Aspek Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Bola Online Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

(1)

vi (1088003)

Aktivitas perjudian pada prakteknya merupakan suatu permainan yang mengandung unsur taruhan dengan harapan menang dan resiko kalah. Kemajuan teknologi khususnya internet nyatanya telah merubah bentuk perjudian yang awalnya sederhana menjadi semakin canggih melalui media internet yaitu perjudian online. Perjudian melalui situs internet khususnya perjudian bola online semakin marak di Indonesia. Keberadaan KUHAP yang mengatur tentang alat bukti perjudian secara limitatif tidak lagi dapat mengakomodir sistem pembuktian terhadap perjudian online. Namun, pemerintah telah mencantumkan perluasan alat bukti sah lainnya berupa informasi dan dokumen elektronik termasuk hasil cetaknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif yaitu merujuk pada peraturan perundang-undangan yang relevan. Setelah itu peneliti menganalisa dan menarik kesimpulan serta memberikan saran atas hasil temuan penelitian. Data penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada. Sedangkan bahan- bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa alat-alat bukti elektronik terkait perjudian bola online yang dihadirkan di persidangan masih lemah, sehingga hakim tidak menerapkan UU ITE, melainkan hanya penerapan perjudian berdasarkan KUHP. Sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sesuai ketentuan KUHAP. Hakim menjatuhkan putusan pidana setelah perjudian bola online terbukti secara sah dan eksistensi alat bukti di persidangan dapat meyakinkan hakim.

Kata kunci : Sistem Pembuktian, Perjudian Bola Online, Informasi dan Dokumen Elektronik.


(2)

vii (1088003)

Gambling activities in the practice is a betting game that contains elements in the hope of winning and the risk of losing. Technological advances, especially the presence of the internet has shifted the original conventional gambling becomes increasingly sophisticated with the online gambling internet media. Gambling via the internet site especially football online gambling has been increasingly prevalent in Indonesia. The existence of the Criminal Procedure Code which regulates gambling limitedly evidence has no longer capability to accommodate the authentication system against online gambling. However, the government has put the expansion of legal evidence in the form of electronic information and electronic documents include the printout as well, as it stated in the Law of Information and Electronic Transactions (ITE Law).

In this study, researchers using normative juridical method with descriptive specification that is based and refers to relevant legislation. After that, researchers give an analyze and make conclusions, and then give some suggestions on research findings. The research data using secondary data which are obtained from various sources that already exist. While the law materials consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials.

Analysis research makes conclusion that the electronics evidence related to online football gambling which is presented in the judiciary is still weak, so the judge can not apply the ITE Law, but only based under the penal law. Verification system which is implemented on judiciary is verification system according to the law negatively in accordance with provisions of the Criminal Procedure Code. Judges dropped the criminal verdict after football online gambling has been proven legally and the existence of evidence in the judiciary able to convince the judge.

Keywords : Verification System, Football Online Gambling, Information and Electronic Documents.


(3)

xi

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D Kegunaan Penelitian ... 7

E. Kerangka Pemikiran ... 8

1. Teori Fungsi Hukum ... 8

2. Teori Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ... 10

3. Teori Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Online ... 14


(4)

xii

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Pengertian Hukum Pidana ... 24

1. Hukum Pidana di Indonesia ... 24

2. Sistem Hukum Pidana di Indonesia ... 25

3. Kejahatan dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana ... 31

4. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ... 37

B. Teori Sistem Pembuktian ... 41

C. Barang Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 50

1. Barang Bukti Yang Dipergunakan Dalam Acara Pidana Di Indonesia ... 50

2. Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 54

3. Perluasan Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana ... 68

BAB III PEMBUKTIAN PERJUDIAN BOLA ONLINE DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Tentang Perjudian dan Perjudian Online... 71

1. Pengertian Perjudian ... 71

2. Bentuk-Bentuk Perjudian ... 73


(5)

xiii

BAB IV PENGATURAN DAN SISTEM PEMBUKTIAN PERJUDIAN BOLA ONLINE DI INDONESIA

A. Pengaturan Perjudian Bola Online di Indonesia ... 95

1. Larangan Perjudian Bola Online ... 95

2. Pedoman Bagi Aparat Penegak Hukum ... 99

B. Sistem Pembuktian Perjudian Bola Online di Indonesia... 103

1. Kasus Posisi Perjudian Bola Online di Bandung ... 103

2. Acara Pemeriksaan dan Pembuktian Perjudian Online di Persidangan ... 106

3. Kelemahan UU ITE Dalam Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Bola Online ... 119

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130 LAMPIRAN


(6)

(7)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi ternyata tidak hanya membawa dampak positif bagi masyarakat. Sebagai contoh, teknologi internet bisa memberikan pengaruh negatif bagi para pemakainya. Melalui media internet beberapa jenis tindak pidana semakin mudah untuk dilakukan seperti pencemaran nama baik, pornografi, pembobolan rekening, perusakan jaringan, penyerangan melalui virus, dan termasuk perjudian online. Salah satu alat yang sering digunakan dalam perjudian online adalah handphone, dimana handphone dipergunakan sebagai sarana komunikasi.

