Gambaran Status Gizi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Medan Johor

(1)

GAMBARAN STATUS GIZI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS

MEDAN JOHOR

SKRIPSI

Oleh : SULIYANTI

091000162

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

GAMBARAN STATUS GIZI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS

MEDAN JOHOR

SKRIPSI

Oleh : SULIYANTI

091000162

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

GAMBARAN STATUS GIZI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS

MEDAN JOHOR

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh : SULIYANTI

091000162

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(4)

(5)

ABSTRAK

Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas menyerang paru. Penyakit tuberkulosis paru bukan hanya permasalahan di Indonesia tetapi juga merupakan permasalahan hampir di seluruh dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan, tingkat konsumsi energi dan protein, kepatuhan minum obat, konsumsi rokok, dan status gizi penderita yang merupakan faktor kesembuhan.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional pada 58 penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor diambil secara keseluruhan (total sampling). Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari : karakteristik penderita, konsumsi energi dan protein penderita, status gizi penderita. Data sekunder yang merupakan data jumlah penderita tuberkulosis paru yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan pemegang program tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor dan data gambaran umum Puskesmas Medan Johor. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel yang diteliti.

Hasil analisa statistik menunjukkan penderita tuberkulosis paru lebih banyak status gizi sebagian besar kategori normal (51,7%), tingkat konsumsi energi baik (41,4%) dan tingkat kunsumsi protein cukup (46,6%), berpengetahuan sedang (44,8%), kepatuhan minum obat yang sudah baik (96,6%), dan penderita yang masih merokok (25,9%).

Disarankan kepada penderita untuk memperhatikan makanan yang dikonsumsi terutama makanan sumber protein tinggi sehingga status gizi dapat ditingkatkan lagi dan pada bagian tuberkulosis paru Puskesmas Medan Johor agar melakukan upaya penyuluhan atau pemberian informasi mengenai tanda, gejala dan hal-hal yang menghambat penyembuhan tuberkulosis paru baik kepada penderita maupun kepada orang-orang yang berada di sekitar penderita.

Kata kunci : status gizi, tingkat konsumsi energi dan protein, penderita tuberkulosis


(6)

ABSTRACT

Tuberculosis is an infection disease caised by Mycobacterium Tuberculosis that the majority attacks the lung. Pulmonary tuberculosis is not only problems in Indonesia but also around the world. The aim of the study is to recognize the knowledge, energy and protein consumption level, medication adherence, cigarette consumtion, and nutrition status of patients who are healing factor.

The research design is descriptive with cross sectional approach in 58 patients with pulmonary tuberculosis in Medan Johor Health Center taken as a whole (total sampling). Primary data was collected using a questionnaire consisting of : patient characteristics, energy and protein intake of patients, the nutritional status of the patient. Secondary data is data of pulmonary tuberculosis patients were obtained from the holders of record keeping and reporting of pulmonary tuberculosis program in Medan Johor health centers and health and data of general overview Medan Johor health centers. Analysis of the data used in this study using descriptive analysis, the analisis used to describe the variables studied.

Results of statistical analysis showed patients with pulmonary tuberculosis were most the nutritional status of most of the normal category (51,7%), good levels of energy consumtion (41,4%) and the level of protein intake is also good (46,6%), knowledgeable (44,8%), medication adherence is already weel (96,6%), and patients who still smoked (25,9%).

It is recommended to people to pay attention to the food consumed, especially high protein foods that can be enchanced nutritional status and pulmonary tuberculosis at the health center in order to Medan Johor counseling efforts or providing information about the signs, symptoms and the things that hinder the healing of pulmonary tuberculosis either to the patients as well as to people who are around the patient.

Keywords : nutritional status, energy and protein consumption level, patients with tuberculosis


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Suliyanti

Tempat/Tanggal Lahir : Rantauprapat / 04 Oktober 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Danau Balai C, Sigambal, Rantauprapat

Alamat Kos : Jl. Murni Gang Warga Mesjid Setia Budi

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1997-2003 : SD Negeri No 117833 Danau Balai C 2. 2003-2006 : SMP Negeri 2 Rantau Selatan

3. 2006-2009 : SMA Negeri 3 Rantau Utara


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Status Gizi dan Tingkat Energi Protein pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor”, guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan saran dan arahan kepada penulis.

3. Ibu Ernawati Nasution, SKM, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.


(9)

4. Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

5. Bapak dr. Muhammad Arifin Siregar, MS selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis. 6. Ibu Fitri Ardiani, SKM, MPH selaku Dosen Penguji yang telah banyak

memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis.

7. Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes, selaku dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat.

8. Ibu Dra. Apt. Jumirah, M.Kes, selaku dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi.

9. Ibu Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis.

10. Bang Marihot Oloan Samosir, ST, selaku staf Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan berkas-berkas penelitian dengan tepat waktu.

11. Para Dosen dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat.

12. Kepala Dinas Kesehatan kota Medan beserta stafnya yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di Puskesmas Medan Johor. 13. Kepala Puskesmas Medan Johor beserta seluruh stafnya yang telah


(10)

14. Kepala bagian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor beserta stafnya yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. 15. Ibu Sridiyah, S.Kep, selaku pemegang program TB paru yang telah

banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

16. Orang tua tercinta, kakak tersayang, adik semata wayang, dan keponakan terkasih yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dukungan serta semangat tiada banding kepada penulis selama ini.

17. Sahabat-sahabatku tersayang, Defi, Una, Mimi, Mama, Adel, Nur, Nisa yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

18. Teman seperjuangan PBL, Kak Nai, Kak Helen, Kak Suriani, Kak Ifeh, Putri, Kak Mondang, Kak Lola, Kak Ayu, Bang Ewin, dan Pak Sogirin yang telah bersama-sama berbagi suka dan duka, senasib sepenanggungan di Rumah 3 Pekan Bahorok.

19. Kakak-kakak alumni dan Adik-adik di UKMI FKM USU, adik-adik di lingkaran ilmu yang bermanfaat, yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 20. Teman-teman angkatan 2009 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara, khususnya kepada teman-teman dan kakak-kakak di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

21. Teman-teman dan kakak-kakak yang sudah bersedia meminjamkan leptopnya selama leptop rusak dan untuk adik-adik di kos yang telah memberikan semangat dan sebagai pelepas penat selama proses penulisan skripsi.


(11)

22. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Aamiin.

Medan, Januari 2014

Penulis, Suliyanti


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... ………. i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ... 7

1.3.2. Tujuan Khusus Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.1 Cara Penularan ... 10

2.1.2 Patofisiologi ... 10

2.1.2.1 Infeksi Primer . ... 10

2.1.2.2 Infeksi Pasca Primer ... 11

2.1.3 Gejala dan Tanda ... 11

2.1.4 Penegakan Diagnosis ... 12

2.1.5 Tipe Penderita ... 13

2.1.6 Pencegahan ... 14

2.1.7 Pengobatan ... 15

2.1.8 Faktor Risiko ... 15

2.2. Status Gizi ... 20

2.2.2 Klasifikasi Status Gizi ... 21

2.2.3 Penilaian Staus Gizi ... 22

2.3. Konsumsi Pangan ... 26

2.3.1 Kebutuhan Energi ... 26


(13)

2.4. Hubungan Status Gizi dengan Tuberkulosis Paru ... 29

2.5. Kerangka Konsep ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Jenis Penelitian ... 32

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.3. Populasi dan Sampel ... 32

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.5. Instrumen Penelitian ... 34

3.6. Variabel dan Defenisi Operasional ... 34

3.7. Aspek Pengukuran ... 35

3.8. Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Puskesmas Medan Johor ... 39

