BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - ANALISIS SUBORDINASI DALAM NOVEL TANAH TABU KARYA ANINDITA S. THAYF - repository perpustakaan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan beberapa temuan yang terkandung di dalam novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, yaitu berupa keunikan pada struktur

  intrinsik, juga ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik yang terkait dalam penelitian ini adalah tokoh, penokohan, alur dan latar. Ketiga unsur tersebut dalam pandangan ini mampu merepresentasikan kondisi dari sosiokultur, yang terkait dengan subordinasi perempuan. Selain itu, pengungkapan mengenai konsep gender dalam novel Tanah Tabu ini juga penting untuk meneliti hubungan sastra dengan unsur luarnya, yang pada nantinya mengarah pada subordinasi perempuan.

  Adapun mengenai ekstrinsik, penjelasan mengenai konsep gender, hal ini dimaksudkan sebagai penjelasan deskriptif mengenai internalisasi subordinasi yang dikembangkan dalam rangka membebaskan perempuan dari ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Penjelasan ini tidak langsung menguraikan mengenai sisi subordinasi perempuan novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, namun terlebih dahulu meneliti keterkaitan antarunsur di dalamnya agar terjalin sinkronisasi antara teks dan konteks. Hal ini mengacu pada pendekatan struktural yang penulis gunakan sebagai teori dalam penelitian ini.

A. Unsur Intrinsik Novel Tanah Tabu

  Pada analisis struktur karya sastra (baca:novel) melalui pendekatan struktural, hal yang dianalisis terlebih dahulu adalah bagian dari intrinsiknya.

  Tujuan menganalisis unsur intrinsik adalah untuk memahami fungsi dan relasi

  26 yang terkandung dalam setiap unsurnya. Dalam analisis struktural, yang lebih penting adalah menunjukan hubungan antarunsur, serta mencari sumbangan yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna (Nurgiyantoro, 2002: 37).

  Dalam analisis unsur intrinsik terhadap novel Tanah Tabu, pembacaan antarunsur di dalamnya sangat penting. Unsur yang terkait, yaitu tokoh, penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut pada nantinya menjadi rujukan penting dalam menemukan referen mengenai subordinasi perempuan. Dengan demikian, pada nantinya dari ketiga unsur dalam juga akan dikaitkan dengan unsur luar.

1. Tokoh dalam Novel Tanah Tabu

  Tokoh-tokoh yang diceritakan secara deskriptif, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

  Tabel 1. Penokohan Novel Tanah Tabu Nama Tokoh Penokohan Utama Tambahan Tidak Langsung

  Mabel   Pum  

  Kwee   Mace  

  Leksi   Yosi  

  Mama Helda   Tuan Piet  

  Nyonya Hermine   Pace Mauwe  

  Pace Johanis   Vic dan Ann  

  Pace Poro Boku   Mote  

  Pak Guru Wenas   Pace Gerson  

  Karel   Mama Kori  

  Dari tabel tersebut, hampir semua tokoh dalam novel Tanah Tabu dideskripsikan oleh pengarang melalui tiga narator yaitu Pum, Kwee, dan Aku yang ditampilkan sebagai pencerita dalam novel. Hanya tokoh-tokoh yang tidak terlalu penting dalam novel Tanah Tabu yang diceritakan secara sepintas saja.

  Sebenarnya, tokoh Tuan Piet dan Nyonya Hermine termasuk tokoh penting yang berperan serta dalam pembebasan perempuan dalam tindak kekerasan dan ketertinggalan. Tokoh ini dalam novel Tanah Tabu perannya sedikit tenggelam dengan adanya peran tokoh Mabel yang dengan gigih memberikan perhatian kepada nasib perempuan di Tanah Tabu. Tokoh Mabel juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan oleh pengarang dengan teknik aku-an melalui tokoh Pum, Kwee, dan Aku. Tokoh Mabel selalu muncul di setiap peristiwa yang diceritakan pada seluruh episode atau bab dalam novel.

2. Penokohan dalam Novel Tanah Tabu Penokohan dalam novel Tanah Tabu dilukiskan melalui teknik dramatik.

  Teknik dramatik adalah pengungkapan tokoh di dalam cerita melalui penggambaran utuh dan konkrit secara tidak langsung pada tokoh-tokoh penting yang terkandung di dalam cerita.

  Tokoh-tokoh yang ada dan penting dalam novel dideskripsikan, diuraikan, dan dijelaskan secara tidak langsung mengenai karakternya. Pengarang membiarkan (baca:menyiasati) para tokoh cerita untuk menunjukan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik melalui perkataan maupun melalui tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui berbagai aktivitas yang dilakukan sebagai upaya memperjelas permasalahan. Pengungkapan mengenai kejelasan antartokoh dimaksudkan agar terjalin informasi yang utuh mengenai makna secara lengkap. Kejelasan-kejelasan dalam melukiskan tokoh diuraikan, seperti pada kutipan berikut ini.

  “Aku memanggilnya Mabel sebagai nama kesayangan, dari singkatan Mama Anabel yang terasa cukup panjang saat diucapkan, apalagi tatkala diteriakan. Seperti para mama lainnya, Mabel tentu saja sudah tua. Dari rambutnya yang hampir serempak memutih kau juga dapat langsung mengetahuinya, pun dari kulitnya yang mengendur di sana-sini serupa lipatan seprai lupa disetrika. Meskipun begitu, jangan remehkan kekuatan Mabel-ku sayang. Dengan tangannya yang lebar, dia bisa mematahkan batang lehermu sekali genggam. Dengan tubuhnya yang besar, dia bisa menyembunyikan dua bocah sekaligus di belakang punggungnya tanpa terlihat (Thayf, 2009:13).

  Dari kutipan di atas, mendeskripsikan bahwa tokoh benar-benar dianalisis oleh pengarang. Tokoh menjadi sentral cerita sekaligus sebagai ilustrasi mengenai “potret” kehidupan yang kejam pada suatu daerah tertentu. Dengan adanya potret tersebut, pembaca menjadi jelas dan lekas paham mengenai karakter orang-orang yang suka melindungi, menindas, dan ditindas ditampilkan dalam ciri bentuk fisisk yang melingkupi tokoh.

