Gambaran Risiko Trombosis Vena Dalam Berdasarkan Kriteria Wells Pada Pasien Kanker di RSUP. Haji Adam Malik

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hemostasis
Menurut Bakta (2006) faal hemostasis ialah suatu fungsi tubuh yang
bertujuan untuk mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap mengalir
dalam pembuluh darah dan menutup kerusakan dinding pembuluh darah pada saat
terjadinya kerusakan pembuluh darah. Faal hemostasis melibatkan berikut:
1. Sistem vaskuler
2. Sistem trombosit
3. Sistem koagulasi
4. Sistem fibrinolisis
Faal hemostasis melibatkan 2 komponen, yaitu:
1. Faal koagulasi: yang berakhir dengan pembekuan fibrin stabil
2. Faal fibrinolisis: yang berakhir dengan pembentukan plasmin.
Faal koagulasi melibatkan 3 komponen, yaitu:
1. Komponen vaskuler
2. Komponen trombosit
3. Komponen koagulasi
Faal hemostasis untuk dapat berjalan normal memerlukan 3 langkah, yaitu:

1. Langkah I: hemostasis primer, yaitu pembentukan “primary platelet
plug.”
2. Langkah II: hemostasis sekunder, yaitu pembentukan stable hemostatic
plug (platelet+fibrin plug).
3. Langkah III: fibrinolisis yang menyebabkan lisis dari fibrin setelah
dinding vaskuler mengalami reparasi sempurna sehingga pembuluh
darah kembali paten.

Universitas Sumatera Utara

5

2.1.1. Faktor Trombosit
Trombosit memegang peranan penting dalam proses awal faal koagulasi
yang akan berakhir dengan pembentukan sumbat trombosit (platelet plug). Untuk
itu, trombosit akan mengalami peristiwa:
1. Platelet adhesion yaitu proses perlekatan trombosit ke dinding
pembuluh darah. Adhesi trombosit ke jaringan ikat subendotel terutama
kolagen, terjadi dalam 1-2 menit setelah berdiam di endotel.
Peningkatan adhesi trombosit menyebabkan trombosit yang beredar

melekat pada kolagen. Hasilnya adalah massa trombosit kohesif yang
meningkatkan dengan cepat mencapai ukuran yang cukup membentuk
plug trombosit (Kiswari, 2014).
2. Platelet activation
3. Platelet aggregation yaitu penggumpalan trombosit satu sama lain.
Pada proses koagulasi terdapat empat langkah utama untuk menghasilkan
fibrin, yaitu:
1. Langkah pertama: proses awal yang melibatkan jalur intrinsik dan
ekstrinsik yang menghasilkan tenase complex yang akan mengaktifkan
faktor X menjadi faktor X aktif.
2. Langkah kedua: pembentukan prothrombin activator (prothrombinase
complex) yang akan memecah prothrombin menjadi thrombin.
3. Langkah ketiga: prothrombin activator merubah prothrombin menjadi
thrombin.
4.

Langkah

keempat:


thrombin

memecah

fibrinogen

menjadi

mengaktifkan faktor XIII sehingga timbul fibrin yang stabil.

Universitas Sumatera Utara

6

Tabel 2.1. Faktor Koagulasi
Fungsi

Nama
I (Fibrinogen)


Prekursor fibrin

II (Protrombin)

Prekursor thrombin

III (Faktor Jaringan)

Kofaktor untuk F.VII dan VIIa

V (Proaselerin)
VII (Prokonvertin)

Mengaktifkan F.IX dan F.X

VIIIC (Faktor antihemofili)

Kofaktor F.Ixa

IX (Faktor Christmas)


Mengaktifkan F.X

X (Faktor Stuart-Prower)

Mengaktifkan rothrombin

XI (Plasma thromboplastin antecedent)

Mengaktifkan F.IX dan F.XII

XII (Faktor Hagemen)

Mengaktifkan F.XII dan PK

XIII (Faktor yang menstabilkan fibrin)

Crosslinking fibrin

Fitzgerald (Kininogen berat molekul


Membawa F.XII dan PK pada suatu

tinggi/ HMW)

permukaan

Fletcher (Prekalikrein)

Pada langkah pertama dikenal dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik dan jalur
intrinsik. Inisiasi proses koagulasi dapat terjadi melalui salah satu jalur tersebut.
Terlepas dari jalur mana yang memulai, dua jalur tersebut akan menyatu menjadi
jalur bersama yang merupakan jalur akhir (Kiswari, 2014). Aktivasi jalur
ekstrinsik dimulai jika terjadi kontak antara jaringan subendotil dengan darah
yang akan membawa faktor jaringan (tisuue factor) serta aktivasi faktor VII.
Aktivasi jalur intrinsik dimulai dengan aktivasi faktor kontak (contact factor),
yaitu faktor XII, HMWK, dan prekalikrein. Selanjutnya terjadi aktivasi faktor XI,
X, dan IX (Bakta, 2006).

