Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik
2.1.1 Defenisi Antibiotik
Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
suatu infeksi karena bakteri. Akan tetapi, istilah antibiotik sebenarnya mengacu
pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang
menghambat pertumbuhan atau membunuh organisme lain (Setiabudy, 2007).
2.1.2 Klasifikasi Antibiotik
a. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik
i. Menghambat metabolisme sel mikroba. Contohnya adalah sulfonamida,
trimetoprime, asam p-aminosalisat (PAS) dan sulfon.
ii. Menghambat sintesis dinding sel mikroba. Contohnya adalah penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin.
iii. Mengganggu keutuhan membran sel mikroba. Contohnya adalah polimiksin.
iv. Menghambat sintesis protein sel mikroba. Contohnya adalah golongan
aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.
v. Menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya adalah
rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007).
b. Berdasarkan daya kerja

i. Zat-zat bakterisid: pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman.
Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, polipeptida, rifampisin, kuinolon,
aminoglikosida, INH dancotrimoxazole.

Universitas Sumatera Utara

ii. Zat-zat bakteriostatik:pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan
pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Contohnya adalah kloramfenikol,
tetrasiklin, makrolida dan linkomisin (Menkes RI, 2011).
c. Berdasarkan luas aktifitasnya
i. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya
penisilin G dan penisilin V, eritromisin, klindamisin dan asam fusidat hanya
bekerja pada kuman gram positif sedangkan streptomisin, gentamisin,
kanamisin, polimiksin B dan asam nalidiksat khususnya terhadap kuman
gram negatif (Menkes RI, 2011).
ii. Antibiotik spektrum luas(broad spectrum)
Bekerja terhadap lebih banyak jenis kuman gram positif maupun gram
negatif diantaranya sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol,
tetrasiklin, rifampisin (Menkes RI, 2011).

2.1.3 Keberhasilan penggunaan antibiotik
Hal yang perlu perhatian khusus pada penanganan infeksi adalah :
a. Dosis antibotik.
b. Rute pemberian antibiotik.
i. Rute parenteral: ditempuh bila infeksi perlu segera diatasi, infeksi terdapat
pada lokasi yang memerlukan konsentrasi darah yang tinggi dari antibiotik
untuk menjamin penetrasi yang memadai dari jaringan yang terinfeksi
(endokardium, tulang , otak).
ii. Rute oral: dipilih untuk mengatasi kebanyakan jenis infeksi saluran kemih,
faringitis oleh streptococcus dimana antibiotik disampaikan ke jaringan

Universitas Sumatera Utara

tanpa masalah dan mikroorganisme yang menyebakan infeksi sangat peka
pada antibiotik.
c. Lamanya pemberian antibiotik harus menjamin musnah total penyebar infeksi
sehingga tidak mungkin penyakit infeksi kambuh lagi, kambuhnya infeksi
ditentukan oleh daya tahan mikroorganisme pada sistem pertahanan tubuh
dan mekanisme resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik (Wattimena, et
al., 1991).

2.1.4 Kegagalan terapi antibiotik
Terapi antibiotik dinilai gagal bila tidak berhasil menghilangkan gejala
klinik atau infeksi kambuh lagi setelah terapi dihentikan. Kesalahan yang lazim
dibuat pada terapi antibiotik yang dapat mengagalkan terapi dikarenakan salah
pilih antibiotik, salah pemberian atau penggunaan antibiotik dan resistensi
mikroorganisme. Faktor lain yang mengagalkan terapi antibiotik ialah resistensi
mikroorganisme terhadap antibiotik yang digunakan dan terjadinya superinfeksi
(Wattimena, et al., 1991).
2.2 Demam Tifoid
2.2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit akut yang terdapat pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi ditandai dengan adanya demam 7
hari atau lebih, gangguan pencernaan dan sistem saraf pusat (sakit kepala dan
gangguan kesadaran). Demamtifoid jugaerat kaitannya dengan higiene pribadi dan
sanitasi lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang
serta prilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Biasanya
angka kejadian tinggi pada daerah tropis. Sumber penularan penyakit demam

