Implementasi Brain-Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Spasial dan Self-Concept Matematis Siswa pada Pembelajaran Geometri SMP : Penelitian kuasi eksperimen pada siswa kelas VIII salah satu SMP di Siak.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Variabel Penelitian ... 16

F. Definisi Operasional... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Spasial ... 18

B. Self-Concept ... 21

C. Model Pembelajaran Brain-Based Learning ... 25

D. Kerangka Berpikir ... 30

E. Teori Belajar yang Mendukung ... 34

F. Penelitian yang Relevan ... 38

G. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 41

B. Populasi dan Sampel... 42

C. Instrumen Penelitian ... 43

D. Teknik Analisis Instrumen ... 48

E. Skala Self-Concept Siswa ... 55

F. Prosedur Penelitian... 56

G. Teknik Pengumpulan Data ... 57

H. Teknik Analisis Data ... 58


(2)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 69

1. Kemampuan Spasial ... 69

2. Self-Concept ... 91

B. Pembahasan ... 95

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 111

B. Implikasi ... 111

C. Rekomendasi ... 112


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Jumlah Siswa Berdasarkan Kategori KAM ... 44

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Spasial ... 45

Tabel 3.3 Penskoran Indikator Kemampuan Spasial... 46

Tabel 3.4 Kisi-kisi Uji Coba Self-Concept Siswa ... 47

Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisisen korelasi Validitas ... 50

Tabel 3. 6 Validitas Soal Tes Spasial ... 50

Tabel 3.7 Klasifikasi koefisien Reliabilitas ... 51

Tabel 3.8 Reliabilitas Soal Tes Kemampuan Spasial ... 52

Tabel 3.9 Klasifikasi Tingkat Kesukaran Tes ... 52

Tabel 3.10 Tingkat Kesukaran Soal Tes Spasial ... 53

Tabel 3.11 Klasifikasi Daya Pembeda Tes ... 54

Tabel 3.12 Daya Pembeda Soal Tes Spasial ... 54

Tabel 3.13 Klasifikasi Gain Ternormalisasi ... 59

Tabel 3.14 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 68

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Spasial ... 69

Tabel 4.2 Rataan Skor Pretes, Potes, dan N-Gain Peningkatan Kemampuan Spasial Siswa ... 70

Tabel 4.3 Rataan dan Klasifikasi N-Gain Kemampuan Spasial ... 71

Tabel 4.4 Deskripsi Rataan Pretes, Postes, dan N-Gain Setiap Aspek Kemampuan Spasial………. 73

Tabel 4.5 Deskriptif Kemampuan Spasial Siswa Berdasarkan KAM ... 74

Tabel 4.6 Uji Normalitas Pretes ... 77

Tabel 4.7 Hasil Uji Homogenitas Levene’s Test Data Pretes Kemampuan Spasial ... 77

Tabel 4.8 Hasil Uji Parametrik t Independent Sample Test Data Pretes Kemampuan Spasial ... 78


(4)

Tabel 4.10 Hail Uji Non Parametrik Mann-Whitney U Data Postes

Kemampuan Spasial ... 81 Tabel 4.11 Hasil Uji Normalitas Data N-Gain Kemampuan Spasial ... 83 Tabel 4.12 Hasil Uji Homogenitas Data N-Gain Kemampuan Spasial ... 84 Tabel 4.13 Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-rata N-Gain Kemampuan

Spasial ... 85 Tabel 4.14 Hasil Uji Normalitas Data N-Gain Kemampuan Spasial

Berdasarkan KAM ... 87 Tabel 4.15 Uji Homogenitas Varians Skor N-Gain Kemampuan Spasial

Berdasarkan KAM ... 88 Tabel 4.16 Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-rata N-Gain Kemampuan Spasial

Berdasarkan KAM ... 90 Tabel 4.17 Hasil Skala Self-Concept kelas BBL dan kelas biasa ... 91 Tabel 4.18 Deskripsi Frekuensi Respon Positif Setiap Indikator Skala

Self-Concept ... 93 Tabel 4.19 Hasil Uji Mann-Whitney ... 95


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Sudut BCD pada Kubus Kelihatan Besarnya Kurang dari 900 . 6 Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir ... 34 Gambar 3.1 Prosedur Penelitian ... 57 Gambar 4.1 Perbandingan Rataan Skor Pretes dan Postes Kemampuan

Spasial ... 71 Gambar 4.2 Perbandingan Rataan Skor N-Gain Kemampuan Spasial ... 72 Gambar 4.3 Uji Normalitas dengan Plot untuk Data Pretes Kemampuan

Spasial ... 76 Gambar 4.4 Uji Normalitas dengan Plot untuk Data Postes Kemampuan

Spasial ... 80 Gambar 4.5 Uji Normalitas dengan Plot untuk Data N-Gain Kemampuan

Spasial ... 83 Gambar 4.6 Perbandingan Jumlah Frekuensi Self-Concept Siswa ... 93


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman LAMPIRAN A: PERANGKAT PENELITIAN

A.1 Silabus Pembelajaran ... 122

A2 RPP Kelas BBL ... 124

A3 RPP Kelas Biasa ... 154

A4 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 178

LAMPIRAN B: INTRUMEN PENELITIAN B.1 Kisi-kisi Tes Uji Coba Kemampuan Spasial ... 214

B.2 Soal Uji Coba Kemampuan Spasial ... 215

B.3 Kisi-kisi Tes Kemampuan Spasial ... 224

B.4 Soal Tes Kemampuan Spasial ... 225

B.5 Kisi-kisi Uji Coba Self-Concept Siswa ... 230

B.6 Angket Uji Coba Self-Concept ... 231

B.7 Kisi-kisi Self-Concept Siswa ... 234

B.8 Angket Self-Concept ... 235

B.9 Kisi-kisi Tes Kemampuan Awal Matematis ... 237

B.10 Soal Tes Kemampuan Awal Matematis ... 238

B.11 Lembar Observasi Aktivitas Guru dan Siswa ... 239

LAMPIRAN C: HASIL UJI COBA C. Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Spasial ... 244

LAMPIRAN D: ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN D.1 Data Pretes, Postes, N-Gain, dan KAM Kemampuan Spasial Kelas BBL ... 256


(7)

D.2 Data Pretes, Postes, N-Gain, dan KAM Kemampuan Spasial

Kelas Biasa ... 259 D.3 Data N-Gain Setiap Aspek Kemampuan Spasial Kelas BBL .. 263 D.4 Data N-Gain Setiap Aspek Kemampuan Spasial Kelas Biasa . . 265 D.5 Analisis Data Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Spasial. 267 D.6 Data Skor Skala Self-Concept Siswa Setelah Pembelajaran .... 277 D.7 Frekuensi Respon Positif Setiap Indikator Skala Self-Concept... 282 D.8 Uji Mann-Whitney Skala Self-Concept Siswa Setelah Pembe-


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika sebagai salah satu ilmu dasar yang sangat berperan penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, matematika dipelajari pada semua jenjang pendidikan, dengan harapan pendidikan matematika harus dapat menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan kehidupan masa depan (Hodiyah, 2009:1).

Pentingnya pengembangan proses pembelajaran matematika sekolah akan berdampak pada pengembangan kemampuan siswa, baik kemampuan matematika siswa maupun kemampuan berfikir dalam pemecahan masalah. Kebutuhan akan pemahaman dan aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari atau dunia kerja telah menjadi sesuatu yang besar dan akan secara terus menerus meningkat. NCTM (2000) memberikan ilustrasi sebagai berikut:

1. Mathematics for life

Pengetahuan matematika menjadi kepuasan dan kemampuan secara personal. Fondasi kehidupan sehari-hari akan matematika dan teknologi semakin meningkat. Khususnya pengambilan keputusan, pemilihan jaminan kesehatan, pendidikan, perdagangan, dan politik.

2. Mathematics as part of culture heritage

Matematika merupakan suatu budaya dan kemampuan intelektual yang terbesar dari manusia. Masyarakat harus mengembangkan apresiasi dan pemahamannya, termasuk di dalamnya estetika, dan aspek hiburan.

3. Mathematics for the workplace

Sama halnya tehapan kebutuhan matematika dalam menciptakan masyarakat yang cerdas, kemampuan matematika, dan pemecahan masalah juga diperlukan dalam pekerjaan, peningkatan keprofesionalan yang terbentang dalam area kesehatan sampai desain grafis.


(9)

4. Mathematics for the scientific and technical community

Meskipun semua pekerjaan memerlukan dasar-dasar pengetahuan matematika, bahkan beberapa bidang perlu matematika tingkat tinggi. Namun, siswa harus didorong dan diberi jalan untuk disiapkan menjadi ahli dalam matematika, ahli statistika, ahli mesin, dan saintis.

Kebutuhan terhadap pemahaman dan aplikasi matematika tersebut, mengharuskan kualitas pembelajaran di sekolah harus mencapai tingkatan yang maksimal. Keberhasilan yang diharapkan dalam proses pembelajarannya merupakan kesatuan dari kurikulum sekolah, kemampuan guru yang terintegrasi dalam pembelajaran, dan beragam kebijakan dalam pendidikan.

Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang termuat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006: 346), yaitu:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam memecahkan masalah;

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dengan mencermati tujuan mata pelajaran matematika tersebut, terlihat bahwa kurikulum yang disusun sudah memperhatikan aspek pengembangan kemampuan berpikir matematis dan aspek-aspek pengiring yang ditimbulkan dalam pembelajaran matematika seperti sikap menghargai kegunaan matematika


(10)

dalam kehidupan sehari-hari. Terlihat bahwa butir-butir tujuan tersebut sangat berkaitan dengan kemampuan berpikir spasial dan self concept.

Geometri merupakan cabang matematika yang menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika karena memainkan peranan utama dalam bidang matematika dan banyaknya konsep yang termuat di dalamnya. Kita menemukan hal-hal yang berkaitan dengan geometri di setiap tempat dan hampir setiap objek visual. Oleh sebab itu, kebutuhan dalam mempelajari geometri merupakan hal yang sangat krusial sehingga kurikulum matematika di Indonesia dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi menekankan pentingnya penguasaan materi geometri bidang dan geometri ruang.

