Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pendapatan Keluarga dan Kebiasaan Makan Keluarga terhadap Kecukupan Energi dan Protein Pada Anak Balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecukupan Energi dan Protein
Manusia demi kehidupannya sangat ditentukan oleh berlangsungnya atau
bergeraknya

proses-proses

dalam

tubuh,

seperti

berlangsungnya

proses

peredaran/sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan, proses-proses
fisiologis lainnya, selanjutnya bergerak melakukan berbagai kegiatan atau melakukan

pekerjaan fisik, untuk itu semua diperlukan energi. Energi dalam tubuh manusia dapat
timbul dikarenakan adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, dengan
demikian agar manusia selalu tercukupi energinya diperlukan pemasukan zat-zat
makanan yang cukup pula kedalam tubuhnya. Manusia yang kurang makan akan
lemah baik daya kegiatan, pekerjaan-pekerjaan fisik maupun daya pemikirannya,
karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan
energi. Manusia harus mendapatkan sejumlah makanan tertentu setiap harinya yang
menghasilkan energi, terutama untuk mempertahankan proses kerja tubuhnya dan
menjalankan kegiatan-kegiatan fisik. Karena itu maka kita harus dapat mengetahui
atau menentukan banyaknya energi dari makanan yang dimakan itu apakah
mencukupi banyaknya energi minimal untuk keperluan menjalankan proses kerja
tubuh atau masih kurang mencukupi (Kartasapoetra, G, 2003).
Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak,
seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian, setelah itu bahan

8

makanan sumber karbohidrat, seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni.
Semua bahan makanan yang dibuat dari dan dengan bahan makanan tersebut
merupakan sumber energi. Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk

kedalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan (Almatsier,
2001).
Menurut Depkes RI (1996), pengukuran kecukupan energy adalah sebagai
berikut : lebih, jika asupannya > 110% dari kebutuhan, baik jika asupannya > 80 –
110% dari kebutuhan, cukup jika asupannya 70 – 80% dari kebutuhan dan kurang
jika asupannya < 70% dari kebutuhan. Tingkat kecukupan energy dikatakan defisiensi
berat apabila tingkat konsumsi dibawah 70% (Suryono, 2012).
Kecukupan energi seseorang adalah konsumsi energi berasal dari makanan
yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai
ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktifitas yang sesuai dengan kesehatan
jangka panjang dan yang memungkinkan pemeliharaan aktifitas fisik yang
dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Pada anak balita kebutuhan energi termasuk
kebutuhan untuk pembentukan jaringan-jaringan baru sesuai dengan kesehatan
(Almatsier, 2001).
Salah satu penyebab munculnya kekurangan gizi dimasyarakat adalah akibat
rendahnya asupan energi dan protein dari makanan sehari-hari. Kondisi ini muncul
akibat tidak tersedianya makanan sumber energi dan protein yang mencukupi dalam
keluarga, sehingga kebutuhan anggota keluarga akan energi dan protein tidak
terpenuhi. Kegunaan energi pada masa pertumbuhan anak-anak sebagai berikut : 50%


untuk basal metabolisme atau sebanyak lebih kurang 55 kkal/kg BB/hari dan setiap
kenaikan basal metabolisme atau sebanyak lebih kurang 10%, 5%-10% untuk specific
dynamic, 12% untuk aktifitas fisik atau sebanyak 15-25 kkal/kg/hari dan 10%
terbuang melalui feses. Kekurangan konsumsi zat gizi dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terlambatnya pertumbuhan anak dan penyakit kurang energi protein
(KEP) terutama marasmus (RSCM dan Persagi, 1990).
Kekurangan energi yang kronis pada anak balita dapat menyebabkan anak
tersebut lemah, serta pertumbuhan jasmani terhambat dan perkembangan selanjutnya
terganggu. Pada orang dewasa ditandai dengan menurunnya berat badan menurunnya
produktifitas kerja. Kekurangan gizi pada semua golongan umur dapat menyebabkan
mudahnya serangan infeksi penyakit lainnya serta lambatnya proses regenerasi sel
tubuh (Almatsier, 2001).
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separuhnya ada didalam
otot, seperlima didalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh didalam kulit dan
selebihnya didalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim berbagai hormon
pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein.
Ada beberapa fungsi protein yang diantaranya adalah :
1.


