Studi Deskriptif Mengenai Derajat Optimisme Pada Ibu Anak Autistik di Kota Bandung (Studi Mengenai Derajat Optimisme Terhadap Hasil Terapi Pada Ibu Yang Anak Autistiknya Mengikuti Terapi di Beberapa Tempat Terapi di Kota Bandung).

(1)

iii

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Mengenai Derajat Optimisme pada Ibu dari Anak Autistik yang Mengikuti Terapi di Kota Bandung. Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai derajat optimisme dari ibu anak autistik yang mengikuti terapi di kota Bandung. Penelitian ini menggunakan metode survei dan ukuran sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak dua puluh orang.

Penjaringan dan penghimpunan data penelitian menggunakan kuesioner. Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang dibuat oleh peneliti berdasarkan dari alat ukur yang dibuat oleh Martin E. P. Selligman. Alat ukur yang dibuat terdiri dari 48 item. Validitas alat ukur menggunakan expert validity. Expert terdiri dari 3 orang dosen dari fakultas psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa didapati hasil yang merata untuk Optimistic Explanatory Style dan Pesimistic Explanantory Style dari dua puluh ibu dari anak auitistik.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lanjutan mengenai kaitan antara optimisme dengan factor-faktor yang mendukung. Saran lain yang diajukan peneliti adalah memberikan pengetahuan kepada praktisi-praktisi yang memberikan layanan terapi bahwa pentingnya sikap optimisme untuk dimiliki oleh ibu dari anak autistik, dan praktisi tersebut dapat membantu ibu dari anak autistik untuk mengembangkan sikap tersebut.


(2)

vii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman Judul………. i

Halaman Pengesahan……….. ii

Abstrak... iii

Kata Pengantar……… iv

Daftar Isi………... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………... 1

1.2.Identifikasi Masalah………...8

1.3.Maksud dan Tujuan Penelitian………... 8

1.3.1 Maksud Penelitian………...8

1.3.2 Tujuan Penelitian………...8

1.4. Kegunaan Penelitian………... 9

1.4.1. Kegunaan Teoritis………... 9

1.4.2. Kegunaan Praktis………...9

1.5. Kerangka Pemikiran………...9

1.6 Asumsi……….21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Optimisme...22

2.2. Autisme... 30

2.2.1. Pengertian Autisme... 30


(3)

viii

Universitas Kristen Maranatha

2.2.2.1. Masa bayi... 32

2.2.2.2. Usia 2-5 Tahun... 35

2.2.3. Gejala Autisme...36

2.2.4. Kesulitan-kesulitan Anak Autistik... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian………...41

3.2. Skema Kuesioner Penelitian………... 41

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………...42

3.3.1. Variabel Penelitian………...42

3.3.2. Definisi Konseptual………...42

3.3.3. Definisi Operasional...42

3.4. Alat Ukur………... 44

3.4.1. Kuesioner Optimisme………... 44

3.4.2. Prosedur Pengisian...45

3.4.3. Cara Penilaian………...46

3.4.4. Data Penunjang………...46

3.4.5. Validitas Alat Ukur………... 47

3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel………... 48

3.5.1. Populasi Sampel………... 48

3.5.2. Karakteristik Sampel………... 48

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel………... 48


(4)

ix

Universitas Kristen Maranatha BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Responden... 50

4.1.1. Usia Responden...50

4.1.2. Latar Belakang Pendidikan Responden...51

4.2. Hasil Penelitian...52

4.2.1. Explanatory Style...52

4.2.2. Analisis Explanatory Pada Tiap Dimensi...53

4.2.2.1. Bad Situation...53

4.2.2.2. Good Situation...54

4.3. Pembahasan...55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...61

5.2 Saran...61

5.2.1. Saran Teoritis... 61

5.2.2. Saran Praktis... 62

Daftar Pustaka………...63


(5)

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1 Usia Responden………... 50

Tabel 4.1.2 Latar Belakang Pendidikan Responden... 51

Tabel 4.2.1 Explanatory style...52

Tabel 4.2.2.1 Bad Situation... 53


(6)

xi

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Gambar 1.5 Bagan Kerangka Pikir... 20 Gambar 3.2 Bagan Prosedur Penelitian...42


(7)

xii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Letter of Consent Lampiran 2. Kerangka alat ukur

Lampiran 3. Data mentah alat ukur utama Lampiran 4. Data mentah data penunjang


(8)

(9)

LETTER OF CONSENT

Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama :

Usia : Alamat :

Menyatakan bersedia dengan sukarela untuk

 Membantu peneliti dalam menyusun penelitiannya yg berjudul “derajat optimisme ibu dari anak autistik di kota Bandung”

 Saya akan menjawab pertanyaan berupa kuesioner untuk memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti secara jujur dan terbuka untuk pengumpulan data.

 Saya berhak tidak menjawab dan menghentikan proses pengambilan data, apabila saya rasa peneliti tidak membuat saya nyaman.

 Saya tidak keberatan apabila ada data pribadi saya yg digunakan untuk kepentingan penelitian ini.

 Saya mengetahui bahwa hasil dari penelitian ini dijamin kerahasiaannya, hanya dipakai sebagai keperluan penelitian dan hanya diketahui peneliti dan dosen pembimbing.

Bandung,


(10)

IDENTITAS DIRI

Nama (inisial) :

Usia :

Pendidikan terakhir :

Status Marital : menikah/ janda Sekolah anak :

Tempat terapi :

Pilihlah salah satu pernyataan dari kedua pernyataan dibawah ini. Dalam menjawab, anda tidak perlu terburu-buru, karena tidak ada jawaban yang benar atau salah. Bacalah pernyataan dibawah ini dengan teliti dan bayangkan bahwa hal tersebut terjadi pada diri

anda, dan sebagian mungkin anda alami. Mungkin anda merasa pernyataan tersebut tidak sesuai dengan diri anda sendiri, tetapi anda harus memilih salah satu pernyataan.

Jawaban harap ditulis dilembar jawaban yang telah disediakan.

1. Anak saya mengalami banyak kemajuan selama menjalani terapi (PsG) a. Saya mengulang aktivitas terapi di luar jam terapi

b. Terapis yang menangani anak saya berusaha keras melatih anak saya

2. Anak saya dapat dilepas sendiri (minim pengawasan) ketika bepergian (PmG) a. Kadang-kadang anak saya bersikap tenang ketika bepergian

b. Anak saya seringkali bersikap tenang ketika bepergian

3. Anak saya tidak menunjukkan perubahan setelah menjalani terapi (PsB) a. Saya tidak konsisten menjalankan program terapi di rumah


(11)

4. Anak saya mau dan dapat memberikan respon ketika diberikan aktivitas (PsG) a. Saya melakukan program terapi ketika di rumah

b. Terapis berhasil memberikan treatment yang cocok untuk anak saya

5. Anak saya kurang baik dalam menulis (PmB) a. Kemampuan motorik anak saya buruk b. Kadang-kadang tulisan anak saya buruk