Hal ini sejalan dengan pernyataan James dalam Suherman (2003) yang menyatakan bahwa matematika juga merupakan ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak, yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Kennedy dalam Nur’aini dan Sumarno (2012) menyatakan bahwa learning experience from learning geometry supported to improve student’s ability on problem solving, giving a reason, and understanding on other mathematics content.

Selain dalam pembelajaran matematika, ternyata geometri adalah hal yang begitu nyata dalam kehidupan manusia. Dahlan (2011: 3.28) menyatakan geometri merupakan cabang matematika yang telah diakrabi oleh manusia sejak lahir, karena geometri ada dimana-mana, di setiap tempat, dan hampir di setiap objek visual. Hassi, Nicky, Mawardi, dan Sukarsa (1987: 109) juga menyatakan bahwa geometri adalah cabang matematika yang membahas tentang garis, kurva, benda, ruang, serta permukaannya dan titik dalam ruang yang senantiasa mengalami perkembangan dari segi keilmuan dan aplikasi seiring dengan bertambahnya waktu dan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fanu (2008: 176) menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibutuhkan dalam belajar matematika adalah kemampuan membaca dan menulis, kemampuan membedakan suatu ukuran, kemampuan mengidentifikasi urutan-urutan, kemampuan menggunakan simbol-simbol abstrak, kemampuan aritmatika,


(11)

kemampuan spasial, dan kemampuan menggunakan logika. Standar yang ditetapkan oleh NCTM (2000) untuk geometri di sekolah adalah agar siswa dapat menggunakan visualisasi, mempunyai kemampuan penalaran spasial, dan pemodelan geometri untuk menyelesaikan masalah. Sejalan dengan hal tersebut, kurikulum di Indonesia untuk pembelajaran matematika juga menuntut siswa mampu menguasai materi geometri bidang dan ruang yang di dalamnya juga terdapat kemampuan spasial.

Velez, Silver, dan Tremaine (2005) menyatakan bahwa kemampuan spasial merupakan suatu kemampuan memanggil, mengingat, dan mentransformasi informasi visual dalam konteks keruangan. Ristontowi (2013) menyatakan bahwa kemampuan spasial adalah kemampuan untuk mempersepsi yakni menangkap dan memahami sesuatu melalui panca indra, kemampuan mata khususnya warna dan ruang, kemampuan utnuk mentransformasi yakni mengalihbentukkan hal yang ditangkap mata ke dalam bentuk wujud lain, misalnya mencermati, merekam, menginterpretasikan dalam pikiran lalu menuangkan rekaman dan interpretasi tersebut ke dalam bentuk lukisan dan sketsa.

Pada anak usia sekolah kemampuan spasial ini sangat penting karena kemampuan spasial erat hubungannya dengan aspek kognitif secara umum. Hal tersebut sesuai dengan temuan yang diperoleh Bishop (1980) bahwa kemampuan spasial mempunyai hubungan positif dengan matematika pada anak usia sekolah. Studi dari Sherman (1980) juga menemukan bahwa matematika dan berpikir spasial mempunyai korelasi yang positif pada anak usia sekolah, baik pada kemampuan spasial taraf rendah maupun taraf tinggi.

Selanjutnya menurut Soemadi (1994), agar dapat belajar geometri dengan baik dan benar, siswa dituntut untuk menguasai kemampuan dasar geometri, keterampilan dalam pembuktian, keterampilan membuat lukisan dasar geometri, dan memiliki kemampuan spasial (keruangan) yang memadai. Penelitian menunjukkan bahwa pemahaman pengetahuan spasial dapat mempengaruhi kinerja yang berhubungan dengan tugas-tugas akademik terutama matematika, membaca dan IPA (Suparyan, 2007). Selain itu, banyak profesi-profesi teknis dan


(12)

ilmiah yang membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan spasial di atas 90%, diantaranya adalah arsitek, perancang pesawat, pilot, arsitek, ahli fisika, dokter, dan sebagainya.

Pentingnya kemampuan spasial dimiliki oleh siswa mengharuskan semua pihak yang terkait dapat bekerja sama untuk pencapaian hasil yang baik. Guru sebagai salah satu pihak yang terkait diharapkan dapat memberikan perhatian terhadap kemampuan ini dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Namun, pada kenyataannya kemampuan spasial yang dimiliki siswa pada saat mengerjakan soal geometri yang diujikan dalam studi PISA, yang berkaitan dengan ruang dan bentuk, kuantitas, ketidakpastian dan data, disimpulkan masih rendah (Wardhani dan Rumiati dalam Fuad, 2013). Hasil penelitian Kariadinata (2008) juga mengungkapkan bahwa masih banyak persoalan geometri yang memerlukan visualisasi untuk pemecahan masalah dan pada umumnya siswa merasa kesulitan mengkontruksi bangun ruang geometri.

Syahputra (2011) juga mengatakan bahwa kurikulum matematika di Indonesia memang tidak secara eksplisit mencantumkan topik spasial dalam sub mata pelajaran geometri. Namun, para guru semestinya dapat menerjemahkan bahwa kemampuan ini sangat dibutuhkan siswa dan perlu diajarkan secara sungguh-sungguh ketika mengajar geometri. Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan spasial ini kurang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh kebanyakan guru. Ketika mengajar geometri khususnya bangun ruang, kebanyakan guru memberikan penekanan pada pemberian informasi mengenai banyaknya rusuk, banyaknya bidang sisi, menghitung luas bidang sisi, dan informasi lainnya yang bersifat mekanis dan hafalan. Jarang sekali ditemukan guru yang mengajak siswa berfikir menemukan suatu pola tertentu kalau suatu bangun geometri dibalik, diputar, dan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan spasial lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila terjadi bahwa ada siswa yang menyatakan sisi kubus pada Gambar 1 yang dilihatnya berbentuk jajar genjang atau belah ketupat. Bahkan banyak siswa kelas VII dan VIII SMP pada saat ditunjukkan gambar tersebut tidak dapat menunjukkan besar


(13)

sudut BCD, apakah besarnya tepat 900 atau kurang dari 900. Fakta ini menunjukkan bahwa kemampuan spasial siswa masih sangat rendah.

Selain temuan di atas, ada beberapa fakta di lapangan yang ditemukan dalam beberapa penelitian lain yang menyatakan secara tidak langsung bahwa kemampuan spasial siswa masih rendah dan perlu untuk ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian diantaranya hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarman (Abdussakir, 2009) yang menemukan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Secara tersirat temuan tersebut menunjukkan siswa SMP kesulitan dalam belajar geometri termasuk bangun ruang yang ada pada materi SMP. Selain itu, Gumilar (2012) menyatakan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami geometri, terutama geometri ruang yang merupakan materi matematika yang paling dibenci oleh siswa. Dari temuan dan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kemampuan spasial siswa masih rendah.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di salah satu SMP Negeri di Siak pada September 2014, terbukti bahwa kemampuan spasial siswa masih sangat rendah. Lembar jawaban siswa dari empat soal yang diujikan dengan tiap butir soalnya mewakili satu aspek kemampuan spasial, menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang mampu menjawab soal tersebut dengan benar, walaupun hanya untuk satu soal. Pada tiap item soal, sebagian besar siswa hanya

A B

C D

E F

H

Gambar 1. Sudut BCD pada Kubus Kelihatan Besarnya Kurang dari 900


(14)

mampu menjawab bagian-bagian tertentu saja, dan sisanya siswa mengosongkan lembar jawabannya.

Wahyudin (2013: 135) menguraikan bahwa faktor sulitnya siswa dalam mempelajari geometri adalah pengalaman belajar yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman sehingga berdampak pada (1) kurang mendalam pemahaman; (2) sebagian siswa yang memahami bangun-bangun geometris tidak mampu mengidentifikasi bangun-bangun; (3) tidak membangun citra-citra mental dari bangun-bangun geometri dalam pikiran mereka. Masalah yang dihadapi oleh siswa ini bukanlah disebabkan oleh kesalahan pada kemampuan otak, melainkan indikasi dari kegagalan sistem lingkungan yang mereka alami yang kurang mengoptimalkan kinerja otak dalam pengembangan kemampuannya.

Proses pembelajaran geometri sebagai proses yang dialami oleh siswa perlu mendapatkan perhatian khusus dan pembenahan. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil penelitian yang telah menunjukkan output yang sangat baik setelah siswa diberikan lingkungan yang optimal bagi pembelajaran. Permasalahan yang dihadapi siswa dalam mempelajari geometri tentu akan berdampak pada kemampuan spasialnya.

Selain kemampuan spasial, terdapat aspek psikologis yang turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan sesorang dalam mempelajari matematika dengan baik, khususnya geometri. Salah satu aspek psikologis tersebut adalah self-concept (konsep diri). Oleh karena itu, aspek psikologis dari ranah afektif yang perlu mendapatkan penilaian dan diharapkan dapat menunjang kemampuan spasial siswa adalah self-concept.

Waney (2006: 32) menyatakan bahwa self-concept adalah pandangan dan sikap individu terhadap diri sendiri. Pandangan diri terkait dengan dimensi fisik, karakteristik individual, dan motivasi diri. Pandangan diri tidak hanya meliputi kekuatan-kekuatan individual, tetapi juga kelemahan bahkan kegagalan dirinya. Konsep diri adalah inti kepribadian individu.

Susana (2006: 18) menyatakan bahwa pandangan seseorang tentang dirinya akan menentukan tindakan yang akan diperbuatnya. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, maka akan terbentuk penghargaan yang tinggi


(15)

pula terhadap dirinya. Penghargaan terhadap diri yang merupakan evaluasi terhadap diri sendiri akan menentukan sejauh mana seseorang yakin akan kemampuan dirinya dan keberhasilan dirinya. Seseorang yang memiliki konsep diri yang positif, segala perilakunya akan selalu tertuju pada keberhasilan. Seseorang akan selalu berjuang untuk selalu mewujudkan konsep dirinya. Misalnya, apabila seorang siswa merasa bahwa ia pandai, maka ia akan belajar tekun dan bekerja keras untuk membuktikan bahwa ia benar-benar pandai seperti keyakinannya. Dia juga tidak akan mudah putus asa karena mempunyai keyakinan bahwa ia pasti berhasil karena keyakinannya. Sebaliknya, apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang dirinya, maka akan muncul evaluasi negatif pula tentang dirinya. Segala informasi positif tentang dirinya akan diabaikannya, dan informasi negatif yang sesuai dengan gambaran dirinya akan disimpannya sebagai bagian yang memperkuat keyakinan dirinya.

