BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

BAB II KERANGKA TEORI:

Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih

Studi berpusar di sekitar dinamik dan proses etnogenesis etnik lokal Mbaham Matta dalam perjumpaan dengan agama-agama dunia di Kabupaten Fakfak. Kerangka teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme.

A. Memahami Etnisitas sebagai Basis Teoritik.

Lingkup teoritik utama yang digunakan dalam studi ini adalah teori-teori etnisitas atau ethnogenesis. 1 Sejarah teorisasi etnisitas 2 mengindikasikan adanya tiga rumpun teori dasar, yakni perspektif primordial-kulturalis, konstruksionis atau instrumentalis, dan konvergensis. Dan akan pula disertakan teorisasi etnogenesis dari perspektif teori praktik atau human agency sebagai alternatif pendasar riset

1 Ethnogenesis: kompleks dinamika dan proses formasi dan perkembangan suatu kelompok atau komunitas etnik.

2 Lihat: Ronald A.Reminick, Theory of Ethnicity:An Anthropologist’s Perspective (Lanham, New York, London: University Press of America, 1983): psychologist, social organizationist, and culturalist; Philip Q. Yang, Ethnic Studies – Issues and Approaches (State University of New York, 2000), 39-60: primordialist, constructionist, instrumentalist and integrativist; Sian Jones, The Archeology of Ethnicity: Constructing identities in the past and present (London; New York: Routledge, 2002), 56-83; Andreas Wimmer, Ethnic Boundary Making – Institutions, Power, Networks (Oxford, New York: Oxford University Press, 2013), 1-15; Sinisa Malesevic, The Sociology of Ethnicity (London; Thousand Oaks; New Delhi: Sage Publications, 2004) merumpunkan teorisasi etnisitas dalam 8 paradigma: neo-marxism, functionalism, symbolic interactionism, sociobiology, rational choice theory, elite Theory, neo-weberianism and anti-foundationalism.

38 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

etnogenesis yang berbasis pada praktik-praktik sosial kelompok etnik. Dengan kata lain teorisasi praktik ini memastikan bahwa unit amataan riset etnogenesis adalah praktik-praktik sosial kelompok etnik. Pengajuan perspektif teori praktik ini penting pula untuk menunjukkan bahwa etnogenesis tidak berhenti pada reproduski sosial etnik, tetapi meluas pada proyek transformasi sosial.

Perspektif primordial-kulturalis sangat menekankan keberakaran dan keberasalan etnisitas di dalam struktur kebudayaan kelompok etnik. Etnisitas terikat erat dengan originalitas, eksistensi, dan kontinuitas suatu kelompok etnik dalam kompleks dan dinamika internal kebudayaan mereka

sendiri. Milton Yinger 3 mengajukan pemahaman bahwa kelompok etnik adalah segmen masyarakat yang memahami diri mereka sendiri dan dipahami oleh orang lain memiliki satu keberasalan dan kebudayaan bersama yang menjadi pengikat, pemandu dan pengarah bagi aktifitas-aktifitas bersama mereka. Smith secara lebih terperinci mendefinisikan

komunitas etnik sebagai “a social group whose members share

a sense of common origins, claim a common and distinctive history and destiny, possess one or more distinctive characteristics, and feel a sense of collective uniqueness and

solidarity. 4 Dalam konteks ini menurut Smith mite keasalan bersama dalam ruang dan waktu sangatlah mendasar bagi pemahaman diri komunitas etnik. Karena mite keasalan bersama ini adalah titik dasar pemahaman sejarah komunitas maupun individu. Dari sinilah kekerabatan (kinship) menjadi sangat penting sebagai kompleks basis etnisitas.

3 J. Milton Yinger, Ethnicity: Source of Strength or Source of Conflict (Albany: State University of New York Press, 1994), 3-4. 4 Anthony D. Smith, The Ethnic Revival (Cambridge, New York: Cambridge University Press, 1981), 66

Kerangka Teori

Edward Shils, 5 sebagai salah satu peletak dasar penting pendekatan primordialis-kultural, berargumentasi bahwa di balik ikatan-ikatan kekeluargaan atau kekerabatan t erdapat ‘a complex of siginificant relational qualities ’ yang harus dipahami sebagai primordial dan tidak hanya merupakan suatu fungsi interaksi, tetapi memiliki keberakaran di dalam ikatan-ikatan darah. Ikatan-ikatan darah atau kekerabatan ini, sebagai primordial bonds atau primordial attachment, memiliki signifikansi yang luar biasa sebagai properti kultural yang memaksa dan mengikat para anggota (coerceive). Di sini Shils,

sepemahaman dengan Geertz, 6 menyatakan bahwa ikata- ikatan primordial itu bersifat involunter dan memiliki daya paksa yang mentrasendensi alinasi-aliansi serta relasi-relasi yang dipengaruhi oleh interes-interes situasional dan kondisi- kondisi sosial.

Pemahaman etnisitas Shil dan Geertz jelas menggaungkan kembali visi Durkheim tentang perangkat hukum represif, yang merupakan wujud dari kesadaran dan representasi kolektif dalam masyarakat asli dalam konteks pembicaraanya

sosial-mekanikal. 7 Durkheim mengklem bahwa masyarakatlah yang mengatur individu melalui kesadaran kolektif yang direpresentasikan melalui perangkat hukum represif. Perangkat hukum ini merupakan representasi kolektif berupa kode moral yang menghadirkan coercive power dari masyarakat atau komunitas atas individu atau anggota. Kode moral sebagai kuasa kultural masyarakat inilah yang membentuk dan mempertahankan solidaritas atau kohesi sosial. Sekali lagi: masyarakat atau

tentang

solidaritas

5 Edward Shils, “Primordial, Personal, Sacred, and Civil Ties” in Center and Periphery: Essays in Macrosocioloy. Selected Papers of Edward Shils, Volume II (Chicago: Chicago University Press, 1957), 111-126.

6 Clifford Geertz, “The Integrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the New States” inThe Interpretation of Cultures. Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 259-260.

7 Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The MacMillan Press, 1994).