Universitas Sumatera Utara


7

Gambar 2.1. Kaskade koagulasi.
Dikutip dari:
http://www.derangedphysiology.com/php/Pathology%20tests/images/coagulation%20c
ascade.JPG

2.2. Kanker
Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu,
tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol, dan tidak berirama yang dapat menyusup
ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga
memengaruhi fungsi tubuh. Kanker bukan merupakan jenis penyakit menular
(Diananda, 2009).
Istilah tumor tidak sama dengan kanker. Tumor adalah istilah umum untuk
setiap benjolan abnormal. Sedangkan kanker adalah tumor yang bersifat ganas.
Dengan demikian, kanker itu sama dengan tumor yang ganas (Diananda, 2009).
2.2.1. Epidemiologi kanker
Saat ini penyakit tidak menular, termasuk kanker menjadi masalah
kesehatan utama baik di dunia maupun di Indonesia (Depkes, 2014). Menurut data

WHO (2013), insidens kanker meningkat dari 12,7 juta kasus tahun 2008 menjadi

Universitas Sumatera Utara

8

14,1 juta kasus tahun 2012. Sedangkan jumlah kematian meningkat dari 7,6 juta
orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun 2012. Kanker menjadi penyebab
kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular.
Diperkirakan pada 2030 insidens kanker dapat mencapai 26 juta orang dan 17 juta
di antaranya meninggal akibat kanker, terlebih untuk negara miskin dan
berkembang kejadiannya akan lebih cepat.
Di Indonesia, prevalensi penyakit kanker juga cukup tinggi. Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi tumor/kanker di
Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk, atau sekitar 330.000 orang. Kanker
tertinggi di Indonesia pada perempuan adalah kanker payudara dan kanker leher
rahim. Sedangkan pada laki-laki adalah kanker paru dan kanker kolorektal.
Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer
(IARC) tahun 2012, insidens kanker payudara sebesar 40 per 100.000 perempuan,
kanker leher rahim 17 per 100.000 perempuan, kanker paru 26 per 100.000 lakilaki, kanker kolorektal 16 per 100.000 laki-laki. Berdasarkan data Sistem

Informasi Rumah Sakit 2010, kasus rawat inap kanker payudara 12.014 kasus
(28,7%), kanker leher rahim 5.349 kasus (12,8%) (Depkes, 2014).
2.2.2. Faktor Risiko
Menurut American Cancer Society (2014) kanker bisa disebabkan oleh
banyak faktor yang sebenarnya sebagian besar dari faktor tersebut dapat dicegah
seperti merokok, obesitas, konsumsi alkohol, dan kurang aktifitas fisik.
Diperkirakan 1,3 milyar orang di seluruh dunia saat ini merokok, dengan
mayoritas dari perokok merokok rokok yang dibuat di pabrik. Semua bentuk
tembakau bersifat karsinogenik. Merokok menyebabkan lebih dari 16 jenis kanker
dan merupakan faktor untuk sekitar seperlima dari kematian akibat kanker global.
Hampir 40% penurunan angka kematian kanker laki-laki antara 1991 dan 2003 di
Amerika Serikat dianggap dikaitkan dengan penurunan rokok dalam setengah
abad terakhir.

Universitas Sumatera Utara

9

Selain itu, ada juga faktor risiko yang lain yaitu zat kimia, radiasi, virus,
hormon, dan iritasi kronis. Faktor lain yang tidak dapat dicegah adalah faktor

genetik (Depkes, 2015).

Gambar 2.2. Faktor risiko kanker
Dikutip dari: American Assoociation for Cancer Research. AACR Cancer Progress
Report 2014. Clin Cancer Res 2014;20(Supplement 1):SI-S112

2.2.3. Klasifikasi Kanker
Menurut National Cancer Institute (2015) klasifikasi kanker dibagi atas dua
cara antara lain, dengan tipe jaringan asal kanker tumbuh (tipe histologi) dan
dengan tempat awalnya, atau lokasi pada tubuh dimana kanker pertama kali
berkembang. Ada ratusan jenis kanker yang dikategorikan menjadi enam kategori
utama, yaitu:
a. Karsinoma
Karsinoma merujuk pada neoplasma malignan sel asal epitel atau kanker
dari lapisan internal atau eksternal tubuh. Karsinoma terbagi dua subtipe
utama: adenokarsinoma, yang tumbuh pada organ atau kelenjar, dan
squamos cell carcinoma, yang berasal dari epitel squamos. Sebagian
besar karsinoma mempengaruhi organ atau kelenjar sekresi, seperti
payudara, yang memproduksi ASI, atau paru-paru, yang mensekresi
mukus, atau kolon, prostat, dan ginjal.

b. Sarkoma
Sarkoma mengacu pada kanker yang berasal dari jaringan pendukung
dan penghubung seperti tulang, tendon, tulang rawan, otot, dan lemak.