6. Anak saya dapat makan sendiri di meja makan (PvG) a. Anak saya mandiri ketika di rumah

b. Anak saya sudah mandiri di berbagai situasi

7. Anak saya mau menjawab “ya” atau “tidak” (PvG) a. Anak saya mau menjawab hanya pada hal tertentu saja b. Anak saya mau menjawab pada berbagai pertanyaan

8. Anak saya sulit untuk diatur (PvB)

a. Anak saya sulit diatur baik di rumah maupun di luar rumah b. Anak saya sulit diatur bila berada di tempat baru

9. Anak saya belum dapat menjawab “ya” atau “tidak” (PsB) a. Saya tidak melatihnya dengan giat

b. Terapis memberikan goal yang sangat sulit

10.Anak saya tidak marah-marah lagi ketika di sekolah (PmG) a. Anak saya terkadang dapat mengontrol emosinya b. Anak saya seringkali dapat mengontrol emosinya

11.Anak saya dapat memakai baju dan celana tanpa bantuan (PsG) a. Saya berusaha keras melatih anak saya supaya mandiri


(12)

12.Anak saya menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan (PsG) a. Saya mengulang terapi dengan sungguh-sungguh di rumah

b. Terapis anak saya sangat ahli

13.Anak saya takut ketika berada di tempat yang tinggi (PmB) a. Tempat yang tinggi menakutkan bagi anak saya

b. Terkadang anak saya berani berada di tempat yang tinggi

14.Anak saya dapat menangkap materi yang diajarkan ketika terapi (PmG) a. Anak saya berada dalam kondisi optimal ketika terapi

b. Daya tangkap anak saya telah berkembang

15.Anak saya dapat melakukan kontak mata dengan cukup baik (PmG)

a. Anak saya terkadang dapat melakukan kontak mata dengan teman bicaranya b. Anak saya seringkali dapat melakukan kontak mata dengan teman bicaranya

16.Anak saya mendapatkan hasil yang buruk ketika tes di sekolah (PvB) a. Anak saya gagal dalam semua kegiatan (akademis, sosial, motorik) b. Anak saya mengalami kesulitan dalam bidang akademis

17.Anak saya tidak menunjukkan kemajuan dalam komunikasi (PvB) a. Anak saya sulit berkomunikasi dengan semua orang

b. Anak saya sulit berkomunikasi dengan orang yangbelum dikenal

18.Anak saya tidak dapat menangkap materi yang diajarkan meskipun sudah diulang berkali-kali (PvB)

a. Anak saya memang kurang pandai

b. Anak saya memang sulit mengerti mengenai materi itu

19.Anak saya belum dapat memakai sepatu atau sandal sendiri (PsB) a. Saya memang tidak melatih kemandirian anak saya


(13)

20.Anak saya masih perlu dibantu untuk berpakaian (PmB) a. Sampai kapanpun anak saya perlu dibantu untuk berpakaian b. Bila dilatih dengan konsisten anak saya dapat berpakaian sendiri

21.Anak saya sulit mengikuti materi yang diberikan ketika terapi (PmB) a. Daya tangkap anak saya kurang baik

b. Daya tangkap anak saya terkadang kurang baik

22.Anak saya menolak ketika diajak belajar (PvB) a. Anak saya tidak menyukai belajar

b. Anak saya tidak menyukai pelajaran tertentu

23.Anak saya mulai dapat membaca (PsG)

a. Saya bekerja keras mengajari anak saya membaca ketika di rumah b. Guru di sekolah mengajarkan dengan cukup baik

24.Anak saya tidak tantrum ketika bermain dengan saya (PmG)

a. Anak saya sesekali dapat mengontrol emosinya ketika diajak bermain b. Anak saya seringkali dapat mengontrol emosinya ketika diajak bermain

25.Anak saya belum mengalami kemajuan dalam aktivitas motorik (PsB) a. Saya kurang sungguh-sungguh mengulang aktivitas terapi

b. Terapis kurang handal dalam menterapi anak saya

26.Anak saya mau mengikuti terapi sesuai jadwal (PmG) a. Beberapa hari ini suasana hati anak saya sedang baik b. Anak saya menyukai kegiatan saat terapi

27. Anak saya mengalami perkembangan yang cukup baik di tempat terapi yang anda pilih (PsG)

a. Pilihan saya memang tepat b. Tempat terapi itu memang bagus


(14)

28.Anak saya menunjukkan perkembangan dalam ketrampilan motorik halus (PvG) a. Dalam hal motorik, anak saya memiliki potensi yang baik

b. Anak saya memiliki potensi yang baik dalam banyak hal

29.Anak saya menunjukkan perilaku flapping (PmB) a. Kebiasaan itu tidak dapat dihilangkan

b. Hanya pada saat tertentu anak saya memunculkan perilaku tersebut

30.Anak saya suka melempar barang ketika marah (PsB) a. Saya seringkali mengabaikan perilaku tersebut

b. Terapis tidak memberikan treatment terhadap perilaku tersebut

31.Anak saya menunjukkan perkembangan yang lebih signifikan dibandingkan anak lain (PvG)

a. Hanya dalam hal tertentu saja anak saya berkembang baik

b. Menurut penilaian saya, anak saya akan terus berkembang baik di berbagai aspek kehidupannya

32.Pada suatu hari anak saya tidak mau diajak ke tempat terapi (PvB) a. Dia tidak mau pergi ke manapun hari itu

b. Dia terlalu dipaksa belajar hari itu

33.Ketika di sekolah anak saya seringkali terlihat melamun (PmB) a. Anak saya seringkali sulit mempertahankan atensinya b. Pada saat-saat tertentu anak saya mudah terdistraksi

34.Anak saya dapat mengikuti instruksi (PvG)

a. Anak saya dapat mengikuti instruksi dari terapis

b. Anak saya dapat mengikuti instruksi tidak hanya dari terapis tapi juga dari guru dan orang tua

35.Anak saya mau melakukan kontak mata saat berbicara (PvG) a. Hanya saat berada di tempat terapi


(15)

36.Anak saya tampak gembira ketika sedang terapi (PsG) a. Saya mendampinginya ketika sedang terapi

b. Terapis bersikap ramah

37.Anak saya mampu mengerjakan tugas sampai selesai (PvG) a. Anak saya mampu mengerjakan hanya tugas yang disukai b. Anak saya mampu mengerjakan semua tugas yang diberikan

38.Anak saya mau menunggu giliran ketika main bersama (PmG) a. Suasana hati anak saya sedang baik

b. Anak saya sudah mulai paham aturan yang berlaku

39.Anak saya mengalami cidera ketika mengulang program terapi di rumah (PsB) a. Saya tidak terampil dalam melakukan program tersebut

b. Kondisi rumah saya tidak mendukung untuk melakukan program terapi tersebut

40.Anak saya merespon ketika ada orang lain yang mengajak bermain (PmG) a. Anak saya terkadang merespon ketika diajak bermain

b. Ketrampilan sosial anak saya sudah lebih baik

41.Hambatan yang ada pada anak saya bertambah parah (PsB) a. Saya tidak melakukan program terapi dengan baik dirumah

b. Terapi yang dilakukan saat ini tidak membantu perkembangan anak saya

42.Anak saya tantrum ketika diajak ke tempat yang baru (PmB) a. Anak saya tidak menyukai tempat yang baru

b. Anak saya butuh waktu untuk mentolerir tempat baru

43.Anak saya mengalami kemajuan dalam terapi (PvG) a. Anak saya mengalami kemajuan dalam satu bidang b. Anak saya mengalami kemajuan dalam berbagai bidang


