LAYANAN KONSELING BERDASARKAN STRUKTUR CARKHUFF UNTUK MEMBANTU SISWA MENGIDENTIFIKASI IDENTITAS DIRINYA : Penelitian single subject terhadap siswa kelas XI SMA Negeri di Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
No. Daftar: 143/S/PPB/2013
LAYANAN KONSELING BERDASARKAN STRUKTUR CARKHUFF UNTUK MEMBANTU SISWA MENGIDENTIFIKASI
IDENTITAS DIRINYA
(Penelitian single subject terhadap siswa kelas XI SMA Negeri di Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh :
Ela Meliya Nurazizah 0907166
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
(2)
LAYANAN KONSELING BERDASARKAN STRUKTUR
CARKHUFF UNTUK MEMBANTU SISWA
MENGIDENTIFIKASI IDENTITAS DIRINYA
Oleh
Ela Meliya Nurazizah
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Ela Meliya Nurazizah 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Desember 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
NIM. 0907166
LAYANAN KONSELING BERDASARKAN STRUKTUR CARKHUFF UNTUK MEMBANTU SISWA MENGIDENTIFIKASI
IDENTITAS DIRINYA
(Penelitian Single Subject terhadap siswa kelas XI di salah satu SMA Negeri di Kota Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:
Pembimbing I
Dr. Anne Hafina, M.Pd. NIP. 196007041986012001
Pembimbing II
Dr. Nurhudaya, M.Pd. NIP. 196007251986011001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. NIP. 19600501 198603 1 004
(4)
Abstrak: Penelitian ini berjudul layanan konseling berdasarkan struktur Carkhuff untuk membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya. Penelitian ini diakukan di salah satu SMA Negeri di kota Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan status identitas siswa dengan menggunakan layanan konseling berdasarkan struktur Carkhuff. Penelitian ini didasarkan pada struktur keterampilan konseling dari Carkhuff yang meliputi Attending, Responding, Personalizing, Initiating dan empat karakteristik status identitas yang dikemukakan oleh Marcia. Penelitian ini menggunakan subjek tunggal yang berjumlah tiga orang dengan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa layanan konseling berdasarkan struktur Carkhuff dapat membantu siswa mengembangkan identitas dirinya. Berdasarakan analisis lebih lanjut, layanan konseling berdasarkan struktur Carkhuff dapat membantu siswa mengembangkan eksplorasi dan komitmennya agar tercipta sebuah pencapaian identitas diri yang stabil.
Kata Kunci : Konseling Individual, Struktur Carkhuff, Identitas Diri.
Abstract: This research servis titled Carkhuff counseling based structure to help strudent identify himself identity. This study was conducted in one state high school in the city of Bandung. This study aims to determine the effectiveness of individual counseling services based on Carkhuff structure to help students identify her identity. The study was based on the four skills of counseling Carkhuff which include Attending, Responding, Personalizing, Initiating and the four identity status characteristics proposed by Marcia. This study used a single subject amounting to three people. The results showed that individual counseling services based on Carkhuff structure can effectively help the student identify his or her identity. Based on further analysis, individual counseling services based on Carkhuff structure can help students develop exploration and commitment in order to create an identity achievement is more stable.
(5)
Ela Meliya Nurazizah, 2014
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... MOTTO ... LEMBAR PENGESAHAN ... LEMBAR PERNYATAAN ...
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR BAGAN ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat penelitian ... 11
E. Metodologi ... 12
BAB II KONSELING INDIVIDUAL UNTUK MENGIDENTIFIKASI IDENTITAS DIRI REMAJA A. Remaja dan perkembangannya ... 15
1. Pengertian Remaja ... 16
2. Tugas Perkembangan Remaja ... 18
B. Peran dan Identitas Diri Remaja ... 21
1. Pengertian Identitas Diri ... 21
2. Perkembangan Identitas Diri... 23
a. Perkembangan Identitas ... 23
b. Perkembangan Status Identitas ... 26
3. Kebingungan Identitas ... 28
C. Bimbingan dan Konseling Bagi Siswa ... 30
1. Konseling dalam Bimbingan dan Konseling ... 30
a. Definisi Konseling ... 32
b. Hubungan Konseling ... 33
c. Tujuan Konseling ... 35
d. Keterampilan Konseling Carkhuff ... 36
e. Proses Konseling ... 41
f. Konseling Individual dalam membantu Siswa Mengidentifikasi Identitas Dirinya ... 44
D. Penelitian Terdahulu ... 46
E. Kerangka Pemikiran ... 49
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 50
(6)
C. Definisi Operasional Variabel ... 51
D. Instrumen Penelitian ... 57
E. Pengembangan Instrumen ... 58
F. Langkah - Langkah Penelitian ... 63
G. Analisis Data ... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Proses Penelitian ... 66
B. Hasil Penelitian ... 68
1. Konseli I ... 68
a. Identitas Konseli ... 68
b. Identitas Orang Tua ... 69
c. Identitas Saudara ... 69
d. Deskripsi Konseli ... 70
e. Deskripsi Kegiatan Konseling ... 73
f. Layanan Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff ... 77
g. Aktivitas Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff ... 84
h. Kondisi Yang Dicapai Oleh Konseli ... 91
2. Konseli II ... 92
a. Identitas Konseli ... 92
b. Identitas Orang Tua ... 93
c. Identitas Saudara ... 93
d. Deskripsi Konseli ... 93
e. Deskripsi Kegiatan Konseling ... 96
f. Layanan Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff ... 101
g. Aktivitas Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff ... 106
h. Kondisi Yang Dicapai Oleh Konseli ... 114
3. Konseli III ... 116
a. Identitas Konseli ... 116
b. Identitas Orang Tua ... 116
c. Identitas Saudara ... 117
d. Deskripsi Konseli ... 117
e. Deskripsi Kegiatan Konseling ... 120
f. Layanan Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff ... 126
g. Aktivitas Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff ... 132
h. Kondisi Yang Dicapai Oleh Konseli ... 141
C. Pembahasan ... 143
1. Upaya Bantuan dengan Konseling Individual Menurut Struktur Carkhuff ... 143
(7)
Ela Meliya Nurazizah, 2014
3. Efektivitas Layanan Konseling Individual Berdasarkam Struktur Carkhuff untuk Membantu Siswa Mengidentifikasi Identitas Dirinya ...
155 D. Keterbatasan Penelitian ... 159 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan ... 160 B. Rekomendasi ... 161 DAFTAR PUSTAKA ... xiii
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
1.1 Data Siswa Terlambat Datang Ke Sekolah ... 3
2.1 Tahap Psikososial Remaja ... 24
2.2 Matriks Status Identitas ... 28
3.1 Matriks Status Identitas ... 54
3.2 Skor Angket Pengungkap Status Identitas ... 58
3.3 Kisi – Kisi Instrumen Pencapaian Status Identitas ... 58
3.4 Penyusunan Butir – Butir Pernyataan ... 60
4.1 Status Identitas Siswa ... 67
(9)
Ela Meliya Nurazizah, 2014
DAFTAR BAGAN
Bagan Hal
1.1 Pasangan aktivitas involvement kllien dan keterampilan attending konselor dalam proses konseling ... 37 1.2 Pasangan aktivitas eksploration klien dan keterampilan
Responding konselor dalam proses konseling ... 38 1.3 Pasangan aktivitas understanding klien dan keterampilan
Personalizing konselor dalam proses konseling ... 39 1.4 Pasangan aktivitas action klien dan keterampilan initiating
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
1. SK Dosen Pembimbing 2. Surat Izin Penelitian
3. Surat Pernyataan Kesediaan Konseli 4. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas 5. Tabel Status Identitas Siswa 6. Skrip Konseling
7. Rancangan Pengembangan Layanan 8. Data Identitas Siswa
(11)
Ela Meliya Nurazizah, 2014
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai inti dan arah penelitian yang terdiri atas : latar belakang, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metodologi penelitian.
A.Latar Belakang
Sekolah merupakan lingkungan sosial kedua dalam perkembangan individu. Individu yang mulanya berada dalam lingkungan keluarga mulai mengenal hal-hal baru di sekolah. Taman kanak-kanak dan Play Grup merupakan tahap pertama individu sekolah. Sekolah dasar merupakan tahap lanjutan dari TK atau PG dimana individu bersekolah, individu mulai dituntut untuk menyesuikan dirinya dengan lingkungan sekolah. Selanjutnya individu akan naik ke jenjang sekolah menengah pertama (Ali dan Ansori 2004:86). Jika dilihat dari sisi perkembangannya, indvidu pada jenjang sekolah menengah pertama lebih tertarik pada lingkungan sosial (Ali dan Ansori 2004:85). Setelah di sekolah menengah, remaja akan mulai memasuki jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu pada jenjang sekolah menengah atas. Pada jenjang ini, remaja dituntut untuk lebih dapat menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Siswa sekolah menengah atas berada pada rentang usia remaja yang menurut Hurlock (Nurihsan dan Agustin 2011:16), berlangsung antara umur 13 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 14 tahun sampai dengan 21 tahun bagi pria. Remaja mulai memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Dalam perkembangannya, remaja mulai diiringi dengan bertambahnya minat dan ketertarikan terhadap dunia luar.
(12)
Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena tidak dapat meyesuaikan diri (Mu’tadin, 2002). Penyesuaian diri yang baik akan menjadi salah satu bekal penting karena akan membantu remaja pada saat terjun dalam masyarakat luas.
