Modernisasi pikiran dan tindakan perempuan dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba : pendekatan kritik sastra feminis - USD Repository

  

MODERNISASI PIKIRAN DAN TINDAKAN PEREMPUAN

DALAM NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA

PENDEKATAN KRITIK SASTRA FEMINIS

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Maria Viustana

  NIM: 034114004

  

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

SEPTEMBER 2009

  

MOTTO

Dari lima besar, masing-masing memiliki pengikut.

  Semua mengaku miliknya-lah yang benar. Semua menyalahkan yang lain. Semua saling berlomba memaksakan miliknya pada yang lain. Semua bahkan menuhankan-“nya”. Namun, beberapa mulai terbuka pikirannya. Beberapa memilih untuk “putih”. Begitupun aku. Bagiku, memiliki-“nya” atau tidak, bukanlah soal. Bagiku, berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik untukku dan orang lain, itulah yang terpenting.

  • Viustana--

  iv v PERSEMBAHAN

  Skripsi ini kupersembahkan dengan rendah hati, kepada: ¾

  

Kedua orangtuaku, Bapak Arief Budiyanto dan Ibu Maryuni tersayang,

  yang telah membesarkan dan mendidikku hingga dewasa kini, serta memberikan pengorbanan dalam banyak hal untuk hidupku.

  ¾ Adikku tersayang. ¾

  

Seluruh teman dan sahabat yang telah memberikan semangat maupun

beberapa pengetahuan yang belum ku ketahui.

  ¾

  

Seorang laki-laki spesial yang bersedia menjadi kekasih sekaligus teman

dalam berbagi suka dan duka, ketika proses pembuatan skripsi.

  ¾ Daddy-ku yang telah menjadi inspirasi dalam hidupku. ¾

  

Semua anak, terutama anak-anak cacat mental yang berada di Panti

  Asuhan Sayap Ibu, secara tidak langsung kalian telah memberikan warna tersendiri dalam hidupku.

  ¾

  

Semua orang yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut

memberikan semangat.

  

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, penulis persembahkan pada Tuhan Yang Maha Esa.

  Atas kemuliaannya, skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

  Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sastra di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah menyumbangkan pikiran, tenaga, waktu, dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Bapak Dr. Ir. P. Wiryono P., SJ., selaku rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  2. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  3. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

  4. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dengan teliti, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

  vi

  5. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis kuliah.

  6. Semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Penulis menyadari bahwa, penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca yang tentunya bersifat membangun, sangat penulis harapkan.

  Yogyakarta, 2009 Penulis

  Maria Viustana

  vii

  

ABSTRAK

  Viustana, Maria. 2009. Modernisasi Perempuan dalam Novel Maria dan Mariam,

  Karya Farahdiba, Pendekatan Kritik Sastra Feminis . Skripsi Strata I (S-

  I). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  Skripsi berjudul Modernisasi Perempuan dalam Novel Maria dan Mariam,

  

Karya Farahdiba, Pendekatan Kritik Sastra Feminis ini memiliki tujuan, yang

  pertama adalah menganalisis dan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam. Tujuan yang kedua adalah menganalisis dan mendeskripsikan modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam.

  Dalam melakukan analisis terhadap novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba tersebut, penulis menggunakan pendekatan kritik sastra feminis. Dalam menjawab tujuan penelitian tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif.

  Hasil penelitian yang diperoleh adalah tokoh dan penokohan, yaitu tokoh utama serta penokohannya dan tokoh tambahan serta penokohannya.

  Hasil penelitian yang kedua adalah modernisasi perempuan. Modernisasi perempuan tersebut berupa modernisasi dalam berpikir dan bertindak. Modernisasi dalam berpikir, meliputi: memiliki kebebasan berpikir dan memiliki keberanian berpendapat. Sedangkan modernisasi dalam bertindak, meliputi: mandiri dalam menjalankan kehidupan dan memiliki kebebasan dalam berpenampilan.

  viii

  

ABSTRACT

  Viustana, Maria. 2009. Women Modernization in Farahdiba’s Novel, Maria dan Mariam, Feminist Approach. Undergraduate Thesis (S-I). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

  The thesis entitled Modernisasi Perempuan in Farahdiba’s Novel, Maria dan Mariam, Feminist Approach has some objectives. The first is analyze and describe the character and characterization in the novel Maria dan Mariam. The second is analyze and describe women modernization in the novel Maria dan Mariam.

  The writer analyzed the novel using feminist approach. To answer the objectives of research, the writer applied qualitative method. From the objectives above, the writer can draw the answers of the research. The first are character and characterization in the novel Maria dan Mariam. modernization in the novel Maria dan Mariam. The character and characterization has two study; they are main character with characterization and flat character with characterization.