Tindak pidana perjudian sudah masuk ke dalam tahap yang sangat mengkhawatirkan, bahkan sangat marak di kalangan mahasiswa khususnya perjudian online melalui situs-situs yang mudah untuk diakses di internet. Berdasarkan pengamatan penulis sendiri, hal tersebut berawal dari pertandingan-pertandingan olahraga khususnya sepak bola yang ditambahkan unsur taruhan secara kecil-kecilan. Menonton pertandingan bola yang tadinya hanya sekedar hobi pun berubah menjadi perjudian. Mereka tidak sadar akan pengaruh buruk yang akan datang saat ketagihan dan terlibat perjudian secara besar-besaran, karena tidak ada jaminan kemenangan di dalam perjudian apapun bentuknya.


(8)

Dampak buruk dari perjudian akan timbul setelah pelaku judi mengalami kekalahan besar, seperti timbulnya masalah ekonomi atau keuangan, pertikaian, tindak kekerasan sampai kepada pembunuhan yang pernah terjadi di salah satu rumah kos Jalan Babakan Jeruk Bandung sekitar tahun 2005 lalu. Pada sub agen tertentu, peserta diperbolehkan memasang taruhan tanpa melakukan deposit terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan penjaga rumah kos tersebut, peristiwa ini diawali dari kekalahan dalam jumlah yang cukup besar dan peserta menunda pembayaran secara berulang kali, sehingga kolektor diberikan kuasa oleh sub agen untuk melakukan penagihan. Pada saat itu terjadi perkelahian karena peserta yang berhutang pada sub agen judi bola tersebut masih belum bisa melunasi hutangnya sehingga terjadilah peristiwa pembunuhan tersebut.

Bukan suatu hal mudah untuk menuntaskan perjudian, perlu adanya peraturan hukum yang menindak tegas para pelaku tindak pidana perjudian. Peraturan atas perjudian pada mulanya diatur dalam Pasal 303 KUHP, dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 90.000 (sembilan puluh ribu rupiah). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Pasal 2 ayat (1) Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, di mana ancaman hukuman atas tindak pidana perjudian Pasal 303 ayat (1) KUHP diubah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Kemudian mengubah Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis ayat (1) KUHP dengan ancaman diperberat menjadi 4 (empat) tahun penjara atau denda


(9)

setinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), kemudian Pasal 303 bis ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).

Penegakan hukum oleh pihak berwenang wajib memperhatikan asas

hukum dalam Pasal 1 KUHP yang menyatakan :Tiada suatu perbuatan yang

boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang

yang terdahulu dari perbuatan itu.”

“Ketentuan ayat ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan : ”Nullum

delictum, nulla poena sine praevia lege punali. Asas nullum delictum ini

memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang dilakukan tanpa ada Undang-Undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dapat

dipidana.”1

Indonesia merupakan negara yang menempatkan hukum sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara. Upaya penegakan hukum harus terus dilakukan untuk menanggulangi segala bentuk kejahatan. Meskipun kebijakan hukum yang ditempuh selama ini masih terus dikaji dan disesuaikan dengan tindak pidana yang terus berkembang baik cara maupun sarana yang digunakan. Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum harus dijalankan secara baik dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.


(10)

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya

tentu saja lembaga penasehat hukum.2 Dalam hal ini penerapan hukum haruslah

dipandang dari 3 dimensi :

“1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system)

yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan

pelaku sosial.”3

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, haruslah dicari suatu kebenaran materiil. Pencarian kebenaran materiil ini tentunya harus melalui suatu proses pembuktian, suatu proses yang paling penting dalam hukum acara pidana. Hukum acara pidana dalam bidang pembuktian mengenal adanya barang bukti dan alat bukti, dimana keduanya diperlukan dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.

