Kajian Hukum Pelaksanaan Lelang Terhadap Hak Tanggungan Dalam Kredit Macet : Studi Pada PT. Bank Sumut Medan

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LELANG DAN HAK TANGGUNGAN

A. Tinjauan Umum Lelang
1. Pengertian Lelang
Dalam sejarah perlelangan di Belanda, lelang dahulu sekali dilakukan dengan
menggunakan lilin dengan panjang tertentu, jam pasir atau jam dinding 32 . Dahulu
penawaran terhadap barang yang akan dilelang akan dimulai sejak lilin dihidupkan dan
terus berlanjut dengan harga yang terus-menerus naik hingga lilin tersebut habis.
Mereka yang menawar dengan harga tertinggi disaat lilin habis, maka si penawar
tertinggi itulah yang berhak atas barang lelang tersebut. Lelang semacam inilah yang
kemudian dianggap sebagai lelang yang paling kuno, yakni lelang Belanda (Dutch
Auction). Sistem ini menghasilkan harga yang lebih baik bagi penjual berdasar
keputusan yang bergantung pada keadaan pasar.
Lelang kuno lainnya adalah lelang Inggris (English Auction). Dalam sistem
pelelangan ini, petugas lelang akan membuka dimulai dengan harga terendah yang
kemudian ditawar naik-naik ke harga tertinggi, dimana para peserta lelang
menggunakan kartu yang telah ditandai sebagai lambang penawaran yang mereka
berikan kepada barang lelang tersebut.
Herodotus menulis bahwa lelang sudah ada sejak 500 SM di Babylon, ketika
diadakan penjualan wanita dengan usia siap kawin yang diadakan sekali setahun.

Selanjutnya di Roma ditemukan lelang yang menyerupai cara lelang yang terkenal pada
saat ini 33. Lelang tersebut dilakukan dengan dengan diumumkan terlebih dahulu kepada
publik. Penjualan di atrium pelelangan (gedung lelang) menawarkan bidang-bidang

32

Balai Lelang Harmoni, Sejarah Lelang Dunia, http://www.balailelang.co.id/index.php/sejarahlelang/sejarah-lelang-di-dunia, diakses pada tanggal 9 November 2015 pukul 21.32 WIB
33
Ibid.,

tanah untuk dijual dan mengisyaratkan harga yang dipesan. Akhirnya sebidang tanah itu
akan dijual kepada penawar yang berhasil. Lelang dilakukan dengan sistem penawaran
dengan harga tinggi, sebagaimana kata “lelang” dikaitkan dengan kata latin “augere”
dan “auctum”, yang berarti “naik/tinggi”.
Penjualan lelang di Roma meliputi empat bagian 34 :
a. The dominus, atau orang-orang yang berkepentingan atas properti yang dijual;
b. The argentarius, yaitu orang yang mengatur penjualan dan dalam beberapa kasus
orang tersebut membiayainya;
c. The Praceo, yaitu orang yang bertugas mengiklankan penjualan dan melelang
bidang-bidang tanah;

d. The empetor, yaitu pembeli yang penawarannya berhasil;
Di Inggris ditemukan pula catatan lelang oleh seorang pejabat lelang bernama
Chattle. Beliau menemukan penjualan gambar (lukisan) dan alat-alat perabot yang
dilakukan oleh pengusahan di restoran (coffee house), rumah umum sebagaimana
terungkap dari sebuah katalog bulan Februari 1689/90 yang berkenaan dengan
penjualan lukisan melalui lelang di “Barbados Coffee House”. Terungkap dalam
katalog tersebut adanya syarat-syarat penjualan “Condition of Sale”, yaitu bahwa tidak
ada orang-orang yang diakui penawarannya atas lukisan mereka sendiri dan sampai
sekarang prinsip ini masih berlaku dalam lelang pada sistem Common Law, bahwa
penawaran dari penjual barang atau pemilik barang adalah tidak sah. 35 Maka dari
pemaparan sekilas mengenai sejarah lelang di atas, maka dapat kita ketahui secara kasat
mata mengenai pengertian lelang.
Vendu Reglement (Stbl. Tahun 1908 Nomor 189 diubah dengan Stbl. 1940
Nomor 56) yang masih berlaku saat ini sebagai dasar hukum lelang, menyebutkan :
34

Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak
Bergerak Melalui Lelang, Mandar Maju, Bandung, 2013, hal. 44
35
Ibid, hal. 45


“openbare verkoopingen verstaan veilingen en verkoopingen van zaken, welke
in het openbaar bij opbod, afslag of inschrijving worden gehouden, of waarbij
aan daartoe genoodigden of tevoren met de veiling of verkooping in kennis
gestelde, dan wel tot die veilingen of verkoopingen toegelaten personen
gelegenheid wordt gegeven om te bieden, temijnen of in te schrijven.” 36
Terjemahan

dalam

himpunan

Peraturan

Perundang-undangan

Republik

Indonesia menyebutkan :
“ Penjualan umum adalah pelelangan atau penjualan benda-benda yang

dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang mengikat atau menurun
atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang
yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan
itu, atau diizinkan untuk ikut serta, dan diberi kesempatan untuk menawar harga,
menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul
tertutup” 37
Pengertian openbare verkopingen adalah pelelangan dan penjualan benda yang
dijual dimuka umum. Namun demikian penjualan barang Dengan demikian, pada
dasarnya peraturan ini melihat bahwa lelang juga berlaku baik pada penjualan barangbarang maupun pada lelang pembangunan proyek-proyek tertentu. Sehingga dapat
disimpulkan menurut Vendu Reglement, lelang juga termasuk pemborongan pekerjaan
(tender) 38.
Peraturan teknis yang utama mengenai lelang yang saat ini berlaku adalah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang, disebutkan: Lelang adalah penjualan barang yang terbuka
untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin

36


PERATURAN LELANG PERATURAN PENJUALAN DI MUKA UMUM DI INDONESIA
(Ordonansi 28 Pebruari 1908, S. 1908-189, berlaku sejak 1 April 1908) (Dg. S. 1940-56 jo. S. 1941-3,
pasal 1 Peraturan ini telah diganti dengan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b)
37
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, 1992, hal. 931
38
Purnama Tioria Sianturi, Op. Cit., hal. 52

meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan
pengumuman lelang.
Berdasarkan pengertian tersebut, kantor lelang membatasi pengertian lelang
hanya pada penjualan di muka umum saja tidak termasuk lelang tender atau lelang
pemborongan pekerjaan. Terdapat kerancuan pengertian antara lelang dalam arti
penjualan barang dan lelang dalam rangka pengadaan barang. Lelang dalam arti
pembelian, khususnya dalam rangka pengadaan barang dan jasa dalam kaitan APBN
dikenal juga dengan istilah “lelang tender” diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2004. Lelang dalam arti penjualan dikenal dengan istilah “lelang” dengan
pengertian sebagimana diatur Vendu Reglement Pasal 1.

Pengertian lelang menurut Polderman (yang dikutip oleh Rochmat Soemitro)
dalam bukunya “Het Openbare aanbod” menyebutkan :
“Penjualan umum adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persetujuan
yang paling menguntungkan untuk si penjual dengan cara menghimpun para
peminat”. 39
Polderman juga mengatakan bahwa syarat utama lelang adalah menghimpun
para peminat untuk mengadakan perjanjian jual beli yang paling menguntungkan si
penjual. Dengan demikian syaratnya ada tiga, yaitu :
1. Penjualan umum harus selengkap mungkin.
2. Ada kehendak untuk mengikatkan diri.
3. Bahwa pihak lainnya yang akan mengadakan perjanjian tidak dapat ditunjuk
sebelumnya.
Rochmat Soemitro selanjutnya mengutip pendapat Roell yang mengatakan
bahwa penjualan umum adalah suatu rangkaian kejadian yang terjadi antara saat mana
39

Rochmat Soemitro, Peraturan dan Instruksi Lelang, Eresco, Bandung, 1987, hal.106

seseorang hendak menjual sesuatu atau lebih dari satu barang, baik secara pribadi
maupun dengan perantaraan kuasanya, memberikan kesempatan kepada orang-orang

yang hadir melakukan penawaran untuk membeli barang-barang yang ditawarkan
sampai kepada saat dimana kesempatan lenyap. 40 Titik berat definisi yang diberikan
oleh Roell ini adalah pada kesempatan penawaran barang.
Menurut Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Lelang Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara Biro Hukum Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan,
Lelang adalah :
“Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran
secara kompetisi yang didahului dengan pengumuman lelang dan upaya
mengumpulkan peminat”. 41
Dari definisi di atas, maka dapat dikemukakan beberapa unsur lelang menurut
Rancangan Undang-Undang ini, yakni :
a. Cara penjualan barang;
b. Terbuka untuk umum;
c. Penawaran dilakukan secara kompetisi;
d. Pengumuman lelang dan atau adanya upaya mengumpulkan peminat;
e. Cara penjualan barang yang memenuhi unsur-unsur tersebut di atas harus
dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat lelang;
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa lelang adalah
penjualan barang di muka umum yang didahului dengan upaya pengumpulan peminat
melalui pengumuman yang dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat lelang dengan


40

Ibid, hal. 107
Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Lelang Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara Biro Hukum Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan, “Reformasi Undang-Undang Lelang di
Indonesia”, disampaikan pada sosialisasi RUU Lelang, Medan, 9 Desember 2004, hal. 15
41

pencapaian harga yang optimal melalui cara penawaran lisan naik-naik atau turun-turun
dan atau tertulis. Pengertian lelang harus memenuhi unsur-unsur berikut :
1) Penjualan barang di muka umum;
2) Didahului dengan upaya pengumpulan peminat melalui pengumuman;
3) Dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat lelang;
4) Harga terbentuk dengan cara penwaran lisan naik-naik atau turun-turun dan atau
tertulis;
Henry Campbell Black mengatakan bahwa lelang adalah :
“Auction is a public sale of property to the highest bidder by one licensed and
authorized for the purpose. The auctioneer is employed by the seller and is
primarily his agent of the buyer to the extent of binding the parties by his

memorandum of sale, this satisfying the statute of fracids.” 42
Pengertian di atas menyebutkan bahwa lelang adalah penjualan dimuka umum
atas suatu properti kepada penawar tertinggi oleh seorang yang mempunyai lisensi atau
kewenangan untuk itu. Pejabat lelang diperintahkan oleh penjual dan berfungsi sebagai
agen jika properti tadi sudah laku, dia juga agen si pembeli dalam pengertian yang
mengikat kedua belah pihak yang diatur dalam perjanjiannya. Pengertian tersebut di atas
menekankan pejabat lelang berfungsi sebagai agen penjual sekaligus menjadi agen
pembeli setelah penujukan pembeli lelang.
Dzislaw Brodecki menyatakan lelang sebagai bentuk kontrak, yang hanya sah
jika diumumkan dengan memberikan secara detil mengenai waktu, tempat, para pihak
dan persyaratan dari lelang dan suatu penawaran yang dibuat mengikat ketika seorang
penawar penawaran tertinggi.

