PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA MTS MELALUI PENDEKATAN INDUKTIF-DEDUKTIF BERBASIS KONSTRUKTIVISME.

(1)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Definisi Operasional ... 18

F. Hipotesis Penelitian ... 19

BAB II. STUDI KEPUSTAKAAN A. Pemahaman Matematik ... 20

B. Generalisasi Matematik ... 22

C. Sikap Siswa terhadap Matematika ... 28

D. Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika ... 33

E. Pembelajaran Matematika Berbasis Konstruktivisme ... 38

F. Pendekatan Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematik ... 42

G. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Induktif-Deduktif ... 44


(2)

I. Pembelajaran Biasa ...

54

J. Penelitian yang Relevan ... 57

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 60

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 60

C. Variabel Penelitian ... 61

D. Instrumen Penelitian ... 62

E. Tes Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematik ... 63

F. Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda dan Indeks Kesukaran Butir Soal ... 65

G. Bahan Ajar ... 69

H. Lembar Observasi ... 69

I. Skala Sikap ... 70

J. Prosedur Penelitian ... 71

K. Teknik Analisa Data ... 74

L. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 78

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN ... 80

A.1. Statistik Deskriptif ... 81

A.2. Analisis Hasil Pretes ... 85

A.3. Analisis Hasil Postes ... 88

A.4. Kualitas Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 92

A.5. Deskripsi Hasil Non Tes ... 94


(3)

Berbasis Konstruktivisme ... 109

B.3. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran ... 111

B.4.Keterbatasan Penelitian ... 113

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A.Kesimpulan ... 114

B.Implikasi ... 114

C.Rekomendasi ... 114


(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu bangsa. Terlebih lagi di era globalisasi dewasa ini yang penuh dengan berbagai tantangan dan persaingan yang semakin meningkat. Senada dengan hal ini, Herman (2007), mengemukakan bahwa persaingan dalam dunia kerja belakangan ini, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era informasi global, hampir di setiap sektor kehidupan kita dituntut untuk menggunakan kemampuan intelegensi dalam menginterpretasi, menyelesaikan masalah, ataupun untuk mengontrol proses komputer. Kebanyakan lapangan kerja dewasa ini lebih banyak menuntut kemampuan berpikir seperti menganalisis, mengevaluasi dan menggeneralisasi daripada keterampilan mekanistis. Selain itu kemampuan yang bersifat afektif seperti disiplin, tekun, penuh tanggung jawab, produktif, dan mau bekerja keras juga merupakan watak yang harus dimiliki tenaga profesional. Oleh karena itu, sumber daya manusia Indonesia pada gilirannya nanti harus mampu bersaing di arena global dalam bursa tenaga profesional yang strategis bukan dalam bursa tenaga buruh rendah.

Perwujudan masyarakat yang berkualitas tersebut di atas, menjadi tanggung jawab dunia pendidikan atau dunia sekolah, terutama mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing (Dwiyono, 2005). Di Indonesia ada dua jenis sekolah pada jenjang SLP (Sekolah


(5)

Lanjutan Pertama) yaitu SMP dan MTs. Madrasah Tsanawiyah (disingkat MTs) adalah jenjang dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan sekolah menengah pertama yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Kurikulum Madrasah Tsanawiyah sama dengan kurikulum sekolah menengah pertama (SMP), hanya saja pada MTs terdapat porsi lebih banyak mengenai pendidikan Agama Islam, misalnya mata pelajaran Bahasa Arab, Qur'an, Al-Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan Sejarah Kebudayaan Islam.

Selain kurikulum atau porsi mata pelajaran yang lebih banyak daripada SMP umumnya, MTs juga memiliki aturan atau karaktersitik tersendiri yaitu sebelum memulai materi pelajaran pada jam pertama, siswa diwajibkan membaca Al-Quran selama 5 sampai 10 menit. Oleh karena itu, salah satu alasan yang mendasari penulis memilih MTs sebagai obyek penelitian adalah ingin mengetahui efektifitas penerapan model pembelajaran atau pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme di sekolah (MTs) tersebut dengan waktu yang tersedia. Sebab selama ini, salah satu alasan ketidaktuntasan materi pelajaran di sekolah-sekolah terutama mata pelajaran matematika adalah keterbatasan waktu. Jenjang Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama (MTs/SMP) memiliki peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan siswa untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Dalam pasal 17 Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Selanjutnya, Bukhari (Trianto, 2007) juga menyatakan bahwa pendidikan yang baik tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk sesuatu profesi atau


(6)

jabatan tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga matematika yang merupakan disiplin ilmu yang dipelajari mulai dari TK sampai perguruan tinggi hendaknya dipelajari tanpa mengabaikan manfaatnya dalam kehidupan nyata.

Sejalan dengan pendapat di atas, Jihad (2008: 156) mengemukakan bahwa, pendidikan matematika di sekolah juga harus dapat membekali siswa dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan matematika agar lulusanya menjadi warga negara yang memiliki keterampilan matematika yang siap menghadapi perubahan di masa mendatang. Selain memiliki keterampilan menurut Alisah dan Dharmawan (2007: 38), bahwa para siswa juga harus memiliki pikiran yang berkembang yaitu pikiran yang siap menghadapi tantangan persoalan yang diajukan oleh realitas, dan belajar matematika akan mendidik agar pikiran kita siap dalam menghadapi semua tantangan itu.

Di sisi lain, matematika adalah ilmu pengetahuan yang dianggap sulit oleh sebagian siswa bahkan kebanyakan orang. Bahasa matematika adalah bahasa yang abstark, bahasa yang dipenuhi dengan banyak lambang/simbol-simbol. Oleh karena sifatnya yang abstrak inilah sehingga menjadi salah satu sebab kesulitan memahami matematika dan seringkali kebanyakan orang awam mengira bahwa matematika itu tidak ada hubunganya dengan dunia nyata yang kongkrit. Hal ini juga merupakan tantangan pendidik atau pemerhati matematika untuk terus melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran matematika supaya menyenangkan (tidak menakutkan) dan mudah dipahami serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata siswa.


(7)

Salah satu tujuan umum pendidikan matematika sekolah adalah memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan di dalam menerapkan matematika sehingga kemampuan nalar siswa perlu dikembangkan. Senada dengan hal ini juga Soedjadi (2000:143) menyatakan bahwa aspek penataan nalar perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran. Penataan nalar itu dapat ditingkatkan bila seseorang memahami suatu topik materi.

Materi matematika dan penalaran matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika (Depdiknas, 2002: 3). Berdasarkan pendapat ini, muncul suatu pertanyaan ”Bagaimana kemampuan siswa dalam bernalar (reason) dan kemampuan siswa dalam matematika?” Kemampuan pemahaman matematika terkait dengan tujuan material yang harus dicapai siswa dalam penguasaan pemecahan masalah dan penerapan matematika, sedangkan kemampuan penalaran terkait dengan tujuan formal, yakni penataan nalar siswa untuk diterapkan dalam kehidupannya (Soedjadi dalam Dahlan, 2004: 3). Dengan demikian, pemahaman dan penalaran merupakan kemampuan yang sangat penting yang dibutuhkan dalam belajar matematika.

Beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan dengan pemahaman dan penalaran diantaranya adalah studi oleh Sumarmo (1987) terhadap siwa SMA kelas 2 di Bandung menemukan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara kemampuan pemahaman dan penalaran matematik. Studi oleh Rahayu (2001) pada siswa kelas 1 SMU Negeri di salah satu kota di Bandung, dari hasil


(8)

penelitian tersebut diperoleh bahwa terdapat asosiasi antara pemahaman matematika dan kemampuan penalaran (analogi) matematika siswa. Studi oleh Susana (2003) bahwa kemampuan pemahaman matematik siswa memiliki kaitan atau hubungan yang signifikan dengan kemampuan penalaran matematik siswa. Kemudian studi oleh Priatna (2003) pada siswa kelas 3 SLTP Negeri di Kota Bandung menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan penalaran dan kemampuan pemahaman matematik siswa. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Sastrodirjo (Priatna, 2003:4) dari hasil penelitian terhadap siswa SLTP di Yogyakarta disimpulkan bahawa terdapat korelasi positif antara kemampuan penalaran dengan prestasi belajar matematika siswa.