4.2. Karakteristik Responden ... 40

4.3. Pengetahuan Tuberkulosis Paru ... 41

4.4. Tingkat Konsumsi Energi Protein ... 42

4.5. Pengobatan ... 43

4.6. Perilaku Merokok ... 44

4.7. Status Gizi ... 45

4.8. Pengetahuan dan Tingkat Konsumsi Energi ... 46

4.9. Pengetahuan dan Tingkat Konsumsi Protein ... 47

4.10. Pengetahuan dan Kepatuhan Minum Obat ... 47

4.11. Pengetahuan dan Perilaku Merokok ... 48

4.12. Status Gizi dan Umur ... 49

4.13. Status Gizi dan Fase Pengobatan ... 50

4.14. Tingkat Kecukupan Energi dan Status Gizi ... 50


(14)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Pengetahuan pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 53 5.2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Paru di

Puskesmas Medan Johor ... 56 5.3. Pengobatan pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 59 5.4. Status Gizi pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 60

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 62 6.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Tabel 1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia ……… 24

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi (Energi) Rata-Rata Yang Dianjurkan

(per orang per hari ) Pada Kelompok Umur 19-64 Tahun ... 26 Tabel 4.1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 40 Tabel 4.2. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 45 Tabel 4.3. Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 46 Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 46 Tabel 4.5. Distribusi Berdasarkan Pengetahuan Tuberkulosis Paru pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 47 Tabel 4.6. Distribusi Berdasarkan Kepatuhan Minum Obat pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 48 Tabel 4.7. Distribusi Berdasarkan Fase Pengobatan pada Penderita


(16)

Tabel 4.8. Distribusi Berdasarkan Pengawas Minum Obat pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 48 Tabel 4.9. Distribusi Kepatuhan Minum Obat Berdasarkan Pengawas

Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Medan

Johor ... 49 Tabel 4.10. Distribusi Berdasarkan perilaku merokok pada Penderita

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 49 Tabel 4.11. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Umur pada Penderita

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor ... 50 Tabel 4.12. Tabulasi Silang antara Status Gizi dengan Fase Pengobatan

pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor 51 Tabel 4.13. Tabulasi Silang antara Tingkat Kecukupan Energi dengan

status gizi pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas

Medan Johor ... 52 Tabel 4.14. Tabulasi Silang antara Tingkat Kecukupan Protein dengan

Status Gizi pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas

Medan Johor ... 53 Tabel 4.15. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Tingkat Konsumsi


(17)

Tabel 4.16. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Tingkat Konsumsi

Protein pada Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Medan Johor 54 Tabel 4.17. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum

Obat pada Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Medan Johor . 55 Tabel 4.18. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Perilaku Merokok


(18)

DAFTAR GAMBAR


(19)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Formulir Food Recall 24 Jam Lampiran 3. Pertanyaan Tertutup

Lampiran 4. Surat Keterangan Selesai Penelitian Lampiran 5. Rekapitulasi data


(20)

ABSTRAK

Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas menyerang paru. Penyakit tuberkulosis paru bukan hanya permasalahan di Indonesia tetapi juga merupakan permasalahan hampir di seluruh dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan, tingkat konsumsi energi dan protein, kepatuhan minum obat, konsumsi rokok, dan status gizi penderita yang merupakan faktor kesembuhan.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional pada 58 penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor diambil secara keseluruhan (total sampling). Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari : karakteristik penderita, konsumsi energi dan protein penderita, status gizi penderita. Data sekunder yang merupakan data jumlah penderita tuberkulosis paru yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan pemegang program tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor dan data gambaran umum Puskesmas Medan Johor. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel yang diteliti.

Hasil analisa statistik menunjukkan penderita tuberkulosis paru lebih banyak status gizi sebagian besar kategori normal (51,7%), tingkat konsumsi energi baik (41,4%) dan tingkat kunsumsi protein cukup (46,6%), berpengetahuan sedang (44,8%), kepatuhan minum obat yang sudah baik (96,6%), dan penderita yang masih merokok (25,9%).

Disarankan kepada penderita untuk memperhatikan makanan yang dikonsumsi terutama makanan sumber protein tinggi sehingga status gizi dapat ditingkatkan lagi dan pada bagian tuberkulosis paru Puskesmas Medan Johor agar melakukan upaya penyuluhan atau pemberian informasi mengenai tanda, gejala dan hal-hal yang menghambat penyembuhan tuberkulosis paru baik kepada penderita maupun kepada orang-orang yang berada di sekitar penderita.

Kata kunci : status gizi, tingkat konsumsi energi dan protein, penderita tuberkulosis


(21)

ABSTRACT

Tuberculosis is an infection disease caised by Mycobacterium Tuberculosis that the majority attacks the lung. Pulmonary tuberculosis is not only problems in Indonesia but also around the world. The aim of the study is to recognize the knowledge, energy and protein consumption level, medication adherence, cigarette consumtion, and nutrition status of patients who are healing factor.

The research design is descriptive with cross sectional approach in 58 patients with pulmonary tuberculosis in Medan Johor Health Center taken as a whole (total sampling). Primary data was collected using a questionnaire consisting of : patient characteristics, energy and protein intake of patients, the nutritional status of the patient. Secondary data is data of pulmonary tuberculosis patients were obtained from the holders of record keeping and reporting of pulmonary tuberculosis program in Medan Johor health centers and health and data of general overview Medan Johor health centers. Analysis of the data used in this study using descriptive analysis, the analisis used to describe the variables studied.

Results of statistical analysis showed patients with pulmonary tuberculosis were most the nutritional status of most of the normal category (51,7%), good levels of energy consumtion (41,4%) and the level of protein intake is also good (46,6%), knowledgeable (44,8%), medication adherence is already weel (96,6%), and patients who still smoked (25,9%).

It is recommended to people to pay attention to the food consumed, especially high protein foods that can be enchanced nutritional status and pulmonary tuberculosis at the health center in order to Medan Johor counseling efforts or providing information about the signs, symptoms and the things that hinder the healing of pulmonary tuberculosis either to the patients as well as to people who are around the patient.

Keywords : nutritional status, energy and protein consumption level, patients with tuberculosis


(22)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Manusia yang terinfeksibakteri Mycobacterium tuberculosis biasanya menularkan pada manusia melalui percikan dahak yang keluar ketika bersin. Percikan tersebut masuk melalui saluran pernafasan ke dalam paru. Penyakit tuberkulosis paru dapat terjadi pada semua kelompok umur baik di paru maupun di luar paru. Namun, penyakit tuberkulosis lebih sering menyerang daerah paru. Ketika bakteri Mycobacterium tuberculosis menyerang daerah di luar paru, maka disebut penyakit tuberkulosis ekstra paru. Penyakit infeksi (termasuk penyakit tuberkulosis) menyebabkan tubuh kehilangan zat gizi dan akan mempengaruhi konsumsi makanan yang disebabkan menurunnya nafsu makan dan efek obat anti tuberkulosis seperti rifampisin.

Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit Tb paru di dunia antara lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Depkes RI, 2008).

Munculnya pandemi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) di dunia menambah permasalahan penyakit tuberkulosis paru, koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru secara signifikan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman


(23)

tuberkulosis terhadap obat anti Tuberkulosis (MDR=Multi Drug Resistance), semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemik penyakit tuberkulosis paru yang sulit ditangani (Depkes RI, 2008).

Menurut Depkes RI (2005), Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban tuberkulosis paru global yakni sekitar 38% dari kasus tuberkulosis paru dunia. Sedangkan menurut Fatiyyah, et al (2011), dalam bukunya menyebutkan bahwa jumlah kasus terbanyak adalah wilayah Asia Tenggara (35%), Afrika (30%) dan wilayah Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus tuberkulosis paru adalah HIV positif, dan 80% kasus tuberkulosis paru -HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus tuberkulosis paru multidrug-resistant (MDR) sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000 kasus), tetapi hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari hasil data WHO tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37-0,55 juta) dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbangkan kira-kira seperlima dari seluruh jumlah kasus di dunia (21%).