  The second answer of research is women modernization in the novel Maria

  

dan Mariam . The women modernization has some subjects. The subjects are,

  modernization in thinking and action. Subjects of modernization in thinking contain, the freedom to think and the courage to give thought. Whereas for subjects of modernization in action are, to be independence in life and be free to express herself in appearance.

  ix

DAFTAR ISI

  1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 10

  1.6.2 Modernisasi……………………………………………….. 20

  1.6.2 Tokoh dan Penokohan…………………………………….. 19

  1.6.1 Kritik Sastra Feminis……………………………………… 13

  1.6 Landasan Teori…………………………………………………. 13

  1.5 Tinjauan Pustaka……………………………………………….. 11

  1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………… 11

  

x

  Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…………………………………… iii

  1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………... 1

  BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1

  DAFTAR ISI………………………………………………………………... x

  

ABSTRACT ……………………………………………………………….…. ix

  PERSEMBAHAN…………………………………………………………… v KATA PENGANTAR………………………………………………………. vi ABSTRAK………………………………………………………………….. viii

  

MOTTO ……………………………………………………………………… iv

  1.2 Rumusan Masalah………………………………………………. 10

  1.6.3 Modernisasi Perempuan………………………………….. 23

  1.7 Metode Penelitian………………………………………………. 25

  1.8 Sistematika Penyajian…………………………………………… 27

  BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN……………………………………. 28

  2.1 Pengantar……………………………………………………….. 28

  2.2 Sinopsis………………………………………………………… 28

  2.3 Analisis Tokoh dan Penokohan………………………………… 30

  2.3.1 Tokoh Utama dan Penokohannya…………..……… 31

  2.3.2 Tokoh Tambahan dan Penokohannya..……………. 35

  2.4 Rangkuman……………………………………………………... 37

  BAB III MODERNISASI PEREMPUAN………………………………….. 38

  3.1 Pengantar……………………………………………………….. 38

  3.2 Analisis Modernisasi Perempuan………………………………. 48

  3.2.1 Modernisasi dalam Berpikir………………………… 53

  3.2.2 Modernisasi dalam Bertindak………………………. 55

  3.3 Rangkuman……………………………………………………… 59

  BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 61

  4.1 Kesimpulan……………………………………………..………. 61

  4.2 Saran……………………………………………………………. 63 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 65

  xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual, yang diungkapkan dengan kata-kata plastis yang memiliki daya magis, dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau seni rekaan, sehingga sastra merupakan lukisan-lukisan kehidupan, yang berupa cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari. Hal itu membuat penikmatnya percaya bahwa sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita apa saja yang memberikan kepada manusia, sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bertujuan mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama. Sastra adalah imajinasi yang hanya tertangkap oleh mata hati yang peka (Wijaya, http://www. bhs-sastra.web.id).

  Pengalaman spiritual merupakan pengalaman kehidupan yang terjadi pada diri seseorang. Pengalaman hidup itu, ia serap dalam jiwanya, sehingga merangsang pikirannya untuk berimajinasi. Pengalaman dan imajinasi itu ia gabungkan, ia olah menjadi bentuk karya sastra dengan media bahasa. Dalam membuat karya sastra yang baik, seseorang haruslah memiliki banyak sekali pengetahuan. Hal itu karena karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan nyata, yang harus dapat dipertanggungjawabkan (Wijaya, http://www. bhs- sastra.web.id ).

  Karya sastra bukan hanya sebatas cerita, melainkan cerita yang berisi pemikiran-pemikiran dan pesan dari pengarangnya. Bentuk karya sastra tersebut kemudian ia tujukan kepada pembaca untuk dibaca, dinikmati, dan kemudian ditanggapi. Pembaca biasanya akan mulai menginterpretasikan apa dan bagaimana karya sastra yang telah ia baca. Berbagai macam hasil interpretasi itu akan berbeda, tergantung bagaimana daya penafsiran dari para pembaca (Wijaya,

  http://www. bhs-sastra.web.id ).

  Pengarang menciptakan suatu cerminan kenyataan tentang kehidupan manusia. Dalam menciptakan karya itu, para tokoh tidak selalu digambarkan sebagai manusia. Terkadang dapat digambarkan sebagai mahkluk hidup bukan manusia dan benda mati, tetapi mencerminkan sifat dan perilaku manusia. Hal itu dimaksudkan oleh si pengarang karya sastra sebagai penggambaran dari karakter manusia yang berbeda-beda. Meskipun tidak digambarkan sebagai manusia, tokoh-tokoh dalam karya sastra tetaplah merupakan cerminan dari kehidupan nyata. Terutama dalam penciptaan tokoh, selalu disesuaikan dengan kenyataan, yaitu dengan adanya pembedaan jenis kelamin para tokoh. Pembedaan jenis kelamin tersebut dijelaskan lagi dengan pembedaan karakter para tokoh (Wijaya,

  http://www. bhs-sastra.web.id ).

  Kebanyakan pengarang baik laki-laki maupun perempuan, membedakan tokoh laki-laki dengan tokoh perempuan melalui karakter. Biasanya tokoh laki- laki digambarkan sebagai mahkluk yang kuat dengan segala sifat dan tindakannya dalam lingkungan masyarakat, sedangkan tokoh perempuan digambarkan sebagai mahkluk yang lemah sifat dan tindakannya dalam lingkungannya. Dapat dikatakan pengarang-pengarang tersebut menjadikan tokoh laki-laki sebagai subjek yang menindas perempuan dan tokoh perempuan sebagai objek yang ditindas oleh laki-laki (Nenden, http//:www.pikiranrakyat.com).