2

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995. 3


(11)

Barang bukti atau corpus delicti adalah benda-benda yang tersangkut

dalam suatu tindak pidana.4 Sedangkan alat bukti yang sah untuk diajukan di

depan persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah :

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa.

Selanjutnya, terkait dengan pembuktian tindak pidana perjudian di dalam dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP :

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Namun penyidikan terhadap tindak pidana perjudian ternyata masih menemui hambatan ketika dihadapkan dengan proses pembuktian perjudian melalui internet, karena dalam KUHAP tidak diatur adanya unsur-unsur yang mengandung teknologi informasi, sementara pada kasus perjudian melalui internet (internet gambling) semua dilakukan melalui media internet.

Oleh karena itu untuk menanggulangi perjudian yang dilakukan di internet, telah dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

4


(12)

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga diatur tentang pengesahan alat bukti perjudian melalui internet yaitu Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :

“(1) Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di

Indonesia.”

Berdasarkan pengamatan awal mengenai sistem perjudian online pada situs-situs perjudian bola online yang sedang marak di kalangan mahasiswa, dan melihat kelemahan KUHAP tentang penetapan alat bukti yang sah dalam kasus perjudian bola online, maka peneliti terdorong untuk mendalami lebih jauh tentang tindak pidana perjudian bola online dan sistem pembuktian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dengan mengambil judul :

“ASPEK PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN BOLA ONLINE

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE).”


(13)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas, penulis mencoba mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan larangan perjudian bola online di Indonesia?

2. Bagaimana aspek pembuktian tindak pidana perjudian bola online dilihat dari

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?

3. Bagaimana kelemahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE) dalam pembuktian tindak pidana perjudian bola online?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan mengadakan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji pengaturan larangan perjudian bola online di Indonesia.

2. Mengkaji pembuktian tindak pidana perjudian bola online berdasarkan

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Mengkaji kelemahan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE) dalam pembuktian tindak pidana perjudian bola online.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian hukum ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran di bidang hukum pidana terutama yang berkaitan dengan informasi mengenai peraturan larangan perjudian bola online di Indonesia .


(14)

b. Memberikan kejelasan tentang sisi hukum yang berkaitan dengan aspek pembuktian tindak pidana perjudian bola online berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Kegunaan praktis

Sebagai acuan bagi para praktisi hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam menangani perkara terkait informasi dan transaksi elektronik.

E. Kerangka Pemikiran 1. Teori Fungsi Hukum

Tindak pidana perjudian yang semakin rumit menuntut aparat penegak hukum untuk lebih profesional dan memiliki kemampuan lebih di dalam mengungkap kejahatan, baik dari segi penyidikan maupun pembuktian di peradilan.Peraturan perundang-undangan akan selalu diperbarui apabila dinilai ada kelemahan dalam penegakan hukum. Hal ini diharapkan dapat mempersempit ruang gerak para pelaku tindak pidana perjudian di Indonesia dan mengembalikan fungsi hukum di mata masyarakat agar perjudian bisa segera diberantas dan tidak terkesan dibiarkan.

Hukum di Indonesia secara umum merupakan sebuah aturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk memberikan petunjuk, menciptakan ketertiban, menyelesaikan masalah, dan juga untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.


(15)

Selain itu beberapa pakarjuga mengemukakan pendapatnya tentang fungsi hukum, menurut Soerjono Soekanto, antara lain :

“1) Sebagai alat untuk melaksanakan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat

2) Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, baik lahir maupun bathin.

3) Dan sebagai sarana untuk menggerakkan pembangunan bagi masyarakat.”5

Sedangkan fungsi hukum menurut J.F. Glastra Van Loon, antara lain :

“1) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat.

2) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat.

3) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan) penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa.

4) Hukum berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan hak masyarakat.

5) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan.

6) Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.”6

Sunaryati Hartono juga membuat rumusan mengenai fungsi hukum dalam konteks pelaksanaan pembangunan nasional. Menurut Sunaryati Hartono, hukum memiliki fungsi antara lain :

“1) Sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam masyarakat

2) Sebagai sarana untuk melaksanakan pembangunan 3) Sebagai sarana untuk menegakkan keadilan, dan

4) Sebagai sarana untuk memberikan pendidikan (mendidik) masyarakat.”7

5

Status Hukum, “Fungsi Hukum”,2012, http://statushukum.com/fungsi-hukum.html, diunduh pada tanggal 2 November 2013.