  Identifikasi mengenai tokoh Mabel, misalnya, telah mempertegas adanya sikap kepedulian untuk melindungi orang-orang tertindas. Struktur fisik yang dimilikinya membuat orang-orang segan terhadapnya. Adapun struktur fisik yang dimiliki oleh anak-anak Papua yang mempertegas kondisi masyarakat pinggiran yang malang karena selalu ditindas oleh ayahnya sendiri yang suka bermabuk- mabukan. Adanya ayah yang mabuk-mabukan juga mempertegas bahwa keberadaan laki-laki di Papua selalu menindas kaum di bawahnya. Hal tersebut dapat diperjelas pada kutipan berikut ini.

  ...

  Ketika itu, Mabel berhadapan dengan seorang paitua pemabuk yang mencoba menyiksa kedua anaknya. Anak-anak malang yang wajahnya berlepotan air mata dan ingus itu berlari kearah Mabel yang kebetulan sedang menyapu halaman. Merekapun disembunyikan Mabel di balik punggungnya, sementara bapak mereka memburu dari belakang. Di hadapan Mabel yang sebesar gunung, aku melihat dengan mata kepalaku paitua pemabuk itu berusaha menggapai anak-anaknya tanpa menyentuh tubuh Mabel, tetapi gagal. Berkali-kali dicoba, berkali-kali pula gagal. Tubuh Mabel seolah selebar pintu gerbang sehingga tangan paitua itu tidak pernah sampai. Hingga pada titik tertentu, di tengah kegusarannya, paitua yang mulai marah itu mencoba menghadapi Mabel. Dengan penuh percaya diri bercampur nekat, setelah sebelumnya mengambil ancang-ancang, ditubrukkan badannya ke dada Mabel yang membusung luar biasa. Kau mungkin tidak akan percaya kalau kukatakan pada sisa pagi itu, anak-anak malang yang disembunyikan Mabel dibelakang punggungnya akhirnya bisa bernapas lega karena bapak mereka terkapar pingsan, tak berdaya, di atas tanah.

  Jika marah, Mabel memang seperti raksasa ganas dengan sepasang lubang hidung sebesar sumur yang mampu mengisapmu sekali sedot (Thayf, 2009:13-14).

  Dari kutipan di atas, deskripsi tokoh dalam novel Tanah Tabu adalah sebagai upaya representasi keadaan masyarakat yang tertidas. Usaha ini dilakukan dalam rangka menyusun ide (gagasan) mengenai potret masyarakat pinggiran di Papua. Memang, dalam beberapa hal, pengarang melukiskan tokoh melalui hiperbola. Badannya sebesar gunung, tangannya yang lebar bisa mematahkan batang leher manusia dalam sekali genggam, kulitnya yang mengendur di sana- sini serupa lipatan seprai yang belum disetrika, sepasang lubang hidung sebesar sumur yang mampu mengisapmu sekali sedot. Tentunya, pengungkapan dari deskripsi yang detail ini dikarenakan adanya fakta sosial yang telah dialami pengarang, baik mengenai lingkungan alam Papua, maupun dinamika masyarakat Papua itu sendiri.

  Sehubungan dengan hal tersebut, Nurgiyantoro (2009: 196) mengatakan bahwa dengan adanya pendeskripsian tokoh, maka perhatiannya (baca:pengarang) bisa lebih difokuskan pada masalah ini, yakni pada pengembangan cerita dan penyampaian makna. Dalam kaitan ini novel sebagai representasi telah dengan inspirasinya mengembangkan antara fakta dengan imajinasi. Usaha dari pengarang untuk menceritakan mengenai kehidupan miskin di Papua telah terbantu dengan adanya deskripsi orang-orang miskin melalui tokoh. Dengan demikian, usaha pengarang untuk menyampaikan gagasan dan ide dalam struktur ceritanya menjadi lebih mudah.

  Adapun menurut Wellek dan Werren (1993: 290) bahwa deskripsi tokoh dalam cerita merupakan kebiasaan dari periode Romantik dan Realistis. Dalam sejarah sastra, dua periode inilah yang dengan detail mendeskripsikan tokoh sebagai upaya pemerjelas karakter, yang disambung dengan isi cerita lainnya.

  Dalam pendeskripsian ini, pengarang menjadi leluasa keluar masuk antara deskripsi tokoh dengan menyampaikan struktur cerita lainnya. Penyebabnya adalah relasi yang ketat antar fakta sosial dengan struktur fisik dari masyarakat tersebut. Kejadian ini dapat dipahami juga dengan pemahaman mengenai daerah yang mempresentasikan makhluk hidup yang berada di sekitarnya. Bagaimanapun juga, novel realis harus tetap mengandung logika berpikir sesuai dengan standarnya.

  Tokoh-tokoh di dalam novel Tanah Tabu yang terlibat dalam praktik subordinasi adalah Mabel, sebagai tokoh utama yang menjadi sentral cerita. Mace, Yosi dan Mama Helda, sebagai tokoh tambahan yang mengalami subordinasi. Adapun penokohan pada tokoh penting yang terlibat pada praktik subordinasi adalah sebagai berikut.

a. Tokoh Mabel

  Tokoh Mabel dalam Tanah Tabu cukup sentral. Mabel lahir ketika Belanda datang ke Lembah Baliem pada tahun 1946. Pasangan keluarga Belanda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan kemudian menjadikan Mabel sebagai anak angkat. Mulailah Mabel berkelana mengikuti tuan barunya. Ikut dengan keluarga Belanda menjadikan Mabel terpelajar. Ia mampu berbahasa Indonesia dan Belanda dengan baik. Ia banyak membaca buku. Walaupun begitu, karena ikut keluarga Belanda yang tidak ingin penduduk pribumi bisa mengenyam pendidikan yang baik di sekolah, Mabel pun dilarang sekolah. Namun, tetap saja, Mabel telah menjadi perempuan yang bisa membebaskan dirinya dari belenggu takdir perempuann Papua di usianya yang masih dini. Hal inilah yang menjadikan sosok Mabel menjadi sentral cerita dan dijadikan tokoh utama di Tanah Tabu. Untuk lebih jelasnya, ada dalam kutipan berikut.

  Wibawa dan kebaikan Tuan Piet membuat ayah dan ibu Mabel merasa beruntung ketika Nyonya Hermine, istri Tuan Piet, meminta Mabel menjadi anak piaraannya. Mabel akan tinggal bersama mereka dan diberi kehidupan yang layak, termasuk pakaian, makanan, dan pendidikan. Ia berjanji tidak akan menelantarkan Mabel; Mabel akan diperlakukan dengan layak meskipun warna kulit mereka berbeda.

