Pemikiran kiri dalam novel jejak sang pembangkang karya Frigidanto Agung : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

  

PEMIKIRAN KIRI

DALAM NOVEL JEJAK SANG PEMBANGKANG

KARYA FRIGIDANTO AGUNG

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Indonesia

  

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Paulus Yesaya Jati

  

NIM: 034114013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

Juni 2008

  “Revolusi hanyalah titik mendidih dari evolusi”

  (Alexander Berkman) Pada sore, akhir hari itu. Baru sadar jika manusia seperti sisa reruntuhan kapal tenggelam, hanya tertinggal barang-barangnya yang mengapung di

lautan. Terombang-ambing sendirian. Berteriak teriak sendirian, tapi hanya

kesunyian yang terus menjawab. Yang selalu ada hanya langkahnya yang pasti dicetuskan sendiri untuk selalu dipaksakan. Cetusan yang tak pernah berasal dari orang lain. Hanya diri dan dari sendiri. Terus terlempar. Namun, pada suatu malam, manusia terkadang menjadi komplotan

serangga. Serangga yang sia-sia membuyarkan kabut yang menggantung di

lampu-lampu penerang jalanan kota, seperti gula kapas putih tipis Berputar

dan terus berputar. Semakin cepat dan cepat hingga terpental kelelahan. Yang tersisa hanya kejayaan kabut tipis itu untuk kembali lagi esok malamnya.

  

Hingga pada awal pagi yang mendidih, tepat diakhir doa, pada satu hari

yang sendiri, di pesisir pantai yang masih belum disibukkan, seekor burung

camar melintas, terus terbang ke arah depan, tak menoleh, dan tak akan sekali pun meninggalkan jejak. Hanya kepak sayapnya yang akan terus membawanya berlalu untuk suatu tujuan…

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana karya ilmiah.

  Yogyakarta, …………………… Penulis

  Paulus Yesaya Jati

  

ABSTRAK

  Jati, Paulus Yesaya. 2008. Pemikiran Kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang Karya Frigidanto Agung: Tinjauan Sosiologi Sastra . Skripsi S1.

  Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengkaji pemikiran kiri antara tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel Jejak Sang Pembangkang dengan pendekatan sosiologi sastra. Analisis struktur penceritaan dibatasi pada tokoh dan penokohan, serta latar yang terkait dengan kehidupan para tokoh. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis unsur tokoh, penokohan serta latar dan kemudian analisis itu digunakan untuk menganalisis pemikiran kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang.

  Hasil penelitian ini berupa pembagian tokoh menurut peran dalam perkembangan plot menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan; pembagian latar menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial; serta analisis pemikiran kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang.

  Tokoh utama adalah tokoh Joni dan tokoh tambahan adalah tokoh Andi, tokoh Rahma, tokoh Ali, tokoh Jabar, tokoh Farid, tokoh Soni, dan tokoh Para Demonstran.

  Latar tempat adalah Ibukota Jakarta, rumah di gang 12 A, Universitas Trisakti, Jalan S. Parman, gedung perwakilan rakyat: DPR/MPR.Latar waktu adalah siang, sore, malam dan tahun 1998. Latar sosial berupa kehidupan para mahasiswa yang merangkap aktivis Para aktivis memiliki komunitas bernama Kelompok Rumah

  12 A. Kehidupan mereka hanya dipenuhi oleh pengetahuan-pengetahuan mengenai keotoriteran penguasanya sehingga aktivitasnya selain berkuliah adalah berdemonstrasi.

  Pemikiran kiri adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang “nakal” untuk menghancurkan segala hal yang berbau kemapanan, terutama kekuasaan otoriter. Pemikiran kiri muncul karena adanya penguasa yang otoriter di negaranya. Penguasa tersebut telah berbuat sewenang-wenang untuk melanggengkan kekuasaannya. Sikap otoriter dibuktikan dengan adanya peristiwa penghilangan tokoh Kemal dan para aktivis di propinsi lain hingga tak diketahui keberadaannya. Hilangnya para aktivis itu disebabkan karena aktivitasnya yang kritis terhadap penguasa otoriter. Untuk itu, Kelompok Rumah 12 A menginginkan turunnya penguasa otoriter itu. Hal itu dilakukan dengan cara, pertama, Kelompok Rumah 12 A mengklaim bahwa penguasa otoriter. Kedua, kelompok rumah 12 A mengadakan aksi jumpa pers untuk mengabarkan para aktivis yang hilang. Ketiga, kelompok Rumah 12 A melakukan aksi demonstrasi terbesar di Jakarta. Di samping itu, pemikiran kiri mereka ternyata terbukti rasional. Hal itu karena sikap otoriter tidak pantas dipraktekkan dalam negaranya. Artinya, negara mereka seharusnya menganut asas demokrasi, dibuktikan dengan adanya gedung perwakilan rakyat, yaitu DPR/MPR.

  

ABSTRACT

  Jati, Paulus Yesaya , 2008. Left Thought in the Frigidanto Agung’s Jejak Sang Pembangkang: Literary Sociological Approach. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesia Letters Department, Sanata Dharma University.