6 Ibid.


(16)

Berdasarkan pendapat dari ketiga ahli di atas, fungsi hukum adalah sebagai sarana untuk menertibkan, memberi keamanan, menegakkan keadilan, menyelesaikan pertikaian, penggerak pembangunan, mendidik dan mempertahankan hak masyarakat. Meskipun hukum mempunyai cara yang memaksa bagi seluruh masyarakat, tetap saja masih banyak terjadi pelanggaran dan tidak sedikit justru dilakukan oleh pejabat hukum itu sendiri.

Apabila fungsi hukum berjalan dengan baik maka hak asasi manusia akan lebih diperhatikan, kepentingan umum tidak akan terganggu, persoalan hukum yang rumit pun akan terpecahkan meskipun dengan cara merevisi Undang-Undang yang sudah ada, dan yang paling utama adalah penegakan hukum akan lebih mudah terwujud.

2. Teori Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis, dimana hukum dapat berkembang sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Salah satu perkembangan yang terjadi adalah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam dunia maya. Dunia maya juga telah mengubah kebiasaan banyak orang yang menggunakan internet untuk melakukan berbagai kegiatan dan juga membuka peluang terjadinya kejahatan.Untuk itu tentu dibutuhkan suatu aturan yang dapat memberikan kepastian hukum di Indonesia dalam ruang dunia maya tersebut. Maka 7


(17)

diterbitkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik yang lazim dikenal dengan istilah “UU ITE”.

Kehadiran Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, akan memberikan manfaat, beberapa diantaranya :

“1. Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik;

2. Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia;

3. Sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi;

4. Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.”8

Di dalam Undang-Undang ITE ini, sudah diatur tentang Perbuatan Dilarang yaitu termasuk perjudian secara online yang dijelaskan pada Pasal 27 ayat (2) yaitu :

“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan perjudian.”

Perbuatan ini diancam dengan pasal 45 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dengan keluarnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini, perjudian seharusnya lebih mudah untuk ditindaklanjuti. Karena kelemahan KUHAP dalam pembuktian tindak kejahatan perjudian

8

Andri Kristiawan, “kebijakan hukum cybercrime”, 2013, http://etikadalamduniait.blogspot.com/2013 /04/pertemuan-5-kebijakan-hukum-cybercrime.html, diunduh pada tanggal 5 November 2013.


(18)

melalui internet sudah diperkuat oleh Undang-Undang ini.Alat bukti yang telah diatur oleh KUHAP secara limitatif, tertera dalam Pasal 184 KUHAP adalah :

a. Keterangan Saksi

b. Keterangan Ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

Bila ada alat bukti selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang diluar KUHAP tersebut, maka akan digolongkan sebagai tambahan jenis alat bukti hukum yang sah dari jenis alat-alat bukti yang sah sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu perlu adanya perluasan alat bukti di Indonesia khususnya dalam pembuktian kasus perjudian online.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memperluas pengertian alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebelumnya, UU ITE telah mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia. Ada 2 hal penting di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pembuktian tindak pidana perjudian online diantaranya adalah :


(19)

“(1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang.

(4) Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

b. Alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia terdapat pada Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

“ (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yangberlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.”

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE telah memperluas atau menambahkan jenis alat bukti hukum yang baru dengan menyatakan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diakui sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan. Barang-barang bukti seperti perangkat elektronik maupun catatan elektronik baik berupa bukti transaksi uang melalui rekening bank ke pemilik situs perjudian, kepemilikan ID dan situs perjudian yang dikunjungi, SMS, BBM (Blackberry


(20)

Messenger), e-mail, komputer, handphone, modem dan akses-akses elektronik lainnya yang bermuatan perjudian sudah dianggap sebagai barang bukti kejahatan.

Dengan adanya perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, diharapkan penegakan hukum atas perjudian melalui internet bisa dilakukan lebih maksimal. Kemudian bukti-bukti elektronik tersebut juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengembangan penyidikan secara luas dalam memantau perkembangan aktivitas perjudian online di Indonesia.