(16)

44.Anak saya butuh bantuan untuk melakukan kegiatan bersih diri (mandi, BAK, BAB) (PvB)

a. Anak saya butuh bantuan dalam segala kegiatan

b. Anak saya hanya butuh bantuan dalam kegiatan bersih diri

45.Anak saya mengalami perkembangan yang cukup baik (PsG) a. Saya melatihnya dengan rajin di rumah

b. Terapis anak saya memang hebat

46.Anak saya masih sulit untuk berkomunikasi dengan baik (PmB) a. Anak saya belum memahami tata cara berkomunikasi

b. Hanya pada saat tertentu saja anak saya sulit berkomunikasi

47.Anak saya seringkali mengamuk / marah ketika berada di tempat terapi (PsB) a. Saya terlalu memaksa anak saya ketika di tempat terapi

b. Lingkungan tempat terapi memang tidak mendukung

48.Anak saya tidak merespon ketika di panggil guru (PvB) a. Anak saya belum dapat merespon siapa pun


(17)

Data penunjang bentuk kuesioner :

Kondisi anak autistik (seberapa parah):

1. Kemampuan anak anda utuk belajar ketika diberikan aktivitas pada saat terapi …………..

a. Mampu mengikuti b. kadang mampu kadang tidak c. tidak mampu mengikuti

2. Kondisi atau derajat autism anak anda tergolong ……….. a. parah b. sedang c. tidak parah

Harapan lingkungan (terhadap peran anda kepada anak anda):

1. Apa harapan keluarga terhadap anda

... ... ... ...

2. Harapan tersebut menurut anda berdampak apa

a. Memberatkan b. Biasa saja c. Mendukung 3. Apa harapan lingkungan di luar keluarga anda terhadap anda

... ... ... ...

4. Harapan tersebut menurut anda berdampak apa a. Memberatkan b. Biasa saja c. Mendukung

Explanatory style ibu subjek:

1. Bagaimana pandangan ibu anda terhadap masalah-masalah dalam kehidupan a. Pada dasarnya semua masalah bisa diatasi asalkan mau berusaha

b. Ada masalah yang dapat diatasi, ada yang tidak


(18)

Masa krisis subjek:

Apakah ketika kecil anda pernah mengalami hal-hal di bawah ini (beri tanda checklist, boleh pilih lebih dari satu):

 Orangtua meninggal

 Orangtua bercerai

 Anggota keluarga yang disayangi meninggal

 Orangtua sakit keras

 Kondisi keuangan sangat kurang

Kondisi ekonomi

1. Menurut anda, bagaimana kondisi ekonomi keluarga anda saat ini a. Menengah ke bawah

b. Menengah c. Menengah ke atas


(19)

Data Penunjang

1. Kemampuan anak mengikuti instruksi yang diberikan

Responden Mampu Terkadang Tidak Mampu

Optimis 7 (70%) 3 (30%) 0 (0%) Pesimis 2 (20%) 6 (60%) 2 (20%)

Penghayatan ibu terhadap kondisi anaknya

Responden Parah Sedang Tidak Parah

Optimis 1 (10%) 5 (50%) 4 (40%)

Pesimis 3 (30%) 7 (70%) 1 (10%)

2. Keadaan Ekonomi

Responden Menengah

ke atas

Menengah Menengah ke bawah

Optimis 0 (0%) 1 (10%) 4 (40%)

Pesimis 1 (10%) 6 (60%) 3 (30%)

3. Masa Krisis Subjek

 Orang tua meninggal ( optimis = 11; pesimis = 1)

 Orang tua bercerai (optimis = 1; pesimis = 11)

 Anggota keluarga yang disayangi meninggal (optimis = 1; pesimis = 11)

 Orang tua sakit keras (optimis = 0; pesimis = 0)

 Kondisi keuangan sangat kurang (optimis = 11; pesimis = 0) 4. Explanatory Style Ibu Subjek

Responden Masalah bisa diatasi asalkan mau berusaha

Ada masalah yang dapat diatasi dan ada yang tidak

Perlu bantuan orang lain untuk mengatasi masalah

Optimis 8 (80%) 1 (10%) 1 (10%)

Pesimis 6 (60%) 2 (20%) 1 (10%)

5. Harapan Lingkungan

 Harapan Keluarga

Responden Tidak

Didukung

Biasa Didukung

Optimis 0 (0%) 1 (10%) 9 (90%)


(20)

# Lebih sabar, rajin melatih ketrampilan anak (Optimis = 5; Pesimis = 6) # Mengembangkan potensi anak (Optimis = 5; Pesimis = 3)

# Lebih komunikatif (Optimis = 0; Pesimis = 1)

 Harapan Lingkungan Luar

Responden Tidak

Didukung

Biasa Didukung

Optimis 1 (10%) 3 (30%) 6 (60%)

Pesimis 2 (20%) 0 (0%) 8 (80%)

# Mempersiapkan masa depan (Optimis = 2; Pesimis = 6)

# Mempertajam kemampuan yang ada saat ini (Optimis = 3; Pesimis = 2) # Lebih santai, tidak stress (Optimis = 3; Pesimis =1)

# Tidak perlu berharap banyak (Optimis = 1; Pesimis = 1) # Sembuh dari autism (Optimis = 1; Pesimis = 0)


(21)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang meluas, meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah ditemukan oleh Leo Kanner sejak tahun 1943. Ciri-ciri gangguan autisme ini mirip dengan ciri-ciri keterlambatan perkembangan pada anak sehingga banyak masyarakat awam bahkan psikolog maupun dokter yang salah mendiagnosa gangguan tersebut. Ciri autisme yang paling menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan tidak memberikan respon bila dipanggil namanya (Majalah Nakita, Menangani Anak Autis, 2000).

Jumlah anak autistik sendiri di Indonesia tampak meningkat pesat terutama sejak 1994. Pada 2004, tercatat sekitar 475 ribu anak autistik di Indonesia. Orangtua perlu waspada karena diperkirakan satu dari sekitar 150 bayi yang lahir terkena autisme. Dari sejak dini orangtua diharapkan bisa melakukan deteksi dini pada anaknya supaya penanganan pada anaknya tidak terlambat. Umumnya orangtua berada dalam kondisi yang sedih, shock, dan kebingungan ketika anaknya dijatuhkan diagnosa autistik, bahkan ada beberapa orangtua yang melakukan penyangkalan bahwa anaknya bukan anak autistik. Hal ini dikarenakan autisme itu sendiri sudah


(22)

2

Universitas Kristen Maranatha menjadi sebuah gangguan yang menakutkan bagi orangtua. (www.kesehatan.liputan6.com).