40 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

komunitas menciptakan suatu struktur budaya yang terdiri dari seperangkat kode moral untuk menyatukan dan menata anggota-anggota menjalani hidup dalam solidaritas dan memelihara kohesi sosial.

Dengan itu, Malesevic 8 menyimpulkan bahwa bagi Durkheim komunitas-komunitas etnik dibangun di dalam dan atas dasar passion of group solidarity dan diorganisir sebagai komunitas-komunitas moral dalam konteks historis mereka.

Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat dua komponen yang saling terkait membentuk tatanan masyakat, yakni struktur kebudayaan dan struktur sosial. 9 Struktur kebudayaan (cultural structure) merupakan the independent and self-contained structure – memiliki eksistensi yang relatif otonom –yang terdiri dari kompleks ide-ide, norma-norma, dan

praktik-pratik kultural. Bagi Geertz 10 struktur kultur adalah fabrik makna dengan mana manusia menafsirkan pengalaman mereka dan mengarahkan tindakan mereka, sementara struktur sosial adalah bentuk yang tindakan ambil, yang membentuk jejaring sistim sosial. Jadi struktur kebudayaan mempertimbangkan tindakan sosial dalam kaitan dengan maknanya bagi sang petindak tersebut, sementara struktur sosial mempertimbangkan tindakan sosial dalam kaitan dengan kontribusinya kepada pemfungsian sistem sosial.

Rumpun teori ke-dua dalam memahami etnisitas adalah perspektif konstruksi sosial atau instrumentalis, yang merupakan reaksi terhadap rumpun primordial-kultural. Argumen utamanya didasarkan pada pandangan bahwa etnisitas adalah bentuk respons aktif komunitas terhadap

8 Sinisia Malesevic, The Sociology of Ethnicity (London, Thousand Oak, New Delhi: Sage Publications, 2004), 18-21. 9 Pemisahan dua entitas pembentuk masyarakat ini diajukan oleh

Clifford Geertz, ‘Person, Time, and Conduct in Bali’ in Clliford Geertz, The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973), 361

10 Clifford Geertz, ‘Ritual and Social Change: ‘A Javanese Example’ in The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973), 145

Kerangka Teori

perubahan-perubahan sosial. Etnisitas bukanlah sebuah produk kekal, yang telah ada sebelumnya, tetapi merupakan bentuk yang lahir sebagai buah dari respons-respons aktif komunitas terhadap perubahan-perubahan sosial. Proses pembentukan etnis ini bertolak dari strategi dan melalui mekanisme-mekanisme

kelompok etnik bersangkutan yang menekankan pemeliharaan kekhasan pembeda kultur (boundary maintenance atau ethnic boundarying). Kaum konstruksionis menekankan tiga dasar

penataan

penjelasan tentang etnisitas, 11 yakni pertama, etnisitas adalah identitas yang terkonstruksi secara sosial – sesuatu yang diciptakan oleh komunitas. Dengan begitu, ke-dua, batasan etnik bersifat fleksibel, dapat berubah dan dinamis. Ke-tiga, afiliasi atau identifikasi dan keanggoataan etnik dibatasi dan dikonstruksi oleh masyarakat atau komunitas melalui proses- proses perjumpaan dan interaksi yang panjang.

Joane Nagel 12 secara lebih spesifik menjelaskan bahwa etnisitas dikonstruksi dan direkonstruksi oleh pengaruh kekuatan-kekuatan internal maupun eksternal. Kekuatan- kekuatan internal bekerja melalui tindakan-tindakan kelompok etnik sendiri: negosiasi, redefinisi dan rekonstruksi ethnic boundaries. Kekuatan-kekuatan eksternal menunjuk kepada proses-proses sosial, ekonomik, dan politik yang berlangsung dan memengaruhi kelompok etnik. Dengan begitu

etnisitas harus dilihat sebagai “a dynamic, constantly changing property of individual identity and group organization .”

Model konstruksionis ini erat terkait dengan antropolog sosial Fredrik Barth yang sangat berpengaruh

11 Yang, ibid. 44; Catherine Morgan, ‘Ethnic Expression on the Early and Early Archaic Greek Mainland. Where should we be looking?’ in Ethnic

Constructs in Antiquity – The Role of Power and Tradition edited by Ton Derk and Nico Roymans (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009), 12.

12 Joane Nagel, American Indian Ethnic Renewal: Red Power and Ressurgence of Identity and Culture (New York: Oxford University Press, 1996), 32.

42 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dalam pengembangan teori dan metodologi riset atas etnisitas. 13 Riset Barth bergerak dari titik tolak yang berbeda dengan model promordial-kulturalis terkait dengan defenisi etnisitas (ethnicity). Etnisitas bukanlah ekspresi langsung dari kultur, sebaliknya: adalah a form of social organization of culture difference. Barth medekonstruksi pendekatan idealistik primordialis-kultural

perspektif empirikal- materialistik. Etnisitas merupakan bentuk tanggapan strategis pengorganisasian perbedaan kultural yang terkondisikan oleh perubahan-perubahan interaksional, sejarah, ekonomis dan politis. Proses pengorganisasian ini berlangsung di dalam

dengan

interaksi sosial atau interaksi tatap muka sehari-hari. 14 Proses ini melibatkan beberapa komponen dan aktivitas utama, yaitu peran para aktor-subyektif individual, rekruitmen/identitas sosial, cultural stuff dan pemeliharaan wilayah perbatasan sosial-kultural (ethnic boundary). Etnisitas diproduksi dan direproduksi oleh manusia, yakni para aktor subyektif

individual dan pengejar tujuan. 15 Dalam perjumpaan lintas etnik, para aktor ini mengembangkan dan menjalankan strategi sosial yang didasarkan pada intensionalitas, orientasi

tujuan, dan rasionalitas pilihan. 16 Skema komponensial

13 See: Fredrik Barth, “Introduction” to Ethnic Groups and Boundaries – The Social Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown and Company, 1969), 11- 38; Fredrik Barth, “Enduring and Emerging Issues in the Analysis of Ethnicity” in The Anthropology of Ethnicity – Beyond Ethnic Groups and Boundaries, ed. Hans Vermeulen and Cara Govers (Amsterdam: Het Spinhuis, 1994), 11-32; Adam Kuper (ed.), Proces and form in social life – Selected essays of Fredrik Barth: Volume I (London, Boston and Henly: Routledge & Kegan Paul, 1981): Richard Gronhaug, Gunnar Haaland, Georg Henriksen (eds.), The Ecology of Choice and Symbol – Essays in Honour of Fredrik Barth (Bergen, Norway: Alma Mater Forlag AS,1991).