3. Teori Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Online

Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan dasar bagi hakim untuk menarik kesimpulan ataupun menjatuhkan pidana dalam sidang pengadilan dan menyatakan bahwa seorang terdakwa terbukti secara sah atau tidak terbukti dalam melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur penjatuhan pidana oleh hakim melalui proses pembuktian disebutkan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa


(21)

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap

terdakwa disidang pengadilan. Rusli Muhammad menyebutkan, “Ada

beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Teori ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori

tersebut.”9 Teori pembuktian tersebut antara lain :

a. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction In Time)

Teori ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan

kepadanya dapat dijatuhkan putusan.10

Menurut teori ini, sangat memungkinkan bagi seorang hakim untuk mengabaikan hal-hal tertentu jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. Apabila bukti-bukti lainnya sebagai pendukung pembelaan terdakwa itu tidak diakui dan

9

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.186. 10


(22)

diterima oleh hakim, maka hal ini dapat membuat suatu putusan hakim dianggap tidak adil.

b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Rasionnee)

Teori ini tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam teori ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya. Keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinan itu.Alasan tersebut harus reasonable yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran.11

Dalam teori ini tidak disebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ini mirip

dengan teori pembuktian conviction intime yakni sama-sama

menggunakan keyakinan hakim, perbedaannya hanya terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim.Oleh karena itu teori pembuktian dengan alasan yang logis lebih maju dibandingkan teori berdasarkan keyakinan hakim.

c. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (Positief wettelijk bewijstheorie)


(23)

Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti tersebut di dalam Undang-Undang. Jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih

dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.12

Teori ini sudah menuntut bukti-bukti yang harus dipenuhi sebelum hakim dapat menjatuhkan putusan. Jadi sangat bertentangan dengan teori berdasarkan keyakinan hakim. Teori ini akan lebih mempercepat penyelesaian suatu perkara dan memudahkan hakim dalam membuat keputusan karena bukti-bukti yang kuat akan mengurangi kesalahan dalam menjatuhkan putusan pengadilan.

d. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (Negatief wettelijk bewijstheorie)

Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada

alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.13

12

Ibid., hlm. 187 13


(24)

Teori pembuktian ini menggunakan kombinasi dalam menjatuhkan putusan. Jadi apabila alat-alat bukti telah sah dan hakim tersebut mempunyai keyakinan terhadapnya, maka terdakwa dapat diputuskan bersalah dan dijatuhi sangsi pidana. Membahas tentang sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, kita perlu membahas Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi :

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif karena kedua syarat yang harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal 183 dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti yang sah. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP ini telah disebutkan bahwa : “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.”

Sedangkan untuk pembuktian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melibatkan penyidikan khususnya pada Pasal 43 ayat (5) huruf e yang berbunyi :


(25)

“Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kejahatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk

melakukan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang ini.”

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga perlu melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain :

1. Proses Acquiring dan Imaging

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/ menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

2. Melakukan Analisis

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan.Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.”14

Dalam Pasal 6 Undang-Undang ITE menyebutkan :

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah

sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan

sehingga menerangkan suatu keadaan.”

14

Radian Adi, Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3077/cara-pembuktian-cyber-crime-menurut-hukum-indonesia, diunduh pada tanggal 5 November 2013.


(26)

Jadi sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang ITE ini bahwa segala bentuk informasi elektronik baik itu berupa dokumen, transaksi elektronik yang bermuatan perjudian, akses perjudian pada situs internet, transfer rekening terkait perjudian, sepanjang bukti-bukti itu dapat diakses atau ditampilkan dan mempunyai penjelasan yang kuat, maka bukti itu sudah dianggap sah dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

F. Metode Penelitian 1. Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yuridis

yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan.

Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang hanya menggambarkan objek yang menjadi pokok permasalahan. Kemudian analisis data secara kualitatif dilakukan untuk membuat penilaian dan memberikan kesimpulan.

2. Tahap Penelitian

Tahap penelitian ini terdiri atas pengumpulan data yang berkaitan dengan aspek-aspek dalam pembuktian perjudian online. Kemudian melakukan analisis, lalu menarik kesimpulan untuk menilai bagaimana aspek pembuktian terhadap tindak pidana perjudian bola online berdasarkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku di Indonesia.


(27)

3. Bahan Penelitian

Untuk memudahkan penelitian ini maka bahan penelitian yang akan digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh langsung dari lapangan melainkan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.

Data sekunder di bidang hukum meliputi :

a. Bahan-bahan hukum primer

Yaitu data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat antara lain; KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Bahan-bahan hukum sekunder

Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam analisis seperti buku, hasil penelitian, jurnal hukum, berkas putusan perkara pidana perjudian bola online di Pengadilan Tinggi Bandung.

c. Bahan-bahan hukum tersier

Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan skunder seperti artikel internet, surat kabar, kamus dan dari literatur lain yang relevan dengan aspek pembuktian tindak pidana


(28)

perjudian bola online berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi hukum ini terdiri dari lima bab yang tiap-tiap bab nantinya terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan skripsi hukum adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab pertama berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

Bab dua penelitian ini akan membahas mengenai barang bukti, alat bukti dan teori-teori pembuktian perjudian bola online berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

BAB III TINJAUAN ATAS TINDAK PIDANA PERJUDIAN BOLA ONLINE DAN PEMBUKTIAN BERDASARKAN UU ITE

Bab tiga penelitian akan membahas tentang perkembangan tindak pidana perjudian bola online khususnya sistem perjudian bola online


(29)

pada situs www.sbobet.com, dan aspek-aspek pembuktian atas tindak pidana perjudian online berdasarkan UU ITE.

