Makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam novel Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja pendekatan psikologi sastra - USD Repository

  

Skripsi

MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA TRIVURTI

DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI

KARYA CALVIN MICHEL SIDJAJA

PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

  Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

  Oleh Antonius Sulis Setyawan

  NIM: 034114031

  

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Antonius Sulis Setyawan Nomor Mahasiswa : 034114031

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA TRIVURTI DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI KARYA CALVIN MICHEL SIDJAJA PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 12 Februari 2009 Yang menyatakan

  (Antonius Sulis Setyawan)

  

ABSTRAK

  Setyawan, Antonius Sulis. 2008. Makna Mimpi dan Bentuk Fantasi Tokoh Ashra

  Trivurti dalam Novel Jukstaposisi Karya Calvin Michel Sidjaja: Pendekatan

  Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra, Psikologi Sastra. Universitas Sanata Dharma.

  Secara garis besar penelitian ini mengkaji gejala kejiwaan manusia, yakni mimpi dan fantasi. Gejala kejiwaan tersebut kemudian dispesifikasikan ke arah makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam novel Jukstaposisi. Pertama, penelitian ini bertujuan meneliti secara struktural mengenai tokoh dan penokohan Ashra Trivurti. Kedua, mendeskripsikan mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti untuk menganalisis makna mimpi dan bentuk fantasinya.

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan psikologi. Sedangkan metode yang dipilih yakni metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta- fakta yang ada dalam novel

  

Jukstaposisi . Langkah pertama ditempuh dengan cara mendeskripsikan tokoh dan

  penokohan Ashra Trivurti kemudian menganalisis makna mimpi dan bentuk fantasi yang dialami oleh tokoh tersebut.

  Analisis struktural berupa tokoh dan penokohan, digunakan untuk melihat sejauh mana kehidupan dan kepribadian mempengaruhi mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti. Kenyataan buruk yang ditemui dalam hidup sehari- hari telah membentuk tokoh Ashra Trivurti menjadi suatu pribadi yang terbuai dalam angan- angan. Hanya dalam mimpi dan fantasilah, tokoh Ashra Trivurti dapat suatu kehidupan yang lebih baik dari kenyataan. Mimpi dan fantasi yang dialaminya, bukan tidak punya makna atau bentuk apa-apa. Melalui penyingkapan mimpi dan fantasi lebih dalam lagi, penelitian ini sanggup menemukan makna mimpi dan bentuk-bentuk yang ada dalam fantasinya.

  Beberapa mimpi Ashra Trivurti dimaknai sebagai wujud keinginan untuk menggugat kematian, mimpi sebagai wujud keinginan menghidupkan mitos, mimpi sebagai wujud keinginan menolak kenyataan, mimpi sebagai wujud keinginan untuk berkuasa, mimpi sebagai wujud keinginan melampiaskan rindu, dan mimpi sebagai wujud keinginan menggambarkan otoritas kekuasaan. Sementara bentuk-bentuk fantasinya dapat dikategorikan menjadi: fantasi menciptakan, fantasi yang tak disadari dan fantasi terpimpin. v

  

ABSTRACT

  Setyawan, Antonius Sulis. 2008. The Meaning of Dream and The Fantasy Form of

  Ashra Trivurti Character in Calvin Michel Sidjaja’s Jukstaposisi: A Literary

  . Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters. Faculty of

  Psychological Approach Letters. Sanata Dharma University.

  In general, this research studies about the human psychological phenomena: dream and fantasy. The psychological phenomena then specified into the meaning of dream and fantasy form of Ashra Trivurti character in Jukstaposisi. First, this research aims to study structurally about Ashra Trivurti character and characterization. Second, to describe Ashra Trivurti dream and fantasy to analyze the meaning of dream and his fantasy form.

  The approach that used in this research is psychology research while method that chosen is analysis descriptive. Analysis descriptive method held by describing the facts in the novel. The first step is to describe Ashra Trivurti character and characterization then analyze the meaning and fantasy form experienced by the character.

  Structural analysis is character and characterization, used to see how far the life and personality effect the dream and fantasy of Ashra Trivurti character. Bad reality that faced in daily life has formed the character to be a personality who is easy to be captivated by the illusion. Only in dream and fantasy, the character gets a better life from the reality, dream and fantasy he gets, are not something meaningless. Through the reveal of the deeper dream and fantasy, this research can find the meaning and the form in hid fantasy.

  Some of Ashra Trivurti’s dream analyzed as the will to sue death, dream as the will to revive myth, dream as the refusal reality, dream as the will to rule, dream as the will to reply someone’s miss, and dream as the will to describe authority. While his fantasy forms can be described into: fantasy to create, unknown fantasy and led fantasy. vi

KATA PENGANTAR

  Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma. Lebih pribadi, penulis berharap semoga ini bisa jadi salah satu bukti pencapaian penulis dalam melakukan penelitian terhadap karya sastra.

  Dalam prosesnya, skripsi ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan beberapa pihak. Segala sumbangan, baik itu berupa tenaga, gagasan, sampai dengan materiil, ternyata memang tidak kalah berharga dalam membantu terselesaikannya skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Drs. B Rahmanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengoreksi dengan cermat hasil penelitian tahap demi tahap.

  2. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum selaku dosen pembimbing II yang secara teliti memberi banyak kritik dan saran sebagai bahan pertimbangan yang sangat berarti bagi penelitian.