Universitas Sumatera Utara


tifoid adalah penderitayang aktif, penderita dalam fase konvalesen dan kronik
karier (Depkes RI, 2006).
2.2.2 Penyebab demam tifoid
Penyebab dari penyakit demam tifoid adalah Salmonella typhi, bakteri
batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik,
berukuran 2-4 pm x 0,5-0,8 pm (Zulkoni, 2011).
Salmonella sptumbuh cepat dalam media sederhana, hampir tidak pernah
memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari
glukosa dan manosa biasanya memproduksi hidrogen sulfid(Jawet, 2005).
Bakteri ini menyerang saluran pencernaan. Manusia merupakan satusatunya sumber penularan alami Salmonella Typhi, melalui kontak langsung
ataupun tidak langsung penderita demam tifoid atau karier. Karier adalah orang
yang telah sembuh dari demam tifoid dan masih menginfeksi bakteri Salmonella
typhi dalam kandung empedu atau ginjal dalam waktu yang lama. Karier pada
demam tifoid merupakan karier intestinal (intestinal carrier) dan karier urinari
(urinary carrier). Kekambuhan pada karier sukar diketahui,sebab gejala dan
keluhannya tidak jelas(Depkes RI, 2006).
2.2.3 Gambaran klinis demam tifoid
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali
(sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas sampai dengan gejala
klinis berat yang disertai komplikasi. Kebanyakan perjalanan penyakit

berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.
Beberapa gejala klinis yang sering diantaranya adalah:

Universitas Sumatera Utara

a. Demam
Pada awal sakit, demam kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh
sering turun naik. Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai
banyak gejala lain seperti sakit kepala, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas demam makin
tinggi, bila pasien membaik pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun
dan dapat normal kembali pada akhir minggu ketiga. Demam khas pada tifoid
tidak selalu ada, tipe demam menjadi tidak beraturan. Pada anak khususnya
balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Depkes RI, 2006).
b. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan terkadang pecah-pecah, lidah kotor, ujung dan tepi lidah kemerahan
dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering
mengeluh nyeri perut (Depkes RI, 2006).
c. Gangguan kesadaran

Umumnya berupa penurunan kesadaran ringan, sering kesadaran apatis dengan
kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai
somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksis, gejala delirium lebih
menonjol (Depkes RI, 2006).
d. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri
tekan.

Universitas Sumatera Utara

e. Bradikadia relatif
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknik pemeriksaan
yang sulit ditemukan. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang
tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi(Depkes RI, 2006).
2.2.4Penggunaan antibiotik pada demam tifoid
Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena
pada dasarnya fotogenis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan
bakteri. Pemberiaan terapi demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi
dan angka kematian. Memperpendek perjalan penyakit serta meperbaiki gambaran
klinis salah satu terjadi penurunan demam (Depkes RI, 2006). Namun demikian

pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu demam yang
timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada
penyebab demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan
lain-lain. Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut
diberhentikan (Hammad, 2011).
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid,
hal ini dapat dibenarkan apabila sensitivitas Salmonella typhi masih tinggi
terhadap obat tersebut. Tetapi penelitian-penelitian yang dilakukan sudah
menemukan strain Salmonella typhi yang sensitivitasnya berkurang terhadap
kloramfenikol,untuk

itu

antibiotik

lain

seperti

ceftriaxone,


ampisilin,

cotrimoxazole atau cefotaxime dapat digunakan sebagai pilihan terapi demam
tifoid (Setiabudy, 2007).

Universitas Sumatera Utara

a. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid yang
bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid
terhadap kuman-kuman tertentu serta berspektrum luas. Dapat digunakan untuk
terapi bakterigram positif maupun negatif. Kloramfenikol terikat pada ribosom
subunit 50s serta menghambat sintesis bakteri sehingga ikatan peptida tidak
terbentuk pada proses sintesis kuman sedangkan mekanisme resistensi ini terjadi
melalui aktivitas obat oleh asetil transferase yang diperantarai faktor-R. Masa
paruh eleminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24
jam(Alam, 2011).
b. Ceftriaxone
Ceftriaxone merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana

bakteri Salmonella typhi sudah resistensi terhadap berbagai obat. Antibiotik ini
memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik
betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang
dihambat adalah reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan
dinding sel(Sidabutar, 2010).
c. Ampisilin
Ampisilin

memiliki

mekanisme

kerja

menghambat

pembentukan

mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Pada mikroba
yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid. Dosis ampisilin

tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien(Sidabutar,
2010).

