Bahasa Devayan di Pulau Simeulue: Kajian Vitalitas Bahasa

BAB II
LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU YANG
RELEVAN,DANKERANGKA BERPIKIR

Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada beberapa teori untuk dijadikan
acuan dasar melakukan penelitian ini, dan juga beberapa konsep yang
dianggapperlu

sebagai

referensi

baik

pada

awal

penelitian

maupun


pelaksanaannya.. Teori inti dari penelitian ini adalah teori-teori pengukuran
Vitalitas Bahasa (Language Vitality), teori Ranah (Domain), teori Sikap Bahasa
(Language Attitude) dan teori Kemampuan Bahasa (Language Ability).
Selanjutnya dipaparkan juga beberapa teori dan konsep penunjang dalam
melakukan penelitian ini, diantaranya adalah teoriSubjectiveEthnolinguistic
Vitality (SEV), teori Analisis Sosiolinguistik Mikro dan Makro, dan teori
Ethnografi Komunikasi. Selanjutnya beberapa konsep juga digunakan utnuk
mendukung arah penelitian ini, diantaranya adalahkonsepMayarakat Tutur
(Verbal Repertoire), yang menjadi konsep dasar penelitian gejala-gejala bahasa di
masyarakat tutur sebuah bahasa; kemudian konsep bilingualism dan diglosia;
konsep pemertahanan, pergeseran, dan kepunahan bahasa; serta konsep Campur
kode (Code Mixing) dan Ganti Kode (Code Switching). Pada bab ini juga akan
ditinjau beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Dan
peneliti juga merancang sebuah kerangka berpikir pelaksanaan penelitian ini.

2.1 Landasan Teori dan Konsep
Pada bab ini akan dijabarkan beberapa teori Vitalitas Bahasa yang pernah
dikemukakan oleh para ahli dan tim ahli dari beberapa organisasi sosial dan


28

Universitas Sumatera Utara

29

pemerhati bahasa seperti Unesco, Ethnologue, dan SIL Internasional. Selain itu
juga dijabarkan mengenai teori Domain (Ranah) dan teori sikap bahasa serta teori
Kemampuan Bahasa.Selanjutnya juga akan dibahas konsep-konsep yang
mendukung penelitian ini seperti yang sudah dituliskan dalam pendahuluan bab
ini.

2.1.1 Teori Vitalitas Bahasa
Vitalitas bahasa merujuk pada kemampuan suatu bahasa menampung dan
melakukan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi.Bahasa tertentu memiliki
vitalitas tinggi, sedang atau rendah.Umumnya bahasa daerah memiliki vitalitas
yang rendah karena ketidakmampuannya dalam memasuki berbagai ranah
pengetahuan.Vitalitas suatu bahasa terlihat dari keunggulan eksternal (jumlah
penutur bahasa) dan internalnya (jumlah word entry yang dimilikinya). Sebagai
contoh, tahun 1983 bahasa Inggris diperkirakan memiliki 450 ribu kata, bahasa

Perancis 150 ribu kata dan bahasa Rusia 130 ribu kata. Menjadi sebuah tantangan
besar bagi bahasa daerah untuk menuju ke arah vitalitas tersebut.
Istilah Vitalitas diperkenalkan pertama ke area Ethnolinguistik adalah
oleh Giles dkk (1977).

Vitalitas suatu kelompok ethnolinguistik akan

mempengaruhi suatu kelompok tutur berperilaku sebagai suatu kesatuan yang
khas. Semakin suatu masyarakat tutur memiliki level vitalitas yang tinggi, lebih
memiliki potensi untuk bertahan, sebaliknya jika mempunyai vitalitas yang rendah
atau tidak mempunyai, bahasa tersebut diprediksi tidak akan bertahan. Dengan
kata lainVitalitas bahasa menjadi tolok ukur pemertahanan sebuah bahasa dengan
mengukur penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari dalam berbagai
konteks social untuk berbagai keperluan. Dalam konteks pengembangan bahasa,

Universitas Sumatera Utara

30

penelitian vitalitas bahasa adalah penting karena dapat digunakan untuk

menentukan kemungkinan sebuah bahasa akan berlanjut (sustainable) di masa
depan, dan juga karena bisa digunakan untuk melihat kemungkinan usaha-usaha
pengembangan bahasa yang berkelanjutan.
Fishman (1991) dengan konsep pengukuran 8 level keterancaman bahasa
yang kemudian dikalibrasi sedemikian rupa oleh Lewis dan Simon (2009) dan
diberi nama Fishman‟s Graded Intergenerational Disruption Scale (GID Scale).
Kemudian Landweer (1998) juga mengajukan konsep pengukuran keterancaman
dan vitalitas bahasa, dan pada tahun 2000 katalog Ethnologue dalam terbitan edisi
ke 14, meluncurkan konsep vitalitas bahasa berdasarkan 5skala vitalitas bahasa.
Dan pada tahun 2003 Unesco dalam pertemuan Unesco Expert Meeting on
Safeguarding Endangered Languages meluncurkan sebuah framework yang di
ajukan oleh Brenzinger dkk yang menggunakan 9 faktor untuk mengukur vitalitas
dan keterancaman bahasa-bahasa di dunia.Berikut beberapa teori pengukuran
vitalitas bahasa yang di jadikan rujukan dalam dalam penelitian ini.

2.1.1.1 Fishman’s Graded Intergenerational Scale (GIDS)
Fishman (1991) menyatakan bahwa vitalitas adalah pemakainan sistem
linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi, sehingga unsur
vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut masih memiliki
penutur asli atau tidak. Fishman mengemukakan 8 level untuk mengukur

kepunahan bahasa yang kemudian dikalibrasi oleh Lewis dan Simon (2009)
menjadi Fishman‟s Graded Intergenerational Scale (GIDS). Tabel 2.1 dibawah ini
menunjukkan skala yang sudah diadaptasi:

Universitas Sumatera Utara

31

Tabel 2.1
Fishman’s Graded Intergenerational Scale (GIDS)
SKALA
GIDS
1

2

3

4


DESKRIPSI
The language is used in education, work, massmedia, government
at the nation wide level.
Bahasa digunakan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, media masa,
dan pemerintahan pada skala nasional.
The language is used for local and regional massmedia and
Governmental services.
Bahasa digunakan dalam mass media dan pemerintahan pada skala
lokal dan regional.
The language is used for local and regional work by both insiders
and outsiders.
Bahasa digunakan dalam dunia kerja oleh penduduk setempat maupun
pendatang, pada skala lokal dan regional.
Literacy in the language is transmitted through education.
Melek bahasa dilakukan melalui pendidikan.
The language isused orally by all generations and is effectively used
in written form throughout the community.

5
6


7

8

Bahasa digunakan secara lisan oleh seluruh generasi dan digunakan
secara efektif di seluruh komunitas.
The languageis used orally by all generations and is being learned by
children as their first language.
Bahasa digunakan secara lisan oleh seluruh generasi dan diajarkan
kepada anak-anak sebagai bahasa pertama.
The child-bearing generation knows the language well enough to use
it with their elders but is not transmitting it to their children.
Generasi orang tua memahami bahasa dengan baik dan
mengkomunikasikannya dengan generasi yang lebih tua, tetapi tidak
mengajarkannya kepada anak-anak mereka.
The only remaining speakers of the language are members of the
grandparent Generation.
Penutur bahasa yang tersisa adalah kelompok generasi kakek.