Ketika penyesuaian diri remaja tidak tercapai, akhirnya akan mengakibatkan adanya perilaku yang tidak sesuai. Pendapat tersebut ditunjang dengan penelitian yang di lakukan oleh Sulisworo Kusdiyati dan Lilim Halimah (2011) di salah satu SMA Swasta di kota Bandung dengan hasil bahwa selama bulan Juli 2007 hingga Desember 2007, terdapat 214 pelanggaran atau 36% pelanggaran peraturan sekolah yang dilakukan oleh siswa kelas XI. Jenis pelanggaran tersebut berupa masalah – masalah yang berkenaan dengan motivasi belajar, masalah pribadi, masalah ekonomi, masalah karir, dan masalah penyesuaian diri. Dari kelima jenis pelanggaran tersebut, masalah penyesuaian diri menempati peringkat teratas dibanding keempat aspek lainnya. Pelanggaran-pelanggaran yang termasuk di dalam aspek penyesuaian diri diantara membolos, terlambat datang ke sekolah, lalai dalam mengerjakan tugas, mencontek, dan berpakaian tidak sesuai dengan aturan sekolah. Pada kelas X didapat jumlah pelanggaran sebanyak 38%, dan 26% diantaranya merupakan masalah penyesuaian diri. Pada kelas XI didapat jumlah pelanggaran sebanyak 63%, dengan 52% diantaranya merupakan masalah penyesuaian diri. Dan apada kelas XII didapat jumlah pelanggaran sebanyak 43% dengan 23% diantaranya merupakan masalah penyesuaian diri.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak remaja terutama yang di duduk di kelas XI memiliki masalah dengan penyesuaian dirinya. Sekolah sebagai salah satu lingkungan yang banyak ambil andil dalam perkembangan siswanya, memiliki pengaruh besar dalam pembentukan penyesuaian diri siswa. Dengan aturan dan norma yang berlaku di sekolah, siswa yang memiliki perilaku salahsuai merasa terkungkung oleh peraturan, sebagai salah satu fenomena yang terjadi akibat dari perilaku salahsuai siswa di sekolah yaitu adanya reaksi menyerang berupa tindakan serampangan termasuk di
(13)
3
Ela Meliya Nurazizah, 2014
dalamnya perilaku berkelahi di sekolah, bolos sekolah atau mata pelajaran dan yang paling banyak ditemui yaitu perilaku terlambat datang ke sekolah.
Selain hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulisworo Kusdiyati dan Lilim Halimah (2011) dilakukan pula hasil studi pendahuluan mengenai siswa yang terlambat datang kesekolah di salah satu SMA Negeri di kota Bandung, di dapat hasil bahwa masih banyak siswa yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan peraturan sekolah. Selama bulan Januari sampai dengan awal Maret 2013, didapat data siswa terlambat datang ke sekolah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Data Siswa Terlambat Datang Ke Sekolah
Hari Tanggal
Jumlah Siswa Terlambat
Jum’at 11 Januari 2013 7 siswa
Senin 14 januari 2013 7 siswa Selasa 15 januari 2013 57 siswa
Rabu 16 januari 2013 26 siswa Kamis 17 januari 2013 19 siswa
Jum’at 18 januari 2013 13 siswa
Senin 21 januari 2013 57 siswa Selasa 22 januari 2013 35 siswa Rabu 23 januari 2013 25 siswa
Jum’at 25 januari 2013 13 siswa
Senin 28 januari 2013 13 siswa Selasa 29 Januari 2013 87 siswa Rabu 30 januari 2013 62 siswa Kamis 31 januari 2013 47 siswa
Jum’at 1 Februari 2013 66 siswa
Senin 4 Februari 2013 34 siswa Selasa 5 Februari 2013 38 siswa Rabu 6 Februari 2013 13 siswa
Hari Tanggal
Jumlah Siswa Terlambat Kamis 7 Februari 2013 79 siswa
Jum’at 8 Februari 2013 24 siswa
Senin 11 Februari 2013 3 siswa Selasa 12 Februari 2013 17 siswa
Rabu 13 Februari 2013 23 siswa Kamis 14 Februari 2013 24 siswa
Jum’at 15 Februari 2013 19 siswa
Senin 18 Februari 2013 25 siswa Selasa 19 Februari 2013 72 siswa Rabu 20 Februari 2013 41 siswa Kamis 21 Februari 2013 45 siswa
Jum’at 22 Februari 2013 47 siswa
Senin 25 Februari 2013 14 Siswa Selasa 26 Februari 2013 14 Siswa Rabu 27 Februari 2013 36 Siswa Kamis 28 Februari 2013 23 Siswa
Jum’at 1 Maret 2013 12 Siswa
Senin 4 Maret 2013 2 Siswa Sumber : Buku data absensi siswa SMA Negeri X Bandung
Pelanggaran peraturan sekolah seperti terlambat datang ke sekolah dan membolos mengindikasikan adanya perilaku salahsuai yang ditunjukan oleh siswa. Beberapa siswa dari data di atas merupakan siswa yang rutin terlambat. Banyak alasan yang dikemukakan siswa saat mereka terlambat. Dari mulai telat bangun tidur, macet di jalan, susah bangun pagi, susah tidur, dan sebagainya.
(14)
Selain itu, hal tersebut didasari oleh pemikiran bahwa masa remaja merupakan masa mereka untuk benar-benar menikmati hidup. Namun, dalam hal ini remaja mengartikan kata “menikmati hidup” ini yaitu sebuah perilaku yang menghalalkan mereka untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginan mereka tanpa melihat norma-norma dan peraturan yang berlaku saat itu.
Di sisi lain, keberanian untuk menentukan sikap dengan tegas dan mengambil keputusan secara mantap atas berbagai pilihan-pilihan dalam kehidupan, seringkali sulit dilakukan oleh para remaja (Mulyono, 2007:4). Hurlock (1997;207) mengungkapkan bahwa remaja sering menunjukan sikap yang ambivalen terhadap perubahan. Remaja menginginkan kebebasan untuk menentukan peraturannya sendiri dan merasa dirinya sudah dapat mandiri dalam mengambil keputusan. Namun, terkadang remaja tidak berfikir panjang dalam pengambilan keputusan. Banyak remaja yang mementukan keputusan hanya atas dasar melihat orang lain atau emosi sesaat tanpa berfikir panjang terlebih dahulu. Kondisi demikian memperlihatkan bahwa remaja masih belum dapat mengekplorasi dan berkomitmen dalam mengambil keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa remaja masih belum mengidentifikasi dan mengekplorasi lebih dalam mengenai dirinya.
Remaja yang belum menyadari siapa dirinya yang sebenarnya, belum dapat mengidentifikasi “siapakan dia” dan “apa perbedaannya dirinya dengan orang
lain” akan sangat peka terhadap cara-cara orang lain memandang dirinya, remaja
menjadi mudah tersinggung dan merasa malu, hal ini menandakan adanya kebingungan identitas yang dialami oleh remaja. Selama masa kebingungan identitas ini, tingkah laku remaja menjadi tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan. Pada suatu saat ia mungkin lebih tertutup terhadap siapapun karena takut di tolak atau di kecewakan. Namun, pada saat lain ia mungkin ingin jadi pengikut atau penganggum dengan tidak memperdulikan konsekuensi-konsekuensi dari komitmennya (Hall & Lindzey dalam Desmita, 2006:2014).
(15)
5
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Pada masa remaja, pencarian terhadap identitas diri mencapai sebuah fokus utama dimana remaja menentukan siapa dirinya dan siapa yang bukan dirinya. Pada masa ini, remaja mencari peran-peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka (Feist dan Feist, 2008:224). Dalam pencarian ini, individu menggunakan beragam gambar-gambar dirinya yang sudah diterima atau ditolak sebelumnya, hal ini menunjukan bahwa identitas diri sudah bersemi selama masa bayi, dan terus berkembang selama masa kanak-kakak, usia bermain, dan usia sekolah.
Pada masa remaja cara seseorang mendefinisikan dirinya berubah secara signifikan. Dalam perkembangannya, proses pencarian identitas bagi remaja merupakan proses dimana seorang remaja membangun suatu identitas diri yang unik dan berbeda dengan orang lain. Namun bagi remaja, proses ini merupakan sebuah titik penyadaran akan kapasitas dirinya, sehingga remaja mulai bisa mengeksplorasi terhadap diri dan lingkungannya sesuai dengan kapasitas dirinya.
Perkembangan identitas selama masa remaja dianggap sangat penting karena identitas tersebut dapat memberikan suatu dasar untuk perkembangan sosial dan relasi interpersonalnya (Jones dan Hartman dalam Santrock : 1995). Keputusan-keputusan selama masa remaja menunjukan keberadaannya sebagai individu di tengah-tengah masyarakat, konsep yang disebut para ahli sebagai identitas diri (Archer, dalam Mulyono, 2007:6). Pada masa remaja untuk pertama kalinya, akumulasi perubahan fisik yang signifikan, perubahan kognitif, dan perubahan sosial berinteraksi bersama-sama pada suatu titik dimana remaja memilah-milah dan mensistensikan identifikasi masa anak-anak menuju kematangan peran orang dewasa (Santrock, 2004;57).
Sejalan dengan pendapat Santrock tersebut, identitas diri sesungguhnya sudah ada sejak masa kanak-kanak dan terus berkembang sampai dewasa. Dalam perkembangannya, fokus pencapaian identitas diri yang stabil berada pada fase remaja. Hal ini juga dikemukakan oleh Erikson (Santrock, 1996) yang menekankan tugas perkembangan paling penting pada fase remaja adalah
(16)
pencapaian identitas diri. Remaja yang memiliki kesadaran akan identitas diri di tunjukan dengan adanya krisis dan komitmen (Hadijah, 2010).
Remaja akan mencapai pencapaian identitas ketika ia sudah melalui fase krisis dan komitmen. Dalam hal ini, masih banyak remaja yang belum mengalami kedua fase tersebut. Masih banyak remaja yang hanya mengalami krisis saja atau komitmen saja lalu ia menetapkan sebuah keputusan. Hal tersebut juga di tunjang dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadijah (2010) di salah satu SMA Negeri di kota Bandung di dapat sebanyak 13,95% remaja berada pada status identitas Achievment, 9,30% berada pada status identitas foreclosure, 69,77% berada pada status identitas moratorium, dan 6,98% berada pada status identitas diffusion. Jadi, dapat disimpulkan secara umum status identitas remaja kelas XI SMA berada di status identitas morratorium yakni remaja yang telah mengalami krisis namun belum mencapai sebuah komitmen.