42

Henry Campbell Black, Black’s Laws Dictionary with Pronunciations, Six Edition, West
Publising Co, 1990, hal. 130

Fridman, juga menyatakan lelang sebagai perjanjian keagenan, dengan
memasukkan pejabat lelang sebagai agen, yang menjual dalam lelang umum, dengan

penjualan yang terbuka atas barang atau properti, baik pejabat lelang diberi hak
menguasai atas barang atau tidak. Pejabat lelang sebagai agen dari para pihak dapat
menuntut pelunasan harga barang dan menyerahkan barang tersebut.
Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, berarti lelang sangat
erat kaitannya dengan penjualan barang. Penjualan lelang tidak secara khusus diatur
dalam KUHPerdata tetapi termasuk perjanjian bernama di luar KUHPerdata. Penjualan
lelang dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata mengenai jual beli yang diatur
dalam KUHPerdata Buku III tentang Perikatan. Pasal 1319 KUHPerdata berbunyi,
semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum. Pasal 1319 membedakan
perjanjian atas perjanjian bernama (nominaat) dan perjanjian tidak bernama
(innominaat). Pasal 1457 KUH Perdata, merumuskan jual beli adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Perjanjian jual beli adalah suatu
perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak
penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak
menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak
menerima objek tersebut.
Lelang mengandung unsur-unsur yang tercantum dalam definisi jual beli adanya
subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara penjual dan

pembeli tentang barang dan harga; adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak
penjual dan pembeli. Esensi dari lelang dan jual beli adalah penyerahan barang dan
pembayaran harga. Penjualan lelang memiliki identitas dan karakteristik sendiri, dengan

adanya pengaturan khusus dalam Vendu Reglement, namun dasar penjualan lelang
sebagian masih mengacu pada ketentuan KUHPerdata mengenai jual beli, sehingga
penjualan lelang tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat
dalam hukum perdata, seperti ditegaskan dalam Pasal 1319.
Lelang adalah cara penjualan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan
yang bersifat khusus yaitu Vendu Reglement Stb. 1908. Peraturan peninggalan Belanda
tersebut sampai saat ini masih berlaku secara nasional dengan berbagai penyesuaian
seperlunya dan dilaksanakan dengan Vendu Instructie Stb 1908 dan Peraturan
Pemerintah tentang pemungutan bea lelang Stb. 1949 Nomor 390. Karena itu menurut
Sutarjo lelang adalah suatu cara penjualan barang yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus (lex specialist) 43.
Selanjutnya, lelang sebagai perjanjian, terjadi pada saat pejabat lelang untuk
kepentingan penjual menunjuk penawar yang tertinggi dan mencapai harga limit sebagai
pembeli lelang. 44 Hal tersebut sebagai tahap perjanjian obligatoir yang menimbulkan
hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli lelang, sehingga tahap perjanjian
obligatoir dalam penjualan lelang yaitu sejak pejabat lelang untuk kepentingan penjual
menunjuk penawar yang tertinggi dan mencapai harga limit sebagai pembeli lelang.
Dalam lelang, keempat unsur dalam perjanjian jual beli terpenuhi, ada penjual
lelang, ada pembeli lelang, ada barang yang menjadi objek lelang, dan ada harga yang
terbentuk dalam penawaran terakhir yang ditunjuk pejabat lelang. Lelang adalah sebagai
suatu perjanjian jual beli, maka ketentuan jual beli sebagaimana diatur oleh
KUHPerdata juga berlaku dalam lelang. Lelang tunduk pada ketentuan umum dari

43

S. Mantayborbir dan Iman Jauhari, Hukum Lelang di Negara Indonesia, Pustaka Bangsa Press,
Jakarta, 2003, hal. 9-10
44
Purnama T Sianturi, .Tanggung Jawab Kantor Lelang Negara, Penjual, Pembeli dan Balai
Lelang Dalam Penjualan Aset Bada Penyehatan Perbankan Nasional (Studi Kasus di Kantor Lelang
Negara Medan Kurun Waktu 1999-2000)., Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2002, hal. 102.

KUHPerdata Buku III Bab I dan II, sehingga atas suatu pelaksanaan lelang berlaku asasasas perjanjian yang diatur oleh KUHPerdata. Dalam Pasal 1339 KUHPerdata
disebutkan :
“Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.”
2. Dasar Hukum Lelang dan Pejabat yang Berhak Melakukan Lelang
a. Dasar Hukum Lelang
Keberadaan lembaga lelang sebagai bentuk khusus dari penjualan benda telah
diakui dalam banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, 45 terdapat dalam
berbagai peraturan umum dan peraturan khusus. Peraturan umum yaitu peraturan
perundang-undangan yang tidak secara khusus mengatur lelang tetapi ada pasal-pasal di
dalamnya yang mengatur tentang lelang, yaitu:
1) KUHPerdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Stbl. 1847/23 antara lain:
Pasal 389, 395, 1139 (1), 1149 (1).
2) RGB (Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura) Stbl.
1927/227 Pasal 206-228.
3) RIB/HIR (Reglement Indonesia yang Diperbaharui) Stbl. 1941/44 Pasal 195-208.
4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
5) Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
Pasal 10 dan 13.
6) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan atau Pemindah
tanganan Barang-barang yang Dimiliki/Dikuasai Negara
45

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Lelang, Departemen Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Piutang dan lelang Negara, Biro Hukum-Sekretariat Jenderal, Jakarta, 18
Februari 2005, hal 9.

