Masyarakat Cina dan kekerasan obyektif dalam karya sastra : sebuah kritik ideologi atas multikulturalisme.

(1)

x

ABSTRAK

Permasalahan identitas masyarakat Cina di Indonesia adalah sebuah permasalahan yang pelik karena selalu terkait dengan ideologi dominan yang berkuasa. Untuk itu saya ingin mengunjungi kembali permasalahan tersebut tapi pada kesempatan ini melalui karya-karya sastra; sebuah pilihan yang berangkat dari keyakinan bahwa karya sastra memiliki daya tawarnya yang unik. Hal tersebut karena bagi saya tumbuh-kembangnya komunitas masyarakat Cina di Indonesia terendapkan dan terwakili dengan baik dalam dunia sastra.

Ketika ditelusuri lebih mendalam, enam karya, dari tiga masa yang berbeda, yang saya kaji memiliki hubungan yang ambivalen (symptomatic) dengan ideologi dominan pengelompokkan masyarakat di masanya masing-masing. Menariknya, karena tak sepenuhnya tunduk pada ideologi dominan tadi, karya-karya tersebut menunjukkan permasalahan dan posisi masyarakat Cina sesungguhnya. Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay, dari masa Politik Etis, menunjukkan bagaimana masyarakat Cina memiliki kesulitan untuk menjadi pribumi karena posisinya yang lebih diuntungkan sebagai akibat dari politik segregasi. Dengan kata lain, terdapat sebuah superioritas yang selalu menaungi hubungan Bangsa Cina dan kaum Indonesier (pribumi) sehingga persatuan identitas urung tercapai. Di Lucy Mei Ling yang ditulis di masa kejayaan Orde Baru, identitas berbasis superioritas ekonomi masyarakat Cina ini masih kental terasa. Novel ini tak mampu membahasakan permasalahan yang ada berkenaan dengan ketimpangan identitas (ekonomis) tadi karena politik asimilasi a la Orde Baru yang mewajibkan hilangnya sejarah (identitas). Di masa pasca-Orde Baru yang membawa multikulturalisme sebagai ideologi dominannya, karya-karya sastra bertema kehidupan masyarakat Cina memiliki kecenderungan menarasikan masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat yang merupakan korban penindasan kultural semata. Sehingga, sisi kultural identitas mereka harus dirayakan keberadaannya. Padahal jika dilihat secara historis, permasalahan dengan identitas masyarakat Cina bukan semata-mata urusan kultural. Sesungguhnya kepentingan ekonomis rezim penguasalah yang mendasari semua kebijakan-kebijakan tadi.

Hasilnya adalah cara pandang esensialis dan ahistoris terhadap posisi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia. Perayaan multikulturalisme yang saya temui adalah perayaan kultural yang hanya menjunjung kesetaraan tanpa mempertimbangkan ketimpangan berbasis ekonomi yang ada.

Kata kunci: Cina Indonesia; pribumi; ideologi; fantasi; kolonialisme; Orde Baru; reformasi; politik segregasi; politik asimilasi; multikulturalisme; Sastra Melayu Tionghoa; Sastra Indonesia; Identitas; symptom.


(2)

xi

ABSTRACT

The case of Chinese-Indonesian is not a simple case for it was always related to reigning regimes and its’ dominant ideologies. From such understanding, I revisit the case. Yet, in this research, I sought to seek the case through the realm of literature for I believe that literary works offer unique ways of perceiving the case. Moreover, I believe the up-and-downs of the community of Chinese-Indonesians were well sedimented and represented in the realm of literature.

When further acts of analysing were taken, the six literary works, from three different eras, I chose to be the subjects of the research showed an ambivalent (symptomatic) relationship with the ideologies of social-categorization of their times. Those six literary works (novels) led me to the transgressive side of the dominant ideologies and deeper understanding of the problems with the identity and position of Chinese-Indonesians. Drama di Boven Digoel written by Kwee Tek Hoay from

Colonial Indonesia showed me how the ‘privileged’ socio-economic position – thus

identity – of Chinese-Indonesians during the heyday of the Ethical Policy (politics of segregation) had become a hard-to-break wall to be pribumi. The next novel, Lucy Mei Ling, showed how difficult it was for a writer to write about Chinese-Indonesians during the golden days of the politics of assimilation – the identification of Chinese-Indonesians through their economic presence and not the ethno-cultural presence. The novel contributed to the analysis in the sense of showing the deepest logic of assimilative social-categorization in New Order Indonesia. It showed us – for one more time - how dominant ideology became our horizon of identification while providing the language we use. In contemporary Indonesian literature, Chinese-Indonesians theme have become more and more visible. It happens under the light of multiculturalism with the celebration of Chinese-Indonesians’ culture and victimized minority.

Furthermore, the four novels from post-New Order Indonesia with their complicated relationship with the dominant ideology (multiculturalism) showed the ideological edge of multiculturalism; its’ transgressive side; the abandonment of economic analysis. The abandonment itself was caused by over-exposure of cultural celebration (essentialism) and the story of victimization (ahistoricism). Thus, multiculturalism is driving us away from the real problem in the realm of economic gap created by older regimes.

Key words : Chinese-Indonesians; native people; ideology; fantasy; colonialism; New Order; Reformation; segregation; assimilation; multiculturalism; Malay-Chinese Literature; Indonesian Literature; Identity; Symbolic order; objet petite a; symptom.


(3)

MASYARAKAT CINA DAN KEKERASAN OBYEKTIF DALAM

KARYA SASTRA; SEBUAH KRITIK IDEOLOGI ATAS

MULTIKULTURALISME

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh :

Alwi Atma Ardhana 106322012

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2014


(4)

(5)

MA$VARAKAT' CINA DAN KEKERASAN OBYEKTIF DALAM KARVA SASTRA; SEBUAH KRITIK IDEOLOGI ATAS MTJLTIKT]LTURALISME

TESIS Oleh:

Alwi Atma Ardhana 106322012

I

7 ,

3" Dr" SL Sunardi

"AIN

fa--[

Yogyakarta, 9 September 2014 Direktur Program Pascasarj a na


(6)

(7)

(8)

vi


(9)

vii

PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus saya persembahkan kepada

kedua orang tuaku,

Babe (Aliman Susilo Ajib, S. IP) dan Mami (Wiwik Hasta Pratiwi),

kedua adikku tercinta,

Lita dan Ara,


(10)

viii

KATA PENGANTAR

Sejatinya, sebuah tesis adalah sebuah bagian kecil dari proses pendewasaan seseorang secara intelektual dan personal; sebuah proses untuk memberi makna pada lingkungan sekitar dan menyumbangkan sesuatu (sebuah jawaban mungkin?). meskipun saya dapat dikatakan telah menyelesaikan tesis ini, di titik ini, saya tidak yakin bahwa telah benar-benar memberi jawaban pada permasalahan yang ada melalui tesis ini. Akan tetapi, saya yakin benar bahwa saya kini memiliki pemaknaan yang lebih baik atas pertanyaan (permasalahan) yang ada. Permasalahan terkait dengan ideologi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia, yang saya coba angkat di tesis ini - bukanlah sebuah permasalahan yang bisa dipecahkan dalam waktu yang singkat. Jadi, selesainya tesis ini – meskipun telah menggunakan energi ekstra dalam proses pengerjaannya - hanyalah sebuah peran kecil yang saya ambil dalam

‘permainan’ di wilayah tersebut. Dan peran kecil saya tersebut tidak mungkin adanya jika saya saya tidak mendapat sokongan yang luar biasa dari banyak pihak. Karenanya halaman-halaman berikut ini saya persembahkan untuk mengucap terima kasih pada pihak-pihak tersebut.

Yang pertama dan utama, saya ingin berterima kasih kepada kedua orang tua saya – babe dan mami – yang sejak awal, dengan segala kepercayaan dan keteguhan hatinya yang dimilikinya, mendukung pilihan studi lanjutan anaknya meskipun pilihannya agak ‘tidak wajar’. Saya juga berterima kasih pada dua adik perempuan saya – Lita dan Ara – yang selalu menemukan cara untuk mendorong saya untuk tidak menyerah. Terima kasih juga pada Pakdhe Edi, Budhe Indi’, Budhe Suster dan Mbeta (Bernadetta Diah Ariani) untuk dorongannya dengan caranya masing-masing. Berikutnya, saya ingin mengucapkan terima kasih pada keluarga baru saya terutamanya istri saya tercinta – Indra Puspita Dewi – yang kesetiaan, kesabaran, dan

ketabahannya semenjak masih berstatus ‘pacar’ haram jika masih diragukan (saya yakin menunggu orang sekolah itu lebih berat dari orang sekolah). Keluarga Halim - papah dan mamah mertua - saya kira juga lebih dari pantas disebut di kesempatan ini mengingat dorongan dan keyakinan mereka pada saya tak terkira pentingnya dalam proses penulisan tesis ini.

Untuk bimbingan dan pengertiannya yang tak bertepi, saya akan menjadi durhaka jika tak berterima kasih kepada dua pembimbing saya: Dr. Katrin Bandel dan Dr. Albertus Budi Susanto S.J. Terutamanya untuk Mbak Katrin yang memberikan semua referensinya tentang Sastra Melayu Lingua Franca dan Sastra Indonesia kekinian. Saya juga ingin secara khusus berterima kasih pada Dr. St. Sunardi untuk ilmu baru – bagi saya - bernama Psikoanalisa yang akhirnya saya,


(11)

ix dengan segala kenekatan, gunakan untuk menyusun tesis yang seadanya ini. Untuk semua staf pengajar di Ilmu Religi dan Budaya, saya juga haturkan terima kasih yang seluas-luasnya: Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J., Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. George Aditjondro dan dosen-dosen lain yang tak dapat sebutkan satu per satu. Jikalau ada kesalahan – dan pasti adanya – dalam tesis ini, hal tersebut sepenuh-penuhnya disebabkan oleh kemalasan dan keteledoran saya semata dan bukan karena kerja keras dosen-dosen sekalian. Selain itu, saya juga hendak berterima kasih pada semua staf Ilmu Religi dan Budaya: khususnya Mbak Desi (terima kasih untuk

kegigihan ‘teror’-nya  - trust me it works!) dan Mas Mul (terima kasih untuk kopi

dan pertanyaan ‘nylekit’ ‘kapan rampung?’-nya dan maaf atas abu rokoknya ya, mas. Saya khilaf.).

Rasa terima kasih yang tak terkira saya ucapkan pada kawan-kawan senasib dan sepenanggungan di IRB, mediasastra.com, eks-Sastra Sanata Dharma, ‘New Star’, kontrakan Monjali dan sekitarnya: Zuhdi dan tentu saja Mbak Laksmi (sembah miring wolak-walik plungkak-plungkik buat tuan dan nyonya ndalem Kabunan), Mando (obrigado, camarada!), Lisis, Aban Irpang, Gintani, Pongkot, Bang Ben, Mas Win, Amsa, thunder buddy saya - Acong, Muji (terima kasih untuk segalanya yang ruwet, ribet dan njelimet!), Fafa, Doni, Jati, Arham, Imran, Lamser, Frans, Ani,

Vini, Umi, Padmo, Rendra, Jeje, Herman ‘Cheng’ (jebul kowe lulus e ngenteni aku to!), Pak Moko dan kawan-kawan lain yang tak dapat saya cantumkan satu per satu. Akhirul kalam, terima kasih banyak dan tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!