Sumber :Nordic Journal of African Studies
Menurut Fishman transisi dari level 1 sampai 8 adalah langkah-langkah
penting untuk menjaga bahasa yang terancam tetap bisa hidup. Fishman juga
menyarankan sebaiknya para petugas atau relawan revitalisasi bahasa memulai
usaha revitalisasi secara bottom-up, tergantung dinmana ukuran tentang bahasa

Universitas Sumatera Utara

32

tersebut berada, missal berada pada level 5, maka usaha yang dilakukan pertama
kali adalah mengacu kepada indikator level 6.
Setelah mengetahui level vitalitas bahasa maka ditentukan usaha usaha
yang dilakukan.Level 8 menyarankan model magang dimana beberapa penutur
senior bekerjasama dengan orang dewasa yang masih muda.Level 7 menyarankan
pembentukan sarang bahasa (language nest) seperti yang dilakukan di Mori,
dimana penutur yang fasih mengajarkan bahasa daerah tersebut kepada anak-anak
tingkat PAUD. Pada level 6, orang tua berusiamuda menggunakan bahasa daerah
untuk berkomunikasi dengan anaknya di rumah. Level 5 menawarkan program
bahasa tulis (written language) dan mempromosikan program sukarela di

sekolah-sekolah atau institusi-institusiswadaya masyarakat untuk meningkatkan
prestise

bahasa

daerah

tersebut.Dan

pada

level

4,

disarankan

adanyapengembangan kurikulum yang menyertakan bahasa daerah di dalam
kurikulum sekolah, dan meyetarakan bahasa tersebut dengan bahasa nasional atau
bahkan


internasional.Selanjutnya

level

3

mengadakan

kampanye

yang

mempromosikan bahasa tersebut diseluruh masyarakat serta mengembangkan
kosa kata-kosa kata yang bisa mengakomodir perkembangan jaman, sbagai
contohnya

kosakata

yang berhubungan


dengan

teknologi

atau

sistem

informasi.Dan pada level 2, kegiatan mempromosikan bahasa tulis untuk
kegiatan-kegiatan resmi seperti di pemerintahan dan bisnis serta mempromosikan
pewarisan bahasa melalui buletin, koran, radio, tv, dan media elektronik lainnya
dan bahkan melalui media sosial seperti facebook, instagram, dan lainnya. Dan
akhirnya pada level 1 bahasa etnis tersebut dipakai sebagai bahasa resmi untuk

Universitas Sumatera Utara

33

proses belajar mengajar di tingkat universitas, dan juga dalam publikasi, dan
presentasi-presentasi.
Walaupun ke delapan level tersebut tidak bisa mengukur realitas vitalitas
bahasa secara akurat, model GIDS ini telah banyak di adopsi sampai hari ini.
Mungkin dikarenakan skala ini sangat jelas menggambarkan faktor-faktor yang
mengindikasikan vitalitas atau kepunahan sebuah bahasa.
2.1.1.2 Indikator Ethnolinguistik Vitality dari Landweer. (Landweer’s
Indicators of Ethnolinguistic Vitality)
Landweer juga mengemukakan

indikator berjumlah 8 seperti skala

Fishman. Namun menurut Obiero (2010) skala ini terkesan statis, dan hanya bisa
memberikan laporan level vitalitas sebuah bahasa. Bahkan pada beberapa faktor
menghadapi masalah dalam pengukuranya dikarenakan kekurang jelasan
pengukuran pada faktor tersebut dikarenakan indikator-indikator yang digunakan
terlalu luas cakupannya dan kurang jelas batasan-batasan cakupannya. Indikatorindikator tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Indikator Vitalitas Bahasa Landweer









The extent to which it can resist influence by a dominant urban culture.
Bahasa mampu bertahan dari pengaruh budaya urban yang dominan
The number of domains in which it is used;
Jumlah ranah penggunaan bahasa
The frequency and type of code switching;
Frekuensidan jenis penggunaan alih bahasa
The distribution of speakers across social networks;
Distribusi penutur dalam jaringan sosial
The internal and external recognition of the group as a unique community;
Jati diri internal dan eksternal kelompok tutur dalam jaringan sosial
Its relative prestige, compares with surrounding languages;
Bahasa cukup mempunyai prestise disandingkan dengan bahasa-bahasa disekitar
Its access to a stable economic base;
Bahasa merupakan akses kestabilan ekonomi
The existance of critical mass of fluent speakers.
Keberadaan penutur yang fasih dalam level kritis.

Sumber :Nordic Journal of African Studies

Universitas Sumatera Utara

34

Hal terpenting dari indikator Landweer ini adalah bahwa laporan
penelitian menggunakan indikator ini bisa memberikan gambaran yang cukup
jelas mengenai

vitalitas suatu bahasa

karena indikator-indikator yang

dipresentasikan terfokus kepada tingkat vitalitas bahasa. Namun dalam
pengoperasiannya indikator-indikator tersebut menemui beberapa masalah,
misalnya data tentang domain penggunaan bahasa, code switching, dan distribusi
penutur lintas jaringan sosial sepertinya diukur pada situasi yang sama pada
indikator relative prestige dan economic base. Disamping itu, beberapa indikator
kurang jelas definisinya, misalnya, apa yang dimaksud dengan critical mass of
speakers? Jadi kesimpulannya, indikatornya masih belum spesifik, atau masih
bersifat umum.

2.1.1.3 Ethnologue Language Vitality
Ethnologue: Languages of the World adalah suatu terbitan web dan
cetak oleh SIL International (sebelumnya bernama The Summer Institute of
Linguistics, yaitu suatu lembaga jasa linguistik nasrani yang meneliti bahasa yang
kurang dikenal, dengan tujuan utama menerbitkan terjemahan Alkitab dalam
bahasa tersebut).Saat ini Ethnologueadalah inventaris bahasa yang paling lengkap
selain

Linguasphere

Observatory

Register.

Pada

Tahun

1984

Ethnologuemengumumkan suatu sistem kode dengan 3 huruf yang disebut SIL
code untuk mengidentifikasi setiap bahasa yang diuraikannnya. Kumpulan kode
ini distandardkan dengan ISO 639-1.Namun pada terbitan ke 14 (2000)
disempurnakan menjadi ISO-639-2.Dan yang terakhir pada tahun 2002 menjadi
ISO-639-3.

Universitas Sumatera Utara

35

Pada edisi catalogEthnologue (2000) tersebut juga diluncurkan kategori
vitalitas bahasa yang berdasarkan pada 5 skala. Berikut ini skala Ethnologue yang

Tabel 2.3
Skala Vitalitas Bahasa Menurut Ethnologue
1.

2.

3.

4.

5.