Anak-anak autistik menunjukkan gejala yang kompleks dan karakteristik yang berbeda-beda. Autisme pada anak ditandai dengan kurangnya kemampuan komunikasi, kurang bahkan tidak adanya kontak mata, munculnya tingkah laku repetitif, gangguan tingkah laku (hiperactivity maupun deficient activity), dan gangguan dalam interaksi sosial. Anak-anak autistik mengalami beberapa kesulitan seperti kesulitan memahami pembicaraan, berbicara, memperhatikan, memahami bahasa tubuh. Autisme merupakan gangguan yang tidak dapat disembuhkan, namun bisa diterapi dengan tujuan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh anak. Gejala yang ada dapat dikurangi sehingga kualitas hidup anak autistik dapat meningkat dan potensinya dapat berkembang optimal.

Karena anak autistik memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka terapi yang diberikan dapat berbeda untuk setiap anak, disesuaikan dengan karakteristik anak. Karakteristik yang dimaksud adalah tingkat keparahan anak, gejala-gejala yang dimunculkan oleh anak, seperti kurangnya kontak mata, tidak merespon ketika dipanggil, dan kurangnya kemampuan verbal. Terdapat bermacam-macam jenis terapi untuk anak autistik diantaranya terapi ABA, yaitu terapi yang menggunakan metode tata-laksana perilaku untuk mengubah perilaku yang tidak diinginkan menjadi perilaku yang bisa diterima oleh masyarakat. Terapi sensori integrasi, yaitu terapi yang ditujukan untuk membantu anak agar dapat mengolah stimulus yang ada di


(23)

3

Universitas Kristen Maranatha lingkungan dengan baik. Terapi wicara, yaitu terapi yang ditujukan untuk membantu anak mengatasi kesulitan berkomunikasi dan gangguan berbahasa. Terapi okupasi, yaitu terapi yang menekankan proses sensomotorik dan neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi lingkungan sehingga tercapai peningkatan dan perbaikan kemampuan anak (www.autismawareness.com).

Terapi terhadap anak autistik membutuhkan waktu yang lama karena keterbatasan yang dimiliki anak autistik seperti kesulitan komunikasi dan sangat kurangnya perhatian anak terhadap sekelilingnya, sehingga sulit bagi anak untuk menerima pengarahan. Kemajuan pada diri anak autistik yang mengikuti terapi belum tentu dapat segera terlihat. Setelah kemajuan dalam diri anak autistik terlihat, mungkin saja kondisi tersebut dapat kembali menurun karena kondisi anak autistik tidak selalu konstan (www.balipost.com).

Menangani anak autistik memang memiliki fenomena dan dinamika tersendiri, tanpa terkecuali baik bagi para orangtua, ahli dokter, psikolog, dan terapis. Pemahaman dan kesabaran tentu sangat diperlukan demi pencapaian hasil maksimal dalam menangani anak autistik. Untuk mendapatkan hasil yang baik anak autistik memerlukan perhatian ekstra dari ibu untuk memberi stimulasi kepada anak untuk mengoptimalkan perkembangan potensialnya. Ibu harus bersikap lebih sabar untuk membimbing anak dalam berkomunikasi. Ibu memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak, mereka perlu menyadari dan paham betul tentang apa yang tengah terjadi pada anak mereka yang autistik. Selain memiliki


(24)

4

Universitas Kristen Maranatha kesabaran, ibu juga harus mempunyai optimisme yang tinggi terhadap anaknya. Dengan adanya optimisme yang tinggi ibu menjadi yakin di dalam membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dimiliki oleh anaknya (www. writeaboutthingsyouknow.blogspot.com).

Seligman (1990) mengungkapkan bahwa optimisme merupakan sikap individu dalam menghadapi keadaan, baik keadaan yang baik (good situation) maupun keadaan yang buruk (bad situation). Karakteristik ibu yang mempunyai optimisme yang tinggi adalah percaya bahwa kesulitan yang dialami hanya sementara, terjadi pada peristiwa tertentu saja, dan keadaan di luar dirinya (lingkungan) adalah salah satu penyebab dari terjadinya kesulitan tersebut dan situasi buruk yang terjadi merupakan suatu tantangan.

Orang yang optimistik, kehidupannya didominasi oleh pikirannya yang positif, berani mengambil resiko, setiap mengambil keputusan penuh dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang mantap. Sebaliknya, orang yang pesimistik, kehidupannya lebih banyak dikuasai oleh pikiran yang negatif, hidup penuh kebimbangan dan keraguan, tidak yakin pada kemampuan diri sendiri, mudah putus asa kalau menemui kesulitan (www.pembelajar.com).

Berdasarkan penelitiannya, Seligman (Lestari, 2002) mendapatkan bukti bahwa cara berpikir optimistik ini dapat memberikan kontribusi yang positif , yaitu meningkatkan kepercayaan diri, harga diri, kesehatan tubuh, sistem kekebalan, kebiasaan hidup sehat, membuat hidup lebih lama, serta dapat mengurangi sikap


(25)

5

Universitas Kristen Maranatha

pesimistik, depresi dan infeksi dalam tubuh.

Menurut Alisjahbana (Adiwitanti, 2006), pemanfaatan sarana kesehatan sangat tergantung pada faktor di dalam keluarga. Pada waktu proses pengambilan keputusan untuk langsung berobat ke dokter atau rumah sakit, peran ibu cukup penting . Ibu memiliki peranan dalam memonitor dan membuat keputusan yang penting yang berkaitan dengan perawatan terapi bagi anaknya yang didiagnosa sebagai anak autistik.

Optimisme dapat dilihat melalui tiga dimensi yaitu permanency yang menunjukkan apakah suatu kejadian yang dialami ibu akan menetap atau hanya sementara seperti misalnya ibu berpendapat bahwa kekurangan yang ada pada diri anaknya hanya sementara dan dapat diperbaiki. Kemudian pervasiveness yang menunjukkan ruang lingkup dari kejadian yang dialami apakah menyeluruh atau hanya sebagian seperti misalnya apakah dengan mempunyai anak autistik akan mempengaruhi hidup ibu secara keseluruhan atau tidak, dan dimensi yang ketiga adalah personalization yang menunjukkan penyebab suatu kejadian apakah dirinya sendiri atau faktor luar seperti misalnya kemunduran yang dialami oleh anaknya disebabkan oleh ibu atau oleh faktor-faktor eksternal. (Seligman, 1990)

Anggota keluarga yang akan terlibat di dalam upaya mengembangkan anak autistik sebaiknya memiliki motivasi yang besar, dan menyediakan waktu secara sukarela. Mereka cenderung menangani anak mulai anak bangun pagi sampai anak tidur kembali, karena anak-anak ini tidak boleh berada sendirian dan perlu untuk


(26)

6

Universitas Kristen Maranatha selalu ditemani secara interaktif (diajak bermain atau dilakukan pengulangan program terapi). Apabila ibu tidak mempunyai motivasi yang tinggi, mereka tidak akan mau melakukan itu semua. Motivasi itu didukung dengan adanya optimisme ibu terhadap kemajuan anaknya (Autisma, 2003).