7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Pasal 45 dan 273.
8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 6, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
9) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 41.
10) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1986 tentang Hak Tanggungan, Pasal 6.
11) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Fiducia, Pasal 29 ayat (3).
12) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
13) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
14) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 48.
15) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Peraturan khusus yaitu peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang lelang, yaitu:
(a) Vendu Reglement (Peraturan Lelang) Staatsdlad 1908 No. 198 sebagaiman telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Staablaad 1941:3. Vendu Reglement mulai
berlaku pada tanggal 1 April 1908, merupakan peraturan yang mengatur
prinsipprinsip pokok tentang Lelang. Bentuk peraturan ini reglemen bukan
ordonansi yang dapat dianggap sederajat dengan undang-undang, karena pada saat
pembuatannya belum dibentuk volksraad.
(b) Vendu Instructie (Instruksi Lelang) Staatsblaab 1908 190 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblaab 1930:85. Vendu Instructie
merupakan ketentuan-ketentuan yang melaksanakan vendu reglement.
(c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Buka Pajak
(Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3687).

(d) Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen
Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 37 tahun 2004.
(e) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 tahun 2006 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Instansi Vertikal dilingkungan Departemen Keuangan.
(f) Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan
(g) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun
2005.
(h) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK. 01/2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan
KP2LN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
425/KMK.01/2002;
(i) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.01/2002 tentang Pelimpahan
Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk
dan atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan/atau Keputusan
Menteri Keuangan sebagimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.06/2003.
(j) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.06 /2004 tentang organisasi dan
Tata Kerja Departeman Keuangan sebagaimana telah diubah Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 426/KMK.01/2004.

(k) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tanggal 30 Nopember 2005
tentang Balai Lelang.
(l) Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.07/2005 tanggal 30 Nopember 2005
tentang Pejabat Lelang Kelas II.
(m) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.07/2006 tanggal 30 Mei 2006 tentang
Pejabat Lelang Kelas I.
(n) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

40/PMK.07/2006

tentang

Petunjuk

Pelaksanaan Lelang.
(o) Peraturan teknis yang utama mengenai pelaksanaan lelang adalah Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
(p) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013
Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
b. Pejabat yang Berwenang Melelang
Pada dasarnya pejabat yang dapat melakukan lelang ialah pejabat yang diberi
mandat oleh undang – undang untuk melakukan lelang, karena tidak semua pejabat
dapat melakukan pelelangan sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan. Dalam
hal ini apabila dilihat dari Pasal 200 ayat (1) HIR dan Pasal 215 RBG harus
dihubungkan dengan pasal 1a peraturan lelang.berdasar Pasal 1 huruf (a) peraturan
lelang, Penjualan umum ( penjualan lelang ) hanya boleh dilakukan “ juru lelang”.
Penjualan lelang yang dilakukan seorang yang bukan juru lelang :
a. dihukum dengan hukuman denda paling banyak Rp10.000; dan

b. tindakan itu dianggap tindak pidana pelanggaran. 46
Dari Pasal 200 HIR dan Pasal 215 RBG maka dapat dilihat bahwa hanya juru
lelanglah yang dapat melakukan lelang, dalam hal ini juru lelang terdapatdi kantor
lelang. Jadi segala barang sitaan atau atau dalam kasus perdata apapun apabila akan
melakukan pelelangan maka wajib meminta bantuan kantor lelang yang akan menunjuk
juru lelang untuk melaksanakaannya.
3. Fungsi dan Klasifikasi Lelang
a. Fungsi Lelang
Lelang sebagai sarana penjualan barang khusunya sejak semula dimaksudkan sebagai
pelayanan umum. Artinya siapapun dapat memanfaatkan pelayanan jasa Unit Lelang
negara untuk menjual barang secara lelang. Namun demikian lelang sebenarnya
mempunyai fungsi privat dan publik.
Fungsi privat lelang terletak pada hakekat lelang dilihat dari tujuan perdagangan, yaitu
sebagai alat/sarana untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang. Lelang dalam
dunia perdagangan pada dasrnya merupakan institusi pasar untuk mengadakan perjanjian
atau persetujuan yang paling menguntungkan pihak penjual.
Apabila lelang dapat berfungsi secara optimal, bukan tidak mungkin harga yang
terbentuk dalam lelang bisa menjadi price preference. Keunikan penjualan secara lelang
adalah bahwa dalam penjualan tersebut pihak yang akan mengadakan perjanjian ( pihak
pembeli ) tidak dapat ditunjuk sebelumnya. Mengingat adanya fungsi privat lelang ini di
dalam praktek terdapat jenis pelayanan lelang terhadap masyarakat yang dikenal dengan
sebutan lelang sukarela.
Sedangkan fungsi publik dari lelang tercermin dari 3 ( tiga ) hal, yaitu :

46

M. Yahya Harahap, Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kesatu ,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 103