Living: These are cases featuring a significant population of first-language
speakers.
Hidup : Adanya populasi penutur yang menggunakan bahasa tersebut sebagai
bahasa pertama.
Second Language Only: Are cases in which a language is used as secondlanguage only. No first-language users (emerging users could be included)
Hanya Bahasa Kedua: Bahasa digunakan sebagai bahasa kedua saja. Tidak ada
pengguna bahasa pertama.
Nearly Extinct: Characterizes cases with fewer than 50 speakers or a very
small ad decreasing fraction of an ethnic population.
Hampir punah: Kasus dengan penutur kurang dari 50 orang atau populasi etnik
penutur bahasa tersebut sangat kecil.
Dormant: Cases where there are no known remaining speakers, but a
population links its ethnic identity to the language.
Dorman: Kasus dimana tidak ada lagi penutur yang tersisa, namun masih ada
identitas etnis tersebut yang ada hubungannya dengan bahasa.
Extinct: Where there are no remaining speakers and where no population links
its ethnic identity to the language.
Punah: Kasus dimana tak ada lagi penutur dan juga identitas etnik yang ada
hubungannta dengan bahasa tersebut.

Sumber :Nordic Journal of African Studies

Menurut Obiero (2010) skala di atasmasih bias karena lebih mengukur
kepunahan bahasa daripada vitalitas bahasa. Level 1 menggambarkan keadaan
“living”, sedang level 2 sampai 5 menggambarkan “non-living” , dikhawatirkan
dapat mengaburkan arah hasil penelitian, artinya jika hanya mencari bahasa yang
punah akan menyulitkan langkah tahap revitalisasi. Dan pada setiap klasifikasi
hanya disebut “speakers” tanpa membedakan pola penggunaan bahasanya.

Universitas Sumatera Utara

36

Dalam hal ini peneliti sepakat dengan Obiero dan tidak mendaptasi
pengukuran ini karena ranah penelitian menginvestigasi vitalitas bahasa bukan
kepunahan bahasa.
2.1.1.4 Skala Vitalitas Bahasa dan Kepunahan Bahasa dari UNESCO
Skala ini di ajukan oleh Brenzinger et.al pada pertemuan UNESCO Expert
Meeting on Safeguarding Endangered Languages. Terdapat 9 faktor sebagai
berikut:
Table 2.4
Skala UNESCO
1. Intergenerational language transmission;
Transmisi bahasa antar generasi
2. Absolute number of speakers;
Jumlah nyata penutur
3. Proportion of Speakers;
Perimbangan penutur
4. Loss of existing language domains;
Punahmya beberapa ranah bahasa
5. Response to new domains and media;
Respon terhadap ranah baru dan media
6. Materials for language education and literacy;
Materi untuk pendidikan dan literasi bahasa
7. Governmental and institutional language attitudes and policies;
Sikap dan kebijakan pemerintah dan lembaga terkait
8. Community members’ attitudes towards their own language; and
Sikap komunitas terhadap bahasa mereka sendiri
9. Amount and quality of documentation.
Jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa

Sumber: UNESCO AD. Hoc. Committee (2003)

Untuk mengoperasikan faktor-faktor tersebut, pada setiap faktor akan di
skor menggunakan matrik dengan skor 1 sampe 5 poin kecuali faktor no 2.
Penerapan kerangka teori ini pernah di tes ileh SIL (Lewis:2005) dengan
menyelekso 100 bahasa di seluruh dunia dan di analisa menggunakan kerangka
penskoran tersebut. Dan temuannya adalah: Skala ini sangat jelas mengukur dan

Universitas Sumatera Utara

37

sangat bermanfaat bagi para peneliti yang menginvestigasi pemertahanan dan
pergeseran bahasa.
Namun Lewis (2005) memberikan beberapa kritikan terutama dalam
penskoran tiap faktor.Untuk faktor no 2, sangatlah sulit mendapatkan informasi
yang akurat jumlah penutur, disamping itu sangat sulit di interprestasikan.
Kemudian istilah speakers pada faktor ke 3 juga ambigu, apakah yang dimaksud
dengan speakers adalah penutur L1, atau penutur monolingual, ataukah penutur
yang menggunakan bahasa tersebut sebagai L2? Untuk faktor ke 4 Lewis
berargument:
“Certainly, the synchronic descriptions are indicative of language
endangerment if the core domains (home, friends, neighbourhood) are
no longer associated with the language in question, but the fact that
languages are assigned different functions does not necessarily
indicate that language shift is underway.” (Lewis, 2005:26)

Faktor no 6 sangatlah kompleks karena data yang manakah yang dipakai,
apakah data yang ditemukan pada penggunaan bahasa sebagai media instruksi
pada lembaga pendidikan, atau pada material pengajaran. Dan bagaimanakah jika
ditemukan ada lebih dari satu orthography?
Faktor no 8 juga mengalami kesulitan dalam penskoran karena sikap
bahasa (language attitude) sangat sulit diakses dalam pola yang seragam karena
sikap bahasa yang terdapat dalam populasi amatlah beragam, jadi tidak dapat
diambil satu pola mewakili pola sikap keseluruhan populasi.
Menurut Obiero (2010) faktor no 9 masih memerlukan investigasi
mendalam karena jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa sulit dinilai.Beberapa
bahasa tidak atau kurang dalam pendokumentasian, namun bahasa tersebut masih
hidup.Sebaliknya ada juga bahasa yang terdokumentasi dengan baik namun mulai
kehilangan penuturnya.

Universitas Sumatera Utara

38

Namun secara umum, framework ini cukup bermanfaat bagi para linguis,
organisasi, dan masyarakat yang peduli pada kepunahan bahasa dan
revitalisasinya.Grenoble dan Whaley (2006) telah mengaplikasikan dalam
penelitian vitalitas bahasa dan berpendapat bahwa ini adalah pengukuran yang
paling mudah diterapkan untuk menginvestigasi usaha-usaha yang harus
dilakukan pada bahasa yang terancam.
2.1.1.5 Skala EGIDS (Ethnologue’s Expanded Graded Intergenerational
Disruption Scale)
Framework teori ini dikemukakan oleh Lewis dan Simons (2009), setelah
menganalisa permasalahan pada skala pengukuran vitalitas bahasa versi
UNESCO, skala GIDS, serta skala Ethnologue, kemudian menggabungkan
ketiganya menjadi satu model skala denganklasifikasi 13 level yang kemudian
diberi

nama EGIDS (Ethnologue‟s

Expanded Graded Intergenerational

Disruption Scale). Berikut kerangka kerja EGIDS:
Tabel 2.5
Skala EGIDS (Ethnologue’s Expanded Graded Intergenerational Disruption
Scale)
LEVEL

LABEL

DESCRIPTION

0

International

The language is used internationally for a
broadrange of functions.
Bahasa digunakan pada skala internasional
untuk fungsi yang luas

Internasional
1

National

Nasional

2

Regional

Regional

UNESCO

The language is used in education, work,
massmedia, and government at the nation
wide level.
Bahasa digunakan dalam dunia pendidikan,
pekerjaan, masmedia, dan pemerintahan
pada skala nasional .
The language is used for local and
regional massmedia and governmental
services.
Bahasa digunakan untuk layanan masmedia
dan pemerintahan.