WHO dalam Annual Report on Global Tb Control (2003) menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap tuberkulosis paru, termasuk Indonesia. Pada tahun 2004 diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis paru dari total 9 juta kasus. Karena jumlah penduduknya yang cukup besar, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita tuberkulosis paru setelah India dan China. Setiap tahun angka perkiraan


(24)

kasus baru berkisar antara 500 hingga 600 orang diantara 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).

Pada tahun 2010, Indonesia mempunyai target indikator case detection rate

(CDR) sebesar 73% dengan capaian 73,02% dan target angka keberhasilan pengobatan atau success rate (SR) 88% sedangkan pencapaian adalah 89,3%. untuk tahun 2014, target CDR dan SR adalah masing-masing sebesar 90% dan 88%. Target

stop Tb partnership pada tahun 2015 yaitu mengurangi rerata prevalens dan kematian dibandingkan pada tahun 1990. Pada tahun 2050 targetnya adalah mengurangi insiden global kasus tuberkulosis paru aktif menjadi kurang dari 1 kasus per satu juta populasi per tahun (Fatiyyah, et al,. 2011).

Pemberantasan kasus tuberkulosis paru menjadi perhatian dunia karena pemberantasan kasus tuberkulosis paru termasuk dalam tujuan keenam dari

Milllenium Development Goals (MDG) 2015 yakni penanganan penyakit menular berbahaya yaitu HIV/AIDS, malaria, tuberkulosis paru dan penyakit lainnya. Sedangkan penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis paru adalah kondisi sosial ekonomi, kondisi lingkungan yang buruk, status gizi yang buruk, dan program penanganan tuberkulosis paru yang belum optimal.

Mengacu pada kondisi tersebut diperlukan adanya penanggulangan penyakit tuberkulosis paru ini. DOTS (Directly Observed Treatment Succes Rate) adalah stategi penyembuhan tuberkulosis paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan tuberkulosis paru dapat berlangsung secara cepat. Kategori kesembuhan penyakit tuberkulosis paru yaitu suatu kondisi dimana individu telah menunjukan peningkatan


(25)

kesehatan dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit tuberkulosis paru, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan

follow up sebelumnya negatif (Depkes RI, 2008).

Program kesembuhan tuberkulosis paru DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita tuberkulosis paru agar menelan obat secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global termasuk di Indonesia untuk menanggulangi tuberkulosis paru, karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu 95% (Fatiyyah, et al,. 2011).

Priyadi (2003), menyatakan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru adalah kondisi lingkungan rumah, status gizi, minuman beralkohol, merokok, penyakit penyerta, kontak dengan penderita dan sosial ekonomi. Sejalan dengan penelitian Firdous, dkk (2006) yang menyatakan bahwa

faktor-faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan

kesembuhan/ketidaksembuhan orang yang sedang berobat tuberkulosis paru adalah merokok, penghasilan, pengetahuan tentang tuberkulosis paru, sikap terhadap proses pengobatan tuberkulosis paru, perilaku, keadaan rumah, program OAT (Obat Anti Tuberkulosis), PMO (Pengawas Minum Obat), dan keadaan gizi penderita.

Secara umum diterima bahwa gizi merupakan salah satu determinan penting respons imunitas. Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi menghambat respons imunitas dan meningkatkan risiko penyakit infeksi. Sanitasi dan higiene perorangan yang buruk, kepadatan penduduk yang


(26)

tinggi, kontaminasi pangan dan air, dan pengetahuan gizi yang tidak memadai berkontribusi terhadap kerentanan terhadap penyakit infeksi. Berbagai penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu membuktikan bahwa gangguan imunitas adalah suatu faktor antara (intermediate factor) kaitan gizi dengan penyakit infeksi (Chandra, 1997).

Sebagai contoh, kekurangan energi protein (KEP) berkaitan dengan gangguan imunitas berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (cytokines).

Kekurangan zat gizi tunggal, seperti seng, selenium, besi, tembaga, vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B6, dan asam folat juga dapat memperburuk respons imunitas. Selain itu, kelebihan zat gizi atau obesitas juga menurunkan imunitas (Chandra, 1997).

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada paru. Pada umumnya, status gizi penderita sebelum terkena kuman tuberkulosis paru termasuk normal. Namun setelah kuman tuberkulosis masuk ke tubuh, berangsur-angsur merusak jaringan tubuh sehingga status gizinya menurun. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian Firdous, dkk (2006), menyatakan bahwa penderita yang status gizinya baik pada


(27)

pertengahan masa pengobatan maka akan memiliki kesempatan sembuh 9,5 kali dibandingkan dengan yang status gizinya buruk. Sedangkan menurut Sasilia (2013), mengungkapkan penderita tuberkulosis paru cenderung memiliki kondisi status gizi kurang.

Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru, kekurangan protein, kalori dan kekurangan zat besi akan meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosis paru. Sebaliknya, penyakit tuberkulosis paru dapat mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Hal ini sesuai dengan hasil

preliminary study di Bandung (2007), menunjukkan asupan protein pada penderita tuberkulosis paru orang dewasa hanya mencapai 36 gram/hari atau 65 persen dari angka kecukupan (AKG: 55/gram/hari). Hasil ini sama dengan penelitian Pakasi (2009), yang menunjukkan bahwa penderita tuberkulosis paru umumnya memiliki asupan zat gizi yang rendah. Asupan protein penderita tuberkulosis paru pada penelitian di Nusa Tenggara Timur bahkan lebih rendah, yaitu 26,4 gram atau 26 persen dari AKG. Cara pengukurannya dapat dilakukan dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan atau Indeks Massa Tubuh (IMT).

Di Sumatera Utara, dari hasil pendataan Dinas Kesehatan Sumut selama tahun 2010, tercatat 73,8 persen penderita Tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif atau sebesar 15.614 orang. Sedangkan estimasi berjumlah 21.148 orang. Berdasarkan survei, dari jumlah tersebut, Kota Medan merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk dari tiap kab/kota. Sedangkan pada tahun 2012 terjadi penurunan penderita tuberkulosis paru yaitu


(28)

sebesar 7.569 orang. Hal ini menunjukkan bahwa program yang ditetapkan untuk menurunkan jumlah penderita tuberkulosis paru berhasil.

Menurut catatan Puskesmas Medan Johor bagian tuberkulosis paru, tahun 2012 jumlah penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif sebesar 106 orang (1,4 %). Sedangkan pada tahun 2013, yakni dari bulan Januari hingga Agustus data penderita tuberkulosis paru sebanyak 60 orang. Hal ini membuat saya tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tuberkulosis paru dan kesembuhannya.

Program yang diterapkan di Puskesmas Johor adalah pengambilan obat dan kontrol ulang yang meliputi penimbangan berat badan dan efek selama minum obat pada penderita tuberkulosis paru setiap hari selasa. Hasil penimbangan tersebut kadang naik dan kadang turun. Akan tetapi, banyak juga yang menunjukkan kenaikan berat badannya. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor, di antaranya pengaruh asupan makan yang dimakan setiap harinya oleh pasien tersebut.


(29)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana keadaan status gizi penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status gizi pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui status gizi penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

b. Mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

c. Mengetahui pengetahuan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan johor

d. Mengetahui pengobatan pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

e. Mengetahui perilaku merokok pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.


(30)

1.4.Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Medan Johor, sebagai data yang diperlukan untuk kegiatan penyuluhan serta arahan pada penderita tuberkulosis paru yang datang ke Puskesmas Medan Johor.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan guna membuat kebijakan dalam pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis paru di Kota Medan.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tb (Mycobacterium tuberculosis). Kuman Mycobacterium tuberculosis

biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian, kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfah, melalui saluran nafas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis dapat terjadi pada semua kelompok umur baik di paru maupun di luar paru, namun lebih sering menyerang paru yang disebut tuberkulosis paru dan dapat juga menyerang organ lain selain paru seperti kelenjar limfa, kulit, otak, tulang, usus, dan ginjal yang disebut tuberkulosis ekstra paru (Depkes RI, 2008).

Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat yang pertumbuhannya dibantu oleh tekanan CO2 5-10 %, tetapi dihambat oleh Ph di bawah 6,5 dan asam lemak rantai panjang. Basil tuberkel tumbuh hanya pada suhu 35-37 oC, yang sesuai dengan kemampuannya menginfeksi organ dalam terutama paru. Mikroorganisme ini tidak membentuk spora, basilus tidak bergerak, berukuran sekitar 0,4 x 0,4 µm yang dinding selnya amat banyak lipid. Basilus tuberkel tumbuh sangat lambat, waktu gandanya adalah 12-20 jam, bila dibandingkan dengan kebanyakan bakteri pathogen lainnya yang kurang dari 1 jam.


(32)

2.1.1 Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar dalam beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

2.1.2 Patofisiologi 2.1.2.1Infeksi Primer

Individu yang terinfeksi basil tuberkulosis untuk pertama kalinya, pada mulanya hanya memberikan reaksi seperti jika terdapat benda asing di saluran pernafasan, hal ini disebabkan karena karena tubuh tidak mempunyai pengalaman dengan basil tuberkulosis. Hanya proses fagositosis oleh makrofag saja yang dihadapi oleh basil tuberkulosis. Namun, makrofag yang memfagositosis belum diaktifkan. Selama periode tersebut, basil tuberkulosis berkembang biak dengan bebas, baik ekstraselular maupun intraselular di dalam sel yang memfagositosisnya. Selama tiga


(33)

minggu, tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer melalui mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity). Setelah tiga minggu terinfeksi basil tuberkulosis, tubuh baru mengenal seluk-beluk basil tuberkulosis. Setelah 3-10 minggu, basil tuberkulosis akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh; timbul reaktivitas dan peradangan spesifik. Proses pembentukan pertahanan imunitas selular akan lengkap setelah 10 minggu (Djojodibroto, 2009). 2.1.2.2Infeksi Pasca Primer

Individu yang pernah mengalami infeksi primer biasanya mempunyai mekanisme daya kekebalan tubuh terhadap basil tuberkulosis. Hal ini dapat terlihat pada tes tuberkulin yang menimbulkan hasil reaksi positif. Jika orang sehat yang pernah mengalami infeki primer mengalami penurunan daya tahan tubuh, ada kemungkinan terjadi reaktivasi basil tuberkulosis yang sebelumnya berada dalam keadaan dorman (Djojodibroto, 2009).

Menurut Rab (1996), dalam bukunya menyatakan bahwa 10% dari infeksi tuberkulosis pimer akan mengalami reaktivasi, terutama setelah 2 tahun dari infeksi pimer. Kuman akan disebarkan melalui hematogen ke bagian segmen apical posterior. Reaktivasi dapat juga terjadi melalui metastasis hematogen ke berbagai jaringan tubuh.

2.1.3 Gejala dan Tanda

Gejala umum penyakit tuberkulosis paru adalah batuk terus-menerus selama leih dari 3 minggu, sedangkan gejala lain yang sering timbul adalah :


(34)

a. Dahak bercampur darah b. Nyeri dada

c. Hemoptisis d. Bersin-bersin

e. Demam dan keringat malam hari walaupun tanpa aktivitas berat f. Berat badan berkurang

g. Anoreksia h. Malaise

Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada infeksi primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa gejala pneumonia, yakni batuk dan panas ringan. Sedangkan pada infeksi pasca primer, gejala dapat berupa penurunan berat badan, keringat dingin malam hari, batuk berdahak lebih dari dua minggu, sesak nafas dan batuk darah (Rab, 1996).

2.1.4 Penegakan Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis (history taking) dan pemeriksaan fisik, foto toraks, serta hasil pemeriksaan bakteriologi. Diagnosis pasti ditegakkan jika pada pemeriksaan bakteriologi ditemukan adanya kuman tuberkulosis yaitu M. tuberculosis di dalam dahak atau jaringan. Karena usaha untuk menemukan basil tuberkulosis tidak selalu mudah, maka diupayakan cara untuk dapat membuktikan bahwa terdapat basil tuberkulosis di dalam tubuh. Cara pembuktiannya adalah melalui pemeriksaan serologi (Djojodibroto, 2009).


(35)

2.1.5 Tipe Penderita

Tipe penderita penyakit tuberkulosis ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pederita (Depkes RI, 2002), yaitu :

a. Kasus baru

Merupakan penderita yang beum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (Relaps)

Merupakan penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (Tranfer In)

Merupakan penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten yang lain lagi. d. Pengobatan setelah lalai (Drop-out)

Merupakan penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.


(36)

- Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau lebih.

- Penderita dengn hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

f. Kasus kronis

Penderita dengan hasil pemerksaan sputum masih BTA positif setelah selesai pengobatn ulang kategori 2.

2.1.6 Pencegahan

Pencegahan tuberkulosis meliputi (Rab, 1996) : a. Terhadap infeksi tuberkulosis

Dapat dilakukan dengan mencegah agar sputum yang infeksius tidak menyebar ke orang lain dengan upaya mengisolasi dan mengobati penderita.

b. Meningkatkan daya tahan tubuh

1. Memperbaiki standar hidup yang bersih dan sehat. Hal ini meliputi status gizi dan lingkungan tempat tinggal penderita.

2. Usahakan peningkatan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.

c. Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat tuberkulosis.

Menurut Depkes RI dalam Ruswanto (2010), menyebutkan bahwa tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% dari penderita tuberkulosis paru akan meninggal,


(37)

25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular.

2.1.7 Pengobatan

Penderita tuberkulosis harus diobati dan pengobatannya harus adekuat. Pengobatan tuberkulosis memakan waktu selama enam bulan. Dalam memberantas penyakit tuberkulosis, Negara mempunyai pedoman dalam pengobatan tuberkulosis yang disebut Program Penanggulangan Tuberkulosis (National Tuberculosis Programme).

Pengobatan tuberkulosis di Indonesia terdiri dari 2 fase yaitu fase intensif (awal) dan fase intermiten (lanjutan). Fase awal merupakan pengobatan yang berlangsung selama 2 bulan, dimana pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Sedangkan fase intermiten merupakan fase lanjutan dari fase intensif yakni berlangsung selama 6-12 bulan, dimana pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama dan ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Obat yang diberikan pada fase intensif adalah isoniazid, rifampin, dan pirazinamid. Sedangkan, obat yang diberikan pada fase intermiten adalah isoniazid dan rifampin. Ketiga obat ini berfungsi untuk membunuh bakteri tuberkulosis paru. Efek samping ketiga obat itu ialah timbulnya rasa mual, muntah, anoreksia, dan nyeri kepala. Efek-efek tersebut dapat berakibat pada penurunan nafsu makan. Obat


(38)

tersebut diminum oleh penderita setiap hari setelah bangun tidur dan sebelum makan (Depkes RI, 2002).

2.1.8 Faktor Risiko

Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu; kependudukan dan faktor lingkungan.

a. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk

Kejadian penyakit tuberkulosis paru merupakan hasil interaksi antara komponen lingkungan yakni udara yang mengandung basil tuberkulosis, dengan masyarakat serta dipengaruhi berbagai faktor variabel yang mempengaruhinya. Variabel pada masyarakat secara umum dikenal sebagai variabel kependudukan. Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit tuberkulosis paru, yaitu:

1) Jenis Kelamin

Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita tuberkulosis paru adalah wanita, hal ini masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara , diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen.


(39)

2) Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru, risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua (Warren,1994, Daniel dalam Ruswanto, 2010). Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita tuberkulosis paru adalah usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun (Depkes,2002).