1) Mengamankan asset yang dimiliki/dikuasai negara untuk meningkatkan efesiensi dan
tertib administrasi dari pengelolaan asset yang dimiliki/dikuasai negara, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 14 ICW Jo. Inpres No. 9 Tahun 1970 jo. Kepres No. 16 Tahun
1994 jo. UU No. 1 tahun 2004 tetang Perbendaharaan Negara.
2) Pelayanan penjualan barang yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian
hukum dari barang eksekusi sita pengadilan sebagai sistem hukum acara
perdata/pidana/PUPN/DJPLN, Pajak, Pegadaian dan sebagainya.
3) Mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk bea lelang dan uang miskin ( dana
sosial, disetorkan ke Departemen Sosial) serta pemungutan-pemungutan negara
lainnya.47
Apabila fungsi-fungsi tersebut di atas kita terjemahkan, fungsi publik lelang yang
pertama terutama berhubungan dengan tidak lanjut dari barang-barang negara yang dihapus
atau dimanfaatkan lagi dari pengelolaan/penguasaan negara. Termasuk barang yang
dikuasai Negara adalah asset BUMN/BUMD. Merupakan suatu keharusan bahwa barangbarang yang dibeli dari uang rakyat yang dikumpulkan oleh negara (pajak, retribusi, dll.)
dijual lagi kepada masyarakat denan cara penjualan yang terbuka, obyektif, kompetitif dan
cepat serta aman. Untuk menjamin terciptanya penjualan yang adil, maka ditetapkanlah
lelang sebagai sarana penjualan barang-barang negara tersebut dalam pengertian barang
yang dikuasai negara antara lain juga barang yang tidak bertuan di pelabuhan-pelabuhan,
barang temuan, dan sebagainya.
Fungsi publik lelang yang kedua berkaitan dengan kedudukan lelang dalam rangka
sistem hukum Indonesia.

Lelang sebagai sarana penjualan barang diperlukan guna

melengkapi sistem hukum Indonesia. Lelang sebagai sarana penjualan barang diperlukan
guna melengkapi sistem hukum yang telah dibuat terlebih dahulu ( BW, HIR, Rbg ).

47

S. Mantayborbir dan Imam Jauhari, Op. Cit., hal. 9

Penjualan barang secara lelang dirasakan sebagai alternatif yang tepat karena yang
diperlukan adalah suatu sistem penjualan yang harus menguntungkan pihak penjual juga
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut;
(a) Adil, karena penjualan secara terbuka, obyektif, kompetitif dan dapat dikontrol
langsung oleh masyarakat ( built in cotrol ). Sebelum lelang, pihak-pihak yang
merasa dirugikan diberi cukup waktu untuk verzet dan sebagainya.
(b) Aman, karena disaksikan, dipimpin dan dilaksanakan oleh pejabat lelang yang
adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah.
(c) Cepat, karena adanya pengumuman lelang sehingga peminat/peserta dapat
terkumpul pada saat hari lelang dan karena sifat pembayarannya pada prinsipnya
adalah secara tunai.
(d) Mewujudkan harga yang wajar karena penawaran yang kompetitif dan transparan.
(e) Kepastian hukum, karena atas pelaksanaan lelang dibuat berita acara yang disebut
risalah lelang yang merupakan akta otentik yang dapat member perlindungan
kepada pihah-pihak terkait48.
Fungsi publik yang ketiga adalah berkenaan dengan penerimaan negara berupa bea
lelang yang dikenakan kepada penjual dan pembeli atas harga pokok lelang. Lelang juga
menghasilkan penerimaan negara berupa uang miskin yang dibebankan kepada pembeli
lelang dan menjadi bagian dari penerimaan dana sosial Departemen Sosial.
Karena lelang pada dasarnya mengemban fungsi publik, maka tepatlah bila ditegaskan
dalam Pasal 1a Vendu Reglement bahwa lelang tidak boleh diadakan kecuali dihadapan
“Vendumeester/Pejabat Lelang”.

48

Ibid., hal. 9-10

b. Klasifikasi Lelang
Dalam hal membahas tentang klasifikasi lelang, dapat kita samakan dengan
penggolongan lelang atau jenis-jenis lelang. Penggolongan lelang dapat dilihat dari cara
penawarannya, jenis barang yang dilelang dan sebab barang dilelang.
Adapun pembahasan mengenai klasifikasi lelang di atas adalah :
1. Klasifikasi Lelang dari Cara Penawarannya
Lelang dengan cara ini merupakan penggolongan lelang berdasarkan cara
penawaran yang dilakukan oleh pejabat lelang. Cara penawaran ini dapat dilakukan
dengan cara lisan maupun tertulis. Penggolongan penawaran ini cukup dengan
mengucapkan atau menyatakan dengan tutur kata di depan para peserta lelang.
Pelelangan dengan cara tertulis merupakan penawaran yang dilakukan dalam bentuk
tertulis. Penjual atau pejabat lelang telah menyiapkan harga barang yang akan dilelang
kepada peserta lelang. Peserta lelang tinggal menawarkan sesuai dengan harga yang
diinginkannya. 49
2. Klasifikasi Lelang dari Aspek Objek
Lelang dari jenis ini merupakan pelelangan yang didasarkan pada objek atau
barang/benda yang akan dilelang oleh juru lelang. Penggolongan lelang ini dapat dibagi
menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak merupakan benda
yang dapat berpindah atau dipindahkan, seperti perkakas rumah, meubel, perabot rumah
tangga dan lain-lain. Sedangkan barang tidak bergerak merupakan benda yang tidak
dapat berpindah atau dipindahkan seperti tanah, tanah pekarangan dan bangunan dan
apa yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku dalam bangunan, dan lain-lain. 50
3. Klasifikasi Lelang Berdasarkan Sebab Barang Dilelang

49

Miftahul Rahmah, “Aspek Hukum Pelaksanaan Pelelangan Barang Tidak Bergerak Terhadap
Jaminan Kredit (Studi pada PT. Bank Central Asia, TBK Cabang Lhokseumawe)” (Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, 2014), hal. 45
50
Salim HS, Op. Cit., hal. 245