Universitas Sumatera Utara

d. Cotrimoxazole
Cotrimoxazole merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprime dan
sulfametoxazole, dimana ini memberikan efek sinergis. Trimetoprime dan
sulfametoxazole

menghambat

reaksi

enzimatik

obligat

pada


mikroba.

Sulfametoxazole menghambat masuknya molekul P-Amina Benzaic Acid
(PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprime menghambat
enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif. Frekuensi terjadinya
resistensi terhadap cotrimoxazole lebih rendah daripada masing-masing obat,
karena mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka
terhadap komponen lainnya (Alam, 2011).
e. Cefotaxime
Cefotaxime merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai
kuman gram positif maupun gram negatif aerobik. Obat ini termasuk dalam
antibiotik golongan sefalosporin, dimana memiliki mekanisme kerja menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Mekanisme penghambatannya melalui reaksi
transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel (Mangunatmaja,
2003).
2.3 Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:
a. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

b. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
c. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit dan rumah sakit.
Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna
mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat (Menkes RI, 2010).
2.4 Rekam Medik
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai
pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat
diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan
obat,riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosis
dan terapi (Depkes RI, 2009).
2.5 Penggunaan Antibiotik Pada Anak–Anak
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat baik dalam hal indikasi maupun cara
pemberian akan merugikan penderita serta akan memudahkan terjadinya resistensi
terhadap antibiotik dan dapat menimbulkan efek samping. Hal – hal yang perlu
diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak–anak, cara pemberian,
indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan dengan memperhatikan keadaan
patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping
yang akan terjadi (Prest, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.5.1 Pasien anak
Pada masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat. Penggunaan obat pada anak-anak tidaklah sama
dengan orang dewasa, sehingga hanya terdapat sejumlah kecil obat yang telah
diberi ijin untuk digunakan pada anak- anak, yang memiliki bentuk sediaan yang
sesuai (Prest, 2003). Agar dapat menentukan dosis obat disarankan beberapa
penggolongan untuk membagi masa anak-anak. The British Pediatric Association
(BPA) mengusulkan rentang waktu berikut yang didasarkan pada saat terjadinya
perubahan-perubahan biologis (Prest, 2003):
a. Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan
b. Bayi : 1 bulan sampai 2 tahun
c. Anak : 2 sampai 12 tahun
d. Remaja : 12 sampai 18 tahun
2.6 Jenis Obat
Menurut Permenkes No. 02.02/Menkes/068/I/2010, obat generik adalah
obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat
berkhasiat yang dikandungnya dan obat paten adalah obat yang masih memiliki
hak paten (Menkes RI, 2010).
2.7 Bentuk Sediaan Obat
Bentuk sediaan obat adalah bentuk sediaan farmasi yang mengandung
zat/bahan berkhasiat, bahan tambahan, dengan dosis serta volume dan bentuk
sediaan tertentu, langsung dapat digunakan untuk terapi (Joenoes, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.7.1 Obat bentuk sediaan cair
Obat bentuk sediaan cair dapat diberikan untuk obat luar, obat suntik, obat
minum dan obat tetes seperti larutan, suspensi, emulsi, sirup dan injeksi (Joenoes,
2001).
2.7.2 Obat bentuk sediaan setengah padat
Obat bentuk sediaan setengah padat pada umumnya hanya digunakan
sebagai obat luar, dioleskan pada kulit untuk keperluan terapi atau berfungsi
sebagai pelindung kulit seperti salep, krim dan pasta (Joenoes, 2001).
2.7.3 Obat bentuk sediaan padat
Obat bentuk sediaan padat merupakan sediaan dengan system unit/dose
mengandung dosis tertentu dari satu atau beberapa komponen obat seperti tablet,
kapsul, pulvis pulveres atau puyer dan pil (Joenoes, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Anak Di Instalasi Rawat Inap Rsau Adi Soemarmo.

1 4 12

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

1 28 17

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2014.

0 1 11

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD dr. R. SOETRASNO REMBANG TAHUN 2010.

0 1 17

Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai.

0 0 14

Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai.

0 0 2

Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai.

0 0 6

Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai. Chapter III V

0 0 15

Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai.

0 1 4

Profil Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Diagnosis Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. R. M. Djoelham Kota Binjai.

0 0 16