Kekuatan untuk melawan infeksi adalah tergantung pertahanan tubuh dan ini sangat dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat secara perlahan sampai umur 10 tahun, setelah masa pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah penyebaran infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah penyebaran infeksi di paru. Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi kerja efek obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang efisien pada bayi yang sangat mudah dan pada orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek yang lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok umur ini (Crofton, 2002).

3) Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain


(40)

yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada paru. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberculosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.

4) Kondisi Sosial Ekonomi

WHO dalam Ruswanto (2010), menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit tubekulosis bersifat timbale balik, tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga.

Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus tuberkulosis paru atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan. Masyarakat


(41)

dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit tuberkulosis paru menjadi ancaman bagi mereka. Penyebab terbesar menurunya kasus tuberkulosis paru adalah meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada ventilasi, pencahayaan, kepadatan rumah dan pemenuhan gizi.

b. Faktor Risiko Lingkungan 1) Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. 2) Lantai Rumah

Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan juga sangat dipengaruhi.


(42)

3) Ventilasi

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Supriyono dalam Ruswanto (2010), di Ciampea menghitung risiko untuk terkena tuberkulosis 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Meski secara skeptical bisa saja terdapat bias karena sebab lain misalnya kemiskinan, ventilasi secara teoritis bermanfaat untuk sirkulasi udara dan pengenceran kuman.

4) Pencahayaan

Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis dibanding penghuni yang memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi dalam Ruswanto, 2010). Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.

5) Kelembaban

Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah dikemukakan, kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah yang lebuh tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah.


(43)

2.2 Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Contoh : gondok endemik merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh (Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Suhardjo (2003), dalam bukunya menyebutkan bahwa status gizi merupakan keadaan yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik terhadap energi dan zat-zat gizi yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya dapat diukur.

Faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah masalah sosial ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Status gizi dipengaruhi juga oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh asupan gizi yang cukup dan digunakan secara efisien maka akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

2.2.1 Klasifikasi Status Gizi

Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi tiga, yaitu (Sediaoetama, 1996):

a) Gizi lebih (overnutritional state)

Gizi lebih adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih. Kondisi ini ternyata mempunyai tingkat kesehatan yang lebih rendah, meskipun berat badan lebih tinggi dibandingkan berat badan ideal. Keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti ; penyakit kardiovaskuler yang


(44)

menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya.

b) Gizi baik (eunutritional state)

Tingkat kesehatan gizi terbaik yaitu kesehatan gizi optimum (eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya.

c) Gizi kurang (undernutrition)

Gizi kurang merupakan tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi defisien. Mengakibatkan terjadi gejala-gejala penyakit defisiensi gizi. Berat badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan tersebut.

2.2.2 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu pengukuran langsung dan pengukuran tidak lagsung. Berikut penjelasan dari masing-masing agar lebih jelas.

2.2.2.1 Pengukuran Status Gizi Secara Langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu : antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Masing-masing penilaian tersebut akan dibahas secara umum sebagai berikut (Supariasa,2002).


(45)

1. Antropometri

Secara umum memiliki arti ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penggunaan antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa,2002). Status gizi dengan menggunakan berat badan dibagi tinggi badan kuadrat merupakan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT).

IMT merupakan indikator overweight dan obesitas yang direkomendasikan secara internasional karena memiliki korelasi yang kuat dengan lemak tubuh. IMT adalah alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa, 2002).

Rumus perhitungan IMT = IMT

=

BeratBadan (Kg)


(46)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defisiensi energi ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO atau WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan batas ambang pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat (Supariasa, 2002).

Tabel 1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori IMT (kg/m2)

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5

Normal >18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0 Sumber : Depkes, 1994

2. Klinis

Pemeriksaan klinis merupakan metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.


(47)

3. Biokimia

Merupakan pemeriksaan spesimen yan diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh seperti darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh yakni hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.

4. Biofisik

Metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap. 2.2.2.2 Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga, yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa,2002).

1. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaan metode dengan pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.

2. Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa satistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka


(48)

kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaan metode ini dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

3. Faktor ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.

2.3 Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso, 2004).

Pangan yang dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai cara pengolahanya. Keadaan kesehatan tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kuantitas hidangan menunjukan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut konsumsi adekuat (Sediaoetama, 2006).


(49)

2.3.1 Kebutuhan Energi

Energi dibutuhkan tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total. Kebutuhan energi untuk metabolisme basal dan diperlukan untuk fungsi tubuh seperti mencerna, mengolah dan menyerap makanan dalam alat pencernaan, serta untuk bergerak, berjalan, bekerja dan beraktivitas lainnya (Soekirman, 2000).

Kebutuhan akan energi dan zat gizi tergantung pada beberapa faktor. Oleh karena itu, perlu disusun angka kecukupan gizi yang dianjurkan yang digunakan sebagai standart guna mencapai status gizi. Kebutuhan normal tubuh adalah kebutuhan yang sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan per orang per hari. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Berikut AKG rata-rata yang dianjurkan untuk kelompok umur 19-64 dapat dilihat pada tabel berikut (Almatsier, 2009)

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi (Energi dan Protein) Rata-Rata Yang Dianjurkan (per orang per hari ) Pada Kelompok Umur 19-64 Tahun No Golongan Umur Berat Badan Tinggi Badan Energi Protein 1 Pria

19-29 tahun 30-49 tahun 50-64 tahun 60 62 62 165 165 165 2550 2350 2250 55 55 55 2 Wanita

19-29 tahun 30-49 tahun 50-64 tahun 52 55 55 156 156 156 1900 1800 1750 48 48 48

Sumber : Almatsier, 2009

Jika konsumsi buruk akan menyebabkan pemakaian cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan terjadinya


(50)

penurunan berat badan dan kelainan biokimia tubuh. Sejalan dengan penelitian Shopia (2010), menyebutkan tingkat kecukupan energi ini akan mempengaruhi status gizi. Hal ini berdampak terhadap sistem imunitas dan penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menjadi progressif yang mengakibatkan perlambatan penyembuhan Tuberkulosis.

2.3.2 Kebutuhan Protein

Protein merupakan zat gizi penghasil energi yang tidak berperan sebagai sumber energi, tetapi berfungsi untuk mengganti jaringan dan sel tubuh yang rusak (Soekirman, 2002). Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam amino yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno, 1997).

Kecukupan protein akan dapat terpenuhi apabila kecukupan energi telah terpenuhi karena sebanyak apapun protein akan dibakar menjadi panas dan tenaga apabila cadangan energi masih di bawah kebutuhan. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreativitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain. Menurut Shopia (2010), tingkat kecukupan asupan protein akan mempengaruhi status gizi.

Angka Kecukupan Protein/orang/hari remaja laki-laki usia 10-12 tahun adalah 50 gr, untuk usia 13-15 tahun 60 gr, dan untuk usia 16-18 tahun sebesar 65 gr. Angka


(51)

kecukupan protein/orang/hari remaja perempuan dengan kelompok usia yang sama secara berturut-turut adalah 50 gr, 57 gr, dan 55 gr (Almatsier, dkk, 2011).

Kebutuhan protein kelompok usia dewasa terutama digunakan untuk mengganti protein yang hilang sehari-hari melalui urin, kulit, fases, dan rambut, serta untuk mengganti sel-sel yang rusak—pada usia ini seseorang tidak mengalami pertumbuhan lagi. AKG protein laki-laki usia 19-64 tahun adalah sebanyak 60 gr/hari, sedangkan untuk perempuan sebesar 50 gr/hari. Seorang laki-laki dan perempuan dewasa membutuhkan protein kurang lebih 0,8 gr/kg berat badan normal/hari (Almatsier, dkk, 2011).

Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutunya, seperti: telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Akan tetapi harga pangan hewani relatif mahal, sehingga hanya 18,4% rata-rata penduduk Indonesia yang mengkonsumsi protein (Almatsier, et al,. 2011).

Pada penderita Tuberkulosis paru biasanya akan mengalami malnutrisi, termasuk kekurangan protein yang disebabkan anoreksia dan nafsu makan menurun. Perbaikan malnutrisi dengan memberikan makanan yang adekuat dan tinggi protein akan menghentikan proses depletion dan perbaikan sel, mukosa jaringan serta integritas sel dan sistem imunitas sehingga daya tahan meningkat dan menguntungkan pengobatan Tuberkulosis (Almatsier, et al,. 2011).

2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tuberkulosis Paru


(52)

respons imunitas. Penelitian epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi menghambat respons imunitas dan meningkatkan risiko penyakit infeksi. Sanitasi dan higiene perorangan yang buruk, kepadatan penduduk yang tinggi, kontaminasi pangan dan air, dan pengetahuan gizi yang tidak memadai berkontribusi terhadap kerentanan terhadap penyakit infeksi. Berbagai penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu membuktikan bahwa gangguan imunitas adalah suatu faktor antara (intermediate factor) kaitan gizi dengan penyakit infeksi (Chandra, 1997).

Sebagai contoh, kekurangan energi protein (KEP) berkaitan dengan gangguan imunitas berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (cytokines).

Kekurangan zat gizi tunggal, seperti seng, selenium, besi, tembaga, vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B6, dan asam folat juga dapat memperburuk respons imunitas. Selain itu, kelebihan zat gizi atau obesitas juga menurunkan imunitas (Chandra, 1997).

Scrimshaw, selama bertugas di Gorgas Hospital, Panama pada kurun waktu 1945-1946, mengamati bahwa tuberkulosa adalah penyakit yang lebih banyak diderita anak-anak atau dewasa yang menderita kurang gizi daripada anak-anak atau dewasa yang status gizinya lebih baik. Status gizi merupakan determinan penting bagi respons imunitas. Perbaikan pada fungsi imunitas merupakan faktor antara peran gizi pada pencegahan penyakit infeksi. Gizi dan penyakti infeksi berkaitan secara sinergistis.


(53)

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian tuberkulosis paru yang merupakan salah satu penyakit infeksi, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada paru. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis paru.Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.

Hizira (2008), menjelaskan bahwa orang dengan Tuberkulosis aktif sering kekurangan gizi dan menderita defisiensi mikronutrien serta penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Malnutrisi ini akan menyebabkan risiko perkembangan dari infeksi Tuberkulosis menjadi Tuberkulosis aktif. Sejalan dengan penelitian Taslim (2004) menyatakan, rendahnya asupan makanan pada infeksi disebabkan oleh anoreksia, mual, muntah, suhu badan yang meningkat menyebabkan peningkatan metabolisme energi dan protein dan utilisasi dalam tubuh. Asupan yang tidak adekuat menimbulkan pemakaian cadangan energy tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan dan kelainan biokimia tubuh. Hal ini berdampak terhadap sistem imunitas dan penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menjadi progressif yang mengakibatkan perlambatan penyembuhan Tuberkulosis.


(54)

Perbaikan malnutrisi dengan memberikan makanan yang adekuat dan tinggi protein akan menghentikan proses depletion dan perbaikan sel, mukosa jaringan serta integritas sel dan sistem imunitas sehingga daya tahan meningkat dan menguntungkan pengobatan Tuberkulosis (Almatsier, et al., 2011). Sehingga pada penderita Tuberkulosis paru asupan makanannya penting untuk diperhatikan.

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Penyakit infeksi, termasuk penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan perubahan status gizi yang selanjutnya bermanifestasi ke status gizi buruk. Perbaikan gizi buruk dapat dilakukan dengan memberikan makanan tinggi kalori dan protein. Hal ini diduga dapat menyebabkan status gizi penderita tuberkulosis menjadi lebih baik dan berdampak pada waktu kesembuhannya. Kejadian dan kesembuhan penyakit tuberkulosis paru dipengaruhi oleh pengetahuan penderita berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein, status gizi, kepatuhan minum obat, pengawas minum obat, dan perilaku merokok. Secara lebih jelas dapat dilihat pada skema berikut :


(55)

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

-Pengetahuan -Pengobatan

-Kepatuhan Minum Obat -Fase Pengobatan

-Pengawas Minum Obat - Merokok

Penyakit Tuberkulosis Paru

Status Gizi

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan metode penelitian cross sectional (penelitian sesaat), yaitu dengan menggambarkan hubungan status gizi dan tingkat konsumsi energi protein serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang tuberkulosis paru Puskesmas Medan Johor. Alasan pemilihan tempat penelitian adalah dari hasil observasi awal, diketahui bahwa pada tahun 2013 Puskesmas Medan Johor memiliki kunjungan penderita tuberkulosis paru BTA positif sebanyak 58 orang dan berdasarkan hasil laporannya menunjukkan angka kesembuhan yang tinggi sebab pada tahun 2012 jumlah penderita tuberkulosis paru paru BTA positif sebanyak 106 orang.

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Januari 2014. 3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita tuberkulosis paru, baik yang baru berobat, berobat ulang maupun yang gagal berobat yang berkunjung ke


(57)

Puskesmas Medan Johor dan tercatat dalam lembar register tuberkulosis paru yaitu sebanyak 58 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi (total sampling), yaitu sebanyak 58 orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder.

3.4.1 Data Primer

Data primer meliputi data responden yang diperoleh secara langsung di Puskesmas Medan Johor, yaitu :

1. Karakteristik responden (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan) yang diperoleh melalui pengisian kuesioner terhadap penderita tuberkulosis paru. 2. Data tingkat konsumsi energi dan protein yang diperoleh dengan cara

wawancara menggunakan form food recall 24 jam yang dilakukan selama 2 kali dengan selang waktu 3 hari.

3. Data status gizi yang diperoleh dari pengukuran tinggi badan dan berat badan penderita dengan menggunakan mikrotois dan timbangan injak.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data jumlah, fase pengobatan, pengawas minum obat, kepatuhan minum obat dan penderita tuberkulosis paru yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan pemegang program tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor dan data gambaran umum Puskesmas Medan Johor.


(58)

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah : 1. Timbangan injak

2. Microtoice

3. Kuesioner, yang berisi data identitas diri responden

4. Formulir food recall 24 jam 3.6 Variabel dan Definisi Operasional 3.6.1 Variabel Penelitian

Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat konsumsi energi dan protein yang dilihat dari jenis makanan dan, frekuensi makanan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status gizi.

3.6.2 Definisi Operasional

1. Status gizi adalah keadaan tubuh penderita tuberkulosis paru sebagai akibat konsumsi makanan dengan penggunaan zat-zat gizi. Dengan menentukan IMT dengan pengkuran berat badan dibagi tinggi badan kuadrat.

2. Tingkat konsumsi energi dan protein adalah jumlah energi (kalori) dan protein yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsi oleh pederita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

3. Pengetahuan tuberkulosis paru adalah segala sesuatu yang diketahui penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor tentang tuberkulosis paru.

4. Pengobatan adalah kepatuhan minum obat, fase pengobatan, dan pengawas minum obat pada penderita tuberkulosis paru.


(59)

5. Kepatuhan minum obat adalah tindakan penderita tuberkulosis dalam meminum obat.

6. Fase pengobatan adalah fase secara medis yang terbagi dalam dua tahap, yaitu fase awal (2 bulan pertama) dan fase lanjutan (>2-6 bulan).

7. Pengawas minum obat adalah keberadaan orang (terutama keluarga) yang mengawasi penderita dalam meminum obat.

8. Perilaku merokok adalah tindakan merokok yang masih dilakukan selama masa pengobatan pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor.