Salah satu bentuk dari komitmen dan eksplorasi hasil dari pemahaman peran dan identitas diri remaja di sekolah yaitu adanya perubahan gaya hidup, keyakinan, perasaan, dan pendapatnya agar terjadi keselarasan dengan diri dan lingkungannya. Untuk mencapai keselarasan tersebut, remaja perlu memperolehan perhatian khusus dari semua bagian sekolah, termasuk personel bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling sebagai suatu bagian sekolah merupakan salah satu unsur penting bagi keseluruhan proses pembelajaran yang tertuju pada pencapaian proses pembelajaran secara optimal dan bertujuan untuk membantu siswa mengidentifikasi peran dan identitas dirinya.
Dalam standar kompetensi kemandirian peserta didik didapat bahwa siswa kelas XI harus memiliki kompetensi pengembangan pribadi yang di antaranya dapat menerima keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selain itu, dalam standar kompetensi yang diterbitkan oleh ASCA didapat bahwa siswa kelas XI harus memiliki kompetensi untuk menghormati diri dan orang lain yang diantaranya yaitu siswa harus dapat mengidentifikasi peran sosial dan budaya
(17)
7
Ela Meliya Nurazizah, 2014
sendiri dan orang lain. Dari standar kompetensi tersebut, telah diketahui bahwa siswa harus dapat mengidentifikasi peran dan identitas dirinya.
Peran konselor sangat penting dalam membantu siswa untuk mengidentifikasi peran dan identitas dirinya mereka sebagai seorang pelajar. Peran dan identitas diri merupakan bagian dari penyesuaian diri siswa terhadap diri dan lingkungannya, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa mengenai peran dan identitas diri diantaranya faktor fisik, kepribadian, pendidikan, lingkungan, agama dan budaya (Ali dan Ansori 2004:181). Dari kelima faktor tersebut, aspek kepribadian memiliki peran penting dalam pembentukan peran dan identitas diri siswa. Kemampuan dan kemauan yang merupakan salah satu unsur dari aspek kepribadian mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap proses pembentukan identitas diri siswa.
Kemauan dan kemampuan untuk berubah ini akan berkembang melalui proses belajar. Bagi individu yang dengan sungguh-sungguh belajar untuk dapat berubah, kemampuan penyesuaian dirinya akan berkembang juga (Ali dan Ansori 2004:183). Perkembangan penyesuaian diri individu di tunjukan dari perilaku individu tersebut yang di awali dari proses berfikir. Pencarian identitas berhubungan dengan penemuan peran sosial dan pesan kepribadian yang saling sesuai bagi individu (Steinberg, 2002). Atkinson (Mulyono, 2007:19) menjelaskan upaya individu dalam mencari identitas diri mencangkup proses menentukan keputusan apa yang penting dan patut dikerjakan serta merumuskan standar tindakan dalam mengevaluasi perilaku dirinya dan perilaku orang lain, termasuk di dalamnya perasaan harga diri dan kompetensi diri. Meningat kompleksya pembahasan tentang perkembangan identitas diri pada remaja, Steinberg (2002:257-258) memilah tiga macam pendekatan yang digunakan oleh para ahli dalam merumuskan perkembangan identitas diri, yakni pendekatan yang bertumpu pada konsep diri, pendekatan yang berangkat dari konsep harga diri, dan pendekatan yang menekankan pada kesadaran terhadap identitas.
(18)
Dalam upaya membantu siswa mengidentifikasi peran dan identitas dirinya, pendekatan yang menekankan pada kesadaran terhadap identitas merupakan sebuah pendekatan yang sesuai agar siswa dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai dirinya. Dalam upaya eksplorasi ini, secara teoritis dan empirik keterampilan konseling yang di kembangkan oleh Carkhuff telah teruji pengaruh dan efektifitasnya dalam menumbuhkan dan mengembangkan perspektif pemikiran klien (Hafina, belum di terbitkan;21). Konseling merupakan suatu proses dimana konselor membantu konseli agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan dengan pemilihan, perencanaan dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu (Glen E. Smith dalam Willis, 2009:17).
Konseling berorientasi pada perubahan perilaku salah suai sebagai akibat dari kejadian yang merugikan baik secara fisik maupun psikis yang di alami individu, seperti perilaku terlambat datang ke sekolah, membolos dan, menutup diri terhadap lingkungan luar. Dalam upaya penanggulangannya, keterampilan konseling yang di kembangkan oleh Carkhuff dapat membantu konseli untuk mengembangkan kemampuannya dalam pengidentifikasian terhadap identitas dirinya. Keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Carkhuff terdiri dari empat tahapan yaitu tahap Attending, Responding, Personalizing, dan Initiating.
Attending adalah suatu keterampilan konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk memperhatikan kebutuhan klien, dan melibatkan diri (involve) secara langsung dengan klien. Responding merupakan keterampilan dasar konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk memahami, memasuki, dan merespon terhadap pikiran dan perasaan klien. Personalizing adalah keterampilan dasar konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk memfasilitasi klien agar memahami diri dan mengenal permasalahan-permasalahannya. Initiating merupakan keterampilan dasar konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk mengambil prakarsa dalam merumuskan tujuan klien dan memilih manakah di antara tujuan tersebut yang akan dicapai.
(19)
9
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Dengan demikian diharapkan layanan konseling individual dengan berdasarkan struktur Carkhuff ini dapat membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya dengan baik agar siswa tersebut dapat berperan dengan sesuai baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Menurut Hurlock (Nurikhsan dan Agustin, 2011 : 16) masa remaja berada berlangsung antara umur 13 sampai 21 tahun bagi wanita dan 14 sampai 21 tahun bagi pria. Hadijah (2011:10) membagi masa remaja menjad dua yaitu masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Pengertian berdasarkan batas usia inilah yang menjadi dasar penelitian dimana sample penelitian yang diambil adalah siswa SMA kelas XI yang berada pada batas usia remaja akhir. Dimana pada masa ini remaja memiliki tuntutan untuk membentuk peran dan identitas diri yang di tandai dengan adanya eksplorasi dan komitmen dalam menyikapi berbagai masalah dalam pembuatan keputusannya.
Pandangan para ahli dalam bidang perkembangan remaja menungkapkan bahwa pada masa remaja, pencarian dan perkembangan identitas merupakan tugas utama remaja (Marcia, dalam Marcia et al, 1992: papalia 7 Old, 1995, Steinberg, 2002, 2008 ; Hurlock, 1990; Santrock, 2007). Identitas merupakan suatu bentuk pengkonseptualisasian diri atau suatu gambaran tentang bagaimana individu memandang, mempersepsi, atau menilai dirinya (Steinberg ; Hadijah, 2011).
Erikson melihat perkembangan individu dalam hubungannya dengan pembentukan diri pada masa remaja akan memunculkan sebuah pertanyaan besar mengenai siapa dirinya dan sepertia apa dirinya. Pada masa ini pencarian identitas yaitu pencarian kejelasan status dan peran sosial pada individu menjadi sebuah dilema (Hadijah, 2011:11).
(20)
Erikson (1968) mengemukakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukan identitas diri, yaitu perkebangan kearah individualitas yang merupakan aspek penting dalam perkembangan berdiri sendiri. Ketika remaja tidak bisa mengidentifikasi peran dan identitas diri, maka siswa akan mengalami masalah dalam penyusuaian dengan lingkungannya seperti adanya kecemasan, meningkatkan kemungkinan gangguan pada pikiran yang tidak relevan dan bahwa hal yang siswa lakukan akan menguangi kapasitas kognitif, dan mengurangi kinerja siswa di sekolah.
Berdasarkan periodisasi mengenai remaja dan perkembangannya, masa remaja merupakan masa rentan bagi individu dalam menentukan akan menjadi seperti apa mereka kedepannya. Remaja yang sudah mencapai transisi perkembangan untuk mencapai masa dewasa diharapkan dapat merancang kehidupannya dengan lebih baik. Oleh sebab itu, pada masa remaja penting bagi individu untuk dapat mengidentifikasi secara jelas identitas dirinya.
Layanan konseling dapat dijadikan sebuah bantuan bagi siswa dalam mengidentifikasi identitas dirinyanya. Karena pada masa remaja terutama bagi siswa kelas XI SMA yang berada pada rentang remaja akhir perkembangan intelektual dan kognitifnya sudah berada pada tahap operasional formal, remaja sudah mampu mengembangkan pikiran formalnya, remaja mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi (Piaget dalam Ali & Ansori, 2004:29). Oleh karena pendekatan yang menekankan pada kesadaran akan identitas dalam upaya memantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya dapat dijadikan acuan dalam melakukan proses konseling.
Dalam proses konseling, kehangatan, kesediaan, dan kesiapan konseli dalam memasuki setiap sesi dalam konseling merupakan modal awal bagi lancarnya sebuah proses konseling. Dalam hal ini, konselor harus memiliki sebuah keterampilan khusus agar dapat membawa konseli kedalam proses konseling dengan nyaman dan tepat. Bila konselor tidak dapat membawa konseli ke dalam
(21)
11
Ela Meliya Nurazizah, 2014
keadaan nyaman, proses konseling tidak akan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Terdapat beberapa keterampilan konseling yang dapat di pelajari oleh para konselor, salah satunya yaitu keterampilan konseling yang di kembangkan oleh Carkhuff. Carkhuff (Hafinna, belum diterbitkan : 18) membagi empat keterampilan konseling yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan konseling yaitu ketermapilan Attending, Responding, Personalizing, dan Initiating. keempat keterampilan ini diharapkan dapat membantu siswa dalam mengenali diri, menggali akar permasalahan yang dialami siswa, dan dapat membantu siswa menemukan titik temu untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang dialaminya dalam hal ini yaitu membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya.