Pertumbuhan dan pemeliharaan
Sebelum sel-sel dapat mensintesis protein baru, harus tersedia semua asam
amino esensial yang diperlukan dan cukup nitrogen atau ikatan amino guna
pembentukan asam-asam amino non esensial yang diperlukan.

2.

Pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh
Hormon-hormon seperti tiroid, insulin dan efinefrin adalah protein, demikian
pula berbagai enzim. Ikatan-ikatan ini bertindak sebagai katalisator atau
membantu perubahan-perubahan biokimia yang terjadi didalam tubuh.

3.

Mengatur keseimbangan air
Cairan tubuh terdapat didalam tiga kompartemen : intraseluler (didalam sel),
ekstraseluler (diantara sel) dan intravaskuler (didalam pembuluh darah).
Distribusi cairan didalam kompartemen ini harus dijaga dalam keadaan
seimbang atau homeostasis. Keseimbangan ini diperoleh melalui system
kompleks yang melibatkan protein dan elektrolit.


4.

Memelihara netralitas tubuh
Protein tubuh bertindak sebagai buffer, yaitu bereaksi dengan asam dan basa
untuk menjaga ph pada taraf konstan.

5.

Pembentukan antibodi
Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya
untuk memproduksi antibody terhadap organisme yang menyebabkan infeksi
tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang memasuki tubuh.

6.

Mengangkut zat-zat besi
Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran
cerna melalui dinding saluran cerna kedalam darah, dari darah kejaringanjaringan dan melalui membran sel kedalam sel.


Sebagai sumber energi, protein relative lebih mahal, baik dalam harga maupun dalam
jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme energi. Sumber protein seperti
bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun
mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati
adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu serta kacang-kacangan
lain. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu atau
nilai biologi tertinggi (Almatsier, 2001).
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah
maupun mutu, tetapi hanya merupakan 18,4% konsumsi protein rerata penduduk
Indonesia. Sedangkan bahan makanan nabati yang kaya dalam protein adalah kacangkacangan, dengan kontribusinya rerata terhadap konsumsi protein hanya 9,9%.
Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah.
Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anakanak dibawah lima tahun (Almatsier, 2004).
Kebutuhan protein pada masa bayi dan balita berdasarkan daftar kecukupan
gizi (DKG) yang dianjurkan untuk orang Indonesia perorang/perhari. Menurut daftar
kecukupan energi dan protein dalam jumlah yang dianjurkan adalah : golongan umur
0-6 bulan sebanyak 550 kkal/hari dan protein 12 gr/hari, golongan umur 7-11 bulan
sebanyak 725 kkal/hari dan protein 18 gr/hr, golongan umur 1-3 tahun sebanyak 1125
kkal/hari dan protein 26 gr/hari, golongan umur 4-6 tahun sebanyak 1600 kkal/hari
dan protein 35 gr/hari serta golongan umur 7-9 tahun sebanyak 1850 kkal/hari dan
protein 49 gr/hari (WNPG, 2012).


