Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ino Fo Makati Nyinga sebagai Konseling Social Justice T2 752015006 BAB V

BAB V
INO FO MAKATI NYINGA SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING SOCIAL

JUSTICE
Berdasarkan kajian Ino fo makati nyinga dalam perspektif konseling multikultural dan
peranannya dalam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Soakonora,
dalam perspektif social justice, maka ditemukan adanya landasan filosofis dan nilai-nilai
spiritual Ino fo makati nyinga , selanjutnya akan dipakai menjadi suatu pendekatan konseling
social justice berbasis budaya.

5.1 Landasan Filosofis
Masyarakat dalam hubungannya dengan kehidupan sejak awal membentuk sebuah
kehidupan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini dibuktikan dengan
hubungan yang dijalani manusia atau individu dalam ruang lingkup komunitas. Dalam
konteks kehidupan masyarakat Ternate, adat-istiadat menjadi patokan kehidupan masyarakat
dan menjadi identitas diri masyarakat. Masyarakat Ternate meyakini bahwa adat-istiadat
yang diturunkan oleh para leluhur kepada masyarakat merupakan bagian dari proses
penghormatan terhadap tatanan kehidupan dan menjadi landasan yang mengakar dalam
kehidupan masyarakat Ternate. Landasan ini kemudian menjadi dasar yang kuat dalam
memepertahankan hubungan yang tercipta secara harmonis dan setara dalam kehidupan dan
sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Ternate, yaitu Jou se Ngofangare.

Jou se Ngofangare (Aku dan Engkau) merupakan bentuk dari pemahaman akan

hubungan yang setara dan seimbang terkait kehidupan antar individu. Sebab terkait dengan
pemahaman tersebut, Jou se Ngofangare terdiri dari hukum serta aturan-aturan yang bersifat
kuat dan sakral. Masyarakat Ternate merupakan petunjuk membangun sikap hidup yang
menjamin kebebasan manusia terkait martabat, keberadaan sebagai mahluk sosial dan
kebahagian sebagai individu. Hal ini didasarkan pada hubungan yang saling terkait

110

pemahaman terhadap (Jou) sang pencipta diwujudkan dalam penghargaan terhadap manusia
yang lain dan tempat dimana individu berpijak. Setiap nilai-nilai yang ada dalam Jou se
Ngofangare mengatur setiap aspek kehidupan manusia dan berisi nilai-nilai positif yang

harus selalu di jaga dan dipegang sebagai cara masyarakat menghormati leluhur. Dengan
demikian, Jou se Ngofangare berfungsi sebagai landasan hidup baik dalam bentuk cara
berfikir pengelolaan ego (emosional) dan berperilaku baik sebagai individu mapun sebagai
sebuah komunitas masyarakat bahkan dalam wujud pemerintah maupun tokoh-tokoh
masyarakat. Melalui penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa landasan filosifs dari
Ino fo makati nyinga adalah Jou se Ngofangare. Jou se Ngofangare menjadi pegangan hidup


masyarakat Ternate untuk menunjukan sebuah hubungan yang menghargai dan memahami
bahwa dalam hubungan sebagai masyarakat ada penagkuan untuk mempersatukan dalam
berbagai perbedaan yang ada yang terbungkus dalam Ino fo makati nyinga .
5.2

Nilai Spiritual
Sebagai landasan dan pedoman hidup masyarakat Ternate, Jou se Ngofangare memiliki

nilai-nilai spiritual yang terjadi atas dasar pemaknaan hakikat manusia . Nilai-nilai tersebut
terdiri dari Cipta (Pemahaman), Rasa (pengelolaan emosional), dan Karsa (Perilaku). Nilainilai yang ada dijadikan sebagai penuntun dan penunjuk dalam membentuk moral dan etika
masyarakat Ternate baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dalam menciptakan
hubungan kekerabatan yang harmonis, adil, dan bersatu. nilai-nilai ini juga dipakai untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam masyarakat, dalam hal
ini masyarakat Soakonora yang hidup dalam nilai-nilai ini.