Universitas Sumatera Utara

10

Umumnya terjadi pada remaja. Sarkoma paling umum sering
berkembang sebagai massa menyakitkan pada tulang. Tumor sarkoma
biasanya menyerupai jaringan di mana mereka tumbuh.
Contoh sarkomas adalah:




Osteosarkoma (tulang)



Leiomyosarkoma (otot halus)



Mesothelioma (membran lapisan rongga tubuh)



Angiosarkoma atau hemangioendothelioma (pembuluh darah)



Glioma atau pilocytic (neurogenik jaringan ikat di otak)



Chondrosarkoma (tulang rawan)



Rhabdomyosarkoma (otot rangka)



Fibrosarkoma (jaringan fibrosa)



Liposarkoma (jaringan adiposa)



Myxosarkoma (jaringan ikat embrio primitif)
Mesenchymous (campuran jenis jaringan ikat)

c. Myeloma
Myeloma adalah kanker yang berasal dari sel-sel plasma sumsum
tulang. Sel-sel plasma menghasilkan beberapa protein yang ditemukan
dalam darah.
d. Leukimia
Leukemia ("kanker cair" atau "kanker darah") adalah kanker dari
sumsum tulang (situs produksi sel darah). Leukemia kata berarti "darah
putih" dalam bahasa Yunani. Penyakit ini sering dikaitkan dengan sel
darah putih belum matang yang berlebih. Sel darah putih yang belum
matang ini tidak melakukan seperti yang seharusnya, oleh karena pasien
sering rentan terhadap infeksi. Leukemia juga mempengaruhi sel-sel
darah merah dan dapat menyebabkan pembekuan darah tidak normal
dan kelelahan akibat anemia. Contoh leukemia meliputi:


Myelogenous atau Leukemia granulositik (keganasan myeloid
dan seri sel darah putih granulocytic)

Universitas Sumatera Utara

11




Limfatik, limfositik atau leukemia limfoblastik (keganasan
limfoid dan seri sel darah limfositik)
Polisitemia vera atau erithremia (keganasan berbagai produk sel
darah, tetapi dengan sel-sel darah merah yang mendominasi)

e. Limfoma
Limfoma berkembang pada kelenjar atau nodus sistem limfatik, jaringan
pembuluh, node, dan organ (khususnya, tonsil, limpa dan timus) yang
memurnikan menghasilkan cairan tubuh dan melawan infeksi sel darah
putih, atau sel-sel limfosit. Tidak seperti leukemia yang kadang-kadang
disebut "kanker cair", limfoma adalah “kanker padat”. Limfoma juga
bisa terjadi pada organ-organ tertentu seperti payudara, lambung atau
otak. Pada limfoma ini dirujuk sebagai extranodal limfoma. Limfoma
disubklasifikasikan ke dalam dua kategori: Limfoma Hodgkin dan
Limfoma non-Hodgkin. Kehadiran sel-sel Reed-Sternberg di Limfoma
Hodgkin membedakan diagnosa limfoma Hodgkin dari limfoma NonHodgkin.
f. Tipe campuran
Jenis komponen sel kanker mungkin dalam satu kategori atau dari
kategori yang berbeda. Beberapa contoh, antara lain:




Karsinoma adenoskuamousa



Karsinosarkoma



Tumor mesodermal campuran

Teratokarsinoma

2.2.4. Patogenesis
Kanker muncul ketika proses kontrol yang mengatur pembelahan sel dan
masa hidup sel terjadi kesalahan. Akibatnya, sel-sel mulai berkembang biak tak
terkendali, gagal untuk mati sewaktu sel harusnya mati dan sel tersebut akan
menumpuk, baik membentuk massa tumor dalam organ atau jaringan, atau
berkerumun pada sel yang normal di darah maupun sumsum tulang (AACR,
2014).