3.7 Aspek Pengukuran 1. Status gizi

Status gizi dapat diperoleh dengan menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh) pada penderita tuberkulosis paru, yakni dengan rumus sebagai berikut :

IMT

=

BeratBadan (Kg)

TinggiBadan (m)2

Kemudian IMT tersebut dikategorikan berdasarkan acuan yang telah ditetapkan.

Tabel 1. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori IMT (kg/m2)

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5

Normal >18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0 Sumber : Depkes, 1994


(60)

2. Tingkat konsumsi energi diperoleh melalui food recall 2 kali 24 jam dan hasil analisis bahan makanan dihitung rata-rata konsumsi energi, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi. Tingkat kecukupan energi dengan menggunakan rumus (Supariasa, et al., 2001) :

Jumlah Konsumsi

Tingkat kecukupan energi = --- x 100% Kecukupan yang dianjurkan

Dikategorikan menjadi : - Defisit : < 70 % AKG - Kurang : 70 - 80 % AKG - Cukup : 80 – 99 % AKG - Baik : ≥ 100 % AKG

3. Tingkat konsumsi protein diperoleh melalui food recall 2 kali 24 jam dan hasil analisis bahan makanan dihitung rata-rata konsumsi protein, kemudian dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi. Tingkat kecukupan protein dengan menggunakan rumus (Supariasa, et al, 2001) :

Jumlah Konsumsi

Tingkat kecukupan protein = --- x 100% Kecukupan yang dianjurkan

Klasifikasi tingkat kecukupan protein (TKP) sebagai berikut (Supariasa, et al, 2001):

Defisit : < 70 % AKG Kurang : 70 - 80 % AKG


(61)

Cukup : 80 – 99 % AKG Baik : ≥ 100 % AKG

4. Pengetahuan tuberkulosis paru adalah pengetahuan penderita tuberkulosis paru tentang penyakit tuberkulosis paru yang merupakan hasil penilaian atau skoring terhadap beberapa pertanyaan yang meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara penularan dan cara pencegahannya yang diukur dengan menjumlahkan skor pada setiap pertanyaan. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0, selanjutnya nilai masing-masing responden dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rumus = Skorjawabanresponden

Skortotaljawabanbenar x 100%

Kemudian akan dikelompokkan menjadi pengetahuan baik jika > 80%, sedang jika 60-80% dan pengetahuan kurang jika skor <60% dari skor maksimal (Khomsan, 2000).

5. Kepatuhan minum obat

Kategori kepatuhan minum obat terbagi menjadi dua, yaitu patuh dan tidak patuh.

Patuh : penderita meminum obatnya sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Tidak patuh : penderita meminum obatnya tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

6. Fase pengobatan

Tahapan dalam pengobatan terbagi menjadi dua fase, yaitu : - fase awal : 2 bulan pertama pengobatan


(62)

- fase lanjutan : >2-6 bulan pengobatan 7. Pengawas minum obat

Kategori pengawas minum obat ada dua, yaitu : - Ada

- Tidak ada

3.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.8.1 Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Editing

Data yag dikumpulkan segera diperiksa dan diperbaiki dengan cara memeriksa jawaban yang kurang.

2. Mengoding data dengan memberi tanda pada jawaban yang didapat dengan angka untuk mepermudah dalam menyusun tabel.

3. Tabulating

Untuk mempermudah pengolahan dan analisa data serta pengambilan kesimpulan maka data ditabulating dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 3.8.2 Metode Analisa Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel yang diteliti. Data yang sudah terkumpul, diolah dengan menggunakan komputer dalam SPSS 17.


(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Puskesmas Medan Johor

Puskesmas Medan Johor terletak di jalan Karya Jaya no. 5 Kelurahan Pangkalan Masyhur, Kecamatan Medan Johor dan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

− Sebelah utara : berbatasan dengan Kecamatan Medan Polonia − Sebelah selatan : berbatasan dengan Kecamatan Namorambe − Sebelah timur : berbatasan dengan Kecamatan Medan Amplas − Sebelah barat : berbatasan dengan Kecamatan Medan Selayang

Puskesmas Medan Johor memiliki luas wilayah sebesar 15 Km2 dan luas wilayah kecamatan Medan Johor 17,15 Ha. Keadaan Puskesmas Medan Johor merupakan salah satu puskesmas yang menjadi pusat pembangunan, pembinaan, dan pelayanan kesehatan. Puskesmas ini melayani 3 kelurahan yaitu kelurahan Pangkalan Masyhur, Kwala Bekala, dan Gedung Johor.

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Medan Johor adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat 2015 dengan komitmen siap membangun kesehatan dan menjadi pusat pelayanan kesehatan yang memuaskan bagi semua masyarakat. Adapun misi Puskesmas Medan Johor adalah Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya, Mendorong kemandirian bagi keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat di wilayah kerjanya, Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata,


(64)

individu, keluarga, dan masyarakat serta lingkungannya. Jumlah tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Medan Johor adalah 30 orang dengan aktivitas yang dimulai dari pukul 08.00-18.00 WIB. Aktivitas yang dilakukan pegawai lebih banyak di dalam gedung daripada di luar gedung.

4.2. Karakteristik Responden

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada responden yang berjumlah 58 orang, adapun karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, berat badan dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Responden pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor

No Karakteristik Responden n=58 %=100,0

1. 2. 3. Umur Responden - <40 - 40-49 - >50 Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Tingkat Pendidikan - SD - SMP - SMA - D3 - S1 26 13 19 36 22 12 16 22 3 5 44,8 22,4 32,8 62,1 37,9 20,7 27,6 37,9 5,2 8,6

Berdasarkan tabel 4.1. dapat dilihat bahwa responden yang terserang penyakit tuberkulosis rata-rata pada umur di bawah 50 tahun namun, ada juga responden berumur 8 tahun yaitu sebanyak satu orang dan 15 tahun sebanyak satu orang. Dilihat


(65)

menurut jenis kelaminnya, lebih banyak menyerang pada laki-laki (62,1%) dan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu sebesar 37,9%.

4.3. Status Gizi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tinggi badan dan berat badan tersebut dihitung berdasarkan rumus sehingga diperoleh data IMT (Indeks Massa Tubuh) responden untuk menentukan status gizinya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Status Gizi pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor

No Status Gizi n %

1. Kurang tingkat berat 13 22,4

2. Kurang tingkat ringan 11 19,0

3. Normal 30 51,7

4. Lebih tingkat ringan 4 6,9

Jumlah 58 100,0

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa status gizi responden sebagian besar termasuk kategori baik sebesar 51,7%, walaupun masih banyak juga responden yang berstatus gizi kurang sebesar 41,4%.

4.4. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Dari hasil penelitian diperoleh tingkat konsumsi energi dan protein responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(66)

Tabel 4.3. Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor

No Tingkat Konsumsi Energi n %

1. 2. 3. 4. Defisit Kurang Cukup Baik 7 8 19 24 12,1 13,8 32,8 41,4

Jumlah 58 100,0

Jika dilihat dari tabel di atas, konsumsi energi responden lebih cenderung pada kategori konsumsi energi baik dan cukup yaitu sebesar 41,4% dan 32,8% walaupun pada kategori tingkat konsumsi energi defisit dan kurang juga ada, yaitu 12,1% dan 13,8%.

Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Tingkat Konsumsi Protein pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor

No Tingkat Konsumsi Protein n %

1. 2. 3. 4. Defisit Kurang Cukup Baik 3 4 27 24 5,2 6,9 46,6 41,4

Jumlah 58 100,0

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa penderita dengan konsumsi protein lebih banyak pada kategori cukup dan baik yaitu 41,4% dan 46,6%. Namun, masih ada juga penderita dengan tingkat konsumsi kurang dan defisit sebesar 6,9% dan 5,2%.