111

5.3


Desain Pendekatan Konseling Social Justice Ino Fo Makati Nyinga
Berdasarkan konteks teoritis dan landasan filosofis yang mengandung nilai-nilai spiritual

maka desain pendekatan konseling social justice Ino Fo Makati Nyinga sebagai berikut.

Bagan 1 : Pendekatan Konseling Ino fo makati nyinga

Bagan di atas di bentuk dan di susun berdasarkan hasil pengkajian teori multikultural
dan teori konseling social justice sebagai teori yang dipakai untuk menganalisa Ino fo makati
nyinga yang di bentuk berdasarkan landasan filosofis Jou se ngofa ngare. Setelah dalam

pemaknaan dan asal-usul yang berkaitan dengan Ino fo makati nyinga di kaji dari kedua
prespektif yaitu multikultural dan konseling social justice, ditemukanlah nilai-nilai spiritual,
yaitu berkaitan dengan Tri potensi yaitu cipta, rasa , dan karsa . Ketiga nilai yang ditemukan,
semuanya saling berkaitan satu sama lain dan juga menghasilkan enam teknik dan
pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan adat, ketidakadilan
sosial, konflik sosial, perpecahan sosial, krisis identitas, dan ketidakutuhan sosial. Tujuh
teknik dan pendekatan itu adalah a) Adat se Atorang (hidup dalam penghargaan terhadap
112


adat); b) Istiadat se kabasarang (sikap penghormatan lembaga adat) c) Ghalib se Likudi
(pengakuan terhadap sesama); d) Ngale se Cara (sikap saling menghargai dalam perbedaan);
e) Sere se Duniru (sikap saling menopang); f) Cing se Cingari (sikap saling membutuhkan).
Setiap teknik dan pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi
dalam konteks masyarakat Soakonora.
a) Adat se Atorang
Teknik Adat se Atorang atau penghargaan terhadap adat dipakai untuk menyelesaikan
permasalahan terkait dengan ketidakpatuhan terhadap adat yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Konselor dalam hal ini melalui tua-tua adat menyadarkan masyarakat bahwa
masyarakat terikat satu sama lain dalam hubungannya dengan pembangunan kehidupan
masyarakat. Setiap masyarakat harus mempunyai rasa saling memiliki satu sama lain. Ketika
tidak ada lagi kesatuan hati maka masyarakat akan mudah terpengaruh dan bisa berkonflik.
Aturan yang ada dibuat untuk menjadi patokan kehidupan masyarakat dan menciptakan
suasana yang selalu positif. Bagi tokoh adat, aturan dalam adat dan istiadat tidak hanya
menjadi patokan bagi satu bagian masyarakat tapi aturan dan nilai-nilai yang ada wajib untuk
dipatuhi karena menjadi penghubung bagi kehidupan setiap masyarakat. Tujuannya adalah
menyadarkan masyarakat bahwa adat dan istiadat membuat masyarakat mampu bertanggung
jawab dalam membangun hubungan dengan orang lain sebagai bagian dalam kehidupannya
dan menjadi satu bagian sebagai masyarakat yang harmonis.
b) Istiadat se kabasarang

Terkait dengan masalah ketidakadilan sosial, maka teknik yang dipakai adalah
Istiadat se kabasarang (sikap penghormatan lembaga adat). Tidak terlepas dari peran tokoh

adat sebagai konselor disini tugasnya dalam mengawasi pelaksanaan kehidupan
bermasyarakat. Terkait dengan sikap penghormatan adat sebagai lembaga tertinggi, maka
harus dilakukan kerja sama dengan pihak pemerintah desa dalam mengawasi perilaku
113