14 Konsep interaksi sosial tatap muka ini dikembangkan oleh Barth dari teori interaksionisme simbolik. 15 Barth menunjuk para elit dan pemimpin kelompok etnik sebagai aktor- aktor individual yang melaksanakan ‘enterpreunial role’; mereka lah yang mewkaili komunitas melakukan negosiasi-negosiasi sosial-kultural.

16 Kuper, Process and form in Social Life, 14-47; R. Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations(London; Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 2008), 13. Barth menggaungkan kembali

Kerangka Teori

ethnogensis Barth ini dapat penulis tunjukkan melalui diagram di bawah ini:

Perjumpaan lintas aktor dan kelompok etnik melahirkan problematisasi identitas dan ethnic boundary. Karena perjumpaan lintas aktor maupun kelompok etnik membuka jalan bagi warga melakukan negosiasi, redefenisi identitas, dan rekonstruksi ethnic boundaries. Proses fenomenal ini dapat kita sebut sebagai ethnic boundarying.

Interaksi itu mendorong para aktor menggunakan identitas etnik untuk mengategorikan diri mereka maupun orang lain melalui askripsi dan askripsi-diri serta askripsi oleh orang lain. Penciptaan-ulang identitas etnik ini berbasis pada keasalan dan latar belakang kultural khusus mereka. Tapi bagi Barth, dari sumber kultural itu para aktor hanya mengambil dan menggunakan unsur atau aspek yang bagi mereka signifikan dan relevan dalam konteks interaksi sosial yang sementara berlangsung. Jadi kultur (cultural structure)

sosiologi interpretif Weber dengan teori tindakan sosialnya yang mengkelm bahwa melalui tindakan-tindakan dan ragam aktivitas sosial rasional dan bermaknapara individu dalam resiprositas lah yang melahirkan masyarakat atau komunitas.

44 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

berfungsi sebagai penyedia perangkat semata. Kecederungan pemahaman atas eksistensi dan peran cultural structure

seperti ini tampak dalam teorisasi Ann Swidler 17 tentang kebudayaan yang sangat intrumentalis. Swidler mengajukan suatu metafora (image) kebudayaan sebagai lemari peralatan kerja (tool-kit ) yang berisi “symbols, stories, rituals and worldviews, which people may use in varying configurations to solve different kinds of problem .”

Bagi Barth cultural stuff hanya menyediakan sinyal- sinyal dan tanda-tanda pembeda yang oleh para aktor diseleksi, dipilih, dan digunakan untuk mengindetifikasi keanggotaan etnik mereka dalam interaksi sosial. Pembeda kultural yang diseleksi dan digunakan itu mengambil wujud fisik (tampak) dan orientasi nilai-nila dasar. Penanda fisik seperti pakaian, bahasa, bentuk rumah atau gaya hidup digunakan untuk memperlihatkan identitas. Sementara orientasi-orientasi nilai dasar adalah perangkat standar moralitas dan kualitas hidup dengan mana penampilan seseorang dinilai. Identifikasi sosial ini berlangsung dalam apa yang disebut sebagai ethnic boundary. Identifikasi dan kelangsungan kekhasan kultural etnik serta kesinambungan eksistensi etnik bergantung pada pemeliharaan batas etnik (maintenance of boundary) ini.

Perjumpaan lintas etnik ini menekankan pentingnya ethnic boundary, yang adalah ruang demarkasi simbolik sosial-

17 An Swidler, ’Culture in Action: Symbols and Strategies.’ American Sociological Review 51, No.2 [April 1986]: 273-286.Dalam menghadapi problem, orang akan mengonstruksi strategi tindakan menanggapi situasi. Strategi-strategi tindakan responsif itu telah dikonstruksi lebih awal oleh kebudayaan. Dengan demikian kebudayaanmemang memiliki peran penyebab independen. Namun menurut Swidler kebudayaan memengaruhi tindakan manusia, bukan melalui mekanisme perilaku dan nilai, tetapi dengan menyediakan perangkat kerja dan pernagkat strategi untuk bertindak.

Kerangka Teori

kultural etnik. 18 Ruang perbatasan atau demarkasi ini tidak bisa dilewati atau diterobosi begitu saja. Ini merupakan ruang negosiasi lintas budaya. Dalam ruang batas ini masing-masing kelompok etnik atau budaya memiliki perangkat sinyal peringatan berupa penanda fisik dan orientasi nilai sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ethnic boundary terdiri

dari ‘criteria and signals for identification’ dan ‘a structuring of interaction which allow the persistence of cultural differences .’ Ke dalam, ethnic boundary menjadi ruang penguatan dan atau

rekonstruksi identitas keanggotaan etnik. Ke luar, ethnic boundary merupakan ruang penstruktur dan penata interaksi sosial dengan komunitas etnik lain. Barth menjelaskan bahwa fungsi ke luar ini dilakukan melalui perangkat aturan preskriptif dan proskriptif demikian

a set of prescriptions governing situations of contact, and allowing for articulation in some sectors or domains of activity, and a set of proscriptions on social situations preventing inter-ethnic interaction in other sectors, and thus insulating parts of the cultures from confrontation

and modification. 19

Perangkat ini berfungsi menata situasi dan arah kontak atau interaksi. Pada satu sisi, ada izin atau pembolehan untuk melakukan kontak dalam beberapa sektor atau wilayah aktivitas, yang mengandaikan kemungkinan bagi proses pertukaran dan modifikasi budaya. Dengan begitu preskripsi memungkinkan berlangsungnya redefinisi identitas dan rekonstruksi struktur sosial-kultural. Tetapi pada pihak lain ada perangkat aturan yang melarang dan mencegah interaksi lintas etnik di sektor-sektor aktifitas sosial lainnya dan dengan begitu akan melindungi bagian-bagian kebudayaan etnik dari

18 Anthony P. Cohen (Ed.), Symbolising Boundaries: Identity and Diversity in British Cultures (Manchester, UK.: Manchester University Press, 1986), 2, menegaskan bahwa “It is in the symbolic that we now look for people’s sense of difference, and in symbolism, rather than structure, that we seek the boundaries of their worlds of identity and diversity .”