Universitas Sumatera Utara

12

Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang
disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi. Pada tahap
inisiasi, terjadi suatu perubahan bahan genetik sel yang memancing sel menjadi
ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang
disebut karsinogen (Diananda, 2009). Karsinogen dapat mempengaruhi DNA atau
suatu protein yang berperan pada pengaturan siklus pembelahan sel, seperti
protooncogene

atau tumor supressorgene. Pada umumnya karsinogen dapat

dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu bahan kimia, radiasi, dan virus. Pada
tahap inisiasi, bahan yang bersifat kasinogenik masuk ke dalam tubuh, maka di
dalam tubuh bahan ini langsung mengalami proses detoksifikasi dan kemudian
diekskresi. Selain itu, bahan karsinogenik tersebut terlebih dahulu dimetabolisme
oleh tubuh. Kemudian, hasil metabolismenya didetoksifikasi dan berikutnya
diekskresi. Apabila proses ini tidak dapat dilakukan oleh tubuh, maka hasil
metabolit dari bahan karsinogenik ini akan mengadakan ikatan dengan rantai
DNA, sehingga DNA menjadi cacat (defect). Sebagai akibat dari adanya
kecacatan DNA, tubuh berusaha untuk melakukan perbaikan DNA yang dikenal
dengan DNA repair. Bila perbaikan tidak berhasil, sel yang bersangkutan tersebut
akan dieksekusi atau dimusnahkan. Apabila proses eksekusi ini tidak mampu
dilakukan oleh tubuh, maka sel tersebut memiliki DNA cacat yang bersifat
permanen. Selanjutnya, sel yang memiliki DNA cacat tersebut akan mengalami
proliferasi dan diferensiasi, serta berkembang menjadi malignan, kondisi ini
dikenal dengan tahap promosi (Sudiana, 2008).

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.3. Cancer Stem Cell
Dikutip dari: Winslow, T., 2009. Cancer Stem Cell. U.S: National Institute of Health.

Available from:
http://www.teresewinslow.com/portshow.asp?portfolioid={FDA0DC98-2283450D-94C5-A4FA803493B5}. [Accesed 24 April 2015].
Jelas bahwa kanker berkembang sebagai hasil dari perubahan kepada
materi genetika dari sebuah sel yang menyebabkan kerusakan perilaku
dalam. Penelitian mengungkapkan, bahwa interaksi antara sel kanker dan
lingkungan mereka yang dikenal sebagai tumor microenvironment serta
interaksi dengan faktor-faktor sistemik, merupakan bagian penting dari
pengembangan kanker. Ini berarti bahwa kanker jauh lebih rumit daripada
sebuah massa terisolasi dari sel-sel kanker yang berproliferasi (AACR,
2014).

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.4. Mutasi genetik.
Dikutip dari: American Assoociation for Cancer Research. AACR Cancer Progress
Report 2014. Clin Cancer Res 2014;20(Supplement 1):SI-S112

Beberapa komponen lingkungan mikro tumor adalah bagian normal dari
jaringan di mana kanker berkembang. Selebihnya adalah faktor sistemik yang
mempengaruhi lingkungan mikro tumor secara perlahan karena mereka meresap
melalui itu. Namun komponen lainnya secara aktif merekrut atau terbentuk
sebagai hasil dari sinyal yang berasal dari sel-sel kanker sendiri. Baik komponen
pasif atau aktif yang merekrut, berbagai komponen mikro sering dimanfaatkan
oleh sel-sel kanker untuk memajukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mereka (AACR, 2014).
2.2.5. Stadium
Menurut

Diananda

(2009),

penentuan

stadium

kanker

biasanya

diklasifikasikan terlebih dahulu menurut sistem TNM, (Tumor, Node, Metastase)
sebagai berikut:
 Tumor: besar atau luas tumor asal (Tis = tumor belum menyebar ke ke
jaringan sekitar; T1-4 = ukuran tumor)

Universitas Sumatera Utara

15

 Node: penyebaran kanker ke kelenjar getah bening (N0 = tidak menyebar
ke kelenjar getah bening; N1-3 = derajat penyebaran)

 Metastase: ada atau tidak penyebaran ke organ jauh (M0 = tidak ada /
M1= ada).

Gambar 2.5. Stadium Metastasis
Dikutip dari: American Assoociation for Cancer Research. AACR Cancer Progress
Report 2014. Clin Cancer Res 2014;20(Supplement 1):SI-S112

Seiring waktu, tumor dapat membesar karena sel-sel lain menumpuk,
sampai beberapa sel memperoleh kemampuan untuk menyerang jaringan lokal
dan menyebar, atau bermetastasis, ke situs jauh. Munculnya metastasis kanker
adalah kejadian yang mengerikan yang menyumbang lebih dari 90 persen dari
kematian akibat kanker (AACR, 2014).
2.3. Trombosis Vena Dalam (DVT)
Deep Vein Thrombosis (DVT) dan Pulmonary Emboli (PE) adalah
manifestasi dari satu penyakit entitas, yaitu, Tromboemboli Vena (TEV). DVT
adalah adanya suatu keadaan darah yang mengental yang disebut sebagai trombus,
di salah satu saluran dalam vena yang berfungsi agar darah kembali ke jantung.
Pada penderita DVT, gejala utama yang terjadi adalah nyeri dan pembengkakan.
Namun gejala-gejala tersebut sering tidak muncul. Jika tidak diobati, trombus
akan terpecah-pecah atau lepas dan bermigrasi sehingga menghalangi pasokan