Yogyakarta, 1 Agustus 2014


(12)

x

ABSTRAK

Permasalahan identitas masyarakat Cina di Indonesia adalah sebuah permasalahan yang pelik karena selalu terkait dengan ideologi dominan yang berkuasa. Untuk itu saya ingin mengunjungi kembali permasalahan tersebut tapi pada kesempatan ini melalui karya-karya sastra; sebuah pilihan yang berangkat dari keyakinan bahwa karya sastra memiliki daya tawarnya yang unik. Hal tersebut karena bagi saya tumbuh-kembangnya komunitas masyarakat Cina di Indonesia terendapkan dan terwakili dengan baik dalam dunia sastra.

Ketika ditelusuri lebih mendalam, enam karya, dari tiga masa yang berbeda, yang saya kaji memiliki hubungan yang ambivalen (symptomatic) dengan ideologi dominan pengelompokkan masyarakat di masanya masing-masing. Menariknya, karena tak sepenuhnya tunduk pada ideologi dominan tadi, karya-karya tersebut menunjukkan permasalahan dan posisi masyarakat Cina sesungguhnya. Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay, dari masa Politik Etis, menunjukkan bagaimana masyarakat Cina memiliki kesulitan untuk menjadi pribumi karena posisinya yang lebih diuntungkan sebagai akibat dari politik segregasi. Dengan kata lain, terdapat sebuah superioritas yang selalu menaungi hubungan Bangsa Cina dan kaum Indonesier (pribumi) sehingga persatuan identitas urung tercapai. Di Lucy Mei Ling yang ditulis di masa kejayaan Orde Baru, identitas berbasis superioritas ekonomi masyarakat Cina ini masih kental terasa. Novel ini tak mampu membahasakan permasalahan yang ada berkenaan dengan ketimpangan identitas (ekonomis) tadi karena politik asimilasi a la Orde Baru yang mewajibkan hilangnya sejarah (identitas). Di masa pasca-Orde Baru yang membawa multikulturalisme sebagai ideologi dominannya, karya-karya sastra bertema kehidupan masyarakat Cina memiliki kecenderungan menarasikan masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat yang merupakan korban penindasan kultural semata. Sehingga, sisi kultural identitas mereka harus dirayakan keberadaannya. Padahal jika dilihat secara historis, permasalahan dengan identitas masyarakat Cina bukan semata-mata urusan kultural. Sesungguhnya kepentingan ekonomis rezim penguasalah yang mendasari semua kebijakan-kebijakan tadi.

Hasilnya adalah cara pandang esensialis dan ahistoris terhadap posisi dan identitas masyarakat Cina di Indonesia. Perayaan multikulturalisme yang saya temui adalah perayaan kultural yang hanya menjunjung kesetaraan tanpa mempertimbangkan ketimpangan berbasis ekonomi yang ada.

Kata kunci: Cina Indonesia; pribumi; ideologi; fantasi; kolonialisme; Orde Baru; reformasi; politik segregasi; politik asimilasi; multikulturalisme; Sastra Melayu Tionghoa; Sastra Indonesia; Identitas; symptom.


(13)

xi

ABSTRACT

The case of Chinese-Indonesian is not a simple case for it was always related to reigning regimes and its’ dominant ideologies. From such understanding, I revisit the case. Yet, in this research, I sought to seek the case through the realm of literature for I believe that literary works offer unique ways of perceiving the case. Moreover, I believe the up-and-downs of the community of Chinese-Indonesians were well sedimented and represented in the realm of literature.

When further acts of analysing were taken, the six literary works, from three different eras, I chose to be the subjects of the research showed an ambivalent (symptomatic) relationship with the ideologies of social-categorization of their times. Those six literary works (novels) led me to the transgressive side of the dominant ideologies and deeper understanding of the problems with the identity and position of Chinese-Indonesians. Drama di Boven Digoel written by Kwee Tek Hoay from Colonial Indonesia showed me how the ‘privileged’ socio-economic position – thus identity – of Chinese-Indonesians during the heyday of the Ethical Policy (politics of segregation) had become a hard-to-break wall to be pribumi. The next novel, Lucy Mei Ling, showed how difficult it was for a writer to write about Chinese-Indonesians during the golden days of the politics of assimilation – the identification of Chinese-Indonesians through their economic presence and not the ethno-cultural presence. The novel contributed to the analysis in the sense of showing the deepest logic of assimilative social-categorization in New Order Indonesia. It showed us – for one more time - how dominant ideology became our horizon of identification while providing the language we use. In contemporary Indonesian literature, Chinese-Indonesians theme have become more and more visible. It happens under the light of multiculturalism with the celebration of Chinese-Indonesians’ culture and victimized minority.

Furthermore, the four novels from post-New Order Indonesia with their complicated relationship with the dominant ideology (multiculturalism) showed the ideological edge of multiculturalism; its’ transgressive side; the abandonment of economic analysis. The abandonment itself was caused by over-exposure of cultural celebration (essentialism) and the story of victimization (ahistoricism). Thus, multiculturalism is driving us away from the real problem in the realm of economic gap created by older regimes.

Key words : Chinese-Indonesians; native people; ideology; fantasy; colonialism; New Order; Reformation; segregation; assimilation; multiculturalism; Malay-Chinese Literature; Indonesian Literature; Identity; Symbolic order; objet petite a; symptom.


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….……….…....…. i

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN TESIS…....…………..…………..…...…ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ………...… iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ………. iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. v

MOTTO ……….… vi

PERSEMBAHAN ……….……...… vii

KATA PENGANTAR ……….…………..…. viii

ABSTRAK ………..…….…. ix

ABSTRACT ……….………...…. xi

DAFTAR ISI ……….…….. xii

BAB I PENDAHULUAN ………..… 1

A. Latar Belakang ………...………... 1

B. Rumusan Masalah ………..……..……...…… 13

C. Tujuan Penelitian ………...…..…... 13

D. Manfaat Penelitian ………..…...……….… 14

E. Kajian Pustaka ………...………... 14

F. Kerangka Teoritik ………...………..…….……….... 23

F.1. Multikulturalisme : Sejarah, Wacana dan Kritik Atasnya ..…. 29

F.2. Wacana Korban dan Fantasinya tentang Cina di (Sastra) Indonesia...41

BAB II TUMBUH-KEMBANGNYA WACANA PRIBUMI-NON-PRIBUMI DARI MASA KE MASA ………...…………..……… 53

A. Politik Etis: Identitas Non-Pribumi (Cina) dalam Kepentingan Ekonomis Kolonial ………..………...……. 54


(15)

xiii

A.2. Pendidikan ………...……….... 61 A.3. Politik dan Hukum ………...………….... 64 B. Orde Baru: Identitas Cina Warisan Kolonial dalam Politik Asimilasi.... 66

B.1. Sosial dan Budaya ……….……...…… 71

B.2. Politik dan Ekonomi……….……...………. 76 C. Masa Reformasi: Multikulturalisme dan Perayaan atas Hal-Hal yang Dipinggirkan ………...………….. 84 C.1. Sosial dan Budaya ………....………….... 88 C.2. Politik dan Ekonomi ………...………...….………. 92

BAB III WACANA CINA DAN (IDEOLOGI) KARYA SASTRA

DARI MASA KE MASA ………...………….………. 97 A. Drama di Boven Digul: Kolonialisme dan Masyarakat Cina ...……. 99 A. 1. Drama di sekitar Drama di Boven Digul ……....…..………. 99 A. 2. Drama di Boven Digul dan Peleburan Identitas melalui Narasi

tentang Bahasa dan Agama...… 102 A. 3. Drama di Boven Digul dan Peleburan Identitas melalui Narasi Politik …... 108 A.4. Wacana Peleburan Identitas dan Politik Segregasi

di Masa Kolonial…...…....112 B. Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde Baru…...112 B.1. Lucy Mei Ling sebagai Sebuah Usaha Menyelamatkan Identitas Kultural Masyarakat Cina dalam Politik Asimilasi...…………...115 B.2. Wacana Cina sebagai Identitas Ekonomi....………....121 C. Ca-Bau-Kan: Narasi tentang Orang Cina di antara Stereotip, Trauma pada Kekerasan dan Pengangkatan Kultural………...………..123 C.1. Ca-Bau-Kan dan Penulisnya……...…...…………..123 C.2. Ca-Bau-Kan dan Identitas Kultural Cina………...…..124


(16)

xiv C.3. Ca-Bau-Kan dan Identitas Sosial-Ekonomi-Politik Cina…...127 C.4. Ca Bau Kan sebagai Sebuah Perayaan Kultural…….………130 D. Putri Cina : Sebuah Lamentasi atas Posisi Diuntungkan

Masyarakat Cina….………...132 D.1. Putri Cina dan sekitarnya…...…....………132 D.2. Putri Cina dan Identitas Kultural Cina…....………134 D.3. Putri Cina dan Identitas Sosial-Ekonomi Orang Cina………137 D.4. Wacana Masyarakat Cina sebagai Korban yang Mapan

secara Ekonomis …..………...…….... 140 E. Dimsum Terakhir: KeCinaan dan Keperempuanan………...141 E.1. Dimsum terakhir: Penulis Keturunan Cina dan Karyanya.…..141 E.2. Dimsum Terakhir: Identitas Kultural Cina Indonesia

di Masa Reformasi……...……….………….142 E.3. Identitas Sosial-Politik-Ekonomi Cina di Indonesia……....…146 E.4. Dimsum Terakhir dan Kegalauan Identitas Cina

di Indonesia….…...…....…148 F. Acek Botak dan Usaha Melampaui Stereotip Masyarakat Cina….…...149 F.1. Acek Botak: Penulis dan sekitarnya..………..…………..149 F.2. Acek Botak dan Identitas Kultural Orang Cina..………….…153

F.3. Acek Botak dan Identitas Sosial-Politik dan

Ekonomi Orang Cina...……..160 F.4. Wacana Sejarah sebagai Jalan Keluar Melampaui Stereotip Ekonomi Masyarakat Cina..……….…..………..168

BAB IV IDEOLOGI MULTIKULTURALISME DAN IDENTITAS CINA

WARISAN KOLONIAL DAN ORDE BARU..………..…170 A. Symptom dalam Karya Sastra yang


(17)

xv A.1. Wacana Superioritas Kritis Kwee Tek Hoay di Masa Politik

Segregasi Kolonial……...………...171

A.2. Superioritas Ekonomis dan Inferioritas Kultural di Lucy Mei Ling…...178

A.3. Multikulturalisme dan Kekerasan di Empat Novel Masa Reformasi...….184

A.4. Multikulturalisme setelah Symptom-Symptom…...…………205

A.5. Multikulturalisme setelah Usainya Perayaan……...…...217

BAB V PENUTUP…….…..……….………….……..…227


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar belakang

“Cina” adalah sebuah kata yang asing di telinga saya paling tidak hingga menjelang lulus sekolah dasar. Bahkan saat itu, saya tidak dapat mengidentifikasi orang dengan label tersebut. Padahal saya lahir dan mengalami sebagian masa kecil saya di pusat kota Jogja. Rumah saya hanya berjarak satu kilometer dari Tugu Jogja. Saya tinggal di rumah peninggalan keluarga ibu saya yang tidak jauh dari jalan raya dan berada di belakang deretan pertokoan. Dengan kondisi tersebut, seharusnya saya akrab dengan istilah ‘Cina’. Karena – seperti yang saya sadari ketika dewasa – daerah pertokoan di pusat kota dimiliki oleh orang-orang Cina. Bahkan ternyata – ini baru saya sadari setelah menjelang lulus sekolah dasar tadi - tetangga sebelah rumah yang sama-sama membuka toko kelontong adalah seorang Cina. Lantas, apa yang kemudian membuat saya dapat menilai apakah seseorang tersebut Cina atau bukan? Jawabannya adalah iklan sebuah produk di televisi yang seingat saya memiliki tokoh-tokoh dari berbagai latar budaya. Salah satu tokohnya adalah seseorang bernama Acong. Nama yang cukup aneh, paling tidak untuk saya, jika dibandingkan dua tokoh lain di iklan tersebut memiliki nama yang dekat dengan telinga saya: Joko dan Sitorus. Saya tinggal di Jogja jadi ‘Joko’ tentu sangat familiar. Sedangkan untuk nama ‘Sitorus’, jelas saya sangat akrab. Ayah saya adalah seorang Jawa-Deli – orang Jawa yang lahir dan besar di Sumatra Utara –seperti halnya kakek saya - yang merupakan keturunan dari kuli-kuli kontrak asal Jawa yang diculik dari Jawa oleh Belanda. Jadi, nama marga Batak seperti Sitorus adalah hal yang biasa saya dengar. Tapi ‘Acong’? Itu baru asing. Dalam iklan tersebut, Acong adalah anak seorang pedagang beras dan ia adalah keturunan Cina. Dari sana lah, saya kemudian mampu mengidentifikasi orang-orang Cina karena iklan tersebut menautkan beberapa hal di luar ciri-ciri fisik – seperti perdagangan – dengan ke-Cina-an. Saya kemudian tahu mana teman saya yang Cina dan mana yang bukan.


