Kajian Hukum Pelaksanaan Lelang Terhadap Hak Tanggungan Dalam Kredit Macet : Studi Pada PT. Bank Sumut Medan

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lelang sebagai suatu kelembagaan telah dikenal saat pemerintahan Hindia Belanda
yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam Staatsblad 1908
Nomor 189 dan Vendu Instructie diumumkan dalam Staatsblad 1908 Nomor 190. Sejak
berlakunya Vendu Reglement tersebut, pelelangan sangat digemari oleh masyarakat
karena dalam pelelangan barang yang dijual lebih banyak dan bervariatif, sehingga
pembeli leluasa untuk memilih barang. Selain itu, kelebihan dari suatu sistem
pelelangan adalah bahwa pembeli lelang seringkali mendapatkan harga lebih murah dari
harga pasaran pada umumnya. Namun pada kenyataannya dewasa ini,

lelang di

Indonesia masih merupakan suatu kegiatan yang jarang dipergunakan secara sukarela
oleh masyarakat. Orang berpandangan negatif tentang lelang disebabkan mereka
mempunyai pemikiran bahwa lelang selalu berkaitan dengan eksekusi pengadilan,
walaupun dalam kenyataannya hal itu tidak dapat dipungkiri karena sebagian besar
lelang dilaksanakan sebagai tindak lanjut pelaksanaan putusan pengadilan terhadap
pihak yang kalah dalam berperkara.
Lelang sebagai suatu lembaga hukum mempunyai fungsi menciptakan nilai dari

suatu barang atau mencairkan suatu barang menjadi sejumlah uang dengan nilai
objektif. 4 Lembaga lelang pasti selalu ada dalam sistem hukum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan penjualan lelang,
sebagaimana diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk
memenuhi atau melaksanakan putusan peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan undang-undang dalam rangka penegakan keadilan (law enforcement).
4

Bphtp, bphtp-hukum, www.http://bphtb-hukum.blogspot.co.id/2011_11_01_archive.html,
diakses pada tanggal 4 November 2015, pukul 17.45 WIB

Ketiga untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha pada umumnya, produsen atau pemilik
benda pribadi dimungkinkan melakukan penjualan lelang. 5
Namun pada umumnya pengertian yang dipahami masih rancu. Sering
dikacaukan dengan lelang pengadaan barang atau jasa dalam rangka pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lelang tender yang sering dikenal
dengan lelang atas pemborongan yang dalam kaitan ini pembeli (Pemerintah)
berhadapan dengan penjual yang menawarkan barang/jasa. Sementara lelang yang
dimaksud Pasal 1 Vendu Reglement itu adalah suatu penjualan barang di muka umum
dengan cara penawaran secara lisan dan naik-naik untuk memperoleh harga yang

semakin meningkat atau dengan penawaran harga yang semakin menurun dan/atau
dengan penawaran harga secara tertutup dan tertulis yang didahului dengan usaha
mengumpulkan para calon peminat/pembeli lelang yang dipimpin oleh pejabat lelang. 6
Lelang atau penjualan di muka umum, memberikan beberapa manfaat atau kebaikan
dibandingkan dengan penjualan yang lainnya, yaitu, adil, cepat, aman mewujudkan
harga yang tinggi dan memberikan kepastian hukum.
Berkaitan dengan itu, lelang sangat erat kaitannya dengan praktik perkreditan,
terutama perkreditan yang dijalankan oleh pihak bank. Dalam usaha memenuhi
kebutuhan masyarakat dibutuhkan suatu pendananaan dari bank, yaitu salah satunya
dengan cara pengkreditan. Kegiatan kredit ini berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian dan berpengaruh besar dalam mensejahterakan kehidupan
masyarakat. Lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu
pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman

5

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Lelang, Departemen Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Biro Hukum-Sekretariat Jenderal, Jakarta, 18
Februari 2005, hal. 4.
6