19 Barth, “Introduction” to Ethnic Groups and Boundaries, 16.

46 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

konfrontasi serta modifikasi. Dengan proses-proses ini kelangsungan perbedaan-perbedaan atau kekhasan dasar kultural dapat dijaga oleh kelompok etnik dalam interaksi dengan kelompok etnik lain.

Guna melengkapi teorisasi Barth ini, kita perlu memperhatikan

kritik yang dikemukakan terhadap eksplanasinya. Jenkins 20 dan Malesevic 21 mengajukan kritik- elaboratif bahwa Barth mengabaikan dan gagal menjelaskan pengaruh relasi kekuasaan (power) atau struktur politik dan struktur sosial dalam ethnogenesis. Menurut Jenkins, Barth terlampau fokus hanya pada proses-proses identifikasi kelompok (group identification), yang berlangsung dalam lingkup internal etnik dan mengabaikan pentingnya proses- proses kategorisai sosial (social categorization) yang berlangsung diluar lingkup sosial etnik. Proses kategorisasi sosial berlangsung dalam suasana kompetisi lintas etnik, yang terjalin dengan persoalan relasi kekuasaan. Jenkins menjelaskan bahwa kategorisasi sosial

is intimately bound up with power relations and relates to the capacity of one group succesfully to impose its categories of ascription upon another set of people, and to the resources which the categorized collectivity can

draw upon to resist, if need be, that imposition. 22 ” Malesevic menyebutkan bahwa penekanan yang

berlebihan pada peran para aktor individual menyebabkan Barth mengorbankan aspek struktur sosial-politik dalam konstruksi, pengorganisasian dan institusionalisasi diferensi kultural.

Sementara pelemahan posisi dan peran penting kebudayaan serta individualisasi ethnogenesis oleh Barth, memunculkan kritik dari rumpun teorisasi konvergensi. Abner

20 Jenkins, Rethinking Ethnicity, 23. 21 Malesevic, The Sociology of Ethnicity, 4. 22 Jenkins, ibid., 23.

Kerangka Teori

Cohen, 23 yang sebenarnya masih bisa dikategorikan sebagai penganut perspektif konstruksionis-instrumenatlis, menekan- kan kembali keutamaan kolektifitas dan efek normatif dari kebudayaan beserta daya penuh pengaruhnya membatasi dan mengarahkan tindakan-tindakan individu. Ini dijelaskan oleh Cohen demikian

An ethnic group is not simply the sum total of its individual members, and its culture

is not sum total of the strategies adopted by independent individuals. Norms and beliefs and values are effective and have their own constraining power only because they are collective representations of a group and are backed by pressure of

that group. 24 Pandangan Cohen ini didasarkan pada apa yang Ia sebut

sebagai definisi operasional tentang kelompok etnik. Cohen mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektivitas orang yang (a) memiliki pola-pola perilaku normatif bersama dan (b) merupakan bagian dari populasi yang lebih luas, yang berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok-kelompok

lain dalam sistem sosial mereka. 25 Cohen sangat menekankan pentingnya adat atau kultur yang tampak dalam pola-pola perilaku normatif (paterns of normative behavior) sebagai basis bagi konstruksi etnisitas. Hal itu dijelaskannya demikian:

By pattern of normative behaviour, I am refering here to the symbolic formations and activities found in such contexts as kinship and marriage, friendship, ritual, and other types of ceremonial. Some of anthropologists refer to these patterns as customs or symply as culture. These are not idiosyncratic habits, hallucinations, or illusions of isolated individuals but they manifest themselves in individual behaviour. They are involved in psychic

23 Sian Jones, The Archeology of Ethnicity: Constructing Identities in the Past and Present (London; New York: Routledge, 1997), 74. 24 Abner Cohen, “Introduction: The Lesson of Ethnicity” to Urban Ethnicity edited by A. Cohen (London:Tavistock Publications, 1974), xiii. 25 Cohen, ibid., ix.

48 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

processes and thus can be subjectively experienced by the actors. They are nevertheless objective in the sense that the symbolic formations representing them, i.e. the stereotypes, mythologies, slogans,’theories’, ideologies and ceremonials are socially created and are internalized through continous socialization. Often it is objective symbolic form that generate the subjective

experience of ethnicity and not the other way round. 26 Penjelasan Cohen di atas menekankan beberapa hal

penting terkait kebudayaan atau adat. Pertama, kebudayaan berpusat pada pola-pola perilaku normatif, yaitu formasi- formasi dan aktivitas-aktivitas simbolik yang termanifestasi secara kuat dalam perilaku individu maupun kolektif. Kedua, pola-pola perilaku normatif ini terbangun dalam konteks kultural tertentu seperti kekerabatan dan pernikahan, persahabatan, ritual, dan tipe-tipe upacara lainnya. Ketiga, pola-pola perilaku normatif ini dialami oleh para aktor baik secara subyektif melalui proses-proses psikis maupun obyektif melalui berbagai bentuk nyata stereotype, mitologi, slogan, teori, ideologi dan upacara yang diciptakan dan diinternalisasi secara sosial. Keempat, bentuk-bentuk simbolik objektif inilah yang melahirkan dan membentuk pengalaman akan etnisitas.