  ... Pada akhir masa tugas Tuan Piet, Mabel pun mengikuti jejak keluarga barunya yang berkulit putih meninggalkan Lembah Baliem, dan kedua orangtuanya yang tengah disaput kegembiraan karena mendapatkan “ganti rugi kehilangan” dari Tuan Piet derupa sejumlah keping ot, beberapa gulung tembakau, sekantong garam, pisau, juga sebuah benda kecil yang bisa memantulkan cahaya matahari untuk ibu Mabel dari Nyonya Hermine. Dan betapa beruntungnya aku, Mabel ternyata tak lupa mengajakku serta. Besama-sama, kami menuju ke tempat tinggal kami yang baru di balik gunung. Yang ternyata terus berpindah-pindah tak terduga.

  Yang pentig untuk kau tahu, pada usianya yang kedelapan tahun, Mabel telah berhasil membebaskan dirinya sendiri dari belenggu takdir perempuan suku Dani yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun, dan babi (Thayf, 2009:106-107).

  Dari kutipan tersebut Tokoh Mabel membuktikan sebagai sosok perempuan yang berjuang untuk melawan penindasan yang dialaminya dan perempuan komen lainnya. Posisinya sebagai perempuan yang harus patuh terhadap adat dan budaya membuat dirinya tertindas sehingga posisinya selalu dibawah dari yang lainnya. Hal tersebut menumbuhkan keinginan Mabel untuk tumbuh menjadi orang yang pintar tidak bodoh seperti perempuan-perempuan komen yang pasrah dengan keadaan tertindas karena tidak mendapatkan kebebasan.

b. Tokoh Mama Helda

  Tokoh Mama Helda adalah gambaran dari perempuan Papua yang tertidas akibat sifat tunduknya kepada seorang suami. Tokoh ini juga membuktikan bahwa dengan menikah muda tidak menjamin perempuan papua mendapatkan kehidupan yang lebih baik seperti yang diimpikan setiap perempuan papua. Di satu sisi, melalui tokoh ini, pengarang mengkritisi mengenai keadaan perempuan yang tertindas dari praktik-praktik kekerasan yang di lakukan oleh laki-laki (suami). Kekerasan dalam novel ini bermacam-macam bentuknya, salah satunya yaitu subordinasi. Hal ini dikarenakan perempuan tidak mendapat perhatian dan perlindungan dari laki-laki ataupun pemerintah setempat sehingga tokoh Mama Helda harus menjadi korban dari superioritas laki-laki saat umurnya masih dini hingga ia menjadi seorang ibu dengan empat orang anak. Lebih jelasnya dapat dicermati dalam kutipan berikut.

  Yang kutahu, dahulu Mama Helda suka sekali tertawa dan bercanda. Ia bersikap begitu jika suaminya tidak ada di rumah. Sudah berangkat kerja sejak pagi-pagi buta. Sebaliknya, jika suaminya telah pulang—laki-laki itu tiba di rumah sebelum malam merangkak terlalu jauh—Mama Helda menyimpan ceria kanak-kanaknya di dalam saku. Ia memaksa dirinya menjadi dewasa. Berusaha menjadi seorang istri yang dimaui sang suami. Penurut, penyabar, pendiam, pemaaf, dan sikap lain yang akan bertambah sesuai kebutuhan. Berbicara tentang ini, aku jadi teringat sebuah perkataan Mabel.

  “Kalau kau seorang perempuan yang ingin senantiasa menyenangkan suamimu, lebih baik tanggalkan dulu perasaanmu dalam lemari dapur. Kecuali kau ingin hatimu terus-menerus menangis karena perlakuannya yang seolah-olah lupa bahwa kau juga manusia seperti dirinya.”

  Aku tahu mungkin kau tidak setuju dengan perkataan itu, mungkin juga malu mengakui, tetapi cobalah untuk sesekali mangamini kebenaran seperti yang kulakukan sekarang ini. Kuakui kalau laki-laki kelahiran tanahku adalah para pemberani. Mereka tidak pernah gentar bertempur di medan perang dan beburu di hutan liar. Mereka adalah penakluk alam sejati. Namun yang sangat kusesali mengapa mereka membawa kebuasan itu sampai ke rumah? Menjadikan perempuan, istri sendiri, dan anak-anak sebagai korban. Sungguh tragis. Begitupun yang terjadi pada Mama Helda (Thayf, 2009: 65-66). Dari kutipan tersebut, dapat dicermati bahwa tokoh Mama Helda telah memunculkan potret perempuan yang tertindas oleh kaum lain. Kaum laki-laki tidak hanya membawa kebuasan mereka di medan perang ataupun dalam berburu di hutan liar, tetapi juga di dalam rumah maupun lingkungan keluarga. Perlakuan- perlakuan yang mereka lakukan tidak hanya sebatas penakluk alam sejati yang tidak takut dalam medan perang, tetapi mereka juga menjadi penakluk istri dan anak-anaknya sendiri sehingga kaum laki-laki bebas memperlakukan istri dan keluarganya. Kondisi seperti ini yang menyebabkan kemunculan praktik-praktik subordinasi.

c. Tokoh Mace/ Mama Lisbeth Tokoh Mace juga merupakan gambaran perempuan Papua yang lemah.

  Hal ini dipertegas dengan kondisi fisiknya yang kurus dan airmata yang kerap kali ia keluarkan secara sembunyi-sembunyi. Seperti yang tertulis pada bagian bawah cover novel Tanah Tabu “Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Air mata hanyalah untuk yang lemah”. Sehubungan dengan hal tersebut Kwee yang berlaku sebagai narator dalam novel Tanah Tabu menyampaikan bahwa di balik kelemahan Mace ternyata tersimpan rasa kasih sayang yang begitu dalam. Kwee walaupun dia bukan anak kandung dari Mace tetapi dia mau mengurus dan membesarkannya. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