  3. Seluruh dosen Jurusan Sastra Indonesia atas studi yang diberikan sehingga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai sastra

  4. Kedua orang tua penulis yang mengajari bagaimana cara menyiasati segala keterbatasan biaya dalam pengerjaannya

  5. S. Liany yang membantu menunjukkan referensi-referensi psikologi dan mendebat soal kebahasaan vii viii 6. Mereka yang bersedia berbagi pikiran: Sungkalang Agus, Febrianto Aji, Jati

  Yesaya, Riawan, Cahyono Adi; serta 7. Teman-teman angkatan 2003, yang namanya cukup saya cantumkan dalam hati.

  Mudah- mudahan skripsi ini mampu menjadi balasan kecil bagi pihak-pihak yang telah disebutkan di atas. Meski demikian, penulis tetap menyadari akan adanya berbagai kekurangan dan apabila terdapat kesalahan itu hanya menjadi tanggung jawab penulis semata.

  Penulis

  ix

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….......iii PERNYATAAN KEASILAN KARYA…………………………………………….. iv ABSTRAK…………………………………………………………………….…........v

   ABSTRACT ....................................................................................................................vi

  KATA PENGANTAR………………………………………………...………….......vii DAFTAR ISI……………………………………………………..……………….......ix

  BAB I PENDAHULUAN………………………..…………………….....................1 A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….….......1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………….…….4 C. Tujuan Penelitian……………………………………………….…….…….5 D. Manfaat Penelitian ………………………………………….….………….5 E. Tinjauan Pustaka …………………………………………………….….…6 F. Landasan Teori……………………………………………………….….…6 G. Metodologi Penelitian………………………………………………….......13 H. Sistematika Penyajian………………………………………………….......14 BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN ASHRA TRIVURTI DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI …...………………………………………………………….16 BAB III MAKNA MIMPI DAN BENTUK FANTASI TOKOH ASHRA TRIVURTI DALAM NOVEL JUKSTPOSISI..............................................28 A. Makna Mimpi.…………………………………...………………………...28

  x 1. Mimpi sebagai Wujud Keinginan untuk Menggugat Kematian.............30 2.

  Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menghidupkan Mitos ......................32 3. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menolak Kenyataan.........................35 4. Mimpi sebagai Wujud Keinginan untuk Berkuasa ................................37 5. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Melampiaskan Rindu........................40 6. Mimpi sebagai Wujud Keinginan Menggambarkan

  Otoritas Kekuasaan…………………………………………………….41

  B. Bentuk Fantasi………………………………...….…………………...…..43 1.

  Fantasi Menciptakan .............................................................................44 2. Fantasi Terpimpin .................................................................................45 3. Fantasi yang Terjadi Secara Tidak Disadari..........................................47

  BAB IV PENUTUP……………………………………………….……...……...….49 A. Kesimpulan……………………………………………………....…..……49 B. Saran…………………………………………………………………........52 DAFTAR PUSTAKA …………………………..……………………..….………...53

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada alasan pokok mengapa Ashra Trivurti (tokoh utama), dipilih sebagai objek

  penelitian ini. Sebagai karya terpilih dari Dewan Kesenian Jakarta, Jukstaposisi bukan saja memuat kebaruan dalam segi bentuk dan isi, tapi juga keberanian. Seperti yang telah dikemukakan oleh Ahmad Tohari sebagai dewan juri, Jukstaposisi telah menembus realitas manusia dan membaliknya menjadi sebuah dunia maya. Keberadaan Tuhan yang selama ini dianggap sebagai pencipta, ternyata diubah menjadi sesosok makhluk yang sedang tertidur untuk selamanya. Anggapan yang berani ini lahir dari sesuatu yang sebetulnya sepele, yaitu mimpi. Namun mengapa justru dalam mimpilah, tokoh Ashr a menjadi pribadi yang lebih berani dan bebas dibanding dalam kenyataan sehari- hari? Pertanyaan inilah yang paling mengawali ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap tokoh utama.

  Kehidupan yang dihadirkan dalam novel Jukstaposisi adalah kehidupan realis dan surealis sekaligus. Dikatakan realis karena cerita dalam novel ini mengambil kisah mengenai kehidupan manusia biasa. Sementara itu di sisi lain, novel ini juga mengambil kisah mengenai kehidupan di dunia mimpi. Terdapat pula tokoh-tokoh luar biasa yang hanya muncul ketika mimpi sedang berlangsung. Berdasarkan atas mimpi- mimpinya, tokoh Ashra berkesimpulan bahwa dunia yang nyata adalah dunia mimpi.

  Sedangkan yang bersifat ilusi adalah yang ada di dalam kehidupan sehari- hari. Segala kenyataan-kenyataan pahit yang pernah dialami dalam hidup, ternyata menimbulkan beberapa pertanyaan dalam benak Ashra. Gejolak kesedihan dalam hatinya kemudian dituangkan ke dalam sebuah fantasi, yaitu sebuah lukisan hitam nan muram.

  Unsur-unsur mimpi dalam kisah Jukstaposisi memang lebih dominan hadir dibanding dengan uns ur- unsur fantasi. Namun karena kedua unsur tersebut saling mendukung, maka peneliti meletakkan fantasi sebagai objek penelitian yang tak bisa dikesampingkan. Unsur- unsur mimpi dan fantasi inilah yang kemudian membawa tokoh utama ke dalam berbagai peristiwa-peristiwa penting sampai menuju ke bagian puncak penceritaan. Peristiwa-peristiwa surealis yang ternyata sanggup mengambil porsi besar dalam realitas sehari- hari. Kenyataan, dengan demikian menjadi ambigu ketika dihadapkan pada dunia surealis yang sebetulnya ada tapi tidak bisa dibuktikan secara logis. Apakah mimpi dan fantasi itu merupakan sesuatu yang nyata? Lalu apakah sebetulnya mimpi dan fantasi itu? Berangkat dari pertanyaan inilah penulis mengangkat topik permasalahan yang paling mendasari penceritaan novel Jukstaposisi , yakni mimpi dan fantasi tokoh utama.