Menurut Depkes RI (1996), pengukuran kecukupan protein adalah sebagai
berikut : lebih, jika asupannya > 110% dari kebutuhan, baik jika asupannya > 80 –
110% dari kebutuhan, cukup jika asupannya 70 – 80% dari kebutuhan dan kurang
jika asupannya < 70% dari kebutuhan. Tingkat kecukupan protein dikatakan
defisiensi berat apabila tingkat konsumsi dibawah 70% (Suryono, 2012).
Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh. Makanan yang tinggi
protein biasanya tinggi lemak, sehingga dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan
protein dapat menimbulkan masalah lain, terutama pada bayi. Kelebihan protein akan
menimbulkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum
darah dan demam. Ini dilihat pada bayi yang diberi susu skim atau formula dengan
konsentrasi tinggi, sehingga konsumsi protein mencapai 6 gr/kg berat badan. Batas
yang dianjurkan untuk konsumsi protein adalah dua kali angka kecukupan gizi
(AKG) untuk protein (Almatsier, 2004).
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Per Orang/Hari
Berat
Tinggi
Badan (kg) Badan (cm)
1
0 – 6 bulan

6
61
2
7 – 11 bulan
9
71
3
1 – 3 tahun
13
91
4
4 – 6 tahun
19
112
5
7 - 9 tahun
27
130
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2012)
No


Umur

Energi
(kkal)
550
725
1125
1600
1850

Protein
(gr)
12
18
26
35
49

2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecukupan Energi dan Protein Anak

Balita
2.2.1. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi didefinisikan sebagai apa yang diketahui berkenaan dengan
sesuatu hal. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari pengalaman orang lain, selain
itu dapat diperoleh dengan mengikuti penyuluhan. Salah satu faktor yang
menyebabkan timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan akan pengaruh
makanan dan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang maka
semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk dikonsumsi
(Berg, 1986).
Menurut Sukarni (2000), pengetahuan merupakan kemampuan seseorang
yang mempengaruhi terhadap tindakan yang dilakukan. Pengetahuan seseorang tidak
saja dipengaruhi oleh pendidikan, karena pengetahuan dapat diperoleh dari
pengalaman pada masa lalunya. Hanya saja perlu pertimbangan bahwa faktor
pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan menjaga gizi anak balita.
Hal ini dapat dijadikan landasan untuk memberikan makanan kepada anak balitanya
yang cukup mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh anak balita pada masa
pertumbuhan dan perkembangan (Damiati, 2010).
Hasil penelitian dari Hardiviani (2003), yang dilakukan di Desa Suwawal
Barat Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa ada pengaruh

tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan energi dan protein pada anak balita.

Seorang ibu harus memiliki pengetahuan gizi untuk menanggulangi masalah-masalah
gizi yang dihadapi oleh anak-anaknya, kenyataannya setelah orang tua diberi
penyuluhan gizi, tetapi tetap saja anaknya menderita kurang protein. Hal ini
dikarenakan orang tua tersebut tidak mampu mengaitkan informasi gizi yang
diperolehnya dengan masalah gizi yang dihadapi anak-anaknya (Khomsan, 2000).
Apabila pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi masih kurang, maka
pemberian makanan untuk keluarga bisa dipilih bahan-bahan makanan yang hanya
dapat mengenyangkan perut saja, tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau
tidak bergizi. Walaupun persentase pendapatan untuk keperluan penyediaan atau
pemberian makanan keluarga tidak mencukupi tetapi apabila pengetahuan ibu
terhadap bahan makanan yang bergizi baik maka dapat diperoleh makanan sesuai
kemampuan, namun mengandung zat gizi. Sehingga kebutuhan tubuh masing-masing
anggota keluarga akan zat gizi dapat tercukupi. Pengetahuan tentang zat gizi yang
terkandung dalam berbagai bahan makanan berguna bagi kesehatan keluarga, karena
dapat membantu ibu dalam memilih bahan makanan yang tidak begitu mahal tetapi
nilai gizinya tinggi (Marsetyo, dkk, 2003).
Salah satu variabel yang mempengaruhi perilaku dan keyakinan tentang
kesehatan adalah tingkat pengetahuan atau intelektual. Variabel ini mempengaruhi
pola pikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara berfikir
seseorang

meliputi kemampuan untuk mengerti faktor-faktor yang berpengaruh

dalam kondisi sakit dan untuk menerapkan pengetahuan tentang sehat dalam praktek
kesehatan personal (Potter dan Perry, 2005).

Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan
sikap dan perilaku didalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan
berpengaruh pula pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Keadaan gizi yang
rendah disuatu daerah akan menentukan tingginya angka kurang gizi secara nasional
(Suhardjo, 2003).
Konsumsi makanan pokok merupakan proporsi terbesar dalam susunan
hidangan di Indonesia, karena dianggap terpenting di antara jenis makanan lain. Suatu
hidangan bila tidak mengandung bahan makanan pokok dianggap tidak lengkap oleh
masyarakat. Makanan pokok seringkali mendapat penghargaan lebih tinggi oleh
masyarakat dibanding lauk-pauk. Orang merasa puas asalkan bahan makanan pokok
tersedia lebih besar dibanding jenis makanan lain (Sediaoetama, 2004).
2.2.2. Kebiasaan Makan Keluarga
Pada masyarakat, berbagai jenis bahan makanan mempunyai nilai sosial.
Orang cenderung mengkonsumsi bahan makanan yang mempunyai nilai sosial
tertentu yang dianggap sesuai dengan tingkat sosial mereka dan hal ini seringkali
tidak sesuai dengan nilai gizi dalam makanan. Makanan yang bernilai gizi tinggi,
diberi nilai sosial rendah atau sebaliknya (Sediaoetama, 2004).
Kebiasaan makan didefinisikan sebagai perilaku seseorang atau sekelompok
orang untuk memenuhi kebutuhan makan yang melibatkan sikap, kepercayaan dan
pilihan makanan (Khomsan et.al, 2006).
Pendefinisian tentang makanan juga berpengaruh pada kebiasaan makan dan
kecukupan gizi, pengertian makan hanya ditujukan pada nasi atau produk olahan

yang berasal dari bahan dasar beras, seperti lontong. Kalau belum makan nasi belum
dianggap makan, apapun lauknya. Ada pula jenis masakan yang dihubungkan dengan
upacara/selametan, seperti selamaten

kelahiran, pernikahan hingga kematian,

terdapat perbedaan makanan yang disajikan atau dihantarkan kepada tetangga atau
kerabat. Dalam berbagai kebiasaan makan itu, terlihat bagaimana kebiasaan makan
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya setempat yang tentunya berpengaruh
pada kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Uraian tentang keberagaman kebiasaan
makan dan pengolahan makanan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memahami
kondisi gizi dan kesehatan masyarakat maupun bagi program penyuluhan gizi dan
kesehatan secara menyeluruh. Walaupun hampir semua orang mengetahui bahwa
pangan dan gizi merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sangat erat
kaitannya dengan kesehatan dan penyakit. Banyak juga yang sudah mengetahui
bahwa kekurangan gizi akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi,
menyebabkan banyak penyakit kronis, serta menyebabkan orang tidak mungkin
melakukan kerja keras. Namun demikian, aspek budaya masih mendominasi perilaku
dan kebiasaan makan yang terjadi dalam masyarakat (Saptandari, 2013).
Menurut Foster dan Anderson (1986), dalam pangan, gizi dan kesehatan
banyak ditemukan masalah yang berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan,
pantangan-pantangan,

dan upacara-upacara

yang acap kali mencegah orang

memanfaatkan makanan yang tersedia bagi mereka. Kebiasaan makanan beragam
dalam konteks budaya. Mengubah kebiasaan atau pola makanan tradisional bukan hal
yang mudah, mengingat dari semua kebiasaan yang paling sulit diubah adalah

kebiasaan makan. Apa yang kita sukai dan tidak kita sukai, kepercayaan-kepercayaan
kita terhadap apa yang dapat di makan atau tidak dapat dimakan, dan keyakinan kita
dalam hal makanan yang berhubungan kesehatan dan ritual, telah ditanamkan sejak
usia muda (Anitashiva, 2013).
Kebiasaan makan sebagaimana halnya dengan kebiasaan-kebiasaan lain hanya
dapat dimengerti