  Sejak kecil, Macelah yang mengurus dan membesarkanku. Tidak kurasakan ada beda kasih sayang yang dicurahkannya untukku dan Leksi, anaknya sendiri. Sepiring makanan untuk Leksi, sepiring juga untukku. Leksi dibuainnya dalam pelukan, aku diusapnya dengan kasih sayang. Leksi diajak jalan-jalan, aku pun diikutkannya serta. Karena itu, jangan tanya mengapa aku sangat tahu tubuh kurus Mace bukan disebabkan kurang makan, sebab Mabel pun begitu, tetapi mengapa badannya tidak juga mengecil? Mace kurus karena banyak pikiran. Aku sering mendapatinya menangis diam-diam di sumur belakang atau di tengah kebun. Entah mengapa ia tidak pernah menangis di rumah (Thayf, 2009:15) Dari deskripsi tersebut tokoh Mace memunculkan sisi lain dari perempuan Papua, walaupun dalam keadaan yang lemah dan tidak memungkinkan. Tokoh ini menyayangi dan membimbing Kwee yang bukan anak kandungnya sendiri tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga di luar rumah. Perhatian dan kasihsayang yang Mabel lakukan tidak hanya sebatas orang tua angkat, tetapi juga seperti orang tua kandung. Kwee selalu diperlakukan sama dengan Leksi anak kandung Mace.

d. Tokoh Yosi

  Tokoh Yosi, gadis Papua yang sering diceritakan tokoh “Aku” dalam novel. Yosi adalah tokoh yang dianggap kurang berpengetahuan dari berbagai banyak hal dibanding tokoh “Aku”. Hal ini dibuktikan dari sifatnya yang pendiam dan pemurung. Di satu sisi, melalui tokoh ini, pengarang mengkritisi mengenai kekerasan terhadap anak yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat sehingga tokoh Yosi harus terkurung di rumah dan menjaga sikap atau bicaranya supaya tidak kena pukul dan makian dari ibunya sendiri dan dilarang untuk bersekolah. Hal itu dapat diketahui dalam kutipan berikut ini.

  Yosi adalah temanku yang pertama sejak aku mulai mengenal masa bermain. Umurnya lima tahun lebih tua. Anehnya, aku tahu lebih banyak hal daripadanya. Mungkin karena Yosi tidak bersekolah dan hanya berkurung di rumah jika tidak ke pasar atau ke kebun menemani ibunya. Sifat Yosi yang pemurung dan pendiam membuatku terlihat lebih lincah di mata siapa pun. Padahal sebenarnya, Yosi bertingkah seperti itu karena ia takut salah. Salah bersikap atau berbicara. Mama Helda, ibu Yosi, begitu mudah memakinya. Sesekali memukul atau mencubit pula. Dan yang kulihat Yosi hanya diam menerima. Bagai batu, ia psrah disakiti. Sekiranya ia mati diujung satu pukulan, mungkin aku yang tinggal di rumah sebelah tidak akan mendengar jeritannya, hingga tangis Mama Helda, yang baru tersadar setelah terlambat, mengantarkan kabar duka itu (Thayf, 2009:50) Tokoh-tokoh dalam novel Tanah Tabu merupakan ilustrasi kekerasan yang dialami oleh tokoh di daerah pinggiran. Pernyataan Bagai batu, ia psrah

  disakiti. Sekiranya ia mati diujung satu pukulan misalnya, merupakan ironi yang mengungkapkan bahwa tokoh Yosi yang sangat penurut harus menerima pukulan.

  Potret mengenai perempuan pinggiran dalam novel Tanah Tabu diungkapkan dalam keterpaduan antara struktur fisik dengan realita, yang menjadikan alur cerita berkembang dengan baik. Tokoh-tokoh dalam novel Tanah

  Tabu hampir semuanya merupakan tokoh sentral, yang juga melatarkan suatu

  kejadian. Dalam novel ini, sesungguhnya yang terpenting adalah ide (gagasan) mengenai kekerasan yang dijalani oleh sejumlah tokoh di daerah Papua.

  Penyampaian cerita itu, di satu sisi, pengarang dapat memosisikan diri sebagai “pencerita” dalam keberadaannya di dalam karya sastra.

3. Alur dalam Novel Tanah Tabu

  Alur atau plot (jalan cerita) di dalam novel Tanah Tabu adalah menggunakan kaidah plausibilitas. Hal ini telah diketahui semenjak analisis terhadap unsur penokohan di atas: tokoh dijelaskan secara deskriptif. Artinya, “jalan cerita” novel Tanah Tabu menggunakan uraian yang dapat dipercaya oleh pembaca karena dalam cerita tersebut pengarang menyajikan “pengetahuan” secara deskriptif. Pengetahuan dalam novel ini pada akhirnya menjadi wacana yang dapat ditinjau secara komperhensif.

  Tidak semua novel dalam penceritaannya mengunakan “Plausibilitas mungkin dikaitkan dengan realitas kehidupan, sesuatu yang ada di dunia nyata” (Nurgiyantoro, 2002: 130).Hal ini juga sebenarnya diungkapkan oleh Wellek dan Werren (1993:290), di bagian awal, bahwa cerita yang menggunakan deskripsi merupakan periode Romantik dan Realistik.

  Secara isi, novel ini terbagi menjadi 13 bab. Inti dari kronologis mengenai novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

  Tabel 2. Urutan Cerita Novel Tanah Tabu

  Episode Isi Cerita atau Kisah Halaman Cerita

  1. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum 1-27 pengarang memaparkan kondisi alam Papua.

  Melalui tokoh Kwee pengarang memperkenalkan memperkenalkan tokoh Mabel, sebagai tokoh utama, Mace dan Leksi sebagai anak dan cucu dari Mabel.

  2. Aku Dengan teknik aku-an melalui tokoh Aku 28-44 (Leksi) pengarang memaparkan bahwa Mabel memaksakan kepada Leksi untuk bersekolah, agar kelak dia menjadi gadis terpelajar dan bernasib baik, tidak seperti gadis-gadis Papua pada umumnya. Melalui tokoh Pum pengarang memaparkan bahwa tokoh Pum hampir nenebus nyawa demi Mabel, begitupun sebaliknya.

  3. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku 45-58 (Leksi) pengarang memaparkan bahwa Yosi membenci mamanya sendiri karena dia selalu dimarahi dan dipukuli tanpa alasan.Yosi juga merasa keberadaannya dikeluarganya tidak diharapkan karena dia perempuan. Selanjutnya Leksi bercerita tentang keinginan Yosi bersekolah dan memiliki Mabel dan Mace seperti Leksi yang selalu membela dan menyayangi bukan memukuli.

  4. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, 59-76 pengarang menceritakan bahwa Mabel rela banting tulang, bekerja apa saja untuk membiayai sekolah Leksi dan memenuhi semua kebutuhannya. Mabel berharap nantinya Leksi bisa menjadi penerusnya, sebagai perempuan yang cerdas dan peduli terhadap sesama dan lingkungan.