Hudojo (1988: 76) menyatakan bahwa, berpikir matematik merupakan kegiatan mental, yang dalam prosesnya menggunakan generalisasi. Lebih jauh Hudojo (2001:82) menjelaskan bahwa proses generalisasi juga merupakan aspek atau bagian yang esensial dari berpikir matematik. Berkaitan dngan pentingnya generalisasi dalam matematika, NCTM (2000: 262) merekomendasikan bahwa tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6 sampai kelas 8 adalah agar siswa dapat; (1) menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan, (2) merumuskan generalisasi dan konjektur, dan (3) membuat dan mengevaluasi argumen matematika.

Selain mengembangkan penalaran, pembelajaran matematika juga bertujuan mengembangkan pemahaman siswa. Pemahaman merupakan unsur yang penting dalam pembelajaran matematika. Beberapa pendapat dan hasil studi


(9)

tentang pentingnya pemahaman yakni Bransford, Brown, dan Cocking (NCTM, 2000: 20) menyatakan siswa yang mengingat fakta atau prosedur tanpa pemahaman sering tidak yakin kapan dan bagaimana menggunakan apa yang mereka ketahui, dan belajar seperti itu agak rapuh (quite fragile). Selanjutnya hasil studi Brownel (Grouws dan Cabulla 2004: 13) menunjukkan bahwa belajar untuk pengertian dan pemahaman dalam matematika memiliki efek positif terhadap belajar siswa, meliputi permulaan belajar yang baik, retensi yang besar dan meningkatkan kemungkinan ide akan dapat digunakan dalam situasi yang berbeda.

Skemp (Brawner, 2004: 5) membagi pemahaman ke dalam pemahaman instrumental dan relasional. Pemahaman instrumental dideskripsikan sebagai pemahaman yang semata-mata tahu aturan (rumus) dan mampu menggunakanya atau ” aturan tanpa alasan” (rules without reason), dan pemahaman relasional didefinisikan sebagai pemahaman di mana siswa tahu apa yang dikerjakan dan mengapa (knowing both what to do and why).

Bagaimana kemampuan pemahaman dan kemampuan penalaran dan atau generalisasi matematik siswa di lapangan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat hasil evaluasi ataupun hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain; hasil penelitian Sumarmo (1987) ditemukan bahwa skor kemampuan siswa dalam pemahaman dan penalaran matematika masih rendah. Siswa masih banyak mengalami kesulitan dalam pemahaman relasional dan berpikir derajat kedua, artinya siswa mengalami kesulitan dalam tes penalaran deduktif dan induktif. Hasil penelitian yang sama juga ditemukan Wahyudin


(10)

(1999) bahwa rata-rata tingkat penguasaan siswa dalam mata pelajaran matematika adalah 19,4% dengan simpanan baku 9,8%. Juga diketahui bahwa model kurva berkaitan dengan tingkat penguasaan para siswa adalah positif (miring ke kiri) yang berarti sebaran tingkat penguasaan para siswa tersebut cenderung rendah. Demikian pula studi yang dilakukan Priatna (2003) mengenai kemampuan penalaran dan pemahaman matematika siswa SLTP kelas 3, ditemukan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi dan generalisasi) dan pemaaman matematik rendah karena skor masing-masing hanya 49% dan 50% dari skor ideal.

Dari segi kemampuan pemahaman matematika, hasil evaluasi TIMMS tahun 2000 juga patut dijadikan rujukan, yakni skor rata-rata matematika siswa di Indonesia adalah 403, menduduki peringkat ke-34 dari 38 negara yang menjadi sampel (NCES 2000 dalam Dahlan, 2004). Hal ini sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (Singapura peringkat ke-1, Malaysia peringkat ke-16 dan Thailand peringkat ke-27).

Selain temuan dari para peneliti di atas, Untuk mengetahui kondisi real yang terjadi di lapangan, penulis juga memeriksa hasil kerja (lembaran jawaban) siswa SMP kelas 2 pada salah satu sekolah Negeri di Jawa Barat dan menemukan suatu kondisi yang menyatakan tentang lemahnya pemahaman dan penalaran siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Walaupun temuan ini tidak representatif, namun setidaknya, kasus seperti ini terjadi di lapangan dan perlu dipikirkan dan menjadi perhatian bagi pemerhati matematika. Adapun soal yang dimaksud seperti berikut;


(11)

Pada gambar di atas, PR adalah garis singgung lingkaran Q, besar sudut RQP adalah 60 berapakah besar sudut QPR? 0

Dari 33 siswa hanya 3 orang siswa (9,1%) yang menjawab benar, 15 siswa(45,45%) menjawab salah dan sisanya, 15 siswa (45,45%) tidak menjawab. Penulis juga mewawancarai guru matematika yang megajar pada kelas tersebut, dan menurut penjelasannya, pada pembahasan Persamaan Garis Singgung Lingkaran, telah dijelaskan bahwa garis yang tegak lurus jari-jari adalah 900 (siku-siku). Dengan demikian, seharusnya siswa sudah bisa menjawab besar sudut QPR adalah 30 . Apa yang terjadi dengan pemahaman siswa? Penulis mencoba 0 mengkajinya dengan merujuk pada pendapat Hudojo (2001), bahwa bila unsur-unsur dari suatu situasi dipahami menurut hubungan-hubungannya untuk keseluruhan situasi, berarti generalisasi telah dikuasai dan struktur telah diorganisasikan, tercapailah pengertian/pemahaman yang mendalam terhadap situasi tersebut. Bila generalisasi dikuasai, transfer belajar akan tercapai. Dari uraian ini tampak bahwa siswa belum memiliki pengertian ataupun pemahaman yang mendalam dan serta generalisasi dari konsep yang diajarkan sehingga siswa tidak bisa menerapkan konsep tersebut serta hubungannya dalam memecahkan masalah. Hal ini juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh Vinner et al.

P R


(12)

(Priatna, 2003) bahwa kesalahan siswa dalam memahami konsep matematika disebabkan karena penggeneralisasian yang tidak tepat.

Permasalahan di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan yang ada di lapangan. Oleh karena itu, perlu ada upaya pembelajaran yang optimal untuk meningkatkan daya nalar dan pemahaman siswa di kelas. Dan salah satu tujan umum pendidikan matematika sekolah adalah memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan di dalam menerapkan matematika sehingga kemampuan nalar siswa perlu dikembangkan. Sebagaimana yang dikatakan Wahyudin (1999: 101) bahwa matematika dipelajari untuk mengembagkan berpikir logis, akurasi serta kesadaran yang menyertainya. Hal senada dikatakan oleh Soedjadi (2000: 143) bahwa penataan nalar perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran.

Soekadijo (1999) membagi penalaran menjadi beberapa bagian di antaranya adalah generalisasi. Generalisasi merupakan kegiatan berpikir (Gardner, 1983; Burton 1984) dan salah satu kegiatan yang penting dalam matematika (Ward & Hardgrove, 1964: 5). Hal senada dikatakan Hudojo (2001: 64) bahwa, proses generalisasi merupakan bagian yang esensial dari berpikir matematik. Pentingnya generalisasi dalam matematika tidak terlepas dari pengertian matematika itu sendiri. Steen (Presmeg, 1998: 24) menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola, selanjutnya NCTM (1989: 98) menyatakan satu dari tema sentral matematika adalah belajar tentang pola dan fungsi, lebih jauh dalam NCTM (2000: 262) diyatakan bahwa siswa dapat menggunakan


(13)

penalaran induktif untuk mencari hubungan matematis melalui studi pola, sedangkan tujuan dari penalaran induktif adalah menemukan generalisasi.

Pada dasarnya berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatan prestasi siswa dan kualitas pembelajaran di sekolah baik oleh pemerintah maupun para ahli di bidang pendidikan matematika. Misalnya upaya pemerintah mulai dengan penataran guru, penyediaan buku paket, dan alat-alat laboratorium serta penyempurnaan kurikulum. Berdasarkan evaluasi upaya-upaya tersebut ternyata belum berhasil meningkatkan prestasi siswa secara optimal sebagaimana yang diinginkan (Trianto, 2007:2).

Terkait dengan hal di atas, Turmudi (2008: 1) menjelaskan bahwa:

Bertahun-tahun telah diupayakan agar matematika dapat dikuasai siswa dengan baik oleh pendidik dan ahli pendidikan matematika. Namun, hasilnya masih menunjukkan bahwa tidak banyak siswa yang menyukai matematika dari setiap kelasnya. Meskipun kadang-kadang menjadi suatu kebanggaan bagi guru matemtika karena pelajaran yang dipegangnya sangat ”bergengsi” sehingga menyebabkan tidak banyak siswa yang dapat lulus dari pelajaran ini.

