MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI BERBASIS NILAI SPORTIVITAS BAGI SISWA SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN SUMEDANG.

(1)

xii DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR DIAGRAM ... xix

DAFTAR BAGAN ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus dan Rumusan Masalah ... 26

C. Tujuan Penelitian ... 27

D. Manfaat Penelitian ... 27

1. Manfaat Teoritis ... 27

2. Manfaat Praktis ... 28

E. Asumsi Penelitian ... 28

F. Definisi Operasional ... 29

1. Model Pembelajaran ... 29

2. Pendidikan Jasmani ... 31

3. Nilai Sportivitas ... 32

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 36

A. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Jasmani ... 36

1. Pengertian Pendidikan Jasmani ... 36

2. Tujuan Pendidikan Jasmani ... 45

B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani ... 47

1. Identifikasi Kebutuhan ... 51

2. Analisis dan Pengukuran Kebutuhan ... 52

3. Penyusunan Desain Kurikulum Program Studi ... 52

4. Reviu dan Validasi Kurikulum (uji coba dan penyempurnaan)... 53

5. Implementasi Kurikulum ... 54

6. Evaluasi Kurikulum ... 54

C. Hubungan Kurikulum dan Pembelajaran ... 62

D. Model-model Pembelajaran Pendidikan Jasmani ... 64


(2)

xiii

2. Model Pembelajaran Sport Education ... 70

3. Model Pembelajaran Kebugaran (Health-Related Fitness Model) .. 74

E. Program Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar ... 77

F. Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar ... 80

G. Kriteria Model Pembelajaran (Konseptual)... 83

1. Kriteria Tujuan... 84

2. Kriteria Relevansi ... 85

3. Kriteria Konsistensi (Keajegan) ... 85

4. Kriteria Aplikabel ... 86

5. Kriteria Efektivitas... 86

H. Konsep Dasar Pendidikan Moral ... 88

1. Pendidikan Nilai ... 88

2. Tujuan Pendidikan Nilai ... 94

3. Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai ... 97

4. Pendidikan Moral ... 99

5. Pentingnya Pendidikan Moral ... 103

I. Teori Perkembangan Moral ... 104

1. Teori Psikoanalisa Sigmund Freud ... 105

2. Teori Psikososial Erik H. Erikson ... 106

3. Teori Kognitif Jean Piagnet ... 107

4. Teori Kognitif Uwrence Kohlberg ... 110

a. Tingkat Prakonvensional (usia 4-10 tahun) ... 111

1) Tahap Punishment and Obedience Orientation ... 111

2) Tahap Intrumental-Relativist Orientation atau Hedonistis Orientation... 111

b. Tingkat Konvensional (usia 10-13 tahun) ... 112

1) Tahap Interpersonal Concordance atau Good boy Nice Girl Orientation ... 112

2) Tahap Law-and-order Orientation ... 113

c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Principle (usia 13 tahun keatas) ... 113

1) Tahap Social-contract, Legalistic Orientation ... 113

2) Tahap Orientation of Universal Ethical Principles ... 114

5. Unsur-unsur Moral ... 116

J. Teknik Pengembangan Moral ... 119

K. Sikap Fair Play / Sportivitas... 125

1. Konsep Sikap dan Fair Play/ Sportivitas ... 125

a. Sikap ... 125

b. Fair Play / Sportivitas ... 127

2. Indikator Sportivitas ... 130

a. Kepatuhan pada Peraturan ... 130

b. Kejujuran ... 134

c. Semangat Bermain ... 136

d. Hormat pada Lawan, Wasit, Ofisial, dan Penonton ... 138

e. Berjiwa Besar Walaupun Kalah ... 139


(3)

xiv

g. Menolak hal-hal yang merusak permainan ... 141

L. Beberapa Hasil Penelitian yang Relevan ... 142

BAB III METODE PENELITIAN... 144

A. Pendekatan Penelitian... 144

1. Seleksi Produk ... 148

2. Studi Literatur ... 148

3. Perencanaan ... 148

4. Pengembangan Bentuk Produk Awal ... 148

5. Uji Lapangan Produk Awal Terbatas dan Revisi ... 149

6. Uji Lapangan dalam Skala yang Lebih Luas dan Revisi ... 149

7. Uji Operasional dan Revisi Akhir... 150

8. Desiminasi dan Distribusi ... 150

B. Prosedur Penelitian... 150

1. Melakukan Prasurvey ... 151

2. Menyusun Rancangan Awal Model ... 152

3. Mengadakan Uji Coba ... 154

4. Melakukan Pengujian Validasi Model ... 157

C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 159

1. Lokasi dan Subjek Penelitian Pra-survey ... 159

2. Lokasi dan Subjek Penelitian untuk Uji Coba Terbatas ... 160

3. Lokasi dan Subjek Penelitian Kegiatan Uji coba Model yang Lebih Luas ... 161

4. Lokasi dan Subjek Penelitian untuk Uji validitas Model Pendidikan Jasmani Berbasis Nilai Sportivitas ... 162

D. Teknik Pengumpulan Data... 163

1. Pengamatan (Observasi) ... 163

2. Wawancara dan Kuesioner ... 164

3. Analisis Dokumen ... 165

4. Test ... 166

5. Petunjuk Pelaksanaan Tes Skala Sikap ... 166

E. Langkah-langkah Penyusunan Instrumen Penelitian ... 166

F. Instrumen Penelitian ... 168

G. Analisis Data ... 171

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 174

A. Hasil Penelitian Pra Survey ... 174

1. Kondisi Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Saat ini ... 175

2. Pembahasan Hasil Pra Survey ... 179

B. Proses Pengembangan Model Pembelajaran Sportivitas Pendidikan Jasmani ... 187

1. Model Perencanaan Pembelajaran Sportivitas Penjas ... 188

2. Tahapan Implementasi Pembelajaran Sportivitas Penjas Di SD ... 190

a. Tahapan kegiatan pendahulan ... 191

b. Tahapan kegiatan inti ... 192


(4)

xv

3. Model Evaluasi Pembelajaran Sportivitas ... 193

C. Hasil Uji Coba Terbatas ... 195

1. Uji coba Terbatas Pengembangan Model Pembelajaran Sportivitas Pendidikan Jasmani Putaran Pertama ... 196

a. Perencanaan Pembelajaran ... 196

b. Implementasi Uji Coba Terbatas Putaran Pertama ... 196

c. Hasil Observasi dan Rekomendasi Uji Coba Terbatas Pada Putaran Pertama ... 198

2. Uji Coba Terbatas Pengembangan Model Pembelajaran Sportivitas Penjas Putaran kedua ... 201

a Perencanaan Pembelajaran ... 201

b. Implementasi Uji Coba Terbatas Putaran Kedua ... 202

c. Hasil Observasi dan Rekomendasi Uji Coba Terbatas Putaran Kedua 204 3. Uji Coba Terbatas Pengembangan Model Pembelajaran Sportivitas Penjas Putaran Ketiga ... 207

a Perencanaan Pembelajaran ... 207

b. Implementasi Uji Coba Terbatas Putaran Ketiga ... 209

c. Hasil Observasi dan Rekomendasi Uji Coba Terbatas Putaran Ketiga 212 4. Interpretasi Hasil Uji Coba Terbatas ... 215

D. Perbaikan Model Pembelajaran ... 219

E. Hasil Uji Coba yang Lebih Luas ... 223

1. Deskripsi ... 223

a. Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Sekolah Berkategori Baik ... 224

1) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Putaran Pertama ... 224

2) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Putaran Kedua ... 228

3) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas Putaran Ketiga ... 230

b. Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Sekolah Berkategori Sedang 232 1) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas Pada Putaran Pertama ... 232

2) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada putaran Kedua ... 235

3) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas Putaran Ketiga ... 238

c. Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Sekolah Berkategori Kurang ... 240

1) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Putaran Pertama ... 240

2) Hasil Uji Coba yang Lebih Luas pada Putaran Kedua ... 244

3) Hasil Uji Coba yang lebih luas Putaran ke Tiga ... 246

2. Interpretasi Hasil Uji Coba yang Lebih Luas ... 253

F. Perbaikan Model Pembelajaran ... 255

G. Hasil Uji Validasi Model ... 257

1. Deskripsi... 257

a. Hasil Uji Validasi pada Sekolah Berkategori Baik ... 259

b. Hasil Uji Validasi pada Sekolah Berkategori Sedang ... 262

c. Hasil Uji Validasi pada Sekolah Berkategori Kurang ... 265

2. Interpretasi Hasil Penelitian Uji Validasi Model ... 268

a. Temuan Hasil Penelitian tentang Hubungan Pencapaian Hasil Pembelajaran dengan Usaha, Cara dan Gaya Mengajar Guru ... 269 b. Temuan Hasil Penelitian tentang Hubungan antara Proses


(5)

xvi

Pembelajaran dengan Hasil Pembelajaran ... 270

c. Temuan Hasil Penelitian tentang Hubungan Desain Perencanaan dengan Implementasi Pembelajaran ... 271

H. Pembahasan Hasil Penelitian Model Pembelajaran Sportivitas Penjas ... 271

1. Hakekat Pengembangan Model ... 271

2. Karakteristik MPS sebagai Model Pembelajaran Keterampilan Motorik .. 277

3. Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberhasilan Implementasi MPS ... 280

4. Model Desain MPS dalam Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar ... 281

5. Implementasi MPS ditinjau dari Kategorisasi Sekolah ... 287

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 291

A. Kesimpulan ... 291

a. Komponen Desain Model Perencanaan ... 292

1) Desain Perencanaan Model Pembelajaran ... 292

2) Pengembangan Model Pembelajaran ... 292

3) Penggunaan Model Pembelajaran ... 293

4) Pengelolaan Media dan Sumber Pembelajaran... 293

5) Evaluasi Pembelajaran Penjas ... 394

b. Implementasi MPS ... 395

1) TahapAwal (Pendahuluan) ... 395

2) Tahap Inti ... 396

3) Tahap Akhir ... 397

c. Desain Model Evaluasi Pembelajaran MPS ... 397

B. Rekomendasi ... 398

DAFTAR PUSTAKA ... 301

RIWAYAT HIDUP ... 309

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 311

LAMPIRAN-1 Instrumen Penelitian Prasurvey: Angket untuk Siswa Sekolah Dasar ... 312

LAMPIRAN-2 Instrumen Penelitian Prasurvey: Observasi Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani di SD ... 321