Charles F. Keyes, 27 sebagai sosok utama perspektif konvergensi, mengembangkan pendekatan yang mempertim- bangkan baik dimensi kultural maupun sosial etnogenesis. Menurutnya, menanggapi perubahan-perubahan sosial, kelompok etnik merujuk kembali pada cultural stuff mereka dalam rangka membangun strategi dan mempertahankan wilayah batas etnik mereka. Bagi Keyes perangkat identittas primordial etnik seperti kekerabatan, garis keturunan, dan

26 Cohen, ibid., x. 27 Charles F. Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic Change edited by Charles F. Keyes (Seatle; London: University of Washintong Press, 1982).

Kerangka Teori

teritori keasalan 28 seumpama tuas (gyroscopes) yang berfungsi sebagai pusat tumpu pengatur keseimbangan dan pembatas arah pergerakan semua komponen sosial-kultural. Keyes menjelaskan secara lengkap teori giroskopik ini demikian:

People often respond to these changes in terms of their established ethnic identities, but find that these identities, either in their cultural content or because of the assumptions about who shares the same identities, are not appropriate in the new situation. In adapting the new situation, new identities may be evolved. Yet, once evolved, these new identities are assumed to define for people who they truly are as descendants of their ancestors or forebears. Primordial identities continue to serve as gyroscopes for those buffeted by uncertainties as to the best way to pursue their interests or for those alienated by dehumanized agencies designed to

organize the ordering of social ends in a rational way. 29 Konfigurasi teorisasi demikian mendorong Jones

menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok etnik harus dipertimbangkan sebagai hasil dari pengejaran interes-interes ekonomik dan politik pada satu sisi maupun sebagai buah dari kekuatan-

kekuatan memaksa afinitas primordial“ 30 Problem yang masih tertinggal adalah hakikat relasi

antara human agency dan struktur budaya serta struktur sosial. Dalam lingkup teorisasi primordial-kultural para aktor diperlakukan sebagai agen-agen reaktif-pasif-terbatasi; sebaliknya, dalam lingkup teorisasi konstruktif-instrumentalis, para aktor ditempatkan dipusat dinamika ethnogenesis sebagai agen individual-proaktif-radikal yang dalam teori Barth disebut the enterpreneurial actors. Jones menyatakan bahwa kita membutuhkan suatu teorisasi koheren tentang tindakan

28 Judith Nagata, “In Defense of Ethnic Boundaries: The Changing M yths and Charters of Malay Identity” in Ethnic Change, 92-96. 29 Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic Change, 27-28. 30 Jones, ibid. 82.

50 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

manusia yang dapat mentransendensi dikotomi perspektif

prmirodial dan instrumentalis ini. 31

Kita dapat memformulasikan problematisasi di atas demikian: bagaimana memahami dan meletakkan secara tepat hakikat dan peran agensi manusia dalam relasi integral antara struktur kultural dan struktur sosial. Untuk menjawab problem ini, penulis mengajukan gugus teorisasi lain sebagai alternatif-elaboratif, yakni perspektif teori praktik (theory of practice). Teori praktik diajukan antara lain oleh Pierre

Bourdieu 32 dan Anthoni Giddens. 33 Gugus teorisasi praktik menekankan peranan agensi para aktor, melalui praktik- praktik sosial, dalam konteks interaksi sosial. Dalam studi ini Penulis menggunakan teori praktik Giddens sebagai basis pengembangan teoritik dengan Bourdieu sebagai pembanding.

Giddens, melalui teori dualitas struktur, membangun suatu kerangka kerja, yang tersusun dari beberapa konsep komponensial, yakni (1) agensi subyektif petindak atau aktor; (2) Praktik sosial; (3) sistem sosial atau interaksi sosial; (4) struktur budaya: rules dan resources; (5) sejarah: ruang dan waktu; serta (6) identitas sosial. Konsep-konsep ini merupakan komponen dari proses sosial reproduksi sistem sosial dan idnetitas komunitas etnik. Proses reproduksi ini digerakkan dan dijalankan oleh manusia -- oleh the acting actors melalui praktik-praktik sosial dalam interaksi sosial sehari-hari. Dalam proses ini, di satu pihak, aktivitas dan praktik sosial para aktor dibatasi dan diarahkan oleh struktur (budaya) dan identitas sosial asal mereka atau yang telah

31 Jones, ibid., 83. 32 Lihat: Pierre Bourdieu: Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1976); Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (Cambridge: Polity Press, 1990).

33 Lihat: Anthony Giddens: The Constitution of Society – Outline of the Theory of Structuration (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1986); Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory – Action, Structure and Contradiction in Social Analysis (Berkeley and

California: University of California Press, 1979/1990).

Kerangka Teori

mereka miliki. Bersamaan dengan itu, pada pihak lain, melalui aktivitas dan praktik-praktik sosial, para aktor mereproduksi struktur dan identitas sosial. Oleh karena itu, Giddens merumuskan teorinya sebagai dualitas struktur (duality of structure). Dual itas struktur ini menunjuk kepada “the essential recursiveness of social life, as constitued in social practices; structures is both medium and outcome of reproduction of practices. Structures enters simultaneously into constitution of agent, and exist in the generating moments of

thus constiutions .” 34 Semua proses ini berlangsung dalam rentang historis waktu dan tempat: dalam sejarah dan geografi komunitas etnik. Reproduksi atau formasi sosial di atas dapat penulis skemakan seperti di bawah ini:

Agensi manusia yang dijalankan oleh para aktor sosial Giddens letakkan di bawah konsep dasarnya tentang subyektivitas: the acting-reflective subjectivity. 35 Dengan ini Giddens menegaskan bahwa para aktor manusia adalah agen- agen aktif dan proaktif yang bertindak berdasarkan kapasitas reflektif mereka sendiri. Jadi para aktor memiliki kapasitas agensi dalam memonitor aktivitas mereka dalam konteks interaksi sosial atau interaksi muka dengan muka. Kapasitas

34 Giddens, Central Problems in Social Theory, 5. 35 Giddens, Central Problems in Social Theory, 117.

52 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

refleksif para aktor sosial ini ditopang oleh dua level kesadaran (consciousness), yakni kesadaran praktikal dan

kesadaran diskursif. 36 Kesadaran praktikal menunjuk kepada “what actors know (believe) about social conditions, including especially the conditions of their action, but cannot experess

kesadaran diskursif menekankan bahwa para aktor atau agen dalam interaksi

discursively 37 .” Sementara

itu,

sosial memiliki “compotence to know and to explain most of what they do, if asked 38 .”