  This research studies the left thought in the novel: Jejak Sang Pembangkang by using the literary sociological approach. The novel structure analysis is limited in the character, the characterization, and also the setting which is related to the character’s life. This research uses descriptive method. The steps to analyze the novel adopted here are analyze the elements of the characters, characterization as well as the setting, and next, the analyze it was used to analyze the left thought in the novel, Jejak Sang Pembangkang..

  The conclusion of this research is in the form of classification of the characters based on the character’s role in the plot development to be the main character and the peripheral ones; the classification of the settings comprising the setting of place, setting of time and setting of social; and also the left thought analysis in the novel.

  The main character is Joni and the peripherals are Andi, Rahma, Ali, Jabar, Farid, Soni, and all the demonstrators. The setting of place is the capital City of Jakarta, the house in block 12 A, Trisakti University, located on S. Parman Street, and the House Representative building.

  The setting of time is in the daylight, in the evening and night in the year of 1998. The social setting is the life of the students who are also become activists. They have a community in the house 12 A. Their live are full of the knowledge of authoritarian on the rulers’ authoritarian so their activities not only attending lectures but also having demonstrations.

  Left thought is a social thinking and movement which always fight criticize, and of course, is naughty to destroy everything connecting with establishment, especially authoritharian power. The left thought arises because of the existence of the authoritarian ruler in their country. The ruler act arbitrarily to prolong their power. It is proved with the loss of the character, Kemal and the activists in the other province being unknown of the existence. The loss of the activists are obvious because of their deeds opposing the authoritarian rulers. The result is the critic group in the house 12 A want the rulers withdraw. That is done in the following ways. First, the group in the house 12 A claim that the ruler is a authoritarian. Secondly, the group in the house 12 a hold a press meeting (action) to report all the missing activist. Thirdly, the group in the house 12 A undergo a big demonstrations action in Jakarta. Besides that, their left thought proves to be rational. That is because of authoritarian attitude is not worth practicing in their country. It means that their country should follow democratic principle. It must be proved with the exsistence of house o representative, MPR and DPR.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Paulus Yesaya Jati Nomor Mahasiswa : 034114013

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

“Pemikiran Kiri Dalam Novel Jejak Sang Pembangkang Karya Frigidanto

Agung Tinjauan Sosiologi Sastra”

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 13 September 2008 Yang menyatakan (Paulus Yesaya Jati)

KATA PENGANTAR

  Segala puji syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Putranya, Yesus Kristus, atas berkat rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu ( S1 ) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan dan kemampuan serta pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

  Dalam menyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian skripsi ini. Pada lembar ini penulis ingin mengucapkan kepada:

  1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum. Selaku pembimbing I yang telah memberikan waktu untuk perhatian, pengarahan dan membimbing dengan sabar dan teliti sehingga penulis akhirnya dapat menyelesikan skripsi ini.

  2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum. Selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  3. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum. Selaku pembimbing akademik angkatan 2003 yang dengan perhatiannya selalu rajin menanyakan anak- anaknya mengenai skripsinya untuk sesegera menyelesaikannya.

  4. Seluruh Dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal-bekal pengetahuan untuk melanjutkan pergerakan hidup ini. Terima kasih, penulis haturkan untuk Bapak Heri Antono, Bapak Yoseph Yapi Taum, Bapak I. Praptomo Baryadi, Bapak Ari Subagyo, dan Bapak F.X Santoso.

  5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia. Terima kasih untuk keramahtamahannya kepada semua angkatannya “ Jaya di sastra…Jaya di bahasa…!”

  6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra untuk pelayanannya selama ini.

  7. Bapak, Ibu, kakak, dan adik. Terima kasih atas dukungan doa, semangat, cinta, dan memotivasi untuk penulis segera menyelesaikan skripsi.

  8. Luchya Deashey P.S. Terima kasih atas waktu berupa kasih sayangnya, perhatiannya selama ini, dan semoga Tuhan selalu membuat langkah kita selalu bersama. Amin

  9. Pemuda Indonesia harapan pemudi yang bernama Lek Rinto “Kepleh”, Lek Anton “Lampung”, Lek Aji “Gondez”, Lek Simpli “Komeng”, Lek Icha “ Big Bear”, Lek Riawan “ Binyong”, Lek Bayu, Lek Agus Sungkalang, dan Lek Dista dan Rhea. Lalu, Pemudi Indonesia harapan pemuda yang bernama Aik “Emak”, Aning, Astri, Firla “Srintil”, Tere, Diar, Doan, Dhita, Bekti, Lia, Ratna, Vonny, Epita, Yenni, dan Suster. Terima kasih untuk persahabatannya, petualangannya, suka-sukanya, duka-dukanya, bosan-bosannya, mendidih-mendidihnya, dan membeku- bekunya. “Stop Global Warming!…ha ha ha…ra masuk yo pesennne?”

  10. Teman-teman Mudika Tridadi Gereja St. Aloysius Gonzaga, Paroki Mlati.

  Terima kasih atas semangatnya…yeaaa!