LAMPIRAN-3 Instrumen Prasurvey: Wawancara dengan Kepala Sekolah ... 326

LAMPIRAN-4 Instrumen Penelitian Model Sportivitas ... 333

LAMPIRAN-5 Instrumen Sikap Sportivitas ... 336

LAMPIRAN-6 Tabulasi Data Tanggapan Siswa Terhadap Sportivitas ... 341

LAMPIRAN-7 Contoh Model RPP Sebelum dan Sesudah Pengembangan Model . 352 LAMPIRAN-8 Dokumentasi Pelaksanaan Eksperimen di Lapangan ... 358


(6)

xvii

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 2.1 Kriteria Model Pembelajaran Hellison ... 69 Tabel 2.2 Kriteria Model Pembelajaran Penjas Sport

Education ... 74 Tabel 2.3 Kriteria Model Pembelajaran Penjas Kebugaran

Jasmani ... 77 Tabel 3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian Prasurvey ... 160 Tabel 3.2 Subjek Penelitian Untuk Uji Validasi Model ... 162 Tabel 3.3 Kisi-kisi Kemampuan Guru Pendidikan Jasmani

Untuk Membina Nilai Sportivitas Siswa Sekolah Dasar ... 168 Tabel 3.4 Kisi-kisi Sarana Prasarana yang Memberikan

Kontribusi Terhadap Peningkatan Prestasi dan Nilai Sportivitas ... 169 Tabel 3.5 Kisi-kisi Model Metodologi Pembelajaran Berbasis

Nilai... 170 Tabel 4.1 Hasil Uji Coba Pra dan Pasca Test Pada Sekolah

Berkatagori Baik ... 249 Tabel 4.2 Hasil Uji Coba Pra dan Pasca-Test Pada Sekolah

Berkatagori Sedang ... 251 Tabel 4.3 Hasil Uji Coba Pra dan Pasca-Test pada Sekolah

Berkatagori Sedang ... 252 Tabel 4.4 Hasil Uji Validasi Pengaruh Penggunaan MPS

Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Sekolah Berkatagori Baik ... 261 Tabel 4.5 Hasil Uji Validasi Pengaruh Penggunaan MPS

Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Sekolah Berkatagori Sedang ... 264


(7)

xviii

Tabel 4.6 Hasil Uji Validasi Pengaruh Penggunaan MPS Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Sekolah Berkatagori Kurang ... 267


(8)

xix

DAFTAR DIAGRAM

Hal Diagram 4.1 Hasil Uji Coba yang Lebih Luas Pra dan Pasca-test pada

Sekolah Berkategori Baik ... 250 Diagram 4.2 Hasil Uji Coba yang Lebih Luas Pra dan Pasca-test

pada Sekolah Berkategori Sedang... 251 Diagram 4.3 Hasil Uji Coba yang Lebih Luas Pra dan Pasca-test pada

Sekolah Berkatagori Kurang ... 252 Diagram 4.4 Hasil Uji Validasi Pra dan Pasca-test pada Kelompok

Eksperimen dan Kontrol Terhadap Hasil Belajar Siswa

pada Sekolah Berkategori Baik ... 262 Diagram 4.5 Hasil Uji Validasi Pra dan Pasca-test pada Kelompok

Eksperimen dan Kontrol Terhadap Hasil Belajar Siswa

pada Sekolah Berkategori Sedang... 265 Diagram 4.6 Hasil Uji Validasi Pra dan Pasca-test pada Kelompok

Eksperimen dan Kontrol Terhadap Hasil Belajar Siswa


(9)

xx

DAFTAR BAGAN

Hal Bagan 3.1 Langkah-langkah Penelitian: Research And

Development ... 147 Bagan 3.2 Desain penelitian untuk uji coba yang lebih luas

Dalam Proses Pengembangan Model Pembelajaran .... 156 Bagan 3.3 Desain penelitian dalam Uji Validasi Model yang

dikembangkan ... 158 Bagan 4.1 Desain Awal Perencanaan Model Pembelajaran

Sportivitas Penjas ... 189 Bagan 4.2 Desain Awal Model Implementasi Sportivitas Penjas . 191 Bagan 4.3 Model Evaluasi Pembelajaran Penjas ... 194


(10)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

` Hal

Lampiran-1 Instrumen Penelitian Prasurvey: Angket

untuk Siswa Sekolah Dasar ... 312 Lampiran-2 Instrumen Penelitian Prasurvey: Observasi

Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani

di SD ... 321 Lampiran-3 Instrumen Prasurvey: Wawancara dengan

Kepala Sekolah ... 326 Lampiran-4 Instrumen Penelitian Model Sportivitas ... 333 Lampiran-5 Instrumen Sikap Sportivitas ... 336 Lampiran-6 Tabulasi Data Tanggapan Siswa Terhadap

Sportivitas ... 341 Lampiran-7 Contoh Model RPP Sebelum dan Sesudah

Pengembangan Model ... 352 Lampiran-8 Dokumentasi Pelaksanaan Eksperimen di


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan strategis, yang menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa yang bersangkutan, sekaligus sebagai alat pembentuk wujud masyarakat yang diinginkan. Pendidikan merupakan wahana utama dalam pembangunan mutu sumber daya manusia yang pada gilirannya akan menentukan masa depan bangsa. Pendidikan juga menentukan mutu sumber daya manusia yang menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Melalui pendidikan, bangsa Indonesia akan terbebaskan dari keterbelakangan dan kebodohan, karena itu pendidikan dapat dijadikan indikator penting dalam indeks pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Sistem pendidikan yang diselenggarakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu, diharapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang berkualitas dan bermartabat serta mampu berkompetisi di tengah-tengah ketatnya persaingan antar bangsa secara global. Setiap warga negara dituntut mampu mengembangkan diri, masyarakat dan bangsanya sendiri, serta meningkatkan kualitas diri dan pribadi secara bertanggungjawab.

Salah satu wujud konkret kepedulian pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia agar mampu bersaing dalam era globalisasi adalah meningkatkan kualitas pendidikan mulai dari tingkat


(12)

pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Hal ini seiring dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UUSPN No. 2 Tahun 2003 yakni:

Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Diknas, 2003:8).

Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional, diperlukan adanya sistem penyelenggaraan pendidikan secara proporsional serta profesional, khususnya melalui jalur pendidikan sekolah yang dilaksanakan secara berjenjang dan bertahap, mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA, sampai Perguruan Tinggi. Melalui keberadaan lembaga-lembaga formal pendidikan, diharapkan seluruh warga masyarakat dapat menikmati dan merasakan pentingnya pendidikan serta menyikapinya sekaligus mensiasati berbagai problematika kehidupan, baik sebagai individu, warga masyarakat maupun warga suatu bangsa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan (Diknas, 2003).

Dalam konteks seperti ini, maka pendidikan nasional berlandaskan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar l945 yang mengakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional, dan tanggap pada tuntutan perubahan jaman. Ungkapan ini


(13)

mengisyaratkan bahwa setiap warganegara memiliki hak yang sama untuk memperoleh dan meningkatkan pendidikan sepanjang hidup, sehingga program wajib belajar sembilan tahun yang merupakan program minimal yang harus diikuti oleh setiap warga negara lulus SLTP (Wajar Dikdas) menjadi tanggung-jawab pemerintah untuk melaksanakannya.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional memerlukan instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Kurikulum sebagai salah satu instrumen dalam mencapai tujuan pendidikan nasional menempati posisi yang strategis, karena kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran dan digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu (Diknas, 2003:7).

Keberadaan kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik mulai tugas yang sederhana sampai bersifat kompleks semata-mata untuk mencapai tujuan pendidikan. Hakikat penting dari susunan kurikulum adalah perlunya peningkatan kemampuan peserta didik yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku serta kecakapan yang diperlukan dalam membangun kehidupannya. Kurikulum diperlukan oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, sehingga pengembangan kurikulum harus mengacu kepada standar kompetensi secara nasional, bahkan dalam kehidupan era globalisasi disusun dengan mengacu pada standar kompetensi secara internasional.

Sistem Pendidikan Nasional Pasal Tujuh menjelaskan bahwa pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan


(14)

Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat (Diknas, 2003 pasal 17).

Pendidikan dasar yang dilaksanakan selama sembilan tahun merupakan program wajib belajar yang telah diwajibkan dalam Undang-Undang. Pendidikan dasar mencakup pendidikan Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah selama enam tahun dan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) selama tiga tahun. Penyelenggaraan pendidikan dasar bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab dan demokratis, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Bunyi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang tersirat di atas paling tidak mengandung dua hal penting bagi penyelenggaraan pendidikan dasar yaitu: Pertama, kehidupan masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut pendidikan dasar yang selamanya harus menyesuaikan dan mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi, agar materi dan pengalaman belajar yang diberikan di sekolah bermanfaat untuk bekal kehidupan peserta didik; Kedua tuntutan kriteria lulusan yang dibutuhkan jenjang pendidikan yang ada di atasnya.

Pada era globalisasi Indonesia akan menghadapi persaingan perdagangan yang ketat sebagai konsekuensi pelaksanaan pasar bebas antar negara sesama ASEAN. Pemerintah dituntut menjunjung tinggi demokratisasi dan penegakan hukum. Desakan yang lebih dahsyat datang dari perwujudan nilai-nilai persamaan dan keadilan, serta pemenuhan rasa ketentraman dan keamanan masyarakat. Pada sektor pendidikan, tuntutan reformasi akan terus semakin gencar seiring dengan


(15)

arus reformasi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat tadi, sehingga arus reformasi merambah sendi-sendi lainnya. Di sisi lain, globalisasi akan terus merambat mempengaruhi struktur sendi-sendi kehidupan masyarakat dan implikasi akan terlihat jelas terhadap pendidikan.

Pendidikan di sekolah akan memberikan landasan dan dasar-dasar pengembangan manusia unggul, bermoral, dan pekerja keras, sebab hanya manusia-manusia yang unggul, bermoral dan pekerja keras inilah yang menjadi tuntutan dari masyarakat global. Manusia yang mampu berkompetisi, bukan saja dengan sesama warga dalam satu daerah, wilayah ataupun negara tetapi juga dengan warga negara dan bangsa lainnya (Sukmadinata, 2003:6-7).

Perkembangan pola kehidupan masyarakat berdampak pada perubahan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Konsekuensinya, arah dan sasaran pendidikan perlu menyesuaikan pada perubahan yang terjadi. Dalam rangka pendidikan nasional, SD merupakan salah satu jenjang pendidikan yang paling penting keberadaannya, sehingga arah dan sasaran pendidikan harus dimulai dari tingkat sekolah dasar.