Kebanggaan yang demikian masih melekat pada sejumlah guru, meskipun tidak ada data yang mendukung pernyataan ini. Kadang-kadang guru matematika masih ”enggan” untuk menerima ide-ide atau gagasan pembaharuan dalam pembelajaran matematika. Mereka masih memilih strategi yang telah melekat dalam kurun waktu yang cukup lama sejalan dengan pengalaman guru mengajar, bahkan telah menjadi keyakinan yang relatif sulit untuk diubah.

Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa masih ada guru yang memegang fanatisme dan kebiasaan mereka dalam mengajar yang mereka anggap sudah efektif dan maksimal, sehingga jika hasil belajar siswa rendah, guru tersebut menganggap itu adalah hasil kerja mereka (siswa) karena kurang tekun dalam belajar matematika. Hal ini mengakibatkan sikap atau pandangan negatif dari siswa, bahwa matematika memang sulit untuk dipelajari, dan jika ini terus


(14)

dibiarkan, maka image (pandangan) ini menimbulkan kebencian siswa terhadap pelajaran matematika semakin kuat.

Selanjutnya, dalam Permendiknas nomor 22 dinyatakan bahwa para siswa seharusnya memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Namun para siswa tidak akan pernah memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat yang baik dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri jika mereka mengalami hal-hal negarif selama proses pembelajaran matematika di kelasnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar sikap positif para siswa terhadap matematika dapat meningkat? Secara umum dapat dinyatakan bahwa cara paling efektif untuk meningkatkan sikap positif terhadap matematika adalah dengan menunjukkan contoh konkret tentang kegunaan matematika serta menyajikan pembelajaran matematika yang menyenangkan, melibatkan siswa dalam proses pembelajaran baik secara pisik maupun mental, dan membantu mereka agar berhasil mempelajari matematika. Dan ini merupakan salah satu tugas penting guru untuk merubah pandangan siswa supaya menyukai matematika dan mau belajar matematika dengan penuh semangat.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran akan efektif jika terjadi interaksi dua arah, antara guru dengan siswa, maupun antar sesama siswa. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Anthony (Dahlan, 2004: 6), bahwa pijakan utama dalam pembelajaran


(15)

matematika yakni suatu keyakinan bahwa matematika akan lebih dipahami apabila dipelajari melalui partisipasi aktif siswa dengan situasi yang matematis. Untuk itu harus diupayakan suatu pendekatan dan strategi pembelajaran yang berorientasi pada proses dan produk matematika, belajar tidak begitu saja menerima, belajar harus bermakna (meaningful), pengetahuan harus diterima secara aktif, pengetahuan bukan diterima sebagai hasil transfer dari guru ke siswa, tapi pengetahuan harus dikonstruksi dengan cara siswa terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, menelaah hubungan, pola dan membuat generalisasi yang terintegarsi dalam pengetahuan baru yang diperoleh siswa.

Gambaran proses belajar seperti di atas, merupakan inovasi dari proses pembelajaran yang berpusat pada guru (Teacher Centered Learning) ke proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa (Student Centered Learning) atau lebih dikenal dengan pendekatan Konstruktivisme. Seperti yang diungkapkan oleh Trianto (2007: 2) bahwa, salah satu perubahan paradigma pembelajaran adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipation, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan.

Dalam pembelajaran yang berorientasi konstruktivisme atau pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning), Secara singkat didefinisikan sebagai suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa diberi


(16)

kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya tentang apa yang dipelajari dengan membangun koneksi internal atau relasi antara ide-ide dan fakta-fakta yang diajarkan. Pandangan belajar seperti ini mempengaruhi cara guru mengajar siswa dan bagaiman siswa berpikir dalam mendapatkan pengetahuan (Borich dan Tombar, dalam Turmudi, 2008: 69).

Pergeseran pandangan pembelajaran matematika dari instruktivis (informative) ke konstruktivis bukan saja berdampak positif pada perolehan pengetahuan bagi siswa tetapi juga merubah pandangan guru terhadap siswa, bahwa guru bukan satun-satunya sumber belajar dan satu-satunya pendapat yang harus didengar dan diikuti oleh siswa tanpa mendengar ide-ide atau pendapat dari siswa itu sendiri. Hal ini terbukti dengan pernyataan seorang guru yang mengikuti suatu pelatihan tentang pembelajaran matematika yang berwawasan pembaharuan (konstruktivisme), mengemukakan bahwa setelah mengikuti kegiatan pengembangan profesi ia menyadari akan pentingnya ”mendengar ide-ide para

siswa” (Turmudi, 2008: 9). Hal ini menunjukkan bahwa selama ini fakta yang terjadi di lapangan, guru matematika sekolah kebanyakan mengajar

dengan cara instruktivis/behavioris, di mana guru yang mendominasi proses pembelajaran.

Terkait dengan pernyataan di atas, Marpaung (2003) berpendapat bahwa selama ini fakta di lapangan, guru matematika kebanyakan mengajar dengan cara tradisional dengan pola: informasi-contoh, soal-latihan sesuai contoh. Lebih lanjut Marpaung menyatakan bahwa Paradigma pembelajaran matematika di Indonesia selama bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak


(17)

dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku, bukan paradigma belajar. Menurut Ratumanan (Rochmad, 2008), pembelajaran matematika di Indonesia beracuan behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan. Guru mendominasi kelas dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas aktif siswa, interaksi siswa, negosiasi makna, dan konstruksi pengetahuan.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru di kelas dewasa ini adalah pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif sangat bersesuaian dengan metode ekspositori, metode ini paling banyak diterapkan oleh guru-guru matematika. Senada dengan hal ini Wahyudin (Dewanto, 1999) mensinyalir bahwa di Indonesia metode ceramah dan ekspositori adalah yang paling banyak digunakan oleh guru-guru. Guru masih asyik sendiri menyampaikan materi dan siswa asyik memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Sebagai implikasi dari pembelajaran seperti ini, hasilnya tidak bertahan lama dalam ingatan (memori) siswa karena sifatnya siswa hanya menghafal algoritma penyelesaian sebagai hasil transfer dari guru. Sedangkan pendekatan induktif jarang digunakan oleh guru-guru matematika, hal ini disebabkan karena pendekatan induktif sangat bersesuaian dengan metode penemuan. Seperti yang

diungkapkan Suderadjat (2004) bahwa pembelajaran penemuan yang

menggunakan keterampilan proses seperti discovery dan inquiry kurang mendapat perhatian guru, demikian juga pembelajaran tuntas (mastery learning).

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika berorientasi behaviorisme/instruktivis selama ini kurang berhasil, oleh


(18)

karena itu perlu dicari alternatif ”penggantinya”, misalnya pembelajaran matematika berbasis konstruktivisme. Terkait dengan pendekatan deduktif, untuk mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme.

Dengan memperhatikan rekomendasi, pendapat dan temuan-temuan beberapa studi berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematik siswa, maka pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dipandang sebagai salah satu pendekatan yang sesuai. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (2001) bahwa pendekatan induktif memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut aktif dalam menemukan suatu formula, siswa terlibat dalam mengobservasi, berpikir dan bereksperimen dan pendekatan deduktif menjadikan proses pembelajaran berjalan dengan efektif. Lebih lanjut Hudojo (2001) menjelaskan bahwa kombinasi keduanya (induktif dan deduktif) akan saling mengurangi kelemahan masing-masing.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas dan agar lebih terpusat, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan konvensional?


(19)

2. Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan konvensional?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme?

C. Tujuan Penelitian

Bertolak dari permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Membandingkan peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional.

2. Membandingkan peningkatan kemampuan generalisasi matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dan siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional.

3. Mendeskripsikan sikap siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini untuk memberikan masukkan yang berarti bagi kegiatan pembelajaran di kelas, khususnya dalam usaha meningkatkan


(20)

kemampuan pemahaman dan genrralisasi matematis siswa. Manfaat tersebut diantaranya adalah:

1. Memberikan informasi kepada guru tentang pengaruh penerapan pembelajaran induktif-deduktif berbasis konstruktivisme terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa guna meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukannya.