Berhubungan dengan matematika, Reyes dalam Wilkins (2004: 331) menyatakan bahwa self-concept matematika seseorang mengacu pada persepsi atau keyakinan terhadap kemampuan dirinya, untuk mampu mengerjakan matematika dengan baik dalam pembelajaran matematika. Ayodele (2011: 176) mendefinisikan self-concept sebagai cara seseorang untuk berfikir (thinks), merasakan (feels), bertindak (acts), menilai (values), dan mengevaluasi (evaluates) dirinya sendiri yang berhubungan dengan matematika.

Penelitian yang dilakukan oleh Ayodele (2011) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki self-concept yang positif, prestasi belajar matematikanya lebih baik, dan self-concept terhadap matematika tidak berhubungan dengan gender. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Yara (2010) juga mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa, siswa yang memiliki self-concept yang positif dan tinggi dapat mengerjakan matematika dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam mempelajari matematika khususnya geometri, dibutuhkan self-concept yang positif dari seorang siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Coster (Salamor, 2013: 3) mengatakan bahwa sekolah belum berhasil berperan sebagai wahana yang


(16)

memadai dalam membentuk self-concept siswa. Dengan demikian, tugas sekolah khususnya para guru, harus bekerja lebih maksimal untuk meminimalisir masalah ini, karena Hurlock (Salamor, 2013: 3) mengungkapkan bahwa salah satu orang yang dominan pengaruhnya dalam self-concept anak adalah guru.

Karakteristik matematika yang abstrak , menyebabkan banyak siswa masih berada dalam keadaan cemas jika mempelajari matematika. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi prestasi siswa dalam matematika, sehingga siswa tersebut akan berada pada zona penilaian self-concept yang negatif, yakni akan selalu merasa tidak mampu ataupun tidak percaya diri dalam menghadapi masalah matematika.

Hasil penelitian selanjutnya (Ruseffendi, 1991) menemukan bahwa terdapat banyak orang yang setelah belajar matematika bagian yang sederhana juga banyak yang tidak dipahaminya, bahkan banyak konsep yang dipahami secara keliru. Matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet dan banyak memperdayakan. Adanya anggapan negative siswa terhadap matematika sebagai ilmu yang sukar, ruwet dan banyak memperdaya, menyebabkan sikap siswa terhadap matematika kurang baik. Bisa juga dikatakan bahwa sikap siswa menjadi pesimis dengan adanya anggapan tersebut. Buruknya pandangan siswa yang berdampk pada sikap siswa tersebut merupakan fakta di lapangan akan rendahnya self-concept matematis siswa.

Hal yang serupa yang diperoleh dari studi pendahuluan peneliti menemukan rendahnya self-concept matematis siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa, sebagian besar siswa tidak menyukai pelajaran matematika karena merasa pelajaran matematika adalah pelajaran yang rumit dan susah dimengerti. Anggapan siswa terhadap pelajaran matematika sebagai pelajaran yang rumit dan susah dimengerti secara tidak langsung menggambarkan bahwa pandangan siswa terhadap matematika negatif. Negatifnya pandangan siswa tersebut mengindikasikan bahwa self-concept siswa masih rendah.

Kebiasaan dalam suasana yang tegang dalam belajar, khususnya belajar geometri, sangat mempengaruhi self-concept siswa. Oleh karena itu, guru sebagai ujung tombak pembelajaran di sekolah harus mampu memberikan suasana yang


(17)

kondusif, agar siswa mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kinerjanya dalam belajar.

Pemahaman terhadap beragam teori tentang bagaimana siswa belajar serta kemampuan untuk menerapkannya dalam pengajaran geometri merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pengajaran geometri yang efektif. Sejalan dengan Bell dalam Suryadi (2012: 26) yang menyatakan bahwa tiap teori dapat dipandang sebagai suatu metode untuk mengorganisasi serta mempelajari berbagai variabel yang berkaitan dengan belajar dan perkembangan intelektual, dan dengan demikian guru dapat memilih serta menerapkan elemen-elemen teori tertentu dalam pelaksanaan pengajaran di kelas. Pembelajaran yang efektif akan berdampak pada hasil belajar yang baik. Hal ini tentu akan mampu mempengaruhi self concept matematis siswa ke arah yang positif.

Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat diupayakan untuk meningkatkan kemampuan spasial dan self-concept positif siswa adalah dengan menerapkan brain-based learning (BBL). BBL merupakan salah satu inovasi dalam pembelajaran yang muncul dengan berbagai implikasi yang menakjubkan bagi para guru dan pembelajar diseluruh dunia dengan didasarkan pada disiplin-disiplin dalam ilmu saraf, biologi, psikologi, dan pemahaman tentang hubungan antara pembelajaran dan otak yang didesain secara alamiah untuk belajar (Jensen: 2008). Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan bahwa BBL menawarkan sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran yang berorientasi pada upaya

pemberdayaan potensi otak manusia (Sapa’at, 2009).

Ellison dalam Saleh (2009: 32) menyatakan bahwa otak tidak bisa memperhatikan semua hal, pelajaran yang tidak menarik, membosankan, atau tidak menggugah emosi tentu tidak akan diingat. Jensen (2008: 322) mengungkapkan bahwa melalui tahapan-tahapan implementasi BBL dalam pembelajaran, dihasilkan lingkungan berbasis kemampuan otak yang mendukung ekspresi emosi siswa untuk belajar. Dengan demikian BBL dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan yang dapat diimplementasikan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan spasial siswa dalam pembelajaran geometri.


(18)

Strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi BBL

(Syafa’at, 2009) mencakup tiga hal, yaitu: (1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa. Strategi ini tentunya harus dirancang dengan baik dalam pembelajaran geometri melalui implementasi BBL diharapkan dapat berjalan dengan lancar sesuai rencana sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.

Secara teoritis, terdapat hubungan yang sangat erat antara kemampuan berfikir spasial dalam mempelajari geometri dan BBL. Kemampuan berfikir spasial sebagai salah satu indikator dalam pencapaian hasil belajar geometri merupakan salah satu keterampilan kognitif yang bersumber pada kerja otak manusia. Otak merupakan bagian terpenting dari organ manusia yang memiliki peran utama dalam belajar harus diasah agar fungsinya dapat lebih optimal. BBL sebagai pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar memungkinkan pencapaian kemampuan berfikir spasial dalam mempelajari materi geometri dapat ditingkatkan.

Implementasi BBL akan memberikan kesempatan siswa untuk lebih berinteraksi dengan lingkungan kelas yaitu siswa lainnya selama pembelajaran berlangsung. Salbiah dalam Saputra (2012: 10) mengatakan self-concept individu dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual, dan penguasaan lingkungan. Self-concept negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. Interaksi dalam hubungan kelompok dapat berdampak positif bagi siswa dalam pencapaian kemandirian dirinya yang mencakup: pengetahuan diri, pemahaman diri, penerimaan diri, dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, pembelajaran BBL memungkinkan self-concept siswa menjadi berkembang dan lebih baik.

Dalam penelitian ini, selain aspek pembelajaran, kognitif, dan afektif, aspek Kemampuan Awal Matematis (KAM) juga dijadikan sebagai fokus kajian. Hal itu terkait dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa pemerolehan pengetahuan baru dipengaruhi oleh pengetahuan awal anak. Semakin baik


(19)

pengetahuan awalnya semakin baik pula pemerolehan pengetahuan barunya. Artinya ada asosiasi antara pengetahuan awal dan pengetahuan baru.

Usia yang masih remaja, pada umumnya memiliki kondisi yang masih labil, sehingga akan berbeda dalam menghadapi suatu situasi jika dibandingkan dengan individu yang telah mencapai taraf kematangan emosi. Siswa yang telah mencapai taraf kematangan emosi tinggi lebih dapat mengontrol emosinya melalui suatu tahap pemikiran, cendrung tenang dan tidak mengalami perasaan tertekan. Pada usia remaja ini, kondisi pembelajaran yang tidak kondusif serta kemampuan kognitif awal akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Kecerdasan ditunjukkan oleh prestasi belajar yang didasari oleh kemampuan awal matematis. Individu cerdas memiliki kemampuan lebih untuk mensintesis berbagai konsep dan melihat keterkaitan antar konsep-konsep tersebut. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengkaji kontribusi KAM dalam berpikir matematis, khususnya pada kemampuan spasial.

Selain itu terkait dengan efektivitas implementasinya pada proses pembelajaran. Tujuannya yaitu untuk melihat apakah implementasi BBL dapat merata di semua kategori KAM siswa, atau hanya pada kategori KAM tertentu saja. Jika merata di semua kategori KAM, maka pembelajaran BBL cocok diterapkan untuk semua level kemampuan. Dengan demikian, sebelum implementasi model pembelajaran dilakukan, terlebih dahulu siswa dikategorikan ke dalam tiga kategori kemampuan yaitu tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan KAM.

Kenyataan pada pembelajaran biasa, guru hanya ingin mencapai standar kriteria ketuntasan minimum tanpa memperhatikan aspek-aspek yang harus diperoleh siswa sebagai hasil belajar. Misalnya, pada aspek kognitif hanya sampai pada tingkat hafalan dan menyelesaikan masalah rutin saja, dan dari segi aspek afektif kurangnya sikap siswa dalam menghargai kegunaan matematika pada kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam KTSP.

Hampir semua guru memberikan soal yang bersifat rutin dan kurang menantang, sehingga siswa tidak terbiasa mengerjakan soal-soal tidak rutin. Selain itu, kebanyakan guru sangat bergantung dan sangat mempercayai buku teks


(20)

yang mereka pakai, dan sebagian besar guru belum menguasai keterampilan bertanya yang sifatnya melacak (probing).