  5. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku 77-95 (Leksi) pengarang menceritakan kebencian Mabel terhadap perusahaan emas dan Pace Gerson, laki-laki asli papua yang menjual gunung emas kepada pendatang demi kepentingan pribadi.

  6. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, 96-124 pengarang menceritakan masalalu Mabel. Si

  Anak Lembah adalah Mabel kecil. Lembah

  yang dimaksud di sini adalah Lembah Baliem tempat Mabel dilahirkan dan tumbuh sebagai perempuan Papua yang kental dengan tradisi dan budayanya. Dari sinilah Pum menceritakan tentang gambaran orang Papua asli yang masih sangat tradisional. Pada usia yang belum genap delapan tahun Tuan Piet Van de Wissel dan Nyonya Hermine Stappen yang datang dari Belanda membawa Mabel dan Pum untuk ikut hidup bersamanya meninggalkan lembah baliem.

  7. Kwee Dengan teknik aku-an, melalui Kwee 125-141 pengarang menceritakan tentang prasangka buruk Kwee terhadap Mabel yang sering pergi tanpa pamit dan terlihat mencurigakan. Kwee beranggapan perang yang terjadi ada sangkutpautnya dengan Mabel karena dulu Mabel pernah menjadi sebab terjadinya perang antar suku.

  8. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku 142-164 (Leksi) dan Pumm pengarang menyampaikan ceritanya secara bergantian. Berawal dari tokoh Aku (Leksi, kesedihan Leksi tidak berlangsung lama karena kedatangan Mama Kori sahabat Mabel.

  Cerita dilanjutkan melalui tokoh Pum dengan memperkenalkan Mama Kori sampai cerita Mama Kori tentang masa lalu Mabel yang mengerikan. Mabel ditangkap dengan paksa oleh orang-orang berseragam dan bersenjata tanpa sebab yang jelas. Selanjutnya Mabel dituduh melakukan kesalahan yang tidak pernah ia lakukan dan disiksa oleh para laki-laki yang menangkapnya kemudian Mabel dikurung dikamar yang mengerikan.

  9. Kwee Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Kwee 165-180 pengarang menceritakan bahwa di suatu malam Mabel, Mama Kori dan Mace saling diam dan bertukar pandang mendengarkan pertengkaran hebat yang terjadi di rumah Yosi, tetangga sebelahnya. melalui tokoh ini juga pengarang menceritakan bahwa Pum diajak oleh Mabel dan Leksi pada suatu pertemuan yang ribut dan kacau. Pertemuan Mabel dengan orang-orang yang tidak suka dengan keberadaan perusahaan mas para calon penguasa di Papua.

  10. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, 181-194 pengarang menceritakan bahwa Mabel tidak mengikuti pilkada akibatnya ia dimusuhi oleh banyak orang karena tidak memilih salah satu calonpun. Para penyogok yang mendatangi rumahnya dengan alih janji-janji tidak satupun yang dapat merayu Mabel. Karena omongan mereka dianggap omong kosong karena Mabel pernah kecewa dengan pemimpin yang ia idolakan dulu.

  11. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku 195-218 (Leksi) pengarang menceritakan bahwa tokoh Leksi selalu menyampaikan hal-hal yang baru ia ketahui kepada Mabel dan Macenya. Melalui tokoh Pum, pengarang juga menceritakan tentang pesanan noken dari Mote kepada Mabel.

  Adapun keluhan Mabel yang bermaksud ingin membuka hati para pejabat, justru membuatnya dimusuhi. Mabel menganggap para pejabat dan masyarakat yang terpengaruh bodoh dan tidak mau belajar.

  12. Kwee Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Kwee, 219-228 pengarang menceritakan tentang penangkapan Mabel oleh beberapa laki-laki bertubuh besar dan bersenjata. Mabel ditangkap dengan alasan membuat noken dengan warna bendera musuh. Ditengah-tengah keramaian orang-orang yang berdatangan juga tidak melakukan sesuatu hal untuk menolongnya. Pace Gerso hanya berdiri dan melihat Mabel ditangkap dengan paksa oleh sekelompok lelaki yang berkemungkinan suruhan dari Pace Gerson.

  13. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, 229-237 pengarang menceritakan tentang penyebab ditangkapnya Mabel, ternyata mama pembawa berita telah menjebaknya. Hal itu diminta oleh

  Pace Gerson untuk menjatuhkan Mabel.

  Pada akhir cerita pada episode ini yang juga menjadi akhir cerita pada novel, tokoh Pum berhasil menemukan tempat Mabel ditahan dan disiksa. Akan tetapi keberadaan Pum telah diketahui oleh petugas. Pum pingsan karena tubuhnya di lempar batu. Pum selamat karena tiba-tiba Kwee muncul dan menolongnya. Petugas tetap menemukan keberadaan Pum dan Kwe. Pum meminta Kwee lari untuk kembali menjaga Mace dan Leksi.

  Isi dari novel Tanah Tabu telah penulis rincikan berdasarkan babnya. Urutan dari fragmen di atas merupakan serangkaian kejadian yang terdapat dalam novel. Urutan dari fragmen tersebut difungsikan untuk memudahkan analisis, yakni sebagai data untuk mengidentifikasi kerincian dan kejelasan unsur-unsur suatu novel. Dengan adanya rincian tersebut analisis akan mengarah pada bagian- bagian yang terkait dengan terjadinya subordinasi, alasan subordinasi terkandung dalam novel, serta hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya praktik subordinasi tersebut. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam analisis selanjutnya masih ada identifikasi berdasarkan kriteria tertentu.

  Dalam urutan penceritaan tersebut, pengarang mengungkapkan mengenai realitas dengan jelas, detail, dan logis, seperti halnya kenyataan pada suatu masyarakat. Adapun yang membedakan antara fakta dan imajinasi novel adalah keterkaitan antara realita dengan ilusi untuk meyakinkan pembaca memasuki situasi di dalam novel.

  Pernyataan mengenai pemahaman realita, bagi penulis telah diungkapkan secara imajinatif oleh pengarang dalam novel Tanah Tabu. Hal ini dapat dicermati dalam kutipan berikut ini.

  “Kami rasa pengetahuanmu sekarang ini sudah lebih dari cukup, Anabel. Kau sudah sangat maju dari dirimu yang dulu. Bahkan kalau mau, kau bisa mendapat ilmu yang lebih banyak lagi dari membaca buku. Kau ini anak yang cerdas, Anabel. Cepat tanggap dan mudah menyerap setiap pelajaran dari mana pun asalnya, termasuk buku. Jadi untuk apa bersekolah? Apa lagi sekolah kampung seperti yang ada sini. Itu hanya untuk anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis,” jelas Tuan Piet.