  11. Seluruh pemuda-pemudi Pedukuhan Dukuh Tridadi Sleman. Terima kasih untuk semangatnya.

  12. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih yang mendalam. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Kesempurnaan dan kekurangan skripsi ini semata-mata merupakan tanggung jawab penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

  Penulis

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ……………………………………......................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… iii MOTO ……………………………………………………………………. iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………. v ABSTRAK ……………………………………………………………….. vi

  ABSTRACT.. ………………………………………………………………. vii

  KATA PENGANTAR …………………………………………………… viii DAFTAR ISI ……………………………………………………………… xi BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….

  1 1.1 Latar Belakang ………………………………………………….

  1

  1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………

  7 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………..

  7 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………....

  8 1.5 Landasan Teori …………………………………………………..

  9

  1.5.1 Teori Pemikiran Kiri …………………………………

  9 1.5.2 Teori Struktural….…………………………………...

  22

  1.5.3 Teori Sosiologi Sastra...………………………………

  23 1.6 Metode Penelitian ………………………………………………..

  23

  1.6.1 Jenis Penelitian …………………………………..

  23

  1.6.2 Pendekatan………………………………..………

  24 1.6.3 Prosedur Penelitian ……………………………….

  26 1.6.3.1 Tahap Pengumpulan Data ………………..

  26 1.6.3.1.1 Wujud Data Penelitian ………..

  26 1.6.3.1.2 Sumber Data Penelitian ……….

  26 1.6.3.1.3 Pembatasan Data Penelitian …..

  27

  1.6.3.2 Tahap Analisis Data ………………………

  27 1.7 Sistematika Penyajian ………………………………………….

  28 BAB II ANALISIS STRUKTUR PENCERITAAN

  2.1 Pendahuluan ……………………………………………………

  29

  2.1.1 Sinopsis Jejak Sang Pembangkang ………………………

  31

  2.2 Tokoh dan Penokohan …………………………………………

  36 2.2.1 Tokoh Utama …………………………………………….

  37

  2.2.1.1 Tokoh Joni ………………………………………

  38 2.2.2 Tokoh Tambahan ………………………………………...

  41 2.2.2.1 Tokoh Andi ……………………………………...

  41 2.2.2.2 Tokoh Rahma …………………………………….

  43

  2.2.2.3 Tokoh Ali ………………………………………… 44

  2.2.2.4 Tokoh Jabar ………………………………………. 45

  2.2.2.5 Tokoh Farid ………………………………………. 46

  2.2.2.6 Tokoh Soni ……………………………………….. 47

  2.2.2.7 Tokoh Para Demonstran ………………………….. 47

  2.2.3 Kesimpulan Analisis Tokoh dan Penokohan ………………. 48 2.3 Latar …………………………………………………………….

  50 2.3.1 Latar Tempat ……………………………………………..

  51 2.3.2 Latar Waktu ……………………………………………….

  51 2.3.3 Latar Sosial ………………………………………………..

  51 2.3.4 Kesimpulan Analisis Latar ………………………………..

  52 2.4 Kesimpulan Analisis Struktur Penceritaan……………………….

  53 BAB III ANALISIS PEMIKIRAN KIRI ……………………………...…….

  55 3.1 Pendahuluan …………………………………………………....

  55

  3.2 Pemikiran Kiri Mengklaim Bahwa Penguasa Otoriter ...……….. 58

  3.2.1 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Pemikiran ………………. . 60 3.2.2 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Gerakan Sosial …………..

  79

  3.3 Pemikiran Kiri Mengadakan Acara Jumpa Pers ………………

  88 3.3.1 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Pemikiran …………….. ..

  90 3.3.2 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Gerakan Sosial ………......

  93

  3.4 Pemikiran Kiri Mengadakan Demonstrasi Terbesar di Jakarta… 107

  3.4.1 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Pemikiran ……………… ... 111

  3.4.2 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Gerakan Sosial ………….... 119

  3.5 Kesimpulan Analisis Pemikiran Kiri …………………………... 130

  BAB IV KESIMPULAN ………………………………………………......... 131 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 138 BIOGRAFI ...……………………………………………………………….... 141

1.1 Latar Belakang

  Kesusastraan adalah kumpulan tulisan yang indah, baik lisan maupun tulisan, dengan hakikat imajinasi dan kreativitas ( Ratna, 2005: 613). Bagi penyair Toeti Herati, fiksi atau puisi adalah “Sebuah moment yang unik dan khas”, bukan hanya karena peristiwanya, tapi juga pemaknaan yang terjadi padanya (Dahana, 2001:59). Kemampuan menciptakan makna yang unik ini datang dari usaha pengarang yang terus-menerus dalam mengambil “jarak” dengan pengalaman yang ia dapatkan. Akibatnya, peristiwa yang bagi orang biasa umum adanya, tetapi di tangan pengarang menjadi ” lain ” hasilnya. “Jarak” dari kenyataan inilah yang disebut oleh, misalnya Simone De Beauvoir, filsuf dan pejuang emansipasi wanita modern, sebagai transedensi, sedangkan sikap atau kemampuan seseorang yang menerima begitu saja kenyataan hidupnya, disebut imanensi (Dahana, 2001: 60).