(19)

2

Sebelum saya melihat iklan tersebut, saya bahkan tak dapat melihat tetangga sebelah rumah tadi sebagai seorang Cina padahal saya selalu memanggilnya Bu Pin Hwa. Dampak lain dari iklan tersebut yang terjadi di sekitar saya, ada seorang anak di sekolah saya yang kemudian mendapat panggilan ‘Acong’. Menjadi Cina lah dia.

Beberapa tahun setelahnya, Indonesia dipenuhi dengan kekacauan. Yang saya ingat ibu saya kemudian mengeluh karena tingginya harga barang-barang. Dan saya menjadi akrab dengan demonstrasi mahasiswa dan istilah-istilah yang sering diteriakkan di sana seperti KKN, sembako, MPR, DPR, dwifungsi ABRI dan lain-lain. Hingga sekolah menengah pertama, hanya itu yang saya ingat. Ketika saya telah di sekolah menengah atas, saya yang iseng membaca sembarang buku mengetahui tragedi-tragedi di balik kekacauan tersebut. Buku tersebut ditulis oleh seorang aktivis 98 yang kini menjadi anggota dewan dari Gerindra. Dari buku tersebut saya mengetahui bahwa ada penculikan atas aktivis-aktivis mahasiswa dan pembunuhan dalam skala besar atas orang-orang Cina. Yang langsung saya tanyakan saat itu, kenapa orang-orang Cina dibunuh? Buku tersebut hanya menyebutkan adanya pembunuhan namun tak menjelaskan alasannya. Baru di kemudian hari saya sadar ada sebuah sentimen mendalam atas masyarakat Cina di Indonesia. Ada sesuatu yang salah dalam identitas mereka. Apakah itu? Pertanyaan ini adalah pertanyaan utama di tesis ini.

Ketika saya mengingat kembali cerita tentang ketidakmampuan saya mengidentifikasi ‘Cina’ dan pertemuan saya dengan tokoh ‘Acong’ si bocah dalam iklan, saya – terima kasih pada Teori Kritis! – dapat menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang lahir dengan sebuah identitas. Identitas adalah sebuah bentukan. Identitas bahkan baru muncul ketika subyek ditautkan dengan sebuah referen yang mana bisa terus berubah. Jadi, identitas tidak bersifat tetap. Contohnya identitas seorang anak di sekolah dasar saya tadi yang tiba-tiba menjadi seorang Cina karena iklan di televisi. Berangkat dari kejadian tersebut, saya membayangkan bahwa identitas Cina pasti tak sama dari masa ke masa. Referen-referen yang diberikan pasti selalu berbeda juga. Dan kekuasaan yang mengidentifikasi identitas tersebut pasti juga terus berubah. Kalau


(20)

3

begitu, kejadian semacam yang terjadi di tahun 1998 pasti merupakan sebuah akibat dari pembentukan identitas tertentu. Saya ingin mengetahuinya dan ikut mengkritisi pembentukan identitas Cina yang ada saat ini.

Tidak perlu membaca buku terlalu banyak untuk mengetahui bahwa di masa Orde Baru, berbagai bentuk kebudayaan orang-orang Cina dilarang. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk bekerja dalam pemerintahan. Tapi, anehnya, di masa tersebut kita juga dapat dengan mudah menyebutkan nama-nama orang-orang Cina berpengaruh yang ada di balik Soeharto. Saya kira kejadian di tahun 1998 berhubungan dengan dualitas kebijakan-kebijakan Orde Baru terhadap masyarakat Cina. Tapi, saya juga berpikir bahwa Orde Baru pasti bukan satu-satu penguasa yang memiliki pendekatan tertentu terhadap masyarakat Cina apalagi masyarakat Cina telah ada di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Jika kita melihat sejarah yang ada, kejadian seperti yang terjadi di tahun 1998 juga terjadi di penghujung kekuasaan Jepang di Indonesia. Dalam laporan jurnalistik yang dikemas seperti novel yang ditulis oleh Kwee Thiam Tjing dengan pseudonim Tjamboek Berdoeri – wartawan berbagai macam surat kabar - berjudul Indonesia Dalem Api dan Bara (1946), kita disuguhkan pandangan dari dalam tentang kejadian tragis yang terjadi di Malang tersebut. Mirip dengan 1998, saat itu, toko-toko milik orang Cina dijarah dan dibakar. Rumah-rumahnya diserang dan dirusak. Sedang pemiliknya dibunuh. Isunya saat itu adalah orang-orang Cina dianggap sebagai pemilik modal antek Jepang dan tidak simpatik dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Isu tersebut jelas menunjukkan kemana identitas Cina ditautkan. Artinya, saat itu ada konstruksi identitas yang mungkin berbeda dari yang ada di masa Orde Baru tapi berdampak kurang lebih sama dengan yang terjadi di pertengahan tahun 1998. Apakah keduanya berhubungan yang berarti Orde Baru tidak benar-benar mampu menyelesaikan permasalahan terkait dengan Cina yang diwariskan dari masa-masa sebelumnya?

Saat ini ideologi yang sering didengung-dengungkan untuk mengkaji masalah yang terkait dengan minoritas adalah multikulturalisme yang berkembang setelah


(21)

4

runtuhnya Orde Baru. Perayaan terhadap ekspresi kultural masyarakat Cina mulai digalakkan. Perayaan Cap Go Meh yang tadinya dilarang kini menjadi tontonan publik yang dinantikan. Dengan begitu ijin perayaan tentu kini bukan lagi menjadi masalah. Bahkan, perayaan tersebut masuk ke dalam agenda tahunan pemerintah daerah yang memanfaatkannya untuk menaikkan jumlah wisatawan. Sekarang ini juga tidak sulit untuk menemukan buku yang terkait dengan Cina di toko buku. Buku-buku sejarah yang menceritakan sejarah masyarakat Cina di Indonesia bukan lagi bacaan yang harus dibaca dengan sembunyi-sembunyi. Pengarang-pengarang Cina pun bermunculan dengan novel-novel yang dilihat dari judulnya jelas hendak bercerita tentang orang Cina. Saking diperhatikannya urusan yang terkait dengan hak masyarakat Cina, penyebutan atas mereka pun dibicarakan di tingkat pemerintahan. Hasilnya, penggunaan lema ‘Tionghoa’ lebih dianjurkan daripada ‘Cina’. Alasannya, lema ‘Tionghoa’ lebih tidak derogatif dibandingkan dengan ‘Cina’. Tapi, saya masih ingin menggunakan istilah ‘Cina’ untuk penelitian ini.1 Kesemarakan perayaan identitas Cina ini tidak lepas dari penindasan kultural yang terjadi di masa Orde Baru. Apalagi dengan berkembangnya pemikiran multikulturalisme di Indonesia, perayaan kultural jelas semakin meluas. Multikulturalisme sekarang ini menjadi wadah penghancuran diskriminasi dan pengangkatan ekspresi kultural masyarakat Cina.

Pendekatan multikulturalisme yang digaung-gaungkan adalah diangkatnya identitas-identitas yang tertindas (minoritas) hingga mencapai kesetaraan dengan,

1 Alasannya, jika memang perubahan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan sentimen yang ada, seharusnya yang dibahas adalah asal-muasal sentimen tersebut dan bukan penamaan-ulang untuk

e jadi wadah se ti e ya g sa a. Bahka , agi saya, a a Tio ghoa e iliki ke e deru ga membuat sentimen yang ada menguat karena – meskipun istilah tersebut pernah digunakan dahulu sebelum masa Soeharto – nama tersebut kini menjadi asing lagi. Keasingan ini justru wadah yang baik untuk sentimen yang ada. Selain itu, kesan derogatif atas sebuah identitas seperti identitas etnis adalah hal yang lumrah ditemui. Saya kira setiap pemanggilan etnis selalu memiliki sisi derogatif karena ada sentimen dan stereotip atas setiap etnis yang ada e.g. ketika kita e ye ut Jawa ter aya g sosok lemah lembut, transmigran, sopan, ndeso seperti yang disajikan berulang kali di film-film televisi di Indonesia. Kenapa tidak ada perdebatan peru aha a a a ua u tuk Jawa ? Ke apa tidak Java ese seperti dala Chi ese Food? Jadi, agi saya, peru aha e jadi Tio ghoa tidak aka eru ah apapun karena memang bukan di titik itu masalahnya.


(22)

5

katakanlah, mayoritas. Karenanya dengan ideologi ini, penerbitan novel-novel tentang masyarakat Cina atau ditulis oleh pengarang Cina adalah hal yang dianggap sebagai jalan keluar dari diskriminasi yang ada. Segala pengangkatan ini, pembacaan saya, berangkat dari sebuah penempatan atas identitas-identitas yang tertindas tadi. Untuk diangkat, identitas-identitas tersebut haruslah identitas-identitas pihak yang menjadi korban. Jadi, multikulturalisme membaca kondisi diskriminasi dalam kacamata pelaku-korban yang mana pelaku-korbannya harus diangkat (dirayakan) identitasnya. Dengan begitu, posisi masyarakat Cina dibaca sebagai korban di Indonesia. Di titik ini, saya memiliki masalah dengan multikulturalisme. Yang pertama, dalam kondisi diskriminatif, tidak ada hubungan pelaku-korban yang mencolok. Keduanya tak pernah selalu korban dan juga tak pernah selalu pelaku karena diskriminasi selalu berdasarkan sebuah ideologi yang menciptakan nilai-nilai diskriminatif i.e. para pelaku diskriminasi pada dasarnya adalah korban sebuah ideologi juga yang memanipulasi segala pikira dan tindakannya. Hal tersebut tampak dalam kejadian ketika seseorang melakukan diskriminasi atas orang lainnya, ‘pelaku’-nya tersebut tidak akan merasa ia sedang melakukan sesuatu yang salah karena ia melakukannya berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dominan di masa tersebut. Titik berat pada hubungan pelaku-korban yang ada dalam multikulturalisme membuat kita sesungguhnya melupakan masalah sebenarnya dan hanya menyalahkan pada pelakunya. Padahal, yang seharusnya dituju adalah penghancuran nilai-nilai diskriminatif dari masa lalu yang mungkin masih bertahan hingga kini.