Pendapat tersebut sejalan dengan temuan Ashari (Shadiq, 2007: 2) yang menyatakan bahwa karakteristik pembelajaran matematika saat ini lebih mengacu pada tujuan jangka pendek (lulus ujian baik ujian lokal maupun nasional), sehingga tujuan yang ingin dicapai guru adalah agar siswa lulus ujian, bukan tujuan yang diamanatkan oleh tujuan mata pelajaran matematika seperti yang disebutkan dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2006.

Kemampuan spasial yang kurang memuaskan dan self-concept siswa yang negatif dalam pembelajaran geometri tentu sangat dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Pada saat proses pembelajaran biasa, umumnya siswa hanya mendengarkan guru menyampaikan materi sehingga siswa bersifat pasif, mencatat apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa tidak terlibat aktif dalam pembelajaran akibatnya banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan oleh guru. Selain itu, menurut Zamroni (Turmudi, 2012: 98) orientasi pembelajaran di Indonesia ditandai oleh kecenderungan menganggap siswa sebagai objek, meletakan peran guru sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di kelas, dan menyajikan pelajaran dengan berorientasi sebagai subjek.

Selain itu, materi yang disampaikan oleh guru kurang membumi (kurang mendalam), lebih fokus pada kemampuan prosedural dan low order thinking skills, sehingga siswa tidak biasa dalam mengerjakan soal-soal atau permasalahan yang tidak rutin. Komunikasi yang terjadi di kelas cenderung satu arah, monoton, dan pertanyaan yang diajukan oleh guru kurang melacak pengetahuan yang dimiliki oleh siswa.

Kedua pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Turmudi (2010: 7) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga sangat rendah, akibatnya siswa cepat lupa dan akibat lanjutannya adalah rendahnya hasil pencapaian siswa.


(21)

Selain cara mengajar dan paradigma yang berkembang terkait proses pembelajaran, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan oleh faktor lemahnya kemampuan dasar matematika siswa. Mengingat matematika adalah ilmu terstruktur artinya untuk mengingat suatu konsep matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya, maka kemampuan kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam KAM memegang peranan penting dalam penguasaan konsep baru matematika. Oleh karena itu, suasana pembelajaran yang mendukung kondisi alamiah otak untuk belajar agar potensinya dapat bekerja secara optimal perlu diupayakan.

Apabila merujuk kepada hasil penelitian di atas, maka pembelajaran matematika yang mengarah kepada meningkatnya kemampuan spasial dan self-concept matematis sudah seharusnya diupayakan dan diimplementasikan. Salah satu pembelajaran yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan mengimplementasikan BBL. Salah satu model pembelajaran yang menciptakan suasana belajar aktif dan diselaraskan dengan cara kerja otak yang didesain secara alamiah untuk belajar adalah BBL. Pembelajaran ini mempertimbangkan sifat alami otak dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman, serta mengutamakan kesenangan dan kecintaan siswa akan belajar. Dengan demikian, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul IMPLEMENTASI BRAIN-BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SPASIAL DAN SELF-CONCEPT MATEMATIS SISWA PADA PEMBELAJARAN GEOMETRI SMP.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pencapaian kemampuan spasial siswa yang mendapat implementasi BBL lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran biasa?

2. Apakah peningkatan kemampuan spasial siswa yang mendapat implementasi BBL lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran biasa?


(22)

3. Apakah peningkatan kemampuan spasial siswa yang mendapat implementasi BBL lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran biasa ditinjau dari Kemampuan Awal Matematis (tinggi, sedang, rendah)?

4. Apakah self-concept siswa yang mendapat implementasi BBL lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran biasa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk:

1. Menelaah pencapaian kemampuan spasial siswa yang mendapat implementasi BBL dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

2. Menelaah peningkatan kemampuan spasial siswa yang mendapat implementasi BBL dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

3. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang mendapat implementasi BBL dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa ditinjau dari Kemampuan Awal Matematis (KAM).

4. Mengkaji perbedaan self-concept siswa yang mendapat implementasi BBL dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat selama penelitian

a. Siswa dapat berlatih untuk berusaha mengembangkan kemampuan spasial dan self-concept dalam pembelajaran geometri.

b. Siswa dapat berlatih untuk belajar secara kelompok dalam pembelajaran geometri.

c. Guru dapat berlatih untuk mengimplementasikan BBL dalam proses pembelajaran geometri.


(23)

2. Manfaat hasil penelitian a. Manfaat teoretis

1) Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pembelajaran geometri, terutama dalam usaha untuk peningkatan kemampuan spasial dan self-concept siswa.

2) Secara khusus penelitian ini untuk memberikan kontribusi pada strategi pembelajaran matematika yang berupa pergeseran dari pembelajaran yang hanya memperhatikan hasil kepembelajaran yang juga memperhatikan prosesnya yang mempertimbangkan sifat alami otak untuk bekerja dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman belajar yang kondusif dan menyenangkan.

b. Manfaat praktis

Memberikan informasi tentang kemampuan spasial dan self-concept siswa dengan mengimplementasikan BBL.

E. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, dimana terdapat dua variabel terikat (dependent variable) dan satu variabel bebas (independent variable). Rincian variabel adalah sebagai berikut:

1. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah: a. kemampuan spasial

b. self-concept siswa, sedangkan

2. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah implementasi BBL.

F. Definisi Operasional

Dalam rangka memperoleh persamaan persepsi dan menghindarkan penafsiran yang berbeda dari beberapa istilah dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan definisi operasional sebagai berikut:

1. Kemampuan spasial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk membayangkan, membandingkan, menduga, menentukan,


(24)

mengkonstruksi, merepresentasikan, dan menemukan informasi visual suatu objek dalam konteks keruangan. Aspek kemampuan spasial yang akan diukur adalah orientasi spasial, visualisasi spasial, dissembedding, dan persepsi spasial.

2. Self-concept yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pandangan dan penilaian siswa terhadap dirinya dalam mempelajari matematika. Dimensi self-concept yang akan diukur adalah pegetahuan, harapan, dan penilaian.

3. Implementasi BBL yang dimaksud dalam penelitian ini adalah implementasi pembelajaran yang diselaraskan dengan cara kerja otak yang didesain secara alamiah untuk belajar. Pembelajaran ini mempertimbangkan sifat alami otak dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman, serta mengutamakan kesenangan dan kecintaan siswa akan belajar. Fase BBL, yaitu: (1) pra-pemaparan; (2) persiapan; (3) inisiasi dan akuisisi; (4) elaborasi; (5) inkubasi dan memasukkan memori; (6) verifikai dan pengecekan keyakinan; serta (7) perayaan dan integrasi.

4. Pembelajaran biasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang diterapkan oleh guru di sekolah tersebut. Pembelajaran yang dilaksanakan terdiri dari tiga tahapan yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu desain kuasi eksperimen. Pada kuasi eksperimen ini subjek tidak dikelompokkan secara acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya (Ruseffendi, 1998:47). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan, bahwa kelas yang ada telah terbentuk sebelumnya, sehingga jika dilakukan lagi pengelompokkan secara acak maka akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran yang telah ada di sekolah. Jenis desain eksperimen yang digunakan yaitu kelompok kontrol tidak ekivalen (the nonequivalent control group design). Pada penelitian ini terdapat dua kelompok penelitian yaitu kelompok eksperimen yang mendapat implementasi BBL dan kelompok kontrol dengan menggunakan pembelajaran biasa. Dengan demikian untuk mengetahui perbedaan kemampuan spasial siswa, dilakukan penelitian dengan desain tersebut yaitu sebagai berikut (Ruseffendi, 1998:47):

Kelompok Pretest Perlakuan Postest Eksperimen

Kontrol Keterangan:

O = Pretest dan Postest Kemampuan Spasial X = Implementasi BBL

Selain untuk mengetahui perbedaan kemampuan spasial siswa, concept siswa dicari tahu pula. Self-concept matematis diukur melalui skala self-concept yang diberikan kepada siswa pada akhir pembelajaran sehingga dilakukan penelitian dengan desain sebagai berikut:

Kelompok Perlakuan Posrespon Eksperimen

Kontrol Keterangan:

O = Posrespon self-concept matematis siswa X = Implementasi BBL

O X O

O O

X O


(26)

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMP Negeri di Kabupaten Siak Provinsi Riau. Rata-rata kemampuan siswa yang dipilih berada pada level sedang berdasarkan data dari dinas pendidikan setempat. Hal ini dikarenakan siswa pada sekolah level menengah memiliki kemampuan akademik yang heterogen, sehingga dapat mewakili siswa dari tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

Sekian banyak jumlah kelas VIII yang ada pada salah satu SMP Negeri yang dipilih tersebut, dipilih dua kelas yang dijadikan sampel penelitian. Satu kelas dijadikan kelompok siswa kontrol yang menggunakan pembelajaran biasa, dan satu kelas lainnya sebagai kelompok siswa eksperimen yang mendapatkan implementasi BBL. Jumlah siswa pada tiap kelompok yang dipilih tersebut adalah sama, yaitu 36 siswa. Pemilihan kelompok tersebut diperoleh berdasarkan pada justifikasi para ahli yang didukung oleh data urutan peringkat kemampuan siswa berdasarkan nilai rapor ketika kenaikan kelas yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Justifikasi dengan para ahli, diantaranya dilakukan dengan wawancara dengan para guru matematika dan kepala sekolah di sekolah setempat yang menyatakan hasil bahwa seluruh kelas VIII di sekolah tersebut memiliki tingkat kemampuan merata (homogen). Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa pengelompokkan siswa tiap kelas VIII dilakukan dengan membagi rata jumlah siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah setelah dilakukan pengurutan jumlah nilai rapor pada saat kenaikan kelas siswa dari kelas VII ke kelas VIII.