Ibu harus merasa yakin dengan keadaan yang dihadapinya bahwa anak autistik dapat berubah dan mengalami kemajuan sesuai harapan. Dengan optimisme yang dimiliki ibu, kemungkinan untuk timbulnya frustrasi, stres dan putus asa selama menghadapi anak autistik dengan kebutuhan-kebutuhan yang unik ini akan semakin kecil. Diharapkan ibu selalu berpandangan positif terhadap anaknya dan terhadap situasi yang dialami, serta memiliki keyakinan yang besar bahwa terapi yang diberikan kepada anaknya dapat membuat anaknya berkembang ke arah yang lebih positif. Sikap optimistik akan disertai kegigihan dari ibu dalam menghadapi situasi yang tidak menguntungkan serta memiliki kemampuan untuk berjuang mengatasi kesulitan.

Apabila ibu mempunyai sikap pesimistik di dalam menghadapi keadaan anaknya, maka akan lebih besar kemungkinan untuk timbul frustrasi, stres, dan putus asa di dalam menghadapi kondisi, perubahan, dan kemunduran anak autistik. Hal ini akan berdampak pada kemajuan anak autistik itu sendiri, karena upaya-upaya yang dilakukan oleh ibu tidak akan optimal sehingga kemajuan yang ditunjukkan oleh anak autistik tidak akan signifikan. Bila ibu merasa frustrasi maka ia akan merasa tidak ada gunanya melakukan terapi sehingga membawa kemunduran bagi anaknya, selain itu


(27)

7

Universitas Kristen Maranatha ibu merasa kesulitan yang dialami oleh anaknya tidak akan berubah sehingga ibu tidak termotivasi untuk mengungkapkan perbaikan bagi anaknya.

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, peneliti melakukan survei awal kepada tiga ibu anak autistik yang mengikuti terapi. Ibu A dan B berpendapat bahwa anaknya akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik meskipun membutuhkan waktu yang lama dan memakan biaya yang besar, ibu A mengatakan bahwa saat ini anaknya mengalami kemajuan pesat dibandingkan sebelum melakukan terapi, ibu B mengatakan bahwa anaknya pasti akan mengalami kemajuan setelah mengikuti terapi, mereka berkeyakinan bahwa kondisi anaknya yang sekarang hanya sementara dan dapat berubah (permanence). Ibu C merasa kondisi anaknya sulit berubah karena merasa tidak ada kemajuan selama ini setelah sekian lama terapi (permanence). Ibu A dan B merasa apabila ada kemunduran anak lebih diakibatkan karena ketidakcocokan terapi dengan kondisi anak (personalization). Ibu C merasa kemunduran disebabkan kesibukan ibu atau orang-orang yang ada di rumah sehingga tidak sempat menerapkan program terapi di rumah (personalization). Tiga ibu mengatakan bahwa kemunduran yang dialami oleh anaknya cukup mempengaruhi kehidupan sehari-harinya, ibu A dan C mengatakan bahwa pekerjaannya menjadi terganggu karena hal tersebut (pervasiveness). Sedangkan ibu B mengatakan bahwa pekerjaannya tidak terganggu (pervasiveness).


(28)

8

Universitas Kristen Maranatha Dari hasil survei tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui derajat optimisme pada ibu anak autistik yang mengikuti terapi, karena optimisme merupakan hal yang penting di dalam mendukung kemajuan anak autistik.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah bagaimana derajat optimisme ibu anak autistik mengenai hasil terapi anaknya yang mengikuti terapi di beberapa tempat di kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat optimisme ibu anak autistik yang mengikuti terapi di kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Memberikan gambaran mengenai derajat optimisme ibu anak autistik berdasarkan dimensi-dimensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi.


(29)

9

Universitas Kristen Maranatha

1.4 Kegunaan penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

 Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai optimisme, terutama optimisme pada ibu anak autistik.

 Memberikan informasi bagi ilmu psikologi khususnya bidang psikologi klinis mengenai optimisme ibu anak autistik.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberi informasi kepada para ibu mengenai derajat optimisme yang dimiliki ibu mengenai hasil terapi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan diri sebagai ibu anak autistik.  Memberi informasi kepada para terapis yang menangani anak autistik

mengenai pentingnya derajat optimisme ibu, sehingga dapat memberikan dukungan kepada ibu anak autistik supaya dapat lebih optimis.

1.5 Kerangka Pikir

Autistik merupakan suatu gangguan perkembangan meluas, meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) dengan karakteristik yang berbeda pada setiap anak. Karakteristik anak autistik dapat dilihat dengan munculnya gangguan dalam berkomunikasi, tidak adanya kontak mata, menunjukkan tingkah laku repetitif, gangguan emosi. Beberapa anak autistik menunjukkan respons


(30)

10

Universitas Kristen Maranatha berlebihan terhadap suara keras, namun hal tersebut tidak tampak pada anak autistik lainnya. Anak autistik lain merasa tidak suka bila dipeluk oleh ibunya, dan anak lainnya lagi sering menggigit-gigit benda di sekitarnya, dan menunjukkan perilaku hiperaktif, sementara anak yang lain lagi selalu diam dan menyendiri. Kalaupun karakteristik yang dimunculkan sama, intensitasnya mungkin saja berbeda. Perbedaan gejala pada setiap anak autistik memerlukan terapi yang berbeda pula bagi setiap anak, tidak ada terapi yang paling tepat untuk seluruh anak autistik (Handojo, 2003).

Terapi dilakukan oleh para profesional yang merupakan suatu tim yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak, terapis wicara, terapis perilaku dan pendidik. Dari pihak orangtua, dibutuhkan kemauan yang kuat untuk secara konsisten mengupayakan terapi bagi anaknya. Kondisi anak-anak autistik cenderung fluktuatif dan tidak mudah diarahkan, serta keadaan anak autistik tidak dapat disembuhkan, melainkan hanya dapat diarahkan, dan diperbaiki sehingga dapat berkembang dan berelasi layaknya anak-anak normal. Untuk menghadapi keadaan-keadaan yang sulit bahkan kurang menguntungkan ini dibutuhkan optimisme yang tinggi pada diri orangtua anak autistik.

Optimisme ibu anak autistik dapat dilihat dari kebiasaan (habit) yang terbentuk dalam berpikir suatu peristiwa pada kehidupannya yang disebut sebagai explanatory style (Seligman,1990). Explanatory style tidak diturunkan melainkan dipelajari seiring dengan pengalaman kehidupan ibu. Menurut Seligman, explanatory style memiliki tiga dimensi yakni Permanence, Pervasiveness, dan Personalization.


(31)

11

Universitas Kristen Maranatha Tiga dimensi tersebut digunakan dalam berpikir mengenai sebab dari situasi atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Pada setiap dimensi, akan mengena pada dua situasi, yaitu good situation dan bad situation. Good situation yang dihadapi ibu anak autistik adalah adanya kemajuan terapi pada anak, seperti sudah dapat mengerti instruksi sederhana, perkembangan motorik kasar. Sedangkan bad situation adalah belum adanya kemajuan dari hasil terapi pada anak, seperti masih kurangnya kontak mata, kurangnya kemampuan bersosialisasi.