  Calvin Michel Sidjaja sebagai penulis novel Jukstaposisi, menurut data dari penerbit, mengaku begitu terpengaruh oleh teori psikologi Carl Jung Unsur psikologi yang terdapat dalam novel itu sangat mungkin memang terpengaruh oleh model Jungian. Hal ini dimungkinkan karena banyak sekali simbol atau lambang- lambang yang dipakai dalam Jukstaposisi. Terkait dengan topik penelitian ini, peneliti sengaja tidak merunut permasalahan psikologi berdasarkan tinjauan psikologi Jungian. Seperti yang dikemukakan Dimyati Mahmud, dalam bukunya

  

Psikologi: Suatu Pengantar (1989:222), bahwa tekanan pada dasar rasial dari

  lambang- lambang itu telah menjadi ciri aliran Carl Jung. Dapat disebutkan di sini beberapa lambang yang sering muncul berulang kali dalam novel. Benda-benda semisal Api, heksagram, jam pasir, dan beberapa simbol rasial lain yang cenderung dimaknai sebagai penafsiran belaka dalam psikologi Jungian. Hal yang hampir sama, yakni mengenai penafsiran simbol, juga digunakan oleh golongan Freudian ortodox. Sementara landasan teori yang akan dipakai oleh peneliti keseluruhan mengacu pada konsep psikoanalisis Sigmund Freud (aliran Freudian modern) yang lebih menekankan pada dasar personalitiy. Dengan kata lain, teori ini lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  Mimpi, begitu juga fantasi pada dasarnya termasuk gejala psikologis yang dapat di analisis secara ilmiah. Sigmund Freud, dalam teori-teorinya secara umum menyatakan bahwa mimpi adalah produk mental yang dapat dipahami dan dapat ditafsirkan (Dharma-Adriyanto, 1987: 264). Lebih khusus lagi Zaimar mengatakan bahwa mimpi adalah produk psikis (2003: 36). Demikian juga dengan fantasi yang tidak lain merupakan bagian dari objek kajian ilmu psikologi. Fantasi, menurut Ahmadi dalam bukunya Psikologi Umum, adalah kemampuan jiwa. Sebuah gejala kejiwaaan manusia yang dapat melepaskan manusia dari kenyataan.

  Bersetuju dengan Ratna yang menganggap karya sastra sebagai hasil aktivitas penulis yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaaan (2004:62), maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra dalam beberapa peristiwa pasti mengandung unsur psikologis. Apabila karya sastra (teks) dipandang sebagai objek psikologi, maka prinsip-prinsip psikologi dapat diterapkan dalam telaahnya (Windyarti, 2005:2). Untuk itu, peneliti mengambil tinjauan psikologi sebagai dasar analisis penelitian ini.

  Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti yang berperan sebagai tokoh utama. Pada tokoh inilah segala alur cerita dari yang paling penting ataupun sebagai cerita pendukung dibawa.

  Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam cerita, dilatarbelakangi oleh faktor terpenting dari dalam diri tokoh utama, yaitu pengaruh mimpi dan fantasi. Dua hal ini, nantinya akan dianalisis menurut satu pengertian yang menyangkut unsur- usur makna dan unsur-unsur bentuk di dalamnya. Faktor- faktor keinginan serta pengaruh- pengaruh tekanan psikologis, nantinya dikelompokkan menurut jenis masing- masing. Sesuai dengan alasan yang sudah dikemukakan sebelumnya, mimpi dan fantasi dalam penelitian ini berarti melingkupi satu gejala kejiwaan dalam diri manusia. Demikian penelitian ini menjadi jelas mengarah pada lingkup psikoanalisis tokoh dalam sebuah cerita.

B. Rumusan Masalah

  Fokus permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam dua pertanyaan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah tokoh dan penokohan Ashra Trivurti dalam novel Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja?

  2. Bagaimanakah makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam novel Jusktaposisi karya Calvin Michel Sidjaja dalam kajian psikologi sastra? C.

   Tujuan Penelitian

  Berpijak pada kedua rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Ashra Trivurti dalam novel Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja.

  2. Menganalisis dan mendeskripsikan makna mimpi dan bentuk fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam novel Jukstapisisi karya Calvin Michel Sidjaja.

D. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat antara lain : 1.

  Manfaat Teoritis 1.l Untuk menambah perkembangan penelitian sastra karena, sejauh hasil pengamatan penulis dalam tinjauan pustaka, belum ada yang mengambil novel Jukstaposisi sebagai objek penelitian.

  1.2 Sebagai masukan pengetahuan yang berarti bagi bidang kajian psikologi dalam penerapan teori mengenai mimpi dan fantasi yang merupakan gejala kejiwaaan manusia dalam karya sastra.

  2. Manfaat Praktis

  2.1 Memudahkan pemahaman mengenai mimpi dan fantasi yang terjadi dalam pikiran-pikiran manusia.

  2.2 Memperluas pengetahuan mengenai mimpi dan fantasi dari sudut pandang psikologi sastra

  E. Tinjauan Pustaka

  Sejauh telah dilakukan beberapa pengamatan, belum ada tulisan yang mencatat Jukstaposisi sebagai bahan kajian. Kecuali beberapa tulisan yang di antaranya merangkum cerita Jukstaposisi ke dalam suatu resensi semata dan proses kreatif dari pengarangnya. Dengan demikian, topik penelitian ini tergolong baru.