2. Jika ternyata pengaruh yang dimaksud positif terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa, maka pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran matematika sehari-hari.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti sendiri sebagai tenaga pendidik dalam bidang pendidikan matematika.

4. Membantu siswa dan memberikan pengalaman baru dalam belajar matematika.

5. Sebagai referensi atau bahan rujukkan bagi peneliti bidang pendidikan matematika yang bermaksud mengkaji pendekatan ini lebih jauh.

6. Bagi lembaga tempat dilaksanakannya penelitian ini, jika hasil pendekatan yang digunakan ini positif, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka upaya meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya dalam pembelajaran matematika.


(21)

E. Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut, yaitu:

1. Kemampuan pemahaman matematis dalam penelitian ini mencakup pemahaman instrumental dan relasional. Pemahaman instrumental adalah pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Pemahaman relasional adalah pemahaman yang memuat suatu skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas.

2. Kemampuan generalisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan dalam menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan terhadap fakta-fakta atau contoh-contoh khusus atau pernyatan-pernyataan sebelumnya yang telah dibuktikan kebenarannya dan menemukan pola atau aturan yang melandasinya.

3. Pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses penyajian konsep yang melalui tahap-tahap/fase-fase sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan penutupan.

4. Pembelajaran biasa (konvensional) yang dimaksud adalah merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan deduktif dan sedikit penjelasan secara induktif dengan metode ekspositori, di mana guru menjelaskan materi


(22)

pelajaran dan menyimpulkan sendiri, siswa mendengarkan dan mencatat penjelasan yang disampaikan guru, siswa belajar sendiri-sendiri atau dengan teman di dekatnya, kemudian mengerjakan soal latihan dan siswa dipersilahkan untuk bertanya apabila tidak mengerti.

5. Sikap siswa adalah tanggapan siswa yang menunjukkan kecenderungan siswa untuk merespon positif atau negatif tentang matematika, pembelajaran induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dan soal-soal pemahaman dan generalisasi matematis yang diberikan.

F. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan dua buah hipotesis, sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis kontruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan konvensional. 2. Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang pembelajarannya

dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis kontruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan konvensional.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan membandingkan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran yang menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional). Desain penelitian yang digunakan adalah The Randomized Pre-test Pos-test Control Group Design (Fraenkel dan Wellen. 1993:248).

Adapun desain penelitiannya adalah sebagai berikut: A : O X O

A : O O Dengan;

A: pemilihan sampel secara acak kelas

O: tes kemampan pemahaman dan generalisasi pre-test / pos-test

X: Perlakuan dengan menggunakan pembelajaran induktif-deduktif berbasis konstruktivisme.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan studi eksperimen yang dilaksanakan di MTs Negeri Batu Merah, Ambon; dengan populasi seluruh siswa MTs Negeri Batu Merah Ambon tahun pelajaran 2009/2010, dan yang menjadi sampel adalah siswa kelas


(24)

VIII yang terdiri dari 7 kelas. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Randomized Cluster Sampling, artinya memilih secara acak dari kelompok-kelompok atau cluster (kelas-kelas) yang ada dalam populasi, maka terpilih dua kelas yang ditetapkan sebagai sampel yaitu kelas VIII-1 dan kelas VIII-6. Cara acak dilakukan dengan tujuan agar setiap anggota (kelas) memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel, dan agar pemilihan sampel ini terhindar dari hal-hal yang bersifat subyektif atau rekayasa sehingga data yang diperoleh lebih bersifat obyektif.

Pemilihan dilakukan dengan cara mengundi ke 7 kelas populasi, dan pilihan jatuh pada kelas VIII-1 dan kelas VIII-6. Dari kedua kelas ini pula dipilih lagi secara acak untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari undian ini terpilih kelas 6 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa 31 orang dan kelas VIII-1 sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa 32 orang. Dengan demikian sampel penelitian ini berjumlah 63 siswa. Penetapan kelas VIII sebagai sampel didasarkan pada kesesuaian topik matematika yang akan diteliti. Topik yang akan diberikan adalah bangun ruang sisi datar semester genap dengan sub pokok bahasan kubus dan balok.

C. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri atas dua jenis yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas (independent variable) adalah variabel mandiri yang dapat dimodifikasi sehingga dapat mempengaruhi variabel lain, sedangkan variabel terikat (dependent variable)


(25)

adalah hasil yang diharapkan setelah terjadi modifikasi pada variabel bebas atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dan yang menjadi variabel terikatnya adalah kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa.

Dalam setiap pelaksanaan penelitian tidak menutup kemungkinan akan muncul variabel-variabel luar yang akan mempengaruhi variabel terikat yang disebut variabel ekstraneous, misalnya disain pembelajaran, guru, waktu belajar, dan sebagainya. Variabel luar yang terjadi dalam penelitian ini diasumsikan tidak mempengaruhi secara signifikan (berarti) terhadap variabel terikat yaitu peningkatan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematik siswa.

D. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dikembangkan instrumen penelitian yang terdiri dalam dua jenis yaitu tes dan non-tes. Tes adalah suatu cara atau prosedur yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam bidang pendidikan (Sudijono, 2001). Dalam hal ini, tes yang digunakan berbentuk uraian dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan pemahaman dan kemampuan generalisasi matematis siswa. Tes diberikan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pemilihan bentuk tes ini dilakukan untuk lebih mengungkap secara lebih mendalam kemampuan pemahaman dan kemampuan generalisasi matematis siswa pada kedua kelas. Instrumen non-tes terdiri dari skala sikap siswa yang digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap


(26)

pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme, dan lembar observasi.

E.Tes Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematik

Penyusunan tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup pokok bahasan, kemampuan yang diukur, indikator, serta jumlah butir soal. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal. Kisi-kisi, soal dan kunci jawaban terdapat pada lampiran B. Tes kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa dalam penelitian ini tergabung dalam satu bentuk tes yang berupa tes uraian pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar dengan Sub Pokok Bahasan Kubus dan Balok. Soal berjumlah 5 butir yang terdiri dari 3 soal pemahaman dan 2 soal generalisasi matematis.

Tabel 3.1

Kriteria Penilaian Pemahaman Konsep

Skor Kriteria

0 1 2

3

Tidak ada jawaban / salah memahami dan menerapkan konsep

Memahami konsep kurang lengkap; menerapkannya secara tepat; memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep kurang lengkap Memahami konsep hampir lengkap; menerapkannya secara tepat; memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep hampir lengkap Memahami konsep dengan lengkap; menerapkannya secara tepat; memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep dengan tepat.


(27)

Tabel 3.2

Pedoman Penskoran Kemampuan Generalisasi Matematik. Skor Menjelaskan/identifi

kasi pola (masalah).

Menggunakan hasil identifikasi untuk menentukan langkah berikutnya Membuat formula/menga mbil kesimpulan (generalisasi) Menggunakan hasil generalisasi (formula) untuk pemecahan masalah

0 Tidak ada jawaban yang benar , kalaupun ada hanya memperlihatkan ketidakpahaman tentang konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa

1 Hanya sedikit dari penjelasan/identifikas i yang benar

Hanya sedikit hasil identifikasi yang digunakan, benar

Formula yang disusun sedikit yang benar dan tidak lengkap

Solusi yang diperoleh hanya sedikit yang benar

2 Penjelasan masalah masuk akal tapi hanya sebagian yang benar

penggunaan hasil identifikasi benar tapi tidak lengkap

Formula yang dibuat benar tapi tidak lengkap Solusi yang diperoleh sebagai hasil penggunaan formula hanya sebagian yang benar

3 Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar meskipun tidak tersusun secara logis

Data yang diperoleh sebagai hasil dari identifikasi, benar tapi tidak sistematis

Formula yang dibuat benar & lengkap tapi prosesnya tidak sistematis Solusi yang diperoleh sebagai hasil penggunaan formula benar tapi tidak sistematis 4 Penjelasan secara

matematis masuk akal dan jelas serta tersusun secara logis dan sistematis

Data yang diperoleh sebagai hasil identifikasi, benar dan sistematis

Formula yang dibuat benar dan prosesnya sistematis

Solusi yang diperoleh sebagai hasil dari penggunaan formula benar dan sistematis


(28)

Adanya sebuah pedoman pemberian skor dimaksudkan agar terjadinya sebuah hasil yang obyektif, karena setiap langkah jawaban yang dinilai pada jawaban siswa selalu berpatokan pada pedoman yang jelas sehingga mengurangi kesalahan pada penilaian. Berikut tabel rubrik penskoran soal-soal kemampuan pemahaman dan generalisasi yang dimaksud.