dalam konteks budaya secara menyeluruh. Oleh karena

itu, program-program

pendidikan

gizi efektif yang

memungkinkan

untuk

menuju pada perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang
makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi. Studi-studi
mengenai makanan dalam konteks budaya, merupakan suatu peranan para ahli
antropologi. Perhatian mengenai kepercayaan tentang makanan, dan praktekprakteknya jika digabung akan menjurus kebidang antropologi kesehatan dan
antropologi gizi. Antropologi kesehatan dipandang para dokter sebagai disiplin biobudaya yang memberikan perhatian pada aspek biologis dan sosial-budaya dari
tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya
disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit.
Foster dan Barbara Anderson, menyarankan sebaiknya antropologi kesehatan
didefinisikan

sebagai aktivitas formal antropologi yang berhubungan dengan

kesehatan dan penyakit. Adapun aspek penting antropologi gizi adalah sebagai
berikut: (1) sifat budaya dan psikologis dari makanan (yaitu peranan budaya dari
makanan, yang berbeda dengan peranan-peranan gizinya), dan (2) cara-cara dimana

dimensi-dimensi budaya dan psikologis dari makanan berkaitan dengan masalah gizi
yang cukup, terutama dalam masyarakat-masyarakat tradisional (Anitashiva, 2013).
Dalam hal pangan ada sementara kebiasaan yang memprioritaskan anggota
keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan,
umumnya kepala keluarga. Anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas
berikutnya dan yang paling umum mendapatkan prioritas terbawah adalah golongan
ibu-ibu rumah tangga, apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh
suatu kebiasaan, sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh
keluarga yang bersangkutan maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang
tidak baik diantara anggota keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama
dapat mengakibatkan timbulnya masalah gizi kurang didalam keluarga yang
bersangkutan (Suhardjo, 1989).
Banyak larangan tentang makanan yang dimaksudkan untuk kepentingan
kesehatan, tetapi pada kenyataannya bahkan berpengaruh sebaliknya. Pantangan
demikian harus dicoba untuk dihindarkan sejauh mungkin. Sebaliknya tidak semua
pantangan merugikan. Kita harus hati-hati dan kritis dalam menilai mana pantangan
yang merugikan dan mana yang masih menguntungkan (Sediaoetama, 2004).
Di Indonesia kebiasaan makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya,
unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat
yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal
kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi.
Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan

keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek
budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia
(Suhardjo, 2003).
Pada masyarakat Jawa Barat masih terdapat pantangan bahan makanan, yang
sebenarnya bahan makanan tersebut mengandung nilai gizi yang tinggi. Seperti
contohnya anak balita dilarang makan ikan dengan anggapan akan cacingan, dan juga
dilarang makan telur karena akan timbul bisulan. Tabu yang demikian tidak rasional,
namun anggapan demikian diwariskan dari generasi-generasi secara turun temurun.
Di Aceh, air susu ibu dianggap kurang memadai sebagai makanan bayi sehingga
biasanya bayi diberi makan pisang wak yang telah dilumatkan kemudian disulang ke
mulut bayi. Setelah berumur tiga bulan, bayi diberi pisang ditambah dengan nasi yang
telah digiling halus diatas piring yang terbuat dari tanah liat kemudian disulangkan
kepada bayi sambil dibaringkan diatas lonjoran kaki pengasuh. Setelah umur delapan
bulan bayi diberi makanan yang sama jenisnya dengan makanan orang dewasa
(Arber, 2013).
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup
menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat
lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Kebiasaan makan masyarakat Aceh
sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat
Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah
gulai kambing (kari kambing), sie reboh, keumamah, eungkot paya (ikan paya), mie
Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi

hari. Sedangkan dalam kebiasaan minum pada masyarakat Aceh adalah kopi. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di
Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih,
ketan/pulut, ditemani secangkir kopi, atau pada siang hari makan nasi dengan kari
kambing dan sebagainya (Wibowo, 2011).
2.2.3. Pendapatan Keluarga
Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dengan jelas melalui
besarnya pendapatan yang diterima oleh rumah tangga yang bersangkutan. Semakin
tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan
pokok, dan semakin tinggi persentase pengeluaran untuk makanan berprotein tinggi
seperti daging, ikan dan susu (Suhardjo, 2005).
Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan makan yang
selanjutnya berperan dalam penyediaan prioritas penyediaan pangan berdasarkan nilai
ekonomi dan nilai gizinya. Bagi mereka dengan pendapatan yang sangat rendah
hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan berupa sumber karbohidrat yang
merupakan pangan prioritas utama. Jika tingkat pendapatan meningkat maka pangan
merupakan prioritas kedua. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang
menyebabkan seseorang tidak mampu membeli pangan (Suhardjo, 1989).
Hasil penelitian dari Hardiviani (2003), yang dilakukan di Desa Suwawal
Barat Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa ada pengaruh
pendapatan keluarga terhadap kecukupan energi dan protein pada anak balita.
Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan

kuantitas makanan. Tetapi perlu disadari bahwa tidak selalu membawa perbaikan
pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang
akan dibeli untuk makanan. Jika keuangan memungkinkan serta memiliki keleluasaan
dalam memilih, maka kebutuhan makanan akan terpenuhi. Akan tetapi jika keuangan
terbatas, memilih makanan yang murah, namun diharapkan dengan uang yang sedikit
tersebut dapat dibelanjakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi. Jadi
dalam mengolah diperlukan pertimbangan yang cermat, hal dimaksud agar dapat
menggunakan uang belanja dengan sebaik-baiknya serta dapat mencukupi kebutuhan
keluarga, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk itu perlu sekali kemahiran
dalam mengganti bahan makanan lain yang sesuai dengan unsur gizi yang dibutuhkan
(Suhardjo, 2003).
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang
mempunyai penghasilan mencukupi akan tetapi makanan yang dihidangkan seadanya
saja, dengan demikian kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga
yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang relative mempunyai
penghasilan yang baik (Moehji, 1986).
2.2.4. Pendidikan
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dialami seseorang
dan berijazah. Pendidikan mempengaruhi seseorang dalam kesehatan terutama pada
pola asuh anak, alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi lainnya. Rendahnya
tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menangani
masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya (Notoatmodjo, 2007).

Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan mulai
dari usia anak-anak sampai dewasa, karena itu memerlukan beraneka cara dan
sumber. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga
juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan
anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah
menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi, sehingga dapat menambah
pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Depkes RI,
2008).
Secara biologis ibu adalah sumber kehidupan anak. Tingkat pendidikan ibu
banyak menentukan sikap dan tindak tanduk dalam menghadapi berbagai masalah.
Ibu mempunyai peranan cukup penting dalam kesehatan dan pertumbuhan anak dapat
ditunjukkan oleh kenyataan. Bahwa ibu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi,
tumbuh kembang anaknya akan menjadi lebih baik (Kardjati, 1985).
Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan dalam rumah tangga.
Pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan yang telah diikuti baik formal maupun
non formal sangat menentukan untuk diterapkan dalam hal pemilihan dan penentuan
jenis makanan yang dikonsumsi seluruh keluarga. Dari hal tersebut dapat
diasumsikan bahwa tingkat kecukupan energi dalam rumah tangga dan pendidikan
ibu yang relative tinggi akan lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga yang
tingkat pendidikan ibu rendah atau tidak sekolah (Suhardjo, 1989).
Pendidikan gizi atau penyuluhan gizi selalu dimaksudkan agar anak-anak
mengubah perilaku konsumsi gizi menuju keperilaku yang lebih baik, memiliki