  F. Landasan Teori

  Penelitian ini mengambil dua teori sebagai dasar analisis. Dua teori tersebut yakni teori struktural sastra dan psikologi. Teori struktural diambil untuk menganalisis unsur intrinsik, yakni tokoh dan penokohan, sedangkan teori psikologi digunakan untuk mengkaji masalah mimpi dan fantasi tokohnya.

1. Teori Struktural

  Pradopo dengan mengacu pada pendapat Abrams, menyimpulkan bahwa teori struktural merupakan teori yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom. Artinya, karya sastra terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarangnya. Untuk memahami sebuah karya sastra (novel) harus menganalisis struktur intrinsik karya sastra (novel) itu sendiri (Pradopo, 1995:140-141). Abrams (dalam Pradopo, 1995:140) mengemukakan beberapa pendekatan karya sastra ke dalam empat jenis, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif.

  Analisis struktur memang satu langkah, satu sarana, dan alat dalam proses pemberian makna. Dalam usaha proses ilmiah untuk memahami proses itu dengan sesempurna mungkin. Langkah itu tidak boleh dimutlakkan, tetapi tidak boleh pula ditiadakan (Teeuw, 1984:154). Unsur struktural antara lain meliputi tokoh dan penokohan. Dalam penelitian ini, hanya akan membahas dua unsur tersebut. Hal ini dikarenakan fokus penelitian ini adalah mimpi dan fantasi tokoh Ashra sehingga untuk menganalisis mimpi dan fantasi perlu dianalisis tokoh dan penokohannya terlebih dahulu.

1.1 Tokoh dan Penokohan

  Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Menurut Abrams, tokoh cerita

  

(character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau

  drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2002:165). Fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan.

  Penokohan menurut Esten (1990:27) ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita rekaan. Ada beberapa cara dalam menggambarkan tokoh-tokoh. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan secara langsung bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua, secara dramatik, pengarang tidak langsung menceritakan watak tokoh-tokoh ceritanya. Misal, melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir tokoh, melalui percakapan (dialog), melalui perbuatan sang tokoh.

2. Psikologi Sastra

  Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan (Ratna, 2004:343). Jadi, dengan kata lain, Hartoko dan Rahmanto mendefinisikan bahwa psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dengan sudut pandang psikologi. Perhatiannya diarahkan kepada pengarang dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau teks itu sendiri. Pendekatan psikologi terhadap teks itu sendiri dapat dilangsungkan secara deskriptif belaka, namun sering mendekati suatu penafsiran sastra (1986:126-127).

3. Makna Mimpi

  Mimpi pada dasarnya adalah sebuah gejala psikologis yang terjadi akibat suatu ketaksadaran. Sigmund Freud lebih khusus menyatakan bahwa mimpi adalah produk mental yang dapat dipahami dan dapat ditafsirkan. Dalam bukunya tentang mimpi, Freud (1900) mengartikan mimpi sebagai percobaan tersamar pada “pemenuhan harapan”. Dengan demikian, dia (Freud) me maknai bahwa mimpi menyangkut harapan atau kebutuhan yang ternyata tidak begitu layak dan harus ditekan (repress) atau dihilangkan (banished) dari keadaan sadar (Dharma-Adriyanto, 1987: 264). Sementara itu, Mahmud memberikan contoh tentang banyaknya mimpi yang tidak lain mencerminkan pemuasan keinginan. Seorang pria remaja, tulisnya, yang kepingin sekali melakukan hubungan seksual sering “mimpi basah.” (1989:221).

  Dari uraian di atas, dapat digarasbawahi adanya unsur yang penting dan berpengaruh dalam pembentukan mimpi, yakni unsur keinginan dan sekaligus unsur tekanan (represi).

  Dalam bukunya yang berjudul Memperkenalkan Psikoanalisa, Freud mendekati mimpi dengan menganalisis faktor represi dengan lebih jeli. Freud menjelaskan bahwa biarpun dalam keadaan tidur represi pihak ego memang kurang ketat, namun itu tidak berarti bahwa represi itu terhapus sama sekali. Juga waktu tidur, keinginan yang direpresi tidak dapat lolos dari sensor. Tetapi keinginan itu mencari akal untuk menipu sensor, yaitu dengan mengubah bentuknya atau–dengan kata lain–dengan menggunakan kedok. Dengan demikian, mimpi adalah cara berkedok untuk keinginan yang direpresi. Itulah makna mimpi, suatu fenomen psikis.

  Namun apabila keinginan-keinginan menjadi terlalu kuat, maka sensor sudah kewalahan dan orang yang tidur diganggu oleh mimpi cemas (mimpi buruk). (1979: xxv)

  Naisaban (2004:146-147) menuturkan, fungsi dari represi adalah untuk meredakan kecemasan-kecemasan atau ketegangan dengan jalan menekan dorongan- dorongan atau keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam bawah sadar (unconscious). Peristiwa atau dorongan yang direpresi tidak muncul lagi ke dalam kesadaran, tapi akan muncul dalam bentuk lain, yakni mimpi atau salah ucap atau juga perilaku traumatis lain. Kalau diteliti, pasti ada hal yang direpresi (Naisaban, 2004: 146).