Sutarjo, Pelelangan Dalam Rangka Eksekusi Oleh Pengadilan Negeri Dan PUPN, Serta
Aspek-Aspek Hukum Yang Timbul Dalam Praktek, Makalah Penyuluhan Lelang, Medan, 1995, hal. 22.

uang atau utang antara lain dalam bentuk kredit perbankan kepada nasabahnya. Kredit
perbankan merupakan salah satu usaha bank yang telah banyak dimanfaatkan oleh
anggota masyarakat yang memerlukan dana. 7
Pelaksanaan pemberian kredit perbankan biasanya dikaitkan dengan berbagai
persyaratan, antara lain mengenai jumlah maksimal kredit, jangka waktu kredit, tujuan
penggunaan kredit, suku bunga kredit, cara penarikan dana kredit, jadwal pelunasan
kredit dan jaminan kredit. 8 Jaminan kredit disini dapat berupa benda, baik benda
bergerak maupun benda yang tidak bergerak.
Setiap pemberian kredit harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat
dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu sebelum memberikan kredit,
bank harus melakukan penilaian yang seksama dalam berbagai aspek. Berdasarkan
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dinyatakan bahwa :
“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank
umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi
utangnya dan mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan”.

Pada prinsipnya bank baru memutuskan memberikan kredit, apabila bank telah
memperoleh keyakinan tentang nasabahnya. Keyakinan tersebut didasarkan atas hasil
analisis yang mendalam tentang itikad baik nasabah dan kemampuan serta kesanggupan
(creditworthinnes) untuk membayar utangnya pada bank.
Pemberian kredit dituangkan dalam suatu perjanjian kredit yang merupakan
suatu perjanjian yang bersifat obligatoir dimana selalu dilengkapi dengan jaminan
kebendaan, kedudukan bank sebagai kreditor akan lebih unggul dari kreditor konkuren
yang lain, karena pelunasan pinjaman yang telah dikucurkan, harus didahulukan dari
7

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarata, 2007, hal.2
8
Ibid. Hal 73

pembayaran lainnya.

9

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok, sedangkan


perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir (mengikuti) terhadap perjanjian
pokoknya.
Bank dalam memberikan kredit harus memperoleh suatu keyakinan mengenai
kemampuan dan kemauan (creditworthinnes) dari debitor untuk membayar kembali
kredit yang diberikan beserta bunganya. Untuk memperoleh keyakinan tersebut bank
harus melakukan analisa dan evaluasi atas permohonan kredit. Bagaimanapun baiknya
suatu analisa kredit, risiko kredit tetap tidak dapat dihilangkan. Bank dalam upaya
memperkecil risiko yang dihadapinya melalui mekanisme tertentu, yaitu dengan
melakukan pemberian kredit tersebut dengan hati-hati, maksudnya pemberian kredit
dilakukan apabila telah ada keyakinan bahwa si peminjam mempunyai kemampuan dan
kesanggupan untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh karena
itu untuk menunjang keyakinan bank dalam melepaskan kredit, maka bank pada
umumnya mensyaratkan debitor untuk memberikan jaminan, dimana pihak kreditor
meminta kepada debitor agar menyediakan jaminan berupa sebuah harta kekayaannya
untuk kepentingan pelunasan utang apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan
ternyata debitor tidak melunasinya. Tujuan jaminan adalah untuk melindungi kredit dari
risiko kerugian, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. 10
Suatu pelaksanaan lelang, khususnya dalam lelang eksekusi adalah tindak lanjut
dari pelaksanaan perjanjian kredit yang tidak ditepati oleh debitor berdasarkan

perjanjian kredit bank yang di Indonesia termasuk kelompok perjanjian baku atau
standard kontrak. Debitor secara terpaksa menerima syarat-syarat perjanjian