Daya reflektif para agen ini merupakan sebuah kompetensi sosial atau resiprokal yang terhubungkan dengan kapasitas rasionalisasi atau pemberian alasan atas tindakan- tindakan mereka. Di sini Giddens menekankan bahwa para aktor sosial selalu berusaha mempertahankan keberlanjutan theoritical understanding dari dasar-dasar tindakan atau aktivitas mereka.

Dari mana pengetahuan yang dimiliki dan digunakan para aktor dalam aktifitas sosial? Para aktor sosial telah dibekali dengan kesadaran praktis (the stock of knowledge), 39 yang disediakan oleh struktur (cultural structure). 40 Kesadaran

36 Giddens, The Constitution of Society, 5-14; Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1998), 497-498.

37 Giddens, The Constitutuion of Society, 375. 38 Giddens, The Constitutuion of Society, 5.

39 Konsep “kesadaran praktis” (stock of knowledge) dari Giddens ini mirip dengan konsep habitus dari Bourdieu. 40 Dalam bangunan teorinya, Giddens berusaha merevitalisasi pandangan tentang kebudayaan (culture) sebagai praksis, suatu proses kontemporer aktif, yang dilaksanakan oleh dan tersusun dari tindakan para subyek aktif. Bandingkan: Margareth S. Archer, Culture and Agency:The Place of Culture in Social Theory (Cambridge, New York: Cambridge University Press, 1988), mengritik penumpang-tindihan struktur (budaya) ke dalam praktik agensi manusia dalam sistem/struktur sosial seperti yang dikemukan oleh Giddens ini.Bagi Archer konflasi meniadakan eksistensi mandiri kebudayaan sebagai produsen keyakinan, nilai, dll. Archer memisahkan apa yang ia sebut sebagai Sistem Kebudayaan (Culture System) dari Sistim Sosio-Kultural (Sicio-cultural system), yakni kebudayaan yang

Kerangka Teori

praktis menyediakan interpretasi-interpretasi dan kerangka kerja kontekstual. Turner menjelaskan hakikat dan fungsi kesadaran praktis ini demikian:

the stock of knowledge that one implicitly uses to act in situations and to interpret the actions of others. This knowledgeability is constantly used, but rarely articulated, to interpret events – one’s own and those of others. Almost of indexical in that they must be interpreted by their context, and this implicit stock of knowledge provides these contextual interpretations

and frameworks. 41

Stuktur (cultural structure), sebagai penyedia interpretasi dan kerangka kerja kontekstual bagi para aktor sosial, oleh Giddens tidak menunjuk kepada bentuk-bentuk sosial tertentu, tetapi kepada generative rules dan resources. Rules adalah prosedur-prosedur yang telah teruji (generalizable) dalam ragam konteks penerapannya. Para aktor aktor mengenal dan memahami serta menggunakan prosedur-prosedur ini dalam interaksi sosial. Giddens mengasumsikan bahwa rule adalah metodologi atau teknik

dipraktikkan dalam interaksi sosial. Ini yang Archer sebut dualisme kebudayaan (struktur), sementara Giddens mengunakan dualitas struktur. Maksudnya selalu harus dipertahankan adanya struktur kebudayaan yang berdiri sendiri sebagai produk keyakinan, nilai, dll., yang berdiri di luar struktur sosial dan agensi manusia serta praksis sosial; Usul lain diajukan oleh Cliffo rd Geertz,“Ritual and Social Change: A Javanese Example” dalam The Interpretation ofCulture ( New York: Basic Books, 1973), 142-169, yang

memisahkan secara analitik struktur kebudayaan dan struktur sosial: “On the one level [cultural structure] there is the framework of beliefs,

expressive symbols, and values in terms of which individuals define their world, express their feelings, and make their judgments; on the other level there is the ongoing process of interactive behavior, whose persisten form we call social structure. Culture is the fabric of meaning in terms of wich human beings interpret their experience and guide their action; social strucutre is the form that action take, the actually existing network of social relations... The one considers social action in respect to its meaning for those who carry it out, the other considers it in terms of its contribution to the functioning of some social system.” Kemudian Geertz kembangkan struktur ketiga, yakni struktur personalitas.

41 Turner, The Structure of Sociological Theory, 498.

54 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

yang para aktor tahu, sering secara implisit, dan yang menyediakan suatu formula relevan bagi tindakan. Roger Sibeon memberi penjelasan tentang rules sebagai “social conventions and knowledge of the context of their application that relating to the constitution of meaning and sacntions

involved in social conduct and production of social practices 42 .” Giddens sendiri menggarisbawahi ciri-ciri rules 43 : (1)

mereka sering digunakan dalam percakapan-percakapan dan ritual-ritual interkaksi sehari-hari; (2) mereka dipegang dan dipahami secara diam-diam (tacitly) dan merupakan bagian dari kesadaran praktis para aktor yang berkompeten; (3) mereka bersifat informal, tidak tertulis dan tidak terucapkan; dan (4) mereka tidak bersangsi keras melalui teknik-teknik atau kode-kode interpersonal.

Dalam teori dualitas struktur, para aktor dalam mengahadapi situasi atau peristiwa dan interaksi sosial tertentu dapat mentransformasi rules ke dalam kombinasi- kombinasi baru.

Di samping rules, terdapat komponen struktural lainnya, yaitu reosurces (sumber daya), 44 fasilitas yang digunakan oleh para aktor untuk melakukan sesuatu. Jadi bila rules memberi arah kepada tindakan, maka resources menyediakan kapasitas untuk bertindak atau berkativitas. Resources adalah perlengkapan material dan organisasional.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa resources ini terkait dengan kekuasaan (power). Maksudnya: kekuasaan muncul ketika sumber daya material dan organisasional dimobilisasi oleh para aktor. Jadi sumber daya

42 Roger Sibeon, Rethinking Social Theory (London: Sage Publications Ltd., 2004), 74; Giddens, Central Problems in Social Theory – Action, Structure and Contradiction in Social Analysis, 82.

