Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ino Fo Makati Nyinga sebagai Konseling Social Justice T2 752015006 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Setiap manusia atau masyarakat yang hidup bersama dalam satu komunitas tentu

memiliki kebudayaan yang mengakar dalam kehidupannya dari generasi ke generasi. Budaya
sendiri memiliki makna-makna tersendiri dalam kehidupan seperti yang dikemukakan oleh
Gertz yaitu kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna
pada hidup kita.1 Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan
serta tingkah laku manusia.2 Walaupun sebagai masyarakat mempunyai kebudayaan yang
saling berbeda satu dengan lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat yang hakikat
yang berlaku secara umum bagi semua orang. Sifat hakikat kebudayaan adalah sebagai
berikut: 3
a. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
b. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu, mendahului lahirnya suatu generasi tertentu
dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi tertentu dan tidak mati dengan
habisnya usia generasi yang bersangkutan
c. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
d. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan
tindakan-tindakan yang diizinkan.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang
berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita

1
2
3

Bernard T. Adeney, Etika sosial Lintas Budaya (Jogjakarta: Kanisius, 2000), 19.
Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar (Bandung: Alfabeta, 2013), 9.
Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar ... 33

1

berada. Nilai-nilai ini diterima oleh semua masyarakat di dunia ini. Salah satu nilai yang
sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan
saling menghargai antara manusia yang satu dengan yang lainnya ada nilai kebersamaan yang
bisa di ambil sebagai bagian dari persamaan budaya tersebut. Hal ini bisa dilihat dari falsafah
hidup masyarakat setempat.

Berbicara mengenai padanan hidup atau falsafah hidup yang dianut masyarakat,
masyarakat Halmahera Barat mempunyai falsafah hidup yaitu Ino fo makati nyinga. Istilah
ini merupakan sebuah istilah yang dipakai sebagai Motto dari provinsi Halmahera barat.
Istilah berasal dari bahasa ternate. Istilah ini dapat penggalan kalimat pada puisi Dalil Moro.
Dalil Moro ialah bentuk puisi sastera lama yang dalam peribahasanya mengungkapkan

perumpamaan yang berbentuk dalil sebagai contoh untuk ditiru yang merupakan warisan
nenek moyang yang telah merasuk dan dihayati, hingga patut ditaati. Dikutip dari tulisan
Syahyunan Pora, kutipan sastra lisan berbentuk Dalil Moro ini, dipaparkan kembali sebagai
berikut :
Ino fo makati nyinga
Doka gosora se bualawa
Om doro fo mamote
Fo magogoru, fo madodara

Artinya : Mari kita bertimbang kasih Bagai Pala dan Cengkih Jatuh bangun kita
bersama dilandasi kasih dan sayang .4

Gufran Ali Ibrahim dalam bukunya Mengelola Pluralisme mencoba menafsirkan
penggalan ini bahwa :

4

Syahyunan Pora, “Tinjauan Filosofis Kearifan Lokal Sastra Lisan Ternate,” UNIERA 3, no 1 (2014),

120.

2

metafora

gosora

se

bualawa

(Pala

dan


cengkih)

sebagai

bentuk

“kebersamaan”. Sedangkan makati nyinga “tenggang rasa” menjadi sumbu
dari kebersamaan; yang tumbuh berdampingan tanpa saling mematikan
(tumbuh bersama, matang dan gugur bersama). Itulah hakikat dari magogoru
“asuh” dan madodara “asih” 5
Seiring perkembangan kehidupan masyarakat Halmahera Barat dari generasi ke
generasi, istilah ini sudah mulai dilupakan karena kurang mendapat perhatian untuk
dikembangkan dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat lagi dikarenakan konflik
Agama yang pernah terjadi tahun 1999 sampai 2002. Memang realitas kehidupan sekarang
sudah lebih kondusif, tapi sistem hidup kekerabatan tidak lagi seperti dulu karena mereka
kembali dengan menggunakan sistem budaya masing-masing. Masyarakat terlebih khusus
masyarakat pendatang, mereka tidak lagi membangun rasa percaya terhadap masyarakat asli
terkait dengan segala macam aspek dalam kehidupan. Ada rasa kecurigaan yang muncul
karena trauma akan konflik yang banyak memakan korban jiwa. Hal ini yang menyebabkan
masyarakat tidak lagi memakai atau menerapkan nilai kebersamaan ini sebagai pegangan