Dari identifikasi di atas, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut: “Bagaimana layanan konseling i berdasarkan struktur Carkhuff dapat
membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya?” C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melakukan kajian mengenai efektivitas layanan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff dalam membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya di kelas XI SMA Negeri di Bandung.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu bimbingan dan konseling, dalam memberikan gambaran yang berkaitan dengan identifikasi peran dan identitas siswa. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber referensi dan dapat dijadikan dasar dalam membantu siswa untuk dapat mengidentifiasi peran dan identitasnya dalam kehidupan sosial.
(22)
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian dibedakan menjadi 2, yaitu bagi Peneliti selanjutnya dan Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah.
a. Peneliti selanjutnya
Hasil Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan bahan referensi bagi mahasiswa lain yang ingin membahas mengenai hubungan sosial siswa di sekolah yang meliputi kemampuan untuk mengidentifiasi peran dan identitas siswa di SMA dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
b. Guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Hasil Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling pribadi sosial di sekolah, khususnya dalam membantu siswa mengidentifikasi peran dan identitas dirinya. Dan memberikan pertimbangan dalam pengambilan pendekatan layanan dalam melakukan konseling bagi siswa yang mengalami masalah dengan peran dan identitas diri.
E. Metodologi
a.Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini karena peneliti bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti indikator, latar belakang, faktor penyebab suatu fenomena, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Melalui pendekatan ini diharapkan diperoleh kajian empirik terhadap proses konseling individual.
(23)
13
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode subjek tunggal (single subject). Penelitian menggunakan desain A-B-A yakni penelitian yang didahului dengan meganalisis baseline/pencatatan perilaku awal subjek (A) lalu dilanjutkan dengan treatment/intervensi (B) dan terakhir yaitu mencatatan perilaku setelah treatment (A).
Desain single subject hanya melibatkan satu peserta saja, tetapi biasanya juga dapat mencakup beberapa peserta atau subjek penelitian yakni 3 sampai 8 subjek. Setiap subjek berfungsi sebagai kontrol bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kinerja subjek sebelum, selama, dan setelah diberi perlakuan (Horner et al, 2005: 168).
c.Instrumen
Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa angket. Bentuk angket yang digunakan adalah angket berstruktur dengan bentuk jawaban tertutup. Angket bentuk ini merupakan angket yang jawabannya telah tersedia dan responden hanya menjawab setiap pernyataan dengan cara memilih alternatif jawaban yang telah disediakan.
Angket digunakan untuk memperoleh gambaran umum mengenai kemampuan siswa dalam mengidentifikasi peran dan identitas dirinya sebagai seorang remaja yang berada pada kelas XI di sekolah menengah atas. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa angka-angka yang diolah dengan pemberian bobot skor pada item - item pernyataan dalam angket.
d.Populasi dan Sample
Teknik pengambilan sampel menggunakan non-probabilitas yaitu pemilihan individu yang didasarkan pada ketersediaan, kesesuaian, dan representasi beberapa karakteristik yang dingin diteliti dalam penelitian.
(24)
Adapun acuan yang dijadikan sampel, diambil dari populasi siswa kelas XI SMA Negeri 24 Bandung, dengan pertimbangan hasil studi pendahuluan yang menunjukan adanya fenomena yang menunjang pada penelitian. Selain itu kelas XI dijadikan sampel, di pertimbangkan dari hasil studi terdahulu yang telah memaparkan profil penyesuaian diri di SMA yang menyatakan bahwa sebagian besar pelanggaran penyesuaian diri yang diantaranya adalah terlambat datang ke sekolah dan membolos dilakukan di kelas XI.
e. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data digunakan dengan cara yang ideal, yaitu dengan mencampurkan prosedur umum dengan langkah-langkah khusus (Cresswell, 2012: 276). Ringkasan proses analisis data dapat dijabarkan lebih detail dalam langkah-langkah:
1. mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis; 2. membaca keseluruhan data;
3. menganalisis data;
4. endeskripsikan setting, orang-orang, kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis;
5. menunjukkan bagaimana desktipsi dan tema-tema ini disajikan kembali dalam narasi/laporan kualitatif; dan
6. menginterpretasi atau memaknai data
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama bersisi latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Pada bab kedua berisi kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan hipotesis penelitian. Bab tiga berisi metode penelitian. Bab empat berisi hasil penelitian dan pembahasan. Dan terakhir bab lima berisi kesimpulan dan saran.
(25)
15
(26)
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai perencanaan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi. Pokok bahasan bab ini terdiri atas: lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional variabel, intrumen penelitian, pengembangan instrumen, langkah-langkah penelitian, pengumpulan data, dan teknik analisi data.
A. Lokasi dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di Bandung berdasarkan atas studi pendahuluan yang sebelumnya di laksanakan di SMA Negeri tersebut. Selain itu, SMA Negeri tersebut dijadikan lokasi penelitian didasarkan atas hasil penelitian terdahulu yang menunjang kepada penelitian yang akan dilaksanakan.
Sampel penelitian diambil dari populasi siswa kelas XI di salah satu SMA Negeri di Bandung, dengan pertimbangan hasil studi pendahuluan yang menunjukan adanya fenomena yang menunjang pada penelitian. Selain itu, kelas XI dijadikan sampel di pertimbangkan dari hasil studi terdahulu yang di lakukan di salah satu SMA Negeri di Bandung mengenai pengaruh konformitas terhadap pembentukan identitas diri siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan termasuk kedalam sampling non-probabilitas yaitu pemilihan individu yang didasarkan pada ketersediaan, kesesuaian, dan representasi beberapa karakteristik yang ingin diteliti.
B. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengentahui efektiftas penggunaan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff dalam membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
(27)
51
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Pada tataran praktis, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode subjek tunggal (single subject). Penelitian menggunakan desain A-B-A yakni penelitian yang didahului dengan meganalisis baseline/pencatatan perilaku awal subjek (A) lalu dilanjutkan dengan treatment/intervensi (B) dan terakhir yaitu mencatatan perilaku setelah treatment (A). Desain single subject hanya melibatkan satu peserta saja, tetapi biasanya juga dapat mencakup beberapa peserta atau subjek penelitian yakni 3 sampai 8 subjek. Setiap subjek berfungsi sebagai kontrol bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kinerja subjek sebelum, selama, dan setelah diberi perlakuan (Horner et al, 2005: 168).
C. Definisi Operasional Variabel 1. Identitas Diri
Pada masa remaja, pencarian terhadap identitas diri mencapai sebuah klimaks dimana remaja menentukan siapa dirinya dan siapa yang bukan dirinya. Dengan kedatangan pubertas, masa remaja mencari peran-peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka (Feist dan Feist, 2008:224). Dalam pencarian ini, individu menggunakan beragam gambar-gambar dirinya yang sudah diterima atau ditolak sebelumnya, hal ini menunjukan bahwa identitas diri sudah bersemi selama masa bayi, dan terus berkembang selama masa kanak-kakan, usia bermain, dan usia sekolah.
Istilah identitas diri dipakai secara beragam oleh orang awam maupun para ahli. Hogg & Abraham (Mulyono, 2007 : 17-18) menyatakan bahwa identitas diri adalah konsep yang digunakan oleh orang-orang untuk menyatakan tentang siapakah mereka, orang macam apa mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain. Identitas diri didefinisikan sebagai komitmen dan identifikasi yang menyediakan kerangka yang memungkinkan seseorang untuk mencoba memilih, mengevaluasi apa yang baik, penting, memungkinkan dilakukan atau apa yang pantas dan tepat atau sebaliknya (Taylor dalam Mulyono, 2007 : 18).
(28)
Menurut Erikson (Feist dan Feist, 2008:224), identitas muncul dari dua sumber yaitu: (1) afirmasi atau penolakan remaja terhadap identifikasi kanak-kanak, dan (2)konteks historis dan sosial mereka, yang mendukung konformitas bagi standar-standar tertentu. Feist dan Feist (2008:224) mengungkapkan bahwa:
kebingungan identitas adalah sindrom masalah yang mencangkup gambar diri yang terpecah-belah, sebuah ketidakmampuan membangun keintiman, perasaan kemendesakan waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas-tugas yang disyaratkan, dan penolakan terhadap standar keluarga atau komunitas.
Menurut Erikson (Muus, 1996:60) Identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan berbagai hal.
Individu pada fase ramaja harus dapat membedakan dan memunculkan ciri khas dirinya agar memiliki posisi tersendiri dalam masyarakat. Hal senada juga di ungkapkan oleh Yusuf dan Nurikhsan (2008:108) yang menyatakan bahwa identitas diri berarti mengetahui siapa diri individu dan bagaimana diri individu masuk ke dalam masyarakat.
Identitas diri didefinisikan sebagai pemahaman yang menyeluruh mengenai gambaran diri sendiri dan dalam posisinya di dalam konteks sosial (Marcia dalam Hadijah, 2011 : 45). Identitas diri merupakan suatu bentuk pengkonseptualisasian diri atau suatu gambaran tentang bagaimana individu memandang, mempersepsi, atau menilai dirinya (Steinberg, 2002). Papalia 7 Olds (2008), Steinberg (2002), dan Marcia (1980) menyepadankan pengertian identitas sebagai suatu bentuk pendefinisian diri.