Safe
Aman
Safe

Aman

Safe

Aman

Universitas Sumatera Utara

39

3

Trade

Perdagangan

4

Educational

Pendidikan
5

Written

Tertulis

6a

Vigorous

Kuat

6b

Threatened

Terancam

7

8a

Shifting

The language is used for local and
Regional work by both insiders and
outsiders.
Bahasa digunakan dalam komunikasi lokal
dan regional baik oleh penduduk setempat
maupun pendatang.
Literacy in the language is being
Transmitted through a system of public
education.
Literasi dalam bahasa ditransmisikan
melalui sistem pendidikan.
The language is used orally by all
Generations and is effectively used in
written form in parts of the community.
Bahasa digunakan sebagai bahasa lisan
oleh semua generasi dan digunakan
secara efektif dalam bentuk tulisan oleh
masyarakat tutur.
The language is used orally by all
Generations and is being learned by
children as their first language.
Bahasa digunakan sebagai bahasa
lisan dan dipelajari oleh anak-anak
sebagai bahasa pertama.
The language is used orally by all
Generations but only some of the childbearing generation are transmitting it to
their children.
Bahasa digunakan sebagai bahasa lisan
oleh semua generasi tetapi hanya beberapa
orang tua yang mentransmisikan bahasa
tersebut kepada anak-anak mereka.

The child-bearing generation knows
The language well enough to use it among
themselves but none are transmitting it to
their children.
Bergeser
Generasi orang tua mengetahui bahasa
dengan cukup baik dan menggunakannya
dikalangan mereka tetapi tidak ada yang
mentransmisikan bahasa tersebut kepada
anak-anak mereka.
Moribund
The only remaining active speakers of
The language are members of the
grandparent generation.
Moribun/Hampi Penutur yang tersisa hanya
r mati
kelompok generasi kakek/nenek.

Safe

Aman

Safe

Aman
Safe

Aman

Safe

Aman

Vulnerable

Rentan

Definitely
Endangered

Terancam

Severely
Endangered
Sangat terancam

Universitas Sumatera Utara

40

Nearly Extinct

8b

Hampir Punah

Dormant

9

Dorman

Extinct

10

Punah

The only remaining speakers of the
language are members of the
grandparent generation or older who
have little opportunity to use the
language.
Penutur yang tersisa hanya kelompok
generasi kakek/nenek atau yang lebih
tua namun mereka mempunyai hanya
sedikit kesempatan untuk menggunakan
bahasa tersebut.

Critically
Endangered

Sangat Kritis
Terancam

The language serves as a reminder of
Heritage identity for an ethnic
community. No one has more than
Symbolic proficiency.
Bahasa hanya sebagai pengingat identitas
warisan sebuah kelompok etnis. Tak ada
seorangpun yang memiliki kemampuan
berbahasa tersebut.

Extinct

No one retains a sense of ethnic
Identity associated with the language,
even for symbolic purposes.
Tak ada seorangpun yang memelihara
bahasa baik sebagai identitas maupun
simbol etnis.

Extinct

Punah

Punah

Sumber :Lewis and Simons (SIL International:2013; http://www.ethnologue.com; accessed
pada tanggal 12 September 2014)

Meskipun penomoran pada table di atas sampai dengan level no 10,
namun menunjukan kategori sebanyak 13, karena terdapat Level 6a dan level 6b
yang merujuk pada GIDS level 6, serta Level 8a dan level 8b yang merujuk pada
GIDS level 0, 9, dan 10. Kemudian penambahan kolom ke 4 yaitu kolom
UNESCO menunjukkan rujukan pada skala pengukuran Unesco‟s Endangerment
and Vitality Scale.
Pada

skala

mengembangkan

pengukuran

vitalitas

bahasa

ini

EGIDS

mampu

tiga hal penting; pertama, pengelompokan bahasa yang

Universitas Sumatera Utara

41

tergolong “safe” mampu meliputii diversitas situasi bahasa, kedua, kategori
bahasa dibawah “safe” terdefinisi dengan baik sehingga bisa menjadi perhatian
pada program revitalisasi, ketiga, mempunyai rentang grid yang fleksibel
sehingga bisa untuk mengukur seluruh bahasa yang ada di dunia.
Untuk mengadaptasikan skala ini dalam penelitian, disediakan 5
pertanyaan kunci yang dapat memandu diagnose pada proses evaluasi sebuah
bahasa. Ke 5 pertanyaan kunci tersebut adalah sebagai berikut:

1. What is the curret identity function of the language? (Apakah fungsi bahasa
pada saat ini?)
Untuk menjawab pertanyaan ini ada 4 kemungkinan jawaban yaitu Historical,
Heritage, Home, Vehicular.Pemilihan jawaban akan menentukan kemana focus
pertanyaan selanjutnya.
2. What is the level of official use?(Pada level apakah penggunaan bahasa pada
ranah resmi?)
Pertanyaan ini membantu membedakan antara level-level EGIDS yang
mungkin ketika bahasa berfungsi sebagai vehicular. Ada 4 kemungkinan
jawaban yang berkorespondensi dengan skala EGIDS level 0 sampai dengan 3,
yaitu International, National, Regional, dan Not-Official.
3. Are all parents transmitting the language to the children (Apakah semua
orangtua mentransmisikan bahasa kepada anak-anak mereka?)
Pertanyaan kunci ke-3 akan diajukan ketika pertanyaan kunci ke-1 jawabanya
adalahhome. Dua kemungkinan jawaban yaitu yes atau No. jika jawabannya
Yes maka pertanyaan kunci ke-4 harus dijawab untuk menentukan vitalitas
bahasanya ada pada level 4, 5, atau 6a. Jika jawabannya No maka pertanyaan

Universitas Sumatera Utara

42

kunci no 5 harus dijawab untuk menentukan level vitalitas bahasa pada level
EGIDS 6B, 7, dan 8a.
4. What is the literacy status?(Bagaimana status literasi?)
Jika jawaban pada pertanyaan kunci ke-3 adalah Yes maka status dari literacy
pendidikan dalam masyarakat tutur bahasa tersebut harus di identifikasi. Dan
jawaban juga ada 3 kemungkinan, yaitu institutional, incipient (written), dan
None.
5. What is the youngest generation of proficient speakers? (Kelompok generasi
termuda manakah yang merupakan penutur fasih?)
Jawaban pertanyaan kunci ke-5 mengacu pada jawaban pertanyaan kunci ke-3,
jika jawabannya adalah No maka perlu diinvestigasi dengan pertanyaan selanjutnya untuk
mengetahui seberapa jauh pergeseran bahasa telah terjadi untuk bisa mengakses level
EGIDS pada kelompok greatgrandparents, grandparents, Parents, atau Children.