Jenis lelang ditinjau dari sudut sebab barang dilelang dibedakan antara lelang
eksekusi dan lelang non eksekusi.
a) Lelang Eksekusi
Lelang eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan
atau dokumen yang dipersamakan dengan itu sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Dipersamakan dengan itu maksudnya disini adalah dalam rangka membantu
penegakan hukum, antara lain lelang eksekusi fidusia dan lelang eksekusi hak
tanggungan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yaitu :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan tingkat pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari hasil tersebut”
Adapun contoh lelang eksekusi ini diantaranya adalah :
(1) Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUNP)
Lelang eksekusi PUNP adalah pelayanan lelang yang diberikan kepada
PUPN/BUPLN dalam rangka proses penyelesaian urusan piutang negara atas
barang jaminan/sitaan milik penanggung utang yang tidak membayar
utangnya kepada negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun
1960 tentang Panitia Pengurusan Piutang Negara.
(2) Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri (PN)/Pengadilan Agama (PA)
Lelang ini adalah lelang yang diminta oleh panitera PN/PA untuk
melaksanakan keputusan hakim pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, khususnya dalam rangka perdata, termasuk lelang hak tanggungan yang
oleh pemegang hak tanggungan telah diminta fiat eksekusi kepada ketua
pengadilan.
(3) Lelang barang temuan dan sitaan, rampasan kejaksaan/penyidik

Lelang barang temuan dan sitaan, rampasan kejaksaan/penyidik adalah lelang
yang dilaksanakan terhadap barang temuan dan lelang dalam rangka acara
pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yang antara lain meliputi lelang
eksekusi barang yang telah diputus dirampas untuk negara, termasuk dalam
kaitan itu adalah lelang eksekusi Pasal 45 KUHPidana yaitu lelang barang
bukti yang mudah rusak, busuk dan memerlukan biaya penyimpanan tinggi.
(4) Lelang sita pajak
Lelang sita pajak adalah lelang atas sitaan pajak sebagai tindak lanjut
penagihan piutang pajak kepada negara baik pajak pusat maupun pajak
daerah. Dasar hukum dari pelaksanaan lelang ini adalah Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak.
(5) Lelang Eksekusi Barang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Barang tak
Bertuan)
Lelang barang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat diadakan terhadap
barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara dan
barang yang menjadi milik negara. Direktorat Bea dan Cukai telah
mengelompokkan barang menjadi tiga, yaitu barang yang dinyatakan tidak
dikuasai, barang yang dikuasai negara dan barang yang menjadi milik negara.
Lelang barang tak bertuan dimaksudkan untuk menyebut lelang yang
dilakukan terhadap barang yang dalam jangka waktu yang ditentukan tidak
dibayar bea masuknya.
(6) Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)
Lelang eksekusi yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah, dimana pasal ini
memberikan hak kepada pemegang hak tanggungan untuk menjual sendiri

secara lelang terhadap objek hak tanggungan apabila cidera janji.
Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan didasarkan pada Pasal 6 UUHT.
(7) Lelang Eksekusi Fidusia
Lelang eksekusi fidusia adalah lelang teradap objek fidusia karena debitor
cidera janji, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Fidusia. Parete
executie Fidusia, kreditor tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua
Pengadilan Negeri apabila akan menjual secara lelang barang agunan kredit
yang diikat fidusia jika debitor cidera janji. 51
b) Lelang Non Eksekusi
Lelang non eksekusi adalah lelang selain yang disebutkan dalam lelang eksekusi.
Lelang non eksekusi merupakan pelelangan tanpa adalnya putusan hakim. Lelang
non eksekusi ini meliputi :
(1) Lelang Non Eksekusi Wajib
Lelang Non Eksekusi ini adalah melelang barang milik negara atau daerah.
Lelang ini dilakukan dalam rangka penghapusan barang milik/dikuasai negara
termasuk juga daerah maupun sipil. Barang yang dimiliki negara adalah barang
yang pengadaannya bersumber dari dana yang berasal dari APBN, APBD serta
sumber-sumber lainnya atau barang yang nyata-nyata dimiliki negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku tidak termasuk kekayaan
negara yang dipisahkan. 52
(2) Lelang Sukarela
Lelang sukarela adalah lelang yang dilakukan untuk menjual barang milik perorangan,
kelompok, masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela oleh
pemiliknya. Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk melaksanakan
51
52

Pasal 29 Undang-Undang Nomor. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang
dilelang secara sukarela oleh pemiliknya, termasuk BUMN/D berbentuk persero. 53
4) Asas dalam Lelang
Secara umum dalam pelelangan juga memiliki asas yang harus dijalankan, hal ini
penting sekali dalam pelaksanaan lelang agar tujuan dari pelelangan itu dapat terpenuhi
dengan baik. Asas lelang sendiri juga mencakup beberapa hal yang mana merupakan
lingkup dari lelang itu sendiri baik dari segi prosedurnya, perlindungan hukum bagi
pelaksana lelang dan aspek profesionalitas. Secara normatif sebenarnya tidak ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur asas lelang itu sendiri namun apabila kita
cermati klausula – klausula dalam peraturan perundang – undangan di bidang lelang
dapat ditemukan adanya asas lelang yaitu :
a. Asas keterbukaan
Menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana
lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang
sepanjang tidak dilarang dalam undang – undang. Asas ini untuk mencegah
terjadinya praktek persaingan tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan
adanya praktek korupsi, kolusi, nepotisme ( KKN ).
b. Asas Keadilan
Mengandung pengertian bahwa dalam pelaksanaan lelang harus dapat
memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang
berkepentingan. Hal ini untuk mencegah terjadinya berkepihakan pejabat lelang
kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya kepada kepentingan penjual.
Khusus kepada lelang eksekusi, penjual tidak boleh menentukan harga limit
sewenang-wenang yang mengakibatkan merugikan pihak tereksekusi.
53

Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

c. Asas Kepastian Hukum
Menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya
perlindungan hukum bagi pihak – pihak yang berkepentingan dalam
pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat risalah lelang oleh pejabat
lelang yang merupakan akte otentik. Risalah lelang digunakan penjual atau
pemilik barang, pembeli, dan pejabat lelang untuk mempertahankan dan
melaksanakan hak dan kewajiban.
d. Asas Efiensi
Akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya
relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan

dan pembeli disahkan pada waktu itu juga.
e. Asas Akuntabilitas
Menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh pejabat lelang dapat
dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pertanggung
jawaban lelang meliputi administrasi dan pengelolaan uang lelang. 54
B. Tinjauan tentang Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Sebelum lahirnya Undnag-Undang hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan
atas tanah sebagai jaminan hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena
pada waktu itu hak atas tanah merupakan obyek hukum dalam jaminan hipotik. Namun
sesudah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, pembebanan hak atas tanah
sebagai jaminan utang tidak lagi menggunakan jaminan hipotik. 55

54

Departemen Keuangan, Pengetahuan Lelang : penghapusan BMN, http :
.bppk.depkeu.go.id/webpkn/index.php?option...gid.../, diakses pada Minggu, Tanggal 18 Oktober 2015,
Pukul 20.28 WIB
55
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 305

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat
dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak tanggungan, sebagi pengganti lembaga
hypotheek dan credietverband, akan tetapi lembaga hak tanggungan di atas belum
berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang
mengaturnya secara lengkap, sesuai dengan yang dikhendaki oleh ketentuan Pasal 51
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sehingga ketentuan ketentuan hypotheek
sebagaimana dimaksud dalam buku II KHUPerdata dan ketentuan credietverband dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 masih
diberlakukan sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam UndangUndang Pokok Agraria. Padahal ketentuan-ketentuan tersebut di atas berasal dari
kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya
hukum tanah nasional. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan
hukum tanah nasional dan tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi
khususnya di bidang perkreditan dan jaminan dikarenakan perkembangan pembangunan
ekonomi, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai
masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Dengan demikian perlu kiranya
dibentuk suatu undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan adanya unifikasi hukum tanah nasioanal.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk mengganti hipotik dan
credietverband, undang-undang hak tanggungan diposisikan lebih baik daripada saat
berlakunya hipotik dan credietverband, dalam arti bahwa undang-undang hak

tanggungan mempunyai ciri kemudahan dan kepastian pada eksekusi atas objek hak
tanggungan. 56
Sebagai salah satu ciri yang juga merupakan suatu fasilitas yang diberikan oleh
undang-undang hak tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, maka eksekusinya
mudah dan pasti, hal tersebut dapat dilaksanakan jika pemberi hak tanggungan (debitor)
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, demikian disebutkan
dalam penjelasan umum angka 9 Undang-Undang Hak Tanggungan.
Pengertian hak tanggungan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan, hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah yang selanjutnya disebut dengan hak tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentng Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain. Objek hak tanggungan tidak dengan sendirinya meliputi
apa yang ada diatas tanah namun penerapan asas hak tanggungan tidak mutlak, sehingga
dimungkinkan objek hak tanggungan meliputi benda-benda yang ada di atas tanah dan
harus ditegaskan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan :
a. Merupakan hak jaminan untuk pelunasan hutang (kredit).
b. Dapat di bebankan pada hak atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya.
c. Menimbulkan kedudukan didahulukan daripada kreditor-kreditor lain.
Hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk

56

Andy Hartanto, Op,. Cit. hal. 29

dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cidera
janji dan mengambil dari hasilnya seluruh atau sebagian pembayaran lunas utang
debitor kepadanya. 57 Pada prinsipnya, hak tanggungan itu merupakan lembaga hak
jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Jaminan
yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditor-kreditor
lainnya bagi kreditor pemegang hak tanggungan.

2. Ciri-Ciri dan Sifat Hak Tanggungan
a. Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah suatu hak jaminan disamping hipotik, gadai dan fidusia.
Hak tanggungan tidak lahir dengan sendirinya, namun menggantikan ketentuan
hiopotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Dalam perkembangannya di
masyarakat, hak tanggungan banyak digunakan khususnya oleh perbankan
dalam perjanjian kredit sebagai lembaga jaminan atas tanah yang dijadikan
agunan oleh debitor untuk menjamin pelunasan utangnya.
Hak Tanggungan memiliki 4 (empat) ciri pokok, yaitu diantaranya : 58
1) Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu
kepada pemegangnya.
Pada

prinsipnya,

hak

jaminan

kebendaan

memberikan

kedudukan

didahulukan (Droit de preference) bagi kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan terhadap kreditor lainnya. 59 Prinsip ini ditemukan dalam Pasal 1
Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa hak tanggungan
57

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Prenanda Media, Jakarta, 2005, hal.