  Masih berkaitan dengan penjabaran teori represi Freud, Hall (1995:115-119) memaparkan apa yang dimaksud dengan represi khas. Represi khas (yang secara umum diistilahkan sebagai represi saja) memaksa ingatan yang berbahaya, pik iran, atau pengamatan supaya keluar dari kesadaran dan mendirikan suatu penghalang terhadap setiap bentuk pelampiasan motoris. Represi bekerja terhadap kenang- kenangan yang sifatnya traumatik atau terhadap kenangan yang sifatnya bertalian dengan suatu pengalaman traumatik. Pengalaman-pengalaman berbahaya dapat pula ditekan. Dalam setiap hal, baik itu berupa pengamatan, kenangan, atau pikiran yang ditekan. Tujuannya adalah untuk menghapuskan kecemasan obyektif, neurotis, atau moralistis dengan jalan menolak atau memalsukan ancaman dari luar atau dari dalam terhadap ego (Hall, 1995: 116-119).

  Freud (1979) memaknai mimpi sebagai sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur yang merupakan perwujudan lain dari dorongan atau keinginan manusia yang ditekan. Definisi inilah yang nantinya digunakan dalam penelitian ini. Menganalisis makna mimpi tidak lain berarti menyelidiki keinginan tersembunyi yang diakibatkan oleh tekanan-tekanan yang ada dalam diri manusia. Dengan menyelidiki apa yang “menyibukkan” pikiran si subyek, mimpi dapat kita maknai sebagai sesuatu yang merupakan keinginan terbesar yang muncul dalam ketaksadaran (1979: xxv).

  Teori mimpi di atas adalah teori mimpi yang diasosiasikan dengan kondisi manusia yang sedang tidur. Secara eksplisit teori-teori di atas diambil dalam sebuah penelitian yang mengambil kesimpulan dari beberapa percobaan dalam kondisi manusia sedang tidur. Demikian peneliti akan mengambil konsep mimpi yang nantinya juga dihubungkan dengan kondisi tidur tokohnya.

4. Bentuk Fantasi

  Landasan teori yang akan dipakai untuk menganalisis masalah fantasi adalah teori yang ditulis oleh Ahmadi. Teori fantasi yang dikemukakan Ahmadi memang sedikit berbeda dari teori fantasi yang dikemukakan oleh Freud. Perbedaan itu terletak pada penjabaran mengenai bentuk-bentuk fantasi yang lebih luas dikemukakan oleh Ahmadi. Penulis akan menggunakan teori Ahmadi karena lebih lengkap dan mendukung penelitian. Namun pada dasarnya, teori fantasi Ahmadi merupakan penjabaran dari teori kesadaran dan ketaksadaran yang pernah ditulis oleh Freud. Untuk itulah penulis lebih memilih untuk menggunakan teori fantasi Ahmadi.

  Ahmadi dalam bukunya Psikologi Umum (1992:78), secara rinci me maknai fantasi sebagai kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan-bayangan baru. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa fantasi itu tidak mempunyai keburukan. Keburukannya ialah dengan fantasi orang dapat meninggalkan alam kenyataan, lalu masuk dalam alam fantasi. Hal ini merupakan suatu bahaya, karena orang terbawa hidup dalam alam yang tak nyata. Fantasi juga menimbulkan kedustaan, takhayul, dan sebagainya (Ahmadi, 1992:80).

  Menurut bentuknya, Ahmadi (1992:79) juga membedakan beragam jenis fantasi. Di antara bermacam jenis fantasi itu, peneliti mengambil beberapa saja yang sekiranya perlu untuk bahan penelitian. Bentuk-bentuk fantasi itu antara lain: 1.

  Fantasi yang tidak disadari Yaitu apabila individu tidak secara sadar telah dituntut oleh fantasinya.

  Keadaan semacam ini banyak dijumpai pada anak-anak. Anak sering mengemukakan hal- hal yang bersifat fantastis sekalipun tidak ada niat atau maksud dari anak untuk berdusta.

2. Fantasi menciptakan

  Fantasi menciptakan merupakan bentuk atau jenis fantasi yang mampu menciptakan hal- hal baru. Fantasi macam ini lebih banyak dimiliki oleh seniman, anak-anak, juga para ilmuwan untuk mencetuskan teori-teori baru.

3. Fantasi terpimpin

  Sedangkan fantasi terpimpin adalah bentuk fantasi yang dituntun oleh pihak lain. Misalnya seorang penonton film dapat mengikuti apa yang dilihatnya dan berfantasi tentang keadaan atau tempat-tempat yang ada dalam film itu. Demikian pula apabila seseorang mendengarkan atau membaca sebuah cerita. Orang tersebut dapat berfantasi dengan bantuan tulisan.

  Peneliti akan menggunakan pengertian bentuk-bentuk fantasi yang telah dipaparkan oleh Ahmadi sebagai landasan teori. Freud memang pernah menyinggung masalah fantasi (fantasme) akan tetapi persoalan yang dihadirkan Freud lebih sempit dan cenderung meliputi fantasi seksual semata. Sedangkan dalam penjabaran Ahmadi, pengertian dan penggolongan fantasi lebih menyeluruh dan lengkap.

G. Metodologi Penelitian

  1. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural dan psikologi sastra. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang membatasi diri pada penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi intrinsik saja yakni tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (Semi, 1989: 44 - 45). Dalam penelitian ini, unsur intrinsik yang akan dibahas hanya mencakup tokoh dan penokohannya.

  Pendekatan psikologis adalah pendekatan sastra yang mendekati sastra dengan sudut pandang psikologi. Dalam penelitian ini pendekatan psikologi yang dipakai adalah pendekatan yang mengarah pada teks sastra (novel) itu sendiri (Hartoko- Rahmanto, 1986:126).

