti

31 Widjojo, Pemeberontakan Nuku, 71-72 32 Tentang sosolot, lihat: Thomas E. Goodman, “The Sosolot: An Eightenth Century East Indonesian Trade Network” (Ph.D. Thesis, University

of Hawaii, 2006). 33 Widjojo, Pemeberontakan Nuku , 168; Arend H. Huussen, Jr., “The Dutch Constitution of 1798 and The P roblem of Slavery” Legal History Review. March 99, Vol. 67 Issues 1/2, p99-114, menjelaskan bahwa pembebasan para budak di wilayah jajahan Belanda baik di Hindia Barat maupun Timur dideklarasikan pada 1 Juli 1863. Pada saat itu barulah perdagangan budak di larang oleh Pemerintah Belanda.

Rumpun Etnik Mbaham Matta: Konteks Geografis dan Historis 109

kapak, parang Tobuku dan pedang. Dinyatakan pula bahwa penduduk Semenanjung Onin selalu terlibat saling perang di antara mereka. Mereka membentuk kelompok-kelompok atau pasukan-pasukan penyerang dan penjarah yang bertugas menyerang kelompok suku lainnya untuk dijadikan budak dan merampok perahu-perahu dagang. Para perompak Onin menyerang sampai ke wilayah Maluku.

Pada pertengahan abad XIX penduduk Geser-Gorom dan pesisir Seram telah menjadi penganut agama Islam yang mapan. Di kampung-kampung mereka menetap beberapa imam lokal yang melek huruf dan mengajarkan bahasa Melayu dalam abjad jawi. Komunitas-komunitas inilah yang melaksanakan perdagangan dengan hampir semua bagian Maluku dan wilayah-wilayah pesisir Papua terdekat. Mereka juga bekerja sebagai penterjemah bagi para peneliti dan pejabat Belanda. Dan orang-orang dari Papua berkunjung ke Seram untuk mengikuti pendidikan bahasa-bahasa lokal dan agama. Para pimpinan dan pemuka lokal serta komunitas pendatang dari Maluku Tengah (Seram) memiliki kebiasaan dan kewajiban memperkenalkan Islam di manapun mereka tinggal. Dilaporkan bahwa pada pada 1820-an para pemimpin wilayah pesisir semenanjung Onin (Fakfak) telah memeluk agama Islam walaupun dengan pemahaman keagamaan yang masih dangkal, belum ada Mesjid atau rumah-rumah ibadah. Mereka juga belum menjalankan puasa, tetapi mampu melafalkan Sura pertama Al Quran, menguburkan orang mati menurut adat Islam, dan tidak makan Babi atau Penyu.

Sementara Kekristenan masuk ke Tanah Papua bermula pada paroh kedua abad XIX ketika Pemerintah Belanda memulai kampanye politik memperkuat otoritas

mereka atas Tanah Papua. 34 Pemerintah Belanda memulai

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan pada Algoritma LFSR (Linear Feedback Shift Register) dalam Reposisi XOR dalam Pencarian Bilangan Acak Terbaik: Studi Kasus LFSR dengan 4 Bit dan 6 Bit

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: BINAKEL: Kajian terhadap Tema Bulanan Bina Keluarga Gereja Protestan Maluku (GPM) Tahun 2017 dari Perspektif Teologi Keluarga Maurice Eminyan

0 5 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Nateek bagi Pembentukan Identitas Sosial Etnik Cina Indonesia (ECI) di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Sonhalan Niki Niki

0 2 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Raport Online: Studi Kasus SD Masehi Pekalongan

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integritas Suricata Intrusion Detection System (IDS) dengan Mikrotik Firewall untuk Keamanan Jaringan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

3 9 21

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik S

0 0 36

BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

1 1 49