Universitas Sumatera Utara

16

arteri ke paru-paru, menyebabkan berpotensi Pulmonary Emboli yang mengancam
kehidupan (Patel, 2014).
2.3.1. Epidemiologi
DVT dan tromboemboli tetap menjadi morbiditas dan mortalitas yang
umum pada pasien rawat-inap atau terbaring di tempat tidur, serta individu yang
umumnya sehat. Insiden yang tepat dari DVT tidak diketahui karena kebanyakan
studi dibatasi oleh ketidaktepatan diagnosis klinis. Data insiden DVT
menunjukkan bahwa sekitar 80 kasus per 100.000 penduduk terjadi setiap tahun.
Kira-kira 1 dari 20 orang mengalami DVT dalam hidupnya. Rawat-inap sekitar
600.000 per tahun terjadi DVT di Amerika Serikat (Patel, 2014). Di Australia,
sekitar 30.000 orang di rawat inap akibat TEV dan menyebabkan sekitar 5000
pasien meninggal setiap tahunnya (Moheimani, 2011).
Insiden TEV rendah pada anak-anak. Insiden tahunan 0,07 sampai 0,14 per
10.000 anak dan 5.3 per 10.000 penerimaan rumah sakit telah dilaporkan dalam
studi Kaukasia. Insiden rendah ini mungkin disebabkan penurunan kemampuan
untuk menghasilkan trombin, kemampuan yang meningkat dari alfa-2makroglobulin

untuk

menghambat

trombin,

dan

meningkatkan

potensi

antithrombin dinding pembuluh (Keseima, 2011).
2.3.2. Patofisiologi
Menurut Bakta (2007) Lebih dari 100 tahun yang lalu Rudolph Virchow
pada tahun 1854 mengemukakan trias Virchow, yang prisipnya sampai sekarang
masih dianggap valid. Berdasarkan teori trias Virchow, trombosis timbul karena
tiga hal:
a. Kerusakan endotel pembuluh darah (vascular injury)
Cedera mungkin jelas, seperti trauma, pembedahan, atau cedera
iatrogenik, tetapi mereka juga mungkin mengaburkan, seperti orang-orang
karena asimptomatik atau trauma kecil. Riwayat DVT sebelumnya
merupakan faktor risiko besar untuk DVT lebih lanjut. Peningkatan kejadian
DVT pada infeksi akut saluran kemih atau pernapasan mungkin karena

Universitas Sumatera Utara

17

peradangan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi endotel (Patel,
2014).
Penurunan kontraktilitas dinding pembuluh darah vena dan hilangnya
fungsi katup vena berkontribusi terhadap insufisiensi vena yang kronis.
Peningkatan tekanan vena ambulatori menyebabkan berbagai gejala klinis
pada penderita DVT seperti edema ekstremitas bawah dan ulserasi vena
(Patel, 2014).
b. Statis aliran darah vena
Aliran darah vena yang statis dapat terjadi sebagai akibat dari sesuatu
yang memperlambat atau menghambat aliran darah vena. Hal ini
mengakibatkan peningkatan viskositas dan pembentukan microthrombi,
yang tidak dihapuskan oleh gerakan fluida. Trombus yang terbentuk
kemudian dapat tumbuh dan menyebar. Aliran darah yang statis ini dapat
muncul sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja dan juga dapat
dipicu

oleh

pembedahan.

Hiperkoagulasi

dapat

terjadi

karena

ketidakseimbangan biokimia antara faktor-faktor yang bersirkulasi. Hal ini
terjadi sebagai hasil dari peningkatan faktor aktivasi jaringan yang beredar
di sirkulasi sekaligus dengan penurunan antithrombin dan fibrinolisin (Patel,
2014).
c. Aktivasi koagulasi
Untuk sebagian besar, mekanisme koagulasi terdiri dari serangkaian
langkah-langkah yang mengatur diri sendiri yang menghasilkan produksi
fibrin untuk penggumpalan darah. Langkah-langkah ini dikendalikan oleh
sejumlah kofaktor relatif tidak aktif atau zymogens, yang ketika diaktifkan
akan mempromosikan atau mempercepat proses pembekuan. Reaksi ini
biasanya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit, sel-sel endotel atau
makrofag. Umumnya, inisiasi dari proses koagulasi dapat dibagi menjadi 2
jalur yang berbeda, yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik (Patel, 2014).
Setelah gumpalan fibrin telah terbentuk dan telah melakukan fungsi
hemostasis, fibrinolisin (plasmin) memulihkan aliran darah dengan cara