  Makna yang unik ini juga terdapat dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung. Novel tersebut menceritakan jejak-jejak pembangkangan mahasiswa kepada kekuasaan otoriter di Jakarta sekitar tahun 1998. Penghilangan dan pembungkaman suara-suara kritik mahasiswa pun terjadi. Terbukti dengan hilangnya para aktivis di ibukota maupun di daerah. Namun, karena dituntut dan didesak melalui aksi demonstrasi, akhirnya rezim itu turun. Aksi perlawanan itu memuncak di Kampus Trisakti sehingga terjadi bentrokan dengan aparat. Bentrokkan itu menyebabkan beberapa mahasiswa terkena tembakan dari aparat.

  Perlawanan terhadap rezim otoriter hanya dapat ditempuh melalui jalan pembangkangan dan perjuangan. Pembangkangan dan perjuangan ini menyebabkan kita berada di sebelah kiri. Istilah ‘kiri’ seharusnya menjadi biasa dalam perbincangan kita. Dalam kehidupan sehari-hari, ‘kiri’ digunakan untuk membedakan dengan yang kanan. Namun, akan menjadi berbeda jika istilah itu diendapkan pada dimensi pemikiran. Hal ini karena ia menyimpan sejumlah gagasan yang besar: menantang, melawan sekaligus merusak setiap tradisi yang dianggapnya kemapanan (establishment), tetapi karena ia juga memainkan peran signifikan atas munculnya ide-ide besar yang mengubah keadaan (Santoso, 2003: 15).

  Dalam perspektif sejarah, terminologi “kiri” acapkali ditimpakan pada segala hal (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Menariknya terminologi ini kemudian menjadi “hantu” ketika ia dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol- simbol revolusi sebagaimana, Marxisme, Komunisme, dan Sosialisme (Santosa, 2003: 15).

  “Marxisme” tidak sama dengan “Komunisme”. “Komunisme” yang disebut juga “komunisme internasional” adalah nama “gerakan kaum komunis”.

  Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis sejak Revolusi Oktober 1917 di Rusia, di bawah pimpinan W.I. Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional. Istilah “komunisme” juga dipakai untuk “ajaran komunisme” atau “Marxisme-Leninisme” yang merupakan ajaran atau ideologi resmi komunisme. Istilah “komunisme” dipakai oleh Lenin untuk cita- cita utopis masyarakat, di mana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama (Suseno, 2001: 5).

  Sedangkan, istilah “Marxisme” sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya Friederich Engels (1820-1895) dan oleh tokoh teori Marxis, Karl Kautsky (1854-1938). Dalam pembakuan ini ajaran Marx yang ruwet dan sulit dimengerti disederhanakan agar cocok sebagai ideologi perjuangan kaum buruh. Jadi, Marxisme menjadi salah satu komponen dalam sistem ideologis komunis. (Suseno, 2001: 5).

  Pandangan-pandangan sosialis modern terbentuk antara 1789 (permulaan Revolusi Prancis) dan 1848 (Revolusi Industri). Ada dua peristiwa yang menjadi konteks kelahiran cita-cita sosialime modern itu : Revolusi Prancis (1789-1795) dan Revolusi Industri. Keyakinan dasar para pemikir sosialis modern adalah bahwa secara prinsipil produk pekerjaan merupakan milik si pekerja. Milik bersama dianggap sebagai tuntunan akal budi. Diyakini bahwa masyarakat akan berjalan dengan jauh lebih baik kalau tidak berdasarkan milik pribadi. Istilah “Sosialisme” sendiri muncul di Prancis sekitar tahun 1830, begitu juga kata “komunisme”. Dua kata ini semula sama artinya, tetapi segera “komunisme” dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, yang menuntut penghapusan total milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Suseno, 2001: 18-19).

  Bahkan, dalam ruang kesadaran manusia sekarang ini telah terlanjur melembaga stigmatisasi atas terminologi “kiri” sebagai sosialis dan yang bersentuhan dengannya (Santoso, 2003: 15). Apalagi ketika ia dikontekskan pada suatu keadaan yang terdapat luka sejarah akibat komunisme, semisal Indonesia.

  Parahnya, “kiri” selalu diidentikkan dengan komunis(me). Dampaknya menjadi wajar bila kesadaran masyarakat kita pernah disesaki oleh ide-ide ‘pembumi- hangusan’ segala hal yang berbau kiri. Masih segar dalam ingatan ketika tanggal

  19 April 2001 lalu di negeri ini telah terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap kekiri-kirian. Ironisnya aksi tersebut lebih difokuskan pada beberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxis(me) atau (parahnya) yang dianggap ‘mengganggu’ kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan (Santoso, 2003: 16).