  Dalam novel Maria dan Mariam, tokoh laki-laki yang diceritakan menjadi subjek yang menindas perempuan hanya sebagian kecil dan bukan tokoh utama.

  Sebagian tokoh laki-laki digambarkan sebagai laki-laki yang berpikiran modern, yang tidak lagi menindas perempuan. Namun beberapa tokoh laki-laki masih digambarkan sebagai laki-laki yang menindas perempuan. Hal itu dimaksudkan pengarang untuk mengkritik budaya patriarkal yang ada dalam sebuah pesantren.

  Di sini penulis mencoba menganalisis karya sastra tersebut. Penulis melakukan analisis menggunakan kritik sastra, yang lebih disempitkan lagi pada pendekatan kritik sastra feminis. Penulis melakukan kritik sastra feminis terhadap kondisi perempuan yang terhimpit oleh budaya yang sedikit-banyak dipengaruhi oleh suatu agama, terutama di Indonesia, dalam novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba. Penulis mencoba mengkritisi budaya patriarkal yang masih diberlakukan dalam sebuah pesantren. Budaya patriarkal tersebut berasal dari tafsiran yang kurang tepat terhadap ayat-ayat dalam kitab suci umat Islam.

  Apabila kita sedikit melihat ke “belakang”, akan dapat diketahui mengapa sampai saat ini patriarki masih dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

  Salah satu penyebabnya, tak lain adalah hal mendasar yang paling dijunjung tinggi (terutama di Indonesia) sampai saat ini, yaitu agama. Terdapat sebuah diagram dalam majalah Prancis (Lemaire, 2003-2004: 45), tentang tiga agama besar yang berakar pada monoteisme Musa, dan yang paling awal adalah agama Yahudi. Hal itu kemudian diikuti oleh dua cabang lagi, yaitu Islam dan Kristen.

  Agama langit pertama yang melakukan pelarangan terhadap pengetahuan adalah agama Yahudi. Disebutkan bahwa Hawa adalah seorang perempuan yang memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan, sehingga ia menjadi terhinakan dan dihukum, tetapi implikasinya tidak terbatas pada Hawa saja, melainkan seluruh anak cucunya yang berkelamin perempuan juga menanggung dampaknya (S’adawi dan Izzat, 2000:5).

  Pada intinya, ketiga agama besar tersebut, membuat masyarakat pengikutnya menyalah-artikan tentang perempuan yang diciptakan setelah laki- laki. Seperti yang telah kita ketahui, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal ini membuat masyarakat beranggapan bahwa Hawa (sebagai perempuan) adalah mahkluk nomor dua yang diciptakan sebagai pelengkap bagi Adam (laki-laki), (S’adawi dan Izzat, 2000:5).

  Demikian pula patriarki yang terjadi dalam novel Maria dan Mariam. Penulis melihat patriarki yang terjadi dalam novel tersebut sebagai hasil dari kesewenang-wenangan penafsiran ayat-ayat dalam Kitab Suci Al-Quran. Hal tersebut menciptakan anggapan bahwa laki-laki adalah mahkluk yang lebih tinggi dari perempuan.

  Hal tersebut di atas, diperkuat dengan pernyataan Hassan dalam situs internet (http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803) yang membeberkan beberapa ayat Al-Quran, yang menurutnya telah membuat perempuan ditempatkan pada posisi yang lemah dan tertindas. Menurutnya, masyarakat Muslim telah telanjur berkembang sebagai masyarakat lelaki (patriarkal). Artinya Quran, Sunnah, Hadis, dan Fiqih, dengan seenaknya ditafsirkan oleh kaum laki-laki untuk menentukan nasib perempuan Muslim. Itulah sebabnya segala kungkungan fisik dan rohani yang menimpa perempuan Muslim diterima dengan pasrah. Baru akhir- akhir ini, dengan makin banyaknya Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) yang bersifat anti-perempuan berkedok Islamisasi di beberapa negeri, perempuan Muslim makin sadar bahwa agama telah digunakan untuk menindas.

  Pakistan disebutnya sebagai salah satu contoh di mana berbagai UU dikeluarkan untuk mencegah emansipasi perempuan. Ada UU Hadud (menolak kesaksian perempuan dalam perkara Hadd, termasuk perkosaan) pada 1979, ada juga UU Qisas dan Diyat (uang darah) pada 1984. Juga bukan rahasia bahwa tingkat buta huruf perempuan Muslim termasuk paling tinggi di dunia (http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803).

  Menurut Hassan, masalah perempuan bagi Muslim menjadi penting justru karena umat Islam menerima modernisasi, tetapi menolak modernitas (westernisasi). Berabad-abad masyarakat Muslim dibuat percaya bahwa harus ada batas pemisah antara wilayah keluarga yang khusus untuk perempuan, dan wilayah umum untuk lelaki. Karena jika tampak melanggar batas itu, emansipasi perempuan dianggap bagian dari westernisasi, lalu ditolak

  (http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803) .