Lebih jauh tentang masalah di multikulturalisme, multikulturalisme memiliki kecenderungan ahistorisme dan esensialisme yang tinggi. Dengan fokus pada hubungan pelaku-korban tadi, tentu multikulturalisme hanya akan membaca adanya dua subyek saja dalam sejarah, yaitu pelaku dan korban. Dalam sejarah a la multikulturalisme, hanya akan ada dua hal tersebut. Untuk kasus identitas Cina di Indonesia, sudut pandang tersebut sangat tidak tepat. Masyarakat Cina, saya kira, dalam sejarahnya di Indonesia tak selalu menempati posisi seperti ketika Soeharto masih memenangkan pemilu terus-menerus. Ada masa ketika masyarakat Cina ekspresi kulturalnya tidak


(23)

6

dilarang bahkan memiliki ‘modal’ lebih dibandingkan dengan pribumi. Sebagai contoh saja, jumlah karya sastra, yang diterbitkan di masa kolonial, yang pengarangnya orang Cina tidaklah sedikit. Karya-karya tersebut juga bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina. Bahkan, mereka memiliki penerbitan dan surat kabarnya sendiri. Artinya, di masa kolonial tidak ada pelarangan atas ekspresi kultural masyarakat Cina. Bagaimana mungkin multikulturalisme membaca fenomena semacam itu? Padahal, menurut saya, masa Kolonial adalah masa yang krusial ketika membicarakan identitas Cina dan hubungannya dengan identitas pribumi. Jelas, Pemerintah Kolonial Belanda memiliki pandangan dan kebutuhan tersendiri terhadap masyarakat Cina seperti halnya Orde Baru yang kemudian menempatkan masyarakat Cina di posisi tertentu.

Bersamaan dengan ahistorisme tersebut, saya yakin adanya esensialisme dalam melihat identitas Cina. Esensialisme ini muncul dalam bentuk ‘korban’ dan ekspresi kultural tadi. Ketika kita mengidentifikasi masyarakat Cina sebagai korban terus-menerus tanpa mempedulikan masa dan kekuasaan yang ada saat itu, identitas Cina menjadi tetap. Berikutnya, dengan pengangkatan ekspresi kultural, yang berangkat dari pemposisian masyarakat Cina sebagai korban, tadi identitas Cina kemudian hanya akan dibaca melalui ekspresi kulturalnya semata. Hal tersebut membuat masyarakat Cina didefinisikan berdasarkan agama, bahasa, makanan dan lain-lain. Padahal, identitas Cina – bahkan hingga saat ini – juga lekat dengan hal-hal yang dekat di wilayah ekonomi. Lebih jauh, sampai saat ini, saya kira stereotip masyarakat Cina yang terkuat ada di wilayah ekonomi dan bukan kultural. Jika kita terlalu berfokus pada pembentukan identitas Cina menggunakan faktor-faktor kultural, akar dan proses pembentukan identitas masyarakat Cina yang terkait dengan ekonomi ini tidak akan terbaca. Sayangnya, itulah yang seharusnya kita tuju saat ini untuk mengakhiri ketimpangan identitas yang ada dalam konsep pribumi dan non-pribumi.

Di atas adalah asumsi saya sesuatu yang akan dipegang namun terus akan saya ragukan di tesis ini sampai saya benar-benar mencapai sebuah kesimpulan. Satu hal yang pasti, di penelitian ini saya tidak mengkritisi ideologi-ideologi di atas –


(24)

7

terutamanya multikulturalisme – ketika mengidentifikasi Cina melalui tulisan-tulisan non-fiksi e.g. karya sejarah, buku politik, otobiografi etc. Saya akan melihat semuanya melalui karya sastra. Berikut ini beberapa alasannya. Pertama, tentu karena saya adalah seorang lulusan Fakultas Sastra. Menjadi seorang lulusan Fakultas Sastra yang benar-benar mencintai karya sastra tidaklah mudah di Indonesia. Kehidupan kritik sastra di Indonesia adalah seperti sebagian besar hal di negara ini berada dalam kondisi yang menyedihkan. Sebagai contohnya, bagaimana mungkin seorang profesor sastra di sebuah forum sastra tingkat nasional berkata “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah kritik sastra”?2 Bagi saya, komentar tersebut menunjukkan bagaimana kritik sastra kehilangan gairah hidupnya di Indonesia. Ada sebuah keengganan kuat di dalamnya untuk menancapkan tonggak-tonggak standar untuk menilai karya sastra. Karya-karya sastra di Indonesia - yang begitu melimpah dengan berbagai temanya dari pengarang yang latar belakangnya sama beragamnya dengan tema karya mereka – seolah-olah seperti pejalan kaki di depan rumah saja yang hanya numpang lewat tanpa diperhatikan lebih lanjut; seperti tak ada sisi kehidupan mereka yang menarik untuk dijadikan bahan perdebatan dan diambil pelajarannya. Jadi, saya ingin meningkatkan gairah atas kritik sastra karena saya percaya (kritik) sastra memiliki sesuatu untuk diberikan pada pembacanya.

Alasan berikutnya, karena lemahnya standar-standar yang ada untuk melihat karya sastra – meskipun buku-buku teori kritik sastra baik yang praktis maupun teoritis dari Barat kini telah dapat dengan mudah ditemukan dalam Bahasa Indonesia – karya sastra seringkali dianggap sebagai tulisan personal yang hanya dapat dinikmati berdasarkan alasan-alasan personal juga. Hal tersebut mungkin tidak salah sepenuhnya namun jelas pandangan tersebut datang dari premis bahwa karya sastra itu bebas-nilai dan lepas dari pengaruh luaran seperti kondisi sosial dan ideologi dominan. Bagaimana jika sastra tidak se-‘murni’ itu? Ketika saya berkuliah di fakultas Sastra (jurusan Sastra

2

Komentar ini saya kutip dari makalah Budi Dharma dengan judul Sastra I do esia Mutakhir: Kritik da Keberaga a (Dharma, 2010). Makalah tersebut disampaikan di Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang tahun 2010.


(25)

8

Inggris), dari semester pertama hingga akhirnya saya lulus, kepala saya dijejali dengan karya-karya kanon dari negara-negara berbahasa Inggris seperti karya-karya Shakespeare, William Blake dan Joseph Conrad. Karya-karya Joseph Conrad, yang salah satu karyanya berlatar-tempat di hutan Kalimantan, pada awalnya saya terima selayaknya novel-novel lainnya dan saya tak ada masalah dengan cerita-cerita yang ia angkat. Tetapi semua itu berubah ketika di tahun-tahun berikutnya di Fakultas Sastra, saya membaca buku berjudul ‘aneh’: Orientalism (1978). Orientalism ,yang ditulis oleh seorang Palestina namun tinggal di Amerika bernama Edward Said, meninju muka saya sekuat kombinasi hook kanan Muhammad Ali yang merobohkan George Foreman dengan menuliskan bahwa banyak karya sastra yang ditulis pengarang-pengarang kulit putih – termasuk Conrad - memiliki sebuah kecenderungan ketika menarasikan orang-orang Timur. Ada kesan ke-liyan-an (inhumanitas) dalam narasi mereka. Gilanya, Edward Said juga menunjukkan bahwa ke-liyan-an tersebut ternyata merupakan bagian dari sebuah bangunan pemikiran yang oleh Said disebut sebagai orientalisme. Saya pun roboh. Tak pernah terlintas dalam benak saya bahwa sastra, yang saat itu masih menduduki posisi adiluhung di kepala saya, bisa memiliki kecenderungan yang mungkin tak berlebihan jika disebut rasis. Itulah kali pertama saya menyadari bahwa imajinasi seseorang, termasuk pengarang, memiliki hubungan yang sangat rumit dengan ideologi dan lingkup hidupnya. Dengan begitu, sesungguhnya karya sastra adalah situs yang baik untuk mengkritisi ideologi dan lingkup hidup itu sendiri karena keduanya hidup di dalam karya sastra.

Tentu alasan kedua saya tersebut masih terlalu mudah untuk dipatahkan. Bukankah, katakanlah, tulisan sejarah juga pasti dipengaruhi dari sebuah ideologi dan tentunya ideologi juga hidup di dalamnya? Bukankah ia lebih ‘nyata’ sehingga lebih mudah untuk mengkritisi dibandingkan dengan karya sastra yang fiktif belaka? Bagi saya, ke-fiktif-an karya sastra membawa sesuatu yang lebih nyata dibandingkan dengan tulisan sejarah. Dalam studi sejarah yang saya kenal di Indonesia, perdebatan terlalu sering berkutat dengan kejadian mana yang benar dan tokoh mana yang melakukannya.


(26)

9

Kebenaran dalam studi sejarah selalu ditandingkan dengan kebenaran lain. Pada karya fiksi, tidak ada perdebatan semacam itu karena semua pihak tahu benar bahwa yang mereka hadapi adalah karya fiksi seberapapun muatan sejarahnya. Saya pun tak yakin kalau pengarang tahu benar apakah yang ia tulis adalah kebenaran atau kebohongan tapi itulah yang ia lihat. Jadi, melalui karya sastra, ideologi muncul dalam bentuk termurninya karena ia datang dari ‘kebohongan’, fantasi dan rekayasa linguistik. Rekayasa linguistik berarti usaha memunculkan fantasi si pengarang ke dalam karya sastra sedekat mungkin. Artinya, kita tak lagi memperdebatkan kebenaran fakta karya sastra tersebut namun dapat dengan langsung menuju fantasi si pengarang dan menilainya dari pilihan katanya semisal. Sebaliknya. dalam perdebatan studi sejarah, cukup sulit mengkaji dengan sudut pandang kritik ideologi karena tulisan-tulisan tersebut memiliki pretensi pada obyektifitas yang tinggi. Pretensi ini membangun tembok yang lebih tebal untuk menutupi sisi imajinatif (fantasi) sehingga cukup sulit untuk menggapainya. Padahal, fantasi adalah sisi yang penting dalam sebuah studi kritik ideologi. Dengan begitu, saya melihat karya sastra adalah jalan masuk yang lebih baik untuk mengkaji ideologi.

Lalu, apakah semua karya sastra dapat dengan mudah dijadikan obyek sebuah studi kritik ideologi? Tentu tidak. Jelas kita membutuhkan karya sastra yang ditulis oleh pengarang yang memiliki fantasi menarik. Hal tersebut karena fantasi yang menarik berarti pengarangnya memiliki visi tertentu atas kehidupan yang ia lihat dan coba ia dorong ke depan dalam dunia naratifnya. Visi ke depan inilah yang sifatnya sangat ideologis. Di sini, saya telah memilih enam karya sastra dari berbagai masa di Indonesia untuk diletakkan di atas meja bedah ideologis. Bagi saya, mengkaji karya sastra dari berbagai masa adalah sesuatu yang sangat krusial untuk penelitian saya. Dengan menganalisa karya sastra yang datang dari berbagai masa dengan ideologi dominannya yang beragam, saya akan dapat memberikan sebuah perbandingan yang akan menunjukkan bagaimana identitas Cina tidak pernah bersifat tetap. Ia selalu berubah mengikuti – atau mengingkari - selera ideologi dominan. Bahkan, identitas-identitas


(27)

10

yang ada dapat sangat kontradiktif satu sama lain. Enam karya sastra tersebut adalah Drama di Boven Digoel (1933) karya Kwee Tek Hoay, Lucy Mei Ling (1978) karya Motinggo Busye, Ca Bau Kan (1999) karya Remy Sylado, Putri Cina (2006) karya Sindhunata, Dimsum Terakhir (2006) karya Clara Ng dan Acek Botak (2009) karya Idris Pasaribu.