Dimensi pertama adalah permanence. Permanence berkenaan dengan hal waktu, apakah hasil dari terapi akan bersifat menetap atau hanya sementara. Dimensi ini dapat terlihat dari cara berpikir Ibu mengenai hasil dari terapi pada anaknya yang autistik, apakah akan bersifat menetap atau sementara. Pada good situation, ibu yang optimistik akan berpikir kemajuan terapi pada anak bersifat permanen (PmG-permanent) misalnya anaknya sudah bisa memberi salam pada orang lain, maka Ibu akan berpikir kemampuan tersebut akan menetap. Sedangkan, ibu yang pesimistik akan berpikir kemajuan yang tampak dalam diri anak hanya bersifat sementara (PmG-temporary) misalnya anaknya sudah bisa makan di meja makan, ibunya akan berpikir kemampuan ini tidak akan berlangsung lama. Pada bad situation, ibu yang optimistik akan berpikir belum adanya kemajuan yang tampak dalam diri anak hanya bersifat sementara (PmB-temporary) misalnya anaknya masih belum dapat memberi salam pada orang lain, ibunya akan berpikir suatu saat nanti anaknya akan bisa memberi salam. Sedangkan ibu yang pesimistik akan berpikir kemajuan yang belum tampak


(32)

12

Universitas Kristen Maranatha pada diri anak bersifat permanen (PmB-permanent) misalnya anaknya belum dapat makan di meja makan, ibunya akan berpikir bahwa sampai kapanpun anaknya tidak akan bisa makan di meja makan.

Dimensi pervasiveness menjelaskan tentang ruang lingkup dari peristiwa, apakah Ibu berpikir hasil terapi anaknya, bersifat menyeluruh, dan mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan anak (Universal) atau khusus dan tidak mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan anak (Specific). Pada good situation, ibu yang optimistik akan berpikir bahwa ketika anak sudah mengalami kemajuan, hal tersebut akan berdampak pada aspek lain dalam kehidupan anak (PvG-universal), seperti anak menjadi lebih bersemangat dalam menulis karena adanya kemajuan dalam motorik halusnya. Sedangkan ibu yang pesimistik akan berpikir bahwa kemajuan yang sudah tampak dalam diri anak, tidak akan mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan anak (PvG-specific), seperti misalnya anak tidak menjadi semangat dalam kegiatan menulis meskupun sudah maju dalam motorik halusnya. Pada bad situation, ibu yang optimistik akan berpikir bahwa belum adanya kemajuan pada diri anak tidak akan mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan anak (PvB-specific), seperti anak tetap bisa beraktifitas seperti biasa meski anak belum mengalami kemajuan dalam terapinya. Sedangkan ibu yang pesimistik akan berpikir belum adanya kemajuan pada diri anak akan mempengaruhi aspek lain dalam kehidupan anak (PvB-universal), seperti anak menjadi malas untuk belajar, malas untuk mengikuti terapi karena merasa bosan.


(33)

13

Universitas Kristen Maranatha Dimensi ketiga yaitu personalization, menggambarkan penyebab suatu keadaan, apakah bersifat internal (yaitu, diri ibu sendiri) atau eksternal (yaitu pihak luar, seperti terapis, suami, dan sarana lainnya). Dalam penelitian ini, pada good situation, ibu yang optimistik akan berpikir bahwa penyebab kemajuan terapi anaknya adalah dirinya sendiri, yaitu ibu (PsG-internal) karena ibu yang terus melatihkan anaknya di rumah dan rajin mengantarkan ke tempat terapi. Sedangkan ibu yang pesimistik akan berpikir bahwa penyebab anaknya mengalami kemajuan adalah orang lain, seperti terapis, suami, dan sarana lainnya (PsG-External), karena ibu berpikir bahwa orang lainlah yang berperan penting dalam kemajuan terapi anak. Pada bad situation, ibu yang pesimistik akan berpikir bahwa penyebab dari belum terlihatnya hasil terapi, adalah dirinya sendiri (PsB-internal), seperti ibu berpikir bahwa dirinya kurang berusaha melatihkan anaknya di rumah. Sedangkan, ibu yang optimistik berpikir penyebab anaknya belum mengalami kemajuan setelah menjalani terapi adalah orang lain, seperti terapis, suami, dan sarana lainnya (PsB-External), seperti suami yang kurang menyiapkan sarana sehingga anak belum mengalami kemajuan.

Menurut Martin E.P Seligman (1990), karakterisitik individu yang optimistik adalah individu yang berpikir bahwa kejadian buruk yang dialami hanya bersifat sementara, berpengaruh pada peristiwa tertentu saja, dan disebabkan oleh hal di luar dirinya (lingkungan). Bila diterapkan pada ibu anak autistik, bila ibu melihat anaknya belum menunjukkan kemajuan setelah menjalani terapi dalam waktu tertentu, ibu


(34)

14

Universitas Kristen Maranatha berpikir bahwa hal itu hanya bersifat sementara, pada suatu saat kelak anaknya akan mengalami perkembangan yang positif. Selain itu ibu juga memandang belum terlihatnya perkembangan pada anak terbatas pada aspek tertentu saja, misalnya kontak sosial, sedangkan kemampuan motoriknya tidak akan terpengaruh. Ibu yang optimistik ini juga melihat kondisi anaknya itu bukan karena kesalahannya, melainkan lebih disebabkan oleh kekurangcocokkan terapi yang diterapkan bagi anaknya, atau terapis yang kurang terampil, atau hal-hal lain di luar dirinya. Sedangkan pada kejadian baik, individu yang optimistik akan berpikir bahwa kejadian baik akan bersifat permanen, mempengaruhi aspek-aspek lain dalam kehidupan dan disebabkan oleh diri individu itu sendiri. Bila diterapkan pada ibu anak autistik, bila ibu melihat anaknya sudah menunjukkan kemajuan setelah menjalani terapi dalam waktu tertentu, ibu berpikir bahwa hal itu bersifat menetap, pada suatu saat kelak anaknya tidak akan mengalami penurunan. Selain itu ibu juga memandang sudah terlihatnya perkembangan pada anak akan mempengaruhi aspek yang lain, misalnya kontak sosial, akan ikut mempengaruhi kemajuan kemampuan verbalnya. Ibu yang optimistik ini juga melihat kondisi anaknya itu karena dirinya, bukan disebabkan oleh kecocokkan terapi yang diterapkan bagi anaknya, atau terapis yang terampil, atau hal-hal lain di luar dirinya. Karakteristik individu yang pesimistik adalah individu yang berpikir bahwa kejadian buruk yang dialami bersifat permanen, terjadi pada semua aspek dalam hidupnya dan disebabkan oleh dirinya sendiri. Bila diterapkan pada ibu anak autistik, bila ibu melihat anaknya belum menunjukkan


(35)