pengetahuan gizi tidak berarti seseorang mau mengubah kebiasaan mereka, mungkin
mereka paham tentang protein, karbohidrat, vitamin dan zat gizi lainnya yang
diperlukan untuk kepentingan diit, tetapi mereka tidak pernah mengaplikasikan
pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari (Kasijam, 1994).
2.2.5. Sikap
Ahli psikologi W.J. Thomas (1997), memberikan batasan sikap sebagai suatu
kesadaran individu yang menentukan perbuatan-perbuatan nyata yang mungkin akan
terjadi didalam kegiatan-kegiatan sosial.
Menurut Newcomb (1999), sikap adalah kesiapan dan kesediaan untuk
bertindak seseorang terhadap hal-hal tertentu kemudian dilahirkan dalam perilaku.
Sikap merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku seseorang terhadap sesuatu
hal termasuk dalam penyajian menu bagi anak balita. Sikap individu merupakan
pendorong untuk bertindak disertai dengan perasaan-perasaan yang dimiliki oleh
individu tersebut, dengan dasar pengetahuan dan pengalaman masa lalu, maka timbul
sikap dalam diri manusia dengan perasaan-perasaan tertentu dengan menanggapi
suatu objek yang menggerakkannya untuk bertindak.
Sikap merupakan suatu reaksi yang masih tertutup tidak dapat dilihat secara
langsung sehingga sikap hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang nampak.
Pengertian lain sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara tertentu serta merupakan suatu respon evaluasi terhadap pengalaman
kognitif, reaksi, afeksi, kehendak dan perilaku berikutnya. Jadi sikap merupakan
suatu respon evaluasi didasarkan pada evaluasi diri yang disimpulkan berupa

penilaian positif dan negatif yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi
terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Allport (1992), dijelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen
pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, berfikir, keyakinan dan
emosional pada diri seseorang memegang peranan penting dalam bertindak. Suatu
sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (evert behavior).

2.3. Anak Balita
Balita adalah salah satu kelompok didalam masyarakat yang berusia dibawah
lima tahun. Karena balita sedang dalam tahap pertumbuhan maka ia sangat mudah
mengalami gangguan kesehatan apabila kebutuhan gizinya kurang terpenuhi (James,
1998).
Anak balita adalah anak yang berusia satu sampai lima tahun, pada kelompok
usia ini pertumbuhan anak tidak sebesar masa bayi tetapi aktifitasnya lebih banyak,
oleh sebab itu masukan zat gizi benar-benar diperhatikan. Makanan yang diperhatikan
selama anak-anak akan membawa akibat dikemudian hari, sebab pada masa itu otak
sedang mengalami perkembangan pesat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pertumbuhan otak banyak kaitannya dengan masukan energi dan protein serta
defisiensi zat gizi tertentu (Moehji, 1988).
Kelompok rentan gizi adalah suatu kelompok didalam masyarakat yang paling
mudah menderita gangguan kesehatannya atau rentan karena kekurangan gizi.
Biasanya kelompok rentan gizi ini berhubungan dengan proses kehidupan manusia,
oleh karena itu kelompok rentan gizi ini terdiri dari kelompok umur tertentu dalam
siklus kehidupan manusia. Pada kelompok umur-umur tersebut berada pada suatu
siklus pertumbuhan atau perkembangan yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah
yang lebih besar dari kelompok umur yang lain. Oleh sebab itu, apabila kekurangan
zat gizi maka akan terjadi gangguan gizi atau kesehatannya. Kelompok-kelompok
rentan gizi ini terdiri dari kelompok bayi (0-1 tahun), kelompok anak balita (1-5
tahun), anak sekolah, remaja, ibu hamil dan menyusui serta kelompok lanjut usia
(lansia) (Notoatmodjo, 1996).

2.4. Landasan Teori
Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan tidaklah mudah
untuk

mengetahuinya.