  2. Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang dilakukan dengan cara memaparkan fakta- fakta yang disusul dengan analisis. Metode ini hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai variabel- variabel yang diteliti.

  Penelitian ini bersifat penelitian pustaka karena berobjek pada sebuah teks sastra yakni novel. Peneliti akan menggali data-data mengenai mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti yang terdapat dalam novel Jukstaposisi. Data-data tersebut kemudian dianalisis berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan. Kemudian tahap terakhir adalah penyajian hasil analisis data.

  3. Sumber Data Penelitian ini menggunakan satu sumber data sebagai objek penelitian, yakni berupa novel yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

  Judul Novel : Jukstaposisi Pengarang : Calvin Michel Sidjaja

  Penerbit : Gagas Media, Jakarta Tahun terbit : 2007 Tebal Novel : 279 hlm.

H. Sistematika Penyajian

  Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab pertama yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab dua berupa pembahasan mengenai harapan atau keinginan tokoh AshraTrivurti. Bab tiga membahas mimpi dan fantasi tokoh Ashra Trivurti dalam kajian psikologi sastra. Bab empat adalah penutup yang berisi kesimpulan pembahasan sekaligus saran. Kemudian bagian paling akhir adalah daftar pustaka.

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN ASHRA TRIVURTI DALAM NOVEL JUKSTAPOSISI Analisis mengenai tokoh dan penokohan dalam penelitian ini dilakukan

  dengan tujuan untuk mendukung pembahasan mengenai masalah pokok yang hendak dibahas nantinya, yakni mimpi dan fantasi tokoh utama. Untuk lebih jauh menganalisis mimpi dan fantasi maka akan lebih jelas apabila dianalisis mengenai gambaran tokoh dan penokohannya terlebih dahulu.

  Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan bagaimana tokoh dan penokohan Ashra sesuai dengan yang tercantum dalam novel. Peneliti akan menggunakan dua cara yang biasa dipakai pengarang untuk menggambarkan tokohnya, yakni secara analitik dan dramatik. Dua cara ini dianggap cukup baik dalam penganalisaan tokoh. Sebab selain dari sudut pandang pengarang langsung, peneliti bisa juga melibatkan diri melihat gambaran atau karakter tokoh yang diteliti.

  Gambaran mengenai tokoh Ashra Trivurti (selanjutnya Ashra) ternyata kurang menonjol. Ini disebabkan ada dua peranan mengenai tokoh ini, yakni tokoh Ashra sebagai tokoh dalam kenyataan dan Ashra sebagai tokoh dalam mimpi. Akan tetapi peranannya sebagai tokoh dalam mimpi lebih mendominasi novel. Dalam hal ini, peneliti hanya akan menganalisis sejauh mana peranan tokoh Ashra dalam kenyataan sebab peranannya dalam mimpi dianggap tidak mewakili penokohan Ashra yang sebenarnya.

  16 Namun bila dilihat secara keseluruhan, sosok tokoh Ashra adalah sosok yang kompleks. Artinya, Ashra bukanlah pribadi yang secara utuh membentuk dirinya sendiri melalui kehendak pribadi tapi dibentuk juga oleh lingkungan sosialnya. Peneliti akan melihat juga celah ini sebagai indikasi yang mempengaruhi kekuatan peranan tokoh Ashra. Banyak faktor-faktor eksternal yang turut membentuk pribadi Ashra. Untuk itu, peneliti berusaha lebih jeli melihat hubungan ini hingga diperolah gambaran yang jelas mengenai penokohan Ashra sebagai subyek yang berkarakter.

  Pada bagian awal cerita, dikisahkan bahwa Ashra adalah seorang perempuan yang hidup dan dibesarkan oleh neneknya yang bernama Vahni. Lebih tepatnya, dia seorang anak angkat. Akan tetapi, dalam penceritaan tidak dikisahkan bagaimana kedua orang tuanya dulu mengambil Ashra sebagai anak mereka. Bagian flashback yang bercerita mengenai keluarganya itu tidak lengkap. Di bagian itu hanya dikatakan bahwa Ashra adalah anak angkat dari pasangan Tuan Wadya dan Nyonya Iliviana. Nasib kedua orang tuanya pun tidak diceritakan. Setelah pindah dari Bali, Ashra hanya tinggal dengan neneknya di sebuah apartemen mewah di Jakarta. Ashra lahir dengan kondisi ekonomi yang sangat berkecukupan.

  Ashra bisa melihat dirinya, 14 tahun, gadis yang datang dari bali dan baru saja pindah ke Jakarta. Ia akan memulai hari pertama sekolahnya.(Sidjaja, 2007:4) Dia lalu masuk ke dalam lift. Terlihat beberapa wanita dan pria mengenakan setelan jas berdiri di dalam lift. Ashra melihat beberapa dari orang tersebut adalah bule dan beberapa lagi adalah Chinese. Ya, pikir Ashra tempat ini dihuni berbagai orang dari penjuru dunia yang memiliki uang berlebih dan melabelkan diri mereka sebagai kalangan kelas atas

  Meski hidup berkecukupan, Ashra lebih memilih menjalani hidup secara lebih sederhana. Malahan, Ashra kurang suka akan adanya ‘pelabelan’ terhadap status ekonomi orang-orang kaya. Dia tidak diantar ke sekolah oleh sopir pribadi seperti kebiasaan teman-teman sekolahnya. Dengan naik sepeda yang diberikan oleh ayahnya dulu, Ashra biasa berangkat ke sekolah.

  Ashra mulai belajar mengenai banyak hal dari neneknya. Dia mulai mengerti banyak hal dari mitos yang kerap didongengkan oleh nenek Vahni.