15

Universitas Kristen Maranatha kemajuan setelah menjalani terapi dalam waktu tertentu, ibu berpikir bahwa hal itu bersifat menetap, anaknya tidak akan mengalami perkembangan yang positif. Selain itu ibu juga memandang belum terlihatnya perkembangan pada anak akan mempengaruhi aspek yang lain, misalnya kontak sosial, akan ikut mempengaruhi kemampuan verbalnya. Ibu yang pesimistik melihat kondisi anaknya itu karena kesalahannya, bukan disebabkan oleh kekurangcocokkan terapi yang diterapkan bagi anaknya, atau terapis yang kurang terampil, atau hal-hal lain di luar dirinya. Sedangkan pada kejadian baik, individu yang pesimistik akan berpikir bahwa kejadian baik bersifat sementara, pada peristiwa tertentu saja dan disebabkan oleh hal-hal yang ada di luar dirinya sendiri, seperti lingkungan. Bila diterapkan pada ibu anak autistik, bila ibu melihat anaknya sudah menunjukkan kemajuan setelah menjalani terapi dalam waktu tertentu, ibu berpikir bahwa hal itu hanya bersifat sementara, pada suatu saat kelak anaknya akan mengalami perkembangan yang negatif. Selain itu ibu juga memandang sudah terlihatnya perkembangan pada anak terbatas pada aspek tertentu saja, misalnya kontak sosial, sedangkan kemampuan motoriknya tidak akan terpengaruh. Ibu yang pesimistik ini juga melihat kondisi anaknya itu bukan karena dirinya, melainkan lebih disebabkan oleh kecocokkan terapi yang diterapkan bagi anaknya, atau terapis yang terampil, atau hal-hal lain di luar dirinya.

Seligman (1990) mengungkapkan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan optimisme yaitu mother’s explanatory style, kritik dari orang dewasa,


(36)

16

Universitas Kristen Maranatha dan life crisis. Faktor pertama adalah mother’s explanatory style yaitu cara berpikir ibu dari ibu yang memiliki anak autistik (selanjutnya disebut dengan X), untuk menerangkan kepada dirinya sendiri mengapa suatu peristiwa bisa terjadi. Pertama kali, ketika kecil seorang anak akan mempelajari cara pandang ibu yang mengasuhnya, saat menghadapi suatu persoalan. Anak akan mendengarkan dengan teliti apa yang dikatakan ibunya dan karena perkataan ibunya didengar oleh anak setiap hari dan berulang-ulang, akan mempengaruhi explanatory style anak.

Ketika X memiliki masalah, anaknya (ibu anak autistik) mencermati cara berpikir X dalam menghadapi masalah. Jika dalam menghadapi masalah X terlihat menyikapi bahwa masalah tersebut tidak akan dapat diselesaikan, akan mempengaruhi aspek kehidupan yang lain dan X menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kemunculan masalah tersebut, maka X memiliki cara berpikir pesimistik. Misalnya X berkata “Saya selalu mengalami masalah”. Kata ‘selalu’ merupakan sesuatu yang bersifat permanent (permanence), ‘masalah’ mengesankan semua situasi (pervasiveness) dan kata ‘saya’ menunjukkan bahwa X menyadari bahwa dirinyalah penyebab masalah itu ada (personalization). Dalam hal ini, ibu akan mendengar pandangan X bahwa bad situation bersifat permanent, universal dan internal.

Tetapi, jika X dalam menghadapi masalah berpikir bahwa masalah tersebut dapat diselesaikan, tidak mempengaruhi aspek kehidupan yang lain dan X tidak menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kemunculan masalah tersebut, berarti X memiliki cara berpikir optimistik. Dalam menghadapi masalah, misalnya : X


(37)

17

Universitas Kristen Maranatha berkata “Saya bisa menyelesaikan masalah ini”. Kata “masalah ini” mengesankan dimensi pervasiveness yang berarti spesifik, kata “menyelesaikan” berarti X menganggap masalah yang ia hadapi bersifat sementara dan bisa diselesaikan, dan kata “saya bisa” berarti X menyatakan dirinyalah penyebab masalah bisa diselesaikan. Dalam hal ini, ibu akan mendengar pandangan X bahwa bad situation, bersifat temporary, specific dan external.

Cara berpikir X ini, akan dilihat, diadopsi, dan diinternalisasi oleh ibu dalam menghadapi masalahnya. Jika X berpikir optimistik dalam menghadapi masalah, ibu juga akan berpikir bahwa setiap masalah yang ia hadapi akan bisa diselesaikan, tidak mempengaruhi aspek lain dalam hidupnya dan Ibu tidak menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kemunculan masalah tersebut. Dalam hal ini, ibu cenderung akan memiliki cara berpikir optimistik dalam menghadapi masalahnya. Sebaliknya, jika X berpikir pesimistik, maka ketika ibu menghadapi masalah, ibu berpikir masalah tersebut tidak bisa diselesaikan, akan mempengaruhi aspek lain dan ibu akan menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kemunculan masalah tersebut. Dalam hal ini, ibu cenderung akan memiliki cara berpikir pesimistik. Ketika ibu beranjak dewasa, ibu akan tumbuh dengan cara berpikir sebelumnya yang sudah ia internalisasi dari X dalam menghadapi masalah. Cara berpikir tersebut akan ikut berpengaruh ketika ibu menghadapi kondisi anaknya yang menderita autisme.

Faktor kedua adalah kritik yang diberikan oleh orang dewasa, khususnya significant person. Ketika Ibu melakukan kesalahan, lingkungan umumnya akan


(38)

18

Universitas Kristen Maranatha memberi feedback. Dalam feedback tersebut, akan terkandung kritik positif dan kritik negatif. Ibu mendengarkan bukan hanya isi kritikan, melainkan bentuk kritikannya, bukan hanya apa yang orang dewasa katakan kepada mereka, tetapi bagaimana cara orang dewasa mengatakannya. Kritik tersebut akan mempengaruhi pembentukan explanatory style dirinya. Contohnya ketika masih kecil, ibu mendapat nilai jelek di pelajaran matematika. Gurunya, yang merupakan significant person dalam konteks akademik, memberi komentar bahwa ia bodoh. Kritik tersebut menunjukkan bahwa bad situation yang dialami bersifat menetap (permanence-permanent) dan disebabkan oleh diri sendiri (personalization-internal). Secara tidak langsung kritik itu juga membuat ibu menyimpulkan bahwa kebodohan dirinya akan membuatnya juga gagal di bidang-bidang lain (pervasiveness-universal). Tetapi jika ibu yang mengalami kegagalan diberi kritik positif dari lingkungannya, seperti “Lain kali kamu pasti bisa mendapat nilai bagus”, maka ibu berpikir bahwa kritik positif tersebut bersifat permanen (permanence-permanent) serta akan mempengaruhi semua aspek dalam kehidupannya (pervasiveness-universal), dan ibu memiliki cara berpikir optimistik.

Faktor ketiga adalah life crisis yang ibu hadapi, terutama di masa kecil. Jika pada masa kanak-kanak, ibu mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan seperti kehilangan salah satu orangtua, baik meninggal maupun perceraian, pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut menjadi sesuatu yang dirasakan berat oleh anak karena anak masih tergantung pada orangtua dan anak merasa tidak berdaya. Akibat dari rasa kehilangan karena kematian orangtua, akan mempengaruhi


(39)

19

Universitas Kristen Maranatha pembentukan explanatory style Ibu. Jika ibu pada saat kecil mengalami life crisis, ibu cenderung memiliki cara berpikir yang pesimistik karena pada saat itu ibu merasa tidak berdaya untuk mengatasinya.