Lebih jauh, enam karya tersebut saya pilih di awal penelitian karena sebuah alasan. Alasan tersebut adalah mereka memiliki visi yang menarik yang langsung terlihat bahkan dari judulnya atau hanya dari beberapa halaman awalnya. Alasan pemilihan Drama di Boven Digoel (selanjutnya akan disebut DBD) adalah karena DBD memiliki lingkup penokohan yang janggal di masanya. Novel yang ia tulis awalnya sebagai cerita bersambung tersebut membangun dunia narasi dimana orang Cina dan pribumi terus mengalami kontak dan keduanya menjadi tokoh utama. Kebanyakan novel yang ditulis oleh Cina Peranakan, yang tradisi penulisannya seringkali disebut sebagai sastra Melayu-Tionghoa, menceritakan hanya pribumi saja atau hanya Cina saja. Dan judulnya menandakan bahwa ia bercerita tentang kejadian seputar perjuangan Partai Komunis Indonesia melawan penjajah di tahun 1926 – sebuah isu yang sesungguhnya sedikit sekali menyentuh kehidupan orang-orang Cina di Hindia-Belanda. Saya pikir itu adalah sebuah hal yang menarik untuk ditelusuri.

Berikutnya, Lucy Mei Ling yang ditulis oleh Motinggo Busye yang terkenal dengan karyanya Malam Jahanam. Memberi judul karya semacam itu untuk dijadikan santapan publik di masa Soeharto adalah tindakan yang kata ‘berani’ pun tak cukup mendefinisikannya. Motinggo Busye memberi judul novelnya dengan sebuah nama khas Cina di masa ketika penggunaan nama Cina dilarang. Maksud saya, itu seperti mengantarkan nyawa kepada Babinsa atau Babinmas setempat. Keberanian Motinggo Busye jelas layak mendapatkan perhatian lebih.

Berikutnya adalah empat novel dari masa setelah kejatuhan Soeharto dan rezim otoriter-militeristik-nya. Ca Bau Kan saya pilih karena novel ini adalah novel pertama


(28)

11

di masa reformasi yang benar-benar dimaksudkan untuk berbicara tentang kehidupan masyarakat Cina di Indonesia sebagai tanggapan atas yang terjadi selama tiga puluh dua tahun di belakang. Menariknya, sebagian novel tersebut ditulis di masa ketika Soeharto masih berada di istana Negara. Jadi, pasti ada pergulatan menarik antara dua masa dengan dua semangat yang berbeda di dalamnya. Karenanya, saya mengambilnya. Selanjutnya adalah Putri Cina yang ditulis oleh seorang romo yang tulisan feature-nya tentang sepak bola sangat saya nikmati, Sindhunata. Sepengetahuan saya, novel tersebut adalah novel pertama karya seorang pengarang keturunan Cina yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Novel ini jelas harus ada dalam daftar obyek penelitian saya. Setelah ada Dimsum Terakhir. Novel karya Clara Ng karena novel ini membangun penokohan tokoh-tokoh utamanya yang semuanya Cina dengan stereotip atas Cina yang ada. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang Cina yang tinggal di sebuah daerah di Jakarta yang terkenal sebagai daerah Cina. Mereka hidup berdagang dan masih membakar hio. Dengan penokohan semacam itu, tentu novel ini memiliki pendekatan yang unik untuk membahas stereotip dan diskriminasi. Novel terakhir adalah Acek Botak – satu-satunya novel yang latar tempatnya bukan di Jawa. Pertama, saya tertarik dengan novel ini karena latar tempatnya yang merupakan tanah leluhur saya, Sumatra Utara. Dengan tokoh-tokohnya yang datang dari berbagai latar belakang kultural yang berbeda (Batak, Jawa, Cina dan India), hal tersebut jelas memberi nuansa kedekatan dengan identitas saya. Yang kedua, yang lebih nyambung dengan penelitian ini, novel ini menggambarkan perjalanan identitas Cina dengan utuh secara historis. Narasi utamanya dimulai ketika satu keluarga asal Cina datang ke Sumatra dan memulai hidup baru. Sudut pandang historis ini jelas akan berguna bagi penelitian saya.

Selanjutnya, untuk mengkaji ideologi multikulturalisme dalam karya-karya sastra di atas, saya memanfaatkan pendekatan psikoanalisa sebagaimana dikembangkan oleh Slavoj Zizek sejak akhir tahun 1980-an. Kenapa Zizek? Siapa yang tidak tertarik ketika melihat Zizek berpidato atau membaca buku berjudul Looking Awry atau First as Tragedy then as Farce? Ketertarikan saya terhadap teori psikoanalisa yang diterapkan


(29)

12

pada studi kritik ideologi hasil pengembangan Zizek dimulai ketika saya menonton video ceramahnya yang guyonan tongue-in-cheek-nya “nyelekit”.3 Pada kasus penelitian ini, ketertarikan saya untuk menggunakan teori milik Zizek terbangun ketika saya membaca bukunya yang berjudul Violence (2008). Sejujurnya, yang membuat saya tertarik adalah sikap Zizek yang acapkali politically incorrect ketika menanggapi konflik antar identitas; sebuah sikap yang terkadang, menurut saya, membuatnya mampu lebih kritis. Di buku tersebut Zizek mengkritisi konsep toleransi terutamanya di Barat. Toleransi saat ini adalah sebuah nilai yang posisinya mungkin sama sakralnya dengan kutipan ayat dari kitab suci. Dan Zizek mengkritisinya. Dengan sikapnya tersebut ia kemudian mampu menunjukkan batas-batas ideologis toleransi. Bahkan, ia mampu menunjukkan akar masalah konflik identitas berupa ideologi dominan yang membangun fantasi atas orang lain. Sederhananya, menurut Zizek, “[w]hat exploded in violence was a web of symbols, images, and attitudes”.4 Pembacaan saya dari teks Zizek tersebut adalah jika ada sesuatu yang harus dibongkar agar konflik antar identitas ini tak berkelanjutan adalah sumber dari identitas orang lain yang ada di benak kita. Identitas orang lain di benak kita tersebut lah yang membuat kita mampu melakukan kekerasan fisik pada mereka.

Sikap Zizek di buku tersebut memberi saya sebuah sudut pandang baru atas multikulturalisme mengingat toleransi yang dikritisi Zizek berada dalam gerbong ideologi multikulturalisme. Saya menjadi lebih kritis pada segala perayaan ekspresi kultural sebagai tanggapan atas permasalahan identitas Cina di Indonesia. Bisa jadi karya-karya sastra yang saya sebutkan di atas adalah salah satu bentuk dari perayaan kultural tersebut. Seandainya demikian, saya menjadi ragu jika karya tersebut lantas mampu benar-benar membicarakan identitas Cina di Indonesia yang tingkat kerumitannya dapat disejajarkan dengan kerumitan konseptualisasi Negara-Bangsa di Indonesia sendiri. Saya menjadi ragu bahwa permasalahan identitas Cina di Indonesia

3

Nyelekit adalah istilah dala Bahasa Jawa ya g dala Bahasa I do esia erarti e yakitka . Ungkapan ini biasa digunakan untuk menunjukkan jika kritik yang diberikan terlalu tajam. 4


(30)

13

hanya terkait dengan isu kultural semata. Bahkan saya meragukan kalau identitas Cina adalah identitas kultural semata. Jadi, baiklah, mari kita lanjutkan diskusi ini ke tataran yang lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah

Dengan kegelisahan-kegelisahan saya yang berkutat di sekitar wacana pribumi-non-pribumi, identitas Cina dan ideologi-ideologi yang menaunginya, sebagai konsekuensi konseptualnya untuk kepentingan penemuan yang berarti dalam tesis ini, berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus diketemukan jawabannya:

1. Seperti apa wacana yang menaungi narasi tentang identitas dan hubungan pribumi dan non-pribumi di keenam karya sastra yang telah saya pilih untuk menjadi obyek penelitian?

2. Bagaimana karya-karya sastra Indonesia pasca-Orde Baru menghadapi ideologi multikulturalisme terutama konsep kekerasan dan kesetaraannya?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang saya rumuskan di bagian sebelumnya, saya akan merumuskan tujuan penelitian ini.

1. Mengenali wacana yang memayungi isu pribumi-non-pribumi dalam karya-karya sastra Indonesia. Saya harap bagian ini akan memberikan perbandingan (kontras) antara konteks karya dan karyanya. Dengan begitu kita dapat mengetahui bobot kritis dan historis karya-karya tadi.

2. Membaca cara bertahan karya-karya sastra dari hegemoni wacana kekerasan yang dominan dalam multikulturalisme. Saya berharap akan mendapatkan symptom-symptom yang dapat digunakan untuk mencari alternatif di luar multikulturalisme.


(31)

14 D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini akan saya kategorikan dalam dua poin. Poin yang pertama adalah manfaat bagi diri saya sebagai seorang intelektual. Bagi saya, penelitian ini mengajari saya untuk selalu ‘curiga’ pada segala macam wacana. Ini membuat saya untuk tidak memandang rendah produk kebudayaan apapun karena darinya kita dapat menemukan ideologi yang sedang bekerja di dalam masyarakat. Sehingga permasalahan sosial di dalam masyarakat dapat dirumuskan dan mulai digagas jalan keluarnya. Dengan begitu, harapannya, tugas intelektual untuk mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik dapat dijalankan. Poin kedua adalah manfaat yang berkaitan dengan khalayak umum. Di penelitian ini saya mengupas, harapannya hingga tuntas, kolonialisme sebagai ideologi dan dampaknya pada hubungan sosial pribumi-non-pribumi. Dari penelitian ini, saya berharap dapat ikut memberi sumbangan ide tentang akar permasalahan yang menjadi sumber segala kekerasan yang menimpa masyarakat Cina di Indonesia. Harapan saya, ketika akar permasalahan ditemukan, kita dapat mengarahkan diskusi seputar hubungan sosial yang adil ke arah yang lebih konstruktif.

E. Kajian Pustaka

Tentu, saya bukanlah orang pertama yang meneliti tentang identitas Cina di Indonesia. Sebelum saya, banyak pemikir dan penulis yang telah mencoba menelaah permasalahaan Cina di Indonesia dengan berbagai pendekatan. Bagian ini adalah wadah yang saya khususkan untuk mengapresiasi pemikiran-pemikiran tersebut. Tidak lupa saya juga berharap dapat mendapatkan posisi yang strategis di antara hasil penelitian-penelitian tersebut agar analisa yang saya lakukan nantinya berhasil memberikan sesuatu dan tidak terjebak dalam pengulangan.


(32)

15 E.1. “Negara dan Etnis Tionghoa”5

Saya pikir cukup sulit untuk melakukan penelitian masyarakat Cina di Indonesia – apapun obyek penelitian dan sudut pandangnya – tanpa terlebih dahulu menjabarkan hasil penelitian-penelitian Leo Suryadinata. Selain karena ia telah banyak menulis tentang masyarakat Cina sejak awal karir intelektualnya (tahun 1970-an), cakupan studinya tentang kondisi masyarakat Cina di Indonesia – bahkan beberapa di antaranya dilakukan melalui perbandingan dengan kondisi di Negara tetangga – sangatlah luas. Di satu sisi, ia dapat berbicara tentang sepak terjang masyarakat Cina di dunia politik serta peranan sosial mereka. Di satu sisi, ia juga dapat bercerita tentang kebudayaan dan tradisi sastra Melayu-Tionghoa di Indonesia. Jadi, saya kira saya harus mencermati terlebih dahulu tulisan-tulisan Leo Suryadinata sebelum melangkah lebih jauh.