  Ia mengungkapkan, tidak jarang hambatan terhadap emansipasi perempuan, dibela dengan menafsirkan ayat-ayat Al Quran secara keliru. Yang paling sering ditafsirkan adalah surah yang mengatakan bahwa lelaki ialah pemimpin (kowamun) perempuan (4:34); bahwa warisan lelaki dua kali sebanyak warisan perempuan (4:11); bahwa kesaksian lelaki sama dengan kesaksian dua perempuan (2:282). Pendeknya, masyarakat Islam, sebagaimana juga Yahudi dan Kristen, dibuat percaya tiga hal pokok mengenai kedudukan perempuan: (1) ciptaan Allah yang utama adalah lelaki, sedang perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki; (2) perempuan adalah alat utama kejatuhan manusia dalam dosa di Taman Firdaus; (3) perempuan diciptakan tidak hanya dari lelaki, tapi untuk lelaki, sehingga hidup seorang perempuan hanya bersifat instrumental, bukan fundamental (http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/25803) .

  Temuan ayat-ayat di atas memperlihatkan penyebab inti, mengapa perempuan sampai sekarang masih sering mengalami penindasan baik secara fisik maupun psikis. Sampai sekarang sebagian besar masyarakat masih menganggap perempuan sebagai keturunan Hawa. Perempuan dianggap sebagai kaum nomor dua, yang dalam hidupnya akan diberikan fasilitas kehidupan nomor dua pula. Ayat-ayat yang diungkapkan oleh Riffat Hasan tersebut, juga memperlihatkan bagaimana patriarki masih dijunjung tinggi dalam sebagian besar masyarakat Islam.

  Penulis menganalisis novel Maria dan Mariam ini menggunakan kritik sastra. Dalam melakukan kritik sastra, seorang kritikus sastra membaca setiap karya yang biasa didapatkan, entah siapa penulisnya. Setelah membaca, akan muncul perasaan senang, terkesan, ataupun bosan. Kemudian akan dituliskan dalam bentuk sebuah karangan untuk menerangkan, mengapa buku yang dibacanya membosankan atau mengesankan. Untuk menerangkan hal itu, dibutuhkan perenungan dan penimbangan dengan pikiran dan perasaan. Dalam merenung dan menimbang, tidak hanya terhadap apa saja yang terkandung dalam buku yang dibaca, tetapi juga terhadap pikiran, perasaan, selera hati, dan pengalamannya sendiri. Dengan demikian dalam melakukan kritik sastra, tidak hanya kritis terhadap karya sastra tetapi juga pada diri sendiri. Sikap kritis tersebut diperoleh karena kritikus sastra itu bukan lagi seorang anak yang serba murni dan polos jiwanya, melainkan seorang dewasa yang sudah berulangkali membaca, hingga dapat dikatakan bahwa semakin banyak membaca, semakin besar pula dorongan untuk bersikap kritis (Hardjana, 1982: 19).

  Tanggapan kritis atas karya sastra itu didasarkan pada pengalaman- pengalaman hidupnya. Seperti yang penulis lakukan dalam melakukan kritik sastra feminis terhadap novel Maria dan Mariam ini, berdasarkan pengalaman hidup penulis. Penulis melihat banyak sekali terjadi ketidakadilan dalam masyarakat kita. Segala perbedaan kelas, ras, dan agama, telah menciptakan suatu ketidakadilan yang membuat kelompok masyarakat yang dianggap minoritas menjadi tersingkirkan, sedangkan kelompok masyarakat yang dianggap mayoritas, menjadi semakin jauh berada di atas kaum minoritas. Oleh karena itu, kaum mayoritas masih sering melakukan penindasan terhadap kaum minoritas. Hal ini terjadi juga pada adanya perbedaan jenis kelamin di Indonesia (terutama), yang sebagian besar masyarakatnya masih menganggap jenis laki-laki adalah jenis yang “unggul”, sedangkan jenis perempuan adalah jenis yang “tidak unggul”, sehingga hal itu sangat mempengaruhi bagaimana perlakuan masyarakat terhadap perempuan. Perempuan masih sering diperlakukan sebagaimana perlakuan kaum mayoritas terhadap kaum minoritas, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan penindasan terhadap perempuan. Penindasan tersebut tidak hanya terjadi terhadap fisik, melainkan juga penindasan terhadap jiwa dan pikiran (psikis) perempuan.

  Segala jenis penindasan terhadap psikis perempuan seperti, memberikan ruang gerak yang sempit pada perempuan, melarang perempuan untuk pergi jauh dari lingkungan rumah, melarang perempuan untuk melakukan aktivitas yang dianggap tidak sesuai kodratnya (seperti: bekerja mencari uang), menolak perempuan menjadi seorang pemimpin, dan lain sebagainya, merupakan hal yang memacu masyarakat untuk menganggap perempuan sebagai mahkluk yang lemah (Nenden, http//:www.pikiranrakyat.com).

  Hal ini terjadi pada perempuan dalam novel Maria dan Mariam, mereka dianggap sebagai mahkluk pelengkap untuk memberikan pelayanan kepada laki- laki. Laki-laki mengatas-namakan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah nabi untuk “mengunci” pikiran perempuan dan membatasi ruang gerak perempuan. Dari pemisahan bilik antara laki-laki dan perempuan, mengharuskan para istri bersikap manis dalam melayani laki-laki sebagai suami, sampai memaksakan kehendak untuk menjadikan perempuan muda dan cantik sebagai istri baru mereka.