9

Herowati Poesoko, Hukum Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2013, hal. 3
10
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 123

yangtercantum didalamnya 11 yang seringkali juga sebagai alasan bahwa kepentingannya
terganggu yang pada akhirnya dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan untuk
membatalkan suatu lelang.
Dalam lelang eksekusi, kebanyakan barang dilelang tanpa kesukarelaan dari
pemilik barang dan seringkali banyak pihak yang berkepentingan terhadap barang
tersebut tidak menginginkan lelang, sehingga dalam praktek terdapat para pihak yang
merasakan kepentingannya terganggu dengan adanya pelaksanaan lelang. Pihak-pihak
yang merasa kepentingannya terganggu berkaitan dengan lelang atas suatu objek lelang,
biasanya akan mengajukan gugatan di pengadilan, untuk memperjuangkan haknya yang
terkait dengan objek yang dilelang 12 sehingga terdapat banyak perkara perdata berkaitan

dengan lelang.
Dalam pelaksanaan lelang sering terjadi hambatan yang dialami oleh kreditor
sebagai pemohon lelang maupun pembeli lelang, misalnya dalam lelang objek jaminan
kredit barang tidak bergerak (tanah beserta bangunan di atasnya) yang diikat dengan hak
tanggungan sering pembeli lelang mendapat hambatan dalam pengosongan objek lelang
tersebut karena adanya perlawanan dari debitor atau pihak ketiga. Dalam mengajukan
perlawanan/verzet ini debitor menggunakan berbagai alasan, seperti menyangkal bahwa
debitor telah melalaikan kewajibannya terhadap kreditor dan menyatakan bahwa
kreditor belum waktunya mengeksekusi jaminan/agunan tersebut. Kemudian juga dapat
terjadi debitor tidak mengakui jumlah hutang yang meliputi segala biaya yang telah
dikeluarkan kreditor terlebih dahulu bagi kepentingan pembebanan hak tanggungan.
Berbicara mengenai hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan adalah salah satu

11

Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai
Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Edisi Kedua,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001, hal. 70
12
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit CV. Mandar

Maju, Bandung, 2002, hal. 120.

cara yang dapat dijadikan alternatif pilihan jaminan terhadap pelaksanaan perkreditan.
Jaminan sendiri diatur di dalam Pasal 1131 KUH Perdata yakni
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”

Jaminan umum yang tercantum di dalam Pasal 1131 KUH Perdata, dalam ilmu
hukum jaminan dikenal pula jaminan yang bersifat khusus. Yang disebut dengan
jaminan kebendaan yang khusus ini adalah penentu/penunjukan atas benda tertentu
milik debitor atau milik pihak ketiga, yang dimaksudkan sebagai jaminan utangnya,
hasil dari penjualan objek jaminan tersebut harus terlebih dahulu (preferens) dibayar
kepada kreditor yang bersangkutan untuk melunasi pembayaran utangnya, sedangkan
jika ada sisanya, baru dibagi-bagikan kepada kreditor yang lain (kreditor konkuren). 13
Jaminan utang dapat berupa barang (benda) yang merupakan jaminan kebendaan
dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan.
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang
mempunyai ciri-ciri langsung atas benda tertentu dari debitor, dapat dipertahankan
terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan. 14 Sedangkan

jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada
perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap
harta kekayaan debitor pada umumnya.
Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya.
Sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang
satu dengan yang lain. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud

13

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal.137
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001, hal. 289
14

memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya) kepada kreditor,
terhadap benda keseluruhan dari debitor untuk memperoleh pemenuhan dari
piutangnya. 15
Dalam praktik jaminan kebendaan diadakan suatu pemisahan bagian dari
kekayaan seseorang (si pemberi jaminan), yaitu melepaskan sebagian kekuasaan atas
sebagian kekayaan tersebut dan semuanya itu diperuntukkan guna memenuhi kewajiban