Berkaitan dengan hal tersebut, Semiawan (l992:l9).

Menyatakan bahwa fungsi SD tidak semata-mata menjadikan lulusan melek huruf saja dan memiliki sekumpulan pengetahuan yang menjadi pengetahuan sesaat, dalam arti kurang dapat membantu mewujudkan kemandiriannya. Tetapi juga harus melek huruf dalam arti melek teknologi dan melek fikir (thinking literacy) yang keseluruhannya juga disebut melek kebudayaan (cultural literacy).

Sasaran kedua, untuk mempersiapkan lulusan agar dapat mengikuti pendidikan pada jenjang yang ada di atasnya, yang mengandung arti bahwa pendidikan dasar merupakan lembaga yang menentukan kualitas pendidikan. Artinya, tinggi dan rendahnya kualitas pendidikan pada jenjang sekolah menengah akan ditentukan oleh kualitas lulusan pendidikan dasar. Oleh karena itu, dalam


(16)

skala lebih luas, pendidikan dasar sangat besar artinya dalam rangka pembentukan sumber daya manusia. Sekolah Dasar dituntut memberikan landasan-landasan yang kuat untuk menghadapi sasaran tadi, sebab apabila telah terbentuk landasan yang kuat dalam segi kognitif, afektif dan psikomotor maka pada tahapan perkembangan berikutnya tinggal melanjutkan, memperkaya, memperdalam, dan memperluas. “Apabila dasar-dasar yang dikembangkan pada Sekolah Dasar masih goyah, maka dalam tahapan berikutnya sulit untuk memperbaikinya” (Sukmadinata, 2003:21). Untuk menghadapi peningkatan kualitas lulusan, maka pembelajaran di Sekolah Dasar harus dirancang agar mampu menciptakan generasi yang memiliki kemampuan tinggi. Menurut Sukmadinata (2003:6), generasi yang memiliki kemampuan tinggi adalah :

Generasi yang selalu meningkatkan pengetahuannya (knowing much), generasi yang kreatif dan banyak berbuat sesuatu (doing much), mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya sehingga memiliki keunggulan (being excellence), mampu bekerja sama dan hidup bersama dengan sesamanya (being sociable), serta bermoral kuat (being morally). Di dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor: 122/U/2001 tertulis bahwa :

Penyelenggaraan pendidikan dasar dimaksudkan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa dalam mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, sehingga lebih siap mengikuti pendidikan selanjutnya. Data Depdiknas (Republika, 17 Mei 2005) menunjukkan bahwa sasaran pendidikan dasar untuk SD/MI secara nasional sampai dengan tahun 2004, diharapkan Angka Partisipasi Murni (APM) mencapai 96% atau peningkatan APM sebesar 0,58% dan Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 120,65%. Sedangkan untuk SLTP/MTs diharapkan APK secara nasional mencapai 78,88% dan APM sebesar 62,84% dan jumlah melanjutkan ke SLTP/MTs mencapai 83,79%.


(17)

Kendala paling mengemuka adalah proses pembelajaran pada pendidikan dasar kurang bermakna, yang mestinya mengarah pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai yaitu untuk memberikan kemampuan dasar kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan mempersiapkannya untuk mengikuti pendidikan menengah. Secara spesifik, pendidikan di SD berfungsi menyiapkan lulusannya mencapai beberapa sasaran yaitu.

Pertama, memberikan dasar-dasar yang kuat bagi pembentukan kepribadian, pengembangan segi fisik, moral, sikap, dan nilai, pengembangan potensi dan kemampuan-kemampuan dasar bagi pemenuhan kebutuhan, keamanan, dan kesejahteraan pribadinya. Kedua, pengembangan potensi dan kemampuan dasar untuk menjalin hubungan dan bekerjasama dalam masyarakat. Ketiga, pengembangan potensi dan kemampuan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi (Sukmadinata, 2003:20-22).

Siswa SD dituntut memiliki landasan yang kuat dalam segi kognitif, afektif, dan psikomotor, sehingga pada jenjang berikutnya bersifat memperdalam, memperkaya dan memperluas pengalaman belajar setiap segi tersebut. Oleh karena itu kegiatan belajar di SD menuntut siswa untuk memiliki kompetensi lulusan SD. Sebenarnya yang harus dikuasai oleh siswa bukan hanya sejumlah bahan ajar, tetapi juga kompetensi untuk menggali, menseleksi, mengolah, dan menginformasikan bahan kajian yang telah diperoleh meskipun telah menyelesaikan pendidikannya. Dengan demikian, siswa memiliki bekal berupa potensi untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada lingkup kehidupan sehari-hari.


(18)

Tujuan pendidikan dasar dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004:5) yaitu:

Kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian dalam kehidupan. Tujuannya untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya bangsa yang bertumpu pada empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together (UNESCO PROAP, l998:20).

Kompetensi di sini diartikan sebagai suatu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki sejumlah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.

Kompetensi lulusan SD yang diharapkan adalah: (1) mengenali dan membiasakan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang diyakini, (2) mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban diri, beretos kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (3) berfikir secara logis, kritis, dan kreatif serta berkomunikasi melalui berbagai media, (4) menyenangi keindahan, (5) membiasakan hidup bersih, bugar, dan sehat, (6) memiliki rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air (Diknas, 2003: 9-10).

Pembelajaran kompetensi merupakan kemampuan untuk mentransfer dan menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seseorang pada situasi yang baru. Kompetensi juga mencakup kebutuhan pengetahuan, keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas atau mengelola sejumlah tugas untuk merespon dan memecahkan masalah dan mengubahnya menjadi sesuatu yang rutin. “Kompetensi harus bisa didemonstrasikan sesuai dengan standar yang ada di lapangan kerja” (Hamalik, 2002).

Pembelajaran kompetensi menuntut perbuatan, perilaku atau performansi yang menunjukkan kecakapan, kebiasaan, keterampilan melakukan sesuatu tugas atau peranan secara standar seperti yang dituntut oleh suatu okupasi, pekerjaan atau profesi (Sukmadinata, 2004:27).


(19)

Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sesuatu kompetensi secara standar dilihat atau diukur dari tingkat penguasaannya dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu yang dikembangkan oleh guru sebagai desainer pembelajaran.

Demikian halnya pada pendidikan jasmani yang merupakan salah satu mata pelajaran dalam struktur program kurikulum Sekolah Dasar yang sifatnya wajib diberikan kepada peserta didik.

Mata pelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dasar yang mendukung pada sikap dan perilaku hidup sehat serta kebugaran jasmani yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan (Depdiknas, 2003).

Dalam menyajikannya memerlukan keterampilan, prosedur, perlengkapan, dan karakteristik tertentu, sehingga kompetensi dalam pembelajaran pendidikan jasmani menjadi tuntutan yang mesti dilaksanakan oleh guru pendidikan jasmani terhadap peserta didik.

“Pendidikan jasmani merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan melalui aktivitas jasmani yang disusun secara sistematik untuk menuju Indonesia seutuhnya” (Sukintaka, 2004:21). Pendidikan jasmani wajib diajarkan di sekolah, karena pendidikan jasmani memiliki peran yang strategis dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan jasmani tidak hanya berdampak positif terhadap pertumbuhan fisik anak, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional dan sosial.

Hal ini dapat terjadi apabila diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan dan mendukung aspek-aspek tersebut tumbuh dan berkembang secara wajar, sehingga pendidikan jasmani merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan anak didik secara wajar dan efektif. Karena itu, sudah selayaknya bila terhadap pendidikan jasmani diberikan perhatian yang proporsional dan dilaksanakan secara efisien, efektif sesuai dengan kondisi fisik dan psikis anak didik (Cholik Mutohir, 1998:7).


(20)

Secara umum tujuan pendidikan jasmani bermuara pada raihan sosok pribadi yang adaptif dengan lingkungannya. Maksudnya, tujuan pendidikan jasmani dapat diklasifikasikan menjadi tujuan perkembangan jasmani, perkembangan gerak, perkembangan mental dan perkembangan sosial. Dengan demikian tujuan pendidikan jasmani bersifat menyeluruh yang meliputi aspek organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, sosial, dan emosional (Depdiknas, 2003:6-9).

Sama halnya yang dijelaskan Rusli Lutan (l996:5).

Tujuan pendidikan jasmani di sekolah dasar adalah untuk membantu anak didik agar meningkatkan kemampuan gerak di samping merasa senang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas. Diharapkan juga peserta didik memiliki fundasi yang kuat untuk mengembangkan keterampilan gerak, pemahaman secara kognitif dan sikap positif terhadap aktivitas jasmani kelak sehingga menjadi manusia dewasa yang sehat dan berkepribadian yang mantap.

Tujuan Pendidikan Jasmani dalam Kurikulum Sekolah Dasar (2004) adalah: (1) mengembangkan kemampuan gerak dan keterampilan berbagai macam permainan dan olahraga, (2) mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis melalui aktivitas jasmani, (3) mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani, (4) mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran jasmani dan pola hidup sehat, (5) mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif.

Berdasarkan pada konsep dan tujuan pendidikan jasmani untuk membantu anak didik menuju kedewasaan dalam prosesnya harus menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai positif bagi pertumbuhan fisik, mental, sosial dan emosional. Oleh karena itu, untuk mengelola pembelajaran pendidikan jasmani yang baik, guru pendidikan jasmani harus memahami konsep dan makna tujuan pendidikan jasmani khususnya di


(21)

Sekolah Dasar. Dengan demikian proses pembelajaran pendidikan jasmani tidak hanya mengarah kepada kemampuan dan keterampilan melainkan memenuhi kebutuhan siswa Sekolah Dasar yang lebih bersifat apresiatif dan rekreatif.

Mosston & Ashwroth (l994: 13-19) demikian yakin bahwa.

Untuk mampu membawa anak didik pada pembelajaran pendidikan jasmani yang bersuasana penuh muatan kependidikan, guru perlu menguasai dan menerapkan gaya-gaya mengajar yang bervariasi serta masing-masing memiliki target yang positif.