  Menurut Magnis-Suseno, fenomena membakar buku adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran yang tidak mampu dilawan secara pikiran. Fenomena tersebut, menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat atas minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, juga menjadi fakta bahwa ada kesalahan (fatal) dalam pemahaman masyarakat atas terminologi “kiri” (Santoso, 2003: 16).

  Hal ini membuktikan bahwa ada beberapa golongan yang merasa takut akan bangkitnya komunisme di Indonesia, terutama karena pernyataan Karl Marx tentang agama sebagai candu masyarakat atau mengasingkan masyarakat dari realitas dan gerakan radikal yang menginginkan berdiri negara komunis melalui revolusi bersenjata. Secara sistematis pragmatis Marx menggambarkan bahwa hukum sosial bukanlah perwujudan akal manusia secara murni, melainkan merupakan manifestasi kepentingan kelas dominan dalam periode bersejarah tertentu (Ratna, 2005: 158). Kaitannya dalam novel JSP bahwa para aktivis/mahasiswa dalam Kelompok Rumah 12 A menyakini bahwa rezim pemerintahan yang berkuasa telah menjadi kelas dominan sehingga sering bertindak otoriter atau sewenang-wenang terhadap kritikan dan dianggap subversif karena menganggu stabilitas nasional. Dalam data sejarah, disebutkan berbagai aksi penculikan menjelang detik-detik gerakan reformasi berhasil menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan, juga merupakan kisah buram lain yang tergores dalam sejarah bangsa Indonesia (Adam, 2006: 270).

  Padahal, wacana pemikiran kiri adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang “nakal” untuk menghancurkan segala hal yang berbau establishment (kemapanan), terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern. Pembongkaran atas situasi ‘mapan’ dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan ‘kiri’, terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung di balik jubah ideologi-ideologi (Santoso, 2003: 17). Melihat kerangka dasar yang digunakan oleh pemikiran dan gerakan ‘kiri’ tampak jelas jika ia memperoleh inspirasi dari beberapa filsuf kontemporer yang fenomenal, semisal Karl Marx dan filsuf yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt (Santoso, 2003: 18).

  Penelitian ini akan mengambil salah satu hasil pemikiran dari generasi kedua Mazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, yaitu rasionalisasi sebagai penggerak evolusi sosial (perubahan masyarakat). Rasionalisasi yang dimaksud adalah perkembangan evolusi sosial masyarakat dapat terbentuk dari proses pembelajaran masyarakat. Hal ini karena Habermas mengajukan kriteria proses belajar masyarakat yang rasional. Proses belajar masyarakat tersebut memiliki unsur pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan menghancurkan kekuasaan otoriter.

  Pemikiran kiri dalam teori rasionalitas Jurgen Habermas terletak pada proses belajar masyarakat atau Rasionalisasi terutama pada Perbincangan Rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan yang menghasilkan komunikasi yang emansipatoris kemudian tercipta konsensus untuk menginginkan perubahan dalam masyarakat (evolusi sosial). Dalam perbincangan rasional tersebut terdapat pemikiran kiri (pemikiran dan gerakan sosial) yang senantiasa, melawan, mengkritik, dan memang terkadang ”nakal” untuk menghancurkan sesuatu yang mapan (establish). Salah satunya, berbentuk kekuasaan otoriter. Maka, peneliti menegaskan bahwa pemikiran kiri dalam penelitian ini bukan pemikiran kiri yang komunis atau yang sosialis, melainkan kiri yang rasional. Selain itu, pemikiran kiri ini tidak bertujuan mendirikan negara komunis atau negara sosialis.

  Pemikiran kiri dalam penelitian ini terletak di dalam tindakan komunikatif antara tokoh utama dan tambahan, saat mereka berdialog atau bercakap dalam lingkup sebuah diskusi rasional lalu membuat kesepakatan, kesepahaman lalu konsensus. Tindakan komunikatif itu dilakukan oleh tokoh utama dan tambahan secara bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Menurut Jurgen Habermas, terletak pada klaim-klaim, argumen, atau penyataan rasional sehingga perubahan dalam masyarakat pun dapat terjadi. Dalam novel JSP, klaim-klaim rasional, argumen- argumen rasional, dan pernyataan rasional senantiasa dikemukakan untuk melawan, mengkritik, dan merencanakan solusi terbaik yang nakal untuk segera menghancurkan kemapanan (establishment) kekuasaan yang otoriteristik itu.

  Di samping itu, penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Peneliti memilih tinjauan sosiologi sastra ini karena sangat tepat untuk menganalisis bagaimana pemikiran kiri dapat terlahir dari masyarakat di dalam novel JSP. Selain itu, untuk mendukung penelitian ini, peneliti akan menyisipkan fakta sejarah. Di satu pihak, hal tersebut dilakukan untuk membuktikan adanya keterkaitan antara fakta fiksi novel JSP dengan fakta sejarah sehingga kualitas sosiologis maupun historis novel JSP akan terbukti.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  

1.2.1 Bagaimanakah tokoh, penokohan, dan latar dalam novel Jejak Sang

Pembangkang karya Frigidanto Agung?