si debitor jika diperlukan. Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Suatu benda yang tergolong dalam golongan benda yang tidak
bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya dan
yang ketiga karena memang ditentukan oleh undang-undang. Adapun benda yang tidak
bergerak karena sifatnya adalah tanah termasuk segala sesuatu yang langsung atau tidak
langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabung secara erat menjadi
satu dengan tanah itu. 16 Pada jaminan benda tidak bergerak, pengikatan jaminan adalah
dengan hipotik dan hak tanggungan.
Benda bergerak dibedakan atas benda bergerak berwujud dan benda bergerak
tidak berwujud. Benda yang termasuk golongan benda bergerak adalah karena sifatnya
atau ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda bergerak karena sifatnaya adalah
benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau
bangunan, misalnya barang-barang perabot rumah. Pengikatan jaminan bergerak
berwujud adalah dengan gadai dan fidusia, sedangkan pengikatan benda bergerak tidak
berwujud adalah dengan gadai, cessie dan account receivable. 17
Sedangkan jaminan perorangan dapat berupa borgtocht (personal guarantee),
jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan bank garansi (bank guarantee). Dalam

15


Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Liberty offset Yogyakarta, Yogyakatra, 2007, hal. 38
16
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 61
17
Ibid., hal. 62

borgtocht, pemberi jaminan adalah pihak ketiga secara perseorangan, sedangkan pada
corporate guarantee, pemberi jaminan adalah badan usaha yang berbadan hukum.
Garansi bank diberikan oleh bank guna menjamin pembayaran suatu jumlah tertentu
apabila pihak yang dijamin cidera janji. 18
Praktek perbankan, untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditor
kepada debitor diperlukan tambahan pengamanan berupa jaminan khusus. Dalam hal
tambahan pengamanan berupa jaminan khusus ini, debitor lebih sering menjaminkan
benda tidak bergerak berupa tanah yang diikat dengan hak tanggungan. Penggunaan
tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif maupun konsumtif, didasarkan
pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif
tinggi. Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan dianggap paling efektif dan aman
adalah tanah dengan jaminan hak tanggungan. Lembaga jaminan ini diberikan untuk
kepentingan kreditor guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang
bersifat accesoir dari perjanjian pokok (perjanjian kredit) oleh debitor kepada kreditor.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 pasal (1) angka 1 menyebutkan:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tantang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor terhadap kreditor-kreditor lain”. 19

Jaminan pemberian kredit bank pada hakikatnya berfungsi untuk menjamin
kepastian akan pelunasan utang debitor bila debitor cidera janji atau dinyatakan pailit. 20
Jaminan merupakan sumber terakhir bagi pelunasan kredit yang diberikan oleh kreditor

18

Rachmadi Usman, Op.Cit., hal 260
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah.
20
Djoni.S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.
270
19

(bank) kepada debitor (nasabah) bila ternyata debitor tidak mampu membayar kredit
yang ada. Hasil eksekusi tersebut diharapkan menjadi jaminan pelunasan untuk kredit
yang ada. Pemberian kredit pada perbankan masih mengandung risiko kegagalan atau
kemacetan dalam pelunasannya sehingga bank dalam praktek sering berhadapan dengan
kredit bermasalah (kredit macet) dan membuat kinerja perbankan tidak selalu berjalan
dengan lancar.
Kredit macet tidak hanya akan merugikan para pemilik saham bank, tetapi juga
akan merugikan para pemilik dana yang sebagian besar adalah anggota masyarakat dari
berbagai lapisan bahkan jika memungkinkan dapat merusak perekonomian negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengurangi kerugian, bank harus segera
menangani kredit bermasalah yang dihadapinya melalui prosedur dan tatacara
penyelesaian atau penyelamatan kredit bermasalah dengan cara menjual barang jaminan
debitor. 21
Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan yang efektif dan aman adalah tanah
dengan jaminan hak

tanggungan, yang didasari adanya kemudahan

dalam

mengidentifikasi obyek hak tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, di samping itu
utang yang dijamin dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan
lainnya dengan uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek hak tanggungan. 22
Selain itu juga sertifikat Hak Tanggungan mempunyai irah-irah eksekutorial.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) :
“Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”.