Langkah-langkah penyusunan instrumen tes kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa sebagai berikut:

a. Membuat kisi-kisi soal yang berisi sub pokok bahasan, indikator, soal, nomor soal, serta aspek-aspek yang akan diukur.

b. Menyusun soal berdasarkan kisi-kisi beserta kunci jawabannya

c. Menilai validasi isi soal yang berkaitan dengan kesesuaian antara indikator dengan soal, validasi konstruk, dan kebenaran kunci jawaban oleh dosen pembimbing dan rekan mahasiswa S-2

d. Mengujicobakan tes dan dilanjutkan dengan menghitung validasi tes, validasi item, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda.

F. Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda dan Indeks Kesukaran Butir Soal

Validitas merupakan salah satu hal yang penting dalam menentukan instrumen penelitian. Menurut Ruseffendi (1994), suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu untuk maksud dan kelompok tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur. Untuk memperoleh perangkat tes yang memenuhi kriteria tes yang baik, maka sebelum digunakan, tes yang telah disusun dikonsultasikan validitas


(29)

muka (face validity) dan validitas isinya (content validity) kepada sesama peneliti untuk mendapatkan masukkan, kemudian baru dikonsultasikan dengan pembimbing.

Validitas muka adalah suatu alat evaluasi berkenaan dengan keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman, 1990). Sedangkan validias isi suatu tes artinya suatu ketepatan tes tersebut ditinjau dari segi materi yang diajukan, yaitu materi (bahan) yang digunakan sebagai tes tersebut merupakan sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai (Suherman, 2001).

Validitas lain yang harus diperiksa adalah validitas empiris yaitu validitas yang diperoleh melalui observasi atau pengalaman empirik, menggunakan kriteria, untuk menenukan tinggi rendahnya koefisien validitas yang dibuat melalui perhitungan korelasi. Validitas ini diketahui setelah perangkat tes diujicobakan. Setelah mendapat masukkan tentang validitas tes pada beberapa soal dilakukan revisi seperlunya. Selanjutnya, tes diujicobakan dan dianalisis validitas empiriknya, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukarannya. Perangkat tes ini diuji cobakan pada siswa kelas 3 (IX) SMP Negeri Cugenang Cianjur pada tanggal 13 Maret 2010. Berikut adalah hasil analisis validitas empiriknya, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran dari soal tes. Analisis instrumen dilakukan dengan menggunakan program Anates V4 untuk menguji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda soal. Adapun kriteria validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran dapat pula dilihat pada tabel klasifikasi berikut:


(30)

1. Analisi Validitas Tes

Tabel 3.3

Klasifikasi Koefisien Korelasi

Batasan Kategori

0,90< rxy≤ 1,00

0,70 < rxy≤ 0,90

0,40 < rxy≤ 0,70

0,20 < rxy≤ 0,40

0,00 < rxy≤ 0,20

rxy ≤ 0,00

Validitas sangat tinggi (sangat baik) Validitas tinggi (baik)

Validitas sedang (cukup) Validitas rendah (jelek)

Validitas sangat rendah (sangat jelek) Tidak valid

Kusumah dan Suherman (Siregar, 2009) 2. Analisis Reliabilitas Soal

Selain validitas, reliabilitas juga mempengaruhi pemilihan instrumen. Reliabilitas suatu instrumen menunjukkan keajegan suatu instrument yang digunakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suherman (1990), suatu alat evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama pada waktu yang berbeda.

Tabel 3.4

Patokan Interpretasi Koefisien Reliabilitas

Nilai Kategori

r11≤ 0,20

0,02 < r11≤ 0,40

0,40 < r11≤ 0,60

0,60 < r11≤ 0,80

0,80 ≤ 1,00

Derajat reliabilitas sangat rendah Derajat reliabilitas rendah Derajat reliabilitas sedang Derajat reliabilitas tinggi Derajat reliabilitas sangat tinggi Kusumah dan Suherman (Siregar, 2009)


(31)

3. Daya Pembeda (D)

Menurut Suherman (1990) Daya Pembeda (D) suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab soal dan siswa yang tidak dapat menjawab soal.

Tabel 3.5

Klasifikasi Daya Pembeda Batasan Kategori Dp 0,00

0,00 < DP 0,20 0,20 < DP 0,40 0,40 < DP 0,70

0,70 1,00

Sangat jelek Jelek Cukup

Baik Sangat baik Kusumah dan Suherman (Siregar, 2009) 4. Indeks Kesukaran (IK)

Menurut Suherman (1990) Indeks Kesukaran menyatakan derajat kesukaran suatu butir soal.

Tabel 3. 6

Kriteria Indeks Kesukaran

Batasan Kategori

IK=0,00 0,00 < IK 0,30

0,30 < IK 0,70

0,70 < IK ≤ 1,00 IK=1,00

Soal terlalu sukar Soal sukar Soal sedang Soal mudah Soal terlalu mudah Kusumah dan Suherman (Siregar, 2009)


(32)

Berikut adalah hasil uji coba instrumen yang diringkas dalam satu tabel. (Hasil uji coba secara terperinci tertera pada lampiran)

Tabel 3.7

Hasil Uji Coba Instrumen Tes Nomor

Soal

Daya Pembeda Tingkat Kesukaran

Reliabilitas Validitas

Kategori Kategori Kategori Kategori

1 Kurang Sedang Cukup Cukup

2 Baik Sedang Cukup Cukup

3 Cukup Sedang Cukup Cukup

4 Cukup Sukar Tinggi Tinggi

5 Kurang Sukar Cukup Cukup

G. Bahan Ajar

Untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran induktif-deduktif berbasis kontruktivisme ini (kelas eksperimen), selain buku paket, juga menggunakan Lembaran Kerja Siswa (LKS). Sebagaimana kelas eksperimen, kelas kontrol juga menggunakan sumber dan materi yang sama. Bahan ajar dan lembar kerja siswa (LKS) sebelum digunakan, terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pembimbing. Adapun materi/topik yang akan ajarkan dalam penelitian ini yakni Bangun Ruang Sisi Datar dengan Sub Pokok Bahasan Kubus dan Balok.

H. Lembar Observasi

Lembar observasi diberikan kepada pengamat, untuk memperoleh gambaran secara langsung aktivitas belajar siswa dalam kelompok eksperimen (pembelajaran


(33)

yang menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme) dan aktivitas guru dalam menyajikan pembelajaran pada setiap pertemuan. Tujuan dari pedoman ini adalah sebagai acuan dalam membuat refleksi terhadap proses pembelajaran dan keterlaksanaan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme. Pengamat akan mengisikan nomor-nomor kategori yang sering muncul dalam lembar observasi yang tesedia. Format lembar observasi dapat dilihat pada Lampiran B.

Pengamatan ini dilakukan secara keseluruhan dari awal hingga akhir pembelajaran selesai oleh guru matematika pada kelas yang bersangkutan. Sistem penskorannya yaitu selalu terjadi, dinyatakan dengan skor 4 jika terlaksana dengan sangat baik, skor 3 jika dilaksanakan dengan baik, skor 2 jika terjadi seperlunya (cukup), skor 1 jika pelaksanaannya kurang dan skor 0 (nol) jika tidak pernah terjadi.

I. Skala Sikap

Skala sikap digunakan untuk mengetahui kecenderungan sikap atau pandangan siswa terhadap setiap pernyataan yang diajukan yang berkaitan dengan matematika dan kegunaannya, Pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme, Pengaruh pembelajaran indutif-deduktif berbasis konstruktivisme dalam meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan Pengaruh pembelajaran indutif-deduktif berbasis konstruktivisme dalam meningkatkan kemampuan generalisasi matematis. Angket skala sikap disusun dengan mengacu pada model Skala Likert. Pada tahap awal penyusunan angket ini


(34)

terlebih dahulu disusun kisi-kisi skala sikap sebagai acuan merumuskan butir-butir pernyataannya.

Agar pernyataan dalam angket ini memenuhi persyaratan yang baik, maka terlebih dahulu meminta pertimbangan dosen pembimbing untuk memvalidasi isi setiap itemnya. Pada angket disediakan empat skala pilihan yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan netral (N) tidak digunakan, untuk menghindari jawaban aman, sekaligus mendorong siswa untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap pernyataan yang diajukan.