43 Turner, The Structure of Sociological Theory, 492. 44 Konsep resources ini mirip dengan konsep capital dalam teori Bourdieu.

Kerangka Teori

itu sendiri bukan kekuasaan. Tetapi di sinilah Giddens menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya, yang melahirkan kekuasaan, terkait dengan aspek dominasi dari tindakan sosial. Mobilisasi sumber daya menunjukkan pula kemampuan para aktor untuk mentransformasi sumber- sumber daya yang tersedia.

Aspek waktu dan ruang (time-space) sangat penting dalam konteks teori dualitas struktur Giddens terkait formasi sosial. Ruang-Waktu terkait erat dengan kontekstualitas kehidupan sosial dan institusi-institusi sosial. Pewaktuan dan keruangan dari kehidupan sehari-hari adalah sentral bagi semua aspek sistem sosial. Mereka adalah bagian integral dari setiap obyek – mereka tidak berada di luar obyek, yang semata-mata memengaruhi obyek.

Aspek waktu-ruang membawa kita kepada hubungan antara integrasi sosial dan integrasi sistem dalam teori Giddens: 45 hubungan antara intera aksi dalam konteks kelompok-kelompok kecil dan interaksi dengan pihak-pihak lain yang secara fisik tidak hadir (atau tidak hadir secara temporer). Intergasi sistem terkait dengan sistim sosial- makro.

digunakan untuk menggambarkan resiprositas praktik-praktik antara para aktor dalam konteks kopresensi (co-presence). Sedangkan, integrasi sistim menunjuk kepada resiprositas antara para aktor atau kolektivitas lintas waktu dan ruang –di luar kondisi- kondisi kopresensi.

Kerangka teorisasi formasi sosial Gidden ini dapat diaplikasikan secara elaboratif dalam menggambarkan formasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta terkait perjumpaan dengan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Elaborasi kerangka teori ini dapat penulis skemakan demikian:

45 Giddens, Central Problems in Social Theory, 203.

56 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Dari sisi antropologi sosial, Pierre Bourdieu mengajukan

pendekatan teoritikal sturkturalisme konstruktivis

atau konstruktivisme strukturalis. 46 Strukturalisme Bourdieu menegaskan bahwa didalam dunia sosial sendiri--bukan hanya dalam sistem simbolis (bahasa, mitos, dsb.)--terdapat struktur-struktur obyektif dari kesadaran dan kehendak agen, yang mampu mengarahkan dan menghambat

representasi mereka. Konstruktivisme menunjukkan bahwa terdapat asal-usul sosial bercabang dua, yakni di satu sisi, asal-usul berupa skema, persepsi, pikiran dan tindakan yang membentuk habitus, dan di sisi lain, asal-usul berupa struktur sosial, yakni arena dan berupa kelompok atau kelas sosial.

praktik

atau

Bourdieu menyebutkan teori konstruksi sosialnya sebagai teori praktik (theory of practice). Ia merumuskan teori

praktik sebagai “the theory of the mode of the generation of practices, which is the precondition for establishing an experimental science of the dialectic of the internalization of

externality and externalization of internality, or, more simply, of

46 Pierre Bourdieu, ‘Ruang Sosial’ dalam Pierre Bourdieu, Choses Dites: Uraian dan Pemikiran (Bantul: Kreasi Wacana, 2011), 163-199.

Kerangka Teori

incorporation and objectification. 47 ” Secara analitik- komponensial bangunan teori praktik Bourdieu tersusun dari tiga konsep fundamental, yaitu habitus, kapital, dan arena. Ketiga konsep dasar ini saling terkait dan memengaruhi membentuk dan mengalas praktik-praktik sosial dalam proses konstruksi sosial. Ketiga konsep ini dikelola oleh para agen sosial dari dalam kelompok-kelompok sosial (kelas) mereka. Untuk menjelaskan proyek ini, yang terkait dengan praktik- prkatik sosial dalam kerangka produksi atau reproduksi sistem atau struktur sosial, penulis skemakan seperti di bawah ini:

Habitus adalah konsep utama dan sentral dalam teori praktik Bourdieu. Bagi Bourdieu praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Terdapat dua ekstrim pandangan atau perspektif terkait konstruksi sosial atau praktik sosial ini. Pada satu sisi, pandangan subyketivistik menegaskan bahwa praktik sosial dibentuk oleh keputusan dan tindakan individual. Pada sisi lain, perspektif obyektivistik menekankan bahwa praktik sosial dibentuk oleh struktur-struktur luar dan yang mengatasi individu. Bourdieu mengajukan konsep habitus

sebagai konsep

yang

menjembatani atau

47 Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, ibid., 72.

58 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mentransendensi oposisi dua pertentangan pandangan tentang praktik sosial ini.

Untuk mentrasendensi dua pendekatan ini, Bourdieu memperlakukan kehidupan sosial sebagai bentukan interaksi dari struktur-struktur, disposisi-disposisi, 48 dan tindakan- tindakan. Interaksi struktur-struktur sosial dan pengetahuan tentang struktur-struktur tersebut memproduksi orientasi- orientasi bagi tindakan dan sebaliknya, tindakan-tindakan agen membentuk struktur-struktur sosial. Dengan demikian, orientasi-orientasi sekaligus adalah struktur-struktur yang men-strukturkan (structuring structures) dan struktur- struktur yang distrukturkan (structured structures). Orientasi- orientasi tindakan ini membentuk dan dibentuk oleh praktik sosial. Akan tetapi, praktik sosial tidak dihasilkan secara langsung oleh orientasi-orientasi (disposisi-disposisi), seperti dalam studi-studi perilaku, tetapi agaknya merupakan hasil dari proses improvisasi, yang sebaliknya distrukturkan oleh orientasi-orientasi kultural, trayektori-trayektori personal, dan kemampuan untuk beraktivitas (play the game) dalam interaksi sosial.