  

1.2.2 Bagaimanakah pemikiran kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya

  Frigidanto Agung?

1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  

1.3.1 Mendeskripasikan tokoh dan penokohan, dan latar dalam novel Jejak Sang

Pembangkang karya Frigidanto Agung.

  

1.3.2 Mendeskripsikan pemikiran kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang

karya Frigidanto Agung.

1.4 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di dunia sastra mengenai pemikiran kiri yang digunakan untuk mengapresiasi suatu karya sastra.

  Di samping itu, sebagai aktivitas kultural, novel sejarah memiliki kaitan dengan sejarah umum (Ratna, 2005:351). Akibatnya, penelitian ini akan menggunakan tinjauan sosiologi sastra sehingga harus mencari relevansinya dengan fakta sejarah. Hal ini untuk membuktikan kualitas nilai-nilai sejarah maupun sosiologi yang ada dalam novel tersebut. Maka, pembaca akan mendapatkan gambaran keterkaitan antara dunia fiksi dengan dunia fakta.

  Di sisi lain, novel sejarah tetap imajiner, sebab baik secara kualitatif dan kuantitatif ruang-ruang fiksional tetap menjadi dominasi unsur-unsur faktualnya (Ratna, 2005: 353). Selain itu, validitas unsur-unsur sejarah dalam karya sastra jelas memiliki nilai rendah sebab pengarang biasanya mengambil fakta begitu saja, tanpa pemahaman yang mendalam (Ratna, 2005: 358). Diharapkan penelitian ini akan membantu para pembaca novel sejarah Jejak Sang Pembangkang untuk dapat mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai nilai dan kualitas pemikiran kiri beserta cerita sejarahnya. Efek lainnya, pembaca akan semakin kritis menghadapi sebuah novel sejarah dan tidak ceroboh mengadili kebenaran fakta dalam novel sejarah sebagai kebenaran sejarah umum. Hal itu disebabkan karena setiap pengarang mempunyai kepentingan-kepentingan subjektif yang fiktif sehingga bisa menjerumuskan pembaca yang kurang berwawasan luas.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Teori Pemikiran Kiri

  Setiap tekanan (represi) dalam bidang apa pun akan selalu memunculkan perlawanan (resistensi). Sebuah (dominasi) kekuasaan yang represif dalam realitas sejarah selalu saja berimplikasi bagi munculnya perlawanan atas tipologi kekuasaan tersebut. Artinya, sejarah selalu menjadi bukti betapa kekuasaan yang melakukan prosesi dominasi atas yang dikuasai, terutama melalui tindakan represif, akan menghadirkan pula berbagai bentuk resistensi yang dilakukan seorang atau komunitas yang mendapat perlakuan represif dan hegemonik kekuasaan (Santoso, 2003: 29).

  Setiap dominasi selalu saja memunculkan kekuatan lain yang melawan dominasi tersebut sehingga munculnya pemikiran yang melawan dari pemikiran dominan haruslah dianggap keniscayaan sejarah yang boleh saja ada. Resistensi pemikiran adalah simbol perlawanan dari mereka yang merasa tersisih atau mereka yang selalu gelisah atas keadaan yang mapan. Itulah spirit dasar dasar dari pemikiran dan gerakan kiri yang selalu saja gelisah untuk mempertanyakan segala sesuatu, mengkritisi setiap bentuk kebenaran, dan menolak tunduk pada setiap bentuk kebenaran yang bersifat monolitik. Istilah “kiri” adalah identitas yang melakukan resistensi terhadap segala hal yang berbau kanan (Santoso, 2003: 31).

  Pemikiran kiri adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang “nakal” untuk menghancurkan segala hal yang berbau establishment (kemapanan), terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern (Santoso, 2003: 16-17). Penelitian ini hanya akan menelaah pemikiran kiri melawan kekuasaan otoriter bukan kapitalisme modern. Pemikiran kiri dalam penelitian ini terletak di dalam rasionalisasi atau proses belajar masyarakat sehingga terjadi evolusi sosial dari Jurgen Habermas. Hal ini karena Habermas memiliki kriteria proses belajar masyarakat yang rasional.

  Teori evolusi sosial, menurut Habermas, terbentuk melalui proses belajar masyarakat (social learning process) atau proses rasionalisasi menuju terbentuk masyarakat komunikatif (Santoso, 2003: 236). Habermas mengungkapkan bahwa evolusi sosial berlangsung melalui proses belajar masyarakat (social learning

  

process ) yang memungkinkan terjadi transformasi sosial. Ketika menggunakan

  istilah “ rasional ” kita mengandaikan adanya suatu hubungan erat antara rasionalitas dan pengetahuan. Pengetahuan kita memiliki struktur proposional; apa yang diyakini dapat direpresentasikan dalam bentuk pernyataan. Habermas memakai konsep pengetahuan ini tanpa klarifikasi lebih lanjut, karena rasionalitas lebih berhubungan dengan bagaimana subjek yang berbicara dan bertindak, memperoleh dan mempergunakan pengetahuan ketimbang dengan kepemilikan pengetahuan (Habermas, 1981: 10).