Angket yang digunakan terdiri dari 30 pernyataan dengan 20 pernyataan bersifat positif dan 10 pernyataan bersifat negatif. Pernyataan positif dan negatif ini bertujuan agar jawaban siswa menyebar, tidak menuju pada satu arah saja di samping itu untuk menjaring kekonsistenan siswa dalam memberikan respon. Angket sikap diisi kelompok eksperimen setelah melaksanakan postes. Pengolahan skala sikap didahului dengan penentuan skor setiap pilihan jawaban pada setiap pernyataan. Skor ditentukan dengan bantuan tabel Z dari proporsi frekuensi jawaban siswa.

J. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian

Beberapa kegiatan yang dilakukan berkenaan dengan persiapan penelitian, diantaranya:

a. Tahap persiapan dilakukan dengan beberapa kegiatan, yaitu pembuatan proposal, seminar proposal dan perbaikan proposal hasil seminar. Pada tahap


(35)

ini juga peneliti melakukan observasi ke sekolah dan berdiskusi dengan guru mata pelajaran matematika tentang materi/topik yang akan dijadikan materi dalam penelitian.

b. pembuatan instrumen dan bahan ajar

Penyusunan instrumen ini meliputi instrumen kemampuan pemahaman, kemampuan genralisasi matematis, kuesioner untuk siswa, dan lembar observasi. Setelah instrumen selesai dibuat, diadakan uji coba instrumen, hasilnya dianalisis, dan diperbaiki sesuai hasil konsultasi dengan pembimbing.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan tes awal (pretes), dengan maksud untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran.

b. Pengolahan data dan analisa data.

Data yang diperoleh dari pretes dan postes, kuesioner (angket) siswa dan guru serta lembar observasi kemudian dianalisis untuk menguji dan menjawab permasalahan pada penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan penulisan laporan penelitian.

Secara umum alur/prosedur pelaksanaan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:


(36)

Gambar 1. Alur Kegiatan Penelitian Tahap 2. Pelaksanaan penelitian

Pre-test (tes awal);

a. Untuk kelompok kontrol

b. Untuk kelompok eksperimen

Tahap 1. Persiapan

a. Pembuatan proposal penelitian

b. Seminar proposal & perbaikan hasil seminar

c. Menyusun instrumen

d. Menyusun perangkat pembelajaran

e. Ujicoba instrumen f. Analisis hasil ujicoba g. Perbaikan hasil ujicoba

Kegiatan pembelajaran pada kelas kontrol

Kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen.

Pos- test (tes akhir)

Analisis Data

a. Hasil pre-test (tes awal) & pos-test (tesakhir) pemahaman

b. Hasil pre-test (tes awal) & pos-test (tes akhir) generalisasi

Penulisan laporan hasil penelitian

Pemberian skala sikap untuk siswa


(37)

K. Teknik Analisa Data

Setelah penelitian dilaksanakan, maka diperoleh data sebagai berikut:

a. Data nilai pretes kemampuan pemahaman dan kemampuan generalisasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Data nilai postes kemampuan pemahaman dan kemampuan generalisasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol.

c. Data skala sikap kelas eksperimen.

d. Data hasil observasi pembelajaran induktif-deduktif berbasis konstruktivisme. Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan adalah uji kesamaan dua rata-rata, dan perhitungan dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan Software SPSS 17.0 dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menghitung statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain meliputi skor terendah, skor tertinggi, rata-rata, dan simpangan baku.

b. Menguji hipotesis penelitian dengan uji perbedaan rata-rata pada taraf konfidensi 95% atau

α

=

5%, tetapi sebelumnya terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Jika data memenuhi syarat normalitas dan homogenitas, maka uji kesamaan rata-rata menggunakan uji-t, sedangkan jika data normal tapi tidak homogen maka menggunakan uji-t* (uji-t dengan


(38)

asumsi varians populasi tidak sama), dan untuk data yang tidak memenuhi syarat normalitas, menggunakan uji non parametrik Mann Whitney.

c. Menguji normalitas skor pretes, postes, dan skor N-Gain dengan uji

Kolmogorov-Smirnov pada taraf

α

=

5%.

Uji normalitas data skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan rumus hipotesis kerja:

H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : Data berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

kriteria: tolak H0 jika Signifikansi output SPSS < (Uyanto, 2009). d. Menguji homogenitas varians dengan uji Levene pada taraf

α

=

5%.

Uji homogenitas antara dua varians pada skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan uji Levene dengan rumusan hipotesis kerja:

H0 : Varians populasi skor kedua kelompok homogen. H1 : Varians populasi skor kedua kelompok tidak homogen. = Varians skor kelompok eksperimen;

= Varians skor kelompok kontrol


(39)

e. Untuk melihat peningkatan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran, dihitung dengan menggunakan rumus gain skor ternormalisasi:

g (Meltzer. 2002)

Keterangan:

! "#"$ ; %& ! $#"$ ;

'()& *+ $,*-* ,."+/ Kategori: Tinggi : g 0 0,7 ; Sedang : 0,3 < g ≤ 0,7

Rendah: g ≤ 0,3

f. Untuk mengetahui efektivitas penerapan pendekatan induktif- deduktif berbasis konstruktivisme dalam meningkatkan kemampuan koneksi dan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, maka digunakan uji kesamaan dua rata-rata dengan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis 1

H0: Tidak ada perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.


(40)

H1: Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

Hipotesis 2

H0: Tidak ada perbedaan yang signifikan antara peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

H1: Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

Dengan kriteria pengujian satu arah yaitu: tolak H0 jika Sig (1-tailed) < . g. Untuk mengetahui kualitas sikap siswa terhadap matematika dan

kegunaannya, pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme, pengaruh pembelajaran indutif-deduktif berbasis konstruktivis dalam meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan pengaruh pembelajaran indutif-deduktif berbasis konstruktivisme dalam meningkatkan kemampuan generalisasi matematis, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:


(41)

Pemberian skor butir skala sikap dengan berpedoman kepada model Skala Likert, mencari skor netral butir skala sikap, membandingkan skor sikap siswa untuk setiap item, indikator dan klasifikasi skala sikap dengan sikap netralnya, untuk melihat kecenderungan sikap siswa.

Sikap siswa dikatakan positif jika skor sikap siswa lebih besar dari sikap netralnya, sebaliknya disebut negatif jika skor sikap siswa lebih kecil dari skor netralnya.

L. Jadwal Pelaksanaan penelitian

Secara umum jadwal pelaksanaan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu melapor ke sekolah tempat diadakannya penelitian (MTs Negeri Batu Merah Ambon) pada tanggal 06 April 2010, melaksanakan kegiatan pre-test pada kedua kelas (eksperimen dan kontrol), melaksanakan kegiatan pembelajaran dan terakhir memberikan pos-test (tes akhir) pada kedua kelas. Kegiatan ini secara lebih rinci diuraikan pada lampiran B.


(42)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi.

A. Kesimpulan

1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya

secara konvensional.

2. Peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis

konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya

dengan pendekatan konvensional.

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme, positif.

B. Implikasi

Kesimpulan yang telah dikemukakan pada sub bab A, memberikan implikasi bahwa pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme layak dipergunakan oleh guru matematika di MTs/SMP sebagai alternatif untuk mengembangkan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa.

C. Rekomendasi

1. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme, hendaknya menjadi alternatif


(43)

pilihan guru matematika terutama untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan generalisasi matematis siswa.

2. Dengan mempertimbangkan bahwa kemampuan matematis siswa berada pada level (kategori) yang beragam, karena itu dalam suatu kegiatan pembelajaran, guru hendaknya dapat mengakomodasi keberagaman level pengetahuan siswa dan memberikan kesempatan (peluang) untuk berpartisipasi dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka.

3. Melihat kelemahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal terutama pada soal yang mengukur kemampuan generalisasi matematis, sebaiknya guru membiasakan siswa dengan soal-soal seperti pada pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme agar mereka terbiasa menyelesaikan soal-soal yang menantang (non rutin). 4. Bagi peneliti yang berminat menggunakan pembelajaran dengan

pendekatan induktif-deduktif berbasis konstruktivisme sebaiknya dalam merancang desain pembelajarannya, memperhatikan segala kemungkinan yang terjadi di lapangan yang mungkin bisa mengakibatkan tujuan dari penelitian yang diharapkan tidak tercapai (tidak efektif).