  Dalam novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba ini, kedudukan perempuan merupakan kedudukan yang berada pada nomor dua setelah laki-laki.

  Hal itu berarti perempuan masih dianggap lemah. Perempuan selalu dianggap mahkluk yang lemah dalam banyak hal, dan juga tidak diperbolehkan mengungkapkan pendapat karena dianggap hanya laki-laki yang memiliki hak mengungkapkan pendapat. Rupanya anggapan seperti itu dengan sendirinya telah terpatri dalam pikiran perempuan, sehingga mereka hanya dapat mengikuti pemikiran serta budaya tersebut, yang terlanjur ada. Meskipun sesungguhnya sebagai manusia yang mampu berpikir, mereka memiliki pemikiran tersendiri untuk kehidupan pribadi dan lingkungan sekeliling mereka, namun selalu merasa takut untuk mengungkapkannya. Akhirnya, keputusan yang diambil adalah mengikuti segala pemikiran para laki-laki (terutama suami, yang menganggap dan dianggap sebagai pemimpin suatu keluarga). Ketakutan seperti itu semakin menguatkan anggapan bahwa laki-laki mahkluk nomor satu, yang memiliki hak mutlak terhadap segala aspek kehidupan dan perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

  (1)Ia memang seorang Nyai dengan pikiran yang cukup terbuka. Baginya seorang anak tidak harus lahir dari rahimnya sendiri, yang penting terlahir dari hatinya sendiri, dari cintanya…Nyai Fatimah selalu bersikap nrimo dan tidak pernah protes, meski Mariam tahu sebetulnya, ibu Nyainya punya ide-ide progresif (hlm. 7).

  Pernyataan Nenden (http:www.pikiranrakyat.com) berikut, memperjelas tentang pembedaan posisi antara laki-laki dan perempuan.

  Di dalam dunia fiksi, tema-tema seputar rumah tangga dan persoalan- persoalan yang mengiringinya (cinta, perselingkuhan, dan sejenisnya) cenderung diidentikkan dengan perempuan (baik penulis, maupun pembacanya). Selama ini, karya-karya yang mengusung tema-tema seputar rumah tangga (atau diistilahkan para kritikus dengan dunia dalam rumah), atau dunia yang dianggap sebagai dunia perempuan, cenderung dipandang sebagai karya inferior, sempit, dan kurang estetis sehingga kurang diperhitungkan keberadaannya. Hal ini pernah mendapat protes tajam dari kaum feminis sebab penilaian seperti itu lebih dipengaruhi oleh pandangan masyarakat yang selalu menganggap dunia laki-laki lebih tinggi dari pada dunia perempuan. Di masyarakat misalnya kerap terjadi penyepelean terhadap profesi ibu rumah tangga (sektor domestik). Penghargaan terhadap profesi ibu rumah tangga cenderung kurang dibandingkan dengan penghargaan terhadap profesi laki-laki sebagai agen produktif di luar rumah. Cara pandang demikian tentu merupakan cara pandang yang tidak adil. Persoalan-persoalan di sektor domestik yang kerap dipandang sebagai dunia perempuan sesungguhnya tidaklah sesederhana dan semudah yang kerap dituduhkan.

  Adanya pembedaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, sedikit-banyak dipengaruhi oleh keadaan biologis yang berbeda antar keduanya. Keadaan biologis perempuan yang digambarkan lebih lembut daripada laki-laki, menciptakan suatu pemikiran bahwa perempuan itu lemah.

  Hal di atas diperkuat dengan pernyataan Purwati dalam situs internet (http:// www.ceritaremaja.com) berikut ini.

  Perempuan diakui keberadaannya sebagai makhluk hidup, tetapi lingkup kehidupannya dipercayai telah dibatasi oleh kewajiban biologis. Kewajiban biologis itu bergantung pada konstruksi tubuhnya yang menentukan secara alamiah apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja, keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah menjadikan fungsi mengandung dan melahirkan anak sebagai kewajiban mutlak perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat. Oleh karena itulah, perempuan yang mempertanyakan akan pentingnya kewajiban tersebut sebagaimana layaknya manusia yang mampu berpikir, mereka dianggap melawan kehendak alam. Berangkat dari hal-hal seperti itu, masyarakat telah menghidupkan sebuah tataran aturan yang meletakkan perempuan pada nomor dua setelah laki-laki.

  Dalam novel ini, pengarang memperlihatkan bagaimana kedudukan perempuan pada suatu lingkungan yang sangat diatur oleh budaya yang terpengaruh olah suatu agama, tepatnya budaya dari tempat asal agama tersebut, yang diterima secara “mentah-mentah” oleh para pengikutnya. Penulis memandang bahwa, perempuan dalam novel ini terbagi dalam dua karakter yang berlawanan. Karakter pertama adalah perempuan yang lemah karena berada pada kondisi yang memaksanya untuk tidak dapat berbuat sesuai kehendaknya. Karakter kedua adalah perempuan kuat, yang dapat dengan leluasa berbuat sesuai dengan apa yang dia inginkan, tanpa takut ditentang oleh lingkungan sekitarnya.

  Kedua karakter tersebut ada pada beberapa tokoh perempuan dalam novel ini, termasuk tokoh pendukung.