  Proses belajar masyarakat terjadi dalam dua dimensi: pertama, dimensi kognitif-teknis; dan kedua, dimensi moral praktis. Dimensi kognitif-teknis akan membawakan penguasaan alam yang lebih besar dan peningkatan produktivitas kerja, sedangkan dimensi moral-teknis membawakan proses-proses belajar komunikatif yang menghasilkan perbaikan-perbaikan kualitas komunikatif dari relasi-relasi di antara manusia (Santoso, 2003: 249). Menurut Habermas, kedua macam proses belajar ini ditandai oleh logika tersendiri, artinya kemajuan dalam penguasaan alam tidak secara otomatis membawakan kemajuan di bidang relasi- relasi komunikatif, dan sebaliknya (Bertens, 2002: 249). Kedua dimensi tersebut harus mendapatkan perhatian seimbang, tidak dapat direduksikan satu sama lain (Hardiman, 1993: 115).

  Proses-proses belajar masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan berjalan bila prasyarat-prasyarat yang diperlukan dapat terpenuhi. Prasayarat tersebut adalah tersedianya kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan manusia untuk berbincang secara komunikatif. Menurut Habermas, mengacu pada terciptanya suatu suasana berbincang yang membuka peluang bagi masing-masing individu yang terlibat di dalamnya untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekhawatirannya tanpa ada tekanan (Ankersmit, 1987:34).

  Hubungan yang terjadi di sini adalah hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kedudukan sama dan bukan hubungan kekuasaan. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing pihak saling mengakui kebebasan lawan dialognya dan saling percaya. Keadaan inilah yang disebut dengan perbicangan rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan (Santoso, 2003: 237).

  Proses belajar atau rasionalisasi merupakan faktor utama yang menjadi pendorong bagi berlangsungnya evolusi sosial. Peran individu-individu dalam proses belajar masyarakat mempunyai arti yang sangat penting. Karena justru proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individulah yang mempunyai peran penting dalam perubahan masyarakat. Tanpa kemauan individu untuk berubah, maka masyarakat tidak akan berubah (Santoso, 2003: 237).

  Teori evolusi sosial Habermas mengurai sistem sosial atas paradigma ganda, yaitu paradigma ‘dunia kehidupan’ dan paradigma ‘sistem’. Sistem sosial sebagai dunia kehidupan dipahami sebagai sebuah dunia yang dihayati oleh para anggotanya yang terstruktur secara simbolis. Unsur-unsur itu meliputi struktur- struktur normatif dalam bentuk nilai-nilai dan institusi-institusi sebuah masyarakat. Adapun sistem sosial sebagai sebuah sistem lebih berkaitan dengan pengendalian sistem sosial tersebut. Caranya adalah dengan mengatasi berbagai masalah dari lingkungan yang berubah-ubah. Unsur-unsur sistem meliputi mekanisme pengendalian dan perluasan kemungkinan-kemungkinan perkembangan. Berkaitan dengan teori evolusi sosialnya ini, Habermas memandang bahwa kekuatan-kekuatan perubahan masyarakat secara historis terletak pada relasi-relasi yang berkembang antara perubahan-perubahan dalam dunia kehidupan dan perubahan dalam sistem (Ankersmit, 1987:117).

  Rasionalisasi Habermas terdapat dalam paradigma komunikasi, yaitu hubungan antarmanusia yang sama-sama berkedudukan sebagai subjek (sifat dialogal), sehingga terjadi pola ‘komunikasi emansipatoris’ (Santoso, 2003:238-239). Paradigma kerja oleh Habermas diganti dengan ‘paradigma komunikasi’. Implikasinya adalah praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif akan menghasilkan pencerahan (Hardiman, 1993:83).

  Proses rasionalisasi sebagai motor evolusi sosial ini dapat terjadi jika terdapat keadaan yang disebut oleh Habermas adalah perbincangan rasional dalam

  

komunikasi tanpa penguasaan . Perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa

  penguasaan adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia untuk berbincang secara komunikatif, yang menurut Habermas mengacu pada terciptanya suatu suasana berbincang yang membuka peluang bagi masing-masing individu yang terlibat di dalamnya untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekhawatirannya tanpa ada tekanan. Hubungan yang terjadi di sini adalah hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kedudukan sama dan bukan kedudukan kekuasaan. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing pihak saling mengakui kebebasan lawan dialognya dan saling percaya (Santoso, 2003:237).

  Strategi Habermas untuk menjalankan proses belajar masyarakat atau rasionalisasi dalam dimensi moral-teknis, yaitu dengan mengajukan konsep tindakan komunikatif. Rasionalitas yang melekat pada praktik komunikatif menjangkau spektrum yang lebih luas. Rasionalitas ini mengacu berbagai bentuk argumentasi sebagai kemungkinan untuk meneruskan tindakan komunikatif dengan cara-cara reflektif (Habermas, 1981: 12).