Fearon (Mulyono, 2007 : 18) mengungkapkan bahwa identitas diri juga merajuk pada konsep abstrak dan relatif dalam jangka panjang yang ada dalam pikiran seseorang tentang diapa dirinya, menunjukan eksistensi dan keberhargaan
(29)
53
Ela Meliya Nurazizah, 2014
serta membuat dirinya menjadi “seseorang”. Karena itu, identitas diri biasanya juga berisi harga diri seseorang. Konsep ini menunjukan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagai motivator perilaku dan menyebabkan ketelibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri.
Konsep identitas dapat dijabarkan sebagai suatu keasadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, pada keyakinan yang pada dasarnya tetap tinggal sama selama seluruh jalan perkembangan hidup walaupun terjadi segala macam perubahan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan sebuah terminologi yang cukup luas yang dipakai oleh individu dalam menjelaskan tentang siapa dirinya dan menunjukan cara pandang individu mengenai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Pencapaian identitas diri berhubungan dengan penemuan peran sosial individu sehingga individu dapat menyelaraskan antara tuntutan-tuntutan yang ada dalam dirinya dengan tuntutan yang ada di luar dirinya. Peran dan identitas diri merupakan sebuah perilaku dimana individu dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan mampu merencanakan serta mengorganisasikan respon terhadap kemungkinan terjadinya konflik atau frustrasi.
Marcia (Desmita, 2006 : 215) mengungkapkan pembentukan identitas ini memerlukan adanya dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah “eksplorasi (krisis)” menunjukan pada suatu masa di mana seseorang berusaha menjelajahi berbagai alternatif pilihan, yang pada akhirnya bisa menetapkan satu alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif tersebut. Sedangkan istilah “komitmen” menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan tersebut. Dengan kata lain, komitmen adalah keputusan
(30)
untuk membuat alternatif–alternatif tentang elemen-elemen identitas dan secara langsung aktivitas diarahkan pada implikasi dari alternatif-alternatif tersebut.
Seseorang dikatakan memiliki komitmen bila elemen identitasnya berfungsi mengarahkan tindakannya, dan selanjutnya tidak membat perubahan yang berarti terhadap elemen identitas tersebut (Marcia dalam Desmita, 2006 ; 215-216). Berdasarkan krisis dan komitmen inilah, Marcia (Papalia et al., 2009) merumuskan 4 status identitas remaja, yang dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 3.1
Matriks Status Identitas
Krisis / Eksplorasi Komitmen
Ada Tidak Ada
Ada Identity Achievement Moratorium
Tidak Ada Foreclosure Identity Diffusion
a. Identity Achievement. Menunjukan bahwa remaja yang berada dalam kelompok ini telah berpengalaman dan berhasil menyelesaikan suatu periode krisis mengenai nilai-nilai dan pilihan-pilihan hidup mereka. Mereka juga telah memiliki komitmen terhadap sebuah keputusan yang didasarkan pada pertimbangan dari berbagai alternatif dan kebebasan relatif yang diberikan oleh orang tuanya.
b. Moratorium. Menunjukan bahwa remaja berada dalam posisi krisis, secara aktif berjuang membentuk komitmen-komitmen dan mengikat perhatian terhadap hasil kompromi yang dicapai antara keputusan orang tua mereka, harapan-harapan masyarakat dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri. meskipun demikian, komitmen mereka hanya didefinisikan secara samar.
c. Foreclosure. Remaja dalam katagori ini telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami krisis. Sebelum waktunya, ia telah melibatkan dirinya pada aspek-aspek penting dari identitas tanpa banyak mengalami
(31)
55
Ela Meliya Nurazizah, 2014
kesulitan untuk mengetahui apa yang dicita-citakan oleh orang tua mereka terhadap dirinya dan apa yang menjadi cita-citanya sendiri. d. Identity Diffusion. Menunjukan remaja yang belum mempunyai
pengalaman dalam suatu krisis, tetapi telah menunjukan sedikit perhatian terhadap sebuah komitmen terhadap pilihan keputusannya. Pada masa remaja, para remaja mulai menyadari tentang kepastian identitas dirinya sehingga pada remaja awal mereka mulai melakukan eksplorasi terhadap kepribadian dirinya. Pencarian identitas pada masa remaja menjadi lebih kuat sehingga ia berusaha untuk mencari identitas dan mendefinisikan kembali siapakah ia saat ini dan akan menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan identitas selama masa remaja ini dianggap sangat penting karena identitas tersebut dapat memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi interpersoanal pada masa dewasa (Jones dan Hartmann, 1988).
2. Konseling Individual Berdasarkan Struktur Carkhuff
Konseling merupakan sebuah upaya bantuan yang dilakukan oleh konselor dalam membantu peserta didik memecahkan masalah yang dialaminya. Suherman (2007:16) mengartikan konseling sebagai salah satu hubungan yang bersifat membantu agar klien dapat tumbuh ke arah yang dipilihnya juga agar dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Konseling merupakan proses bantuan oleh konselor kepada konseli yang bersifat rahasia agar konseli dapat memahami dirinya sendiri dan mengatasi masalah yang dialaminya sehingga konseli dapat berkembang secara optimal. Konseling yang dilakukan dalam rangka membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya untuk menuju sebuah pencapaian identitas ini menggunakan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff. Carkhuff (Hafina, Belum diterbitkan;46) membagi keterampilan konseling kedalam empat keterampilan yaitu Attending, Responding, Personalizing, dan Initiating.
(32)
Dalam Attending, konselor dituntut untuk dapat menciptakan iklim hangat yang dapat mengundang konseli untuk mau menceritakan keluh kesahnya kepada konselor dan membuat konseli menjadi nyaman. Dalam Attending kemampuan konselor dalam mendengarkan dan menyerap pernyataan – pernyataan yang diungkapkan konseli merupakan kunci untuk masuk pada tahap berikutnya, konselor harus dapat memperoleh gambaran mengenai perasaan apa yang bergulat dalam diri konseli dan dapat menyerap setiap informasi yang diungkapkan konseli.
Selanjutnya, keterampilan kedua dalam konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff ialah keterampilan Responding atau merespon. Konselor dituntut untuk dapat merespon setiap situasi yang dialami konseli, baik itu pernyataan secara verbal maupun non-verbal yang di tunjukan oleh konseli. Aktivitas merespon ini menyangkut respon terhadap situasi, respon terhadap makna dari pernyataan yang diungkap konseli, respon terhadap perasaan, dan respon terhadap alasan yang diungkap konseli.
Keterampilan ketiga dalam konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff ialah keterampilan Personalizing. Keterampilan ini mengacu kepada aktivitas pemahaman konseli terhadap masalah yang ia hadapi. Dalam personalizing, konselor berusaha untuk membimbing konseli untuk lebih mengenal dirinya, mengetahui apakah masalahnya, bagaimana perasaannya, dan apa yang menjadi tujuannya melalui proses konseling. Melalui keterampilan ini, konselor lebih mengarahkan konseli untuk memahami akar masalah yang ia hadapi, sebab dan akibat dari masalah tersebut, dan pemahaman-pemahaman lain mengenai masalah yang dialami konseli.
Keterampilan terakhir dalam konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff ialah keterampilan Initiating. Keterampilan ini mengacu kepada kehendak konseli untuk mulai bertindak (melakukan perubahan). Fokus konseling pada tahap ini yaitu perumusan tujuan perubahan perilaku, memilih arah tindakan,
(33)
57
Ela Meliya Nurazizah, 2014
keterampilan ini, konselor membantu konseli dalam merumuskan tujuan dan tindakan yang akan dilakukan. Tindakan nyata sesuai dengan apa yang dipilih konseli secara nyata akan membawa konseli kearah perubahan perilaku merupakan puncak dari segenap konseling yang dilakukan.
Konseling berdasarkan struktur Carkhuff diharapkan dapat mewujudkan sebuah perubuahan perilaku siswa secara positif dan dapat mengarahkan keputusan-keputusan yang diambil siswa sesuai dengan komitmennya. Sehingga proses konseling yang dilakukan dapat menghasilkan perubahan perilaku siswa dalam pengidentifikasian identitas diri, dalam menyesuaikan diri di lingkungan sekitar, dan dalam pengidentifikasian peran dirinya di masyarakat.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa angket. Bentuk angket yang digunakan adalah angket berstruktur dengan bentuk jawaban tertutup. Angket bentuk ini merupakan angket yang jawabannya telah tersedia dan responden hanya menjawab setiap pernyataan dengan cara memilih alternatif jawaban yang telah disediakan.
Angket digunakan untuk memperoleh gambaran umum mengenai kemampuan siswa dalam mengidentifikasi identitas dirinya sebagai seorang remaja yang berada pada kelas XI di sekolah menengah atas. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa angka-angka yang diolah dengan pemberian bobot skor pada item - item pernyataan dalam angket.
Dalam penelitian ini, angket disusun dalam bentuk force-choice (ya-tidak) peneliti menggunakan pertanyaan tidak favorable (negatif) dan pertanyaan favorabel (positif), dengan alternatif jawaban “Ya” dan “Tidak”. Pada pengolahan nilai skor, peneliti penggunakan pendekatan apriosi dimana ketentian skor di tentukan oleh meneliti dan peneliti tidak mengasumsikan benat atau salah pada
(34)
hasil jawaban responden sehingga tidak menggunakan uji proporsisi dengan poin biserial korelasi (Hadijah, 2010 :73).
Tabel 3.2
Skor Angket Pengungkap Status Identitas
Pertanyaan Alternatif Jawaban
Ya Tidak
Favorable (+) 1 0
Un-Favorable (-) 0 1
E. Pengembangan Instrumen
Angket pengungkap status identitas yang di gunakan dalam penelitian ini mengadaptasi instrumen EOM EIS-2 revision (Extenden Version of the Objective Measure of Ego Identity Status) yang di susun oleh Bennion dan Adams (Hadijah, 2010 ; 73-74) yang telah diadaptasi melalui proses penerjemahan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setiap item pada angket ini telah menunjukan pada karakteristik dari status identitas tertentu. Angket ini menggunakan alternatif jawaban “Ya” dan “Tidak” untuk mendapatkan jawaban yang tegas terhadap setiap pernyataan. Jawaban “Ya” diberi skor satu dan jawaban “Tidak” diberi skor nol. Tabel berikut akan menguraikan kisi-kisi instrumen status identitas.