kehidupan mereka. Terlebih khusus masyarakat pendatang, hal ini berdampak pada pola
hubungan antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang tidak
memaknai dan melihat nilai ini sebagai bagian dari kehidupannya, karena bagi masyarakat
pendatang mereka merasa di tolak keberadaannya dan juga merasa tidak menjadi bagian
dalam kehidupan masyarakat Halmahera Barat. Masyarakat pendatang sering merasa bahwa
peran membangun masyarakat Halmahera Barat yang baik bukan bagian mereka karena
mereka merasa mereka hidup hanya sebagai “tamu” dan yang harus membangun kehidupan
masyarakat adalah masyarakat asli saja, juga karena bahasa yang dipakai yang menyebabkan
masyarakat tidak tahu dan tidak memaknai istilah ini. Hal ini sesuai dengan Hipotesis Sapir-

5

Gufran Ali Ibrahim, Mengelola Pluralisme (Jakarta: Grasindo, 2004), 22.

3

Whorf menyatakan bahwa orang yang berbeda bahasa, karena perbedaan bahasa ini, juga
berpikir secara berbeda.6
Dalam komunitas jemaat sebagai bagian dalam masyarakat, trauma akan hal ini juga
mempengaruhi cara berpikir jemaat dalam menentukan bahkan mengambil keputusan

terhadap hubungan antara masyarakat, sehinggga kadang tidak mendapat jalan keluar dan
menimbulkan masalah meskipun dalam kehidupan komunitas iman. Gereja sering
mengumandangkan bentuk cinta kasih untuk hidup dalam kebersamaan, membangun
hubungan tidak hanya dengan Allah tapi juga dengan relasi dengan sesama. Dalam hal
membangun relasi dengan sesama ini yang sering mengalami kendala karena budaya yang
saling berbenturan. Gereja perlu melakukan sebuah transformasi nilai-nilai budaya dalam
penyuaraan nilai kebersamaan bagi masyarakat yang berbeda budaya ini. Hal inilah yang
membuat penulis mencoba mengangkat pemaknaan falsafah hidup dari Ino fo makatinyinga
ini sebagai bagian untuk menyatukan berbagai macam kebudayaan yang ada di Halmahera
Barat (Budaya Pendatang) dalam satu kesatuan, artinya motto ini juga menjadi bagian
masyarakat yang bukan orang asli di Halmahera Barat dalam kehidupan kesehariannya
karena mereka juga bagian dari masyarakat Halmahera Barat sebagai bentuk penyadaran
hubungan yang renggang dan sarat konflik ini. menurut Kim dan Berry,

persamaan-

persamaan budaya dapat terjadi jika orang mengejar tujuan yang sama, menggunakan metode
dan sumber daya yang sama untuk mencapai nilai yang serupa dengannya. Tujuan kolektif,
sumber daya manusia dan Alam, metode mencapai tujuan, dan makna serta nilai yang
dilekatkan padanya diintegrasikan untuk membentuk sebuah keseluruhan yang bermakna dan

koheren.7
Dalam pengertian komunikasi konseling, komunikasi tidak hanya melihat pada
menikmati perjumpaan fisik dengan orang lain tetapi juga hubungan yang bisa saling
6

David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 129.
Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous and Cultural Psychology: Understanding People in
Context (United State of America: Springer, 2006), 17.
7