  “Betul kata tuanmu, Anabel sayang. Kau sudah lebih pintar sekarang. Dan yang penting, kau sudah merasa bahagia karenanya, bukan?”

  Aku ada di situ selagi Nyonya Hermine bertanya begitu kepada Mabel, yang menjawabnya dengan anggukan pelan. “Nah, kalau sudah seperti itu apa lagi yang kucari? Kau sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. Kau juga sangat pintar memasak, mengasuh anak, mengurus rumah, sampai berkebun. Apa lagi?” (Thayf, 2009:122).

  Pengarang, dalam hal ini Anindita S. Thayf, menuliskan novel dengan memunculkan tiga narator dalam novel Tanah Tabu: Pum, Kwee dan Aku.

  Mereka saling bergantian menceritakan peristiwa-peristiwa yang mereka alami atau pernah dengar. Oleh karena itu, realita mengenai tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini telah dipahami dengan sedemikian rupa mengenai watak dan karakternya. Pemahaman mengenai tokoh Mabel, misalnya telah diceritakan dengan detailnya, sehingga pengarang mengungkapkan mengenai kepribadian Mabel sebagai tokoh perempuan yang tidak tanggung-tanggung. Oleh karena itu, tokoh Mabel menjadi figur perempuan yang cerdas, kuat, dalam struktur cerita ini.

  Di satu sisi pemahaman tersebut menjadikan “cerita beralaur longgar” cerita berjalan sangat lambat karena adanya kilas balik yang diungkapkan pengarang mengenai peristiwa lalu. Perlambatan alur juga disebabkan karena pengarang harus mendeskripsikan antar tokoh dengan cermat dan detail sesuai dengan pembawaan dan lingkup sosialnya. Tanpa adanya deskripsi yang jelas, informasi yang ada di dalam novel dengan menggunakan bahasa yang membutuhkan kebenaran penampilan dari sebuah gagasan. Di sinilah bahasa sebagai representasi atas realitas dipahami sebagai bentuk komunikasi yang membutuhkan penandaan. Informasi-informasi yang terdapat dalam novel Tanah

  Tabu telah dibantu dengan kejelasan karakter tokoh dan situasi yang

  melingkupinya. Tokoh ibu Mabel sebagai penduduk asli suku Dani hanya menggunakan Sally, sejenis rok rumbai yang terbuat dari daun kering, tepat di bawah perutnya yang membuncit karena busung. Kedetailan deskripsi seperti itu yang menjadikan cerita berkutat lama untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya permasalahan yang terkait.

  Pada kaitan inilah, konsepsi realisme karya sastra mendekatkan struktur cerita pada ideologi. Ideologi merupakan pandangan hidup dan cara berpikir mengenai realitas. Tujuannya untuk menjadikan cita rasa (empati) terhadap pembaca mengenai ketertindasan yang ditempuh oleh masyarakat tertentu, yaitu di Papua pada masa itu: ketika perusahaan emas berkuasa di sana dan melakukan eksploitasi besar-besaran.

  Keterkaitan struktur cerita pada ideologi ini membutuhkan banyak informasi mengenai tatanan masyarakat. Dalam hal ini, basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan efektif masyarakat dikembangkan dalam wacan besar, yaitu struktur cerita yang informatif di dalam novel Tanah Tabu. Oleh karenanya, novel ini menampilkan pengetahuan dan wawasan baru.

  Model alur campuran dalam cerita novel Tanah Tabu secara lebih detail dapat digambarkan sebagai berikut ini. Penurunan konflik Penanjakan konflik konflik Oenanjakan Peristiwa Penyelesaian Klimaks

  Muncul konflik Penanjakan konflik Gambar 1. Jalannya cerita dalam novel Tanah Tabu

  Keterangan:

  a. Bagian awal penceritaan telah memunculkan konflik, kondisi alam Timika yang menyimpan banyak kekayaan menjadi daya tarik para pendatang untuk menguasai daerah Papua ini. Pada masa ini, di dalam novel dikisahkan bahwa sebagian orang cemas, jika orang-orang pendatang akan menguasai kekayaan alam Papua dan tidak mau berbagi. Disimpan untuk diri sendiri, padahal semua itu adalah warisan dari nenek moyang terdahulu untuk semua masyarakat Papua. Dengan kondisi seperti ini maka sudah jelas bahwa mayarakat Papua telah dijajah oleh pendatang maupun pribumi yang serakah. Kesan “tragik” tersebut dimunculkan oleh pengarang sebagai gertakan peristiwa pertama.

  b. Konflik mengalami peredaan muncul secara perlahan. Pengarang mendeskripsikan beberapa tokoh-tokoh penting, sambil menguraikan aliran cerita mengenai struktur masyarakat di Papua. Pada bagian ini, pengarang menguraikan ulasan-ulasan tokoh-tokoh di dalam novel Tanah Tabu. c. Konflik mengalami penanjakan dengan munculnya beberapa permasalahan yang menjadikan perempuan dalam posisi tersubordinasi. Tokoh Yosi yang keberadaannya tidak diharapkan oleh orangtuanya karena dia hanya seorang perempuan. Tokoh Mama Helda yang selalu menjadi korban kekerasan akibat sikap tunduknya terhadap suami ataupun tokoh Mace yang menjadi korban pemerkosaan karena dianggap perempuan hanya sebuah barang yang dapat dikonsumsi dan diperlakukan dengan semena-mena. Penindasan terhadap perempuan juga telah terjadi pada tokoh Mabel dimasa lalu yang diceritakan kembali oleh tokoh Mama Kori. Pada bagian ini, nasib perempuan dirundung duka.

  d. Penurunan peristiwa, sedangkan garis yang memisahkan dengan nama tempat lainnya adalah garis mengenai peristiwa yang terjadi dimasa lampau sebelum Papua dikuasai oleh orang-orang pendatang. Di Lembah Baliem tokoh Mabel dilahirkan sebagai perempuan yang berbeda dari perempuan Papua lainnya.