Universitas Sumatera Utara

18

melisiskan deposit fibrin. Plasmin akan mencerna fibrin dan juga
menginaktivasi faktor pembekuan V dan VIII dan fibrinogen (Patel, 2014).
Trombus paling sering terbentuk di betis. Biasanya terbentuk di belakang
katup vena atau pada cabang vena poin. Venodilasi akan mengganggu barier
sel endotel dan mengekspos subendothelium. Platelet melekat pada
permukaan subendothelial dengan faktor von Willebrand atau fibrinogen di
dinding pembuluh. Neutrofil dan platelet yang diaktivasi akan melepaskan
prokoagulant dan mediator inflamasi. Neutrofil juga melekat pada dasar
membran dan bermigrasi ke subendothelium. Kompleks ini membentuk
permukaan platelet dan meningkatkan jumlah trombin generasi dan
pembentukan fibrin. Leukosit yang dirangsang akan berikatan secara
ireversibel dengan reseptor endotel dan melakukan ekstravasasi menuju
dinding pembuluh darah vena dengan kemotaksis mural (Patel, 2014).
2.3.3. Tanda dan Gejala
Anamnesa
mendiagnosa

dan pemeriksaan klinis tidak dapat diandalkan untuk

DVT.

DVT

ekstremitas

bawah

dapat

asimtomatik

atau

menunjukkan gejala. Pasien dengan DVT ekstremitas bawah sering tidak
menunjukkan gejala eritema, nyeri, rasa hangat, pembengkakan atau kelembutan.
Pasien simptomatis dengan DVT proksimal mungkin menunjukkan gejala nyeri
ekstremitas bawah, rasa nyeri pada betis dan pembengkakan ekstremitas bawah
(Kesieme, 2011).
2.3.4. Faktor Risiko
Menurut CDC (2014) beberapa faktor yang dapat menjadi

faktor

risiko

terkena DVT , antara lain:
a. Cedera vena, sering disebabkan oleh:
 Patah tulang

 Cedera otot parah, atau

 Operasi besar (terutama melibatkan perut, panggul, pinggul, atau
kaki).

Universitas Sumatera Utara

19

b. Memperlambat aliran darah, sering disebabkan oleh:
 Tirah baring (misalnya karena kondisi medis atau paska operasi)
 Gerakan yang terbatas

 Duduk untuk waktu yang lama, terutama dengan menyilangkan kaki
 Kelumpuhan.

c. Meningkatnya estrogen, sering disebabkan oleh:
 Pil

 Terapi penggantian hormon, kadang-kadang digunakan setelah
menopause

 Kehamilan, hingga 6 minggu setelah melahirkan
d. Beberapa penyakit medis kronis, seperti:
 Penyakit jantung

 Penyakit paru-paru

 Kanker dan penatalaksanaannya

 Penyakit inflamasi usus (penyakit Crohn atau kolitis ulseratif)
e. Faktor lainnya:
 DVT sebelumnya atau PE

 Sejarah keluarga DVT atau PE

 Usia (umur meningkat risiko meningkat)
 Obesitas

 Kateter terletak di vena sentral

 Mewarisi gangguan pembekuan darah
2.4. DVT pada Kanker.
Trombosis Vena Dalam (DVT) pada kanker merupakan kondisi yang biasa
terjadi, walaupun insiden yang dilaporkan pada berbagai studi bervariasi luas,
tergantung kepada populasi pasien, dimulai dari durasi follow-up, dan metode
untuk mendeteksi dan melaporkan kejadian thrombosis (Timp, 2013).