BAB IV PENGATURAN DAN SISTEM PEMBUKTIAN PERJUDIAN ONLINE DI INDONESIA

Bab empat ini akan menyajikan tentang aspek pembuktian terhadap

tindak pidana perjudian bola online pada situs www.sbobet.com oleh

salah seorang tersangka yaitu Denny Nugraha yang ditangkap pada 10

Februari 2013 di Jl. Cikawao Bandung.15

BAB V PENUTUP

Bab lima berisi tentang jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu kesimpulan tentang pengaturan larangan perjudian, aspek pembuktian tindak pidana perjudian bola online berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan kelemahan UU ITE dalam proses pembuktian perjudian online. Kemudian ditutup dengan saran peneliti terkait dengan permasalahan tersebut.

15Tri Wahono,” Dua Pelaku Judi Bola Online Dibekuk di Bandung”, 2013, (http://regional.kompas

.com/read/2013/02/12/22192120/Dua.Pelaku.Judi.Bola.Online.Dibekuk.di. Bandung), diunduh pada tanggal 6 November 2013.


(30)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kehadiran Undang-Undang ITE dimaksudkan untuk dapat memberikan

kepastian hukum mengenai pengaturan larangan perjudian bola online yang semakin berkembang pesat di Indonesia. Dalam rumusan Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat (2), ada tiga larangan yang tergolong tindakan perjudian online yaitu adanya kesengajaan, kemudian tanpa hak, dan adanya tindakan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki “muatan perjudian”. Tindak pidana perjudian online diancam dengan Pasal 45 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Dalam hukum pidana Indonesia, aparat kepolisian dapat melakukan langkah

awal dalam aspek pembuktian perjudian online yaitu dimulai pada saat penyidikan, penggeledahan dan penyitaan, pengumpulan barang bukti, pemeriksaan barang bukti elektronik di laboratorium digital forensik, sampai pelimpahan perkara kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menetapkan alat-alat bukti yang dapat menjerat terdakwa judi bola online di persidangan.


(31)

Untuk pembuktian perjudian online di persidangan, hakim menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sesuai Pasal 183 KUHAP dan dilengkapi dengan Pasal 184 KUHAP yaitu menjatuhkan pidana apabila alat bukti secara limitatif telah ditentukan undang-undang dan hakim memiliki keyakinan atas eksistensi alat bukti tersebut. Ketentuan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam KUHAP yaitu pada Bab XVI bagian ketiga tentang acara pemeriksaan biasa dan bagian keempat tentang pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan saksi, ahli, surat, dan terdakwa.

3. Dalam pembuktian judi bola online, Undang-Undang ITE dinilai masih

memiliki beberapa kekurangan, antara lain :

a. Ketentuan Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang ITE yang menyebutkan

“muatan perjudian” masih belum spesifik dan harus diperjelas agar pembuktian tidak mengarah pada tindak pidana selain perjudian online yang dimaksud, misalnya pencucian uang.

b. Undang-Undang ITE memiliki keterbatasan dalam hal penangkapan dan

penahanan. Aturan Pasal 43 ayat (3) UU ITE dinilai lebih mementingkan hak tersangka dan sebaliknya menyulitkan penegak hukum dalam langkah awal pembuktian karena harus melalui kerjasama oleh penyidik dan penuntut umum dalam meminta surat izin dari pengadilan negeri. Hal ini sulit diwujudkan dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.


(32)

c. Belum ada ketentuan jelas dalam Undang-Undang ITE untuk kewenangan pemeriksaan database server perjudian di negara yang melegalkan perjudian. Oleh karena itu pemeriksaan bukti elektronik dari sistem elektronik (website) yang dikelola di negara lain yang melegalkan perjudian masih sulit dilakukan sampai saat ini.