  Pada bagian ini Mabel dikucilkan oleh masyarakat suku Dani karena dia telah memukul seorang laki-laki. Hal ini dalam tradisi Papua, Mabel dianggap tidak patuh terhadap adat dan budaya. Perempuan diharuskan tunduk kepada laki- laki, dan laki-laki berkewajiban melindungi kaum yang lemah yaitu perempuan.

  e. Tokoh Mabel diangkat sebagai anak oleh keluarga Belanda, orang asing yang pertama kalinya mendatangi Papua. Kedatangan Tuan Piet dan Nyonya Hermine disambut dengan baik oleh masyarakat Papua karena mereka datang dengan tujuan yang mulia. Oleh karena itu orang tua Mabel sangat senang ketika Mabel dibawa Ny. Hermine meninggalkan Lembah Baliem. Mabel tidak sendirian tetapi disertai dengan sahabatnya Pum. Hal penting dari peristiwa ini adalah Mabel telah berhasil membebaskan dirinya sendiri dari belenggu takdir perempuaan suku Dani yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun dan babi.

  f. Kembali pada masa sekarang, konflik mengalami penanjakan dengan kemunculan tokoh Mama pembawa berita ditengah peperangan antar suku yang terjadi di Papua. Selain itu, ada pula pemunculan tokoh Pace Gerson yang mengunjungi pasar untuk berkampanye. Janji untuk mensejahterakan rakyat dan janji-janji lainnya yang disampaikan oleh Pace Gerson ditampik oleh ucapan Mabel yang menganggap semua janji yang disampaikannya itu hanya omong kosong. Hal inilah yang menyebabkan Pace Gerson memberikan ancaman terhadap Mabel.

  g. Puncak klimaks muncul pada saat Mabel terlibat dalam suatu perjanjian dengan Mama pembawa berita atau Mote. Mabel dijanjikan akan mendapat bayaran dari membuat noken yang dipesan oleh Mote untuk dijual di pasar budaya.

  Awalnya Mote memberikan dua warna benang untuk membuat noken, merah dan putih, karena kurang Mote menambahkan satu warna lagi yaitu biru. Dari hal inilah Mabel ditangkap dengan paksa oleh beberapa laki-laki berseragam dengan alasan Mabel telah membuat noken dengan warna bendera musuh.

  Mabel yang dikenal perempuan yang sangat disegani dan ditakuti oleh para Pace di Papua ditangkap dan ditindas di depan keluarga dan masyarakat oleh lelaki berseragam. Di sinilah, harapan-harapan mulai pupus, dari sekian banyak orang tidak ada yang mau menolong Mabel. Akibatnya Mabel dibawa oleh orang-orang berseragam untuk melanjutkan siksaanya di tempat lain.

  h. Tokoh Pum mencari Mabel untuk mengetahui kondisinya, apakah masih dalam keadaan hidup atau bahkan sudah mati. Tokoh Pum menemukan tempat dimana Mabel ditahan. Melihat Mabel disiksa Pum berontak ingin menerobos pagar kawat hingga keberadaannya diketahui oleh petugas. Batu besar dilemparkannya kepada tubuh Pum sehingga membuatnya pingsan. Pada saat kondisi seperti ini tokoh Kwee datang menyelamatkan Pum, tetapi tetap saja keberadaan mereka berdua diketahui oleh petugas. Tokoh Kwee dipaksa untuk lari meningglakan Pum. Tokoh Kwee harus menjaga Mace dan Leksi gadis kecil yang sanagt dibanggakan oleh Mabel karena kelak akan meneruskan perjuangannya yang ingin mengubah kehidupan dari ketertindasan dan kemiskinan menuju kesuksesan.

4. Setting dalam Novel Tanah Tabu

  Setting/latar tempat dari novel Tanah Tabu terdapat lima tempat, yang pertama di Timika atau kota Dollar sebagai pusat ceritanya. Adapun tempat yang kedua Lembah Baliem, ketiga Mandiptana, keempat Manolwari, dan yang kelima Wamena hanyalah sebagai tempat lain untuk memenuhi rentetan dari struktur cerita tokoh Mabel yang dianggap telah menuju pada tahap kemajuan hidup.

  Latar utama novel ini mengenai dinamika masyarakat Papua yakni di Timika.Masyarakat ini dipotret dengan sedemikian rupa menghasilkan realism yang autentik. Dalam hal ini, karya sastra membentuk struktur menjadi konsepsi mengenai ideologi kebudayaan, yang menampilkan gagasan untuk perubahan. Bentuk-bentuk perubahan dari daerah tertindas adalah dengan adanya transformasi kebudayaan.

  Keadaan mengenai kehidupan di Papua merepresentasikan keadaan lokasi yang memprihatinkan. Kondisi kemiskinan, keterpencilan, dan keterbatasan melukiskan masyarakat tradisional yang berada dalam penindasan. Kejadian ini dapat dipahami pada stereotype orang-orang miskin di Indonesia. Dalam novel ini, Timika adalah awal dari perubahan masyarakat Papua, karena disinilah terjadi peradaban baru. Budaya militerisme lahir dari para pendatang yang ingin menguasai Pepua. Tambang emas yang merupakan kekayaan masyarakat Papua kini telah dikuasai oleh para pendatang baru. Dunia politik juga sudah mulai masuk hal itu ditandai adanya partai-partai politik yang dibentuk oleh para pendatang dan orang papua yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Gambaran keadaan alam Papua diungkapkan di dalam novel Tanah Tabu dalam seting di bawah ini.

a. Setting Tempat

  Seting umum dalam novel Tanah Tabu adalah Papua yang menjadi lokasi pemusatan keseluruhan dari cerita. Papua merupakan tempat yang jarang dijamah oleh pendatang. Hal ini menjadikan keadaan alam Papua tetap terjaga oleh masyarakat Papua itu sendiri. Masyarakat yang polos, yang masih kental dengan budaya dan tradisi mereka, menjunjung tinggi peningalan nenek moyang yang telah diwariskan. Namun demikian, karena keindahan alam yang dimiliki oleh Papua telah menarik perhatian para manusia serakah yang sengaja penjadi pendatang untuk memulai keberadaban yang baru. Kepolosan dan kurangnya pengetahuan masyarakat Papua membuat mereka mudah dibohongi oleh para pendatang yang bermaksud mengambil kekayaan dari Papua. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