Tabel 3.3
Kisi – kisi Instrumen Pencapaian Status Identitas
Dimensi Sub Dimensi Indikator Item Jmlh
Commited
Eksplorasi Tinggi
Identity Achievement : Telah melewati periode eksplorasi dan mampu untuk
mengidentifikasi serta menampilkan komitmen
(35)
59
Ela Meliya Nurazizah, 2014
yang kuat Eksplorasi
Rendah
Identity Foreclosure : Telah membuat komitmen tanpa mengalami krisis untuk memutuskan apa yang baik baginya, hanya menurut apa yang di tentukan.
17 s.d 32 16
Uncommited
Eksplorasi Tinggi
Identity Moratorium : belum memiliki komitmen tapi telah secara aktif mencari informasi tentang berbagai alternatif.
33 s.d 48 16
Eksplorasi Rendah
Identity Diffusion : Belum memikirkan atau tidak terlal peduli dengan
ketidakpastian dalam arah hidupnya.
49 s.d 64 16
Total Jumlah Item 64
Setelah kisi-kisi instrumen tesusun, langkah selanjutnya adalah menyusun pernyataan yang merujuk pada indikator-indikator pernyataan yang telah disusun. Penyusunan butir pernyataan angket ini diadaptasi dari angket yang telah lebih dahulu disusun dan di terjemahkan oleh Ai Siti Hadijah (2010), mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan dalam skripsinya yang berjudul “Kontribusi Konformitas Terhadap Pencapaian Identitas Diri Remaja” dengan melalui tahap perizinan. Angket yang disusun oleh Ai Siti Hadijah telah melalui tahap validasi dengan uji validitas dan uji reabilitas sebagai berikut:
1. Uji Validitas Instrumen Pengungkap Status Identitas
Uji validitas dilakukan agar angket dapat memberikan hasil yang meyakinkan terhadap variabel yang diukur (Sukmadinata dalam Fardila: 2008:51). Kaidah keputusan menentukan valid atau tidaknya sebuah item pada instrumen pengungkap status identitas berpatokan pada norma sebagai berikut: jika t hitung > ttabel berarti item yang dimaksud valid. Sebaliknya jika t hitung < ttabel
(36)
maka item yang dimaksud tidak valid. (Hasil uji validitas instrumen pengungkap status identitas diri terlampir).
2. Uji Reabilitas Instrumen Pengungkap Status Identitas
Reabilitas suatu instrumen penelitian menunjukan bahwa instrumen yang digunakan dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data keran instrumen tersebut dapat dikatakan baik apabila memberikan data dengan ajeg sesuai dengan kenyataan (Arikunto, 2006:86). Reabilitas berkenaan dengan tingkat keajegan, bila instrumen tersebut digunakan untuk mengukur aspek yang diukur beberapa kali hasilnya sama atau relatif sama. Uji reabilitas insrumen dilakukan dengan teknik belah dua (split-half) dengan rumus korelasi Spearman :
Rumus 3.2 Koefisien korelasi Spearman (Sudjana, 2005:455)
r’
= 1-
Berdasarkan hasil perhitungan reabilitas dengan menggunakan rumus koefisien korelasi Spearman, menunjukan reabilitas untuk uji (split-half) instrumen pengungkap status identitas diri sebesar r’ = 0,938. Maka hasil tersebut di lanjutkan dengan rumus:
r
ii =
Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka didapat reabilitas intrumen sebesar 0,968. Dengan melihat indeks reabilitas sebesar 0,968 berarti bahwa reabilitas alat ukur tersebut termasuk kepada katagori sangat tinggi.
(37)
61
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Dengan melihat hasil validasi dan reabilitas yang telah diuraikan di atas, maka penyusunanan butir-butir pernyataan dapat dijabarkan dalam tebel berikut ini:
Tabel 3.4
Penyususnan Butir – Butir Pernyataan
No Pernyataan
1. Saya tidak memiliki pandangan yang idealis tentang satu gaya hidup saja 2. Bagi saya penting untuk memahami isu politik yang sedang berkembang 3. Saya menentukan sendiri kriteria teman bagi saya
4. Berdasarkan pengalaman, kini saya telah menemukan gaya berpacaran yang sesuai bagi saya 5. Saya meyakini adanya Tuhan YME.
6. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, kini saya memiliki pandangan hidup yang ideal bagi saya. 7. Saya memilih kegiatan yang sesuai dengan minat saya.
8. Saya sudah memutuskan jenis pekerjaan yang ingin saya jalani. 9. Saya telah memiliki gambaran tentang keluarga yang ideal.
10. Setelah banyak berdiskusi kini saya telah menemukan pandangan hidup yang sesuai bagi saya. 11. Saya meyakini agama yang saya anut.
12. Saya memutuskan sendiri siapa yang menjadi teman saya.
13. Saya telah mencoba berbagai kegiatan, saya telah menentukan kegiatan yang dapat membuat saya senang.
14. Saya telah memutuskan pilihan karrir yang akan saya jalani.
15. Saya menentukan sendiri kriteria orang yang akan menjadi pacar saya. 16. Saya menjalani hidup sesuai dengan apa yang membuat saya nyaman.
17. Pandangan saya tentang peran orang tua dalam keluarga sama dengan orang tua saya. 18. Saya memikirkan banyak pilihan karir, tetapi orang tua tetap yang menentukan. 19. Orang tua menentukan dengan siapa saya berteman.
20. Saya mengikuti pilihan partai politik orang tua.
21. Pemikiran saya tentang peran anggota keluarga berasal dari orang tua.
22. Saya meyakini pemikiran saya tentang kehidupan yang berasal dari orang tua. 23. Saya hanya memilih teman yang di setujui orang tua.
(38)
24. Saya melakukan kegiatan waktu luang yang sama dengan orang tua. 25. Saya hanya berpacaran dengan orang yang dipilih orang tua.
26. Pandangan saya terhadap politik sama denga orang tua.
27. Saya mengikuti pilihan karir yang telah direncanakan orang tua. 28. Saya mempunyai pandangan hidup yang sama dengan orang tua.
29. Saya merasa agama yang paling tepat bagi saya adalah agama yang sama dengan orang tua. 30. Kegiatan waktu luang saya ditentukan oleh orang tua.
31. Saya hanya berpacaran dengan orang yang disetujui orang tua. 32. Saya menerima pandangan orang tua tentang moral.
33. Saya mencari jenis pekerjaan yang mungkin sesuai untuk saya. 34. Saya banyak bergaul agar dapat mengetahui kriteria teman yang baik. 35. Saya masih mempertimbangkan untuk memiliki pacar.
36. Saya masih mencoba menemukan bakat saya untuk menentukan jenis pekerjaan yang cocok untuk saya.
37. Saya masih mencoba memahami tanggung jawab orang tua dalam keluarga. 38. Saya banyak memikirkan tentang makna bagi hidup saya.
39. Saya masih mencari kegiatan yang benar-benar bisa saya nikmati. 40. Saya masih belum memahami arti agama dalam hidup saya. 41. Saya belum menemukan kriteria pacar yang tepat.
42. Ada banyak partai politik, tapi saya belum memutuskan pilihan saya. 43. Masih banyak hal yang belum saya pahami tentang agama.
44. Saya belum memiliki gambaran tentang keluarga ideal.
45. Saya belum memiliki paham politik yang dapat saya jadikan pegangan.
46. Banyak cara untuk membagi tanggung jawab dalam keluarga, tapi saya belum mampu memutuskan yang terpat bagi saya.
47. Saya mencoba berbagai kegiatan untuk menemukan hal yang benar-benar saya sukai. 48. Saya belum dapat menentukan kriteria teman yang baik.
49. Saya tidak tertarik ketika ada yang membahas tentang agama.
50. Saya mengikuti suatau kegiatan hanya jika ada teman yang mengajak. 51. Saya merasa tidak penting memikirkan tentang agama.
(39)
63
Ela Meliya Nurazizah, 2014
52. Saya kurang memikirkan masalah politik, karena bagi saya itu tidak penting. 53. Saya tidak pernah memikirkan tentang peran anggota keluarga dalam keluarga. 54. Saya tidak pernak berusaha untuk memiliki pacar.
55. Saya tidak tertarik untuk menemukan jenis pekerjaan yang tepat bagi saya. 56. Saya tidak berfikir untuk mencari sahabat saat ini.
57. Saya tidak tertarik pada kegiatan-kegiatan diluar sekolah. 58. Saya kurang memikirkan tentang pacaran
59. Saya tidak pernah memikirkan tentang mengapa agama saya sama dengan orang tua. 60. Saya tidak pernah memikirkan tujuan hidup saya.
61. Saya tidak tertarik untuk memiliki sahabat.
62. Saya tidak pernah tertarik untuk mempelajari politik.
63. Saya belum dapat memutuskan jenis pekerjaan yang akan saya pilih. 64. Bagi saya tidak penting memikirkan peran orang tua dalam keluarga.
F. Langkah-Langkah Penelitian
1. Pencatatan Perilaku Awal (Pre Test)
Pre test merupakan tes awal yang dilakukan kepada sample penelitian sehingga menghasilkan informasi kepada peneliti mengenai status identitas sampel penelitian. Informasi mengenai status identitas akan menentukan langkah intervensi selanjutnya. Selama pre test peneliti dapat mengumpulkan data lain mengenai sampel dengan menggunakan format identitas siswa yang berisikan identitas diri siswa, dan identitas keluarga.