Misalkan, guru pendidikan jasmani selain menggunakan gaya mengajar komando juga menggunakan pula gaya tugas pemecahan masalah, sehingga tidak terkesan monoton. Dalam gaya mengajar komando semua keputusan dikontrol guru dan guru memberikan umpan balik, tetapi dalam gaya mengajar pemecahan masalah guru memberikan permasalahan dan siswa berusaha memecahkan masalah tersebut. Mengenai hal yang sama, Siedentop (l990) dan Graham (l992) serta Rink (1993) memberikan pandangan bahwa “Persyaratan guru yang efektif pastilah guru yang sangat menguasai seperangkat keterampilan pembelajaran”. Berbeda dengan pandangan Seidel dkk (l975:5) yang memberikan rambu-rambu bahwa :

Karakteristik pembelajaran pendidikan jasmani yang baik adalah pembelajaran pendidikan jasmani yang memberi kesempatan yang leluasa kepada anak didiknya untuk menjelajahi ruang pemahaman dan penguasaan konsep gerak beserta prinsip-prinsip mekanikanya.

Sedangkan temuan lain dari Hellison (l995) dan Lavay (l997), menyatakan “Pentingnya menekankan strategi pengelolaan perilaku positif dalam suasana pembelajaran pendidikan jasmani”.


(22)

Pembelajaran pendidikan jasmani akan berhasil apabila dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan kematangan anak untuk belajar. Pengalaman belajar yang dialami anak-anak akan berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya. Para ahli, antara lain Bucher (l964:4-5), tidak meragukan lagi bahwa “ Gerak sebagai aktivitas jasmani merupakan kebutuhan yang sangat penting, yaitu sebagai dasar bagi manusia untuk belajar, baik belajar mengenai alam sekitar maupun belajar memperoleh pengalaman hidup”.

Pembelajaran pendidikan jasmani lebih menekankan pada pengembangan individu secara menyeluruh, artinya melalui aktivitas jasmani yang terprogram dan tersusun maka dapat mengembangkan segi keterampilan intelektual, keterampilan afektif, termasuk pembangunan moral spiritual, pengembangan keterampilan fisik dan kesegaran jasmani. Atas dasar itu, maka pendidikan jasmani di sekolah di arahkan kepada proses pengembangan motorik siswa dari waktu ke waktu sesuai dengan taraf perkembangannya. Rusli Lutan (l996 : 14) menjelaskan.

Pendidikan jasmani sebagai proses pendidikan via aktivitas jasmani, permainan dan olahraga yang dapat berupa serangkaian aktivitas jasmani, permainan atau olahraga untuk mencapai tujuan pendidikan. Sejalan dengan upaya tujuan pendidikan maka dalam pendidikan jasmani dikembangkan potensi individu, kemampuan fisik, intelektual, emosional, sosial dan moral spritual. Melalui pendidikan jasmani aspek kecerdasan dalam arti luas termasuk daya nalar dan keterampilan membuat keputusan dengan cepat dan pemahaman terhadap konsekuensi tindakannya akan selalu berkembang.

Praktik pembelajaran pendidikan jasmani sekarang ini cenderung mencerminkan ciri pendekatan pelatihan yang kaku, terikat dengan GBPP dan


(23)

miskin dalam subtansi bahkan terjadi penciutan dalam tujuan dan kering nilai karena yang ingin dicapai semata-mata aspek keterampilan fisik, sementara dampak pengiring positif seperti penanaman dan penghayatan nilai misalnya toleransi, suasana yang menyenangkan dan keceriaan hampir-hampir tidak ditemukan lagi atau sama sekali terabaikan. Hasil penelitian dari Cholik Mutohir (l998), menjelaskan bahwa.

Program pendidikan jasmani lebih menekankan kepada hasil keterampilan dan performansi tanpa memperhitungkan kebutuhan siswa sebagai subyek didik, melainkan siswa diperlakukan sebagai obyek didik seperti yang selama ini terjadi di lapangan.

Oleh karena itu, penyajian materi ajar harus memperhatikan perbedaan karakter keragaman anak didik, baik horizontal yaitu perbedaan dalam kelas itu sendiri maupun vertikal yaitu perbedaan tingkat kelas dan jenjang sekolah, sehingga siswa dapat melakukan kegiatan dengan senang hati karena sesuai dengan keinginan dan keterbatasan kemampuannya. Melalui pemahaman materi pendidikan jasmani diharapkan dalam diri siswa tumbuh rasa menyenangi kegiatan jasmani sepanjang hidupnya, yang sangat berguna bagi dirinya, baik untuk saat ini maupun untuk masa depan.

Melalui pendidikan jasmani, siswa akan memperoleh berbagai ungkapan yang erat kaitannya dengan kesan pribadi yang menyenangkan serta berbagai ungkapan yang kreatif, inovatif, terampil dan memiliki kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat serta memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap gerak manusia. Pada Kurikulum Pendidikan Jasmani (2004) dijelaskan bahwa.

Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani guru diharapkan mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan/olahraga, internalisasi nilai-nilai (seperti: sportivitas, kejujuran,


(24)

kerjasama, disiplin, bertanggungjawab) dan pembiasaan pola hidup sehat, yang dalam pelaksanaannya bukan melalui pengajaran pendidikan konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis melainkan melibatkan unsur fisik, mental intelektual, emosi dan sosial.

Aktivitas yang diberikan dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik metodik, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran.

Bahan kajian pendidikan jasmani berdasarkan Kurikulum Pendidikan Jasmani (2004) meliputi: “ Aktivitas permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, aktivitas uji diri, aktivitas ritmik, aktivitas air (akuatik) dan aktivitas luar kelas (alam bebas) ”.

Permainan dan olahraga berisi tentang berbagai permainan dan olahraga, baik terstruktur maupun tidak yang dilakukan secara perorangan, berpasangan dan beregu. Aktivitas pengembangan berisi tentang kegiatan yang berfungsi untuk membentuk postur tubuh yang ideal dan pengembangan komponen kebugaran jasmani. Aktivitas uji diri atau senam adalah pengembangan keterampilan irama gerak dan seni gerak berirama serta pengembangan aspek pengetahuan yang relevan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Akuatik berisikan kegiatan di air seperti permainan air, gaya-gaya renang, dan keselamatan di air. Aktivitas luar sekolah berisi tentang kegiatan di luar sekolah dan di alam bebas seperti bermain di lingkungan sekolah, taman, perkampungan, berkemah, dan kegiatan bersifat kepetualangan.

Rendahnya kualitas hasil pembelajaran pendidikan jasmani disebabkan beberapa faktor antara lain terbatasnya kemampuan guru pendidikan jasmani dalam mengorganisasikan dan mengelola bidang studi tersebut. Data


(25)

menunjukkan, dari hampir 120.000 Sekolah Dasar yang ada di Indonesia, hanya sekitar 40% yang memiliki guru pendidikan jasmani dengan latar belakang pendidikan Sekolah Guru Olahraga (SGO), sedangkan lainnya tidak memiliki guru yang dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pendidikan jasmani (Depdiknas, 2003:1).

Penelitian-penelitian tentang efektivitas mengajar pendidikan jasmani (Smith, l983; Brophy & Good, l986; Rosenshill & Stevens, l986; Everton, l989; dalam Mosston, 1994:70) menjelaskan bahwa.

Aktivitas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan cukup memberikan tantangan kepada siswa akan tetapi memberi kemungkinan terhadap tingkatan keberhasilan belajar yang cukup tinggi, sehingga aktivitas belajar bermakna bagi siswa.

Beberapa penyebab kurang berhasilnya pembelajaran pendidikan jasmani di Sekolah Dasar adalah:

(1) guru memberikan penekanan yang berlebihan pada suasana persaingan yang tinggi, (2) menghukum atau memaksa melakukan sesuatu dengan sengaja di depan siswa lainnya, (3) membiarkan kegagalan terjadi terus menerus, (4) mengulang-ngulang pelajaran yang sudah dikuasai dengan baik menurut siswa dan (5) guru tidak pernah memberikan umpan balik yang segera dan mencukupi (Mahendra dan Makmun, 1998:20-25).

Hal tersebut, berakibat pada kegiatan melakukan tugas gerak sering mengalami kegagalan dengan alasan ada perasaan takut mengalami cidera dan kesiapan siswa yang belum cukup. Apabila kegagalan ini terus menerus terjadi akan menimbulkan kurang bersemangat, timbul perasaan jenuh dan membosankan mengikuti pelajaran, sehingga partisipasi siswa berkurang yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar pendidikan jasmani.


(26)

Kelemahan pembelajaran pendidikan jasmani yang terjadi seperti itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap eksistensi pendidikan jasmani sebagai salah satu komponen penting dalam tatanan kurikulum. Cukup banyak pakar termasuk para pengambil keputusan yang menyatakan bahwa pendidikan jasmani itu penting, namun ketika dihadapkan pada tataran praktis mendapat kesulitan yang begitu kompleks. Apa yang terjadi di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang dikonsepsikan, seperti alokasi waktu belajar pendidikan jasmani yang terbatas yaitu hanya dua jam per minggu dan kualifikasi tenaga pengajar yang tidak sesuai. Pada umumnya guru pendidikan jasmani adalah guru kelas yang secara formal tidak memiliki kompetensi dan pengalaman dalam mengelola pendidikan jasmani, sarana prasarana yang terbatas dan minimnya anggaran yang dialokasikan. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa terjadi kelangkaan infrastruktur di sebagian besar sekolah khususnya di Sekolah Dasar. Kondisi demikian tentu sangat tidak sesuai bagi pengembangan pendidikan jasmani di masa mendatang.

Upaya yang paling realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan jasmani di Sekolah Dasar adalah melalui peningkatan kualitas tenaga guru. Guru yang profesional adalah guru yang mampu menganalisis dan menjabarkan kurikulum mata pelajarannya menjadi rancangan pengajaran dan persiapan mengajar yang siap dipraktikkan dikelasnya dan harus mampu menggunakan macam-macam metode pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif.

Sebagai bahan pertimbangan guru pendidikan jasmani harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar pendidikan jasmani


(27)

yaitu: (1) kondisi internal, dan (2) kondisi eksternal. Kondisi internal mencakup faktor-faktor yang terdapat pada individu, sedangkan kondisi eksternal mencakup faktor-faktor di luar individu yang memberikan pengaruh terhadap penampilan motorik. Kemampuan motorik merupakan kualitas hasil gerak individu dalam melakukan gerak, baik gerakan non olahraga maupun gerak dalam olahraga atau kematangan penampilan keterampilan motorik. Kualitas hasil gerak merupakan kemampuan gerak seseorang dalam melakukan tugas gerak.