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik sampling purposive. Hal ini berarti pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan tertentu. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pengambilan sampel secara purposive ini adalah siswa kelas VIII karena telah melalui kelas VII yang pada umumnya siswa masih berada dalam tahap berpikir konkrit. Pada kelas VIII tingkat perkembangan kognitif siswa berada pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal. Menurut Teori perkembangan kognitif, pada tahapan formal operation (usia 11 atau 12 tahun ke


(27)

atas) siswa sudah dapat berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit. Pada tahap ini kemampuan spasial sangat dibutuhkan untuk memperkuat bekal siswa memasuki tahap berfikir formal di SMA dan Perguruan Tinggi. Selain itu, pengambilan sampel dengan teknik sampling purposive bertujuan agar penelitian dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam hal pengawasan, kondisi tempat penelitian, prosedur perijinan, waktu penelitian, dan kondisi subjek penelitian.

C. Instrumen Penelitian, Bahan Ajar, dan Pengembangannya

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen yang berfungsi untuk mengumpulkan data. Pertama adalah instrumen dalam bentuk tes yang terdiri dari seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan awal dan kemampuan spasial siswa, dan yang kedua adalah instrumen dalam bentuk non tes untuk mengukur self-concept siswa dan lembar observasi, yang memuat item-item aktivitas siswa serta guru dalam pembelajaran. Pada akhir pertemuan pada penelitian ini, peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa kelas eksperimen untuk memberikan komentar terbuka pada sebuah kertas terkait pembelajaran yang telah diberikan. a. Kemampuan Awal Matematis (KAM)

Kemampuan awal matematis siswa adalah kemampuan atau pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Pemberian tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum pembelajaran dan untuk penempatan siswa berdasarkan kemampuan awal matematisnya. Tes ini dilakukan dengan memberikan seperangkat soal tes yang mengujikan materi yang sudah dipelajari sebelumnya, yaitu materi kelas VIII SMP semester ganjil. Tes ini berupa soal uraian terdiri dari 5 butir soal, dan diberikan pada kelas BBL dan kelas biasa sebelum penelitian dilaksanakan.

Berdasarkan skor kemampuan awal matematis yang diperoleh, siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu siswa kemampuan tinggi, siswa kemampuan sedang, dan siswa kemampuan rendah. Menurut Somakim (2010: 75)


(28)

kriteria pengelompokkan kemampuan awal matematis siswa berdasarkan skor rerata (�̅) dan simpangan baku (SB) sebagai berikut:

KAM ≥ �̅ + SB : Siswa Kemampuan Tinggi

̅– SB < KAM < �̅ + SB : Siswa Kemampuan Sedang KAM ≤ �̅– SB : Siswa Kemampuan Rendah

Dari hasil perhitungan terhadap data kemampuan awal matematis siswa, diperoleh �̅= 66,07 dan SB = 16,80, sehingga dikelompokkan sebagai berikut.

Siswa Kemampuan Tinggi, jika: skor KAM ≥ 82,87 Siswa Kemampuan Sedang, jika: 49,27 < KAM < 82,87 Siswa Kemampuan Rendah, jika: skor KAM ≤ 49,27

Tabel berikut menyajikan banyaknya siswa yang berada pada kemampuan tinggi, sedang, rendah pada masing-masing kelas BBL dan biasa.

Tabel 3.1. Jumlah Siswa Berdasarkan Kategori KAM

Kategori Kelas Total

BBL Biasa

Tinggi 8 7 15

Sedang 22 21 43

Rendah 6 8 14

Total 36 36 72

Sebelum soal digunakan, seperangkat soal tes kemampuan awal matematis terlebih dahulu divalidasi isi dan muka. Uji validasi isi dan muka dilakukan oleh 3 orang penimbang yang berlatar belakang pendidikan matematika yang dianggap mampu dan punya pengalaman mengajar dalam bidang pendidikan matematika. Untuk mengukur validitas isi, pertimbangan didasarkan pada kesesuaian soal dengan aspek-aspek kemampuan awal matematis dan dengan materi matematika kelas VIII. Sedangkan untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.

Selain itu juga, perangkat soal tes KAM ini terlebih dahulu diujicobakan secara terbatas kepada lima orang siswa di luar sampel penelitian. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan memperoleh gambaran apakah butir-butir soal dapat dipahami oleh siswa. Berdasarkan hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua soal tes dipahami


(29)

dengan baik. Kisi-kisi soal dan perangkat soal tes KAM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran.

b.Tes Kemampuan Spasial Siswa

Tes ini diberikan pada saat pretest dan postest. Komposisi isi dan bentuk soal pretes dan postes ini disusun serupa karena salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peningkatan kemampuan spasial siswa. Setiap soal disusun dalam bentuk uraian.

Sebelum dijadikan sebagai soal pretes dan postes, instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini, dikonsultasikan kepada lima orang yang dianggap ahli terhadap kemampuan spasial. Para ahli tersebut terdiri atas ahli matematika, ahli evaluasi, ahli pembelajaran matematika, guru matematika, dan guru Bahasa Indonesia. Selanjutnya instrument ini diujicobakan terlebih dahulu pada 36 orang siswa kelas IX salah satu SMP Negeri di Siak yang menjadi tempat pengambilan data penelitian. Instrumen yang diujicobakan terdiri atas 8 soal mengenai kemampuan spasial. Adapun kisi-kisi tes kemampuan spasial yang diujicobakan disajikan pada tabel berikut:

Tabel 3.2 Kisi-kisi Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Spasial

Aspek Kemampuan Spasial Indikator Soal

Kemampuan Spasial

No. Soal Orientasi spasial

(kemampuan untuk menduga secara akurat perubahan orientasi suatu objek)

 Mengidentifikasi bentuk atau posisi suatu objek geometri yang dipandang dari sudut pandang tertentu

3, 5

Visualisasi spasial

(kemampuan mengenal dan menghitung perubahan orientasi pada suatu adegan)

 Mengkonstruksi dan merepresentasikan model-model geometri yang digambar pada bidang datar

4, 6

Persepsi spasial

(kemampuan seseorang mengingat arah vertical dan horizontal yang paling lazim pada suatu keadaan yang polanya

dialihkan)

 Dapat menyatakan

kedudukan antar unsur-unsur dalam bangun ruang pada sudut pandang tertentu

1, 8

Disembedding

(kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menemukan suatu objek sederhana yang dilekatkan pada objek

yang lebih kompleks)

 Menginvestigasi suatu objek geometri


(30)

Pedoman penskoran tes kemampuan spasial, menggunakan pedoman yang diadaptasi dari usulan pemberian skor oleh Facione (1994), disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.3 Penskoran Indikator Kemampuan Spasial

Skor Kriteria

4

Langkah-langkah penyelesaian dijelaskan secara lengkap dan kompeten, menggambarkan indikator aspek kemampuan spasial yang diukur, tidak terdapat kesalahan dalam perhitungan/ menggambar

3

Langkah-langkah penyelesaian dijelaskan secara benar, sesuai indikator aspek kemampuan spasial yang diukur, namun terdapat sedikit kesalahan dalam perhitungan/ menggambar

2

Langkah-langkah penyelesaian dijelaskan secara tidak lengkap, kurang menggambarkan indikator aspek kemampuan spasial yang diukur, dan terdapat banyak kesalahan dalam perhitungan/ menggambar

1

Langkah-langkah penyelesaian dijelaskan secara tidak benar, tidak menggambarkan indikator aspek kemampuan spasial yang diukur, dan jawaban cenderung mencoba-coba

0 Tidak ada respon

c. Angket Self-Concept

Angket self-concept diberikan pada saat postest kepada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan implementasi BBL dan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa. Angket ini terdiri dari 30 butir pernyataan diantaranya: 15 pernyataan positif dan 15 pernyataan negatif. Pengukuran angket ini berpedoman pada modifikasi dari model skala Likert. Ada lima kategori pada skala likert, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Jika pertanyaan dalam angket adalah pernyataan positif, maka siswa yang memberikan pernyataan SS diberi nilai 5, S diberi nilai 4, N diberi nilai 3, TS diberi nilai 2, dan STS diberi nilai 1. Jika pernyataan dalam angket adalah pernyataan negatif, maka siswa yang memberikan pernyataan SS diberi nilai 1, S diberi nilai 2, N diberi nilai 3, TS diberi nilai 3, dan STS diberi nilai 4.

Penyusunan angket diawali dengan pembuatan kisi-kisi sebelumnya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dosen pembimbing. Angket tersebut kemudian dikonsultasikan kepada lima orang ahli dan diujicobakan bersamaan


(31)

dengan instrumen kemampuan spasial. Adapun kisi-kisi dari angket self-concept siswa yang diujicobakan disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.4 Kisi-kisi Uji Coba Angket Self-Concept Siswa N

O

DIMENSI YANG

DIUKUR INDIKATOR

NOMOR PERNYATAAN POSITIF NEGATIF

1 PENGETAHUAN

Partisipasi siswa dalam

pelajaran matematika 4, 5 14, 2, 22 Pandangan siswa tentang

kemampuan matematika yang

dimiliki 15,6 1,18

2 HARAPAN

Tujuan siswa dalam belajar matematika untuk masa yang akan datang

13, 20 17, 29 Pandangan siswa terhadap

pembelajaran matematika pada implementasi Brain-Based Learning

3, 26, 27 12, 19, 28, 30

3 PENILAIAN

Peran aktif siswa dalam mengikuti pembelajaran

matematika 8, 23, 24 16, 25 Ketertarikan siswa terhadap

soal-soal kemampuan spasial dalam kehidupan sehari-hari

10, 9, 21 7, 11

d.Lembar Aktivitas Siswa dan Guru

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran untuk setiap kali pertemuan. Data aktifitas siswa dan guru selama proses pembelajaran dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi. Lembar observasi ini berupa hasil pengamatan dan kritik/saran tentang jalannya pembelajaran yang sedang berlangsung, sehingga dapat diketahui aspek-aspek apa yang harus diperbaiki atau ditingkatkan.

Observasi ditujukan kepada kelas yang menyelenggarakan pembelajaran dengan implementasi BBL. Observasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kegiatan siswa dan guru selama pembelajaran berlangsung, menurut Ruseffendi (2005) observasi pada hal-hal tertentu lebih baik dari cara lapor diri (skala sikap) karena observasi melihat aktivitas dalam keadaan wajar. Format lembar observasi catatan perkembangan siswa dapat dilihat dalam Lampiran.