  Nasihat-nasihat serta dukungan tidak lupa pula diberikan kepada Ashra. Kedekatan komunikasi dan kasih sayang yang baik dari nenek Vahni ternyata mampu membangun sebuah hubungan yang harmonis sebagaimana orang tua dan anak.

  Air, kata Nenek Vahni adalah sumber kehidupan. Tak ada makhluk hidup yang dapat hidup tanpa air di dunia ini. Extra agua nulla vitae, di luar air tak ada kehidupan. (Sidjaja, 2007:3) Benaknya melayang. Ashra ingat sewaktu masih kecil, dia sering didongengi sebuah cerita oleh nenek setiap malam. Bahwa dunia ini, pada dahulu sekali, manusia tidak mengenal adanya perbedaaan bahasa. Seluruh manusia menggunakan pikiran mereka jika ingin berkomunikasi satu sama lain. Lalu Ashra pun sering bertanya kepada neneknya. “Kenapakah manusia kehilangan kemampuan itu, nenek?”. Neneknya hanya tersenyum. Karena dunia itu berubah. Tiga Tuhan saling menghancurkan untuk merebutkan kekuasaaan mereka di dunia ini. Lalu pemenangnya adalah sang Tuhan yang memiliki sayap emas. Dialah yang membuat kekuatan tersebut punah dari dunia ini. Dongeng itu sudah ia dengar berkali-kali. Dan dia tidak pernah bosan mendengarnya. Ashra suka sekali cerita itu. (Sidjaja, 2007:13) Beberapa pemahaman mengenai mitos kadangkala ia peroleh dari cerita- cerita klasik neneknya. Namun selain itu, Ashra juga banyak mendapat pengetahuan dari kegemarannya akan hal- hal yang berhubungan dengan sejarah atau membaca buku-buku di perpustakaan.

  “Aku menyukai sejarah, dan aku juga menggemari hal- hal yang berbau fisika. Aku harap kita semua bisa akrab,” kata Ashra kepada seluruh penghuni kelas. (Sidjaja, 2007:11) Ashra sangat menyukai perpustakaan. Menurutnya, sebuah perpustakaan adalah tempat di mana dia bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang masih tersembunyi di sebuah rak buku. (Sidjaja, 2007:38) Museum bagi Ashra adalah tempat yang menyenangkan, karena di sana dia bisa bertemu dengan patung para dewa Hindu maupun arca Budha. Semenjak masih kecil, Ashra sangat gemar memandang ilustrasi dewa- dewi. Dia merasa familiar dan dekat dengan segala macam deitas. Apakah mungkin aku dulunya Tuhan yang berinkarnasi menjadi Ashra Trivurti? Apa mungkin aku adalah avatar ke 11 dari Vishnu? pikir Ashra. Atau mungkin aku inkarnasi sebuah setan? Namaku Ashra, mungkin sebelum aku lahir ke dunia sebagai perempuan dan berambut panjang seperti ini, bisa saja aku adalah Mahasura. (Sidjaja, 2007:51-52) Lambat- laun Ashra tumbuh menjadi anak yang terbiasa mandiri dan selalu

  ‘sibuk’ denga n pikirannya sendiri. Ia menjadi pribadi yang sering mempertanyakan banyak hal yang mengganggu pikirannya. Masalah-masalah mengenai eksistensi, terutama, menjadi hal yang sangat menyita perhatiannya. Ashra kerap diterjang berbagai pertanyaan filsafat.

  Bu Rita, wali kelas II D mengenalkan Ashra kepada seluruh kelas sekaligus menceritakan sedikit mengenai dirinya. Diriku? Kata Ashra dalam hati. “Sedikit adalah kata yang relatif. Seberapakah sedikit itu, Bu Rita?” (Sidjaja, 2007:11) Kenapa ada manusia yang mati? Teriak Ashra dalam hati sambil memandang tubuh Marya Yeshwa yang sudah tak bergerak di lapangan yang sekarang menjadi kanvas hijau berdarah (Sidjaja, 2007:29)

  Ujian, sekolah, Noah, langit biru. Ashra merenung melihat segala pemandangan di hadapannya. Kenapa rasanya aneh sekali. Apa benar aku hidup? (Sidjaja, 2007:139) Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya itu datang ketika ia menemui berbagai situasi di sekelilingnya. Peristiwa buruk di sekitarnya, membuat perasaan Ashra sering kalut. Ashra adalah seorang yang selalu kontradiktif terhadap diri sendiri. Ini bisa dilihat baik dari penggambaran pengarangnya langsung maupun dari kutipan monolog Ashra.

  Dia selalu kontradiktif dengan dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan saat melihat suatu masa depan? (Sidjaja, 2007:65) Rasa kagum tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam benak Ashra. Betapa bahasa ternyata bisa melebur jarak. Membuat perbedaan suku bangsa dan bahasa seolah tak berarti ketika ada bahasa lain yang menjembataninya. Ashra terdiam. Kenapa harus ada perbedaan bahasa? (Sidjaja, 2007:12) Perasaan paradoks, pikirnya. Dia belum mengenal orang itu namun dia sangat sedih. Kenapa aku menangis? Kenapa aku sedih karena kehilangan seseorang yang belum kukenal? (Sidjaja, 2007:134) Dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap dipikirkannya, bisa dikatakan bahwa Ashra sudah terjerumus ke dalam suatu pesimisme, anggapan bahwa pada dasarnya dunia itu sebetulnya hanya buruk semata. Kejadian-kejadian tragis yang dijumpai Ashra, membuat pandangannya hanya tertuju pada satu sisi, yaitu kenyataan getir dan pahit. Bahkan dalam mimpi yang tiap kali dialaminya pun Ashra tetap menemui kejadian yang buruk.