2. Perlakuan (Treatment)
Perlakukan merupakan penanganan yang dilakukan peneliti terhadap sampel penelitian berdasarkan hasil pre test. Perlakuan atau treatment yang dilakukan yaitu pemberian layanan konseling individual berdasarkan struktur Carkhiff. Dalam konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff, konseling di bagi menjadi empat bagian, yaitu Attending, Responding, Personalizing, dan Initiating.
(40)
Pada tahap Attending, berisi mengenai kesiapan konseli dalam melakukan konseling dan informasi awal mengenai sebab masalah yang dihadapi konseli. Pada tahap ini, konselor mencari informasi mengenai pembentukan status identitas konseli pada saat ini.
Pada tahap Responding, berisi mengenai eksplorasi lanjutan dari masalah yang dihapadi konseli baik itu sebab masalah ataupun faktor lain yang terlibat dalam masalah yang dihadapi konseli. Pada tahap ini, konselor membantu konseli untuk dapat mengekplorasi lebih dalam mengenai diri konseli, mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat menggugah ekplorasi konseli terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya. Selama proses ini, konselor diharapkan dapat merespon setiap tindakan yang di ungkap konseli, baik itu secara verbal maupun non-vebal.
Pada tahap Personalizing berisi mengenai pemahaman konseli terhadap masalah yang hadapi dan kesadaran konseli terhadap sebab dan akibat dari masalah. Pada tahap ini, konselor mengarahkan konseli kepada pemahaman akan dirinya yang baru. Konseli diarahkan untuk mengembangkan identitas dirinya berdasarkan ekplorasi dan komitmen yang berasal dari dalam dirinya.
Pada tahap Initiating diharapkan konseli dapat merumuskan perubahan perilaku, menentukan arah perubahan perilaku, serta adanya kontrak perubahan perilaku. Pada tahap ini, konseli dibantu oleh konselor untuk dapat merumuskan kembali perilaku – perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Konseli diajak untuk menentukan perilaku apa yang sebaiknya dilakukan sesuai dengan ekplorasi dan komitmen yang telah konseli lalui sehingga memunculkan sebuah identitas yang baru dan menghasilkan perubahan perilaku yang sesuai.
Pelaksanaan setiap tahap dalam konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff dilakukan dalam beberapa sesi, setiap sesi dapat berisi beberapa tahap konseling. Proses konseling dinyatakan selesai jika konseli sudah dapat merumuskan perubahan perilaku dan melakukan perubahan tersebut.
(41)
65
Ela Meliya Nurazizah, 2014
3. Pencatatan Perilaku Akhir (Post Test)
Post test atau pencatatan perilaku akhir merupakan tes akhir yang dilakukan setelah adanya perlakuan. Post tes dilakukan dengan menggunakan instrumen yang sama dengan pre test. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan status identitas siswa setelah pelaksanaan perlakuan. Selain itu, dalam pencatatan perilaku akhir juga dapat dilakukan dengan wawancara terhadap guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling siswa.
G. Analisis Data
Kualifikasi skor dalam analisis data angket digambarkan melalui tabel distribusi skor responden berdasarkan konversi untuk menentukan makna diagnostik terhadap skor. Langkah ini dilakukan untuk menentukan kategori status identitas siswa berdasarkan kombinasi komitmen dan eksplorasi siswa yang kemudian difosukan keadalam salah satu dari empat status identitas yaitu Identity Achievment, Identity Foreclosure, Identity Moratorium, dan Identity Diffusion. Untuk menentukan batas skor dilakukan dengan menghitung rata-rata dengan menghitung selisih skor tertinggi dan terendah, menentukan standar deviasi, dan kemudian diperoleh nilai cut-off bagi masing-masing status.
Dari gambaran stastus identitas hasil pre test dan post test dapat dijadikan rujukan untuk uji efektivitas layanan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff. Selain itu, uji efektivitas layanan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff dapat dilakukan dengan pencatatan perilaku awal (sebelum dilakukan treatment) dan perilaku akhir siswa (setelah dilakukan treatment).
(42)
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan dan rekomendasi yang diharapkan menjadi masukan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling serta aplikasi layanan konseling untuk mengidentifikasi identitas diri siswa.
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum status identitas siswa berada pada status morratorium yang berarti bahwa siswa sudah mengalami eksplorasi namun belum dapat stabil dalam menentukan komitmen. Walaupun demikian, ada juga siswa yang berada di status identitas foreclosure yang bearti bahwa siswa sudah memutuskan komitmen namun sedikit dalam ekplorasi, dan ada juga yang sudah mencapai identity achievment yaitu siswa yang sudah cukup melakukan eksplorasi dan sudah mantap dalam berkomitmen (stabil).
2. Faktor penyebab siswa belum mencapai identity achievment sangat beragam, mulai dari faktor dalam diri siswa yang masih belum dapat tegas terhadap keputusannya, keadaan keluarga yang kurang harmonis, dan juga faktor lingkungan sosialnya.
3. Layanan konseling individual berdasarkan struktur dapat membantu siswa mengembangkan identitas dirinya. Terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan bahwa layanan konseling ini memberikan perubahan terhadap perilaku siswa selama konseling dan di luar sesi konseling, adanya perubahan sikap dan pola pikir siswa selama konseling dan diluar sesi konseling, juga adanya perkembangan skor hasil angket yang menunjukan status identitas siswa yang meningkat.
(43)
161
Ela Meliya Nurazizah, 2014
B. Rekomendasi
Hasil penelitian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Bagi Siswa
Siswa diharapkan dapat terus mempertahankan status identitasnya dan bahkan mengembangan secara terus menerus ekplorasi dan komitmen yang dimilikinya agar tercipta sebuah identitas diri yang stabil.
2. Bagi Pihak Sekolah
Diharapkan sekolah dapat meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, selain itu diharapkan sekolah memberikan dukungan secara penuh terhadap setiap proses bimbingan dan konseling di sekolah baik berupa pemenuhan fasilitas di ruang bimbingan dan konseling ataupun terhadap pengadministrasian bimbingan dan konseling.
3. Bagi Guru Pembimbing
Rancangan layanan bimbingan dan konseling melalui layanan konseling berdasarkan struktur Carkhuff dapat menjadi referensi bagi guru pembimbing dalam rangka mengembangkan layanan terutama dalam mengembangkan layanan konseling individual untuk membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya. Langkah yang dapat dilakukan dalam membuat rancangan layanan dimulai dengan melakukan need asessment dengan menggunakan angket status identitas lalu melakukan konseling individual untuk memperdalam pemahaman konseli.
4. Bagi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan di harapkan dapat memberikan pembelajaran kepada mahasiswa sebagai calon konselor mengenai teori-teori konseling yang lebih aplikatif.
(44)
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan teknik dan teori konseling lain seperti konseling kognitif perilaku untuk membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya.
(45)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M dan Ansori, M. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Carkhuff, R. R. (1993). The Art Of Helping VII. Human Resource Development Press, Inc. Chaplin, J. P. (2008). Kamus lengkap Psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Corey, G. (1986). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. 3rd Edition. Monterey California; Books/Cole Publishing Company.
Desmita. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Erikson, E. H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia; Bunga Rampai 1. Penerjemah : Agus Cremers. Jakarta : PT. Gramedia.
Fardila, D. 2008. Efektivitas Konseling Berorientasi Kognitif Untuk Menurunkan Gejala Prokrastinasi Akademik Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi. Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. UPI : Bandung. Tidak Di Terbitkan.
Fauziah, L. S. 2010. Konseling Kognitif Perilaku Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial. Skripsi. Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. UPI : Bandung. Tidak Di Terbitkan.
Feist, J & Feist, G. 2008. Theories of Personality Edisi Ke Enam. Penerjemah: Yudi Santoso. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Garvin. (2012). Mengenali Identitas Remaja. [online]. tersedia di: http://garvingoei.wordpress.com/2012/01/13/mengenali-identitas-remaja/
Gerungan, W. A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Gunarsa, D. S. (1996). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia. Gunarsa D. S. Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1983. Hadijah, A. S. 2010. Kontribusi Konformitas Terhadap Pencapaian Identitas Diri Remaja.
Skripsi. Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. UPI : Bandung. Tidak Di Terbitkan.
Hafina, A. Keterampilan Konseling Individual Konsep dan Aplikasi. (Belum Diterbitkan). Hamalik, O. (1995). Psikologi Remaja. Bandung; CV. Mondar Maju
Hurlock, E. B. (2005). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Jarvis, M. (2000). Teori – Teori Psikologi. Penerjemah: SPA-Teamwork. Bandung; Nusa Media Kusdiyati, Halimah, Faisaluddin. Penyesuaian Diri Di Lingkungan Sekolah Pada Siswa Kelas
XI SMA Pasundan 2 Bandung. Humanitas, Vol. VIII No. 2. 172-194.
Mulyono, N. K. 2007. Proses Pencarian Idenitas Diri Pada Remaja Muallaf. Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran. UNDIP : Semarang
(46)
Nurmalasari, Y. (2011). Efektivitas Rekonstruksi Kognitif dalam Menangani Stress Akademik. Skripsi PPB FIP UPI Bandung. Tidak Diterbtkan.
Oemarjoedi, K. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Penerbit Kreativ Media.
Papalia & Old. (2008). Human Development (psikologi perkembangan) Bagiian V s/d IX. Penerjemah: A.K. Anwar. Jakarta; Kencana Prenda Media Group.
Purwandi. (2004). Proses Pembentukan Identitas Diri Remaja. Indonesian Psychologycal Hournal. Vol.1 Januari 2004: 43-52.
Santrock, J. W. 2002. Life Span Development; Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah : - . Jakarta : Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Adolescence, Eleventh Edition (Remaja, Edisi Kesebelas). Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Jakarta; Erlangga.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika.Bandung; Tarsito.