Melalui model pembelajaran kompetensi dalam pembelajaran pendidikan jasmani, siswa melakukan gerakan yang kompleks, seperti mengontrol tubuh, keseimbangan dan kelenturan. Dengan demikian, guru harus betul-betul meningkatkan kemampuan dan perkembangan siswa itu sendiri. Proses belajar mengajar kompetensi melalui pendekatan bermain akan terorganisir dengan baik apabila memilih dan menggunakan pendekatan bermain yang tepat, sehingga akan menunjang keefektifan dan efisiensi gerakan dalam pendidikan jasmani. Hasil penelitian Adang Suherman (2006) menunjukkan bahwa “ Model pembelajaran aktivitas bermain lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran aktivitas keterampilan gabungan terhadap pembentukan kemampuan motorik dasar siswa Sekolah Dasar”.

Melalui perbaikan model pembelajaran pendidikan jasmani, diharapkan perkembangan pendidikan jasmani di Indonesia khususnya di Sekolah Dasar mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini diperkuat oleh temuan penelitian Cholik Mutohir dkk. (l996) menjelaskan bahwa

Melalui model pembelajaran pendidikan jasmani dengan pendekatan modifikasi olahraga ini terjadi partisipasi aktif bila dibandingkan dengan


(28)

pengajaran tradisional. Guru lebih leluasa memanfaatkan sumber-sumber pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar, kemudian anak didik merasa senang dan gembira dalam mengikuti proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah.

Temuan lain yang selaras dengan Cholik Mutohir adalah hasil penelitian Mc.Leish (l981; dalam Siedentop, l991) menjelaskan. “ Bahwa dari satu kelompok yang berisi l04 jam pelajaran terbukti bahwa jika ada interaksi yang positif maka jaminan akan perilaku siswa yang diinginkan dapat terwujud sehingga siswa dalam belajarnya dapat berhasil”.

Hasil temuan tersebut, menunjukkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak, baik secara fisik maupun intelektual akan berlangsung normal apabila diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan aspek-aspek tersebut tumbuh dan berkembang secara wajar. Pendidikan jasmani merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan anak secara wajar, oleh karena itu sudah selayaknya diberikan perhatian yang proporsional dan dilaksanakan secara efisien, efektif serta sesuai dengan kondisi fisik dan psikis anak.

Salah satu kendala penting yang dihadapi guru di sekolah saat ini adalah belum efektifnya pengelolaan pembelajaran yang disebabkan berbagai faktor antara lain organisasi materi kurikulum yang sarat beban dan amat kaku dalam struktur. Belum lagi kegiatan guru mengajar berorientasi pada hasil penampilan akhir dan bukan karena tuntutan daya serap yang maksimal tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, sehingga sulit bagi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian Philip Edward Gerney (l980) tentang pengaruh gaya mengajar dari Mosston (Gaya latihan dan resiprokal), pada kemahiran keterampilan psikomotor dan


(29)

perkembangan sosial siswa kelas V Sekolah Dasar hasilnya dapat menyimpulkan bahwa.

(1) kedua gaya mengajar menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kemahiran keterampilan motorik, (2) gaya resiprokal lebih tinggi signifikasinya daripada gaya latihan dalam kemampuan subyek memprakarsai dan memberikan umpan balik dari pasangannya (Sengkey, l991).

Berdasarkan pengamatan peneliti, realisasi gejala-gejala ini terjadi. Sering ditemukan guru pendidikan jasmani mengelola pembelajarannya monoton dan membosankan, sehingga siswa cenderung acuh tak acuh dan kurang memiliki motivasi untuk terlibat aktif dalam kegiatan belajar, karena memang proses pembelajaran pendidikan jasmani yang muncul cenderung bersifat tradisional, seperti pembelajaran lebih bersifat teacher centered. Biasanya guru memberikan instruksi yang tidak bisa memberikan alternatif lain kepada siswa untuk memilih. Guru pantang memberikan kebebasan kepada siswa, akan tetapi seluruh kegiatan diatur guru, siswa tidak diberi kesempatan untuk berkreasi dan mengeksplorasi sesuai dengan keinginannya. Suasana pembelajaran cenderung menggunakan pendekatan drill suatu keterampilan cabang olahraga tertentu (melatih) dibanding nuansa kegembiraan dan kegairahan. Pendekatan demokratis cenderung meningkatkan kepuasan para siswa. Namun mereka mengemukakan pula tidak ada dasar untuk menyimpulkan bahwa kepemimpinan demokratis menguntungkan untuk berprestasi . Orang menyukai gaya demokratis, tetapi tidak selalu hal itu membawa ke arah produktivitas yang lebih besar (Robbins, 1978; dalam Rusli Lutan, 1992:68).


(30)

Kondisi pendidikan jasmani selama ini tidak bisa lepas dari belum efektifnya pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dikarenakan pengelolaan pendidikan jasmani oleh guru belum profesional. Hal ini terlihat jelas pada guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar, karena umumnya adalah guru kelas yang secara formal tidak memiliki kompetensi dan pengalaman dalam mengelola pembelajaran pendidikan jasmani. Hasil penelitian Cholik Mutohir (l996) menjelaskan bahwa

Pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah di Indonesia kurang menggembirakan, indikator yang jelas disebabkan antara lain adanya kecenderungan tingkat kebugaran jasmani siswa menurun kemudian rendahnya partisipasi siswa dalam kegiatan pendidikan jasmani dan terbatasnya infrastruktur pendidikan jasmani di sekolah.

Krisis pendidikan jasmani yang digambarkan di atas, tidak bisa lepas dari eksistensi pendidikan jasmani selama ini yang hanya menekankan penguasaan motorik saja. Akan tetapi mestinya dapat mengembangkan kemampuan anak secara menyeluruh baik fisik, mental, maupun intelektual peserta didik, dan kesemuanya itu terabaikan oleh guru pendidikan jasmani. Kondisi pendidikan jasmani seperti ini tidak bisa lepas dari belum efektifnya pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dikarenakan terbatasnya kemampuan guru pendidikan jasmani. Salah satu upaya mengatasinya adalah melalui pengelolaan pembelajaran yang berorientasi pada kepentingan anak didik dan berusaha menyesuaikan dengan kondisi fisik dan psikis anak, sehingga siswa lebih leluasa untuk melakukan aktivitas belajar. Akibatnya anak didik melakukan aktivitas belajar gerak sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan yang dimilikinya. Memasuki dunia kehidupan anak didik, merupakan langkah penting dalam pembelajaran dan


(31)

menjadi lisensi bagi guru untuk memudahkan perjalanan siswa dalam meraih hasil belajar yang memuaskan.

Secara konseptual, misi pendidikan jasmani adalah pendidikan yang bersifat menyeluruh, sehingga dipandang bukan saja berkaitan dengan upaya pengem-bangan kemampuan jasmani semata, namun lebih luas dari itu, yaitu mencakup dimensi intelektual, mental, sosial dan emosional. Supandi (1997:8) mengemuka-kan bahwa:

Pendidikan jasmani dan olah raga yang berurusan dengan kebutuhan pokok manusia yaitu gerak insani atau human movement tidak semata-mata peristiwa jasmani saja, tetapi juga merupakan peristiwa rohani yang mengolah atau menggerakan berbagai aspek rohani seperti intelek dan moral.

Penelitian-penelitian dalam hubungan dengan ini menunjukan bukti-bukti pembenaran anggapan tersebut. Sejak lama telah diyakini bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan pendidikan pembentukan watak dan karakter secara universal diakui pula keampuhan pendidikan jasmani dalam membangun watak bangsa.

Gejala yang teramati dalam konteks pembelajaran jasmani di sekolah adalah kecenderungan pembelajaran yang lebih diarahkan pada pencapaian tujuan yang bersifat fisik dan penguasaan keterampilan cabang olah raga, ketimbang pencapaian tujuan yang diarahkan pada dimensi afektif termasuk perkembangan sosial anak. Kecenderungan tersebut boleh jadi sebagai akibat implementasi dari strategi mengajar yang tidak dapat mengoptimalkan peranan fungsi pengajaran, bahkan ketiga domain kognitif , afektif, dan psikomotor perkembangan sikap sosial siswa relatif kurang mendapat perhatian.


(32)

Lemahnya dalam mengimplemetasikan nilai-nilai pendidikan jasmani sebagai pembinaan watak dan pembinaan moral tersebut, baik dalam menumbuhkan suasana kebersamaan, saling menghargai, toleransi, menghormati hak orang, tanggung jawab sosial dan saling tolong menolong, akan berpotensi pada munculnya konflik, terutama sikap sportivitas.

Namun, fakta empirik menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih menunjukkan miskonsepsi terhadap program yang terkait dengan tren penyelenggaraan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah yang masih berfokus pada aspek gerak dan kecabangan olahraga, sehingga implementasi program pendidikan jasmani sebagai pendidikan menyeluruh masih belum terpenuhi. Oleh karena itu terjadi keterlantaran dalam pembinaan aspek mental, moral dan sosial, telah menjadi isu yang berkembang dan harus segera dipecahkan.

Kemajuan ilmu pengetahuan termasuk teori-teori pembelajaran saat ini telah banyak mendorong dan mengilhami inovasi model-model pembelajaran. Untuk lebih memperkuat implementasi program pendidikan jasmani sebagai pendidikan menyeluruh, tercatat ada beberapa model pembelajaran pendidikan jasmani modern seperti: model pembelajaran akselerasi, kooperative, dan pembelajaran melalui pemanfaatan teknologi komputer. Implementasinya dapat dilihat dalam Model Pembelajaran Sport Education dimana para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik cabang olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang dewasa atau untuk orang yang sudah mahir, hal ini dianggap tidak sesuai dengan konsep developmentally appropriate practices. Atau juga dalam Model


(33)

Pembelajaran Kebugaran (Healh-Related Fitness Model), kelemahan model ini terletak pada ruang lingkup dari program ini yang sangat terbatas pada aktivitas kebugaran jasmani saja dengan bermaterikan pengembangan pada berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik. Model-model pembelajaran pendidikan jasmani di atas tampaknya belum mampu menjawab permasalahan klasik di dunia olahraga, seperti halnya masalah sikap sportif.

Dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani, di Sekolah Dasar lebih berorientasi pada pengembangan gerak, akan tetapi aspek sikap terutama sikap sportivitas sering kali terabaikan di dalam proses belajar mengajar pendidikan jasmani. Maka dari itu tidak heran kalau kenyataan di dunia olahraga sering kali terjadi perilaku yang tidak sportif yang mengakibatkan persepsi negatif masyarakat terhadap kegiatan keolahragaan, menganggap olahraga tidak memiliki nilai moral yang sesuai dengan norma-norma yang ada, baik norma agama maupun adat istiadat yang dijadikan acuan dalam kehidupan di masyarakat.