21
22

J. Andy Hartanto, Hukum Jaminan dan Kepailitan, LaksBang Justisia, Surabaya, 2015, hlm.7
Herowati Poesoko, Op. Cit., hal. 3

Irah-irah yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan dimaksudkan untuk
menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan sehingga
apabila debitor cidera janji, jaminan tersebut siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie. 23
Parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang
menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim, yang ditujukan atas suatu barang
jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut. Selain itu, yang terpenting
adalah Hak Tanggungan telah diatur dalam Undang-Undang, serta harga tanah yang
dijadikan obyek Hak Tanggungan terus meningkat.
Hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam suatu perjanjian kredit adalah
perlindungan hukum bagi kreditor apabila debitor wanprestasi, apalagi jika kreditor
mengalami kemacetan dalam membayar kredit. Jadi syarat obyek yang menjadi jaminan
kredit adalah benda yang memiliki nilai ekonomis dan dapat dialihkan. Persyaratan
tersebut guna melindungi kepentingan kreditor disaat debitor cidera janji, sehingga
jaminan tersebut menjadi pelunasan atas kredit debitor terhadap kreditor. Dengan
demikian

pemanfaatan lembaga eksekusi Hak Tanggungan

merupakan

cara

mempercepat pelunasan piutang agar dana yang telah dikeluarkan oleh kreditor kembali
dan dana tersebut dapat digunakan untuk menjalankan perputaran ekonomi kreditor.
Perlindungan terhadap kreditor perlu diperhatikan, namun dalam hal ini
perlindunga terhadap debitor juga harus diperhatikan. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa debitor dapat menghambat jalannya eksekusi apabila debitor
menolak bahwa ia telah melakukan kelalaian dengan menggunakan berbagai alasan,
seperti menyangkal bahwa debitor telah melalaikan kewajibannya terhadap kreditor dan
23

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014, hal. 188

menyatakan bahwa kreditor belum waktunya mengeksekusi jaminan/agunan tersebut.
Kemudian juga dapat terjadi debitor tidak mengakui jumlah hutang yang meliputi segala
biaya yang telah dikeluarkan kreditor terlebih dahulu bagi kepentingan pembebanan hak
tanggungan.
Tidak kalah penting dengan perlindungan terhadap kreditor dan debitor,
perlindungan terhadap pihak yang memenangkan lelang juga harus diperhatikan.
Perlindungan hukum bagi pemenang lelang eksekusi hak tangungan diberikan oleh
Vendu Reglement yang menjadi dasar hukum utama lelang di Indonesia, HIR, dan PMK
Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Perlindungan hukum secara preventif diberikan
oleh Vendu Reglement terhadap pemenang lelang eksekusi hak tanggungan.
Perlindungan hukum secara represif diberikan oleh HIR dalam hal pengosongan obyek
lelang, dimana pelaksanaan pengosongan obyek lelang dapat melalui bantuan Pengadilan
Negeri.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk dikaji hal-hal tersebut lebih dalam
dengan melakukan penelitian untuk penulisan skripsi dengan judul : “Kajian Hukum
Pelaksanaan Lelang Terhadap Hak Tanggungan dalam Kredit Macet : Studi pada PT.
Bank Sumut Medan”

B. PERMASALAHAN
Berkenaan dengan judul skripsi “Kajian Hukum Pelaksanaan Lelang Terhadap
Hak Tanggungan dalam Kredit Macet : Studi pada PT. Bank Sumut Medan”, ada
beberapa permasalahan yang timbul dan akan dibahas di dalam penelitian ini yakni :
1. Apa yang menjadi kriteria suatu kredit macet sehingga menyebabkan lelang

hak tanggungan pada PT. Bank Sumut Medan ?
2. Bagaimana Prosedur pelaksanaan lelang hak tanggungan oleh PT. Bank

Sumut Medan ?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemenang lelang pada PT. Bank

Sumut Medan ?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penyusunan dari skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami kriteria kredit macet pada PT. Bank Sumut
Medan yang dapat menyebabkan pelelangan terhadap hak tanggungan.
2. Untuk mengetahui dan memahami prosedur pelelangan hak tanggungan oleh PT.
Bank Sumut Medan sebagai upaya perlindungan hukum bagi kreditor.
3. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum bagi pemenang lelang
pada PT. Bank Sumut Medan.