Universitas Sumatera Utara

20

2.4.1. Epidemiologi
Pasien kanker mempunyai peningkatan risiko trombosis vena beberapa kali
lipat dibandingkan dengan populasi umum atau pasien tanpa kanker, dengan nilai
Risiko Relatif (RR) berkisar dari 4 sampai 7 (Timp, 2013). Kejadian trombosis
merupakan penyebab kematian kedua pada pasien kanker (setelah kanker itu
sendiri) (Khorana, 2012).
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap populasi Negara Bagian
Olmsted (Minnesota), neoplasma ganas menunjukaan peningkatan risiko empat
kali lipat. Sebuah penelitian meta-analisis terbaru oleh Horsted et al (2012) dalam
Timp (2013) mendeskripsikan insidens trombosis vena pada pasien kanker yang
dinilai berdasarkan tingkat latar belakang risiko pasien. Pada pasien kanker
dengan risiko sedang, insidens trombosis vena dalam diestimasi 13 dari 1000
orang per tahun. Sedangkan insidens vena trombosis pada pasein kanker dengan
risiko tinggi diestimasi 68 per 1000 orang pertahun (Timp, 2013). Di Indonesia,
kejadian VTE dan pelaporannya secara nasional belum ada (Irawan, 2009).
2.4.2. Faktor Risiko
Secara keseluruhan, kanker pankreas, otak, paru-paru, dan ovarium
dilaporkan mempunyai risiko yang paling tinggi. Pada literatur, risiko tinggi juga
dialami oleh kanker ginjal, lambung, tulang, limfoma, dan myeloma. Selain itu,
hubungan antara keganasan kanker dengan potensi terjadinya trombosis dapat
diperhatikan berdasarkan stadiumnya. Pada pasien kanker dengan stadium yang
lebih lanjut, terdapat risiko yang lebih besar dengan nilai RR 2,9, 2,9, 7,5, dan
17,1 diantara pasien dengan stadium I, II, III, dan IV secara berurutan (Timp,
2013).
Sebagai tambahan, selain jenis dan stadium kanker, penatalaksanaan
terhadap kanker juga mempunyai faktor risiko seperti pembedahan, kemoterapi,
terapi hormonal, obat-obat antiangiogenik, agen imunomudulator, transfusi darah,
dan kateter vena sentral. Pembedahan yang berisiko tinggi adalah pembedahan
saraf, ortopedi, dan pembuluh darah utama (Kyrle, 2005).

Universitas Sumatera Utara

21

2.4.3. Patofisiologi
Jalur biologi memiliki peran yang penting pada patofisiologi gangguan
hemostasis pada kanker. Sel kanker dapat mengaktifkan sistem hemostasis
melalui ekspresi protein prokoagulan, terpapar lipid prokoagulan, pelepasan
sitokinin, inflamasi dan mikropartikel, serta adhesi pada sel vaskular penjamu
(Kurniawan, 2013).
Menurut Suharti (2013) peran kunci mekanisme trombosis pada kanker
dimainkan oleh:
(i) Faktor jaringan,
Faktor jaringan terdiri atas glikoprotein transmembran, berperan sebagai
kunci inisiator koagulasi fisiologik, diekspresikan oleh berbagai jenis sel
kanker, termasuk kanker padat maupun sel blas leukemia, sel makrofag
yang berhubungan dengan kanker dan sel endotel. Pada pembuluh darah
normal faktor jaringan tidak diekspresikan, kecuali bila diinduksi oleh
sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL)-1 dan TNF (Tumor Necrosis
Factor)- atau oleh liposakarida bakteri (Suharti, 2013).

Gambar 2.6. Mekanisme aktifasi sistem hemostasis oleh sel tumor.
Dikutip dari: Falanga A. 2011. The Cancer-Thrombosis Connection. Available from:
http://www.hematology.org/Thehematologist/Mini-Review/1244.aspx. [Accesed 12 Mei
2015 ].

Universitas Sumatera Utara

22

Faktor jaringan yang dilepaskan oleh permukaan sel kanker dapat
menyebabkan terjadinya keadaan hiperkoagulasi lokal maupun sistemik.
Aktivitas faktor jaringan pada sel kanker dapat meningkatkan ekspresi
fosfolipid anionik pada bagian luar membrane sel dan sekresi heparanase.
Fungsi utama heparanase adalah untuk mencerna heparin sulfat matrik
ekstraseluler yang kemudian dapat menyebabkan invasi tumor dan
metastasis (Kurniawan, 2013).
Faktor jaringan dapat secara aktif dilepaskan oleh sel tumor dari
membran selnya dalam bentuk mikropartikel faktor jaringan. Mikropartikel
adalah vesikel membran plasma dengan ukuran diameter 0,1-1 m yang
dihasilkan oleh vesikulasi aktif oleh semua sel yang ada (Kurniawan, 2013).
(ii) Sitokin proinflamasi
Sel tumor juga melepas sitokin proinflamasi dan kemokin, seperti TNF , IL-1, dan VGEF, yang selanjutnya mempengaruhi leukosit dan sel