Sejak dulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah dan santun bahasanya. Hal ini didasari karena bangsa Indonesia memiliki akar budaya yang kuat sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di Indonesia. Keramahtamahan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah karena sejak kecil seorang individu dibesarkan untuk bertutur kata yang sopan dan santun, bahkan pada suku-suku tertentu, misalnya suku Sunda, dalam berbahasa ada tingkatannya dari anak kecil sampai dewasa. Hal itu terus tertanam pada seorang individu sehingga menjadi suatu kebiasaan yang mengakar pada sebagian besar masyarakat


(34)

Indonesia, sehingga bangsa-bangsa lain banyak yang mengagumi keramah-tamahan bangsa Indonesia tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman secara perlahan ada pergeseran nilai yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai fenomena di masyarakat, misalnya tindakan-tindakan melanggar hukum, aturan norma serta etika yang berlaku di masyarakat. Perilaku-perilaku tersebut terjadi tanpa mengenal tempat, waktu, kelompok usia dan strata sosial masyarakat, termasuk juga di dalam dunia olahraga.

Fenomena seperti itu menjadi keprihatinan bagi seluruh masyarakat yang harus dijawab dengan langkah-langkah yang tepat dalam menggunakan berbagai pendekatan, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal, karena hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat melalui pendidikan di keluarga dan pendidikan di sekolah. Sosok peserta didik yang dimaksud dalam tujuan pendidikan nasional merupakan potret kepribadian manusia yang memang merupakan tujuan dari pendidikan jasmani di mana pendidikan jasmani merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani yang dikelola secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya, dan bila dilihat dari sudut pandang pendidikan umum sebagaimana dinyatakan oleh Sikun Pribadi (1987) bahwa “Pendidikan umum dikembangkan berangkat dari pandangan adanya dalil kesatuan dunia, keteraturan dalam kehidupan, dan realitas komplek yang multidimensionalitas”.


(35)

Pendidikan formal terdiri dari beberapa tingkatan diantaranya tingkat SD, SLTP, SLTA dan PT. Masing-masing tingkatan memiliki kualifikasi kemampuan yang berjenjang secara akademik, maupun kemampuan keterampilan dan aspek kematangan jiwa. Pendidikan dasar (SD) memiliki peran yang strategis dalam membentuk manusia seutuhnya, di mana pendidikan SD merupakan fondasi bagi pembentukan kecerdasan, keterampilan dan sikap. Berbagai bidang studi yang ada di pendidikan dasar memiliki tujuan dan arah yang sama dalam membentuk peserta didik yang memiliki kemampuan intelegensi, keterampilan gerak dan sikap yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan fisik dan psikisnya.

Dari berbagai bidang studi yang ada di SD salah satu diantaranya bidang studi Pendidikan Jasmani, di mana Pendidikan Jasmani orientasi pendidikannya bertumpu pada pencapaian kematangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor di mana Pendidikan Jasmani mengembangkan kemampuan dasar daya berpikir cepat dan tepat dibarengi dengan kemampuan pengembangan gerak dasar tubuh serta pembentukan nilai-nilai sportivitas yang menjunjung tinggi kepatuhan terhadap aturan, jujur, disiplin, mengakui kelebihan orang lain, menerima kekurangan diri, tidak sombong dan ksatria. Hal-hal tersebut merupakan tanggung jawab Pendidikan Jasmani untuk dapat mewujudkannya, sehingga Pendidikan Jasmani memiliki peran yang besar dalam pembentukan fisik dan mental siswa SD.

Pendidikan Jasmani diberikan di jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA bahkan sampai PT, dengan harapan melalui Pendidikan Jasmani pembentukan Character Building manusia yang cerdas, terampil dan bermoral atau manusia seutuhnya akan tercapai. Namun, realitas di lapangan apa yang terjadi di dunia


(36)

olah raga perilakunya tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan Pendidikan Jasmani. Dengan demikian menjadi pertanyaan yang besar yang sering muncul di masyarakat, yaitu sejauhmana pengaruh Pendidikan Jasmani memberikan kontribusi terhadap prestasi dan pembentukan sportivitas dalam dunia keolahragaan. Berbagai penelitian untuk memperoleh jawaban tentang fenomena keolahragaan tersebut belum memperoleh jawaban yang pasti. Berdasarkan pertimbangan pada rumusan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk membuat rancangan penulisan disertasi dengan judul “Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani Berbasis Nilai Sportivitas bagi Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Sumedang”.

B. Fokus dan Rumusan Masalah

Dalam kenyataan masalah nilai sportivitas dapat dilihat dalam banyak sudut pandang dan ruang lingkup yang berbeda-beda. Dalam kajian penelitian ini nilai sportivitas akan ditempatkan dalam bingkai pendidikan nilai, dimana nilai sportivitas yang dimaksud dikembangkan dalam pendidikan jasmani. Dengan kata lain, batas masalahnya mencakup nilai sportivitas dalam pendidikan jasmani. Sementara itu rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan model pembelajaran pendidikan jasmani yang di lakukan saat ini?

2. Bagaimana pengembangan model pembelajaran penjas berbasis nilai sportivitas yang dilaksanakan di sekolah dasar ?

3. Bagaimana efektivitas pengembangan model pembelajaran penjas berbasis nilai sportivitas dilaksanakan sekolah dasar ?


(37)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pembelajaran pendidikan jasmani yang mampu meningkatkan nilai sportivitas pada siswa sekolah dasar di Kabupaten Sumedang.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui model pembelajaran pendidikan jasmani yang diterapkan guru pendidikan jasmani disekolah dasar.

2. Mengetahui bagaimana penerapan model pendidikan jasmani berbasis nilai sportivitas di sekolah dasar.

3. Mengetahui efektivitas model pembelajaran pendidikan jasmani berbasis nilai sportivitas di terapkan di sekolah dasar.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini memiliki manfaat dari segi teoritik dan praktis bagi penelitian lebih lanjut. Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menemukan prinsip-prinsip dan konsep-konsep baru yang berhubungan dengan penerapan model pembelajaran pendidikan jasmani Berbasis Nilai Sportivitas yang sesuai dengan tuntutan pendidikan jasmani dewasa ini. Disamping itu penelitian ini diharapkan menjadi rujukan secara teoritis dalam penerapan model pembelajaran pendidikan jasmani di masa yang akan datang yang dalam implementasinya sarat dengan nuansa nilai sportivitas.


(38)

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi guru pendidikan jasmani dalam melaksanakan proses pembelajaran, yang bukan hanya sekedar pengembangan gerak dasar, akan tetapi mampu membentuk sikap sportif siswa.

Model pembelajaran pendidikan jasmani Berbasis Nilai Sportivitas menuntut kreativitas dan inisiatif dari guru pendidikan jasmani untuk menterjemahkan konsep-konsep sportivitas ke dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.

Model pendidikan jasmani Berbasis Nilai Sportivitas merupakan tuntutan kemampuan profesional bagi guru pendidikan jasmani yang berkualitas. Di samping itu hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi Dinas Pendidikan dalam rangka membentuk Sumber Daya Manusia yang cerdas, terampil dan memiliki nilai sportivitas, dimana nilai sportivitas itu sendiri sarat dengan nilai moral kemanusiaan.

E. Asumsi Penelitian

1. Pendidikan Jasmani akan dapat mencapai tujuannya bilamana mempunyai kurikulum yang jelas diberbagai tingkatan di sekolah. Selain itu juga diperlukan guru Pendidikan Jasmani yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengimplementasikan pembelajaran Pendidikan Jasmani di sekolah. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan Pendidikan Jasmani adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Jasmani.


(39)

2. Nilai sportivitas akan bisa diterapkan melalui Pendidikan Jasmani. Nilai kedisiplinan dan kejujuran adalah nilai sportivitas yang dijadikan sasaran dalam pencapaian tujuan Pendidikan Jasmani di sekolah. Dengan kata lain nilai sportivitas akan bisa tercapai bilamana indikator Pendidikan Jasmani yang berupa adanya rumusan kurikulum yang jelas, ketersediaan guru yang berkemampuan dan tersedianya sarana prasarana yang memadai dapat diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.

3. Prestasi olahraga bisa dicapai bilamana nilai sportivitas bisa dijunjung tinggi. Nilai sportivitas tersebut diimplementasikan melalui kedisiplinan dan kejujuran. Karena itu tanpa adanya nilai sportivitas, maka prestasi olahraga tidak akan tercapai dengan baik. Dengan kata lain bilamana Pendidikan Jasmani di sekolah tidak maksimal akan berpengaruh pada pencapaian nilai sportivitas. Demikian juga nilai sportivitas yang tidak tercapai dengan maksimal akan berdampak terhadap pencapaian prestasi olahraga yang maksimal.

F. Definisi Operasional

1. Model Pembelajaran

Model adalah suatu gambaran dari suatu kenyataan yang dimaksudkan untuk menerangkan perilaku dari pada apa yang digambarkan tersebut. Mills dalam Kuswana (2003) menjelaskan “ Pengertian model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu”. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran dari beberapa sistem.


(40)

Uraian mengenai model yang telah dikemukakan tadi memberikan pemahaman, bahwa suatu model dapat ditinjau dari berbagai sudut bergantung sudut mana mempokuskan suatu pemecahan permasalahannya, sebab perumusan model memiliki tujuan utama seperti :

a. Memberikan gambaran atau deskripsi kerja sistem untuk periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan perubahan;

b. Memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem;

c. Memproduksi model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan kompleksitas rendah.

Titik berat penggunaan model pembelajaran adalah pada keberhasilan mencapai tujuan, sedangkan pembelajaran pada alat yang digunakan untuk belajar. Pengertian model pembelajaran sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang materi pelajaran dan membantu proses pembelajaran. “Model pembelajaran mencakup komponen-komponen yaitu desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian”,(Seels & Richey, 1994).

Model pembelajaran di sini tidak diasumsikan sekedar pengertian suasana pembelajaran dalam arti lingkungan fisik tetapi lebih menekankan pada pengertian nonfisik. Suasana pembelajaran seperti itu yang dibentuk oleh guru selama pembelajaran berlangsung yang diindikasikan oleh pemunculan proses-proses keterampilan kelompok dan interpersonal. Sebagai guru pendidikan jasmani di


(41)

sekolah dasar, mereka juga berperan sebagai desainer dan manager pendidikan jasmani. Guru pendidikan jasmani harus membuat situasi untuk belajar dengan menciptakan atmosfir kelas yang positif dan menyenangkan.