kehidupan masyarakat sebagai bentuk hubungan timbal balik antara masyarakat dan
pemerintah sebagai bentuk membangun hubungan kekerabatan antar masyarakat. Pemerintah
dipilih masyarakat sebagai bagian dari pemenuhan tanggung jawab memimpin masyarakat.
Teknik pendekatan ini memberikan ruang bagi tokoh-tokoh adat dan pemerintah menjalankan
tanggung jawab untuk mampu memberikan kesetaraan bagi setiap masyarakat agar tercipta
kerukunandisini pemerintah dan tokoh adat sebagai lembaga adat memberikan pemahaman
kepada masyarakat tentang proses berfikir bahwa dengan menghormati adat-istiadat
merupakan bentuk ketaatan terhadap nilai-nilai yang selalu menopang kehidupan. Dalam
proses penyesuaian diri dengan fakta-fakta moral masyarakat, tentu diperlukan sikap saling
menghargai antara sesama anggota dalam masyarakat dan dalam juga dalam hubungannya
dengan sang pencipta. Penghargaan terhadap sang pencipta sesungguhnya dapat diwujudkan
dalam perilaku individu dalam masyarakat. Dengan demikian penghargaan terhadap Sang

Pencipta nyata dalam perilaku individu dalam masyarakatnya.
c)

Ghalib se Likudi

Teknik yang selanjutnya adalah Ghalib se Likudi (pengakuan terhadap sesama).
Terkait dengan permasalahan yang berkitan konflik yang terjadi. Para tokoh adat dalam
menangapi permasalahan yang ada membuat pertemuan untuk membahas permasalahan yang
terjadi. Rapat atau musyawarah ini dilakukan sebagai bentuk bahwa sebagai tokoh adat, ada
rasa kepedulian untuk bisa duduk bersama dan mendengarkan setiap permasalahan dari
masyarakat. Dalam pertemuan ini, secara bersama-sama masyarakat dan tokoh-tokoh adat
untuk membicarakan permaslaahn-permaslahaan yang terjadi. Melalui teknik dan pendekatan
ini, para tokoh-tokoh adat berusaha membuat masyarakat untuk mampu menciptakan
pemikiran yang positif terhadap masyarakat yang lain dengan mengarahkan mereka untuk
mampu menjadi pribadi yang bertanggung jawab melakukan penggalian terhadap
permasalahan-permasalahan mereka sendiri dan mendengarkan pendapat dari masyarakat lain

114

tujuannya adalah masyarakat menciptakan sikap hidup yang toleran terhadap masyarakat

yang lain dengan mendengarkan setiap pendapat yang diutarakan dalam pertemuan atau
musyawarah sebagai bentuk pemahaman akan kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan
menyelesaikan konflik.
d) Ngale se Cara
Teknik yang selanjutnya yakni Ngale se Cara (sikap saling menghargai dalam
perbedaan) terkait dengan permasalahan perpecahan. Dalam teknik ini, sebagai bagian dari
proses musyawarah setelah penggalian permasalahan dalam diri masyarakat, dalam proses
interaksi sosial ini, Penekanan ada pada komunikasi antar masyarakat dalam hubungannya
sebagai bentuk membantu individu maupun masyarakat menemukan dan mengetahui
kelemahan dan kelebihan dalam dirinya dan menemukan jalan keluar dalam mengatasi
permasalahannya tersebut. Akibat dari terjdinya konflik, masyrakat mulai terpecah-pecah dan
tidak lagi menjadi satu dengan yang lain. Sehingga, dalam proses untuk memperbaiki
hubungan ini, tokoh-tokoh adat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bersamasama mencari penyelesaian masalah. pihak yang berkonflik dapat dibimbing agar dapat
memecahkan masalah yang sedang terjadi yakni berkaitan dengan keputusan yang harus
diambil dalam menyelesaikan konflik. Tokoh adat dapat membimbing pihak yang berkonflik
agar dapat merubah pemikiran yang merusak dengan pemikiran yang mendatangkan
solidaritas. Masyarakat diberi pilihan sebgaai bentuk untuk dapat menentukan pilihan-pilihan
yang bertanggung jawab tidak hanya bagi individu tapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Dengan demikian pihak yang berkonflik, masyarakat yang lain maupun tokoh adat samasama memiliki pandangan dan harapan yakni masalah yang terjadi dapat terselesaikan dengan
adil dalam rangka untuk meperbaiki hubungan seperti sebelumnya dalam bingkai

kebersamaan.