Sebagai kesimpulan terhadap teori-teori yang sudah didalilkan di atas
sangatlah penting untuk bisa mengambil kekuatan dari semua teori yang sudah
diajukan mulai dari model Fishman sampai EGIDS.Karena semua model tersebut
berdasarkan pada prinsip untuk menemukan teori revitalisasi bahasa.
Dalam penelitian ini diadaptasikan model EGIDS dengan pertimbangan
dari penjabaran diatas yang memberikan kejelasan yang lebih dalam pengukuran
vitalitas bahasa dari segi indikator dan kriteria di tiap levelnya.
2.1.2 Teori Domain (Ranah)
Konsep ranah telah dikembangkan oleh Fishman (1972b) dan nampak
bahwa dia berhasil mengemukakan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap
pengkajian perilaku pemilihan bahasa yang juga menghubungkan sosiolinguistik
mikro dan makro.Fishman mengemukakan alasan bahwa penjelasan perilaku

Universitas Sumatera Utara

43

sosiolinguistik seperti perilaku pemilihan bahasa harus dimulai dari konstruksi
yang tinggi dan menurun secara bertahap ke konstruksi yang rendah.
Konsep ranah tersebut dikemukakan untuk menjelaskan perilaku
penggunaan bahasa dalam masyarakat bilingual atau multilingual.Dia memerikan
perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur melalui pengelompokkan
ranah bahasa. Istilah ranah diartikan sebagai susunan situasi atau medan interaksi
yang pada umumnya di dalamnya digunakan satu bahasa.Satu ranah di kaitkan
dengan ragam bahasa tertentu.Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah adalah
abstraksi dari persilangan antara status dan hubungan –peran, lingkungan, dan
pokok bahasan tertentu.
Sementara itu, Siregar (1987:21) mencoba mengaitkan penggunaan bahasa
dengan

sikap

bahasa

tertentu

yang

mendasari

penggunaan

bahasa

tersebut.Selanjutnya menekankan bahwa sikap bahasa pada umumnya dianggap
sebagai beberapa perilaku terhadap bahasa dan hubungan antara sikap bahasa dan
pemertahanan bahasa maupun pergeseran bahasa.Hal itu dijelaskan dengan
memahami pola perilaku atau mengenali yang mana diantaranya yang memiliki
pengaruh langsung ataupun tidak langsung bagi pemertahanan bahasa.
Dengan kata lain disimpulkan bahwa salah satu cara untuk menguji
penggunaan bahasa pada komunitas tutur diperlukan teori ranah (domain), sebuah
istilah yang dipopulerkan oleh sosiolinguis Amerika, yaitu Joshua Fishman.
Fishman (1972:442) mendefenisikan “ranah” sebagai gambaran abstrak sosial
budaya dari topik komunikasi, hubungan antarkomunikator, dan tempat terjadinya
peristiwa komunikasi, sesuai dengan struktur sosial lapisan suatu komunitas
tutur.Faktor sosial tertentu –siapa yang berbicara, konteks sosial pembicaraan,

Universitas Sumatera Utara

44

fungsi dan topik pembicaraan– ternyata sangat penting dalam pertimbangan untuk
memilih bahasa dalam berbagai jenis komunitas tutur yang berbeda.
Menurut Crystal (1980) Konsep ranah yang dikembangkan dalam bidang
sosiolinguistik mengacu pada sekelompok situasi sosial yang terlembaga yang
biasanya dibatasi oleh serangkaian peraturan perilaku bersama. Dalam komunitaskomunitas multilingual, variasi topik dan pilihan bahasa yang digunakan oleh
partisipan merupakan variabel terikat dari berbagai ranah dalam masyarakat yang
akan diteliti. Ranah-ranah yang sering kali disebutkan adalah rumah, sekolah,
tempat kerja, serta peristiwa budaya dan peristiwa sosial.Terlebih lagi, telah
ditunjukkan bahwa pilihan bahasa merupakan suatu tanda solidaritas dan jati diri
kelompok.Dengan demikian, penjelasan terhadap masalah pilihan bahasa daerah,
menurut jumlah ranah yang di dalamnya pilihan itu ditemukan, dianggap sebagai
suatu indikator yang kuat terhadap daya hidup bahasa.
Fishman (1968) mengemukakan 4 ranah, yaitu (1) keluarga, (2)
ketetanggaan,(3) kerja, dan (4) agama. Greenfield (dalam Fasold, 1984:181)
menggunakan 5 ranah dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa orang Puerto
Rico di New York City, yaitu (1) keluarga, (2) kekariban, (3) agama, (4)
pendidikan, dan (5) kerja. Sementara itu, Sumarsono (2002:266) menggunakan 7
ranah pengamatan dalam penelitian yang dilakukannya, yakni (1) keluarga, (2)
kekariban, (3) ketetanggaan, (4) pendidikan, (5) agama, (6) transaksi, dan (7)
pemerintahan. Teori ranah yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Fishman yang telah dikembangkan oleh Sumarsono.

Universitas Sumatera Utara

45

2.1.3 Teori Sikap Bahasa
Sikap bahasa pada dasarnya berhubungan dengan sikap pada umumnya.
Sikap bahasa merupakan dorongan dari dalam individu yang berhubungan dengan
proses motif, emosi, dan kognisi yang mendasari seseorang bertingkah, khususnya
dalam berbahasa.
Lambert (1967: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari 3
komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif mengacu atau berhubungan dengan pengetahuan atau suatu
kategori yang disebut proses berpikir. Komponen afektif menyangkut penilaian
seperti baik, buruk, suka, jika seseorang mempunyai sikap baik maka dikatakan
orang tersebut mempunyai sikap positif, jika sebaliknya maka dia mempunyai
sikap negatif.Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai
putusan akhir terhadap suatu keadaan.
M. Gagne (1989:287) sependapat dengan Lambert bahwa sikap pada
umumnya mengandung 3 segi yang dapat diselidiki secara terpisah atau bersama.
Tiga segi tersebut adalah: (1) segi kognitif mengenai gagasan yang menyatakan
hubungan antara situasi dan object sikap; (2) segi afektif mengenai emosi atau
perasan yang muncul bersamaan dengan gagasan; dan (3) segi perilaku mengenai
kesiapan untuk bertindak. Melalui ketiga komponen inilah seseorang biasanya
mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan.
Setiap orang mempunyai pandangan terhadap bahasanya sendiri, dengan
adanya pandangan tersebut akan menimbulkan sikap. Jika orang tersebut
berpikiran positif terhadap bahasanya, ditandai dengan adanya kemauan untuk
mempertahankan kemandirian bahasanya, kemauan menjadikan bahasa sebagai

Universitas Sumatera Utara

46

lambang identitas pribadinya, dan kemauan menggunakan bahasa secara cermat.
Dengan istilah lain seseorang mempunyai sikap kesetiaan bahasa, kebanggaan
bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa.
Penelitian sikap bahasa amatlah penting bagi kajian sosiolinguistik karena
dengan melakukan penelitian terhadap sikap bahasa kita dapat memprediksi
perilaku bahasa: termasuk didalamnya pilihan bahasa dalam masyarakat tutur,
kesetiaan bahasa, dan juga prestige sebuah bahasa (Obiols:2002). Suzanne
Romaine mengatakan bahwa dasar pengukuran sikap bahasa sangatlah
bervariasi.Meskipun begitu dia menjelaskan bahwa menerjemahkan sikap dari
ranah subyektif ke dalam pengukuran yang obyektif adalah permasalahan yang
umum dihadapi dalam penelitian tetang sikap bahasa, yang melibatkan kelas
sosial dan atau penilaian dalam bentuk persepsi. (Romaine:1980).
Pengukuran skala sikap pada hakikatnya diperlukan untuk memudahkan
langkah analisis data kuantitatif. Idealnya sikap ini dilakukan dengan cara
observasi perilaku, pertanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap,
dan pengukuran terselubung.