  Mariam (Siti Mariam, sebagai tokoh utama protagonis) termasuk dalam karakter pertama. Sejak kecil ia dididik dalam lingkungan pesantren, sampai ia dewasa. Pemikiran serta cara bersikapnya telah terbentuk oleh budaya dan aturan dalam Pesantren Al-Azis. Ia telah terbentuk menjadi perempuan yang lemah, yang memiliki pemikiran kaku dan tertutup. Budaya kaku dalam pesantren itu, membuatnya tidak tahu banyak hal di luar pesantren, sedangkan Maria (salah satu tokoh utama protagonis yang lain) termasuk dalam karakter kedua. Ia merupakan tokoh yang sebenarnya disukai oleh Mariam, karena ia perempuan aktif dan dinamis. Ia memiliki pikiran yang tidak kaku terhadap perubahan, ia juga memiliki pikiran yang terbuka, dan ia memiliki keberanian untuk mengungkapkan pikirannya serta menentukan tujuan hidupnya. Perbedaan antara Maria dan Mariam, terlihat dalam kutipan berikut.

  (2)“Maaf ya De’. Adik ini seperti seorang aktivis yang suka berdemo dan berteriak-teriak di jalanan, atau mungkin seorang pendaki gunung. Nah, mereka yang dating ke pesantren ini, biasanya sudah menyesuaikan diri, Sudah menggunakan busana muslim, ya pakai kerudung dan…” “Oo, maksud Mbak, pakai jilbab?” potong Maria. “T’rus pakai gamis atau baju terusan yang menutupi lekukan tubuhnya…”

  “Gila nih anak,” pikir Mariam. “Tapi mana yang lebih penting Mbak, menutupi badan atau menutupi hati dari hal-hal yang jahat?” Mariam tersenyum kecut, ia sebetulnya mengetahui hal itu. Namun, di lingkungan ini, ia tak selalu bisa mengekspresikan jalan pikirannya (hlm.

  11-12). Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan antara Mariam yang lemah akan pemikirannya dengan Maria yang terbuka dan tegas sebagai seorang perempuan. Hal tersebut sepertinya ingin diungkapkan oleh si pengarang novel (Farahdiba), dengan maksud memodernisasi kaum perempuan. Perempuan seharusnya memiliki pola pikir yang modern dan terbuka. Perempuan bukanlah kaum nomor dua yang lemah, yang dapat dengan mudah menerima budaya yang meletakkannya pada posisi tak berdaya.

  Novel Maria dan Mariam, karya Farahdiba ini termasuk sebagai karya dari seorang perempuan yang berani mengungkapkan keadaan perempuan yang tertindas lebih secara psikis oleh budaya yang terpengaruh oleh suatu agama yang berasal dari luar Indonesia yang tanpa direnungi dan diolah terlebih dahulu, telah diterima secara “buta”. Budaya seperti, mewajibkan perempuan Muslim mengenakan pakian tertutup, tidak memperbolehkan perempuan mengeluarkan pendapat terhadap suatu masalah, serta tidak memperbolehkan perempuan memiliki sikap seperti laki-laki, memperlihatkan tentang keterpojokkan posisi perempuan dikarenakan memiliki keadaan biologis yang berbeda dengan laki-laki.

  Permasalahan lain yang muncul dalam novel tersebut adalah kurangnya suatu pemikiran yang matang dari seorang perempuan yang ingin memperbarui pola pikirnya. Lebih banyak, pikiran itu masih labil, dan pembaruan yang dilakukan lebih karena emosi atau pemberontakan terhadap aturan-aturan yang selama ini mengungkungnya. Hal ini terjadi pada diri Mariam, yang tadinya adalah seorang santri alim dan shaleh, mengubah cara berpakaiannya yang tadinya mengenakan jilbab, menjadi lebih berani. Bahkan ia berani menunjukkan kemesraan bersama kekasih barunya yang berkewarganegaraan Amerika di depan umum, yang dalam masa lalunya kemungkinan besar akan dilarang dan ditentang.

  Hal tersebut tidak lebih dari gejolak emosi Mariam yang tidak kuat menerima kemunafikan dan tekanan peraturan dari budaya masa lalunya. Kutipan di bawah ini menunjukkan perubahan diri Mariam.

  (3)…Dandanannya gorjes – plesetan dari gorgeus. Celana jeans dipadukan dengan kaos Mango warna pink yang mempertontonkan perutnya yang ramping. Orang yang sadar fashion, pikir Maria.

  “Honey, if you’re still looking for CDs and if you don’t mind, I would like to talk with Maria for a few minutes…Perhaps at Fish and Co Restaurant. Is it okay with you?” Tanya Mariam, meminta izin Andrew. “Sure, darling. I’m okay,” jawab Andrew dengan riang. “Okay. I’ll see you in a minute, timpal Mariam lalu mencium bibir

  Andrew dengan mesra. Maria melongo untuk kesekian kalinya (hlm. 265- 266).