13
58

Herowati Poesoko II, Dinamika Hukum Parete executie Objek Hak Tanggungan, Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, 2012, hal. 14
59
Herowati Poesoko , Op. Cit., hal. 257

adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lainnya.
Hal tersebut memberikan kepastian hukum bagi kreditor untuk mengambil
pelunasan piutangnya dengan hak mendahulu daripada kreditor lain atas
hasil eksekusi dikarenakan adanya pembebanan hak tanggungan pada barang
jaminan. 60
2) Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun objek itu
berada.
Hak kebendaan mempunyai zaakgevelog atau droit de suit yang artinya hak
itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga)
barang itu berada. 61 Bila objek jaminan utang yang diikat hak tanggungan
beralih karena suatu sebab seperti pewarisan, penjualan, penghibahan, hak
tanggungan tetap melekat pada objek tanggungan tersebut. Sebaliknya bila
objek jaminan utangnya telah diikat dengan hak tanggungan beralih karena
cessie, subrogasi, hak tanggungan tersebut ikut beralih ikut beralih kepada
kreditor yang baru. 62
hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan itu
berlih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Pemegang hak
tanggungan akan dapat selalu melaksanakan haknya dalam tangan siapapun
benda itu berpindah. 63 Dengan droit de suit, ke tangan siapapun hak
kebendaan itu beralih, hak tanggungan tetap mengikuti benda jaminan.

60

Andy Hartanto, Op., Cit., hal. 35
Ibid., hal. 89
62
M. Bahsan, Op. Cit., hal. 32
63
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Azaz-azaz, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah
yang Dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999, hal. 38-39
61

Kreditor pemegang hak tanggungan berhak untuk menuntut kembali hak atas
benda itu dan melakukan eksekusi untuk pemenuhan piutangnya apabila
debitor cidera janji.
3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehinggs dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
4) dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Hak tanggungan mempunyai sifat kebendaan. Sifat kebendaan tersebut telah
diberikan oleh pembetuk undang-undang hak tanggungan. Menurut
Herowati Poesoko :
Hak kebendaan adalah hak mutlak (absolut) atas sesuatu benda dan dpat
dipertahankan terhadap siapun juga.

64

Dikarenakan Hak Tanggungan

merupakan hak kebendaan, maka hak tanggungan mengandung asas absolut.

b. Sifat Hak Tanggungan
Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam
Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak
Tanggungan akan membebani secara utuh objek hak tanggungan. Hal ini
mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya
dengan hak tanggungan baru dilunasi sebagian, maka hak tanggungan tetap
membebani seluruh objek hak tanggungan.
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan”
dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung

64

Herowati Poesoko, Op., Cit., hal. 85

kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan.
Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari hak
tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila hak
tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit
yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama
dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek
hak tanggungan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut. Dengan
demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, hak tanggungan hanya akan
membebani sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum
dilunasi (penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat lain dari hak tanggungan adalah hak tanggungan merupakan accecoir dari
perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian hak tanggungan bukan merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya
perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi
perjanjian

Hak

Tanggungan

adalah

perjanjian

hutang

piutang

yang

menimbulkan hutang yang dijamin itu. 65 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang
tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan
bahwa karena hak tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir
pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang
piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh
adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
3. Objek dan Subjek Hak Taggungan
Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan pengertian hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

65

Sutan Remi Syahdeini, Op. Cit., hal. 20

dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk pelunasan utang debitor yang
telah dilakukan terhadap kreditor. Dimana dimaksudkan merupakan jaminan atas utang
tersebut.
Objek hak tanggungan, dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan telah
ditentukan secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang yang dapat
dibebani hak tanggungan, yaitu :
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah negara maupun hak pakai atas tanah hak
milik
e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau
akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang
merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas
dinyatakan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.
Objek hak tanggungan akan menjadi luas jika dikaitkan dengan ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun beserta tempat dimana
bangunan itu berdiri dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut yang berdiri di atas
hak milik.
Pada dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas suatu
utang dengan dibebani hak tanggungan, harus memenuhi syarat-syarat, yaitu : 66
1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
66

Budi Harsono, Konsepsi pemikiran tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, Hasil Seminar,
Bandung, 1996, hal. 5

2) Termasuk hak yang didaftar dalam umum, karena harus memenuhi syarat
publisitas;
3) Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cidera janji
(wanprestasi), benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual dimuka umum;
4) Menentukan penunjukan dengan undang-undang;
Sebagai bukti adanya hak tanggungan maka Kantor Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan sertifikat hak tanggungan dimana yang menjadi patokan adalah tanggal
pendaftaran/pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan. 67
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1996 disebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan terdiri atas salinan buku tanah
hak tanggungan dan salinan akta pemberian hak tanggungan dan salinan akta pemberian
hak tanggungan (APHT) yang bersangkutan yang telah dibuat oleh Kepala Kantor
Pertanahan dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang bentuk telah ditetapkan dalam
aturan tersebut.
Pada hak tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak tanggungan
yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak
tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu : 68
(a) Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang meminjamkan objek hak
tanggungan.
(b) Pemegang hak tanggungan yaitu orang atau pihak yang menerima hak tanggungan
sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.
Undang-undang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah memuat ketentuan mengenai subjek hak tanggungan dalam Pasal 8 dan
Pasal 9, yaitu sebagai berikut: 69
67

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1998, hal. 151
68
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 54

1.1 Pemberi hak tanggungan, yaitu orang perorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak
tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakuan perbuatan hukum
terhadap objek hak tanggungan p