2.1.3.1 Ciri-Ciri Sikap Bahasa
Garvin dan Mathiot (dalam Fishman 1968) menyebutkan bahwa sikap
bahasa itu setidaknya mengandung 3 ciri pokok, yaitu: (1) kesetiaan bahasa
(language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), dan (3) kesadaran norma
bahasa(awareness of the norm). Apabila seseorang memiliki ketiga ciri tersebut
maka dia memiliki sikap positif terhadap bahasanya. Sebaliknya jika seseorang
atau sebuah komunitas tutur tidak memiliki salah satu, atau dua, atau bahkan

Universitas Sumatera Utara

47

ketiganya, maka dikatakan seseorang atau kelompok tutur tersebut mempunyai
sikap negatif.
(1) Sikap Setia Terhadap Bahasa (Language Loyalty)
Sikap setia terhadap bahasa adalah sikap mental untuk merefleksikan
kesadaran dalam bertingka laku yang berpola sikap setia terhadap abahasa
(Weinreich:1970).

Sikap

ini

mendorong

masyarakat

tutur

untuk

terus

menggunakan dan mempertahankan bahasanya.
(2) Sikap Bangga Terhadap Bahasa (Language Pride)
Weinreich (1970) mengemukakan bahwa sikap bangga ini merupakan
motivasi terhadap seseorang atau kelompok tutur intuk menjadikan bahasanya
sebagai identitas yang perlu dibanggakan. Identitas sebagai anggota dari etnisnya
yang perlu dibanggakan. Jika seseorang atau kelompok tutur bangga terhadap
bahasanya tentu tidak akan menggantinya dengan bahasa yang lain.
(3) Kesadaran Norma bahasa (Awareness of Language Norms)
Kesadaran akan norma bahasa akan membuat seseorang berbahasa dengan
baik dan benar. Kembali Weinreich (1970) berpendapat bahwa dorongan internal
pada diri seseorang atau kelompok tutur itu untuk menggunakan bahasa nya sesuai
dengan norma-norma bahasanya sehingga tercermin dalam perilaku bahasanya
yaitu pada pilihan bahasa untuk digunakan (language use).
2.1.3.2 Teknik “Matched Guise”
Penentuan sikap bahasa dapat dilakukan dengan metode langsung dan
tidak langsung (Fasold:1984:150). Metode langsung artinya subyek penelitian
harus menjawab pertanyaan yang diungkapkan secara langsung oleh peneliti
melalui kuesioner.Metode tidak langsung artinya pengukuran sikap dirancang agar

Universitas Sumatera Utara

48

subyek pebelitian tidak tahu bahwa sikap bahasanya sedang diselidiki
peneliti.Metode tidak landsung disebut dengan teknik “Matched Guise”.
Teknik ini dikenalkan oleh Lambert, Hodgson, Garner, dan Fillenbaum
(1960) sebagai salah satu teknik untuk mengukur sikap bahasa. Dalam kegiatan
pengukuran diperlukan (1) suara penutur yang biasanya direkam, (2) Juri (dalam
hal ini adalah responden yang diminta menilai apa yang mereka dengar melalui
persepsi terhadap bahasa maupun penuturnya. Prosedur pengukuran dilakukan
dengan 2 langkah. Pertama, responden bertindak sebagai juri yang akan menilai
penutur yang diperdengarkan melalui rekaman, dan kedua mengisi kuesioner
penilaian terhadap suara yang dipedengarkan. Komponen yang relevan dilibatkan
dalam teknik “matched guise” (dikutip dari Obiols:2002) adalah sebagai berikut:
a. variabel jenis kelamin, umur, dan bahasa pertama responden.
b. Jenis kelamin, umur, dan variasi bahasa penutir dalam rekaman;
c. Responden tidak diberitahu informasi

apapun tentang penutur dalam

rekaman.
d. Durasi rekaman antara 1 sampai 2 menit.

2.1.4 Konsep Kemampuan Lingual
Seringkali kemampuan bahasa, kemampuan berbicara, dan kemampuan
berkomunikasi dianggap sebagai suatu hal yang sama. Terutama dalam kehidupan
sehari-hari, ketiga hal ini sepertinya hampir tidak memiliki perbedaan dan batasan
yang jelas satu dengan lainnya.Padahal ketiga hal ini merupakan hal yang berbeda
walaupun saling berkaitan satu dengan lainnya.Berikut ini adalah perbedaan

Universitas Sumatera Utara

49

kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara, dan kemampuan berkomunikasi
(Gleason, 1998).
2.1.4.1 Kemampuan berbahasa
Bahasa mempunyai karakteristik sendiri dan mempunyai suatu struktur
hierarki dan pesan/bahasa dapat dibagi menjadi unit terkecil dari analisis.Bahasa
anak-anak terdiri dari kalimat yang terdiri dari elemen terkecil seperti kata dan
suara, kedua hal tersebut bisa dikombinasikan menjadi suatu ucapan.Bahasa yang
baik yaitu bahasa yang diproduksi dan dapat dimengerti menjadi suatu kesatuan
kalimat yang utuh.Jadi, kemampuan berbahasa adalah kemampuan seorang
individu untuk membuat kata-kata atau suara-suara yang dikombinasikan menjadi
suatu ucapan/suatu kesatuan kalimat utuh yang dapat dimengerti oleh dirinya
sendiri dan oleh individu lain disekitarnya.
2.1.4.2 Kemampuan berbicara
Ketika individu berbicara maka akan menghasilkan suatu vokal yang
terdiri dari suara-suara. Terdapat beberapa sistem utama ketika individu berbicara
dan menghasilkan suara, yaitu: vokal, larynk, subglottal system, dimana terdiri
dari paru-paru dan gabungan beberapa otot untuk pernapasan dan pelepasan udara
dan tenggorokan. Subglottal system terdiri dari udara yang dibutuhkan untuk
berbicara dimana dihasilkan ketika pernapasan keluar.Jadi, kemampuan berbicara
adalah

kemampuan

individu

untuk

menghasilkan

suara,

dimana

untukmenghasilkan suara ini dibutuhkan beberapa sistem utama yang terdiri dari
vokal, larynk, paru-paru gabungan beberapa otot untuk pernapasan dan pelepasan
udara dan tenggorokan.