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:

  1.2.1 Bagaimana tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam?

  1.2.2 Bagaimana modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumuan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, yaitu:

  1.3.1 Menganalisis dan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam.

  1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Dalam bidang sastra, penelitian ini merupakan apresiasi penulis terhadap karya sastra. Manfaat teoritisnya adalah untuk menambah sumbangan penelitian tentang kritik sastra feminis sebagai penelitian yang mungkin jarang dilakukan oleh mahasiswa Sastra Indonesia. Berkaitan dengan studi perempuan, penelitian ini dapat memberikan inspirasi kepada pembaca skripsi, dalam melakukan kritik terhadap karya-karya sastra yang ditulis oleh perempuan atau yang menceritakan tentang perempuan. Manfaat praktisnya adalah memberikan inspirasi serta motivasi kepada kaum perempuan yang mengalami tekanan-tekanan dari lingkungannya, untuk berani mengutarakan pikirannya serta melakukan pembaruan terhadap hidupnya.

  1.5 Tinjauan Pustaka

  Menurut sepengetahuan penulis, skripsi atau tulisan dalam bentuk apapun mengenai modernisasi perempuan dalam novel Maria dan Mariam belum pernah dianalisis sebelumnya. Namun Kritik Sastra Feminis (selanjutnya disingkat KSF), telah dilakukan sebelumnya. Rahayu (2006), dalam skripsinya yang berjudul

  

Relasi Gender dalam Novel Supernova Edisi Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh,

  melakukan analisis menggunakan pendekatan KSF. Ia menjelaskan bahwa relasi gender dalam novel yang dianalisisnya dapat berupa relasi homoseksual antara laki-laki dengan laki-laki, pernikahan antara perempuan dengan laki-laki, perselingkuhan antara perempuan dengan laki-laki lain, persahabatan antara laki- laki dan perempuan, dan relasi komersil antara pelacur dengan pelanggannya. Hal tersebut dijelaskannya sebagai kesejajaran antara laki-laki dengan perempuan.

  Namun, menurutnya, laki-laki tetap lebih memiliki peran daripada perempuan. Yaitu, relasi yang terjalin tak lebih dari laki-laki sebagai penguasa dan perempuan sebagai yang dikuasai. Hal itu disebabkan oleh budaya patriarkhi yang terlanjur tertanam dalam masyarakat.

  Di sini, Rahayu (2006) melakukan perbandingan terhadap dua tokoh perempuan, Diva dan Rana. Diva, seorang perempuan yang bekerja sebagai model, pragawati, sekaligus pelacur, merupakan sosok perempuan mandiri, modern, dan perempuan yang mampu melepaskan predikat bahwa perempuan adalah kaum nomor dua. Rana adalah sosok perempuan yang terkungkung oleh budaya Jawa, dimana seorang perempuan hanyalah kaum lemah yang dianggap tidak dapat berdiri sendiri tanpa seorang laki-laki di sisinya. Rahayu (2006) memandang bahwa apapun profesi yang dikerjakan oleh perempuan dalam novel ini, adalah profesi yang membuat perempuan hanya menjadi objek bagi laki-laki (seperti: pelacur, model, pragawati, dan sekretaris). Tentu hal ini menunjukkan bahwa posisi perempuan dengan laki-laki belumlah setara.

  Nenden dalam tulisannya pada sebuah situs internet (http://www.pikiran

  

rakyat.com . Dunia Perempuan Dalam Cerpen Tetet Cahyati), melakukan analisis

  menggunakan KSF terhadap kumpulan cerpen karya Tetet Cahyati (ada tiga judul:

Lelaki Berdasi Merah, Pertemuan di Pantai Jimbaran, dan Katakan Aku Cantik ).

  Dalam ketiga cerpen tersebut, perempuan selalu bergantung pada laki-laki. Terlihat dalam Pertemuan di Pantai Jimbaran, seorang istri yang sudah dikhianati suaminya dengan berselingkuh, masih meminta izin untuk pergi ke suatu tempat.

  Perempuan hanya dibutuhkan untuk mengurus rumah. Dalam Laki-Laki Berdasi

  

Merah pun terlihat perbedaan peran antara pempuan dengan laki-laki. Hal ini

  terlihat jelas ketika dua keranjang belanjaan seorang laki-laki dan perempuan yang tertukar. Tentu isi keranjang tersebut sangat berbeda. Keranjang si laki-laki berisi semua kebutuhan nya, demikian sebaliknya, sehingga belanjaan perempuan berupa bahan dan bumbu masakan, menyiratkan gambaran peran perempuan.

  Menurut Nenden, perbedaan peran dan gender bukan sesuatu yang kodrati, melainkan suatu konstruksi sosial yang dapat diubah. Nenden juga menemukan representasi masyarakat tentang mitos kecantikan terhadap perempuan, dalam

  

Lelaki Berdasi Merah dan Katakan Aku Cantik . Mitos ini menganggap bahwa

  perempuan hanya dinilai dari kecantikan fisiknya. Hal ini membuat perempuan beranggapan bahwa ia harus selalu cantik dengan memburu berbagai alat kecantikan supaya selalu mendapat tempat di hati laki-laki, tak peduli dengan otak. Semua kondisi perempuan ini, menunjukkan betapa pentingnya perubahan pemikiran dari seluruh masyarakat mengenai pandangannya terhadap perempuan.