(32)

Selanjutnya mengenai bahan ajar dalam penelitian ini adalah bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran matematika dengan Model Pembelajaran BBL untuk kelompok eksperimen dan pembelajaran biasa untuk kelompok kontrol. Bahan ajar disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku di lapangan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Isi bahan ajar memuat materi-materi matematika dengan langkah-langkah Model Pembelajaran BBL dan pembelajaran biasa yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan spasial dan Self-concept matematis siswa. Pokok bahasan dipilih yang berkaitan dengan geometri dan berdasarkan alokasi waktu yang telah disusun oleh guru kelas yang bersangkutan. Setiap pertemuan memuat satu pokok bahasan yang dilengkapi dengan lembar aktivitas siswa. Lembar aktivitas siswa memuat soal-soal latihan menyangkut materi-materi yang telah disampaikan.

D. Teknik Analisis Instrumen

Bahan tes diambil dari materi pelajaran Matematika yang berkaitan dengan soal tes kemampuan spasial. Sebelum soal instrumen digunakan dalam penelitian, soal tersebut dikonsultasikan dengan lima orang ahli dan diujicobakan terlebih dahulu pada siswa yang telah memperoleh materi yang berkenaan dengan yang akan diteliti. Ujicoba dilakukan untuk mendapatkan alat ukur yang sesuai. Data yang diperoleh dari hasil ujicoba tes kemampuan spasial ini dianalisis untuk mengetahui reliabilitas, validitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran tes. Data diolah dengan menggunakan bantuan Anates V.4 for Windows.

1. Analisis Validitas Instrumen

Suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman, 2003). Oleh karena itu, keabsahannya tergantung pada sejauh mana ketepatan alat evaluasi itu dalam melaksanakan fungsinya. Dengan demikian suatu alat evaluasi disebut valid jika ia dapat mengevaluasi dengan tepat sesuatu yang dievaluasi itu (Suherman, 2003). Dalam penelitian ini, untuk memperoleh suatu instrumen yang dapat mengukur kemampuan spasial siswa dengan baik dilakukan dengan menggunakan validitas logis dan validitas empirik.


(33)

a) Validitas Logis

Validitas logis atau validitas teoritik untuk sebuah instrumen evaluasi menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan teori dan ketentuan yang ada. Pertimbangan terhadap soal tes kemampuan spasial berkenaan dengan validitas muka dan validitas isi. Validitas muka dilakukan dengan melihat dari sisi muka atau tampilan dari instrumen itu sendiri (Suherman, 2003). Validitas muka dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat apakah kalimat atau kata-kata dari instrumen tes yang digunakan sudah tepat dan layak digunakan sehingga tidak menimbulkan tafsiran lain termasuk juga kejelasan gambar dan soal. Sedangkan validitas isi berkenaan dengan keshahihan instrumen tes dengan materi yang akan ditanyakan, baik tiap butir soal maupun menurut soalnya secara keseluruhan. Jadi validitas isi instrumen tes dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang diajarkan, serta dengan melihat kesesuain dengan indikator kemampuan yang diamati.

Validitas muka dan isi dalam penelitian ini dilakukan dengan meminta pertimbangan ahli (judgment) yang berkompeten dengan kemampuan dan materi yang dipelajari. Setelah instrumen tes dianalisis validitas logisnya, instrumen tes kemudian dilakukan uji coba.

b) Validitas Empiris

Validitas empiris adalah validitas yang ditinjau dengan kriteria tertentu. Kriteria ini digunakan untuk menentukan tinggi rendahnya koefisien validitas alat evaluasi yang dibuat melalui perhitungan korelasi product moment dengan menggunakan angka kasar (Arikunto, 2010) yaitu:

r xy = n ∑ − ∑ ∑

√ � ∑ − ∑ � ∑ − ∑ Keterangan :

rxy = Koefisian korelasi antara variabel X dan variabel Y

X = Skor siswa suatu butir tes Y = Jumlah skor suatu butir tes n = Jumlah siswa


(34)

Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Korelasi Validitas Koefisien Validitas Interpretasi

0,90 ≤ rxy≤ 1,00 Sangat tinggi

0,70 ≤ rxy < 0,90 Tinggi

0,40 ≤rxy < 0,70 Sedang

0,20 ≤ rxy < 0,40 Rendah

0,00 ≤ rxy < 0,20 Sangat Rendah

Sumber : Guilford (Suherman, 2003)

Pengujian Validitas tes dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software Anates V.4 for Windows untuk soal uraian. Berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran, validitas dari soal uji coba instrumen tes spasial adalah sebagai berikut:

Tabel 3.6 Validitas Soal Tes Spasial Nomor

Soal

Koefisien

Korelasi Interpretasi Signifikansi Validitas 1a 0,688 Sedang Sangat Signifikan Valid 1b 0,737 Tinggi Sangat Signifikan Valid 2a 0,701 Tinggi Sangat Signifikan Valid 2b 0,632 Sedang Sangat Signifikan Valid

3 0,191 Sangat Rendah Tidak Signifikan Tidak Valid 4a 0,712 Tinggi Sangat Signifikan Valid 4b 0,697 Sedang Sangat Signifikan Valid 4c 0,636 Sedang Sangat Signifikan Valid

5a 0,549 Sedang Signifikan Valid

5b 0,594 Sedang Signifikan Valid

6 0,268 Rendah Tidak Signifikan Tidak Valid 7 0,286 Rendah Tidak Signifikan Tidak Valid 8a 0,248 Rendah Tidak Signifikan Tidak Valid 8b 0,385 Rendah Tidak Signifikan Tidak Valid

Berdasarkan Tabel 3.5 di atas, dapat dilihat hasil uji coba dari 8 soal yang mengukur kemampuan spasial, terdapat empat soal yang tidak signifikan yaitu butir soal nomor 3, 6, 7, 8a dan nomor 8b. Hal ini berarti bahwa butir soal tersebut tidak valid atau tidak mampu mengukur kemampuan yang hendak diukur. Oleh sebab itu, butir soal tersebut tidak digunakan untuk mengukur kemampuan spasial dalam penelitian ini. Hal ini juga sejalan dengan hasil konsultasi dengan para ahli, bahwa sebaiknya hanya 4 soal dari 8 soal tersebut yang dijadikan instrumen


(35)

kemampuan spasial penelitian. Tujuannya agar siswa tidak merasa jenuh dalam menjawab soal yang disebabkan oleh banyaknya jumlah soal yang diujikan.

Adapun nilai korelasi xy untuk instrumen tes tersebut yaitu sebesar 0,78. Apabila diinterpretasikan berdasarkan kriteria validitas tes dari Guilford, maka secara keseluruhan instrumen tes kemampuan spasial yang diujicobakan memiliki validitas tinggi. Hasil uji validitas instrumen tes selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran.

2. Analisis Reabilitas Instrumen

Reliabilitas berhubungan dengan masalah kepercayaan. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Jadi pengertian reliabilitas tes, berhubungan dengan masalah ketetapan hasil tes (Arikunto, 2010). Suatu alat evaluasi disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung reliabilitas tes ini adalah rumus Cronbach’s Alpha (Arikunto, 2010).

� = [� − ] [ − � ∑ σi σt ] Keterangan:

r11 = Reliabilitas instrumen

∑σi2 = Jumlah varians skor suatu butir tes

σt2 = Varians total

p = Banyaknya butir tes

Dengan ketentuan klasifikasi koefisien reliabilitas sebagai berikut: Tabel 3.7 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Besarnya nilai r11 Interpretasi 0,80 < r11≤ 1,00 Sangat tinggi

0,60 < r11≤ 0,80 Tinggi

0,40 < r11≤ 0,60 Cukup

0,20 < r11≤ 0,40 Rendah

r11≤ 0,20 Sangat rendah


(36)

Pengujian reliabilitas tes dilakukan dengan bantuan software Anates V.4 for Windows untuk soal uraian. Berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran, reliabilitas dari soal uji coba kemampuan spasial adalah sebagai berikut:

Tabel 3.8

Reliabilitas Soal Tes Kemampuan Spasial

Jenis Tes Koefisien Reliabilitas Tingkat Reliabilitas

Spasial 0,88 Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 3.8 di atas, dapat dilihat bahwa reliabilitas untuk soal yang mengukur kemampuan spasial siswa termasuk ke dalam kategori sangat tinggi. Dengan kata lain, instrumen tes tersebut memiliki kekonsistenan yang sangat tinggi atau akan memberikan hasil yang relatif sama bila diberikan kepada subjek yang sama meskipun pada waktu, tempat, dan kondisi yang berbeda. Hasil uji reliabilitas instrumen tes selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran.

3. Analisis Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal tes (Arikunto, 2010). Tingkat kesukaran untuk soal uraian dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

IK =

�̅

(Suherman , 2003) Keterangan:

IK = Indeks Kesukaran

� ̅ = rata-rata skor kelompok atas dan kelompok bawah b = bobot, nilai maksimal soal

Ketentuan klasifikasi tingkat kesukaran soal sebagai berikut: Tabel 3.9

Klasifikasi Tingkat Kesukaran Kriteria Tingkat Kesukaran Interpretasi

IK = 0,00 Soal Sangat Sukar 0,00  IK  0,30 Soal Sukar 0,30  IK ≤ 0,70 Soal Sedang

0,70  IK 1,00 Soal Mudah IK = 1,00 Soal Sangat Mudah


(37)

Perhitungan tingkat kesukaran dilakukan dengan bantuan software Anates V.4 for Windows untuk soal uraian. Berdasarkan hasil perhitungan yang tertera pada lampiran, tingkat kesukaran dari soal uji coba kemampuan spasial adalah sebagai berikut:

Tabel 3.10

Tingkat Kesukaran Soal Tes Spasial

Jenis Tes Nomor Soal Indeks Kesukaran Interpretasi Kesukaran

Spasial

1a 0,663 Sedang

1b 0,488 Sedang

2a 0,488 Sedang

2b 0,688 Sedang

3 0,350 Sedang

4a 0,638 Sedang

4b 0,650 Sedang

4c 0,500 Sedang

5a 0,625 Sedang

5b 0,450 Sedang

6 0,188 Sukar

7 0,463 Sedang

8a 0,125 Sukar

8b 0,113 Sukar

Tabel 3.10 di atas, menyajikan tingkat kesukaran suatu soal. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa soal tes nomor 6, 8a, dan 8b yang mengukur kemampuan spasial tergolong ke dalam kategori sukar, sedangkan untuk soal lainnya tergolong pada kategori sedang.

4. Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda sebuah butir soal tes adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Suherman, 2003). Daya pembeda butir soal dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka indeks diskriminasi item. Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda adalah :

DP = ̅̅̅̅−̅̅̅̅ ………(Suherman, 2003) Keterangan:

DP = Daya pembeda �̅A = skor rata-rata kelas atas


(38)

Ketentuan klasifikasi interpretasi daya pembeda soal sebagai berikut: Tabel 3.11 Klasifikasi Daya Pembeda Tes

Kriteria Daya Pembeda Interpretasi 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

DP = 0 Sangat Jelek

Perhitungan daya pembeda instrumen dilakukan dengan bantuan software Anates V.4 for Windows untuk soal uraian. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan software Anates V.4 for Windows seperti yang tertera pada lampiran, daya pembeda dari soal uji coba kemampuan spasial adalah sebagai berikut:

Tabel 3.12

Daya Pembeda Soal Tes Spasial Jenis Tes Nomor

Soal

Indeks Daya

Pembeda Interpretasi

Spasial

1a 0,575 Baik 1b 0,875 Sangat Baik 2a 0,775 Sangat Baik 2b 0,375 Cukup

3 0,150 Jelek 4a 0,575 Baik 4b 0,550 Baik 4c 0,660 Baik 5a 0,400 Cukup 5b 0,450 Baik

6 0,075 Jelek 7 0,175 Jelek 8a 0,100 Jelek 8b 0,125 Jelek

Dari Tabel 3.12 terlihat daya pembeda untuk soal kemampuan spasial memiliki daya pembeda dari kategori jelek, cukup, baik, dan sangat baik. Soal kemampuan spasial dengan kategori jelek, tidak digunakan untuk mengukur kemampuan spasial dalam penelitian ini.


(39)

E. Skala Self-Concept Siswa

Sebelum instrumen ini digunakan, dilakukan uji validitas teoritik dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan melalui bantuan penilaian dan konsultasi dari 5 orang validator ahli. Lima orang ahli yang menjadi validator instrumen dipilih berdasarkan latar belakang keahlian yang berbeda, yaitu guru matematika, guru bahasa, ahli pembelajaran matematika, ahli bidang matematika, dan ahli evaluasi atau pengajaran.

Berdasarkan hasil uji ini diperoleh bahwa terdapat beberapa item yang kurang tepat dari segi bahasa atau redaksional. Kemudian instrumen diperbaiki hingga dianggap layak untuk digunakan pada tahap kedua. Selain memperbaiki redaksi instrumen, dari hasil konsultasi dengan salah seorang validator, juga dilakukan pengurangan butir pernyataan yang akan digunakan pada tahap kedua. Dengan demikian, dari 30 pernyataan yang dinilai akan digunakan 20 pernyataan saja. Hal ini bertujuan agar siswa tidak jenuh dalam membaca item-item pernyataan yang terdapat pada angket.

Tahap kedua dilakukan uji keterbacaan terbatas pada 5 orang siswa kelas IX di SMP Negeri yang menjadi tempat penelitian (di luar sampel penelitian). Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan sekaligus memperoleh gambaran terhadap pemahaman siswa terhadap maksud item pada skala. Hasil uji coba tahap kedua ini menyatakan bahwa ada item yang kurang dipahami dikarenakan bahasa/redaksinya. Revisi yang dilakukan melibatkan siswa langsung, peneliti menjelaskan maksud dari item kemudian siswa memberikan saran redaksi yang lebih mudah mereka pahami.

Setelah melalui dua tahapan uji validitas teoritik terhadap instrumen skala self-concept, dan telah mengalami perbaikan, maka pada penelitian ini digunakanlah angket skala self-concept tersebut sebagai instrumen penelitian untuk mengukur self-concept siswa pada kelas yang mendapat implementasi BBL dan kelas biasa. Angket skala self-concept yang digunakan pada penelitian ini, berisi 20 butir pernyataan yang terdiri 10 butir pernyataan positif dan 10 butir pernyataan negatif.


(40)

F. Prosedur Penelitian

Prosedur pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap pendahuluan, tahap pelaksanaan, tahap pengumpulan data. Uraian dari ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian meliputi tahap-tahap penyusunan proposal, dan seminar proposal, menetapkan jadwal kegiatan dan materi pelajaran matematika, penyusunan instrumen penelitian (silabus, RPP, lembar kerja siswa, skala self-concept siswa, soal tes kemampuan spasial), pengujian instrumen dan perbaikan instrumen.

b. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian meliputi tahap implementasi instrumen dan tahap pengumpulan data. Siswa kelas VIII1 belajar melalui implementasi

model pembelajaran Brain-Based Learning, sedangkan kelas VIII2 belajar

melalui model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru. c. Tahap pengumpulan data

Tahap penulisan laporan meliputi tahap pengolahan data, analisis data, dan penyusun laporan secara lengkap. Berikut ini adalah tahapan–tahapan yang dilakukan dalam penelitian:


(41)

G. Teknik Pengumpulan Data

Data yang berkaitan dengan kemampuan awal matematis siswa diambil melalui nilai tes soal-soal matematika yang telah dipelajari oleh siswa sebelumnya. Untuk data kemampuan spasial dikumpulkan melalui pretes dan postes. Pretes diberikan pada kedua kelas sampel sebelum diberi perlakuan, dan postes juga diberikan pada kedua kelas sampel setelah diberikan perlakuan. Selanjutnya, data yang berkaitan dengan self-concept siswa dikumpulkan melalui angket. Data lembar observasi dikumpulkan melalui pengisian lembar observasi

Identifikasi Masalah

Penyusunan Bahan Ajar

Uji Coba Instrumen

Penyusunan Instrumen

Analisis validitas, Reliabilitas,Tingkat Kesukaran, dan Daya Pembeda

Pelaksanaan Penelitian Tes Awal (Pretest)

Pembelajaran geometri dengan implementasi model Brain-Based Learning

Pembelajaran geometri dengan pembelajaran biasa

Tes Akhir (Post test) Perlakuan Pembelajaran

Analisis Data

Kesimpulan Gambar 3.1 Prosedur Penelitian


(42)

oleh observer dan data lembaran komentar terbuka dari siswa dikumpulkan melalui pemberian komentar terkait pembelajaran oleh siswa kelas eksperimen pada pertemuan terakhir.

H. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Untuk itu pengolahan terhadap sebagian data yang telah dikumpulkan, yaitu data kemampuan spasial dan self-concept dilakukan secara kuntitatif. Data-data kuantitatif diperoleh dalam bentuk hasil uji instrumen, Data-data pretes, postes, N-Gain serta skala self-concept siswa. Data hasil uji instrumen diolah dengan software Anates V.4 for Windows untuk memperoleh validitas, reliabilitas, daya pembeda, serta derajat kesukaran soal. Data hasil pretes, postes, N-Gain, dan skala self-concept siswa diolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan software SPSS Versi 21 for Windows. Data yang diperoleh dari lembar observasi dan lembar komentar terbuka dari siswa kelas eksperimen terkait pembelajaran dilakukan secara kualitatif.

Adapun rincian pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif adalah sebagai berikut:

1. Analisis Data Kualitatif

Data kualitatif yang dikumpulkan merupakan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran. Data ini diperoleh melalui lembar observasi. Lembar observasi terdiri dari lembar observasi guru dan siswa selama proses pembelajaran dilaksanakan di kelas eksperimen untuk setiap pertemuannya. Lembar aktivitas guru digunakan untuk mengamati sejauh mana kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan implementasi BBL dengan tujuan untuk dapat memberikan refleksi pada proses pembelajaran agar pembelajaran berikutnya menjadi lebih baik.

Data hasil observasi dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran melalui implementasi BBL. Data tersebut dikaji berdasarkan tujuh tahapan pembelajaran dengan implementasi BBL, yaitu (1) Pra-Pemaparan, (2) Persiapan, (3) Inisiasi dan Akuisisi, (4)


(43)

Elaborasi, (5) Inkubasi dan Memasukkan Memori, (6) Verifikasi dan Pengecekan Keyakinan, (7) Perayaan dan Integrasi.

2. Analisis Data Kuantitatif

Data kuantitatif diperoleh dari hasil uji coba instrumen dan hasil pretest, postest kemampuan spasial dan skala self-concept siswa. Data-data tersebut diolah menggunakan bantuan software MS Excel 2010 dan software SPSS Versi 21 for Windows. Berikut adalah uraian analisis data kuantitatif yang dilakukan:

a. Data Hasil Tes Kemampuan Spasial

Hasil tes kemampuan spasial digunakan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan spasial siswa yang belajar melalui model pembelajaran BBL dan Biasa. Data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan spasial diolah melalui tahapan sebagai berikut:

1) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan.

2) Menentukan skor peningkatan kemampuan spasial dengan rumus gain ternormalisasi (Meltzer, 2002) yaitu:

Normalized gain =maximum possible score − pretest scoreposttest score − pretest score

Gain ternormalisasi ini untuk melihat mutu peningkatan kompetensi yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran.

Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut:

Tabel 3.13 Klasifikasi Gain Ternormalisasi Besarnya Gain (g) Klasifikasi

g ≥ 0,70 Tinggi 0,30 ≤ g < 0,70 Sedang g < 0,30 Rendah

3) Menyajikan statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain yang meliputi skor terendah (Xmin), skor tertinggi (Xmaks), rata-rata , dan simpangan baku (S).


(1)

Facione, P. A. (2004). Critical Thinking Scoring Rubric tersedia www.temple.Edu/tlc/resources/handout/holistics20critical20thingking20sc oring%20rubric.v2.pdf diakses juni 2014.

Fanu, J.I. (2010). Atasi dan Deteksi Ragam Masalah Kejiwaan Anak Sejak Dini. Jogjakarta: Garailmu.