Buku yang akan saya kaji di sini adalah Negara dan Etnis Tioghoa yang terbit tahun 2002. Saya memilih buku ini karena buku ini terdiri dari esai-esai Leo Suryadinata yang ditulis dari berbagai tahun dan kesempatan. Artinya, buku ini mencakup berbagai isu dari berbagai masa di Indonesia menggunakan sudut pandang yang mungkin beragam. Namun ada sebuah sudut pandang yang membuat esai-esai ini dapat dikumpulkan ke dalam satu buku tanpa membuat pembacanya kebingungan, yaitu semua esai ini menganalisa tentang tanggapan Negara terhadap masyarakat Cina. Di kesempatan ini saya tidak akan menjabarkan seluruh tulisan yang ada di buku. Saya hanya akan mengarahkan konsentrasi pada dua tulisan saja – Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia dan Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia - karena kedua tulisan ini adalah tulisan paling komperhensif dan representatif di buku ini dilihat dari kedalaman data dan panjangnya. Di tulisan pertama dalam buku tersebut yang

5

Negara dan Etnis Tionghoa (2002) adalah buku yang ditulis Leo Suryadinata. Leo Suryadinata adalah seorang pakar etnisitas dan memiliki perhatian khusus terhadap kondisi etnis Cina di Indonesia. Tulisan-tulisannya seputar etnis Cina sudah tak terhitung jumlahnya. Buku ini sendiri merupakan kumpulan esainya yang mencakup permasalahan politik, sosial hingga kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan keberadaan etnis Cina.


(33)

16

diberi tajuk Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia,6 Leo Suryadinata menunjukkan berbagai permasalahan terkait identitas Cina – yang terkadang dianggap non-pribumi – di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Leo Suryadinata, masyarakat Cina pada awalnya memang adalah orang asing yang datang ke Negara-negara di Asia Tenggara untuk mencari penghidupan baru. Jumlahnya terus meningkat seiring dengan kolonialisme yang semakin mapan. Di bukunya Leo Suryadinata menulis, “[l]owongan kerja dan kesempatan baru ini menarik etnis Tionghoa ke daerah yang dulu dikenal sebagai Nanyang. Nanyang adalah istilah Tionghoa yang berarti Samudera Selatan”.7 Setelah Negara-negara di Asia Tenggara, menurut Leo Suryadinata, terjadi permasalahan dengan para pemukim Cina tersebut. Beberapa di antara mereka menjadi pribumi melalui proses pembauran. Akan tetapi, sebagian lainnya tetap dianggap menjadi non-pribumi alias warga asing. Karenanya pemerintah baru di Negara-negara tersebut – salah satunya Indonesia – membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan identitas para pemukim asal Cina tersebut. Ternyata, beberapa pemerintah tidak selalu memiliki pendekatan yang sama dari waktu ke waktu terhadap pemukim asal Cina tadi sesuai dengan perkembangan politik dan konseptualisasi Negara dan bangsanya. Di beberapa negara seperti Filipina dan Thailand, perubahan kewarganegaraan para pemukim Cina tadi berjalan cenderung mulus “karena cenderung mendefinisikan bangsa dalam terminologi budaya”.8 Proses pembauran ini dimulai sejak tahun 1970-an. Akan tetapi di Negara lain seperti Vietnam permasalahannya lebih rumit. Setelah penggabungan antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, kebijakan luar negeri Vietnam yang telah bersatu berubah arah dan condong ke arah Anti-Komunis (Baca : Anti-Cina) – terima kasih pada perang Amerika di Vietnam – sehingga muncul sentimen pada warga asal Cina. Di sini terlihat sekali bahwa identitas pribumi dan non-pribumi yang dihadapi masyarakat Cina adalah masalah yang ditinggalkan oleh

6

Tulisan ini adalah makalah yang dipresentasikan pada sebuah sidang khusus pada Musyawarah Keluarga Besar Ke-I Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) di Batam pada tanggal 29 November 2000.

7 (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 8) 8


(34)

17

kolonialisme. Bagaimana kondisinya di Indonesia? Itu juga pertanyaan yang dilontarkan Leo Suryadinata ketika memulai membahas Indonesia.

Untuk kasus Indonesia, Leo Suryadinata memang membahasnya dengan rinci karena memang tujuan tulisan-tulisannya adalah untuk mencari pemecahan masalah identitas Cina di Indonesia. Leo Suryadinata membaca bahwa terus dipercayanya ke-non-pribumi-an masyarakat Cina merupakan dampak langsung dari proses kolonialisme di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan keduanya yang telah saya sebut di atas, di masa ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan VOC, penduduk Hindia-Belanda dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan agama dan ras: Kristen, Islam dan Non-Kristen. Setelah kebangkrutan VOC dan Hindia-Belanda diambil-alih oleh Kerajaan Belanda, subyek-subyek kekuasaannya dibagi ke dalam empat kelompok: kulit putih, orang-orang asing yang disetarakan dengan kulit putih (orang Jepang adalah salah satunya), pribumi dan orang-orang asing yang dapat disetarakan dengan pribumi (masyarakat Cina termasuk ke dalam golongan ini). Di awal abad ke-20, pengelompokkan dikembalikan menjadi tiga kelompok lagi: kelompok teratas adalah orang kulit putih, di tengah adalah mereka yang disebut sebagai pemukim asing asal Asia (Cina, Arab dll.) dan yang paling dirugikan – seperti kata Leo Suryadinata – adalah pribumi.9 Dengan kondisi tersebut - ditambah beberapa sistem lain seperti sistem kapitan, surat jalan dan pemukiman terpisah yang memisahkan Cina dar pribumi – menurut Leo Suryadinata, hampir tidak mungkin saat itu orang berpikir tentang identitas tanpa mendasarinya dengan konsep superioritas ras. Hal tersebutlah yang lantas terus terbawa hingga masa kemerdekaan.

Dari pemaparan Leo Suryadinata, ada beberapa jalan yang kemudian dijalankan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggapi kondisi tersebut. Salah satu yang paling ternama adalah asimilasi. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia (masa Demokrasi Liberal), tidak ada kebijakan asimilasi. Konsep asimilasi baru dirumuskan, dikenalkan

9


(35)

18

dan dijalankan pada masa Orde Lama. Namun, menurutnya, asimilasi baru benar-benar dijalankan dengan gencar pada masa Orde Baru. Bahkan di masa Soeharto tersebut, menurutnya, yang terjadi bukanlah asimilasi namun absorpsi yaitu penghilangan identitas Cina. Arah kebijakan semacam itu kemudian berujung pada kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembatasan lapangan pekerjaan, pelarangan Konghucu, pembatasan jumlah mahasiswa dari etnis Cina, nomor seri yang berbeda dan perubahan istilah dari ‘Tionghoa’ menjadi ‘Cina’. Pembacaannya – terutama terkait dengan perubahan istilah – kebijakan-kebijakan tersebut dikarenakan “pelampiasan ketidaksukaan pribumi kepada Tiongkok yang Komunis dan menghina etnis Tionghoa”.10 Terlihat di titik ia melihat semangat anti-komunis yang dipupuk di masa Orde Baru dengan subur membawa racial prejudice terhadap orang Cina.

Lebih lanjut, sebenarnya, menurut Leo Suryadinata, inti permasalahan terletak pada ketidakjelasan definisi Bangsa Indonesia - siapa yang dapat disebut sebagai pribumi atau orang Indonesia dan apa dasarnya. Dilihat dari sejarah tentang pemikiran identitas kebangsaan (di) Indonesia, seperti dituliskan oleh Leo Suryadinata, sebelum masa Orde Baru terdapat banyak pemikiran yang mendefinisikan Bangsa Indonesia tidak menggunakan ras namun menggunakan budaya dan orientasi politik seperti yang diperkenalkan oleh Soekarno, Hatta, Cipto Mangunkusumo, Raden Sutomo dan Amir Sjarifudin. Menurutnya, jika saat ini Indonesia mengembangkan dan menjalankan pemikiran-pemikiran Bangsa berdasarkan budaya dan politik tadi tentu tidak ada lagi permasalahan dengan identitas Cina. Sayangnya, semua itu berubah semenjak Orde Baru. Orde Baru memang tidak merumuskan konsep Bangsa berasarkan ras-nya namun kebijakan-kebijakan diskriminatifnya menjelaskan semuanya.

Dari pemaparan dua tulisan yang terlalu panjang jika disebut esai ini, saya melihat bahwa identitas non-pribumi pada masyarakat Cina adalah sebuah bentukan yang terus berubah dari masa ke masa. Masing-masing masa juga saling mempengaruhi

10


(36)

19

terutama di tataran ideologi. Seperti yang kini kita ketahui, ideologi asimilasi Orde Baru memang berusaha memasukkan masyarakat Cina ke dalam konsep Bangsa Indonesia dengan pribumisasi-nya. Akan tetapi, hal tersebut tetap dilakukan dengan memegang teguh konsep-konsep rasial warisan kolonialisme sehingga membuat banyak kondisi diskriminatif bagi masyarakat Cina. Walhasil, identitas Cina terus ada dan berbeda dari pribumi dalam kerangka rasial – tentu beserta dengan stereotipnya. Dengan begitu, dalam penelitian saya ini, saya akan mempertimbangkan kolonialisme lebih jauh ketika melihat wacana identitas yang dibangun dalam karya sastra beserta dengan pengaruhnya ke depan. Mengingat kuatnya ideologi kolonial, tentu saya juga akan melihat cara para pengarang menanggapinya. Saya merasakan adanya superioritas dan inferioritas yang muncul bergantian ketika Leo Suryadinata menjabarkan sejarah identitas Cina sebagaimana diberikan oleh Negara – VOC, Kerajaan Belanda, Soekarno dan Soeharto – namun belum dianalisa dengan lebih jauh. Superioritas dan inferioritas adalah sesuatu yang sentimennya mampu menancap dengan dalam, jadi saya rasa karya sastra pasti terpengaruh olehnya. Saya ingin melihat apakah ideologi termutakhir kita (multikulturalisme) mampu mengatasinya. Kini saya akan melihat identitas Cina dari sudut pandang kajian representasinya dalam seni mengingat obyek penelitian saya adalah karya seni agar posisi studi saya lebih jelas.

E.2. “Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu”11

Buku di atas yang ditulis oleh Leo Suryadinata telah menjelaskan kepada kita perkembangan komunitas masyarakat Cina di Indonesia di hadapan kebijakan-kebijakan negara yang berubah-ubah. Di kesempatan ini saya akan masuk ke perkembangan sastra masyarakat Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa perkembangan sastra – meskipun tak selalu sejalan dengan perkembangan kondisi sekitarnya – akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya. Buku yang ditulis oleh

11


(37)

20

Claudine Salmon ini saya pilih untuk dibahas lebih jauh salah satunya karena alasan tersebut. Alasan lain pemilihan buku ini adalah karena buku ini merupakan salah satu karya akademis pertama yang dengan meyakinkan meletakkan sastra Melayu-Cina (Melayu Lingua Franca) sebagai sebuah tradisi sastra di Indonesia dan merupakan bagian dari sejarah sastra Indonesia – sebuah ide yang di masa penulisan buku belum populer.