Model pembelajaran yang akan digunakan oleh guru pendidikan jasmani selama ini, mengacu pada pendapat Mosston (1994:7-12) bahwa :

Model mengajar bersifat kontinum terdiri 11 gaya, di mana gaya masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Artinya guru mengajar harus mampu mengkombinasikan gaya-gaya yang berbeda, untuk mencari kemungkinan terbaik serta mencari kesesuaian dengan gaya belajar siswa. Setiap pengajaran episode interaksi guru siswa silalu ditandai oleh tiga seting kejadian yaitu: (1) preimpact set, (2) impact set, (3) post impact set.

2. Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani dipandang sebagai sarana pendidikan yang menggunakan tubuh manusia untuk mencapai tujuan pendidikan yakni meningkatkan kebugaran dan kemampuan meningkatkan gerak dasar. Mengingat tujuan tersebut, maka Pendidikan Jasmani sudah diajarkan diberbagai tingkatan sekolah, mulai dan tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Rusli Lutan (1996) menjelaskan bahwa .

Pendidikan jasmani sebagai proses pendidikan via gerak insani (human movement) yang dapat berupa aktivitas jasmani, permainan atau olahraga untuk mencapai tujuan pendidikan. Sejalan dengan upaya tujuan pendidikan maka dalam pendidikan jasmani dikembangkan potensi individu, kemampuan fisik, intelektual, emosional, sosial dan moral spiritual.

Seperti yang dijelaskan Rusli Lutan (1997) bahwa .

Tujuan pendidikan jasmani di sekolah dasar untuk membantu anak didik agar meningkatkan kemampuan gerak disamping merasa senang dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas diharapkan juga peserta didik memiliki fundasi yang kuat untuk mengembangkan keterampilan gerak, pemahaman secara kognitif dan sikap positif terhadap aktivitas jasmani


(42)

kelak sehingga menjadi manusia dewasa yang sehat dan berkepribadian yang mantap.

Mosston (1994) menjelaskan bahwa .

Untuk mampu membawa anak didik pada pembelajaran pendidikan jasmani yang bersuasana penuh muatan kependidikan, guru perlu menguasai dan menerapkan gaya-gaya mengajar yang bervariasi serta masing-masing memiliki target yang positif.

Sedangkan temuan lain dari Hellison (1995) dan Lavay (1997), selalu yakin menekankan ” Pentingnya strategi manajemen prilaku positif dalam suasana pembelajaran pendidikan jasmani”.

Melalui pendidikan jasmani siswa akan memperoleh berbagai ungkapan yang erat kaitannya dengan kesan pribadi yang menyenangkan serta berbagai ungkapan yang kreatif, inovatif, terampil dan memiliki kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat serta memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap gerak manusia. Pada kurikulum (2004) dijelaskan bahwa.

Proses pembelajaran pendidikan jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, teknik, taktik dan strategi permainan/olahraga, internalisasi nilai-nilai (seperti : sportivitas, jujur, kerjasama, disiplin, bertanggungjawab) dan pembiasaan pola hidup sehat, yang dalam pelaksanaannya bukan melalui pengajaran. Pendidikan konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis melainkan melibatkan unsur fisik, mental intelektual, emosi dan sosial. Aktivitas diberikan dalam pengajaran hams mendapatkan sentuhan didaktik metodik, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran.

3. Nilai Sportivitas

Nilai sportivitas adalah salah satu dari yang ingin dicapai dalam tujuan Pendidikan Jasmani. Secara operasional nilai sportivitas tampak pada upaya penanaman nilai disiplin dan kejujuran pada anak didik. Lewat pendidikan


(43)

jasmani di sekolah nilai kedisiplinan akan bisa diterapkan oleh para guru kepada siswa di dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani. Demikian juga nilai kejujuran yang merupakan kelanjutan dari nilai kedisiplinan dalam praktiknya dilakukan oleh para guru di sekolah. Indikator nilai kedisiplinan dan kejujuran itu diwujudkan dalam bentuk nilai pengakuan terhadap kekalahan ataupun kemenangan dalam suatu event permainan olahraga di sekolah.

Sportivitas, kata yang sering kita jumpai di pembicaraan khusus olahraga, maupun pembicaraan umum lainnya. Diambil dari kata sport-sportive-sportsmanlike, kata-kata ini memang tak jauh-jauh dari dunia olahraga asalnya. Ketika dunia olahraga diwarnai oleh banyak kompetisi, pertandingan dan sejenisnya, maka istilah ini menjadi satu magnet yang tak terpisahkan dari setiap rule of the game (aturan main) setiap match.

Olahraga memang memuat banyak isu etika. Sportivitas salah satunya. Dalam olahraga, jika yang kalah dianggap gagal dan yang menang dianggap sukses, perlu dekonstruksi pemahaman terhadap makna olahraga itu sendiri. Karena pada posisi terbaiknya, olahraga sebenarnya bisa membantu kita untuk membangun mental yang siap menghadapi tantangan, kesulitan, juga siap untuk selalu mengakui kelebihan dan kehebatan lawan. Mengapresiasi kontribusi orang lain sekecil apapun, bahkan kontribusi lawan. Olahraga memberi kita banyak kesempatan untuk mengekspresikan nilai-nilai moral dan menunjukkan pentingnya dedikasi, integritas dan keadilan. Inilah jiwa dan semangat yang diusung oleh kata ‘sportif’. Jiwa menghargai setiap standar yang telah terbentuk dalam setiap pertandingan.


(44)

Apa makna sportivitas sebenarnya? Menurut online Free Dictionary (2007):

Sportivitas bermakna melakukan pertandingan yang bersih, memberi solusi yang adil dan sportif bagi setiap ketidaksepahaman, melaksanakan nilai-nilai keterbukaan”. Bermain ‘bersih’ disini juga diberi keterangan tambahan ‘bebas dari segala macam bentuk favoritisme diri, kepentingan pribadi, bias, penyimpangan; sesuai dengan standar atau aturan yang berlaku dan disepakati bersama; wasitnya adil, permainannya adil.

Sedangkan wordreference.com-English Dictionary (2007) memberi definisi yang kurang lebih bernada sama. “Sportivitas diartikan keterbukaan dan keadilan dalam pemberian solusi setiap masalah yang timbul, pengedepanan sikap-sikap mental yang ikhlas menerima kesalahan dan kekalahan sendiri, kebenaran dan kekuatan lawan.”

wordwebonline.com (2005-2007) mendefinisikan dengan lebih luas.

Sportivitas, menurut kamus ini, merupakan tindakan yang selayaknya diemban olahragawan dalam setiap tindak-tanduknya, termasuk keberanian untuk mengambil berbagai macam resiko dalam pertandingan yang dijalani, memanfaatkan kesempatan dalam pertandingan dengan tidak melanggar standar aturan baku.

Pada intinya, sportivitas merupakan tindakan yang legowo dalam menerima dan menyikapi kalah menang dalam pertandingan. Sikap ini harus dimaknai dalam semboyan olahraga men sana in corpore sano yang selalu banyak didengungkan insan olahraga. Di dalam tubuh yang kuat, terdapat jiwa yang sehat. Jiwa yang sehat, adalah jiwa yang sportif, jiwa yang lega hati dan berlapang dada menerima kekalahan dan tidak memanfaatkan segala cara untuk meraih kemenangan, karena tahu betul bagaimana memaknai olahraga.

Rasulullah saw, makhluk Allah yang agung juga pernah memberi contoh pada kita bagaimana menjadi orang yang “sportif” (Republik Indonesia, 10 Juli 2006). Ketika peristiwa haji wada, Rasulullah saw berpidato di hadapan kaum


(45)

Muslimin. Ada yang menarik dari pidato tersebut, yaitu pengakuan terhadap kesalahan yang pernah beliau lakukan. Rasulullah saw juga menyatakan kesediaannya untuk di-qishash (menerima balasan setara dengan kesalahan yang dibuat). Bagi mereka yang merasa pernah disakiti oleh Rasulullah saw, maka pada saat itulah waktu yang disediakan beliau untuk membalasnya.

Bayangkan, seorang Rasul utusan Allah SWT yang akhlaknya begitu agung, melakukan pengakuan kesalahan secara terbuka. Pengakuan kesalahan secara ksatria dan bertanggung jawab penuh untuk hal itu dan itulah yang dinamakan sportivitas. Rasulullah SAW seperti yang selalu beliau contohkan adalah manusia yang paling sportif dan paling ksatria. Mengakui kesalahan dan menerima kesalahan dengan lapang dada dan tidak mencari kambing hitam dalam tindakan salah yang dilakukannya adalah akhlak utama yang mungkin saat ini makin langka ditemukan. Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. “Dan janganlah kamu samarkan antara yang benar dan batil, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 42).

Nilai-nilai utama seperti sportivitas, lapang dada, mau menerima kritik, dan mengakui kesalahan menjadi aktual dan dalam olahraga, nilai-nilai utama itu menjadi keniscayaan yang juga seharusnya diimplementasikan di seluruh bidang kehidupan.

Olahraga harus memuat prinsip-prinsip moral dan etika yang memberi keuntungan bersama, karena itulah nilai-nilai sportivitas. Bermain adil, bermain jujur. Pesannya selalu sama, maka olahraga yang lebih baik akan tercipta, dan martabat manusia akan senantiasa terpelihara.


(46)

144 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan yang dikaji yaitu Model Pembelajaran Pendidikan Jasmani Berbasis Nilai Sportivitas Bagi Siswa Sekolah Dasar, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode Research and Development (R and D). Menurut Borg dan Gall (l979:626) ”Educational Research and Development is a process used to develop and validate educational product”, dengan pendekatan kualitatif karena mengacu kepada kondisi lingkungan alamiah (natural) yang menggambarkan sifat dari data penelitian yang realistis sesuai dengan pemahaman dan pemikiran nara sumber. Seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:189).

we suggest that inquiry must be carried out in a natural setting because phenomena of study, whatever they may be, take their meaning as much from their contexts as they do from themselves…, no phenomena can be understood out of relationship to the time and context that spawned, harboured and supported it.