B. Saran

Undang-Undang ITE yang dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi aspek pembuktian perjudian online oleh karena itu beberapa saran yang dapat diberikan antara lain :

1. Undang-Undang ITE harus diterapkan dalam setiap persidangan kasus

kejahatan perjudian online. Oleh karena itu, perlu didukung oleh sarana prasarana dan peningkatan kemampuan aparat penegak hukum itu sendiri terutama hakim, penyidik dan ahli laboratorium forensik.

2. Perjudian bola online dapat tumbuh subur di Indonesia karena kurangnya

pakar forensik digital dalam pengumpulan bukti-bukti elektronik. Selain itu perjudian seringkali mendapat perlindungan dari oknum-oknum yang menyalahgunakan wewenang, oleh sebab itu perlu adanya undang-undang khusus yang melindungi aktivitas laboratorium forensik oleh para penyidik ahli sehingga lebih banyak bukti digital yang bisa didapat tanpa adanya tekanan dari oknum-oknum tertentu.


(33)

3. Untuk memudahkan penyidikan dan penuntasan kasus perjudian online, pihak kepolisian sebaiknya menjalin kerja sama dengan pihak penyedia layanan internet. Dengan begitu situs-situs perjudian dapat diblokir oleh semua internet provider di Indonesia. Selain itu, keberadaan para pelaku perjudian online juga dapat dilacak dan dideteksi dengan mudah melalui satelit ataupun wifi melalui kerjasama dengan seluruh internet provider di Indonesia.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006.

A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering. H.D. Tjeenk Wilink & Zoon, Haarlem, 1967.

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta, 1989.

Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana Dibidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, 1990.

Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua ,Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2003.

Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962.

Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, cet. ke-3, Djambatan, Jakarta, 2002.

Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986.

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007.


(35)

M. Arsyad Sanusi, Teknologi Informasi Dan Hukum E-commerce, Cetakan II, Dian Ariesta, Jakarta. 2004.

Martiman Prodjoharmijo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (seri pemerataan keadilan 10), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta, 1988.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Gadjah Mada University Perss, Yogyakarta, 1982.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995.

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1984.

Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1989. R. Subekti, Hukum Pembuktian, cet. XVII, Pradya Paramita, Jakarta, 2008.

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, cet. I, Rineka Putra,

Jakarta, 2009.


(36)

Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.

Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985.

Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana,Total Media, Yogyakarta, 2009.

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967.

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian.


(37)

C. Situs :

Adi Suhendi, 2013, wawancara dengan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tribunnews.com.

Andhika Prayoga, Hukum Pidana, http://romantikadialektika.blogspot.com/p/hukum-pidana.html, diunduh pada tanggal 30 April 2014.

Andri Kristiawan, “kebijakan hukum cybercrime”, 2013, http://etikadalamduniait.

blogspot.com/2013/04/pertemuan-5-kebijakan-hukum-cybercrime.html, diunduh pada tanggal 5 November 2013.

Ghea Anggraini, 2013, http://eptik-gambling.blogspot.com/, diakses pada tanggal 5 Maret 2014.

Http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae.

Hukum Indonesia, "Alat Bukti Petunjuk dalam Sidang Pengadilan", http:// hukumindonesia.blog.com/2011/04/16/alat-bukti-petunjuk-dalam- sidang-pengadilan/, diakses pada tanggal 12 Januari 2014.

Pengadilan Negeri Bandung, http://pn-bandung.go.id/ Pengadilan Tinggi Bandung, http://pt-bandung.go.id/

Radian Adi, “Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3077/cara-pembuktian-cyber-crime-menurut-hukum-indonesia, diunduh pada tanggal 5 November 2013.

Reza Wahyudi, 2012, http://tekno.kompas.com/read/2012/10/25/14371946/

Indonesia.Butuh. Investigator.Forensik.Digital, diakses pada tanggal 19 Juli 2014.

Rudi Sofyan, 2012,

http://rudi-sofyan.blogspot.com/2012/10/kejahatan-dan-pelanggaran.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2014.

Saya Nubi, 2013, http://sejarahjudi.blogspot.com/2013/09/sejarah-judi-online.html, diunduh pada tanggal 6 Maret 2014.


(38)

Sistem Pembuktian Pidana, http://hukumpidana.blogspot.com/, diakses pada tanggal 11Januari 2014.

Status Hukum, “Fungsi Hukum”,2012, http://statushukum.com/fungsi-hukum.html,

diunduh pada tanggal 2 November 2013.

Tiar Ramon, 2013, http://tiarramon.wordpress.com/2013/05/13/hukum-pidana-2/, diunduh pada tanggal 16 Februari 2014.