Suherman, U. (2007). Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bekasi: Madani. Surya, M. (2009). Psikologi Konseling. Bandung; Maestro.
Suharmawan. (2011). Konsep Dasar Konseling Perorangan. [online]. tersedia di
http://konselorindonesia.blogspot.com/2010/11/konsep-dasar-konseling-perorangan-dyp.html. Diakses pada: 28 Agustus 2013.
Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York :The McGraw-Hill Companies. Inc. Willis, S. (2009). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung; ALFABETA
Yusmeilani. (2008). Persepsi Remaja Tentang Identitas Gender Skripsi. Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan. UPI : Bandung.
Yusuf. S. (2009). Mental Hygiene. Bandung; Maestro.
---. (2012). Tujuan Konseling. [online]. tersedia di http://psychologynews.info/psikologi-konseling/tujuan-konseling/ diakses pada 28 Agustus 2013
(1)
65
Ela Meliya Nurazizah, 2014
3. Pencatatan Perilaku Akhir (Post Test)
Post test atau pencatatan perilaku akhir merupakan tes akhir yang dilakukan setelah adanya perlakuan. Post tes dilakukan dengan menggunakan instrumen yang sama dengan pre test. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan status identitas siswa setelah pelaksanaan perlakuan. Selain itu, dalam pencatatan perilaku akhir juga dapat dilakukan dengan wawancara terhadap guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling siswa.
G. Analisis Data
Kualifikasi skor dalam analisis data angket digambarkan melalui tabel distribusi skor responden berdasarkan konversi untuk menentukan makna diagnostik terhadap skor. Langkah ini dilakukan untuk menentukan kategori status identitas siswa berdasarkan kombinasi komitmen dan eksplorasi siswa yang kemudian difosukan keadalam salah satu dari empat status identitas yaitu Identity Achievment, Identity Foreclosure, Identity Moratorium, dan Identity Diffusion. Untuk menentukan batas skor dilakukan dengan menghitung rata-rata dengan menghitung selisih skor tertinggi dan terendah, menentukan standar deviasi, dan kemudian diperoleh nilai cut-off bagi masing-masing status.
Dari gambaran stastus identitas hasil pre test dan post test dapat dijadikan rujukan untuk uji efektivitas layanan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff. Selain itu, uji efektivitas layanan konseling individual berdasarkan struktur Carkhuff dapat dilakukan dengan pencatatan perilaku awal (sebelum dilakukan treatment) dan perilaku akhir siswa (setelah dilakukan treatment).
(2)
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Layanan Konseling Berdasarkan Struktur Carkhuff Untuk Membantu Siswa Mengidentifikasi Identitas Dirinya
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan dan rekomendasi yang diharapkan menjadi masukan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling serta aplikasi layanan konseling untuk mengidentifikasi identitas diri siswa.
A. Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum status identitas siswa berada pada status morratorium yang berarti bahwa siswa sudah mengalami eksplorasi namun belum dapat stabil dalam menentukan komitmen. Walaupun demikian, ada juga siswa yang berada di status identitas foreclosure yang bearti bahwa siswa sudah memutuskan komitmen namun sedikit dalam ekplorasi, dan ada juga yang sudah mencapai identity achievment yaitu siswa yang sudah cukup melakukan eksplorasi dan sudah mantap dalam berkomitmen (stabil).
2. Faktor penyebab siswa belum mencapai identity achievment sangat beragam, mulai dari faktor dalam diri siswa yang masih belum dapat tegas terhadap keputusannya, keadaan keluarga yang kurang harmonis, dan juga faktor lingkungan sosialnya.
3. Layanan konseling individual berdasarkan struktur dapat membantu siswa mengembangkan identitas dirinya. Terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan bahwa layanan konseling ini memberikan perubahan terhadap perilaku siswa selama konseling dan di luar sesi konseling, adanya perubahan sikap dan pola pikir siswa selama konseling dan diluar sesi konseling, juga adanya perkembangan skor hasil angket yang menunjukan status identitas siswa yang meningkat.
(3)
161
Ela Meliya Nurazizah, 2014
B. Rekomendasi
Hasil penelitian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Bagi Siswa
Siswa diharapkan dapat terus mempertahankan status identitasnya dan bahkan mengembangan secara terus menerus ekplorasi dan komitmen yang dimilikinya agar tercipta sebuah identitas diri yang stabil.
2. Bagi Pihak Sekolah
Diharapkan sekolah dapat meningkatkan pengawasan dalam
pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, selain itu diharapkan sekolah memberikan dukungan secara penuh terhadap setiap proses bimbingan dan konseling di sekolah baik berupa pemenuhan fasilitas di ruang bimbingan dan konseling ataupun terhadap pengadministrasian bimbingan dan konseling.
3. Bagi Guru Pembimbing
Rancangan layanan bimbingan dan konseling melalui layanan konseling berdasarkan struktur Carkhuff dapat menjadi referensi bagi guru pembimbing dalam rangka mengembangkan layanan terutama dalam mengembangkan layanan konseling individual untuk membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya. Langkah yang dapat dilakukan dalam membuat rancangan layanan dimulai dengan melakukan need asessment dengan menggunakan angket status identitas lalu melakukan konseling individual untuk memperdalam pemahaman konseli.
4. Bagi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan di harapkan dapat memberikan pembelajaran kepada mahasiswa sebagai calon konselor mengenai teori-teori konseling yang lebih aplikatif.
(4)
161
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Layanan Konseling Berdasarkan Struktur Carkhuff Untuk Membantu Siswa Mengidentifikasi Identitas Dirinya
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan teknik dan teori konseling lain seperti konseling kognitif perilaku untuk membantu siswa mengidentifikasi identitas dirinya.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M dan Ansori, M. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Carkhuff, R. R. (1993). The Art Of Helping VII. Human Resource Development Press, Inc. Chaplin, J. P. (2008). Kamus lengkap Psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Corey, G. (1986). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. 3rd Edition. Monterey California; Books/Cole Publishing Company.
Desmita. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Erikson, E. H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia; Bunga Rampai 1. Penerjemah : Agus Cremers. Jakarta : PT. Gramedia.
Fardila, D. 2008. Efektivitas Konseling Berorientasi Kognitif Untuk Menurunkan Gejala Prokrastinasi Akademik Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi. Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. UPI : Bandung. Tidak Di Terbitkan.
Fauziah, L. S. 2010. Konseling Kognitif Perilaku Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial. Skripsi. Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. UPI : Bandung. Tidak Di Terbitkan.
Feist, J & Feist, G. 2008. Theories of Personality Edisi Ke Enam. Penerjemah: Yudi Santoso. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Garvin. (2012). Mengenali Identitas Remaja. [online]. tersedia di:
http://garvingoei.wordpress.com/2012/01/13/mengenali-identitas-remaja/
Gerungan, W. A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Gunarsa, D. S. (1996). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia. Gunarsa D. S. Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1983. Hadijah, A. S. 2010. Kontribusi Konformitas Terhadap Pencapaian Identitas Diri Remaja.
Skripsi. Program Studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. UPI : Bandung. Tidak Di Terbitkan.
Hafina, A. Keterampilan Konseling Individual Konsep dan Aplikasi. (Belum Diterbitkan). Hamalik, O. (1995). Psikologi Remaja. Bandung; CV. Mondar Maju
Hurlock, E. B. (2005). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Jarvis, M. (2000). Teori – Teori Psikologi. Penerjemah: SPA-Teamwork. Bandung; Nusa Media Kusdiyati, Halimah, Faisaluddin. Penyesuaian Diri Di Lingkungan Sekolah Pada Siswa Kelas
XI SMA Pasundan 2 Bandung. Humanitas, Vol. VIII No. 2. 172-194.
Mulyono, N. K. 2007. Proses Pencarian Idenitas Diri Pada Remaja Muallaf. Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran. UNDIP : Semarang
(6)
Ela Meliya Nurazizah, 2014
Layanan Konseling Berdasarkan Struktur Carkhuff Untuk Membantu Siswa Mengidentifikasi Identitas Dirinya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Nurihsan, A. J & Agustin, M. 2011. Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Reflika Aditama.
Nurmalasari, Y. (2011). Efektivitas Rekonstruksi Kognitif dalam Menangani Stress Akademik. Skripsi PPB FIP UPI Bandung. Tidak Diterbtkan.
Oemarjoedi, K. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Penerbit Kreativ Media.
Papalia & Old. (2008). Human Development (psikologi perkembangan) Bagiian V s/d IX. Penerjemah: A.K. Anwar. Jakarta; Kencana Prenda Media Group.
Purwandi. (2004). Proses Pembentukan Identitas Diri Remaja. Indonesian Psychologycal Hournal. Vol.1 Januari 2004: 43-52.
Santrock, J. W. 2002. Life Span Development; Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah : - . Jakarta : Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Adolescence, Eleventh Edition (Remaja, Edisi Kesebelas). Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Jakarta; Erlangga.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika.Bandung; Tarsito.
Suherman, U. (2007). Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bekasi: Madani. Surya, M. (2009). Psikologi Konseling. Bandung; Maestro.
Suharmawan. (2011). Konsep Dasar Konseling Perorangan. [online]. tersedia di
http://konselorindonesia.blogspot.com/2010/11/konsep-dasar-konseling-perorangan-dyp.html. Diakses pada: 28 Agustus 2013.
Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York :The McGraw-Hill Companies. Inc. Willis, S. (2009). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung; ALFABETA
Yusmeilani. (2008). Persepsi Remaja Tentang Identitas Gender Skripsi. Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan. UPI : Bandung.
Yusuf. S. (2009). Mental Hygiene. Bandung; Maestro.
---. (2012). Tujuan Konseling. [online]. tersedia di http://psychologynews.info/psikologi-konseling/tujuan-konseling/ diakses pada 28 Agustus 2013