4

menerima, menghargai, dan mengakui keunikan setiap individu, maupun memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya.8 Itu artinya bahwa nilai-nilai dari Ino fo makati
bisa menjadi jawaban sebagai dalam menjawab masalah-masalah terkait dengan

nyinga

hubungan dan kesatuan budaya. Konseling multikultural adalah proses konseling


yang

melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik
secara individu maupun antar kelompok, oleh karena itu sebagai konselor dalam proses
konseling perlu menyadari dan peka akan nilai-nilai yang berlaku secara umum di dalam
masyarakat. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada
umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.
Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling.
Kenyataan ini yang dialami oleh masyarakat Desa Soakonora yang merupakan tempat
pengambilan data dari penulis, karena bisa dikatakan masyarakat ini merupakan “Indonesia
mini” bagi masyarakat Halmahera Barat dan merupakan masyarakat desa yang didominasi
oleh agama Kristen. yang dijumpai ketika memasuki wilayah ibukota Halmahera Barat.
Masyarakat desa Soakonora, ini hampir sebagian besar masyarakatnya pendatang yang sudah
lama hidup dan menetap dalam masyarakat Halmahera Barat sehingga sudah menjadi bagian
masyarakat yang juga hidup dibawah nilai Ino fo makati nyinga sehingga bisa dihubungkan
dengan pemaknaan dalam kehidupan mereka sebagai pendekatan yang bisa membantu
mereka memahami makna hubungan budaya yang baik dan Holistik.
1.2


Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka rumusan pertanyaan penelitian adalah

bagaimana Ino fo makati nyinga sebagai konseling social Justice? Rumusan masalah tersebut
dijabarkan dalam beberapa pertanyaan pokok penelitian, yaitu: pertama , bagaimana asal-usul
8

J.D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral (Salatiga : Tisara Grafika, 2007), 17.

5

dan pemaknaan Ino fo makati nyinga dikaji dari prespektif konseling Multikultural? Kedua,
bagaimana peran Ino fo makati nyinga dalam permasalahan yang terjadi dalam masyarakat
Desa Soakonora di kaji dari prespektif konseling social justice? Ketiga, Bagaimana konseling
Ino fo makati nyinga di kembangkan sebagai konseling social justice?

1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan dan menganalisa Ino fo makati nyinga


sebagai konseling social justice. Tujuan penelitian itu dijabarkan dalam tiga sasaran
pencapaian yaitu: pertama , menganalisis asal-usul dan pemaknaan Ino fo makati nyinga dari
prespektif konseling multikultural. Kedua , menganalisis peranan Ino fo makati nyinga dalam
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat desa Soakonora di kaji dari prespektif konseling
social Justice. Ketiga, mengembangkan Ino fo makati nyinga sebagai pendekatan konseling
social Justice.

1.4

Manfaat Penelitian
Selain mencapai tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, melalui penelitian ini

penulis berharap dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat Halmahera Barat terlebih
khusus kepada Masyarakat Desa Soakonora, Serta Jemaat Maranatha Soakonora. Kontribusi
tersebut berguna untuk memperkaya dan menambah pemahaman dan pemaknaan Ino fo
makati nyinga sebagai pendekatan konseling social justice yang dapat dijadikan semacam

acuan pelayan pastoral gereja. Dan kemudian melalui penelitian ini, penulis mengharapkan
dapat menstimulasi Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama–Universitas Kristen Satya

Wacana agar lebih aktif memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai instrumen pastoral
bagi masyarakat. Akhirnya, tentu saja dengan penelitian ini penulis berharap berguna bagi
diri penulis sendiri sebagai calon-calon pelayan Gereja kedepan. Penelitian ini kiranya
memberikan semangat bagi penulis untuk mengembangkan potensi dalam bentuk pengabdian
kepada masyarakat melalui kompetensi akademis dalam bidang ilmu sosiologi agama.