Universitas Sumatera Utara

50

2.1.4.3 Kemampuan Berkomunikasi
Komunikasi itu memegang peranan yang penting, hampir setiap menit
kita berkomunikasi. Sebagai contoh ketika dirumah kita berkomunikasi dengan
orang tua, saudara, pembantu. Juga termasuk komunikasi dengan teman dan guru
di lingkungan sekolah serta di lingkungan masyarakat/dalam berorganisasi
individu juga melakukan proses berkomunikasi. Melalui berkomunikasi individu
dapat menyatakan pendapat, mengajukan permohonan, meminta pertolongan,
menawarkan solusi, menyampaikan instruksi, dan memberikan informasi kepada
orang lain.
Yang dimaksud kemampuan lingual dalam penelitian ini adalah unsur
kemampuan berbahasa yang akan diteliti. Sejauh mana penguasaan penutur
bahasa Devayan saat ini menguasai ketrampilan memproduksi dan menerima
(memahami) bahasa Devayan.
Penguasaan

bahasa

adalah

sistem

lambang

bunyi

yang

abitrer

dipergunakan untuk menentukan bentuk fonologis suatu kata oleh kata lain
(Harimurti, 1982:165).Dalam penelitian ini difokuskan pada penguasaan bahasa
daerah, yaitu bahasa Devayan.Penguasaan bahasa daerah harus tetap ada dalam
diri setiap anak negeri.Mereka harus menyadari dari mana asal-usul mereka dan
menguasai bahasa daerahnya, sehingga ketika ada orang yang sekampung atau
serumpun, kita bisa saling berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing.
Penelitian kemampuan lingual ini akan difokuskan pada kemampuan memahami
ketika mendengar ujaran, serta kemampuan memproduksi verbal bahasa Devayan.

Universitas Sumatera Utara

51

2.1.5 Konsep Subjective Ethnolinguistic Vitality (SEV) Bourhis
Bourhis (1981) memformulakan bahwa faktor-faktor subyektif (SEV)
dapat digunakan untuk memprediksi vitalitas sebuah bahasa.Untuk menemukan
vitalitas etnolinguistik secara subyektif dilakukan dengan kuesioner utnuk
mengukur vitalitas bahasanya melalui persepsi masyarakat tutur. Dengan konsep
dari teori tersebut, kita dapat mengacu 3 faktor yang di propose dalam teori ini
yang dapat mempengaruhi vitalitas sebuah bahasa, yaitu faktor (1) status bahasa,
(2) letak geografis, dan (3) dukungan institusi dalam masyarakat. Untuk
mendapatkan level EV mereka membuat serangkaian kuesioner untuk
mendapatkan data vitalitas bahasa tersebut.Konsep tersebut adalah untuk
mengetahui apakah ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi vitalitas bahasa.

2.1.6 Konsep Subjective Ethnolinguistic Vitality (SEV) Allard dan Landry

Teori SEV yang diajukan oleh Allard dan Landry dikembangkan
berdasarkan persepsi (beliefs) masyarakat tutur. Mereka berpendapat bahwa
persepsi

dapat

memprediksi

level

vitalitas linguistic

dan juga

dapat

menggambarkan sikap dari anggota masyarakat tutur terhadap penggunaan
bahasanya. Mereka menemukan bahwa persepsi-pesepsi tersebut pada akhirnya
dapat memprediksi perilaku bahasa.

Universitas Sumatera Utara

52

L1

L1 = L2

+

L2

Sociological Level +
ETHNOLINGUISTIC VITALITY
Demographic Capital
Political Capital
Economic Capital
Cultural Capital_

_

+

Socio-psychological Level +
INDIVIDUAL NETWORK OF LINGUISTIC CONTACTS
Demographic Capital
Political Capital
Economic Capital
_
Cultural Capital
_

+

+

Psychological Level
APTITUTUDE/COMPETENCE

_
_

COGNITIVE-AFFECTIVE DISPOSITION
(Vitality Beliefs)

+

_

+
LANGUAGE BEHAVIOUR

_

_

ADDITIVE
TYPE OF BILINGIALISM
SUBSTRACTIVE

Unlingual
L1

Dominant
Bilingual L1

Balanced
Bilingual

Dominant
Bilingual L2

Unlingual
L2

Gambar 2.1 Model makroskopik terbentuknya Dwibahasa jenis Additivedan
(Landry dan Allard 1987b)

Pada gambar 2.1 adalah model yang menggambarkan terbentuknya jenis
kedwibahasaan (bilingualism) yang digolongkan menjadi 2, yaitu additive dan

Universitas Sumatera Utara

53

subtractive. Dwibahasa jenis additive terjadi ketika kondisi terbentuk sangat
mendukung pengembangan dan pemeliharaan bahasa lokal dan membolehkan
pembelajaran dan penggunaan bahasa kedua.Sedangkan jenis subtractive adalah
dimana kondisi mendukung perkembangan bahasa kedua dan rusaknya bahasa
ibu.
Teori mereka didasarkan pada teori “cognitive orientation”.Dari perilaku
bahasa kemudian dibuat suatu rancangan untuk mengeksplorasi persepsi vitalitas
bahasa.Teori ini mengidentifikasi 4 tipe persepsi (beliefs) yaitu persepsi umum
(general beliefs), persepsi normatif (normative beliefs), persepsi perseorangan
(personal beliefs), dan persepsi tujuan (goal beliefs).
Empat tipe persepsi tersebut menghasilkan konsep Ethnolinguistic Vitality
(EV), yaitu vitalitas masa kini (present vitality), vitalitas masa datang (future
vitality), vitalitas legitimet (legitimate vitality), model sosial, belongingness,
valorization, efficacy, dan goal and desire.Gambar 2.2 dapat menjelaskan secara
ringkas definisi dan contoh dari ke delapan persepsi EV.

OBJECT

NON-SELF
SUBJECT

SELF

FACTUAL

DESIRED

General Beliefs
Present vality
Future vitality
Social models

Nonnative Beliefs
Legitimate vitality

Personal Beliefs
Valorization
Belongingness
Personal efficacy

Goal Beliefs
Goals or desires

Gambar 2.2Teori persepsi Cognitive Orientation (yang cetak miring) dan 8
jenis persepsi yang merefleksikan EV

Universitas Sumatera Utara

54

Berikut pada gambar 2.3 dideskripsikan dengan jelas variable lingkungan
keluarga, sekolah, dan Institusi dalam

masyarakat Usia Sekolah terhadap

Vitalitas bahasa dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh Vitalitas Bahasa
dalam masyarakat (Landry and Allard: 1985).

Gambar 2.3 Hubungan variable lingkungan keluarga, sekolah, dan Institusi
dalam masyarakat Usia Sekolah terhadap Vitalitas bahasa

2.1.7 Analisis Sosiolinguistik Mikro dan Makro
Penelitian Sosiolinguistik dilakukan pada dua macam analisis, yaitu
analisis tingkat mikro dan makro. Analisis tingkat Mikro berfokus pada kajian
perilaku individu di dalam interaksi interface, sedangkan analisis tingkat makro
menekankan perilaku bahasa dari seluruh masyarakat bahasa. Namun dewasa ini
juga ada penelitian yang mengkaji selain kedua tingkat analisis tersebut, yaitu
penelitian mengenai psikologi sosial yang ada kaitannya dengan kedwibahasaan,
misalnya penelitian perilaku bahasa pada kajian akomodasi bahasa.