Misalnya

seorang

anak

balita

yang

terganggu

pertumbuhannya. Sebagian besar penduduk Indonesia (sekitar 50%) dapat dikatakan
tidak sakit tetapi juga tidak sehat. Kondisi ini tergolong kekurangan gizi yang secara
perlahan akan berdampak terhadap tingginya kematian anak, selanjutnya secara
langsung menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara (Aritonang,
2012)

Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa
faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak
langsung, pokok masalah dan akar masalah. Gizi kurang secara langsung disebabkan
oleh kurangya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah
usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam
keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi
dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung
pada pendapatan, agama, budaya, sikap, kebiasaan makan, pengetahuan ibu dan
pendidikan keluarga yang bersangkutan.
Keadaan gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan
oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua
zat gizi yang diperlukan tubuh dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang
satu terhadap yang lain (Djaeni, 2004).
Adapun landasan teori penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi
kecukupan energi dan protein anak balita, modifikasi dari Unicef (1998) adalah
sebagai berikut :

Status Gizi

Asupan Gizi

Ketersediaan
Pangan Tingkat
Rumah Tangga

Penyakit Infeksi

Pola Asuh
Anak

Sanitasi dan
Pelayanan
Kesehatan

Penyebab
Langsung

Penyebab Tidak
Langsung

Pendapatan, Pendidikan, Pengetahuan Rendah, Sikap dan
Kebiasaan Makan

Masalah Utama

Krisis Politik, Sosial dan
Ekonomi

Akar Masalah

Gambar 2.1. Landasan Teori

2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori, maka peneliti merumuskan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut :
Variabel Independen

Variabel Dependen

Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Kecukupan Energi dan
Protein Anak Balita

Pendapatan Keluarga

Kebiasaan Makan Keluarga

Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Banyak faktor yang mempengaruhi kecukupan energi dan protein, diantaranya
adalah penyebab langsung (asupan gizi dan penyakit infeksi), penyebab tidak
langsung (ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, pola asuh anak, sanitasi dan
pelayanan kesehatan), masalah utama (pendapatan, pendidikan, pengetahuan rendah,
sikap dan kebiasaan makan) dan akar masalah (krisis politik, sosial dan ekonomi).
Berdasarkan landasan teori maka variabel yang akan diteliti adalah tingkat
pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan keluarga terhadap
kecukupan energi dan protein pada anak balita.

Dokumen yang terkait

Gambaran Status Gizi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Medan Johor

11 124 97

Gambaran Tingkat Pendidikan Ibu dan Pengetahuan Keluarga dalam Pemberian Makanan Tambahan Kepada Bayi Sebelum Berusia 6 Bulan pada Suku Mandailing di Kelurahan Pancuran Kerambil Kecamatan Sibolga Sambas

0 35 67

Perbedaan Pengetahuan Gizi, Pendapatan Dan Status Gizi Anak Balita Di Desa Proyek Dan Hon Proyek Kesehatan Keluarga Dan Gizi (KKG) Di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004

0 34 81

Kecukupan Energi Dan Protein Serta Status Gizi Siswa Smp Yang Mendapat Makan Siang Dan Tidak Mendapat Makan Siang Dari Sekolah Dengan Sisitem Fullday School

4 79 130

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN GIZI IBU DENGAN TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA BALITA DI KELURAHAN WIRUN KECAMATAN MOJOLABAN KABUPATEN SUKOHARJO.

0 1 5

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pendapatan Keluarga dan Kebiasaan Makan Keluarga terhadap Kecukupan Energi dan Protein Pada Anak Balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie

0 0 14

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pendapatan Keluarga dan Kebiasaan Makan Keluarga terhadap Kecukupan Energi dan Protein Pada Anak Balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie

0 0 2

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pendapatan Keluarga dan Kebiasaan Makan Keluarga terhadap Kecukupan Energi dan Protein Pada Anak Balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie

0 0 7

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pendapatan Keluarga dan Kebiasaan Makan Keluarga terhadap Kecukupan Energi dan Protein Pada Anak Balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie

0 0 4

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU, POLA PEMBERIAN MAKAN, DAN PENDAPATAN KELUARGA TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA PAJERUKAN KECAMATAN KALIBAGOR

0 0 14