  Pendekatan kritik sastra feminis penulis gunakan dalam penelitian terhadap novel Maria dan Mariam untuk mengkritisi budaya patriarkal yang masih terjadi dalam sebuah pesantren. Penelitian dalam novel Maria dan Mariam ini, merupakan analisis terhadap tokoh-tokoh perempuan yang modern dan analisis tentang modernisasi tokoh Mariam. Di sini penulis mendeskripsikan bagaimana tokoh serta penokohan beberapa tokoh perempuan modern dalam novel Maria dan Mariam, kemudian mendeskripsikan bagaimana pengaruh tokoh perempuan modern ini terhadap modernisasi tokoh Mariam. Penulis juga mendeskripsikan bagaimana tokoh dan penokohan Mariam, serta mendeskripsikan bagaimana modernisasi yang terjadi pada tokoh Mariam.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Kritik Sastra Feminis (KSF)

  Djajanegara (2000: 1-4), menuliskan tentang keberagaman pendapat mengenai kemunculan KSF, dalam bukunya Kritik Sastra Feminis: Sebuah

  Pengantar , sebagai berikut.

  Aspek pertama adalah politis. Berkaitan dengan kemerdekaan Amerika Serikat, pada tahun 1776. Pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika, disebutkan bahwa “all men are created equal” (“semua laki-laki diciptakan sama”), tanpa menyebut kata perempuan. Kemudian, para feminis merasa hal itu tidaklah adil. Oleh karena itu, para feminis saat itu, memproklamasikan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang berbunyi: “all

  men and women are created equal ” (“semua laki-laki dan perempuan

  diciptakan sama”). Kedua adalah aspek agama. Ketika itu, agama Protestan dan Katolik, memposisikan perempuan pada tempat yang lebih rendah di bawah lelaki. Perempuan hanya dianggap sebagai konco

  wingking yang harus selalu tunduk pada lelaki, bahkan dianggap sebagai

  mahkluk kotor dan wakil iblis. Perempuan dianggap tidak memiliki hak berbicara. Bahkan ada hal yang lebih menyakitkan, yaitu bahwa dalam kebiasaan kaum lelaki Yahudi kuno, ketika berdoa, selalu mengucapkan syukur karena tidak diciptakan sebagai perempuan. Ketiga adalah konsep sosialisme dan konsep Marxis. Di Amerika, perempuan dianggap sebagai kaum proletar, sedangkan lelaki adalah kaum borjuis (perempuan kaum tertindas dan lelaki kaum penindas). Ketiga aspek tersebutlah yang mendasari terjadinya gerakan feminisme pertama di Amerika. gerakan feminis tersebut dilakukan, bukan untuk balas menindas kaum laki-laki, melainkan untuk menyetarakan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Hal itu dilakukan supaya tidak ada lagi kaum perempuan yang tertindas.

  Menurut Djajanegara (2000: 20), KSF merupakan alat baru untuk mengkaji atau mendekati suatu teks. Dengan KSF, kita mampu menafsirkan kembali, serta menilai kembali seluruh karya sastra. KSF dilakukan karena para pengkritik laki-laki tidak mampu menafsirkan dan menilai dengan tepat tulisan- tulisan perempuan. Pada umumnya, pembaca laki-laki tidak mengenal tulisan- tulisan perempuan, tidak menguasai tradisi sastranya, dan asing dengan dunia nyata perempuan. Menurutnya, pengkritik sastra feminis menginginkan hak yang sama dalam penciptaan karya sastra, serta bebas mengungkapkan makna-makna baru dan bebas pula menentukan ciri dalam teks yang sesuai dengan dirinya.

  Ragam KSF yang penulis gunakan, lebih cenderung pada kritik ideologis. KSF ini melibatkan perempuan sebagai pembaca. KSF ini merupakan cara menafsirkan teks dengan membebaskan pikiran pembaca. Hal yang biasa menjadi pusat perhatian pembaca perempuan adalah citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra (Djajanegara, 2000: 28-29).

  Penulis, sebagai pembaca perempuan, ingin menganalisis karya yang juga ditulis oleh perempuan. Menurut penulis, penulis dapat lebih memahami dunia perempuan dibandingkan dengan pembaca laki-laki. Penulis melihat tidak adanya kesetaraan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan dalam novel Maria dan

  

Mariam , sehingga hal itu membuat penulis tergerak untuk bersikap kritis terhadap

  suatu budaya merendahkan perempuan, yang telah melekat dalam pikiran masyarakat.

1.6.2 Tokoh dan Penokohan

  Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah karya naratif. Istilah tokoh dalam suatu karya sastra, menjelaskan pada pembaca, siapa saja tokoh dalam sebuah karya sastra. Istilah lain yang lebih luas pengertiannya daripada tokoh adalah penokohan. Penokohan mencakup, siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam cerita, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiantoro, 1995:164-170).

  Tokoh dan penokohan merupakan satu kesatuan yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya, dalam analisis struktur. Tidak cukup jika hanya menganalisis tokoh saja dalam karya sastra, karena kita hanya akan mengetahui siapa tokohnya. Tetapi, akan lebih jelas, ketika penokohan dari para tokoh dalam karya sastra, ikut dianalisis. Penokohan akan menunjukkan bagaimana sikap, watak, serta bagaimana para tokoh itu ditempatkan dan dilukiskan dalam suatu karya sastra (Nurgiantoro, 1995:171).