D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoretis
a. Penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian ataupun bahan masukan
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata khususnya
hukum perbankan mengenai pelaksanaan pelelangan hak tanggungan dalam
keadaan kredit macet.
b. Selain itu, hasil penelitian ini akan memberikan informasi alternatif
mengenai prosedur dan konsep pelelangan di PT. Bank Sumut Medan.
2. Manfaat secara praktis
a. dengan penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada bank
agar dapat meningkatkan kinerja terhadap prosedur pelelangan hak
tanggungan dan meningkatkan kualitas perkreditan dalam menyelamatkan
kredit macet.
b. Selain itu, penulisan ini juga diharapkan dapat mengungkap hambatan dalam
proses pelelangan hak tanggungan dalam kredit macet di PT. Bank Sumut
Medan.

E. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan sarana pokok dalam perkembangan ilmu pengetahuan guna
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 24 Selain itu,
penelitian merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan
teliti terhadap suatu obyek. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan
yang dapat menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan atau dapat memecahkan suatu
24

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 1

permasalahan. Pada dasarnya sesuatu yang dicarai itu tidak lain adalah pengetahuan
atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini
nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. 25
Sementara itu, penelitian hukum atau rechtsonderzoek dalam bahasa Belanda atau
legal research dalam bahasa Inggris merupakan suatu kegitan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. 26
Oleh sebab itu untuk memperoleh data-data, dalam penulisan skripsi ini penulis
menggunkan metode sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis
normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 27 Penelitian ini juga menggunakan
metode empiris, yaitu penelitian yang menitikberatkan dengan prilaku individu dalam
kaitannya dengan hukum. 28 Secara umum, masalah yang dikaji dengan metode ini
merupakan masalah yang terkait akan efektivitas aturan hukum.
Penelitian dalam skipsi ini bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif
merupakan suatu penelitian yang menggambarkan dan menjelaskan peraturan hukum. 29
Melalui penggunaan sifat deskriptif ini maka peraturan hukum dalam penelitian dapat
dengan tepat digambarkan sesuai tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini juga dilakukan
dengan survei ke lapangan untuk mendapatkan informasi dari PT. Bank Sumut Medan.
2. Sumber Data
a. Data Primer
25

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali pers, Jakarta, 2013, hal. 27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2006, hal. 3
27
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal 14.
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, hal. 87
29
Ibid, hal. 96

26

Data Primer adalah data-data yang diperoleh langsung dari responden tanpa
adanya perantara, contoh dari data primer adalah hasil wawancara antara penulis
dengan pihak Bank Sumut Medan yang bersangkutan guna mendapatkan data
konkrit dan pasti dari pihak yang berkompeten untuk itu.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian yang diteliti dan
dikumpulkan oleh penulis berkaitan dengan permasalahan yang diangkat
penulis. Data sekunder terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan

hukum primer

perundang-undangan

adalah ketentuan-ketentuan

yang

mempunyai

ketentuan

dalam peraturan
hukum

mengikat.

Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan dalam penyusunan
skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebgaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Selain itu Undang-Undang yang juga dipergunakan adalah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan Tanah.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan-bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memenuhi bahan-bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah
bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana
dan hasil-hasil penelitian yang dapat dan berfungsi untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut atas bahan hukum primer. 30

30

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 13

3) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum tertier ini dapat diperoleh dari kamus hukum, internet dan
ensiklopedia. 31
3. Alat Pengumpulan Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai bahan dasar penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan studi dokumen (documents study) sebagai alat
pengumpul data. Studi dokumen tersebut merupakan penelitian terhadap bahan hukum
primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum perbankan
dan hak tanggungan, khususnya tentang proses pelelangan yang ditimbulkan oleh kredit
macet.
Selain studi dokumen, juga digunakan studi lapangan (field research) melalui alat
wawancara sebagai alat pengumpul data guna mendapat data primer sehingga mampu
untuk mendukung dan menguatkan bahan hukum primer yang telah dipedomani
sebelumnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada tahap awal dilakukan melalui inventarisasi terhdap seluruh
data sekunder atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan dalam penelitian
ini. Kemudian dilakukan pengkategorian kualifikasi terhadap keseluruhan data tersebut
berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data sekunder yang terorganisir dan terurut menjadi pola, kategori dan
satuan dasar yang sistematis, selanjutnya data tersebut sedemikian rupa dianalisis secara

31

Ibid.

kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
Kemudian diolah dengan menggunakan logika deduktif untuk menemukan penyelesaian
permasalahan secara normatif.
Langkah selanjutnya, yaitu membandingkan data sekunder terhadap data primer
yang telah dikulifikasikan sedemikian rupa dan kembali dianalisis secara kualitatif
dengan menggunakan logika deduktif untuk menyelesaikn permasalahan yang diangkat.
Pembandingan ini dilakukan guna mendukung jawaban sebagai penyelesain
permasalahan yang bersesuaian antara penyelesaian secara normatif maupun secara
ril/faktual. Dengan demikian, kegiatan analisis ini akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini baik secara normatif maupun faktual di lapangan.

F. KEASLIAN PENULISAN
Karya tulis yang berjudul “KAJIAN HUKUM PELAKSANAAN LELANG
TERHADAP HAK TANGGUNGAN DALAM KREDIT MACET : STUDI PADA PT.
BANK SUMUT MEDAN” adalah asli pemikiran ataupun usaha dari penulis tanpa
adanya penipuan maupun penjiplakan atau lainnya yang dapat merugikan pihak-pihak
tertentu. Untuk itu saya bertanggung jawab atas penulisan skripsi ini.
Namun demikian, terdapat beberapa judul penelitian yang sudah diteliti oleh
Mahasiswa terdahulu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memiliki
kemiripan dengan judul skripsi yang saya tulis, yaitu :
1. Muhammad Rasyid Lubis (010200052) “PROSES PENYELESAIAN KREDIT
MACET PADA SENTRA KREDIT KECIL MEDAN (STUDI KASUS BANK BNI
KESAWAN JL. AHMAD YANI NO. 72 MEDAN)”
Dengan permasalahan :

a. Bagaimana syarat dan prosedur pemberian kredit usaha rakyat (KUR) pada Bank
Rakyat Indonesia kantor cabang pembantu krakatau Medan?
b. Apakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet pada kredit usaha rakyat
Bank Rakyat Indonesia kantor cabang pembantu krakatau Medan?
c. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam penyelesaian kredit macet pada
kredit usaha rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia kantor cabang pembantu
krakatau Medan ?
2. Flaming Vretig Samuel Blessery Siahaan (080200246) “PENJUALAN AGUNAN
SECARA LELANG PEMBERI HK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN
PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI PADA PUTUSAN NOMOR :
348/PDT.G/2009/PN.TNG)”
Dengan permasalahan :
a. Bagaimana proses peralihan hak atas suatu objek agunan kepada pembeli lelang?
b. Apakah penjualan lelang tanpa diketahui pemilik objek agunan dapat
dikategorikan perbuatan melawan hukum ?
c. Apakah proses penjualan objek agunan melalui lelang tanpa persetujuan pemberi
hak tanggungan dapat diajukan sebagai perbuatan melawan hukum ?