Lebih lanjut, buku ini digarap oleh Claudine Salmon berangkat dari keprihatinannya atas konsep dan sejarah sastra Indonesia yang masih sangat terpaku pada konsep-konsep yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda terutama melalui Balai Pustaka. Sejarah yang dimaksudkannya adalah sejarah bahwa puisi modern Indonesia dimulai oleh Muhammad Yamin dan prosa modern dimulai oleh Marah Rusli dengan Siti Nurbaya-nya seperti yang ditekankan oleh Teeuw. Karenanya ia, dengan semangat yang sama dengan Nio Joe Lan dan John B. Kwee untuk mengangkat tradisi sastra Melayu-Cina, berusaha dengan rinci membuat semacam ulasan singkat tentang tradisi ini. Hasilnya, ia berhasil mendapatkan data kuantitatif yang mengejutkan. Ada sekitar 800 pengarang dan penerjemah dengan jumlah karya lebih dari dua puluh ribu yang merupakan bagian dari apa yang ia sebut sebagai sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu.12 Dan karya-karya tersebut terdiri dari terjemahan, syair, prosa dan drama dengan pengarang Cina Peranakan yang berasal dari berbagai tempat di Nusantara. Namun, menurut Claudine Salmon, bukan itu saja yang membuat sastra Cina-Melayu tadi menjadi sebuah tradisi. Rentan waktu yang panjang adalah alasan lainnya. Claudine Salmnon mencatat bahwa tradisi sastra tersebut dimulai dari separuh akhir abad ke-19 hingga tahun 1960-an – sebuah hal yang harusnya dipertimbangkan ketika membicarakan sejarah sastra Indonesia.

Selain itu, setelah merampungkan buku ini, ada sebuah hal penting yang bisa kita dapat dari buku ini berkenaan dengan tradisi sastra Melayu-Cina. Hal tersebut

12


(38)

21

adalah pengaruh. Setelah membaca penjelasan-penjelasan Claudine Salmon, saya menangkap bahwa tradisi-tradisi kepenulisan yang mempengaruhi para pengarang Cina Peranakan ini adalah tradisi-tradisi yang juga mempengaruhi sastra Indonesia secara umum di kemudian hari. Beberapa pengaruh yang saya lihat tercatat di buku ini di antaranya adalah huruf Arab, Bahasa Melayu dan sastra dari Eropa. Kemiripan pengaruh ini membuat ide Claudine Salmon bahwa sastra Melayu-Cina ini adalah bagian dari sejarah sastra Indonesia modern tak terbantahkan sehingga lebih dari sekedar layak untuk dikaji bahkan hingga sekarang ini.

Lebih jauh, inti dari buku ini adalah pendataan sekaligus pembabakan tahap awal atas karya-karya yang masuk ke tradisi sastra ini. Menurut Claudine Salmon, ada empat masa – hingga tahun 1960-an – dalam tradisi sastra ini: masa awal mula hingga 1910, masa 1911-1923, masa 1924-1942, dan masa 1945-1960-an. Claudine Salmon melakukan pembabakan tersebut berdasarkan bahasa dan huruf yang digunakan, bentuk karya serta tema yang diangkat. Sebagai contoh, di masa awal mula, para pengarang dari masa tersebut sebagian masih banyak menggunakan huruf Arab dan baru akan beranjak ke penggunaan huruf latin. Fenomena yang terjadi di pertengahan hingga akhir abad ke-19 tersebut terjadi karena beberapa pengarang Cina berhubungan dekat dengan Islam, bahkan beberapa di antara seperti Abdoel Karim Tjiat, Intje Ismael, Kiai Hadji Koesta dan lain-lain telah memeluk Islam.13 Contoh lainnya adalah ketertarikan pada karya-karya sastra Melayu Klasik. Dengan pembabakan semacam itu, buku ini sangat membantu saya memulai penelitian ini. Alasannya, pembabakan tersebut – lengkap dengan penjabaran pengaruh-pengaruh dalam tradisi sastra Cina Peranakan – juga mengungkap bahwa tradisi sastra ini berubah seiring dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi; sebuah hal yang, pada dasarnya, coba saya buktikan di tesis ini terutamanya yang terkait dengan politik etnisitas di Indonesia.

13


(39)

22

Salah satu hal khusus yang juga saya dapati di buku ini adalah bahwa perkembangan sastra Cina Peranakan sangat terpengaruh dengan kondisi penjajahan di Indonesia; sebuah hal yang menguatkan kecurigaan saya bahwa pemasalahan masyarakat Cina di Indonesia terkait dengan penjajahan Belanda. Di masa awal mula hingga 1910 terjadi pergeseran penggunaan huruf (dari Arab ke Latin). Pergeseran ini tentu seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman Belanda di Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Salah satu hal yang ditunjukkan Claudine Salmon terkait dengan pergeseran huruf tadi adalah berkembangnya dunia percetakan dan penerbitan yang rata-rata dimiliki oleh orang Belanda atau Cina. Sebagai contoh adalah Ta Teng Kie, yang merupakan seorang penyair, menulis puisi tentang dibukanya rel kereta api jurusan Cikarang-Kedung dan diterbitkan oleh seorang Belanda bernama Alex Regensburg. Beberapa fenomena serupa yang lain juga dicatat oleh Claudine Salmon.14 Artinya, kekuasaan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia turut berpartisipasi dalam perkembangan sastra Cina Peranakan. Lebih lanjut, di wilayah isi hal yang serupa juga terjadi. Tema mulai berubah di masa setelah 1910. Ketertarikan pada kejadian-kejadian khas kolonial seperti tingkah laku korup para pejabat, fenomena kawin antar Bangsa, kehidupan nyai dan lain-lain menjadi hal yang wajar ditemui di dalam karya sastra Cina Peranakan.15 Melalui pembabakan ini, menurut saya, Claudine Salmon benar-benar menunjukkan bagaimana kolonialisme mempengaruhi perhatian para pengarangnya.

Yang saya yakini kemudian adalah bahwa identitas masyarakat Cina di Indonesia terus berubah di bawah pengaruh ideologi dominan masanya. Di tesis ini, saya kembali ingin megkaji identitas tersebut dengan mempertimbangkan ideologi dominan masa kini. Dengan kata lain, saya ingin mengkaji babak lain yang belum termaktub dalam studi Claudine Salmon ini.

14 Lih. Ibid., Hal. 6-7

15


(40)

23 F. KERANGKA TEORITIK

Saya percaya bahwa identitas seseorang bukanlah sesuatu yang terberi, dalam artian alamiah, dan bersifat tetap. Identitas merupakan bentukan dari kondisi di sekitar subyek dan bergerak seiring dengan perubahan kondisi yang terjadi. Pandangan semacam ini adalah paham para pemikir ilmu kemanusiaan yang oleh Suman Gupta, di bukunya yang mengelaborasi tentang politik identitas dan identitas politik di ranah kajian sastra, disebut sebagai ‘social constructionist’.16 Dalam tubuh pemikiran para pemikir social constructionists ini ada berbagai macam pendekatan dengan penekanan yang berbeda-beda. Yang saya ambil untuk saya jadikan sebagai pegangan di penelitian ini adalah sudut pandang Slavoj Zizek yang menghubungkan identitas subyek dengan ideologi. Titik berat pada ideologi untuk melihat identitas di pemikiran Zizek bukanlah sesuatu yang mengherankan mengingat tradisi pemikirannya yang berangkat dari Marxisme. Dan di tradisi pemikiran Marxis, konsep ideologi memang dekat dengan konsep identitas (kesadaran kelas). Ideologi, yang dianggap Marx sebagai sebuah ‘kesadaran palsu’ (false consciousness), berisi bukan semata seperangkat doktrin, namun juga cara seseorang memahami peran sosialnya dengan ide, nilai, etika dan gambaran tertentu.17 Disebut sebagai ‘kesadaran palsu’ oleh Marx karena dalam sistem kapitalis, buruh ‘diharuskan’ gagal melihat ke-buruh-annya dan menganggap bahwa tidak ada pembedaan dan antagonisme kelas di dalam masyarakat. Dimana posisi Zizek dalam melihat hubungan ideologi-identitas ini terutama dalam karya sastra? Bagaimana pula konsep identitas multikulturalisme, sebagai sebuah ideologi, menurut Zizek?

Di pendekatan Marxis yang kini banyak disebut sebagai pendekatan Marxis ‘ortodoks’ atau, menggunakan istilah Terry Eagleton, ‘vulgar’,18

karya sastra berada di wilayah yang disebut sebagai supra-structure (lantai atas) bersama dengan institusi-institusi ‘non-ekonomi lain seperti sistem peradilan (hukum), Negara (politik), dan

16

Lih., (Gupta, 2007) 17 Lih., (Eagleton, 2006, p. 8) 18


(41)

24

lain. Semua institusi tersebut, termasuk sastra bersama dengan seni secara keseluruhan, keberadaannya disokong oleh keberadaan sisi ekonomi yang disebut sebagai infrastructure (lantai bawah) yang mana menentukan posisi kelas seseorang. Kata ‘disokong’ sebenarnya kurang tepat karena hubungan keduanya bersifat ‘directive’ (mengatur). Artinya, institusi-institusi lantai atas tadi merupakan ekspresi dari kelas tertentu yang proses pembentukannya ada di lantai bawah. Ideologi sebuah institusi ditentukan oleh corak produksi kelas penciptanya. Dengan begitu, ideologi sebuah karya sastra dapat ditentukan dengan melihat latar belakang penciptaannya. Jadi, narasi dalam karya sastra adalah sebuah ekspresi kelas tertentu.

Aplikasi dari pendekatan semacam ini yang terbaik adalah buku-buku kritik sastra yang ditulis oleh kritikus sastra Marxis yang sangat berpengaruh, Georg Lukacs. Kritik Lukacs berkisar di permasalahan karya sastra sebagai bentuk (form). Di bukunya The Theory of The Novel (1920), Lukacs melihat bahwa dalam karya sastra hubungan antara isi, materi cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dan bentuk terus berubah dari masa ke masa. Ia mencatat di Eropa ada tiga bentuk utama: 1.) Epik, 2.) Tragedi, dan 3.) Novel. Dasar dari kategorisasi Lukacs ini berdasarkan sudut pandang filosofis atas sejarah para penulisnya. Ketika menjelaskan tentang perbedaan antara sastra epik dan novel, ia menyebutkan bahwa “[t]hese two major forms of great epic literature, differ from one another not by their authors’ intentions but by the given historico-philosophical realities with which the authors were confronted”.19 Dengan kata lain, ideologi karya adalah ideologi si pengarang, dalam melihat eksistensinya dan sejarah yang dibentuk oleh ideologi dominan di masanya. Dengan bentuk tertentunya, sebuah karya membawa ideologi dari masanya. Dan ideologi tersebut dibentuk seiring dengan perkembangan ekonomik dari masa ke masa. Sisi ekonomik sebagai ideologi ini Lukacs tunjukkan lebih rinci lagi di sebuah esainya, yang termaktub dalam buku Studies in European Realism (1950), tentang perkembangan realisme Eropa yang dibawa Tolstoy. Di esai tersebut, ia menyebutkan bahwa,

19


(42)

25

“[t]he principles he (Tolstoy –pen.) followed in his realism objectively represent a continuation of the great realist school, but subjectively they grew out of the problems of his own time and out of his attitude to the great problem of his time, the relationship between exploiter and exploited in rural Russia.”20

Artinya, yang membuat Tolstoy menarik adalah ia membawa ideologi, cara pandang tentang masanya dan sejarahnya, sehingga membuatnya menciptakan bentuk realisme-nya sendiri. Dengan begitu, kritik ideologi dalam fiksi dilakukan dengan membaca narasinya yang disandingkan dengan sisi ekstra-literernya seperti wacana dominan dan kehidupan sosial masyarakat.