115

e)

Sere se Duniru

Konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat membuat kehidupan masyarakat
menjadi tidak seimbang baik dalam segi pemaknaan kehidupan, proses berfikir maupun
tingkah laku. Hal ini berpengaruh juga dalam penghargaan individu yang satu terhadap
individu yang lain terkait hak dan kebutuhan hidup dalam kehidupan masyarakat.masyarakat
lupa akan fungsi dan perannya dalam kehidupan. Dalam rangka itu teknik Sere se Duniru
(sikap saling menopang) dilakukan sebagai upaya membangun kesadaran dalam diri individu
terkait pengelolaan identitas diri. tokoh-tokoh adat sebagai representatif dari pelaksanaan adat
istiadat, mengupayakan untuk bisa membangun hubungan yang rusak menjadi baik dengan
tujuan untuk membangun kesadaran akan kesimbangan hidup dengan tujuan sebagai bentuk
integritas sosial demi menciptakan masyarakat yang tidak hanya bisa memperbaiki hubungan
tapi juga menciptakan sebuah sistem tata kehidupan yang bermakna bagi orang lain dalam
hubungannya sebagai pendidikan budaya bagi masyarakat masyarakat sebagai mahluk sosial

membutuhkan orang lain untuk saling menopang dalam membangun hubungan yang lebih
baik dan harmonis.
f)

Cing se Cingari

Teknik dan pendekatan yang terakhir adalah Cing se Cingari (sikap saling
membutuhkan). Teknik ini merupakan pendekatan terakhir sebagai bentuk pendidikan budaya
bagi masyarakat. Pendekatan ini dibuat untuk menyelesaikan masalah terkait ketidakutuhan
yang bertujuan sebagai proses pemulihan dalam hal ini berfokus pada individu pendekatan ini
sebagai bentuk bimbingan para tua-tua adat tidak hanya untuk masyarakat yang berkonflik
tetapi juga sebagai bentuk membangun kesadaran budaya bagi generasi-generasi yang
berikutnya. Memberikan pemahaman tentang adat-istiadat didalamnya juga termasuk
pemenuhan kebutuhan hidup dan juga hak sebagai individu dalam masyarakat. Hal ini yang
mendorong masyarakat untuk mau diberdayakan secara utuh.. Konselor dalam hal ini tua-tua

116

adat dalam penyampaian ino fo makati nyinga merupakan sebuah tindakan mendidik
masyarakat tentang arti adat istiadat sebagai pemersatu kehidupan dan juga sebagai bentuk

memahami hak dan kewajiban setiap individu agar memeperoleh ketrampilan dalam
membangun relasi yang baik dan mengembangkan sikap hidup dalam bingkai kebersamaan
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Teknik dan pendekatan yang dijelakan di atas memiliki dua tujuan yaitu pemberdayaan
dan keharmonisan. Pemberdayaan merupakan pencapaian kehidupan individu baik secara
pribadi maupun dalam lingkungan komunitas masyarakat mampu mencapai tahapan-tahapan
dalam kehidupannya terkait dengan bentuk relasi sosial, penyesuaian atau adaptasi, dan
pemenuhan kebutuhan sebagaimana dimiliki setiap individu terkait pengakuan, dan hak
istimewa dan mampu memberikan kontribusi berarti demi kesejahteraan dan keadilan
masyarakat. sehingga sebagai individu bisa menangani konflik yang terjadi di masa yang
akan datang. Keharmonisan akan terjadi jika masyarakat mampu menyadari dirinya sebagai
bagian dalam upaya untuk memepersatukan dalam level kelompok masyarakat sebagai
bagian dari upaya untuk memaksimalkan pemberdayaan dirinya secara penuh.

117