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Alisah, E, dan Dharmawan, E. P. (2007). Filsafat Dunia Matamatika. Malang: Prestasi Pustaka.

Amri. (2009). Peningkatan Kemampuan Representasi Matematika Siswa SMP Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Bell, F.H. (1981). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher.

Begle, E. G. (1979). Critical Variables in Mathematics Education. Washington D. C : The Mathematical Association of America and NCTM.

Budiningsih, A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Burton, L. (1984). Mathematical Thinking: The Strunggle for Meaning. Journal for Research in Mathematics Education, 15(1), 35-49.

Brawner, B.F. (2004). A Function-Based Approacto Algebra. Its Effects on the Achievement and understanding of Academically-Disadvantaged Student. Tersedia: http://www.math.tarleton.edu./ Faculty/ Brawner/ fbacom-I.pdf

Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Dameus, A., Tilley, D.S., Brant, M. (2004). Teaching Methods in Learning Agricultural Economics: A Case Study 1. NACTA Journal. Sept 2004. Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman

Matematika Siswa SMP Melalui Pendekatan Pembelajaran

Open-Ended. (Disertasi). Universitas Pendidikan Indonesi: tidak

Dipublikasikan.

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolag Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Davidov, V. V. (1990). Types of Generaliation in Instruction : Logical and Psychological problems in the Structuring of School Curicula (Soviet Studies in Mathematics Education, vol. 2; J. Kilpatrick, Ed., J. Teller,


(45)

Trans.). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. (Original Work Published in 1972).

Dindyal . J. (2007). High School Studens’ Use and Generalisations. Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics Educations Research Group of Australasia.

Depdikas. (2002). Kurikulum Berbasis kompetensi Mata Pelajaran Matematika SLTP. Jakarta: Pusat Kurikulum.

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Dewanto, S.P. (2003). Upaya Meningkatkan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran dengan Meggunakan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Dwiyono, Y. (2005). Motivasi dan Hasil Belajar Siswa SMA Negeri 3 Samarinda. Jurnal Pendidikan Pengembangan Kurikulum dan Teknologi. Didaktika Volume 6 no.2. FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda.

Fraenkel, J.R. & Wallen, N. (1993). “How to Design and Evaluate Research in Education” Singapore: Mc.Graw-Hill

Gardner. (1983). Mathematical Thinking. [online]. Tersedia: http://www.cts.cmich.edu/users/manou a/761.mathematicalthinking.doc [3 maret 2004]

Grouws, D.A. dan Cabulla, K.J. (2004). Improving Students Achievement in Mathematics. Tersedia: http://www.curtin.edu.au/curtin/dept/smec/iae. Herman, T. (2007). Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Permasalahan Matematika dan Pendidikan matematika Terkini, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.8 desember 2007. Tidak dipublikasikan.

Hudojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Hulu, P. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran


(46)

Berbasis Masalah.Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Jihad, A. (2008). Pengembangan Kurikulum Matematika (Tinjauan Teoritis dan Historis). Bandung: Multi Pressindo

Joyce, B dan Weil, M. 1992. Models of Teaching. London: Prentice-Hall, Inc. Kaimudin. (2003). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Siswa Sekolah Dasar melalui Belajar dalam Kelompok Kecil. Tesis UPI: Tidak dipublikasikan.

Kemp, J.E. (1994). Proses Perancangan Pengajaran. Terjemahan oleh Asril Marjohan. Judul Asli The Instructional Design Process. Bandung: Penerbit ITB.

Major, F.T. (2006). The Squencing of Content Inductive and Deductive Approach. Inductive- Deductive Approach. htm. http://educ2.hku.hk/ Download: 24 Agustus 2006.

Malabar, I dan Pountney, D. C. (2001).Using Technology To Integrate Constructivism

and Visualisation In Mathematics Education. Liverpool John Moores University School of Computing and Mathematical SciencesByrom Street, Liverpool, L3 3AF, UK.

Marpaung, Y. (2003a). Pembelajaran Matematika Secara Bermakna. Disampaikan pada Seminar di SMPN-3 Karanganyar.

Marpaung, Y. (2003b). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitasn Sanata Darma. Tgl 27-28 Maret 2003. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.

Marinawatie. (2000). Peningkatan Pemahaman Konsep Pengukuran Luas Dengan Investigasi Matematik Di Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 7 no. 2. Penerbit: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).Malang

Meltzer, D. E. (2002). Addendum to: The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible "hidden variable" in diagnostic pretest score. [Online]. Tersedia:


(47)

http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gai n.[28 Mei 2008].

NCTM. (1989). The National Council of Teachervof Mathematics (1989). Curriculum and Evaluation Standars for School Mahematics. Reston, VA: Author.

NCTM. (2000). Principle and Standard for School Mathematics. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.

Norjoharuddeen, B. (2001). Belief, Attitudes and Emotions in Mathematics

Learning. Makalah disajikan pada diklat PM-0917. Penang: Seameo-Recsam.

NRC. (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press. Nugraheni, E. (2007). Student Centered Learning dan Implikasinya Terhadap

Proses Pembelajaran. Jurnal Pendidikan. Vol. 8, No. 1. LPPM Universitas Terbuka.Tangerang.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Prtama Negeri di Kota Bandung. (Disertasi). Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Presmeg, N. C. (1998). On Visualization and Beneralization in Mathematics.

[online]. Tersedia: http//www.matedu.cinvestav.mx/Presmeg.pdf. [3 maret 2004]

Prince, J.P. Felder, M.F. 2006. Inducitive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparations, and Research Bases. J. Engr. Education, 95(2), 123–138 (2006).30.Balai Pustaka.

Priyatno, D. (2009). SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multuvariate. Yoyakarta:Gava Media.

Poerwadarminta, W. J. S. (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarata: Balai Pustaka.

Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.


(48)

Ruseffendi, E. T. (1986). A comparison of Participation in Mathematics of Male and Female Students in the Transition from Junior to Senior High School in West Java. Disertasi. Ohio: The Ohio State Universiti.

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E.T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Rochmad. (2008). Penggunaan Pola Pikir Induktif-Dedukt dalam Pembelajran

Matematika Beracuan Konstruktivisme. Tersedia:

http://rochmad- unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html

Rojano, T. (2002). Mathematics Learning in the Junior Secondary School: Students Acces to Significant Mathematical Ideas. Hand Book of International Research in Mathematics Education. NCTM: London Sa’dijah, Ch.(2006). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan

Konstruktivisme untuk Siswa SMP. (Disertasi). Program Pasca Sarjana UNESA: Tidak Dipublikasikan.

Sagala, S. (2006). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Santoso, S. (2006). Menggunakan SPSS untuk Statistik Non Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Siregar,N. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Madrasah Tsanawiyah pada Kelas yang Belajar Geometri Berbantuan Geometer’s Sketchpad dengan Siswa yang Belajar Geometri Tanpa Geometer’s Sketchpad. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas. Soekadijo, R. G. (1999). Logika Dasar. Jakarta: Gramedia

Slavin, R.E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon.


(49)

Slavin, R. E. (1995). Cooperative Learning Theory. Research and Pratice. Second Edition Ally & Bacon.

Sudijono, A. (2001). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: T. Raja Grafindo Persada.

Suderadjat, H. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bandung: CV Cipta Cekas Grafika.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. (Disertasi). Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum Matematika 1994 pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Laporan Penelitian. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.

Suherman, E. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Tarsito

Sukarno, B. (1999). Kontribusi Motivasi dan Prestasi Belajar Terhadap Kemampuan Mengajar Mahasiswa. Jurnal Pendidikan. Jilid 6 no. 2. Penerbit: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).

Sunardi. (2002). Hubungan Antara Tingkat Penalaran Formal dan Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa. Jurnal ilmu Pendidikan. Jilid 9 no. 1. Penerbit: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).Malang

Suparno, P. (1997). Filsapat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran

Matematik Siswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan

Metakognitif. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Stiff, L.V; et al. (1993). Cognitive Issues In Mathematics Education. Patricia S. Wilson (Ed.), Research Ideas For The Classroom: High School Mathematics (halaman 3 – 20). New York: Macmillan Publishing Company.


(50)

Trianto. (2007). Model- model Pembelajaran Inovatif Berorientasi

Konstruktivistik. Konsep Landasan Reoritis-Praktis dan

Impelementasinya. Jakartaa: Prestasi Pustaka.