Lebih jauh, seiring dengan perkembangan pemikiran di diri kaum Marxis, beberapa pemikir menganggap bahwa pendekatan Marxis seperti di atas terlalu mengagungkan sisi ekonomi dan melupakan gejolak yang ada di lantai atas. Louis Althusser adalah salah seorang pemikir yang memiliki pandangan lain tentang hubungan lantai atas-lantai bawah ini. Di filsafat Marxisme-Strukturalnya, yang dipengaruhi oleh pemikir strukturalis dan psikoanalisa, Althusser menganggap bahwa lantai atas memiliki peran dalam membentuk kelas (lantai bawah). Ia membaca-ulang konsep ideologi yang ada di tradisi pemikiran Marxis dengan konsep-konsep seperti interpelasi dan overdeterminasi. Baginya, ideologi adalah institusi-institusi yang ada di lantai atas. Mereka lah yang menciptakan apa yang disebut sebagai kesadaran kelas dengan cara menginterpelasi subyek-subyek yang bersentuhan dengannya. Interpelasi adalah sebuah konsep yang dipinjam, dan dikembangkan, dari psikoanalisa. Interpelasi, menurut Althusser, adalah proses pembentukan kesadaran subyek yang terjadi di dalam Aparatur Negara Ideologis (ideological state apparatus) seperti gereja, bank, kantor imigrasi dan lain-lain. Pembentukan kesadaran subyek ini dilakukan dengan ‘memanggil’ subyek yang mana melalui pemanggilan tersebut subyek diarahkan untuk menjawab dengan cara tertentu sehingga membuatnya berada dalam posisi tertentu. Konsep ini dikembangkan, untuk diintegrasikan ke dalam Marxisme, oleh Althusser dari pemikiran Jacques Lacan. Interpelasi, dalam psikoanalisa Lacanian, adalah proses

20


(1)

228 common sense yang sangat kuat sehingga mampu mempengaruhi narasi karya-karya sastra – wilayah yang seringkali dipandang independen. Pada dua karya dari masa reformasi – Ca Bau Kan dan Putri Cina – tampak bagaimana kesetaraan identitas pribumi dan non-pribumi yang coba dikonsepkan adalah kesetaraan kultural melalui bentuk-bentuk perayaannya. Di titik tersebut, dua karya tadi ‘dipaksa’ mengarahkan hasrat ke obyek a (identitas Cina yang esensialis dan ahistoris) versi multikulturalisme dengan versi sejarahnya sendiri; sebuah kondisi yang membuat narasi dua karya tersebut melupakan kontradiksi yang ada. Dengan hanya mengejar kesetaraan kultural – yang mana hanya menyelesaikan perihal kekerasan subyektif – kontradiksi di wilayah ekonomi berupa ketimpangan ekonomi hasil tatanan masyarakat sebelumnya (kolonial dan Orde Baru) tak terangkat. Kondisi tersebut lah yang lantas membuat narasi-narasi tentang kontradiksi ekonomi harus menepi dalam bentuk-bentuk yang symptomatic.

Lebih jauh, kondisi tersebut - selain menunjukkan bagaimana sebuah karya dibentuk kesadaran naratifnya – juga menunjukkan bahwa multikulturalisme sebagai sebuah ideologi tak mampu membaca permasalahan yang sesungguhnya. Multikulturalisme tak mampu menangkap, menulis-ulang dan melampaui jejak-jejak ideologi-ideologi lalu berupa symptom-symptom di karya-karya seperti Drama di Boven Digoel dan Lucy Mei Ling. Namun yang terpenting, bagi saya, kondisi Ca Bau Kan dan

Putri Cina tadi adalah seberapapun kuatnya sebuah ideologi mengungkung kesadaran kita, hal yang benar-benar ‘menggores’ subyek – seperti segregasi dan asimilasi dengan segala ketimpangan yang diciptakannya – tidak dapat dengan begitu saja digantikan. Nyatanya, meskipun multikulturalisme terlihat sangat dominan, narasi Ca Bau Kan dan

Putri Cina masih dapat menyelipkan symptom-symptom yang menandakan kegagalam simbolisasi multikulturalisme atas ketimpangan ekonomi. Dengan kata lain, seberapapun dua novel tersebut berada dalam pusaran ideologi multikulturalisme, keduanya mampu meninggalkan jejak yang mengarah pada lubang logika multikulturalisme.


(2)

229

Pada konsep Tatanan Simbolik (ideologi) Zizek, seperti disimpulkan oleh Tony Myers, pada proses kastrasi

“[i]n order for the subject to enter the Symbolic Order, then, the Real of enjoyment or jouissance has to be evacuated from it...[a]lthough not all enjoyment is completely evacuated by the process of signification...most of it is not Symbolized. What this means is that the Symbolic Order cannot fully account for enjoyment – it is what is missing from the big Other. The big Other is therefore inconsistent or structured around a lack,the lack of enjoyment.”189

Yang artinya, setiap symptom menunjukkan kegagalan sebuah ideologi menanungi seluruh enjoyment subyek i.e. hal yang paling membekas di diri subyek justru tak terbahasakan. Membuat identitas Cina sebagai kelas yang diuntungkan secara ekonomi

tak terkritisi, di dua novel tadi, menandakan bahwa ‘lack’ dari multikulturalisme adalah keengganannya berbicara masalah ketimpangan ekonomi ataupun berbicara tentang identitas Cina berdasarkan identifikasi ekonomi sebagai warisan dari tatanan sosial masa kolonial dan Orde Baru; sebuah hal yang wajar mengingat obyek a yang dibangun olehnya adalah identitas kultural. Fungsi versi sejarah yang saya bicarakan tadi, yang berada di tataran fantasi, adalah menutupi lubang ini.

Lebih jauh, dua novel dari masa pasca-Orde baru berikutnya (Dimsum Terakhir

dan Acek Botak) menunjukkan alternatif dari multikulturalisme dengan narasinya yang

menyasar kekerasan obyektif; sebuah kekerasan yang terkait erat dengan ‘lack’

multikulturalisme yang tertutupi oleh fantasi. Dari dua novel tersebut, kita dapat melihat bagaimana ekspresi-ekspresi kultural tokoh-tokoh Cina yang dibangun berdasarkan

economic base i.e. keduanya tak memisahkan wilayah kultural dan ekonomi seperti konsep-konsep kesetaraan multikulturalisme. Yang sederhananya, keduanya menempatkan posisi kesetaraan kultural sebagai konsekuensi logis dari kesetaraan ekonomis. Walhasil keduanya dapat dengan mudah menunjukkan kondisi ekonomi serta identitas kultural masyarakat Cina sebagai sebuah kekerasan (obyektif), dua novel tersebuttelah mengarah pada diskusi untuk meruntuhkan fantasi multikulturalisme yang hanya mengisyaratkan posisi masyarakat Cina sebagai korban kekerasan subyektif

189


(3)

230

dengan pelaku negara ataupun perusuh. Pemecahan identitas Cina di dalam novel tersebut tak lain adalah usaha untuk membuat fantasi multikulturalisme tak lagi dapat digunakan karena kata ‘Cina’ sekarang harus menemukan makna lain selain entitas kultural yang terpinggirkan. Dan, menurut Zizek, menunjukkan bagaimana sebuah fantasi sesungguhnya tak memiliki dasar apapun kecuali dasar yang disediakan sendiri oleh ideologi yang memanfaatkannya adalah salah satu cara untuk meruntuhkan

(melampaui) fantasi atau ‘traversing the fantasy’. Bagi saya, metode pencarian keadilan bagi identitas-identitas yang ada di Indonesia pada dua novel tersebut jauh lebih konstruktif dan visioner dibandingkan dengan multikulturalisme yang hanya bereaksi pada apa yang terlihat mata seperti pembunuhan atau ejekan.


(4)

231

Daftar Pustaka

Buku:

Bandel, K. (2013). Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Yogyakarta: Penerbit Pustaha Hariara.

Benedanto, P. (2001). Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Benedanto, P. (2003). Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Bill Ashcroft, G. G. (2002). The Post-Colonial Studies Reader. London: Routledge.

Blusse, L. (2004). Persekutuan Aneh. Yogyakarta: LKIS.

Busye, M. (1977). Lucy Mei Ling. Jakarta: Pustaka Jaya.

Dieleman, M. (2010). Chinese Indonesians and Regime Change. (J. K. Marleen Dieleman, Ed.) Leiden, Boston: Brill Academic Publishing.

Eagleton, T. (2006). Marxism and Literary Criticism. London: Routledge.

Edward Aspinall, G. F. (2010). Soeharto's New Order and Its' Legacy. Canberra: ANU E Press.

Gupta, S. (2007). Social Constructionist Identity Politics and LIterary Sudies. New York: Palgrave Macmillan.

Herlambang, W. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: Marjin Kiri.

Heywood, A. (2004). Political Theory: an introduction. New York: Palgrave Macmillan.

Ignatius Wibowo, T. J. (2010). Setelah Air Mata Kering. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Lohanda, M. (2002). Growing Pains: the chinese and the dutch in colonial Java, 1890-1942. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.


(5)

232

Lukacs, G. (1950). Studies in European Realism. Massachusetts: The MIT Press.

Lukacs, G. (1971). The Theory of The Novel. Massachusetts: The MIT Press.

Myers, T. (2003). Slavoj Zizek. New York: Routledge.

Ng, C. (2006). Dimsum Terakhir. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

O'Rourke, K. (2003). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia.

Crows Nest: Allen & Unwin.

Pasaribu, I. (2009). Acek Botak. Jakarta: Kakilangit Kencana.

Prasetyadji, W. E. (2008). Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI. Jakarta: Visimedia Pustaka.

Ricklefs. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Salmon, C. (1985). Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.

Salmon, C. (2009). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Scanlon, T. (2003). The Difficulty of Tolerance. New York: Cambridge University Press.

Sindhunata. (2007). Putri Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Siraishi, T. (2005). Zaman Bergerak: radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Suryadinata, L. (1984). Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press.

Suryadinata, L. (2002). Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Suryadinata, L. (2005). Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.

Suryadinata, L. (2008). Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Pasir Panjang: Institute of South East Asian Studies.


(6)

233

Sylado, R. (2001). Ca-Bau-Kan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Toer, P. A. (2003). Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Toer, P. A. (2003). Tempo Doeloe. Jakarta: Lentera Dipantara.

Williams, L. (1960). Overseas Chinese Nationalism. Illonois: The Free Press.

Willmott, D. (2009). The National Status of the Chinese in Indonesia in 1900-1958.

Shenton, Singapore: Equinox Publishing Asia.

Yang, T. P. (2005). Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Penerbit Niagara.

Zizek, S. (2010). Living in the End Times. New York: Verso.

Zizek, S. (2008). The Plague of Fantasies. London: Verso Books.

Zizek, S. (1989). The Sublime Object of Ideology. New York: Verso Books.

Zizek, S. (2008). Violence. New York: Picador.

Jurnal dan Makalah :

Dharma, B. (2010). Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman. Makalah dalam Temu Sastrawan Indonesia III.

Jedamski, D. (1992). Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep's Clothing. Archipel , 23-46.

Sumber internet :

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ve d=0CDYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.tatanusa.co.id%2Ftapmpr%2F66TAPMP

RS-XXV.pdf&ei=MWKTUZy6NMTRrQfv64H4DA&usg=AFQjCNESuksop2r7ZgNMJfid P6JvnW1H8g&sig2=hnVda4O7wVplrqF2pGMc1Q&bvm=bv.46471029,d.bmk