Tri Wahono,”Dua Pelaku Judi Bola Online Dibekuk di Bandung”, 2013, http://regional.kompas.com/read/2013/02/12/22192120/Dua.Pelaku.Judi.Bola .Online.Dibekuk.di. Bandung), diunduh pada tanggal 6 November 2013. www.fastbet99.com

www.ibcbet.com www.sbobet.com

D. Dokumen :


(1)

3. Untuk memudahkan penyidikan dan penuntasan kasus perjudian online, pihak kepolisian sebaiknya menjalin kerja sama dengan pihak penyedia layanan internet. Dengan begitu situs-situs perjudian dapat diblokir oleh semua internet provider di Indonesia. Selain itu, keberadaan para pelaku perjudian online juga dapat dilacak dan dideteksi dengan mudah melalui satelit ataupun wifi melalui kerjasama dengan seluruh internet provider di Indonesia.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006.

A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering. H.D. Tjeenk Wilink & Zoon, Haarlem, 1967.

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta, 1989.

Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana Dibidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, 1990.

Andi Hamzah , Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua ,Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta 2003.

Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1962.

Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, cet. ke-3, Djambatan, Jakarta, 2002.

Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1986.

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007.


(3)

M. Arsyad Sanusi, Teknologi Informasi Dan Hukum E-commerce, Cetakan II, Dian Ariesta, Jakarta. 2004.

Martiman Prodjoharmijo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (seri pemerataan keadilan 10), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta, 1988.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Gadjah Mada University Perss, Yogyakarta, 1982.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995.

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1984.

Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1989. R. Subekti, Hukum Pembuktian, cet. XVII, Pradya Paramita, Jakarta, 2008.

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, cet. I, Rineka Putra, Jakarta, 2009.


(4)

Sutan Remi Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.

Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985.

Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana,Total Media, Yogyakarta, 2009.

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967.

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian.


(5)

C. Situs :

Adi Suhendi, 2013, wawancara dengan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tribunnews.com.

Andhika Prayoga, Hukum Pidana, http://romantikadialektika.blogspot.com/p/hukum-pidana.html, diunduh pada tanggal 30 April 2014.

Andri Kristiawan, “kebijakan hukum cybercrime”, 2013, http://etikadalamduniait. blogspot.com/2013/04/pertemuan-5-kebijakan-hukum-cybercrime.html,

diunduh pada tanggal 5 November 2013.

Ghea Anggraini, 2013, http://eptik-gambling.blogspot.com/, diakses pada tanggal 5 Maret 2014.

Http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae.

Hukum Indonesia, "Alat Bukti Petunjuk dalam Sidang Pengadilan", http:// hukumindonesia.blog.com/2011/04/16/alat-bukti-petunjuk-dalam- sidang-pengadilan/, diakses pada tanggal 12 Januari 2014.

Pengadilan Negeri Bandung, http://pn-bandung.go.id/ Pengadilan Tinggi Bandung, http://pt-bandung.go.id/

Radian Adi, “Cara Pembuktian Cyber Crime Menurut Hukum Indonesia”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3077/cara-pembuktian-cyber-crime-menurut-hukum-indonesia, diunduh pada tanggal 5 November 2013. Reza Wahyudi, 2012, http://tekno.kompas.com/read/2012/10/25/14371946/

Indonesia.Butuh. Investigator.Forensik.Digital, diakses pada tanggal 19 Juli 2014.

Rudi Sofyan, 2012, http://rudi-sofyan.blogspot.com/2012/10/kejahatan-dan-pelanggaran.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2014.

Saya Nubi, 2013, http://sejarahjudi.blogspot.com/2013/09/sejarah-judi-online.html, diunduh pada tanggal 6 Maret 2014.


(6)

Sistem Pembuktian Pidana, http://hukumpidana.blogspot.com/, diakses pada tanggal 11Januari 2014.

Status Hukum, “Fungsi Hukum”,2012, http://statushukum.com/fungsi-hukum.html,

diunduh pada tanggal 2 November 2013.

Tiar Ramon, 2013, http://tiarramon.wordpress.com/2013/05/13/hukum-pidana-2/, diunduh pada tanggal 16 Februari 2014.

Tri Wahono,”Dua Pelaku Judi Bola Online Dibekuk di Bandung”, 2013, http://regional.kompas.com/read/2013/02/12/22192120/Dua.Pelaku.Judi.Bola .Online.Dibekuk.di. Bandung), diunduh pada tanggal 6 November 2013. www.fastbet99.com

www.ibcbet.com www.sbobet.com

D. Dokumen :