Trihenradi, C. (2005). Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Yokyakarta: ANDI.

Trisnadi, A. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing dalam Kelompok. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI-JICA FMIPA

Usodo, B. (2006). Pengembangan Berbasis Masalah pada Pembelajaran Matematika di SMA (Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Siswa SMA). Buletin Pendidikan Matematika, volume 8, No. 1. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Pattimura Ambon.

Uyanto. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan

Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung.

Wahyudin. (2008). Kurikulum, Pembelajaran dan Evaluasi (Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon-Guru Profesional). Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia.

Ward, M dan Hardgrove, C. E. (1966). Modern Elementary Mathematics. Addison Wesley.

Widada, W. (1999). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMU yang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya: Tidak dipublikasikan.


(1)

Trans.). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. (Original Work Published in 1972).

Dindyal . J. (2007). High School Studens’ Use and Generalisations. Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics Educations Research Group of Australasia.

Depdikas. (2002). Kurikulum Berbasis kompetensi Mata Pelajaran Matematika SLTP. Jakarta: Pusat Kurikulum.

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Dewanto, S.P. (2003). Upaya Meningkatkan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran dengan Meggunakan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Dwiyono, Y. (2005). Motivasi dan Hasil Belajar Siswa SMA Negeri 3 Samarinda. Jurnal Pendidikan Pengembangan Kurikulum dan Teknologi. Didaktika Volume 6 no.2. FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda.

Fraenkel, J.R. & Wallen, N. (1993). “How to Design and Evaluate Research in Education” Singapore: Mc.Graw-Hill

Gardner. (1983). Mathematical Thinking. [online]. Tersedia: http://www.cts.cmich.edu/users/manou a/761.mathematicalthinking.doc [3 maret 2004]

Grouws, D.A. dan Cabulla, K.J. (2004). Improving Students Achievement in Mathematics. Tersedia: http://www.curtin.edu.au/curtin/dept/smec/iae. Herman, T. (2007). Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Permasalahan Matematika dan Pendidikan matematika Terkini, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.8 desember 2007. Tidak dipublikasikan.

Hudojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Hulu, P. (2009). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Menggunakan Pendekatan Pembelajaran


(2)

Berbasis Masalah.Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Jihad, A. (2008). Pengembangan Kurikulum Matematika (Tinjauan Teoritis dan Historis). Bandung: Multi Pressindo

Joyce, B dan Weil, M. 1992. Models of Teaching. London: Prentice-Hall, Inc. Kaimudin. (2003). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Siswa Sekolah Dasar melalui Belajar dalam Kelompok Kecil. Tesis UPI: Tidak dipublikasikan.

Kemp, J.E. (1994). Proses Perancangan Pengajaran. Terjemahan oleh Asril Marjohan. Judul Asli The Instructional Design Process. Bandung: Penerbit ITB.

Major, F.T. (2006). The Squencing of Content Inductive and Deductive Approach. Inductive- Deductive Approach. htm. http://educ2.hku.hk/ Download: 24 Agustus 2006.

Malabar, I dan Pountney, D. C. (2001).Using Technology To Integrate Constructivism

and Visualisation In Mathematics Education. Liverpool John Moores University School of Computing and Mathematical SciencesByrom Street, Liverpool, L3 3AF, UK.

Marpaung, Y. (2003a). Pembelajaran Matematika Secara Bermakna. Disampaikan pada Seminar di SMPN-3 Karanganyar.

Marpaung, Y. (2003b). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitasn Sanata Darma. Tgl 27-28 Maret 2003. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.

Marinawatie. (2000). Peningkatan Pemahaman Konsep Pengukuran Luas Dengan Investigasi Matematik Di Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 7 no. 2. Penerbit: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).Malang

Meltzer, D. E. (2002). Addendum to: The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible "hidden variable" in diagnostic pretest score. [Online]. Tersedia:


(3)

http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gai n.[28 Mei 2008].

NCTM. (1989). The National Council of Teachervof Mathematics (1989). Curriculum and Evaluation Standars for School Mahematics. Reston, VA: Author.

NCTM. (2000). Principle and Standard for School Mathematics. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.

Norjoharuddeen, B. (2001). Belief, Attitudes and Emotions in Mathematics

Learning. Makalah disajikan pada diklat PM-0917. Penang: Seameo-Recsam.

NRC. (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press. Nugraheni, E. (2007). Student Centered Learning dan Implikasinya Terhadap

Proses Pembelajaran. Jurnal Pendidikan. Vol. 8, No. 1. LPPM Universitas Terbuka.Tangerang.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Prtama Negeri di Kota Bandung. (Disertasi). Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Presmeg, N. C. (1998). On Visualization and Beneralization in Mathematics.

[online]. Tersedia: http//www.matedu.cinvestav.mx/Presmeg.pdf. [3 maret 2004]

Prince, J.P. Felder, M.F. 2006. Inducitive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparations, and Research Bases. J. Engr. Education, 95(2), 123–138 (2006).30.Balai Pustaka.

Priyatno, D. (2009). SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multuvariate. Yoyakarta:Gava Media.

Poerwadarminta, W. J. S. (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarata: Balai Pustaka.

Rahman, A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Generalisasi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.


(4)

Ruseffendi, E. T. (1986). A comparison of Participation in Mathematics of Male and Female Students in the Transition from Junior to Senior High School in West Java. Disertasi. Ohio: The Ohio State Universiti.

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito

Ruseffendi, E.T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Rochmad. (2008). Penggunaan Pola Pikir Induktif-Dedukt dalam Pembelajran Matematika Beracuan Konstruktivisme. Tersedia: http://rochmad-

unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html

Rojano, T. (2002). Mathematics Learning in the Junior Secondary School: Students Acces to Significant Mathematical Ideas. Hand Book of International Research in Mathematics Education. NCTM: London Sa’dijah, Ch.(2006). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan

Konstruktivisme untuk Siswa SMP. (Disertasi). Program Pasca Sarjana UNESA: Tidak Dipublikasikan.

Sagala, S. (2006). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Santoso, S. (2006). Menggunakan SPSS untuk Statistik Non Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Siregar,N. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Madrasah Tsanawiyah pada Kelas yang Belajar Geometri Berbantuan Geometer’s Sketchpad dengan Siswa yang Belajar Geometri Tanpa Geometer’s Sketchpad. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas. Soekadijo, R. G. (1999). Logika Dasar. Jakarta: Gramedia

Slavin, R.E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon.


(5)

Slavin, R. E. (1995). Cooperative Learning Theory. Research and Pratice. Second Edition Ally & Bacon.

Sudijono, A. (2001). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: T. Raja Grafindo Persada.

Suderadjat, H. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bandung: CV Cipta Cekas Grafika.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. (Disertasi). Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum Matematika 1994 pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Laporan Penelitian. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.

Suherman, E. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Tarsito

Sukarno, B. (1999). Kontribusi Motivasi dan Prestasi Belajar Terhadap Kemampuan Mengajar Mahasiswa. Jurnal Pendidikan. Jilid 6 no. 2. Penerbit: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).

Sunardi. (2002). Hubungan Antara Tingkat Penalaran Formal dan Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa. Jurnal ilmu Pendidikan. Jilid 9 no. 1. Penerbit: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).Malang

Suparno, P. (1997). Filsapat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius Suzana, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Stiff, L.V; et al. (1993). Cognitive Issues In Mathematics Education. Patricia S. Wilson (Ed.), Research Ideas For The Classroom: High School Mathematics (halaman 3 – 20). New York: Macmillan Publishing Company.


(6)

Trianto. (2007). Model- model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Konsep Landasan Reoritis-Praktis dan Impelementasinya. Jakartaa: Prestasi Pustaka.

Trihenradi, C. (2005). Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Yokyakarta: ANDI.

Trisnadi, A. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing dalam Kelompok. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak Diterbitkan.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI-JICA FMIPA

Usodo, B. (2006). Pengembangan Berbasis Masalah pada Pembelajaran Matematika di SMA (Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Siswa SMA). Buletin Pendidikan Matematika, volume 8, No. 1. Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Pattimura Ambon.

Uyanto. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan

Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung.

Wahyudin. (2008). Kurikulum, Pembelajaran dan Evaluasi (Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon-Guru Profesional). Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia.

Ward, M dan Hardgrove, C. E. (1966). Modern Elementary Mathematics. Addison Wesley.

Widada, W. (1999). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMU yang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya: Tidak dipublikasikan.