  Tubuh Ashra terguling dari tempat tidur dan jatuh ke lantai kamarnya. Badan gadis itu membentur tegel, lalu dalam sekejap saja Ashra terbangun. Dia perlahan membuka matanya dengan penuh kengerian.

  Rambutnya terlihat sekusut wajahnya. Dia melihat sekelilingnya. Kamar

  Mimpi yang mengerikan, pikir Ashra. Dia tidak ingat seluruhnya tapi dia bermimpi dicekik dan dibunuh. (Sidjaja, 2007:136) Tokoh Ashra juga digambarkan sebagai seorang indigo, yakni punya kemampuan melihat suatu kejadian sebelum kejadian itu berlangsung. Suatu kejadia n seolah-olah pernah dilihat atau dialami sebelumnya, de javu. Meski kedengarannya mustahil, tapi banyak pada bagian awal novel ini yang memperkenalkan sosok Ashra sebagai seorang perempuan yang aneh dengan segala kelebihannya itu.

  De javu

  ..cetus Ashra. Harusnya dia tak perlu kaget karena hal tersebut hampir terjadi setiap hari. (Sidjaja, 2007:30). Terlalu banyak pengulangan, pikirnya. Dia masih bisa merasakan de javu yang ganjil sepanjang waktu (Sidjaja, 2007:33).

  Kemampuan itu membuatnya semakin yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini sebetulnya telah ditentukan oleh suratan takdir. Ia bisa punya keyakinan seperti ini melalui de javu yang sering dialaminya. Manusia, dengan demikian, hanya menjalani takdirnya masing- masing. Jadi, masa depan manusia tidak dapat diubah karena sudah ditentukan, begitulah Ashra pernah menyimpulkan.

  Masa depan, benar-benar tak bisa berubah, pikir Ashra. Tanpa sadar dia melelehkan air mata. Dia merasa menjadi orang paling berdosa di dunia (Sidjaja, 2007:67).

  Pandangan-pandangan pesimisme amat mendominasi pemikiran Ashra. Banyak tema kematian yang diikutkan dalam beberapa bagian penceritaan tokoh ini. Salah satu alasan yang mendasari adalah bahwa kematian memang sesuatu bahwa pandangan pesimisme Ashra memang beralasan. Belum lagi kehidupan Jakarta yang serba vulgar semakin menambah nilai minus pada pandangannya terhadap dunia. Tidak hanya melalui tabloid-tabloid yang digantung di kios-kios pinggir jalan, ternyata seks juga terang-terangan telah merambah lingkungan sekolahnya.

  “Daniel, sudah kubilang kan bahwa hari ini bakal ada ulangan mendadak. Kau kenapa malah kemarin pergi untuk menyewa film xxx? Salah sendiri!” (Sidjaja, 2007:31).

  Lalu orang itu kembali membaca tabloid berjudul sEXy bergambar seorang perempuan memakai pakaian renang dan menampilkan pose yang mampu membuat para lelaki terangsang. Halaman depannya dipenuhi dengan judul- judul Sex Hebat Tiap Malam, Full Bra Uncensored, dan sebagainya. Ashra merasa mual melihat tabloid sampah itu (Sidjaja, 2007:67).

  Dengan ciri hidup yang cenderung bersifat individualis, lingkungan apartemen mewah membentuk Ashra jadi remaja yang penyendiri. Di dalam apartemen itu ia tak punya teman sama sekali. Orang–orang sibuk dengan urusan masing- masing. Dia hanya punya kesempatan bertemu dengan kawan-kawannya saat sedang melakukan aktivitasnya di sekolah saja. Di luar itu ia hanya bergaul dengan neneknya dan dengan boneka kesayangannya.

  Ashra berjalan di sepanjang lorong apartemen. Sudah seminggu Ashra tinggal di kamar 415 bersama neneknya di gedung pemukiman yang oleh para pengiklan di surat kabar dan majalah bisnis properti diberi label “tempat orang elit hidup”. Ashra kerap tak habis pikir, mengapa pelabelan seperti itu perlu dilakukan? Sampai hari ini ia belum mendapatkan seorang teman pun di apartemen barunya (Sidjaja, 2007: 5). Ashra Trivurti membuka matanya lebar- lebar. Di sebelah kanannya, ada

  Teddy Bear berpita hijau di leher memandanginya dengan senyum hangat yang biasa ia berikan setiap pagi (Sidjaja, 2007:49).

  Ashra membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Senyuman Teddy Bear milik Ashra yang selalu menyambut pada saat bangun tidur tampak seperti sebuah seringai saat ini (Sidjaja, 2007:69). Ashra duduk di tempat tidur. Boneka Teddy Bear itu basah ditimpa air mata Ashra yang mengalir bagai hujan di tengah kemarau (Sidjaja, 2007:113).

  Ashra malah merasa lebih nyaman bila sudah berada di dalam kamarnya. Ia merasa akrab dengan boneka yang seolah selalu memberi senyum kepadanya itu. Segala curahan perasaannya sering ia curahkan pada boneka. Tidak ada rasa keakraban lain yang tergambar jelas selain saat berada di dekat neneknya dan boneka kesayangannya. Kehidupan orang-orang kalangan atas yang terkesan

  masabodo

  tak sanggup memberi sandaran dalam hatinya. Wajar bila kemudian Ashra mengalami kegalauan yang terbendung dalam dirinya.