endotel untuk mengekspresikan faktor jaringan dan sejumlah molekul
adhesi lain yang mungkin sebagai predisposisi maupun memacu trombosis
vena.
Sel tumor juga dapat berinteraksi dengan sistem fibrinolitik penjamu,
melalui ekspresi aktivator plasminogen (uPA dan t-PA), inhibitornya (PAI-1
dan PAI-2), dan reseptornya seperti annexin II yang merupakan kofaktor
untuk plasminogen dan aktivator plasminogen jaringan. Ketika berkontak
dengan sel endotel, molekul ini mengekspresikan faktor jaringan, stimulasi
produksi PAI-1, down regulation trombomodulin, dan meningkatkan up
regulation molekul adhesi. Kemampuan sel tumor melekat pada endotel
vaskular menyebabkan aktivasi pembekuan darah lokal dan pembentukan
thrombus (Kurniawan, 2013).
(iii) Trombosit.
Sel tumor dapat mengakibatkan pengaktifan dan agregasi trombosit
melalui interaksi langsung antar sel atau melalui mediator larut, termasuk
ADP, thrombin dan protease lain. Di sisi lain, aktivasi koagulasi dan
perkembangan tumor amat terkait. Deposit fibrin dan trombosit di sekitar sel

Universitas Sumatera Utara

23

tumor padat memicu angiogenesis melalui faktor proangiogenik yang
berasal dari trombosit, dan dapat “menyembunyikan” pembuluh darah
imatur sehingga melindungi sel tumor dari sistem imun.
Sel tumor juga mengekspresikan prokoagulan kanker, suatu protease
sistein yang hanya diekspresikan oleh jaringan kanker. Prokoagulan kanker
langsung mengaktifkan faktor X dalam jalur bersama, tanpa tergantung pada
faktor VII. Pada periode awal diagnosis kanker kadar protease biasanya
tinggi, kemudian secara menurun secara perlahan. Kondisi ini dapat
menerangkan kecenderungan terjadinya tromboemboli pada 3 bulan pertama
setelah didiagnosis kanker.
2.4.4. Manifestasi klinis.
Sebuah penelitian retrospective yang dilakukan oleh Amer (2013) mulai dari
tahun 2005 sampai 2012 dengan 307 pasien kanker yang terkena VTE
menunjukkan manifestasi sebagai berikut:
a. Orang dengan usia lanjut lebih rentan untuk mengalami trombosis.
b. Mayoritas pasien adalah overweight. Obesitas bukan merupakan faktor

risiko utama untuk terjadi trombosis. Meskipun demikian, pasien yang
kehilangan berat badan dan BMI rendah kurang rentan mengalami DVT.
c. Dari 104 pasien dengan DVT, 59 (36,7%) mengalami trombosis vena di

tungkai bawah, 34 (32,7%) di tungkai atas, 6 (5,8%) di tungkai atas dan
tungkai bawah, 5 (4,8%) tidak dapat ditentukan.
d. Pada pasien dengan trombosis pada tungkai bawah, 35 (33,7%) mengalami

trombosis pada vena distal (peroneal atau poplitea), 18 (17,3%) memiliki
trombus yang memanjang sampai ke vena proksimal (vena femoral, vena
iliaka, vena kava inferior), dan enam (5,8) memiliki thrombosis pada vena
proksimal tanpa diikuti oleh vena distal (4 pada vena femoral; 2 pada vena
femoral ke vena iliaka).
2.5. Kriteria Wells
Sistem penilaian probabilitas klinis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan
yang pertama adalah untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan pemberian

Universitas Sumatera Utara

24

antikoagulan selama menunggu hasil tes diagnostik. Tujuan yang kedua adalah
menentukan pasien yang dapat dieliminasi berdasarkan hasil tes DD yang negatif.
Pada pasien yang dicurigai DVT, sistem penilaian Wells Score telah diterima
dengan luas (Bounameaux, 2010).
Segal (2007) melakukan ulasan terhadap 36 penelitian utama dan 22 ulasan
sistematis yang berhubungan dengan penggunaan tes probabilitas risiko
tromboemboli. Bukti-bukti mendukung kuat penggunaan Wells Score sebagai tes
probabilitas DVT atau Emboli Paru sebelum pasien melakukan pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut.
Table 2.2. Kriteria Wells.
Manifestasi klinis

Skor

Active cancer (treatment ongoing, within previous 6 months or palliative)
Paralysis, paresis, or recent plaster immobilization of the lower extremities

1
1

Recently bedridden >3 days or major surgery within 12 weeks requiring 1

1

general or regional anesthesia
Localized tenderness along the distribution of the deep venous system

1

Entire leg swollen

1

Calf swelling 3 cm larger than asymptomatic side (measured 10 cm below

1

tibial tuberosity)
Pitting edema confined to the symptomatic leg
Collateral superficial veins (nonvaricose)

1
1

Alternative diagnosis at least as likely as deep venous thrombosis

-2

Hasil Penafsiran Risiko Wells Score
Rendah