Penelitian dan pengembangan merupakan suatu strategi penelitian dan pengembangan produk pendidikan yang menggunakan beberapa siklus. Setiap siklus diawali dengan melakukan studi pendahuluan untuk menemukan suatu produk pendidikan, kemudian produk tersebut dikembangkan dalam situasi tertentu, diuji, direvisi dan diuji kembali, sampai ditemukan produk akhir yang dianggap sempurna yang selanjutnya produk tersebut diuji validitasnya. Apabila sudah teruji, diharapkan dapat diterapkan untuk memperbaiki proses pendidikan


(1)

Feezel, Randolph M. (1995). “Sportmanship”, dalam Philosophic Inquiry in Sport (seconded.). USA: Human Kinetics.

FIFA Magazine. (August’1997). Code of Conduct for Footballs. Copyright @ 1997 En-Line, Inc., All Rights Reserved.

Fraenkel.(1997). How to Teach About Values. New Jersey: Prentice – Hall Inc. Furqon. (1976). Statistika Terapan untuk Penelitian . Jakarta : Alfabeta.

Ghony.(1982). Nilai Pendidikan. Surabaya : Lisana Offset Printing. Graham, G. (1992) Teaching Children Physical Education, Champaign, Illionis:

Human Kinetics Publisher Inc.

Hamalik, Oemar. (2002), Pendidikan Guru: Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bandung : Bumi Aksara.

Hamalik, Oemar. (2004). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamalik, Oemar. (2006). Manajemen Implementasi Kurikulum : Bagi Pengembang, Pengelola, dan Pengawas. Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI.

Haricahyono. C. (1995). Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: Press. Harlock. J. B.(1995). Child Development. New York: MC. Graw Hill Book

Company.

Harrow, Anita J. A. (l972). Taxonomy of the Psychomotor Domain. New York : David Mckay Company, Inc.

Hasan, S. Hamid. (l988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta : Depdikbud, Dikti, Proyek Pengembangan Tenaga Kependidikan Tenaga Akademik.

Hellison, Don. (l995). Teaching Responsibility Through Physical Activity. Champaign. H. Human Kinetics.

Ibrahim, R. (2005). Pengembangan Kurikulum Program Studi di Perguruan Tinggi Dengan Penekanan Khusus pada LPTK. Lokakarya Nasional. Fakultas Ilmu Pendidikan UPI (tidak dipublikasikan).

James P. Shaver., dan William Strong (1982), Facing Value Decisions Rationale-Building For Teachers,(New York : Teachers College).


(2)

Jewet; Bain; dan Ennis. (l995). The Curriculum Process in Physical Education. Second Edition, Brown & Benchmark Publishers.

Kay.(1975). Moral Education A Sociological Study of The Influence of Society. Home and School. London : George Allon & Unwir.

KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). (2004). Jakarta:Depdikbud

Keating, James. (1995). “Sportmanship as a Moral Category”, dalam Philosophic Inquiry inSport (second ed.). USA: Human Kinetics.

Krathwohl, David R., Bloom., Benjamin S., and Masia, Bertram B. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain, New York: Longman 1964

Kurtines, William M., dan Gerwitz, Jacob L. (1992). Moralitas, Perilaku, dan Perkembangan Moral. Penerjemah MI.Soelaeman & MD. Dahlan. Jakarta:UI Press.

Kuswana, Sunaryo. (2003). Konsep Model, Pendekatan, Strategi dan Metode Pembelajaran: Materi Pelatihan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. UPTD Balai Pelatihan Guru, Dinas Pendidikan Jawa Barat.

Labinowicz, (1980).The Piaget Primer-Thinking Learning Teaching, California: Addison Wesley Publishing Company.

Lavay, Barry W; French, Ron; Henderson, Hester L. (1997). Positive Behavior Management Strategist for Physical Education Champaign, IL: Human Kinetic.

Leaman, Oliver.(1995). Cheating and Fair Play in Sport. dalam Philosophic Inquiry in Sport (second ed). USA: Human Kinetics.

Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications.

Mahendra dan Makmun (l998). Teori Belajar dan Pembelajaran Motorik. IKIP Bandung Press.

Mulyana. R. (2004). Mengartikulasi Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.


(3)

Mutohir Cholik. ,Toho dan Lutan Rusli. (1997). Metodik Pengajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan di Sekolah Dasar. Jakarta : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Bagian Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Mostton, Muska; Ashworth, Sara (1994). Teaching Physical Education, New York. Longman Inc.

Nasution.(1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Oliva, Peter F. (l992) Developing The Curriculum, Third Edition. Harver Collins

Publisher.

Pangrazzi., Robert., and Dauer (l995). Dynamic Physical Education for Elementarry School Children. Eleventh Edition. Boston : Allyn and Bacon.

Philip Edward Gerney. (1980). The Effect of Mosston “Practice Style and Reciprocal Style” on Psychomotor Skill Aguisation and Social Development of Fifth Grade Student dalam Dicertation Abstract International, Ed. Patricia Calling, University Microfilm, vol. 41 no. 01. Poerwadarminta, (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Poespoprodjo.(1996). Filsafat Moral. Bandung: Pustaka Grafika

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2002). Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. Rink, Judith, E. (1993). Teaching Physical Education for Learning. Fourth

Edition. Mosby. Toronto.

Robert P. Pangrazi., Victor P. Dauer (1992).Physical Activity Ratings of High and Low-fat Children. Indianapolis: American Alliance for Health, Physical Eduation, Recreation, and Dance.

Rusli Lutan, (1988). Belajar Keterampilan Motorik, Pengantar Teori dan Metode. Departemen P&K Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Jakarta.

Rusli Lutan (1992) Manusia dan Olahraga. Seri Bahan Kuliah. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Rusli Lutan (1996). Modifikasi Cabang Olahraga dan Model Pembelajarannya dalam Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar. Proyek Pengkajian Pelaksanaan Penelitian Hibas Bersaing. Bandung: FPOK-IKIP Bandung.


(4)

Rusli Lutan. (1996/1997), Hakekat dan Karakteristik Penjaskes, Jakarta, Depdikbud.

Rusli Lutan. (2001). Asas-asas Pendidikan Jasmani, Pendekatan Pendidikan Gerak di Sekolah Dasar. Jakarta : Dirjen Olahraga, Depdiknas.

Rusli Lutan.(2001). Olahraga dan Etika (Fair Play). Jakarta: CV. Berdua Satu Tujuan, Wihani Group, DIREKTORAT IPTEK dan Diknas.

Schmidt, Richard A., (1991). Motor Learning and Performance From Principles. Seidel, Baverly L ; Bile, Fay R.; Figley, Grace, Numan. BJ. (1975) Sport Skills, A. Conceptual Approach to Meaningful Movement, Dubuque, IA. WM.C. Brown.

Seels, Barbara B., and Richey, Rita, C. (l994). Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya. Washington, DC. Association for Educational Communication and Technology.

Seidel, Baverly L ; Bile, Fay R.; Fingley, Grace, Numan. BJ. (1975) Sport Skills, A.Conceptual Approach to Meaningful Movement, Dubuque, IA. WM.C. Brown.

Semiawan, Cony R. (1992). Pendekatan Pembelajaran Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah. Konsorsium Ilmu Pendidikan. Jakarta : Ditjen Dikti.

Sengkey. (1991). Pengaruh Gaya Mengajar dan Umpan Balik Terhadap Keterampilan Menemba dalam Permainan Bola Basket (Tesis). Jakarta: PPS IKIP Jakarta.

Setyobroto, Sudibyo. 1993. Psikologi Kepelatihan. Jakarta: CV. Jaya Sakti.

Siedentop, Daryl. (l990). Introduction to Physical Education Fitness and Sport, Mountain View, California: Mayfield Publishing Company.

Siedentop, Daryl. (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education. Mayfield Publishing Company.

Sikun Pribadi. (1987). Mutiara-Mutiara Pendidikan, Erlangga, Jakarta.

Simon, Robert,L. (1991). Fair Play : (Sport, Values, Society). USA: Westview Press.Inc.

Soelaeman. (1977). Penghampiran Fenomenologis Terhadap Pendidikan. Bandung: IKIP.


(5)

Soemantri. E. (1993). Pendidikan Moral Suatu Tinjauan Dari Sudut Konstruksi dan Proposisi. Bandung: IKIP.

Soemarsono Mestoko dan Udin Syaripudin W, (1981), Pengantar Pendidikan Moral Pancasila dan Sejarah Nasional Indonesia Buku ke Satu, Jurusan PKn dan Hukum FKIS IKIP Bandung.

Subandijah. (l996). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sudjana dan Ibrahim, (1989), Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung : Sinar Baru.

Sudjana. (l994). Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi III. Bandung : Tarsito. Sukintaka, (2004). Teori Pendidikan Jasmani: Filosofi Pembelajaran dan Masa

Depan. Bandung : Nuansa.

Sukmadinata, Nana Syaodih, (2003), Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Dasar : Konsep, Prinsip dan instrumen. Bandung : Kesuma Karya Bandung.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2003). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah dasar: Konsep, Prinsip, dan Instrumen. Bandung: Kesuma Karya Bandung.

Sukmadinata, Nana Sayodih (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung : Yayasan Kesuma Karya.

Sukmadinata., Nana Syaodih. (2005). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Supandi. (1994). Strategi Penerapan dan Pengembangan TQM Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Makalah. Bandung: IKIP Bandung.

Supandi. (1997). Strategi Belajar Mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta : Proyek PTK Dirjen Dikti Depdikbud.

Supratiknya. (1993). Teori-teori Psikodinamik. Yogyakarta: Kanasius.

Suriasumantri, Jujun, S. (1978). Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Hakekat Ilmu. Jakarta : PT. Gramedia.

Suseno, (1985), Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral , Penerbit Kanisius, Yogyakarta


(6)

Syarifudin. (l994). Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jakarta : Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003, Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta : Biro Hukum dan Organisasi Sekjen Depdiknas. Wardani, IG. A.K. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Apa, Mengapa, dan

Bagaimana Implementasinya. Makalah pada Pelatihan Buku Ajar PGSD, Yogyakarta.

Weinberg & Gould. (1995). Foundations of sport and Exercise Psychology. USA. Human Kinetics.

Witherington. H.C., dan Burton W.H. (1986). Tehnik-tehnik Belajar dan Mengajar. Bandung: PT. Jemaras.

Yulaelawati, Ella. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofis Teori dan Aplikasi. Jakarta : Pakar Raya Pustaka.

Daftar Rujukan dari Internet

1) WordReference.com English Dictionary (2007) 2) Wordweb Online (2005-2007)

3) Free Dictionary (2007)

4) Ganjar Kurnia. Hikmah Sportivitas (2007). Republika Online. 5) Republika Indonesia, 10 Juli 2006. Memaknai Sportivitas.