4.5. Pengetahuan Tuberkulosis Paru

Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis baik itu penyebab, penularan, pencegahan serta pengobatan penting karena akan mempengaruhi tingkat kejadian


(67)

dan kesembuhan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor di peroleh data tentang pengetahuan responden sebagai berikut :

Tabel 4.5. Distribusi Berdasarkan Pengetahuan Tuberkulosis Paru pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor

No Pengetahuan Tuberkulosis Paru n %

1. Baik 17 29,3

2. Sedang 26 44,8

3. Kurang 15 25,9

Jumlah 58 100,0

Dilihat dari tabel di atas, diketahui bahwa Pengetahuan penderita tuberkulosis paru mengenai penyakit yang menimpanya sudah baik karena penderita lebih banyak dengan pengetahuan sedang (44,8%) dan berpengetahuan baik (29,3%), selebihnya berpengetahuan kurang (25,9%).

4.6. Pengobatan

Pengobatan merupakan suatu tahapan bagi penderita tubrkulosis yang meliputi kepatuhan minum obat, fase pengobatan dan pengawas minum obat. Responden berdasarkan kepatuhan minum obat dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.6. Distribusi Berdasarkan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Medan Johor

No Kepatuhan Minum Obat n %

1. Patuh 56 96,6

2. Tidak patuh 2 3,4

Jumlah 58 100,0

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa responden memiliki kepatuhan dalam meminum obat yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel di atas bahwa


(1)

Sediaoetama. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta. Dian Rakyat

Sidabutar B, Soedibyo S, Tumbelaka A. Nutritional status of under five pulmonary tuberkulosis patiens before and after six month therapy. Pediatrica Indonesia. 2004; 44(2) : 21-24

Soekirman.2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya. Jakarta Depdiknas

Sophia R. 2010. Penyelenggaraan Makanan Ditinjau Dari Konsumsi Energi Protein Dan Pengaruhnya Terhadap Status Gizi Santri Putri Usia 10-18 Tahun (Karya Tulis Ilmiah). Semarang: Universitas Diponegoro

Srimaryani, Diah Imas. 2009. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Pada Rumah Tangga Peserta Program Pemberdayaan Masyarakat di Kota dan Kabupaten Bogor. Bogor

Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bogor. Bumi Aksara Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Suparman, dkk. 2007. Preliminary study: Pengaruh sinbiotik dalam meningkatkan status i penderita TB paru orang dewasa dan anak balita kontak. Laporan Penelitian Risbinakes. Bandung: Poltekkes Depkes Bandung

Susanti, Diah Ayu. 2012. Perbedaan Asupan Energi, Protein dan Status Gizi Pada Remaja Panti Asuhan dan Pondok Pesantren. Proposal Penelitian Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang Syam, Muh Suyuti., Shanti Riskiyani., dan Watief A. Rahman. 2013. Dukungan

Sosial Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ajangale Kabupaten Bone. Bagian PKIP Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar

Taslim A Nurpudji. 2006. Penyuluhan Gizi, Pemberian Soy Protein dan Perbaikan Status Gizi Penderita Tuberkulosis di Makassar. Bagian Gizi

FK, Pusat studi Gizi, Pangan dan Kesehatan.

pada tanggal 19 September 2013


(2)

Lampiran 1

KUESIONER PENELITIAN

GAMBARAN STATUS GIZI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS MEDAN JOHOR

A. DATA UMUM

No Responden :

Tanggal wawancara :

Alamat :

B. KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin : 4. Berat Badan : 5. Tinggi Badan : 6. Pendidikan Terakhir :

C. PERILAKU MEROKOK

1. Apakah Anda pernah merokok? a. Pernah

b. Tidak pernah

2. Jika pernah, apakah sampai sekarang masih merokok? a. Ya


(3)

FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

No :

Nama Sampel : Hari /tanggal :

Waktu

Makan Jenis Makanan Bahan Makanan

Jumlah URT Gram PAGI

(Sarapan) Jam :

SIANG Jam :

MALAM Jam :


(4)

Lampiran 3

KUESIONER

PENGETAHUAN PASIEN TENTANG TUBERKULOSIS PARU

1. Menurut Anda, apakah pengertian dari penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) ? a. Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis.

b. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan karena guna-guna. c. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan karena keturunan.

2. Apa penyebab penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) ? a. Keturunan

b. Kuman TB Paru c. Nyamuk

3. Menurut Anda, pada bagian apa kuman TB Paru itu dapat menyerang ? a. Paru-paru

b. Ginjal c. Hati

4. Dari gejala dibawah ini, apa yang bukan termasuk gejala penyakit TB Paru ? a. Batuk lebih dari 3 minggu

b. Nyeri dada, sesak nafas dan batuk darah c. Sering kencing pada malam hari

5. Apa gejala dari penyakit TB Paru yang anda ketahui ? a. Nafsu makan bertambah

b. Kejang otot

c. Batuk berdahak selama 3 minggu atau lebih


(5)

c. Batuk dan pilek

7. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun dan rasa kurang enak badan.

Menurut Anda, gejala dari penyakit apakah gejala-gejala tersebut ? a. Penyakit kulit

b. Penyakit TB Paru c. Penyakit Epilepsi

8. Menurut anda, melalui apa penyakit TB Paru dapat menular ? a. Keringat

b. Air kencing

c. Percikan dahak penderita TB Paru

9. Bagaimana pencegahan dari penyakit TB Paru ? a. Minum obat dengan teratur

b. Merokok c. Begadang

10. Apa yang Anda lakukan ketika batuk dan bersin ? a. Membuang dahaknya disembarang tempat b. Menutup mulut

c. Batuk dan bersin saja

11. Kapan Anda meminum obat TB? a. sesudah makan

b. sebelum tidur c. setelah bangun tidur


(6)

12. Salah satu pencegahan dari penyakit TB Paru adalah meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi. Menurut Anda, seperti apa makanan yang bergizi itu ?

a. Makanan yang tinggi kalori dan tinggi protein b. Makanan yang enak

c. Makanan yang mahal

13. Manakah di bawah ini yang merupakan sumber utama protein? a. buah apel

b. telur c. kentang

14. manakah di bawah ini yang merupakan sumber utama karbohidrat? a. telur

b. daging c. nasi


Dokumen yang terkait

Gambaran Pola Konsumsi Dan Status Gizi Baduta (Bayi 6-24 Bulan) Yang Mendapatkan Makanan Tambahan Taburia Di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2012

1 66 122

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN GIZI PENGASUH DENGAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN DAN STATUS GIZI BATITA Hubungan Tingkat Pengetahuan Gizi Pengasuh dengan Tingkat Konsumsi Energi Protein dan Status Gizi Batita di Wilayah Puskesmas Undaan Kabupaten Kudus.

0 2 18

PENDAHULUAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Gizi Pengasuh dengan Tingkat Konsumsi Energi Protein dan Status Gizi Batita di Wilayah Puskesmas Undaan Kabupaten Kudus.

0 4 6

HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN DENGAN STATUS GIZI IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS COLOMADU II KABUPATEN Hubungan Status Ekonomi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Dengan Status Gizi Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas

0 2 12

SKRIPSI Hubungan Status Ekonomi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Dengan Hubungan Status Ekonomi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Dengan Status Gizi Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Colomadu Ii Kabupaten Karanganyar.

0 3 16

HUBUNGAN TINGKAT DEPRESI DENGAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI, PROTEIN Hubungan Tingkat Depresi Dengan Tingkat Konsumsi Energi,Protein dan Status Gizi Lanjut Usia Di Panti Wreda Surakarta.

0 2 16

GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI MAKRO DAN STATUS GIZI PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU RAWAT INAP DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA.

0 0 60

GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI MAKRO DAN STATUS GIZI PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA.

0 0 5

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Status Gizi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Medan Johor

0 0 9

Gambaran Status Gizi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Medan Johor

0 0 19