Kemampuan improvisasi terstruktur inilah yang Bourdieu sebut habitus. Habitus adalah suatu sistem skema- skema generatif umum yang bertahan lama/durable. Skema- skema generatif ini termaktub dalam konstruksi diri secara sosial dan dapat teralihkan/transposable dari satu arena ke arena lainnya, bekerja dalam tataran ketidaksadaran, dan terjadi dalam suatu ruang kemungkinan-kemungkinan yang

48 Bourdieu menjelaskan secara khusus konsep disposisi ini pada salah satu catatan kaki dalam bukunya Outline of Theory of Practice, ibid., 214: “The word disposition seems particularly suited to express what is

covered by the concept of habitus (defined as system of disposistion). It express first the result of an organizing action, with a meaning close to that of words such as structure; it also designates a way of being, a habitual state (especially of the body) and, in particular, a predisposition, tendency, propensity, or inclination. ”

Kerangka Teori

terstruktur. Habitus ini berupa persepsi-persepsi, pilihan- pilihan, dan perilaku. Habitus merupakan ‘kesadaran kolektif’ bersama dari satu kelompok atau kelas atau posisi

sosial.Habitus menyediakan garis-garis pengarah kognitif dan emosional yang memampukan para individu menghadirkan dunia dalam cara-cara umum atau bersama dan bertindak dalam cara tertentu.

Konsep kedua Bourdieu adalah modal (capital) terkait dengan kapasitas untuk melaksanakan kontrol atas masa depan sesorang maupun orang-orang lain. Jadi

modal adalah suatu bentuk kekuasaan. 49 Pandangan tentang modal ini secara teoritik juga melayani sebagai mediator antara individu dan masyarakat. Pada satu sisi, masyarakat distrukturkan oleh perbedaan distribusi modal. Tetapi pada pihak lain, individu berjuang untuk memaksimalkan modal mereka.

Bourdieu membedakan beberapa jenis modal, yaitu modal sosial, kultural, dan ekonomi. 50 (1) Modal ekonomi atau alat-alat produktif seperti uang dan obyek-obyek material yang dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang dan pelayanan-pelayanan. (2). Modal sosial atau posisi-posisi dan relasi-relasi dalam kelompok-kelompok dan jejaring-jejaring sosial. (3) Modal kultural atau keahlian-keahlian interpersonal informal,

kebiasaan-kebiasaan, cara-cara, gaya-gaya berbahasa, kredensi-kredensi pendidikan, cita rasa, dan gaya hidup. Modal ekonomi dapat secara mudah dan efesien dikonversikan menjadi modal simbolik, yakni modal sosial dan kultural, dari pada sebaliknya. Dalam implementasi sosial, modal ekonomi ini harus dimediasikan secara simbolik. Karena reproduksi terang-terangan modal ekonomi

49 Dalam teorisasi Giddens resources pada dirinya sendiri bukanlah power. Ketika respurces digunakan oleh aktor-aktor sosial barulah melahirkan social power.

50 J.H. Turner, ibid., 512 menambahkan modal simbolik, yang Craig Calhoun dkk, ibid., 4 gunakan untuk menyebutkan modal sosial dan modal kultural.

60 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

mengungkap karakter kesewenang-wenangan dari distribusi kekuasaan dan kekayaan. Dalam kondisi ini modal sosial berfungsi sebagai penyelubung dominasi ekonomi dari kelas

dominan 51 dan secara sosial melegitimasi hirarkhi dengan pendasaran dan naturalisasi posisi sosial.

Arena (field) adalah sebuah ruang sosial di dalam mana berlangsung pergulatan-pergulatan atau manuver-manuver untuk memperoleh dan menguasai sumber-sumber daya khusus dan akses ke mereka. Arena adalah sebuah sistem yang telah terstruktur dari posisi-posisi sosial. Arena diduduki oleh individu atau insititusi-institusi.

Arena yang mendefinisikan situasi bagi para warganya. Arena juga merupakan sistem kekuasaan yang ada di antara posisi-posisi tersebut. Jadi suatu arena terstruktur secara internal dalam relasi-relasi kekuasaan. Posisi-posisi seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain tertata dalam relasi-relasi dominasi, subordinasi atau setara, tergantung pada akses mereka terhadap sumber-sumber daya (modal) yang ada di dalam arena itu.

Arena menunjuk kepada pentingnya relasi sosial bagi analisis sosial, yakni penjelasan tentang ruang multidimensi dari posisi-posisi dan pengambilan posisi oleh para agen. Sekali lagi, posisi seorang agen adalah hasil saling pengaruh antara habitus seseorang dan tempatnya di dalam arena posisi-posisi serta sesuai dengan distribusi bentuk modal/kapital.

Dunia sosial dibentuk melalui praktik-praktik sosial agen manusia (individu dan kolektif) dari posisi sosial tertentu (dalam lingkup kelas dan arena), yang ditopang oleh habitus dan dengan habitus memanfaatkan modal (ekonomi, sosial, kultural) yang tersedia dalam arena sosial tertentu dalam rangka mereproduksi sistem atau dunia sosial mereka. Dengan

51 Bourdieu meminjam konsep kelas sosial dari Marx.

Kerangka Teori

model teori ini kita dibantu untuk meniliti dan menjelaskan peran aktif agensi manusia, melalui kemampuan improvisatif (habitus), dalam melakukan perubahan sosial dalam suatu masyarakat.

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan pada Algoritma LFSR (Linear Feedback Shift Register) dalam Reposisi XOR dalam Pencarian Bilangan Acak Terbaik: Studi Kasus LFSR dengan 4 Bit dan 6 Bit

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: BINAKEL: Kajian terhadap Tema Bulanan Bina Keluarga Gereja Protestan Maluku (GPM) Tahun 2017 dari Perspektif Teologi Keluarga Maurice Eminyan

0 5 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Nateek bagi Pembentukan Identitas Sosial Etnik Cina Indonesia (ECI) di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Sonhalan Niki Niki

0 2 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Raport Online: Studi Kasus SD Masehi Pekalongan

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integritas Suricata Intrusion Detection System (IDS) dengan Mikrotik Firewall untuk Keamanan Jaringan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

3 9 21

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik S

0 0 36