Universitas Sumatera Utara

55

Secara teoritis dapat diasumsikan bahwa jika masyarakat bahasa yang
diteliti mempertahankan jenis hubungan seimbang diantara komponen situasi
sosial dengan variasi bahasa, maka pemilihan bahasa dapat dikatakan mudah
diduga jika dikaitkan dengan situasi bahasa. Artinya pada situasi tertentu akan
mudah diduga bahasa apa yang akan dipakai. Situasi mungkin akan mencakup
hubungan-peran, tempat, dan pokok bahasan. Pada interaksi interface redefinisi
komponen yang sebelumnya sudah mapan biasanya menunjukkan pengalihan satu
bahasa ke bahasa lainnya. Namun, seluruh faktor situasi sosial ini tidak berdiri
sendiri namun disertai oleh faktor-faktor lainnya seperti sikap dan kesetiaan
kelompok.Dengan demikian, penyelidikan sikap bahasa dapat memberikan
penjelasan yang relatif tepat terhadap pemertahanan bahasa.
Sebenarnya dalam kajian sosiolinguistik ada 2 metode yang dikembangkan
berdasarkan tingkat analisis makro dan mikro, yaitu metode ancangan
korelasional dan ancangan interaksional.Ancangan korelasional ditandai dengan
pelaksanaan survei lapangan yang sebagian besar menggunakan kuesioner,
wawancara, dan sejumlah pengujian tertentu. Meskipun kadang dibantu dengan
pengamatan langsung dalam berbagai konteks, namun penggunaannya terbatas
sebagai alat bantu namun tidak digunakan secara meluas seperti pada ancangan
interaksional. Ancangan korelasional ini menganggap hubungan antara bahasa dan
kategori sosial sebagai satu sistem yang berhubngan erat, tetapi tidak
terikat.Bahasa dilihat dari seperangkat kaidah yang memungkinkan penuturpenuturnya untuk menerjemahkan informasi dari dunia luar bahasa ke dalam
bunyi bahasa. Kategori sosial dianggap sebagai bagian dari dunia luar bahasa dan
diukur melalui ciri-ciri sosial yang tidak terikat oleh proses komunikasi. Pada

Universitas Sumatera Utara

56

dasarnya kategori sosial dipandang sebagai variabel terikat (Labov, 1966).Bagi
para peneliti panganut ancangan korelasional, premis empirisnya adalah bahwa
perubahan sistematis dengan menghubungkan dua perangkat variabel yang telah
diukur secara terpisah.
Sedangkan kajian sosiolinguistik interaksional bertumpu pada karya-karya
Goffmann (1961) yang telah mendasari penelitian-penelitian Gumperz (1967).
Gumperz (1967, 1972)

menyatakan bahwa ancangan interaksional dapat

mengatasi masalah kelemahan pengukuran korelasional yang tidak mampu
menyediakan penjelasan untuk norma-norma sosial yang berbeda maupun kaidahkaidah yang mendasari perilaku bahasa yang sebenarnya. Dalam pengumpulan
data, ancangan interaksional menganggap bahwa hubungan sosial merupakan
penentu perilaku bahasa yang paling penting.Bagi para peneliti yang
menggunakan ancangan interaksional penggunaan pengamatan langsung sangat
penting untuk meneliti pemakaian bahasa.
Kedua ancangan diatas yaitu ancangan korelasional dan interaksional
nampaknya sejalan dengan kajian yang bersifat mikro dan makro. Teori
sosiolinguistik mikro menekankan pada bagaimana individu tidak mengikuti
beberapa norma sosiologi tertentu. Sedangkan Teori sosiolinguistik makro
berusaha menguraikan penyebaran perbedaan bahasa di tengah-tengah masyarakat
dari segi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan kelompok etnik penutur
yang menjadi subyek kajian (Labov:1966).
Namun pada prakteknya banyak penelitian yang memakai keduanya
dengan menggabungkan teknik-teknik korelasional dengan interaksional dalam
kajiannya.Pemanfaatan kedua teknik tersebut di dalam penelitian sosiolinguistik

Universitas Sumatera Utara

57

dianggap dapat saling melengkapi dan dapat menjelaskan gejala-gejala yang
diteliti.
2.1.8 Konsep Verbal Repertoire (Masyarakat Tutur)
Ferdinand de Saussure (1916) dalam bukunya Course in General
Linguistics membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Jika
dipadankan dalam bahasa Indonesia ketiganya berarti bahasa, namun sebenarnya
ketiganya mempunyai pengertian yang berbeda. Langage bersifat abstrak karena
bahasa disebut sebagai lambang bunyi untuk berkomunikasi verbal, atau dengan
kata lain alat komunikasi. Langue juga bersifat abstrak karena disebut sebagai
sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok masyarakat
tertentu.Sedangkan parole bersifat kongkret karena merupakan pelaksanaan dari
langue dalam bentuk ujaran atau tuturan.Parole ini nyata ada dan dapat diamati
secara empiris.Pakar lain Chomsky (1957) membedakan antara kompetens dan
performans, yaitu kemampuan bahasa dan pemakaian bahasa. Sedangkan Halliday
(1968), tokoh linguistik sistemik, menekankan pada sisi kemasyarakatan bahasa,
dia

tidak

membedakan

kemampuan

menyatukannya

dalam

kominikatif

meliputi

ini

istilah

dan

ketrampilan

communicative

kemampuan bertutur

bahasa,

competence.
atau

namun

Kemampuan

kemampuan

untuk

menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma
penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya.(Halliday
1972:269-293).Communicative competence pada individu bervariasi, biasanya
menguasai bahasa ibu dengan variasi dan ragamnya, dan beberapa bahasa lain
yang diperoleh sesudahnya. Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki
dan dikuasai seseorang ini disebut verbal repertoire.

Universitas Sumatera Utara

58

Menurut Chaer dan Agustina (2010) verbal repertoire itu ada 2 macam,
yaitu verbal repertoire individu dan masyarakat. Kajian yang mempelajari
penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal diantara penuturnya di dalam
masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro.
Sedangkan kajian penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri
linguistic dalam masyarakat disebut linguistik korelasional atau sosiolinguistik
makro.Penelitian

ini

mengkaji

karakteristik

penggunaan

bahasa

dalam

masyarakat.Lebih lanjut akan dibahas lebih rinci pada landasan teori.
2.1.9 Bilingualisme/Multilingualisme dan Diglosia
Jacobson (1953) menyatakan bahwa “Bilingualism is for me the
fundamental problem of linguistics”. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan
fenomena kebahasaan yang terjadi di dunia saat ini. Dengan semakin terbukanya
system komunikasi dan informasi semakin membuka peluang terjadinya kontak
bahasa sehingga kedwibahasaan atau kemultibahasaan menjadi hal yang lazim.
Grosjean (1982:vii) memperkirakan bhwa kurang lebih separuh dari populasi
dunia adalah masyarakat dwibahasa.
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu,
yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara
sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh seorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey
1992:12, Fishman 1997:73).Sedangkan edwibahasaan menurut Bloomfield
(1933:56) adalah “native-li