Fu’ad, M. (2013). Pembelajaran Geometri Berbantuan Wingeom untuk Meningkatkan Kemampuan Spasial dan Disposisi Matematis Siswa Melalui Model Kooperatif Tipe STAD (Studi Eksperimen Terhadap Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Cirebon). Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Given, E. K. (2007). Brain-Based Teaching. Bandung: Kaifa.

Gourgey, A. F. (1982). Development of a Scale for the Measurement of Self-Concept in Mathematics. New York University: Educational Resources Information Center (ERIC).

Gumilar. (2012). Pembelajaran Geometri dengan Wingeom untuk Meningkatkan Kemampuan Spasial dan Penalaran Matematis Siswa. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Gutierez, A. (1997). Visualizationin 3-Dimensional Geometry: In Search of a Framework Valencia (Spain): Universidad de Valencia.

Guven, B. & Kosa, T. (2008). The Effect of Dynamic Geometry Software on

Student Mathematics Teachers’ Spatial Visualization Skills. The Turkish Online Journal of Educational Technology-TOJET October 2008 ISSN: 1303-6521 volume 7 Issue 4 Article 11 diakses tanggal 9 Maret 2014. Hamalik. O. (2002). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Harlock, E.B. (1978). Developmental Psychology: A life Span Approach, 5TH ed.

Bosto: Mc Graw-Hill.

Hassi, R., Nicky, L., Mawardi., & Sukarsa, T. (1987). Kamus Matematika Inggris-Indonesia. Bandung: Tarsito.

Hobson, J. A. (1989). Sleep. New York: W.H. Freeman.

Hodiyah, D.(2009). Implementasi Strategi Pembelajaran Think-Talk-Write dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Koneksi Matematik Siswa SMA. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.


(2)

Jensen, E. (2008). Brain-Based Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Kariadinata, R. (2010). Kemampuan Visualisasi Geometri Spasial Siswa Madrasah Aliyah Negeri (Man) Kelas X Melalui Software Pembelajaran Mandiri. Jurnal EDUMAT. 1(2).

Kemendikbud. (2013). Permendikbud no 64 tahun 2013 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Online. Tersedia pada: https://docs.google.com/file/d/0B3356lc6iDkOUczMXJwZjdDbDQ/edit?p li=1 di akses tanggal 9 Maret 2014.

Lestari, K. E. (2013). Implementasi Brain-Based Learning untuk Meningkatkan Koneksi dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Linn, M. C. & Petersen, A. C. (1985). “Emergence and characterization of gender differences in spatial abilities: A meta-analysis” Child Development Vol. 56: 1479-1498.

Martinis, Y. (2009). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: GP Press.

McGeee, M.G. (1976). Human Spatial Abilities: Psychometric Studies and Environmental, Genetic, Hormonal, and Neurological Influences tersedia:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/386403 di akses tanggal 9 Maret 2014.

Mulyono, A. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM.

Olkun, S. (2003). Making Connections: Improving Spatial Abilities with Engineering Drawing Activities. International Journal of Mathematics Teaching and Learning ersedia: http:///www. Ex.ac.uk/cimt/ijmtl/ijabout diakses tanggal 9 Maret 2014.

Ollerton, M. (2010). Panduan Guru Mengajar Matematika. Jakarta: Erlangga. Ormrod, J.E. (2008). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan

Berkembang. Jakarta: Erlangga.

Ozden, M. & Gultekin, M. (2008). The Effect of Brain-Based Learning on Academic Achievement and Retetion of Knowledge in Science Course. Electronic Journal of Science Education. Vol. 12 No.1.


(3)

Pellegrino, J. W., Alderton, D. L. & Shute, V. J. (1984). Understanding spatial ability. Educational Psychologist,19(3), 239-253.

Rehman, A. U. & Bokhari, M. A. (2011). Oectiffeveness of Brain-Based Learning Theory at Secondary level. Vol. 3. No. 4 July 2011.

Ristontowi. (2013). Kemampuan Spasial Siswa Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dengan Media Geogebra. Makalah telah diseminarkan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Negari Yogyakarta.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Transito.

Salamor, R. (2013). Pembelajaran Group Investigation dalam Upaya Peningkatan Kemampuan berpikir Kritis dan Self Concept Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan. Saleh, A. (2009). Seni Mengajar Matematika Berbasis Kecerdasan Majemuk.

Bandung: Regina.

Saputra, E. (2012). Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Anchored Instruction Terhadap peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Self Concept Siswa. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Sapa’at, A. (2009). Brain Based Learning. Tersedia: http://matematika.upi.edu/ index.php/brain-based-learning/ diakses tanggal 19 April 2014.

Sardiman. (2004). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Grafindo Persada.

Siegel, S. (1985). Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia.

Sherman, J. (1980). Mathematics, Spatial Visualization, and Related Factors: Chenge in Girl and Boys Grade 8-11. Journal of Educational Psychology, Vol 72(4), Aug 1980, 476-482 diakses tanggal 9 Maret 2014.

Skemp. R. (1976). Relational Understanding and Instrumental Understanding. Department of Education University Of Warwick.

Strong, S. & Roger, S. (2002). Spatial Visualization: Fundamentals and Trends in Engineering Graphics (Vol. 18: No 1). Journal of Insdustrial Technology.


(4)

Sofia, E. (2013). Kemampuan Komunikasi dan Penalaran Matematis Serta Karakter Siswa SMS dalam Pembelajaran dengan Strategi Brain-Based Learning. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.

Suharsimi, A. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Suherman. E. dkk. (2003). Common Text Book dalam Strategi Pembelajaran

Matematika Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Suparman, A. (2012). Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan. Jakarta: Erlangga.

Sumarno, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Suparno. P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Suparyan. (2007). Kajian Kemampuan Keruangan (Spatial Abilities) dan Kemampuan Penguasaan Materi Geometri Ruang Mahasiswa Progam Studi Pendidikan Matematika FMIPA (Universitas Negeri Semarang). Tesis PPs UNES. Semarang: Tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: Rizqi Press.

Susana, T. (2006). Membentuk Konsep Diri Positif. Konsep Diri Positif Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius.

Syahputra, T. (2011). Peningkatan Kemampuan Spasial dan Disposisi Matematis Siswa SMP dengan Pendekatan PMRI pada Pembelajaran Geometri Berbantuan Komputer. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. Syaodih. N. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Tambunan, S. M. (2006). Hubungan Antara Kemampuan Spasial Dengan Prestasi Belajar Matematika. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10. No. 1 Juni 2006: 27: 32 diakses tanggal 9 Maret 2014.


(5)

Thurstone, L. L. (1938). Primary mental abilities. Psychometric Monographs, 1 tersedia: http://www.jstor.org/discover/10.2307/2279078?uid=2129&uid =2&uid=70&uid=4&sid=21103752597817 diakses tanggal 9 Maret 2014. Turmudi. (2010). Matematika Eksploratif dan Investigatif; Referensi Metodologi

Pembelajaran untuk Guru Matematika. Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Turmudi. (2012). Teachers’ Perception Toward Mathematics Teaching Innovation

in Indonesian Junior High School: An Exploratory Factor Analysis. Journal of Mathematics Educations. Agust 2012, Vol. 5, No. 1, pp. 97-120 teredia: http://educationforatoz.org diakses tanggal 9 Maret 2014.

Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Velez, M.C., Silver, D., & Tremaine, M. (2005). Understanding Visualization through Spatial Ability Differences. Proceedings of Visualization 2005. IEEE, pages 511-518.

Wahyudin. (2013). Matematika Dasar Pengetahuan Bermuatan Pedagogis Gagasan-gagasan yang Kuat untuk Para Guru. Bandung: Mandiri.

Waney, G. K. (2006). Sekolah, Membentuk Konsep Diri Positif dari Psikologi untuk Guru. Konsep Diri Positif Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius.

Wang, J. 2007. A trend Study of Self-Concept and Mathematics Achievement in a Cross-Cultural Context. Mathematics Education Research Journal Vol 19, No. 3, 33-47.

Widiyanto & Rofiah. (2012). Pentingnya Kecerdasan Spasial dalam Pembelajaran Geometri tersedia http://rendikwidiyanto.wordpress.com diakses tanggal 9 Maret 2014.

Wilkins, M. (2004). Mathematics and Science Self Concept. An International Investigation. The Journal of Experimental Education 72(4), 331-346.

Yara, P.O. (2010). Students’ Self-Concept and Mathematics Achievement in Some Secondary Schools in Southwestern Nigeria. European Journal of Social Sciences. 13(1), 127-132.

Yuberta, F. (2013). Penerapan Strategi Every One Is A Teacher Here Dengan Peningkatan Problem Possing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self Concept Siswa MTsN. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.l. 23, (4), 614-628.


(6)

Yusuf, S & Nurihsan, J. (2007). Teori Kepribadian. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia dengan Remaja Rosdakarya.


Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang.

6 24 248

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP : Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII pada Salah Satu SMP Di Kabupaten Bandung Barat.

1 4 29

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH: Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas VIII Pada Salah Satu SMP di Bandung.

7 24 18

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA SELF-CONCEPT SISWA MTS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH : Penelitian Kuasi Eksperimen pada Salah Satu MTs Negeri di Kabupaten Subang.

3 12 60

IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM-BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN SELF-REGULATED LEARNING SISWA SMA: Penelitian Kuasi Eksperimen pada Salah Satu Sekolah Menengah Atas di Kota Sukabumi.

1 10 35

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS DAN SELF CONCEPT SISWA SMP: Studi Kuasi Eksperimen Pada Kelas VIII di Salah Satu SMP Negeri Tarogong Kaler Garut.

4 12 46

IMPLEMENTASI BRAIN-BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP.

1 12 56

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS KEMAMPUAN OTAK (BRAIN BASED LEARNING) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Sekolah Dasar di Kota Bandung.

1 2 91

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SECARA BERKELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE SISWA SMP : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Salah Satu SMP Negeri di Ngamprah.

0 0 46

PENERAPAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK SECARA BERKELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE SISWA SMP : Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII Salah Satu SMP Negeri di Ngamprah.

2 9 46