  Dengan mengeluarkan pernyataan atau melakukan tindakan, keduanya mengajukan klaim atau ekspresi simbolis. Klaim yang dapat dikritik dan dapat diperdebatkan, yaitu klaim yang berdasar. Refleksi itu ingin mendasarkan rasionalitas ekspresi pada kemungkinannya untuk dikritik dan punya dasar: suatu ekspresi dapat dikatakan memenuhi prasyarat rasionalitas jika dan selama dia mengandung pengetahuan bisa salah dan punya kaitan dengan dunia objektif (hubungan dengan fakta) serta terbuka terhadap penilaian objektif. Suatu penilaian dapat bersifat objektif jika dilakukan berdasarkan klaim validitas yang trans- subjektif yang memiliki arti sama bagi pengamat atau nonpartisipan (pihak luar yang tidak terlibat) sebagaimana bagi subjek yang bertindak itu sendiri.

  Kebenaran adalah contoh klaim yang valid ini (Habermas, 1981: 12).

  Sementara konsep tindakan komunikatif mengacu pada interaksi dari paling tidak dua orang subjek yang mampu berbicara dan bertindak membangun hubungan antarpersonal (apakah dengan cara verbal ataukah ekstra verbal). Aktor berusaha mencapai pemahaman tentang situasi tindakan dan rencana bertindak untuk mengkoordinasikan tindakan mereka melalui kesepakatan. Konsep interpretasi merujuk pada tawar-menawar tentang definisi situasi yang memungkinkan terjadi konsensus. Bahasa sangat penting dalam model ini (Habermas, 1981: 110).

  Habermas pun memiliki pengertian sendiri mengenai tindakan. Dia menggunakan istilah “tindakan” hanya untuk eskpresi-ekspresi simbolis yang dengannya aktor menciptakan hubungan paling tidak dengan satu dunia (sebagaimana juga dia selalu berhubungan dengan dunia objektif). Tentu saja, kita dapat membedakan gerak yang digunakan seorang subjek ketika melakukan intervensi ke dalam dunia (bertindak secara instrumental) yang darinya subjek melekatkan suatu makna (mengekspresikan diri secara komunikatif). Di kedua kasus, gerak badaniah menyebabkan suatu perubahan fisik di dunia; dalam kasus pertama dia memiliki relevansi secara kausal, dan pada kasus kedua, dia memiliki relevansi semantik. Contoh yang berasal dari gerak badaniah yang relevan secara semantik adalah gerak kerongkongan, lidah, bibir, dan lainnya dalam pembentukan bunyi fonetik (Habermas, 1981: 125).

  Bagi model tindakan komunikatif, bahasa hanya relevan dari sudut pandang pragmatis bahwa pembicara dalam menggunakan kalimat yang dimaksudkan untuk mencapai pemahaman, menciptakan hubungan dengan dunia, namun juga secara reflektif (Habermas, 1981: 128-129).

  Pencapaian pemahaman hanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengkoordinasikan tindakan ketika partisipan interaksi mencapai suatu kesepakatan terkait dengan klaim validitas terhadap tuturan yang mereka lakukan, yaitu dengan cara mengenali secara intersubjektif klaim validitas yang mereka ajukan secara timbal-balik. Seorang pembicara dapat mengajukan klaim yang dapat dikritik ketika mengaitkan ujaran ini paling tidak dengan satu “dunia”; dengan demikian dia menggunakan fakta bahwa relasi antara aktor dengan dunia pada dasarnya terbuka bagi pemahaman objektif dalam rangka mengajak orang- orang yang berseberangan dengannya untuk mengambil posisi yang didasarkan secara rasional (Habermas, 1981 : 129).

Dokumen yang terkait

Kekerasan personal terhadap tokoh utama, Mawa dalam novel Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta : sebuah tinjauan sosiologi sastra.

0 0 109

Masalah kemiskinan dalam novel 9 Summers 10 Autumns : dari Kota Apel ke The Big Apple karya Iwan Setyawan : suatu tinjauan sosiologi sastra dan implementasinya dalam materi pembelajaran sastra di SMA kelas XI.

2 52 241

Konflik batin tokoh Keenan dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari : tinjauan psikologi sastra dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMA.

2 39 157

Citra wanita Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini : tinjauan sosiologi sastra.

1 10 84

Kekerasan personal terhadap tokoh utama, Mawa dalam novel Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta sebuah tinjauan sosiologi sastra

0 9 107

Penyebab dan tipe kenakalan tokoh nayla dalam novel nayla karya Djenar Maesa Ayu tinjauan psikologi sastra - USD Repository

0 0 85

Kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi opera kecoa karya Norbertus Riantiarno tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 3 343

Analisis tokoh mika dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari menurut perspektif arketipe Carl Gustav Jung : sebuah kajian psikologi sastra - USD Repository

1 4 76

Pengabdian tokoh kuntara terhadap keluarga dalam novel saksi mata karya Suparto Brata : suatu tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 96

Pandangan-pandangan peran tokoh protagonis perempuan tentang poligami dalam skenario film Berbagi suami karya Nia Dinata : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 188