3. Jefri

Lumbantobing

PENYELESAIAN

(080200078)

KREDIT

“TINJAUAN

MACET

DALAM

YURIDIS

TERHADAP

PERJANJIAN

KREDIT

PERBANKAN DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI PADA PT. BANK RAKYAT INDONESIA
(PERSERO), TBK CABANG LUBUK PAKAM)”
Dengan permasalahan :
a. Bagaimana kedudukan SK PNS sebagai jaminan perjanjan kredit perbankan?

b. Bagaimana prosedur pengikatan SK PNS sebagai jaminan kredit bank ?
c. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya kredit macet dengan jaminan
SK PNS?
d. Bagaimana prosedur dalam penyelesaian kredit macet pada perjanjian kredit
bank dengan jaminan SK PNS ?
4. Miftahul

Rahmah

(110200029)

“ASPEK

HUKUM

PELAKSANAAN

PELELANGAN BARANG TIDAK BERGERAK TERHADAP JAMINAN
KREDIT (STUDI PADA PT. BANK CENTRAL ASIA, TBK CABANG
LHOKSEMAWE)”.
Dengan permasalahan :
a. Apasajakah faktor-faktor penyebab terjadinya pelelangan barang jaminan dan
kredit macet pada PT. Bank Central Asia, Tbk Cabang Lhokseumawe?
b. Apakah eksekusi merupakan sarana perlindungan hukum bagi kreditor?
c. Bagaimana hambatan dari pelaksanaan pelelangan barang jaminan dan upaya
mengatasinya pada PT. Bank Central Asia, Tbk Cabang Lhokseumawe?

G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini sangat diperlukan sistematika penulisan. Sistematika
penulisan berguna untuk menguraikan dan menghubungkan isi dari bab-bab dalam
skripsi ini. Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri
dari sub bab yang saling berkaitan satu sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan subsub bab tersebut akan dirinci sebagai berikut:
BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal
dari penulisan skripsi dan didalamnya menguraikan kerangka dasar

skripsi yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu: Latar Belakang,
permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian,
Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II

: TINJAUAN UMUM TENTANG LELANG DAN HAK
TANGGUNGAN
Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yang memaparkan tentang pengertian
dasar lelang, fungsi lelang, pihak-pihak yang terlibat dalam lelang dan
juga penyelesaian dalam pelelangan. Dalam sub bab hak tanggungan
akan dibahas pengertian hak tanggungan dan dasar hukumnya, objek hak
tanggungan, ciri-ciri hak tanggungan dan cara pemberian hak
tanggungan.

BAB III

: KAJIAN TENTANG KREDIT MACET
Bab ini akan memberikan gambaran umum tentang perjanjian khususnya
perjanjian kredit secara teoretis. Pada bab ini juga dibahas tentang
pengertian dan dasar hukum kredit, jenis-jenis kredit, subjek dan objek
dalam perjanjian kredit dan sedikit akan disinggung tentang tata cara
prosedur permohonan kredit.

BAB IV

: KAJIAN HUKUM PELAKSANAAN LELANG TERHADAP HAK
TANGGUNGAN DALAM KREDIT MACET : STUDI PADA PT.
BANK SUMUT MEDAN
Bab ini merupakan perumusan masalah dan merupakan pokok
penulisan yang terdiri dari 3 (tiga) sub bab yang akan menjawab
permasalahan yang telah dipaparkan diantaranya kriteria kredit macet
penyebab terjadinya lelang hak tanggungan pada PT. Bank Sumut
Medan, prosedur pelaksanaan lelang hak tanggungan oleh PT. Bank
Sumut Medan, perlindungan hukum bagi pemenang lelang pada PT.
Bank Sumut Medan.

BAB V

: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini terdiri dari kesimpulan yang merupakan inti dari pembahasan
bab-bab sebelumnya dan saran yang merupakan hasil pikiran penulis
sebagai usaha memberikan kemungkinan adanya manfaat di masa yang
akan datang.