Pada anak autistik, peneliti berasumsi bahwa kondisi anak autistik dan faktor ekonomi juga ikut mempengaruhi derajat optimisme ibu anak autistik. Untuk kondisi anak autistik, ibu yang cenderung menghayati kondisi anaknya tidak parah atau lebih baik cenderung akan mempunyai derajat optimisme yang lebih tinggi dibandingkan ibu yang mempunyai pengahayatan kondisi anaknya cukup parah. Sedangkan untuk kondisi ekonomi, ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengah ke atas akan cenderung mempunyai optimisme tinggi karena merasa mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah yang ada dengan uangnya, hal ini berbanding terbalik dengan ibu yang mempunyai tingkat ekonomi menengah ke bawah.


(40)

20

Universitas Kristen Maranatha Gambar 1.1 Skema Kerangka Penelitian

Ibu yang mempunyai anak

autistik

Optimisme

Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Explanatory style ibu subjek 2. Kritik lingkungan

3. Masa krisis subjek 4. Kondisi anak autistik 5. Faktor ekonomi

Dimensi optimisme: 1. Permanence 2. Pervasiveness

3. Personalisation

Tinggi


(41)

21

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1. Optimisme merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan ibu anak autistik dalam menghadapi anaknya.

2. Perbedaan pada dimensi permanence, pervasiveness, personalization akan menimbulkan perbedaan pada derajat optimisme ibu anak autistik.

3. Ibu anak autistik memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghadapi anaknya sesuai dengan derajat optimisme yang dimilikinya.


(42)

61 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 20 ibu dari anak autistik yang mengikuti terapi di kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Didapati hasil yang sama besar dari ibu dari anak autistik yang mengikuti terapi di kota Bandung antara yang memiliki Optimistic Explanatory Style dengan yang memiliki Pesimistic Explanatory Style.

2. Tiga faktor yang mempengaruhi derajat optimisme seseorang, yaitu explanatory style ibu (significant person), kritik orang dewasa, dan krisis masa kanak-kanak pada penelitian ini tidak membawa pengaruh signifikan terhadap derajat optimisme responden. Yang mempengaruhi adalah derajat keparahan dari anak autistik dan kemampuan anak tersebut di dalam mengikuti aktivitas yang ada.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi penelitian sejenis, disarankan untuk meneliti pengaruh Explanatory Style ibu terhadap kemajuan terapi yang dijalankan oleh anak autistik.


(43)

62

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

a. Bagi ibu dari anak autistik di Kota Bandung untuk menyadari bahwa dengan memiliki cara pandang yang Optimistik dalam menjalani kesehariannya akan membuka kesempatannya untuk memperoleh kemajuan dan menanggulangi hambatan yang dimiliki anaknya.

b. Memberi informasi kepada para terapis yang menangani anak autistik mengenai pentingnya derajat optimisme ibu, sehingga dapat memberikan dukungan kepada ibu anak autistik supaya dapat lebih optimis.


(44)

63 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

APA, DSM IV. 1995. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fourth Edition. Washington DC: …..

Holmes, David L. 1997. Autism Through the Life Span. Eden Model. USA: Woodbine

Seligman, Martin. EP, 1990. Learned Optimism. New York: Pocket Books.

Siegel, Bryna, 1996. The World of Autistic Child. UK: Oxford University Press.

Wenar, S. 1994. DEVELOPMENT PSYCHOPATOLOGY from Infancy to Adolesence. New York: Mc Graw Hill, inc.


(45)

64 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Budiman, Melly. 1998. Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Terpadu pada Autisme. Surabaya: Makalah Simposium.

Majalah Nakita, 2002. Mengenai Anak Autistik. Jakarta: Gramedia

Sutadi, Rudi. 1998. Intervensi Dini Tata Laksana Perilaku Penyandang Autisme. Surabaya: Makalah

www.autisma.com www.autisinfo.com

www.autism society org.com www.kompas.co.id


(1)

Gambar 1.1 Skema Kerangka Penelitian Ibu yang

mempunyai anak autistik

Optimisme

Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Explanatory style ibu subjek

2. Kritik lingkungan 3. Masa krisis subjek 4. Kondisi anak autistik 5. Faktor ekonomi

Dimensi optimisme: 1. Permanence 2. Pervasiveness

3. Personalisation

Tinggi


(2)

21

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1. Optimisme merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan ibu anak autistik dalam menghadapi anaknya.

2. Perbedaan pada dimensi permanence, pervasiveness, personalization akan menimbulkan perbedaan pada derajat optimisme ibu anak autistik.

3. Ibu anak autistik memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghadapi anaknya sesuai dengan derajat optimisme yang dimilikinya.


(3)

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 20 ibu dari anak autistik yang mengikuti terapi di kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Didapati hasil yang sama besar dari ibu dari anak autistik yang mengikuti terapi di kota Bandung antara yang memiliki Optimistic Explanatory Style dengan yang memiliki Pesimistic Explanatory Style.

2. Tiga faktor yang mempengaruhi derajat optimisme seseorang, yaitu

explanatory style ibu (significant person), kritik orang dewasa, dan krisis

masa kanak-kanak pada penelitian ini tidak membawa pengaruh signifikan terhadap derajat optimisme responden. Yang mempengaruhi adalah derajat keparahan dari anak autistik dan kemampuan anak tersebut di dalam mengikuti aktivitas yang ada.

5.2 SARAN

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi penelitian sejenis, disarankan untuk meneliti pengaruh Explanatory Style ibu terhadap kemajuan terapi yang dijalankan oleh anak autistik.


(4)

62

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

a. Bagi ibu dari anak autistik di Kota Bandung untuk menyadari bahwa dengan memiliki cara pandang yang Optimistik dalam menjalani kesehariannya akan membuka kesempatannya untuk memperoleh kemajuan dan menanggulangi hambatan yang dimiliki anaknya.

b. Memberi informasi kepada para terapis yang menangani anak autistik mengenai pentingnya derajat optimisme ibu, sehingga dapat memberikan dukungan kepada ibu anak autistik supaya dapat lebih optimis.


(5)

Edition. Washington DC: …..

Holmes, David L. 1997. Autism Through the Life Span. Eden Model. USA: Woodbine

Seligman, Martin. EP, 1990. Learned Optimism. New York: Pocket Books.

Siegel, Bryna, 1996. The World of Autistic Child. UK: Oxford University Press.

Wenar, S. 1994. DEVELOPMENT PSYCHOPATOLOGY from Infancy to Adolesence. New York: Mc Graw Hill, inc.


(6)

64 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Budiman, Melly. 1998. Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Terpadu pada Autisme. Surabaya: Makalah Simposium.

Majalah Nakita, 2002. Mengenai Anak Autistik. Jakarta: Gramedia

Sutadi, Rudi. 1998. Intervensi Dini Tata Laksana Perilaku Penyandang Autisme. Surabaya: Makalah

www.autisma.com www.autisinfo.com

www.autism society org.com www.kompas.co.id