6

1.5

Metode Penelitian
Mempertimbangkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang hendak dicapai,

maka dalam penelitian, ini peneliti menggunakan metode yang digunakan yaitu deskriptif
analitis. Deskriptif oleh karena penelitian ini hendak mendeskripsikan gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dari fenomena yang merupakan objek
penelitian.9 metode deskriptif-analitis yaitu suatu metode untuk mengumpulkan data dan
menyusun data, kemudian diusahakan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran datadata tersebut.10
Pendekatan yang di pakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
pendekatan penelitian yang menyajikan data dalam bentuk kata-kata, sehingga tidak
menekankan pada angka. Pendekatan kualitatif berusaha untuk menemukan dan
mendeskripsikan makna atau data dibalik yang teramati.11
Tempat atau lokasi penelitian di Desa Soakonora Kecamatan Jailolo Halmahera Barat.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi Dan wawancara. Observasi dalam hal ini
penulis berperan sebagai partisipan yaitu menyamakan diri dengan orang yang atau
masyarakat yang diteliti12. Penulis merupakan bagian dari wilayah penelitian sebagai warga
desa Soakonora Halmahera Barat sehingga penulis sudah mengerti pola dan kehidupan
masyarakat. Teknik yang berikutnya adalah wawancara. Wawancara, bertujuan untuk
mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari beberapa responden, dengan bercakapcakap berhadapan muka dengan orang itu. Wawancara ini pun bermaksud mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian
mereka.13 Pemilihan sampel penelitian menggunakan Snowball sampling dan Purposive

9

Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 89.
Winarno Surakhmad, Pengantar Penulisan Ilmiah: Dasar Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito,
1985), 139.
11
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Bandung: Alfabeta, 2012), 15.
12
W. Gulo, Metodologi Penelitian (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), 116.
13
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), 162.
10

7

sampling. Menurut Sugiyono, Snowball14adalah teknik pengumpulan sampel yang mujla-

mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Dalam pengambilan data, dipakai beberapa
orang untuk menjadi sumber data tapi kalau merasa data yang diberikan belum lengkap, maka
bisa dicari data tambahan melalui orang lain. Maka sumber data yang dipakai adalah
beberapa orang dalam masyarakat desa Soakonora- Halmahera Barat yang dianggap bisa
mewakili pemahaman masyarakat Desa Soakonora yang nantinya bisa berkembang.
Kemudian, pengambilan sampel data untuk melengkapi atau sebagai data informan yang
pertama, maka dipakailah Purposive. Menurut Sugiyono, Purposive15 adalah teknik
pengambilan sampel data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya
orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia
sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial
yang diteliti. Dalam pengertian data yang sudah didapatkan pertama dikolaborasikan dengan
data yang didapatkan dari orang yang dianggap lebih tahu dalam hal ini Informan yang
dipilih adalah Tokoh Adat bisa juga orang yang mengerti tentang Ino fo makatinyinga yaitu
masyarakat asli, dan tokoh gereja ( Pendeta).
1.6

Rencana Sistematika Penulisan
Penulisan Tesis ini terdiri dari lima Bab, yaitu bab satu, Pendahuluan, menguraikan

tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, lokasi penelitian, dan Sistematika penulisan. Bab dua tentang konseling
Multikultural dan Social Justice yang meliputi pemahaman, karakteristik, pendekatan, dan
Kompetensi. Bab tiga tentang temuan hasil penelitian yang meliputi deskripsi asal usul dan
pemaknaan Ino fo makatinyinga bagi masyarakat desa Soakonora Halmahera Barat, serta
deskripsi permasalahan masyarakat dan peran Ino fo makatinyinga di desa SoakonoraHalmahera Barat. Bab empat tentang pembahasan dan analisa yang meliputi kajian Asal-usul
14

15

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi,...... 127
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), 218-219.

8

dan pemaknaan Ino fo makati nyinga bagi masyarakat desa Soakonora Halmahera Barat dari
prespektif konseling Multikultural, kajian peran Ino fo makati nyinga dalam permasalahan
masyarakat di desa Soakonora Halmahera barat dari prespektif konseling Social Justice. Bab
lima Ino fo makati nyinga sebagai konseling Social Justice yang meliputi landasan filosofis
dan nilai-nilai spiritual serta desain pendekatan konseling Ino fo makati nyinga. Bab enam
penutup yang terdiri dari kesimpulan berupa temuan-temuan terhadap hasil penelitian, dan
saran yang berupa kontribusi-kontribusi untuk penelitian lanjutan.

9