  Aku teringat suatu waktu pada masa lampau mana kala semua warna itu menjadi satu dalam latar hijau yang teduh dan biru yang cerah: cendrawasih kuning kecil, kakaktua jambul merah, bunga keris berbatang ungu, ikan arwana bersirip jingga, anggrek hutan berkelopak hitam, dan buah raksasa berkulit merah, bahkan sekelompok buaya berkulit zamrud yang sangat memesona. Semua bertumbuh bergerak dinamis di tengah alam yang masih liar. Begitu segar. Penuh pesona dan daya hidup. Masih cukup jelas dalam ingatan kanak-kanaku betapa saat itu aku merasa tengah hidup di taman surga sang alam yang tak terjamah. Tanah keramat yang tak terusik. Sungguh aku makhluk yang sangat beruntung. Sempat pula kuyakin keindahan itu bakal abadi. Terjaga rasa cinta dan syukur yang besar pada karya Sang Pencipta yang tiada banding. Terlindungi mimpi-mimpi sederhana dan tidak muluk tentang kehidupan. Namun ternyata aku salah. Salah besar! Hidup akhirnya mengajarkan kepadaku hal terindah itu ibarat gundukan daging mentah yang memikat hidung setiap pemangsa lapar. Selalu saja mampu membangkitkan gairah dan nafsu untuk memiliki dan menguasai. Mengambil sedikit demi sedikit demi kepuasan pribadi. Tidak mau berbagi dengan yang lain. Disimpan untuk diri sendiri (Thayf,2008:8-9) Dari kutipan tersebut, dapat dicermati bahwa ada deskripsi mengenai keadaan alam Papua seperti keberadaan burung Cendrawasih dan Kakaktua jambul hitam yang memang dikenal seluruh masyarakat Indonesia bahwa binatang tersebut berasal dari papua, hutan yang ditumbuhi anggrek berkelopak hitam dalam kutipan di atas menyaran pada lokasi yang sesungguhnya.

b. Setting Sosial

  

Setting / latar sosial dalam novel Tanah Tabu adalah wilayah-wilayah

  yang berada di Papua. Wilayah Papua yang sebagian besar berupa hutan sekarang sudah mulai berkembang peradabannya. Wilayah yang semula berupa hutan sekarang sudah menjadi wilayah yang cukup ramai dan sudah bisa disebut kota. Salah satu dari latar sosial ini juga ada yang menjelaskan salah satu daerah Papua yang sama sekali belum terjamah oleh orang luar. Keadaan asli dari kehidupan orang Papua di tanah yang tabu, yang kental dengan tradisi dan budayanya. Hal tersebut akan dijelaskan pada beberapa latar sosial di bawah ini.

1) Timika

  Keadaan mengenai kota Dollar atau Timika mempresentasikan keadaan daerah yang sudah maju dan berkembang. Tanah yang kaya akan emas ini menjadi jarahan kaum pendatang. Keberadaan para pendatang di Timika menjadikan masyarakat Papua menjadi terpinggirkan. Kondisi semacam ini dapat diperjelas dalam kutipan berikut.

  Oh, iya, sudahkah Pum bilang kepadamu bahwa kota tempat tinggal kami ini bernama Kota Dollar? Maksudku, Timika. Yang kusebut sebelumnya adalah nama lainnya. Nama yang kudengar sering keluar dari mulut para pendatang dan pencari emas. Mungkin Mace juga tertarik dengan nama itu sehingga datang ke sini. Entahlah. Yang pasti, kata ibuku, Mace ke sini mencari seorang perempuan tua yang diharapkan bisa menjadi penyelamatnya. Mabel.

  “Kami mencarinya sampai keliling-keliling kota. Ternyata jalannya membingungkan. Tidak hanya ada satu, tapi banyak dan bercabang-cabang,” begitulah ibuku kerap berkisah tentang perjalanannya mencari Mabel. Katanya, ia lebih hafal jalan di hutan daripada di kota, yang dihuni banyak tanda dan bebauan menyesatkan. Juga banyak kerbau berasap, begitulah Ibu menyebut kendaraan yang berlari kencang dan siap menabrak siapa saja yang tidak berhati-hati...... (Thayf, 2009:70-71) Deskripsi latar pada kutipan di atas sekaligus mencerminkan hubungan alam dengan internal tokoh. Kondisi tersebut dibuktikan oleh tokoh Mace yang tidak bisa menghafal jalan karena daerah yang dulunya berupa hutan sekarang berubah menjadi jalan-jalan besar yang ramai kendaraan. Hal ini juga menyaran pada keterpencilan dan kesederhanaan masyarakat penghuninya. Sebagai metaforiknya lokasi yang terpencil, terisolasi menjadikan masyarakat Timika sulit disadarkan dalam keterbelakangan dan kebodohannya. Mereka menjalani kehidupan apa adanya, tanpa reserve, karena itu memang sudah digariskan alam.

2) Lembah Baliem

  Keadaan mengenai Lembah Baliem di Papua mempresentasikan keadaan alam yang menakjubkan. Kondisi tanah, sungai, rawa-rawa, gunung-gunung yang menjulang, flora dan fauna sebagai penghuni hutan melukiskan alam yang masih asri, belum terjamah oleh tangan-tangan nakal manusia. Hal tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut ini.

  Lembah Baliem masih seperawan saat diciptakan. Hutannya masih lebat, kaya dan sehijau daun muda segar yang belum terjamah ulat dan serangga. Pun, tanahnya masih menyimpan banyak keajaiban yang belum terkuak—keajaiban yang kelak justru menodai alam dan orang- orangnya. Lembah ini dipotong sejumlah sungai berair kecoklatan yang meliuk dan merayap menuju selatan, kemudian tumpah di Laut Arafuru. Terpagar rawa-rawa lembap yang menyimpan dendan bangsa buaya dan serangan pasukan lintah. Terbentangi beberapa gunung gagah yang berdiri pongah. Siapa pun masih bisa mendengar alam bernapas dan bersenandung ketika ini, dan pada masa ini pula, di sebuah daratan terbuka yang menghampar di tengah-tengah lembah, Mabel terlahir dan dibesarkan sebagai salah satu anak suku Dani. Orang-orang di sana memanggilnya dengan nama Waya. Namun sebaiknya kita tetap menyebutnya Mabel saja (Thayf,2008:97-98).

  Kutipan di atas memperjelas mengenai karakteristik suatu daerah dengan dinamika masyarakat yang terkandung di dalamnya. Karakteristik daerah Papua ini ditandai dengan adanya primordialisme pada suku Dani. Usaha pengarang dalam menceritakan karakteristik Papua dengan penggambaran situasi di Lembah Baliem adalah usaha untuk meyakinkan pembaca mengenai realisme novel ini.